BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (agency theory) - Analisis Pengaruh Good Corporate Governance Dan Konvergensi Ifrs Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Bumn Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Keagenan (agency theory)

  Adanya peralihan dalam lingkungan bisnis mengakibatkan perusahaan yang dulunya hanya dimiliki satu orang yaitu manajer-pemilik (owner-manager) sekarang menjadi perusahaan yang kepemilikannya tersebar dengan pemegang saham yang dimiliki oleh berbagai kalangan. Peralihan ini mengakibatkan terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan, dimana kepemilikan berada pada tangan para pemegang saham sedangkan pengelolaan berada pada tangan tim manajemen. Hubungan keagenan ini sebagai suatu kontrak di mana satu atau lebih pihak (principal) memberikan tugas kepada pihak lain (agen) untuk melaksanakan jasa dan pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, hubungan inilah yang dinamakan teori keagenan.

  Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan pemilik tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agen. Pihak

  

principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja

  perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agen. Agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson, professor dari Harvard (dalam Emirzon, 2007) memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi pemegang saham akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham.

  Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan permasalahan keagenan. Adanya posisi, fungsi, kepentingan, dan latar belakang principal dan agen yang berbeda dan saling bertolak belakang, namun saling membutuhkan, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan, saling tarik menarik kepentingan dan pengaruh antara satu dengan yang lain (Emirzon, 2007). Hal ini mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam pelaporan kepada principal akibat adanya keinginan untuk memenuhi tujuan pribadi seperti ingin memaksimumkan utilitasnya, yang memungkinkan agen tidak selalu berbuat terbaik bagi principal, sehingga muncul masalah keagenan. Masalah keagenan ini dapat terlihat dalam aktivitas manajemen laba yang muncul pada laporan keuangan perusahaan akibat adanya asymmetric information.

  Asymmetric information adalah informasi yang tidak seimbang yang

  disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agen yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan- tindakan agen. Menurut Jansen dan Meckling yang dikutip dalam Emirzon (2007), permasalahan yang dimaksud adalah : a.

  Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.

  b.

  Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

  Pada prinsipnya teori keagenan menjelaskan bagaimana menyelesaikan konflik kepentingan antara para pihak dan stakeholder dalam kegiatan bisnis yang berdampak merugikan (Emirzon, 2007). Untuk menghindarkan konflik, kerugian, diperlukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik atau good

  .

  corporate governance

2.1.2 Teori Sinyal (Signaling Theory)

  Konsep teori sinyal dan asimetri informasi sangat berkaitan erat dimana teori asimetri informasi terjadi ketika pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak luar seperti investor sehingga terjadi asimetri informasi antara manajer dan investor. Investor yang merasa mempunyai informasi sedikit, akan berusaha menginterpretasikan perilaku manajer.

  Perilaku manajer dalam hal menentukan struktur modal bisa dianggap sebagai sinyal oleh pihak luar (investor). Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Menurut Mamduh (2004) menyatakan bahwa “perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan mengurangi informasi asimetri. Upaya untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar termasuk investor”.

  Teori sinyal mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Informasi berupa pengungkapan tanggung jawab sosial yang dipublikasikan diharapkan dapat menjadi sinyal positif yang dapat diberikan perusahaan guna menarik minat para investor untuk berinvestasi karena melalui pengungkapan tanggung jawab sosial tersebut diperlihatkan bahwa perusahaan telah menunjukkan suatu pertanggung jawaban terhadap lingkungan sekitar dimana ia beroperasi.

2.1.3 Manajemen Laba

2.1.3.1 Definisi Manajemen Laba

  Manajemen laba (earning management) menurut Schipper dalam Wild, et al. (2008) didefinisi sebagai intervensi manajemen dengan sengaja dalam proses penentuan laba, biasanya untuk memenuhi tujuan pribadi. Terlebih lagi, manajemen sebagai pengelola perusahaan memiliki informasi tentang perusahaan lebih cepat, lebih banyak, dan lebih valid daripada pemegang saham (asymmetric

  information) sehingga memungkinkan manajemen melakukan praktek akuntansi

  dengan berorientasi pada angka laba, yang dapat menciptakan kesan (prestasi) tertentu.

  Scott (2009) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (Oportunistic Earning Management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient

  

Earning Management) , dimana manajemen laba memberi manajer suatu

  fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

2.1.3.2 Insentif Manajemen Laba

  Banyak alasan melakukan manajemen laba, termasuk meningkatkan kompensasi manajer yang terkait dengan laba yang dilaporkan, meningkatkan harga saham, dan usaha mendapatkan subsidi pemerintah. Dalam Wild, et al. (2008) dipaparkan sejumlah insentif utama untuk melakukan manajemen laba adalah sebagai berikut.

  a.

  Insentif perjanjian.

  Banyak perjanjian yang menggunakan angka akuntansi. Misalnya perjanjian kompensasi manajer biasanya mencakup bonus berdasarkan laba. Perjanjian bonus biasanya memiliki batas atas dan bawah, artinya manajer tidak mendapat bonus jika laba lebih rendah dari batas bawah dan tidak mendapatkan bonus saat laba lebih tinggi dari batas atas. Hal ini berarti manajer memiliki insentif untuk meningkatkan atau mengurangi laba berdasarkan tingkat laba yang belum diubah terkait dengan batas atas dan bawah.

  b.

  Dampak harga saham Potensi dampak harga saham misalnya manajer dapat meningkatkan laba untuk menaikkan harga saham perusahaan sementara sepanjang satu kejadian tertentu seperti merger yang akan dilakukan atau penawaran surat berharga, atau rencana menjual saham atau melaksanakan opsi. Manajer juga melakukan perataan laba untuk menurunkan persepsi pasar akan risiko dan menurunkan biaya modal.

  c.

  Insentif lain.

  Terdapat beberapa alasan manajemen laba lainnya. Laba seringkali diturunkan untuk menghindari biaya politik dan penelitian yang dilakukan badan pemerintah. Selain itu, perusahaan dapat menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan dari pemerintah, misalnya subsidi atau proteksi dari persaingan asing. Perusahaan juga menurunkan laba untuk mengelakkan permintaan serikat buruh. Salah satu insentif lain adalah perubahan manajemen yang sering menyebabkan big bath karena beberapa alasan. Pertama, melemparkan kesalahan pada manajer yang berwenang. Kedua, sebagai tanda bahwa manajer baru harus membuat keputusan tegas untuk memperbaiki perusahaan. Ketiga, dan yang terpenting, yaitu memberikan kemungkinan dilakukannya peningkatan laba di masa depan.

2.1.3.3 Strategi Pelaksanaan Manajemen Laba

  Dalam pelaksanaan aktivitas manajemen laba, manajemen memiliki beberapa strategi dalam melaksanakan praktek ini. Dalam Wild, et al. (2008), dijelaskan tiga jenis strategi manajemen laba yaitu : a.

  Meningkatkan laba (increasing income) Cara ini dilakukan dengan meningkatkan laba yang dilaporkan pada periode kini untuk membuat perusahaan dipandang lebih baik. Peningkatan laba juga dimungkinkan selama beberapa periode. Pada skenario pertumbuhan, akrual pembalik lebih kecil dibandingkan akrual kini sehingga dapat meningkatkan laba. Kasus yang terjadi adalah perusahaan dapat melaporkan laba yang lebih tinggi berdasarkan manajemen laba yang agresif sepanjang periode waktu yang panjang. Selain itu, perusahaan dapat melakukan manajemen untuk meningkatkan laba selama beberapa tahun dan kemudian membalik akrual sekaligus pada satu saat pembebanan. Pembebanan satu saat ini sering kali dilaporkan “di bawah laba bersih” (below the line) sehingga dipandang tidak terlalu relevan.

  b.

  Mandi besar (big bath) Strategi big bath dilakukan melalui penghapusan sebanyak mungkin pada satu periode. Periode yang dipilih biasanya periode dengan kinerja yang buruk (seringkali pada masa resesi dimana perusahaan lain juga melaporkan laba yang buruk) atau peristiwa saat terjadi satu kejadian yang tidak biasa seperti perubahan manajemen, merger, atau restrukturisasi. Strategi ini juga seringkali dilakukan setelah strategi peningkatan laba pada periode sebelumnya. Karena sifat big bath yang tidak biasa dan tidak berulang, pemakai cenderung tidak memperhatikan dampak keuangannya. Hal ini memberikan kesempatan untuk menghapus semua hal buruk di masa lalu dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan laba di masa depan.

  c.

  Perataan laba (Income smoothing) Perataan laba merupakan bentuk umum manajemen laba. Pada strategi ini, manajer meningkatkan atau menurunkan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasinya. Perataan laba juga mencakup tidak melaporkan bagian laba pada periode baik dengan menciptakan cadangan atau “bank” laba dan kemudian melaporkan laba ini saat periode buruk. Banyak perusahaan menggunakan bentuk manajemen laba ini.

  Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menyelaraskan ketidaksejajaran kepentingan pemilik dan manajemen. Mekanisme yang dianggap dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah mekanisme good

  corporate governance.

2.1.3.4 Pengukuran Manajemen Laba

  Dechow et al (1995) telah mengevaluasi beberapa model untuk mendeteksi dan mengukur manajemen laba berdasarkan akrual. Berbagai model tersebut adalah : 1.

  Model Healy Healy (1985) menguji manajemen laba dengan membandingkan rata-rata total akrual (diskala dengan lag total aset) antara variabel yang merupakan bagian manajemen laba. Model Healy dirumuskan sebagai berikut :

  Σ = dimana :

  NDA = estimasi nondiscretionary accrual TA = total akrual yang diskala dengan lag total aset

  T = t merupakan tahun subscript untuk tahun-tahun yang termasuk dalam periode estimasi τ = tahun subscript yang menunjukkan suatu tahun dalam periode berjalan.

2. Model DeAngelo

  DeAngelo (1986) menguji manajemen laba dengan memperhitungkan perbedaan pertama dalam total akrual, serta mengasumsikan bahwa perbedaan pertama mempunyai suatu nilai ekspektasi nol di bawah hipotesis nol yaitu tidak adanya manajemen laba. Nondiscretionary accrual berdasarkan model DeAngelo dirumuskan sebagai berikut:

  NDAt=TAt-1 3.

  Model Jones Model Jones (1991) berusaha untuk mengontrol dampak perubahan ekonomi perusahaan terhadap nondiscretionary accrual. Model Jones untuk

  nondiscretionary accrual dirumuskan sebagai berikut : NDAt = α1(1/At-1) + α 2(ΔREVt)+ α 3(PPEt)

  dimana : ΔREVt= pendapatan tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1 yang diskala oleh total aset pada tahun t-1 PPEt = peralatan dan properti pabrik tahun t yang diskala dengan total aset pada tahun t-1 At-1 = total aset pada t-1 α 1, α 2, α 3 = parameter spesifik perusahaan

4. Model Industri

  Model industri berasumsi bahwa variasi-variasi yang terdapat dalam faktor- faktor penentu nondiscretionary accrual biasa terjadi pada perusahaan- perusahaan dalam industri yang sama. Model industri untuk nondiscretionary

  accrual dirumuskan sebagai berikut : NDA t = γ 1 + γ 2 median t (TAt)

  dimana : median t (TAt) = nilai median dari total akrual yang diskala dengan lag aset untuk semua perusahaan non sample, yang sama dengan 2 digit kode SIC. γ 1, γ 1 = parameter spesifik perusahaan 5. Model Jones yang Dimodifikasi

  Model Jones yang dimodifikasi oleh Dechow, Sloan, dan Sweeney (1995) dirancang untuk mengurangi kecenderungan terjadinya kesalahan model Jones, ketika discretionary diterapkan pada pendapatan. Perubahan pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang, karena dalam pendapatan atas penjualan sudah tentu ada yang berasal dari penjualan secara kredit.Pengurangan terhadap nilai piutang untuk menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima benar-benar merupakan pendapatan bersih (Dechow et al, 1995). Seperti yang dilakukan Jones (1991), perhitungan dilakukan dengan : a.

  Mengukur total accrual dengan menggunakan model Jones yang dimodifikasi.

  Total Accrual (TAC) = laba bersih setelah pajak (net income) – arus kas operasi (cash flow from operating) b.

  Menghitung nilai accruals yang diestimasi dengan persamaan regresi OLS (Ordinary Least Square): TAC / A (1/ A ) / A (PPE / A ) +e

  • t t-1

  = α ) + α ((ΔREV ΔREC ) + α

  1 t-1 2 t t t-1 3 t t-1

  Dimana TAC : total accruals perusahaan i pada periode t

  t

  A : total aset untuk sampel perusahaan i pada akhit tahun t-1

  t-1

  REV : perubahan pendapatan perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t

  t

  REC : perubahan piutang perusahaan i dari tahun t-1 ke tahun t

  t

  PPE :aktiva tetap perusahaan tahun t

  t c.

  Menghitung nondiscretionary accruals model (NDA) adalah sebagai berikut: (1/ A ) / A (PPE / A

  • 1 t-1

  NDAt = α ) + α ((ΔREV ΔREC ) + α

  

2 t t t-1

3 t t-1

  Dimana NDAt : nondiscretionary accruals pada tahun t α : fitted coefficient yang diperoleh dari hasil regresi pada perhitungan

  total accruals d.

  Menghitung discretionary accruals DACt : (TAC / A ) - NDA

  t t-1 t

  Dimana DACt : discretionary accruals perusahaan i pada periode t

2.1.4 Good Corporate Governance

2.1.4.1 Definisi Good Corporate Governance

  merupakan suatu aturan sistem dan

  Good corporate governance

  seperangkat aturan mengenai pengelolaan perusahaan yang perlu diterapkan pada setiap perusahaan dan mengatur hubungan antara pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Good corporate gorvernance dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan antara pihak-pihak yang berkepentingan ini dalam rangka mencapai tujuan perusahaan dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan untuk memastikan bahwa kesalahan- kesalahan yang terjadi dapat di perbaiki dengan segera.

  Menurut Cadbury (1922 dalam Agoes dan Ardana, 2013), “Good

  

corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan

  antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka”.

  Good corporate governance adalah sistem dan struktur untuk mengelola

  perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham (stakeholder’s

  

value ) serta mengalokasikan berbagai pihak yang berkepentingan dengan

  perusahaan seperti kreditor, supplier, asosiasi usaha, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas (Tangkilisan, 2003).

  Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa good corporate

  

governance merupakan suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis

  tentang peran dewan komisaris, dewan direksi, pemegang saham, dan para

  

stakeholder lainnya untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas

  perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya. Pelaksanaan good

  

corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan cara

  meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan komisaris dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan umumnya good corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor.

2.1.4.2 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance

  Komitmen dari seluruh jajaran pengurus perusahaan hingga pegawai yang terendah untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam good corporate

  

governance merupakan faktor penentu terlaksananya good corporate governance

  dalam perusahaan, maka dari itu seluruh karyawan wajib untuk menjunjung tinggi prinsip good corporate governance. National Committee on Governance (2006 dalam Agoes dan Ardana, 2013) mengemukakan lima prinsip good gorporate

  

governance yaitu: Transparansi (Transparancy), Akuntabilitas (Accountability),

  Tanggung jawab (Responsibility), Independensi (Independency) dan Kesetaraan (Fairness).

1. Transparansi (Transparancy)

  Transparansi adalah adanya pengungkapan suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut tentang keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan mudah dipahami untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lain.

  2. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas dimaksudkan sebagai prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya. Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara dewan komisaris, dewan direksi, dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain, agar perusahaan mampu mempertanggung jawabkan kinerjanya secara jelas dan transparan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi tersebut, karena akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

  3. Tanggung jawab (Responsibility) Prinsip Tanggung jawab adalah prinsip di mana para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Prinsip ini menunjukkan adanya kesesuaian

  (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat seta peraturan perundangan yang berlaku. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggung jawab sosial, menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan memelihara bisnis yang kuat.

  4. Independensi (Independency) Prinsip Independesi atau kemandirian merupakan prinsip yang mengatur tentang pengelolaan perusahaan secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Upaya melancarkan asas good corporate governance dilakukan dengan mengelola perusahaan secara independen sehingga masing- masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Independensi diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komite dalam komisaris, dan pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus objektif tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.

  5. Kesetaraan (Fairness) Prinsip kesetaraan (Fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham. Keadilan yang diberikan merupakan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya.

2.1.4.3 Manfaat dan Tujuan Good Corporate Governance

  Menurut Gunarsih (2003 dalam Hardikasari, 2011) “esensi corporate

  

governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau

  pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap

  

shareholder dan pemakai kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan

  peraturan yang berlaku”. Good corporate governance dapat memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif.

  Beberapa manfaat penerapan good corporate governance adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan dengan lebih baik, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders, 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat lebih meningkatkan nilai perusahaan (corparate value),

  3. Mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen,

  4. Meningkatkan nilai saham perusahaan sehingga dapat meningkatkan citra perusahaan kepada publik lebih luas dalam jangka panjang,

5. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

  Tujuan good corporate governance adalah sebagai berikut : 1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham, 2.

  Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholder non pemegang saham,

3. Meningkatkan nilai perusahaan dan pemegang saham, 4.

  Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau board of

  directors dan manajemen perusahaan, 5.

  Meningkatkan mutu hubungan board of directors dengan manajemen senior perusahaan.

2.1.4.4 Implementasi Good Corporate Governance

  Implementasi terhadap prinsip-prinsip good corporate governance di Indonesia telah diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan. Peraturan dan undang-undang berupaya untuk mendorong berbagai perusahaan untuk melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance dalam melakukan kegiatan operasional perusahaan tersebut. Dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara, menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan good corporate

  

governance secara konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip good corporate

governance sebagai landasan operasionalnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk

  meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan berlandaskan peraturan perundang- undangan dan nilai-nilai etika.

  Pelaksanaan prinsip Transparansi (Transparancy) dilakukan agar perusahaan senantiasa menjaga dan meningkatkan pengungkapan suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, dan jelas serta dapat dibandingkan dengan keadaan yang menyangkut tentang keuangan dan informasi non keuangan. Akuntabilitas (Accountablity) dengan menekankan pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Tanggung jawab (Responsibility) untuk menunjukkan adanya kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat seta peraturan perundangan yang berlaku.

  Independensi (Independency) dilakukan agar perusahaan dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain serta untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Pelaksanaan kesetaraan (Fairness) dilakukan agar perusahaan senantiasa memberikan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Penerapan prinsip-prinsip Good

  

Corporate Governance dilakukan agar menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien dalam suatu perusahaan. Menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien dibutuhkan suatu bentuk komitmen dan kesadaran penuh dari seluruh jajaran organ perusahaan untuk menjalankan kegiatan perusahaan berdasarkan sistem tata kelola perusahaan yang baik.

2.1.5 Kepemilikan Institusional

  Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi (Beiner et al dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007).

  Kemampuan manajer perusahaan untuk mengelola laba secara oportunistik dapat dibatasi oleh efektivitas pengawasan oleh para shareholder khususnya investor institusional.

  Kepemilikan institusional diukur sebagai persentase saham yang dimiliki oleh lembaga yang diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan. Adanya kepemilikan saham institusional dalam perusahaan dapat membantu untuk meningkatkan pembiayaan jangka panjang dengan biaya yang menguntungkan.

  Para investor institusional bertindak sebagai sumber utang jangka panjang karena mereka bersedia memberi pinjaman kepada perusahaan yang membutuhkan dana.

  Para investor institusional dapat berfungsi sebagai perangkat pemantauan yang efektif atas keputusan-keputusan strategis perusahaan.

  Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif.

2.1.6 Komite Audit

  Keberadaan komite audit melalui surat edaran Bapepam Nomor SE03/PM/2002. Dalam pelaksanaan tugasnya komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk:

  1. Meningkatkan kualitas laporan keuangan, 2.

  Menciptakan kedisiplinan dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan.

  3. Meningkatkan efektivitas fungsi internal audit maupun eksternal audit.

  4. Mengindentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.

  Komite audit mempunyai peran yang penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai serta dilaksanakannya

  

good corporate governance . Dengan berjalannya fungsi komite audit secara

  efektif, maka control terhadap perusahaan akan lebih baik sehingga konflik keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan sendiri dapat diminimalisasi.

2.1.7 Dewan Komisaris Independen

  Pengertian komisaris menurut Emirzon ( dalam Wulandari 2013) adalah lembaga yang bertugas mengawasi atau mengontrol jalannya perusahaan yang dipimpin oleh dewan direksi. Pembentukan Komisaris Independen ini didasarkan oleh keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dalam PT terbuka dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) perusahaan tercatat wajib memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali.

  Proporsi dewan komisaris independen dalam mekanisme good corporate

  

governance berperan penting tidak hanya melihat kepentingan pemilik tetapi juga

  kepentingan perusahaan secara umum. Karakteristik dewan komisaris khususnya komposisi dewan komisaris independen dapat menjadi suatu mekanisme yang menentukan tindakan manajemen laba. Dewan komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Jika fungsi independensi dewan direksi cenderung lemah, maka ada kecenderungan terjadinya moral hazard yang dilakukan oleh para direktur perusahaan untuk kepentingannya melalui pemilikan perkiraan-perkiraan akrual yang berdampak pada manajemen laba.

2.1.8 Ukuran Dewan Komisaris

  Dewan komisaris merupakan mekanisme penggendalian intern tertinggi yang bertanggung jawab untuk memonitor tindakan manajemen punjak.

  Berdasarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) Nomor: Kep-315/BEJ/06 (2000 dalam sari, 2010) “mengharuskan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk memiliki dewan komisaris yang memonitor perusahaan agar tercipta Good

  

Corporate Governance di Indonesia”. Artinya Dewan Komisaris merupakan

  organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan telah melaksanakan GCG.

  Ukuran dewan komisaris yang dimaksud disini adalah banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan. Ukuran dewan komisaris menentukan tingkat keefektifan pemantauan kinerja perusahaan. Menurut Chtourou (2001 dalam Sari, 2010) “jumlah dewan yang semakin besar maka mekanisme monitoring manajemen perusahaan akan semakin baik”.

  2.1.9 Ukuran Dewan Direksi

  Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Dewan direksi juga merupakan salah satu indikator dalam pelaksanaan good corporate governance yang bertugas dan bertanggungjawab untuk menjalankan manajemen perusahaan.

  2.1.10 Konvergensi IFRS

  International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah standar, interpretasi dan kerangka kerja dalam rangka Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yang diadopsi oleh International Accounting Standards Board (IASB). Banyak standar membentuk bagian dari IFRS. Sebelumnya IFRS ini lebih dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS) (Lestari, 2012).

  Seperti yang diungkapkan dalam Media Akuntansi (2005) (Pangabean,2007 dalam Wardhani 2009) IFRS telah diterapkan oleh sejumlah negara di dunia, dengan tingkat adopsi yang berbeda-beda. Adopsi IFRS dapat dilakukan dalam lima tingkatan, yaitu: 1.

  Full adoption, dimana suatu negara mengadopsi seluruh produk IFRS dan menerjemahkannya secara word by word.

  2. Adapted, dimana suatu Negara mengadopsi seluruh IFRS tetapi disesuaikan dengan kondisi suatu negara.

  3. Piecemeal, dimana suatu negara mengadopsi sebagian nomor IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja.

  4. Referenced, dimana suatu negara menjadikan IFRS sebagai referensi dalam pembentukan standar yang dibuat sendiri oleh badan pembuat standar.

  5. Not adoption at all, dimana suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS.

  Lestari (2012) menyebutkan manfaat adopsi IFRS adalah sebagai berikut: a. Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar

  Akuntansi Keuangan yang dikenal secara internasional (enhance comparability).

  b.

  Meningkatkan arus investasi global melalui transparansi.

  c.

  Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang fund raising melalui pasar modal secara global.

  d.

  Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.

  e.

  Meningkatkan kualitas laporan keuangan, dengan antara lain, mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.

  Kustina (2012) menyatakan konvergensi IFRS dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:

  1. Tahap adopsi (2008 - 2011) yang meliputi adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku.

2. Tahap persiapan akhir (2011) yaitu penyelesaian infrastruktur yang diperlukan.

  3. Tahap implementasi (2012) yaitu penerapan pertama kali PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS dan evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif. Berdasarkan roadmap tersebut maka Indonesia telah memasuki tahap persiapan akhir di tahun 2011 setelah sebelumnya melalui tahap adopsi (2008 –

  2010). Berikut ini Tabel perkembangan konvergensi PSAK ke IFRS:

Tabel 2.1 Perkembangan Konvergensi PSAK Ke IFRS Tahap Adopsi (2008 – 2010) Tahap Persiapan Akhir (2011) Tahap Implementasi (2012)

  Adopsi seluruh IFRS ke PSAK

  Penyelesaian persiapan infrastruktur yang diperlukan

  Penerapan PSAK berbasis IFRS secara bertahap

  Persiapan infrastruktur yang diperlukan Penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis

  IFRS Evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif

  Evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku

  Kustina (2012) juga menyebutkan bahwa Perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik dipersyaratkan oleh regulasi untuk menyusun laporan keuangan berdasarkan standar, serta untuk dapat mengimplementasikan IFRS perusahaan harus menyiapkan sumber daya manusia dan dana yang cukup untuk melakukan pemutakhiran sistem dan SOP yang saat ini telah ada.

  Komitmen pimpinan perusahaan juga diperlukan untuk mendukung proses implementasi IFRS tersebut. Besarnya komitmen pimpinan terkadang dipengaruhi oleh kepedulian stakeholder pengguna laporan keuangan. Kementerian BUMN sebagai stakeholder utama BUMN sangat mempengaruhi bagaimana proses implementasi PSAK baru ini dalam perusahaan.

  Secara garis besar Kustina (2012) membagi dampak konvergensi IFRS menjadi empat bagian, yaitu:

  1. Dampak IFRS pada sistem akuntansi Adanya peningkatan penggunaan nilai wajar (fair value), adanya penggunaan ” judgment” karena karakteristik IFRS yang lebih berbasis prinsip (principle

  based) sedangkan PSAK merupakan rule based, dan penggunaan persyaratan pengungkapan yang akan lebih banyak, baik kualitatif maupun kuantitatif.

  2. Dampak IFRS pada sistem informasi perusahaan Hal ini disebkan karena dengan konvergensi IFRS menyebabkan perbedaan standar yang signifikan antara IFRS dan standar yang berlaku sebelumnya.

  3. Dampak IFRS pada sumber daya manusia pada perusahaan Penerapan IFRS membutuhkan sumber daya profesional yang memiliki kemampuan untuk melakukan judgment dalam menggunakan standar IFRS, baik dalam hal mempersiapkan laporan keuangan maupun dalam hal pengauditan.

4. Dampak IFRS pada sistem organisasi perusahaan

  Penerapan IFRS tidak hanya mengubah cara organisasi membuat laporan keuangan, namun juga mengubah bagaimana perusahaan menjalankan bisnisnya. Diperlukan pengendalian internal khususnya yang terkait dengan pelaporan keuangan agar perusahaan dapat memnuhi semua persyaratan yang ditetapkan.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

  Penelitian ini juga pernah di angkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitian- penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini.

  Penelitian yang dilakukan Ningsaptiti pada tahun 2010 dengan judul “Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Good Corporate

  

Governance Terhadap Manajemen Laba”, dengan manajemen laba sebagai

  variabel dependen dan variabel independen terdiri dari ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dewan komisaris, spesialisasi industri KAP, komite audit. Penelitian ini dilakukan dengan sampel 37 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2008. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP berpengaruh signifikan secara parsial terhadap manajemen laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

  Selanjutnya pada penelitian Suryani (2010) “Pengaruh Mekanisme

  

Corporate Governance dan Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba pada

  Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI” . Penelitian ini mengambil 55 sampel dari 137 populasi perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2008. Variabel dependen dari penelitian ini adalah manajemen laba dan variabel independen yang digunakan adalah kepemilikan intitusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komposisi dewan komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan. Dari penelitian ini disimpulkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh negative signifikan terhadap manajemen laba sedangkan komite audit dan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Pada penelitian Ujianto & Pramuka (2007) dengan judul “Mekanisme

  

Corporate Governance , Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”. Disimpulkan

  kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan dan proporsi dewan komisaris berpengaruh positif signifikan. Secara bersama-sama variabel berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  Pada penelitian yang dilakukan Herawaty dan Guna (2010) dengan judul “Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya Terhadap Manajemen Laba” disimpulkan bahwa laverage, kualita audit, dan profitabilitas berpengaruh terhadap manaejemen laba. Sedangkan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komite audit, komisaris independen, independensi auditor dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Cahyati pada tahun 2011 dalam jurnal akuntansi keuangan volume 1 No.2, januari 2011 dengan judul “Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi IFRS” menyimpulkan bahwa secara teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi manajemen laba yang dilakukan perusahaan karena standar IFRS yang berbasis prinsip, lebih condong pada penggunaan nilai wajar, dan pengungkapan yang lebih banyak dan rinci diharapkan dapat mengurangi manajemen laba.

  Penelitian Winayu pada tahun 2013 dengan judul “Manajemen Laba Sesudah dan Sebelum Konvergensi IFRS”, pada penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah IFRS diterapkan.

  Pada penelitian Marsono (2013) yang berjudul “Analisis Komparasi Kualitas Informasi Akuntansi Sebelum dan Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS di Indonesia” disimpulkan bahwa kualitas akuntansi sebelum dan sesudah pengadopsian penuh IFRS menunjukkan tidak adanya perbedaan ini disebabkan oleh faktor infrastruktur. Infrastruktur disini meliputi DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) sebagai financial accounting standard setter di Indonesia, kondisi peraturan perundang-undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS serta kurang siapnya sumber daya manusia dan dunia pendidikan di Indonesia.

  Penelitian oleh Rudra pada tahun 2012 dengan judul “Does IFRS

  

Influence Earnings Management? Evidence From India” juga menyimpulkan

bahwa penerapan IFRS tidak menjamin akan kualitas laporan keuangan.

  Penelitian Widyawati dan Angraita (2013) yang berjudul “Pengaruh Konvergensi

  IFRS Efektif Tahun 2011, Kompleksitas Akuntansi, dan Probitabilitas Kebangkrutan Perusahaan Terhadap Timeliness dan Manajemen Laba” menyimpulkan Konvergensi IFRS dalam PSAK yang efektif di tahun 2011 memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba, kompleksitas akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat manajemen laba , dan perusahaan dengan status probabilitas kebangkrutan memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap tingkat manajemen laba.

  Penelitian Trisanti (2012) “The Effect of IFRS Adoption on Income

  

Smoothing Practices by Indonesian Listed Firms ” menyimpulkan bahwa perataan

  laba pada perusahaan yang terdaftar di BEI telah berkurang sejak diterapkannya

  IFRS. Trisanti juga menyebutkan bahwa regulator dan pembuat standar di Indonesia harus menyadari bahwa tantangan besar tidak hanya untuk mengeluarkan standar dan peraturan tetapi untuk memastikan bahwa mereka dapat dengan baik disosialisasikan, diimplementasikan dan diawasi.

  Penelitian Rusmin dalam Jurnal bisnis dan akuntansi (2011) dengan judul “Internal Governance Monitoring and Earnings Quality”, disimpulkan bahwa komisaris independen berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas laba.

  Selanjutnya pada penelitian Fidio, Ibikunle, dan Oba (2013) dengan judul “Corporate governance Mechanism and reported Earnings Quality in Listed

  

Nigerian Insurance Firm ” juga disimpulkan komisaris independen, dewan

komisaris dan komite audit berpengaruh negatif terhadap kualitas laba.

  Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu menggunakan komponen good corporate governance sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen, dan konvergensi IFRS sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen sementara pada penelitian ini peneliti mengggunakan komponen good corporate governance dan konvergensi IFRS sebagai variabel independen dan manajemen laba sebagai variabel dependen.

  Selain itu perusahaan yang dijadikan sampel pada penelitian sebelumnya adalah perusahaan manufaktur, perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan perusahaan BUMN sebagai sampel penelitian. Perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah diharapkan dapat menunjukkan penerapan good corporate governance dan konvergensi IFRS yang baik, sehingga diharapkan dapat mengurangi praktik manajemen laba (earnings management).

  3. Dewan komisaris

  Kepemilikan institusional Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan secara parsial terhadap manajemen laba,

  Manajemen laba Independen: 1.

  Dependen: 1.

  Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen

  Corporate Governance dan

  2. Suryani (2010) “Mekanisme Good

  Ukuran perusahaan, konsentrasi kepemilikan, dan spesialisasi industri KAP berpengaruh signifikan secara parsial terhadap manajemen laba, sedangkan dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

  4. Spesialisasi industri KAP

  2. Konsentrasi kepemilikan

  Berikut ini disajikan table penelitian terdahulu:

  Ukuran perusahaan

  Manajemen laba Independen: 1.

  Manajemen Laba” Dependen: 1.

  Corporate Governance Terhadap

  1. Ningsaptiti (2010) “Anallisis Pengaruh Ukuran Perusahaan dan Mekanisme Good

  Hasil Penelitian