BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Goveranance dan Motivasi Manajemen Laba Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Food And Beverage yang Terdaftar di Bursa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

  Prespektif agency theory merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Menurut Jensen dan Meckling (1976) agency

  theory adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal).

  Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan dengan lancar, pemilik akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik dalam hal konflik kepentingan inilah yang merupakan inti dari agency theory. Namun untuk menciptakan kontrak yang tepat merupakan hal yang sulit diwujudkan. Oleh karena itu, investor diwajibkan untuk memberi hak pengendalian residual kepada manajer (residual control right) yakni hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat di kontrak.

  Agency theory adalah teori yang bertujuan untuk mengatasi dua masalah

  yang bias terjadi dalam hubungan keagenan. Masalah pertama yaitu masalah keagenan yang muncul ketika keinginan atau target oleh pemilki perusahaan dan manjer berlawanan dan sulit bagi pemilik untuk melakukan verifikasi atas apa yang telah dilakukan oleh manajer. Pemilik tidak bisa mengetahui pasti apakah manajer telah bertindak benar. Masalah keagenan yang kedua yaitu masalah pembagian resiko yang muncul ketika pemilik dan manajer memiliki perbedaan pendapat dan tindakan atas resiko yang terjadi (Eisenhardt, 1989).

  Asumsi sifat dasar manusia tersebut menunjukkan bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara manajer dengan pemilik dipicu adanya sifat dasar tersebut. Manajer dalam mengelola perusahaaan cenderung mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan.

  Dengan perilaku oppurtunictis dari manajer, manajer bertindak dengan berbagai cara untuk mencapai kepentingan mereka sendiri yang sering merugikan perusahaan. Sementara pihak pemilik selalu ingin mensejahterakan dirinya dengan mengadakan berbagai kontrak sehingga keuntungan selalu meningkat.

  Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang di kehendaki.

2.1.2 Laporan Keuangan

  Laporan keuangan merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengkomunikasikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang berkaiatan dengan posisi keuangan, prestasi (hasil usaha) perusahaan, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanafaat bagi pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi (Ghozali dan Chariri, 2007). Laporan keuangan sangat diperlukan oleh setiap perusahaan untuk mengetahui kemajuan dan kemunduran dari usahanya. Laporan keuangan digunakan sebagai dasar untuk menentukan atau menilai posisi keuangan perusahaan tersebut. Selain itu laporan keuangan dibuat oleh manajemen dengan tujuan mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Menurut Zaki Baridwan (2004:69), laporan keuangan yang disusun oleh manajemen terdiri dari: 1.

  Neraca yaitu laporan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu perusahaan pada tanggal tertentu.

  2. Laporan Rugi Laba yaitu laporan yang menunjukkan hasil usaha dan biaya-biaya selama suatu periode akuntansi.

  3. Laporan Perubahan Modal yaitu laporan yang menunjukkan sebab-sebab perubahan modal dari jumlah pada awal periode menjadi jumlah modal pada akhir periode.

  4. Laporan Perubahan Posisi Keuangan yaitu laporan yang menunjukkan arus dana (arus kas) dan perubahan dalam posisi keuangan selam tahun buku. Dalam Ghozali dan Chariri (2007), Ikatan Akuntansi Indonesia menekanakan pentingnya karakteristik kualitatif dari informasi keuangan yang dihasilkan agar informasi tersebut bermanfaat bagi pengambil keputusan. Karakteristik yang digunakan IAI adalah : 1.

  Dapat dipahami (Understandability) Hal ini berarti bahwa kualitas penting yang terdapat dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. Dalam hal ini, pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari.

  2. Relevan (Relevance) Informasi dikatakan relevan apabila informasi tersebut memiliki manfaat, sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan oleh pemakai laporan keuangan.

  3. Keandalan (Realiability) Informasi harus dapat diuji kebenarannya, netral, dan menggambarkan keadaan secara wajar sesuai peristiwa yang digambarkan.

4. Daya banding (Comparability)

  Suatu informasi dikatakan bermanfaat jika informasi tersebut dapat saling diperbandingkan baik antar periode maupun antar perusahaan.

  2.1.3 Laba

  Chariri dan Ghozali (2003) menyatakan bahwa laba adalah laba akuntansi yang merupakan selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Laba mengandung makna bersih atau neto yaitu sebagai net income atau penghasilan bersih untuk suatu periode. Laba menunjukkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dan tercantum dalam laporan laba rugi. Laporan laba rugi adalah laporan yang menunjukkan pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya dari suatu unit usaha untuk periode tertentu. Selisih antara pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya merupakan laba yang diperoleh atau rugi yang diderita oleh perusahaan.

  Secara umum, informasi keuangan yang tercantum dalam laporan laba rugi bermanfaat untuk (1) menilai keberhasilan atau kegagalan operasi perusahaan dan efisiensi manajemen, (2) membuat taksiran jumlah laba dimasa yang akan datang, (3) menilai rentabilitas atau profitabilitas modal yang ditanamkan oleh pemilik.

  2.1.4 Corporate Governance

2.1.4.1 Definisi Corporate Governance

  Corporate Governance pertama kali dikenalkan oleh Cadbury tahun 1992

  dengan definisi sebagai berikut, “ A set a rules that define the relationship

  between shareholder, manager, creditor, goverment, employee, and other internal

and external stakeholder in respect to the right and responsibility” International

  Good Practive Guidance (IFA 2009) Corporate governanace di definisikan sebagai serangkaian praktik dan tanggung jawab yang dilakukan oleh dewan (komisaris) dan eksekutif manajemen dengan tujuan memberi arahan-arahan yang strategis, memastikan bahwa tujuan yang diinginkan dapat tercapai, memastikan bahwa semua resiko dapat dikelola dengan benar, memastikan bahwa sumber daya organisasi digunakan secara bertanggungjawab.

  Pedomanan Umum Good Governance Indonesia (2006) menyatakan bahwa good corporate governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar yang berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha disuatu negara. Penerapan GCG dapat mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan.

  Definisi good corporate governance di atas menunjukkan bahwa good merupakan suatu sistem yang mengatur hubungan antara

  corporate governance

  semua pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan dan menjadi sistem yang berkaiatan erat dengan kepercayaan. Penerapan good corporate governance dalam satu perusahaan bertujuan untuk meningkatkan tingkat pengendalian yang tersistem baik untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif serta menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan.

2.1.4.2 Asas-Asas Corporate Governance

  Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) (2004), memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut :

  1. Transparansi (Transparency) Untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

  2. Akuntabilitas (Accountability) Harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

  3. Responsibilitas (Responsibility) Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

  4. Independensi (Independency) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

  5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) Melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.1.4.3 Prinsip-prinsip Corporate Governance

  Pada tahun 1999 (direvisi pada tahun 2004), Organization for Economic

  

Co-Operation and Development (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip

corporate governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini

  mengingat bahwa prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda. Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman oleh semua negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum, aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (2004) yaitu: 1.

  Memastikan dasar bagi kerangka corporate governance yang efektif Kerangka corporate governance harus meningkatkan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara jelas mengartikulasikan pembagian kewajiban antara pengawas, regulator dan otoritas pelaksanan yang berbeda.

  2. Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci Kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi penggunaan hak-hak pemegang saham.

  3. Persamaan perlakuan bagi pemegang saham Kerangka corporate governance harus memastikan persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh penggantian kembali secara efektif atas pelanggaran hak- hak mereka.

  4. Peranan stakeholder dalam corporate governance Kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui mutul agreement dan mendorong kerjasama aktif antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan, dan perusahaan yang memiliki

  sustainable.

  5. Pengungkapan dan transparansi Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dibuat atas semua hal yang material menyangkut korporat, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.

  6. Kewajiban dewan Kerangka corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan kepada perusahaan dan pemegang saham.

2.1.4.4 Manfaat Corporate Governanace

  Manfaat corporate governanace menurut pedoman Umum Good

  Governance Indonesia (2006) adalah: 1.

  Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntanbilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan.

  2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, dewan direksi dan rapat umum pemegang saham.

  3. Mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

  4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

5. Mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya.

  6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.

2.1.5 Proporsi Dewan Komisaris Independen

  Komisaris independen merupakan salah satu komponen penting dari good

  

corporate governance . Kriteria menjadi komisaris independen adalah sebagai

  berikut (FCGI) : 1.

  Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen.

  2. Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan.

  3. Komisaris independen dalam kurung waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi tersebut.

4. Komisaris independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.

  5. Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut.

  6. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut.

  7. Komisaris independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan.

2.1.6 Ukuran Dewan Direksi

  Ukuran dewan direksi sebagai salah satu komponen good corporate

  governance sangat berperan penting dalam mengatasi manajemen laba. Goodstein

  dan Gautarn (1994) dalam Ratna Wardhani (2007) mengatakan bahwa jumlah dewan yang besar menguntungkan perusahaan dari sudut pandang resources

  dependence. Hal ini berarti bahwa perusahaan akan bergantung pada dewannya

  untuk dapat mengelola sumber dayanya secara lebih baik. Namun, kebutuhan akan jumlah dewan yang besar akan menimbulkan kerugian dalam hal komunikasi dan koordinasi, sehingga akan muncul permasalahan kembali antara pihak dengan agent. Ukuran dewan direksi yang semakin besar,

  principal

  mengakibatkan proses pengawasan kurang efektif dan dapat meningkatkan praktek manajemen laba oleh manajemen. Manajemen akan lebih bebas dalam melakukan manajemen laba karena dewan direksi yang menjadi kurang waspada akibat kurangnya komunikasi dan koordinasi antar dewan dengan jumlah yang besar. Apabila jumlah dewan direksi sedikit, maka manajemen laba dapat dikurangi karena komunikasi dan koordinasi pada ukuran dewan direksi yang kecil dalam aktivitas tersebut lebih efektif dibandingkan dengan ukuran direksi yang besar sehingga dapat meningkatkan pengawasan terhadap manajemen.

  2.1.7 Kepemilikan Institusional

  Konsentrasi kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan Institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Para investor institusional mempunyai kesempatan, sumber daya dan kemampuan untuk melakukan pengawasan, menertibkan dan mempengaruhi para manajer perusahaan dalam hal tindakan oportunistik manajemen.

  2.1.8 Komite Audit

  Sesuai dengan Kep.29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menanggung masalah pengendalian. Berdasarkan Surat Edaran BEI, SE-

  008/BEJ/12-2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini yang berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen.

  Tugas komite audit mencakup; 1.

  Meningkatkan disiplin korporat dan lingkungan pengendalian untuk mencegah kecurangan dan penyalahgunaan.

  2. Memperbaiki mutu dalam pengungkapan pelaporan keuangan.

  3. Memperbaiki ruang lingkup, akurasi dan efektivitas biaya dari audit eksternal dan independensi dan obyektivitas dari auditor eksternal.

2.1.9 Manajemen laba

2.1.9.1 Definisi Manajemen Laba

  Manajemen laba (earning management) menurut Shipper dalam Wild (2008) didefenisikan sebagai intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses penentu laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi. Permasalahan manajemen laba merupakan masalah keagenan yang seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara pemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan. Terlebih lagi, manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan lebih banyak, lebih cepat, dan lebih valid daripada pemegang saham (asymmetric information) sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan (prestasi) tertentu.

  Cara pemahaman atas manajemen laba dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, dengan memandang manajemen laba dari prespektif efficient contracting

  

(Efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberi manajer

  suatau fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Kedua, melihat sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan biaya politik.

2.1.9.2 Motivasi Manajemen Laba

  Scott (2000: 296-306) mengemukakan beberapa motivasi dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba:

1. Motivasi Rencana Bonus (Bonus Plan)

  Kompensasi manajemen meliputi berbagai insentif yang berkaitan dengan kinerja. Sasarannya adalah untuk menciptakan kesesuaian kinerja, sehingga manajer akan menunjukkan kerja yang terbaik bagi perusahaan. Kompensasi keuangan meliputi gaji dan bonus. Bonus adalah jenis keuntungan tambahan yang diterima oleh seorang manajer di luar gaji mereka. Banyak perusahaan menggunakan kombinasi gaji dan bonus sebagai imbalan kinerja melalui penetapan tingkat gaji yang wajar dan pemberian bonus yang disesuaikan dengan perolehan laba perusahaan. The Bonus Plan Hypothesis menyatakan bahwa pada perusahaan-perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba tahun berjalan.

  Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada dibawah bogey, tidak ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperbesar laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya. Apabila laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan. Pendekatan ini mencoba menjelaskan dan memprediksikan pilihan manajer terhadap kebijakan-kebijakan akuntansi. Dengan kebijakan akuntansi tersebut para manajer berusaha untuk meningkatkan income perusahaan saat ini.

  2. Motivasi Perjanjian Hutang (Debt Covenant)

  Perjanjian utang adalah kesepakatan yang berisi syarat-syarat yang harus dilaksanakan oleh pihak penerima utang yang diajukan oleh pihak pemberi utang atau kreditor. Sedangkan utang adalah pengorbanan ekonomi yang mungkin terjadi dimasa depan, yang timbul dari kewajiban berjalan sebuah entitas tertentu, atau kewajiban yang ditimbulkan oleh transaksi atau kejadian masa lalu. Perusahaan yang memiliki kontrak utang maupun kontrak yang lain pasti berkeinginan untuk meminimalkan berbagai biaya kontrak yang terkait dengan kontrak-kontraknya (contracting theory) seperti biaya negosiasi, biaya pengawasan kinerja kontrak, kemungkinan negosiasi ulang, dan biaya perkiraan jika bangkrut atau kegagalan lain.

  Debt Covenant Hypothesis menyatakan bahwa semakin dekat perusahaan

  dengan pelanggaran perjanjian utang yang berbasis akuntansi, lebih mungkin manajer perusahaan untuk memilih prosedur akuntansi yang memindahkan laba yang dilaporkan dari periode masa datang ke periode saat ini. Kreditur perusahaan menentukan batasan pada pembayaran dividen, pembelian kembali saham, dan pengeluaran utang tambahan untuk meyakinkan pembayaran kembali pokok dan bunga mereka. Oleh karena itu, hipotesis perjanjian utang menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rasio utang terhadap ekuitas tinggi cenderung memilih metoda akuntansi dan kebijakan yang meningkatkan laba yang dilaporkan untuk menghindari kegagalan teknis perjanjian utang.

  3. Motivasi Biaya Politik (Political Cost)

  berasumsi bahwa politikus atau pemerintah akan

  Political cost hypothesis

  lebih memberikan perhatian yang besar pada perusahaan dengan laba yang tinggi, berkaitan dengan pelaksanaan peraturan atau undang-undang yang ada. Biaya politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Perhatian media, konsumen dan pemerintah pada khususnya akan memberikan batasan bagi kinerja perusahaan, sehingga perusahaan akan lebih banyak mendapatkan sorotan berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku (Halim et al. 2005).

  Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Selain untuk menghindari tuduhan pelanggaran terhadap undang-undang, manajemen laba dengan bentuk menurunkan laba dilakukan dengan tujuan untuk dapat memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah berupa subsidi.

  Selain tiga motivasi diatas, Scott (2000;385-387) mengemukakan beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba:

  1. Taxation motivations Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

  2. Pergantian CEO CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

  3. Initital Public Offering (IPO) Perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospektus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

  4. Pentingnya memberi informasi kepada investor Informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.2 Penelitian Terdahulu

tabel 2.1 sebagai berikut:

   Tabel

  2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian Judul Variabel Penelitian Kesimpulan

  Dewi Yuniar Rettiani (2010)

  Beberapa hasil pengujian dari para penelitian terdahulu dapat dilihat dari

  Governance , ukuran

  perusahaan dan leverage terhadap earnings

  management pada

  perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

  Manajemen laba, ukuran perusahaan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, jumlah dewan komisaris dan leverage.

  Hasil uji F menunjukkan bahwa variabel kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, jumlah dewan komisaris, ukuran perusahaan dan

  leverage secara

  bersama-sama

  Pengaruh Corporate berpengaruh terhadap

  earnings management .

  Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

  Manajemen laba, komposissi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, kepemilikan konstitusional, kepemilikan manajerial, komite audit independen

  Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

  Corporate Governance

  Analisis Pengaruh Good

  Hayati Nasution (2010)

  Ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Manajemen laba, ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit, konsentrasi kepemilikan dan ukuran perusahaan.

  and Real Estate

  Teguh Setiawan (2009)

  konsentrasi Kepemilikan dan Ukuran Perusahaan Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Property

  Corporate Governance ,

  Analisis Pengaruh Mekanisme Good

  Ratika Sari (2010)

  Manajemen laba, kepemilikan Institusional, kepemilikan manajerial, Proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, komite audit. kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris dan komite audit secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap praktek manajemen laba

  Terhadap Praktek Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2005-2007.

  Corporate Governance

  Analisis Pengaruh Mekanisme Good

  Komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan institusional dan komite audit independen berpengaruh terhadap manajemen laba. Kepemilikan manajerial berpengaruh secara negatif terhadap manajemen laba. Fretty Pengaruh Corporate Manajemen laba, Ukuran dewan Siagian Governance, Ukuran ukuran dewan komisaris, komposisi (2011) Perusahaan dan Struktur komisaris,komposisi dewan komisaris kepemilikan Terhadap dewan komisaris independen,

  Manajemen Laba Pada independen, ukuran kepemilikan Perusahaan Manufaktur perusahaan, manajerial, Yang Terdaftar Di BEI kepemilikan kepemilikan (2008-2010) institusional, konsentrasi tidak kepemilikan berpengaruh secara manajerial, signifikan terhadap kepemilikan manajemen laba. konsentrasi. Ananta Pengaruh Mekanisme Manajemen Laba, Dewan komisaris Dimaz Good Corporate kepemilikan independen, perjanjian Novrianto Governance Dan manajerial, hutang dan biaya (2008) Motivasi Manajemen kepemilikan politik berpengaruh

  Laba Pada Perusahaan institusional, dewan terhadap praktik Yang Terdaftar Di BEI komisaris independen, manajemen laba. komite audit independen, rencana bonus, perjanjian hutang, biaya politik.

2.3 Kerangka Konseptual

  Terjadi banyak kasus kecurangan dan manipulasi terhadap laba yang dilakukan oleh pihak manajemen, memaksa perusahaan harus melakukan mekanisme pengawasan untuk meminimalkan praktik manajemen laba tersebut. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengawasi praktik manajemen laba dalam penerapan good corporate governance. Penerapan good

  corporate governance diduga mampu mempengaruhi praktik manajemen laba.

  Oleh karena itu diadakan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah mekanisme good corporate governance berpengaruh terhadap manajemen laba tersebut.

  Model dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konseptual pada skema gambar di bawah ini: Mekanisme Good Corporate

  Governance

  Proporsi dewan komisaris independen H1

  Ukuran dewan direksi

  H2 Kepemilikian Institusional

  H3 H3 Manajemen

  Komite audit Laba

  H H4 Motivasi Manajemen Laba

  H5 Rencana bonus

  H6 Perjanjian hutang

  H7 Biaya politik

  H8

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis Penelitian

  Hipotesis adalah jawaban sementara yang harus diuji kebenarannya atas suatu penelitian yang dilakukan agar dapat mempermudah dalam menganalisis.

  Secara teknis, hipotesis dapat didefenisikan sebagai pernyataan mengenai populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian. Secara statistik, hipotesis merupakan pernyataan mengenai keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel.

  Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, tinjauan penelitian terdahulu, dan kerangka konseptual maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Terdapat pengaruh proporsi dewan komisaris independen terhada manajemen laba H2 : Terdapat pengaruh ukuran dewan direksi terhadap manajemen laba H3 : Terdapat pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen laba H4 : Terdapat pengaruh komite audit terhadap manajemen laba H5 : Terdapat pengaruh rencana bonus terhadap manajemen laba H6 : Terdapat pengaruh perjanjian hutang terhadap manajemen laba H7 :Terdapat pengaruh biaya politik terhadap manajemen laba H8 : Proporsi dewan komisaris independen, ukuran dewan direksi, kepemilikan institusional, komite audit, rencana bonus, perjanjian hutang, biaya politik berpengaruh secara simultan terhadap manajemen laba.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Goveranance dan Motivasi Manajemen Laba Terhadap Praktik Manajemen Laba Pada Perusahaan Food And Beverage yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2013

0 53 92

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan - Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Otomotif yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (agency theory) - Analisis Pengaruh Good Corporate Governance Dan Konvergensi Ifrs Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Bumn Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Analisis Pengaruh Kualitas Audit, Opini Audit Tahun Sebelumnya dan Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perusahaan Pertambangan yang Ter

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Good Corporate Governance, Kualitas Auditor Dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 17 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Corporate Governance, Leverage, Kualitas Audit dan Employee Diff Terhadap Manajemen Laba: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek In

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Analisis Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba : Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdapat Di Bursa Efek Indonesia (

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance and Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Transaksi Pihak - Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Manajemen Laba Terhadap Kinerja Keuangan dengan Good Corporate Governance sebagai Variabel Moderating p

0 0 27