BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance and Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

  Teori keagenan merupakan rating yang diturunkan dari teori ekonomi neoklasik Adam Smith dalam Hadiprajitno (2013). Smith (1776) menjelaskan bahwa manajer perusahaan yang bukan pemilik sepenuhnya perusahaan, tidak dapat diharapkan berkinerja baik sesuai tujuan pemilik lainnya. Hubungan keagenan merupakan hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak menjadi

  

agent dan pihak yang lain bertindak sebagai principal (Hendriksen dan Van

  Breda, 2000). Menurut Anthony dan Govindarajan (2005), teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Teori keagenan memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent.

  Eisenhard (1989) dikutip dalam Isnanta (2008) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori keagenan yaitu:

  1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interst)

  2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality)

  3. Manusia selalu menghindari resiko (risk averse).

  Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Teori keagenan menunjukkan bahwa perusahaan dapat dilihat sebagai suatu hubungan kontrak (loosely defined) antara pemegang sumber daya. Suatu hubungan kagenan muncul ketika satu atau lebih individu, yang disebut pelaku (principals), mempekerjakan satu atau lebih individu lain, yang disebut agent, untuk melakukan layanan tertentu dan kemudian mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan kepada agent.

  Dijelaskan dalam Jensen dan Meckling (1976), Weston dan Brigham (1994), bahwa masalah keagenan dapat terjadi dalam 2 bentuk hubungan, yaitu hubungan antara pemegang saham dan manajer ; dan hubungan antara pemegang saham dan kreditor.

  Hubungan ini tidak selalu harmonis, sehingga teori keagenan akan selalu berkaitan dengan konflik agency atau konflik kepentingan antara agen dan pelaku.

  Hal ini memiliki implikasi untuk tata kelola perusahaan dan etika bisnis. Ketika keagenan terjadi cenderung menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yaitu biaya yang dikeluarkan dalam rangka untuk mempertahankan hubungan keagenan yang efektif (misalnya, menawarkan bonus kinerja manajemen untuk mendorong manajer bertindak untuk kepentingan pemegang saham). Oleh karena itu, teori keagenan telah muncul sebagai model yang dominan dalam literatur ekonomi keuangan, dan secara luas dibahas dalam konteks etika bisnis. Biaya keagenan didefinisikan sebagai biaya yang ditanggung oleh pemegang saham untuk mendorong manajer dalam memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham daripada berperilaku mementingkan diri sendiri. Gagasan biaya agen mungkin dihubungkan dengan makalah Jensen dan Meckling (1976) di Journal of Finance, yang menyarankan bahwa tingkat utang perusahaan dan tingkat manajemen ekuitas baik dipengaruhi oleh keinginan untuk mengendalikan biaya kantor. Ada tiga jenis utama dari biaya agen:

1. Pengeluaran untuk memantau kegiatan manajerial, seperti biaya audit.

  2. Pengeluaran untuk struktur organisasi dengan cara yang membatasi perilaku manajerial yang tidak diinginkan, seperti menunjuk anggota luar dewan direksi atau restrukturisasi bisnis perusahaan unit dan hirarki manajemen.

  3. Biaya kesempatan yang dapat terjadi ketika pemegang saham-dikenakan pembatasan, seperti persyaratan untuk suara pemegang saham pada permasalahan tertentu, membatasi kemampuan manajer untuk mengambil tindakan yang meningkatkan kekayaan pemegang saham.

  Dengan tidak adanya upaya pemegang saham untuk mengubah perilaku manajerial, biasanya akan ada kehilangan sebagian kekayaan pemegang saham karena tindakan manajerial tidak pantas. Di sisi lain, biaya agen akan berlebihan jika pemegang saham berusaha untuk memastikan bahwa setiap tindakan manajerial sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, jumlah optimal biaya agen yang harus ditanggung oleh pemegang saham ditentukan dalam "konteks biaya biaya-manfaat agen” harus ditingkatkan selama setiap dolar yang dihabiskan meningkatkan hasil setidaknya kenaikan dolar dalam kekayaan pemegang saham.

  Prinsipal menginginkan return yang besar dan cepat atas investasi mereka dan menilai prestasi manajer berdasarkan kemampuannya untuk memperbesar laba yang akan dialokasikan pada pembagian dividen. Untuk memenuhi tuntutan prinsipal dan mendapat insentif yang tinggi, manajer akan memainkan beberapa kondisi perusahaan sedemikian rupa agar seolah-olah target tercapai bila tidak ada pengawasan yang memadai dalam kinerja manajer.

2.1.2 Manajemen Laba Manajemen laba adalah hal yang sangat kontroversial di dunia akuntan.

  Pernyataan umum mengenai apakah manajemen laba baik atau buruk sulit dibuat. Kebanyakan bergantung pada langkah-langkah yang dilakukan dan motivasi yang mendasari dilakukannya manajemen laba (Mulford dan Comiskey, 2010).

  Manajemen laba sekilas tampak berhubungan dengan tingkat perolehan laba atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini terjadi karena ukuran laba sering dijadikan ukuran keberhasilan manajemen memimpin perusahaan dan suatu hal yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima manajer bergantung pada besar kecilnya laba yang mampu dihasilkan perusahaan tersebut (Gumanti, 2000). Dalam kamus akuntansi, Earnings Management disebut dalam berbagai istilah : seperti “window dressing” atau “lipstick accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik. Ada istilah cooked book atau income smoothing untuk mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor. Semua istilah tersebut berkonotasi negative karena ingin menciptakan laba yang disortif inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak memberikan informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai menjadi “fuzzy numbers” atau angka yang membingungkan dalam Harahap (2011). Scott (2003), mendefinisikan earnings management sebagai ”the choice by a manager of

  

accounting policies so as to achieve some specific objective” yang kurang lebih

  memiliki arti : pilihan yang dilakukan oleh manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.

  Berbicara mengenai manajemen laba tidak terlepas dari Teori Akuntansi Positif dan Teori Keagenan. Belkaoui (2007) mengemukakan bahwa, teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham, dan aparat pengatur/politisi adalah rasional dan bahwa mereka berusaha memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan kompensasi mereka dan kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif biaya dan manfaat dari prosedur-prosedur akuntansi alternatif dengan cara demikian untuk memaksimalkan keuntungan mereka.

  Astika (2000) menjelaskan terjadinya manajemen laba lewat Teori Akuntansi Positif dan Teori Keagenan ditinjau dari sisi teori akuntansi positif, manajemen laba yang dilakukan eksekutif dapat dijelaskan melalui teori kontrak.

  Proses kontrak tersebut menghasilkan hubungan keagenan. Hubungan keagenan muncul ketika principal mengontrak pihak lain (agent) untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh principal. Dengan kontrak tersebut principal mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Ternyata hubungan tersebut konflik karena, baik principal maupun agen, keduanya merupakan pihak yang mempunyai sifat, yaitu memaksimumkan kesejahteraannya

  

(utility maximiser) . Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk

  menempatkan keyakinan bahwa agen akan selalu bertindak untuk kepentingan

  

principal . Masalah keagenen muncul karena perilaku oportunis agen. Agen

  cenderung memaksimumkan setiap peluang yang ada untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan principal. Scott (2000) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua: 1.

  Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management).

2. Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient

  contracting (efficient earnings management), dimana manajemen laba

  memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.

  Menurut Scott (2003) beberapa motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba, antara lain sebagai berikut:

  1. Motivasi bonus, yaitu manajer akan berusaha mengatur laba bersih agar dapat memaksimalkan bonusnya.

  2. Motivasi kontrak, berkaitan dengan utang jangka panjang, yaitu manajer menaikkan laba bersih untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami technical default.

  3. Motivasi politik, aspek politis ini tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan industri strategis karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak.

  4. Motivasi pajak, pajak merupakan salah satu alasan utama perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan.

  5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer), banyak motivasi yang timbul berkaitan dengan CEO, seperti CEO yang mendekati masa pensiun akan meningkatkan bonusnya, CEO yang kurang berhasil memperbaiki kinerjanya untuk menghindari pemecatannya, CEO baru untuk menunjukkan kesalahan dari CEO sebelumnya.

  6. Penawaran saham perdana (IPO), manajer perusahaan yang going public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya dengan harapan mendapatkan respon pasar yang positif terhadap peramalan laba sebagai sinyal dari nilai perusahaan.

  7. Motivasi pasar modal, misalnya untuk mengungkapkan informasi privat yang dimiliki perusahaan kepada investor dan kreditor.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen laba

2.1.3.1 Good Corporate Governance

  Good Corporate Governance merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk melindungi para investor dari perilaku oportunistik pengelola perusahaan.

  

Good Corporate Governance dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang

  dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya secara baik, sesuai dengan hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan semua pihak (Khomsiyah, 2005) dalam BEI. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Toha (2007) mendeskripsikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Sementara Pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri BUMN dalam Toha (2007), mengartikan “Good Corporate Governance”, ialah suatu suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.

  Penerapan good corporate governance principples adalah penting dan strategis bagi pembinaan ekonomi nasional, tetapi proses untuk menginternalisasikan prinsip-prinsip tersebut kedalam tubuh atau struktur organisasi memerlukan waktu yang tidak pendek dan melalui proses yang tidak sederhana (Toha, 2007). Menurut Burhanuddin Abdullah dalam Toha (2007), menyatakan bahwa secara filosofis yang dapat mendorong pengarahan bagi terciptanya governance yang bersih, berwibawa dan efektif ialah: 1.

  Melalui iklim pasar displin yang kuat, baik sesama pelaku yang ada pada peer

  

group tertentu, atau pun karena ada public atau social control yang concern

  dan mampu memberikan tekanan agar sebuah lembaga senantiasa weel- governed .

  2. Governance berjalan baik karena ada law-enforcement, baik pada skala institusi maupun nasional, yang mampu memberikan kepastian bahwa hukum akan berlaku efektif apabila terjadi penyimpangan.

  Menurut Wibowo dan Tangkilisan (2004), tujuan yang ingin dicapai perusahaan dalam penerapan corporate governance antara lain:

1. Memaksimalkan nilai perusahaan agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat untuk mendukung iklim investasi.

  2. Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan, dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian komisaris, direksi, dan RUPS.

  3. Mendorong pemegang saham, anggota komisaris, dan direksi dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan yang dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap UU atau ketentuan yang berlaku.

4. Kesadaran adanya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.

  Setiap Bank harus memastikan bahwa asas Good Corporate Governance diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di seluruh jajaran bank. Asas Good

  

Corporate Governance yang harus dipastikan pelaksanaanya meliputi

  transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, indepedensi serta kewajaran dan kesetaraan. Asas Good Corporate Governance diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) bank dengan memperhatikan kepentingan pemegang saham, nasabah serta pemangku kepentingan lainnya.( Komite Nasional Kebijakan Governance, 2012) : 1.

  Transparansi Transparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan

  (disclosure) dan penyediaan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Transparansi diperlukan agar bank menjalankan bisnis secara objektif, profesional, dan melindungi kepentingan konsumen.

  2. Akuntabilitas Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Bank sebagai lembaga dan pejabat yang memiliki kewenangan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk itu bank harus dikelola secara sehat, terukur dan professional dengan memperhatikan kepentingan pemegang saham, nasabah, dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

  3. Responsibilitas Responsibilitas mengandung unsur kepatuhan terhadap peraturan perundang‐undangan dan ketentuan internal bank serta tanggung jawab bank terhadap masyarakat dan lingkungan. Responsibilitas diperlukan agar dapat menjamin terpeliharanya kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai warga korporasi yang baik atau dikenal dengan good corporate citizen .

  4. Independensi Independensi mengandung unsur kemandirian dari dominasi pihak lain dan objektifitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam hubungan dengan asas independensi (independency), bank harus dikelola secara independen agar masing‐masing organ perusahaan beserta seluruh jajaran dibawahnya tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

5. Kewajaran dan kesetaraan

  Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang adil dan kesempatan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan kegiatannya, bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham, konsumen dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan dari masing‐masing pihak yang bersangkutan.

  Seperti yang sudah diketahui diatas, ada tiga indikator good corporate

  governance yang akan diangkat dalam penelitian ini. Indikator mekanisme good

corporate governance tersebut dalam penelitian ini adalah ukuran dewan

  komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan kepemilikan institusional.

a. Ukuran dewan komisaris

  Jensen (1993), Lipton dan Lorsch (1992) dalam Beiner et al. (2003) merupakan yang pertama menyimpulkan bahwa ukuran dewan komisaris merupakan bagian dari mekanisme corporate governance. Hal ini diperkuat oleh pendapat Allen dan Gale (2000) dalam Beiner et al (2003) yang menegaskan bahwa dewan komisaris merupakan mekanisme governance yang penting. Mereka juga menyarankan bahwa dewan komisaris yang ukurannya besar kurang efektif dari pada dewan yang ukurannya kecil. Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap efektif tidaknya pengawasan kinerja manajemen. Menurut Jansen (1993), ukuran dewan komisaris yang relatif kecil dapat membantu meningkatkan kinerja mereka dalam memonitor manajer. Ukuran dewan komisaris yang terlalu besar (dalam hal ini Jansen menyebutkan lebih dari tujuh orang) tidak dapat berfungsi secara optimal dan akan lebih mudah dikontrol oleh manajer, terutama karena dewan komisaris sendiri disibukkan oleh masalah koordinasi. Jika manajer dapat mengontrol dewan komisaris serta adanya asimetris informasi maka akan leluasa bagi manajer melakukan manajemen laba.

b. Proporsi dewan komisaris independen

  Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mengungkapkan, “Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata

  • mata demi kepentingan perusahaan.”

  Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), BEI dalam Surat Edaran BEI No. SE-008/BEJ/12-2001 mewajibkan perusahaaan tercatat wajib memiliki komisaris independen dan komite audit.

  c.

  Kepemilikan Institusional

  Dan yang ketiga dari variable mekanisme good corporate governance ialah kepemilikan institusional. Kepemilikan Institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi dari keseluruhan saham perusahaan yang beredar. Kepemilikan institusional menurut Chen & Steiner (1999), akan mengurangi masalah keagenan karena pemegang saham institusional akan membantu mengawasi perusahaan sehingga manajemen tidak akan bertindak merugikan pemegang saham. Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen.

  Di Indonesia, kepemilikan saham institusional terbagi menjadi kepemilikan institusional eksternal dan kepemikan institusional internal (Mahadwarta, 2004).

  Kepemilikan saham eksternal adalah kepemilikan oleh lembaga investasi seperti dana pensiun, asuransi, reksadana, dan perusahaan investasi lainnya, dan menjadi bagian dari kepemilikan saham oleh publik. Kepemilikan institusional internal adalah kepemilikan saham oleh institusi bisnis seperti perseroan terbatas (PT).

  Jenis kepemilikan institusional dalam penelitian ini adalah kepemilikan publik.

2.1.3.2 Profitabilitas/Rentabilitas

  Profitabilitas ialah kemampuan perusahaan menghasilkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya (Harahap, 1997). Rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba disebut juga

  

operating ratio. Salah satu jenis ratio yang dikemukakan dalam rasio profitabilitas adalah Return on Aset. Return on Aset adalah rasio yang menunjukkan berapa besar laba bersih yang diperoleh perusahaan bila diukur dari nilai aktiva.

  Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Laba berfungsi dalam mengukur efektifitas bersih dari suatu operasi bisnis. Kinerja suatu entitas bisnis dapat dilihat melalui tingkat perolehan laba. Kinerja tersebut tercermin melalui profitabilitas perusahaan. Profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Return on asset adalah rasio keuntungan bersih pajak yang juga berarti suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari asset yang dimiliki perusahaan (Bambang, 1997). Return On Asset yang positif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk operasi perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan, sebaliknya jika Return on asset negatif menunjukkan bahwa total aktiva yang digunakan tidak memberikan keuntungan/rugi.

2.1.4 Bank

  Asal dari kata bank adalah dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti tempat penukaran uang. Secara umum pengertian bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai bank note. Sedangkan pengertian bank menurut Undang-

  

undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November

1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

  kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak dalam (tulisan wordpress.com, 3 Oktober 2013). Dari pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat agar lebih senang menabung. Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.

  Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank seringkali menghadapi risiko, seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, maupun risiko reputasi (Komite Nasional Corporate Governance, 2004). Dunia perbankan memiliki peraturan yang rumit dalam kegiatannya dibandingkan dengan industri lainnya.

  Sebagai contoh, bank harus memenuhi giro wajib minimum yang ditetapkan BI.

  Peraturan-peraturan tersebut ditetapkan pada dasarnya adalah untuk melindungi kepentingan rakyat selaku penyimpan dana.

2.2 Tinjauan Peneliti Terdahulu

  Penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi manajemen laba sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murhadi (2009) pada seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun pengamatan 2005-2007 menunjukkan bahwa Good

  

Corporate Governance berpengaruh signifikan terhadap praktik manajemen laba

  yang dilakukan oleh perusahaan, tapi dari ke lima indikator Good Corporate

  

Governance hanya Dualitas CEO dan Pemegang saham pengendali yang

  memiliki pengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Simamora (2011) juga melakukan penelitian yang sama, tetapi fukus terhadap industry perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama pengamatan periode tahun 2006-2010 yang menunjukkan bahwa mekanisme Good Corporate Governance tidak memberi pengaruh signifikan terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, komite audit secara parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba, hanya kepemilikan institusional yang mempunyai pengaruh.

  Isnanta (2007) dalam peneletiannya terdapa perbnakan yang terdaftar di BEJ menunjukkan bahwa Good Corporate Governance tersebut tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Aprianti (2012) melakukan penelitian yang sama halnya pada perusahaan perbankan yang terdafatar di Bursa Efek Indonesia selama pengamatan periode tahun 2009-2011, menunjukkan bahwa Good

  

Corporate Governance yang diproksikan kedalam leverage, kepemilikan

  instutisional berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba dan , proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh secara parsial terhadap manajemen laba.

  Dari penelitian-penelitian di atas semuanya bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2006) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba; kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba; proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.

  Sementara penelitian dari faktor Return On Asset, Ariyanti (2010) yang melakukan penelitian terhadap bank umum yang ada di Indonesia, menyimpulkan bahwa bahwa rasio-rasio keuangan bank (terutama LDR) mampu memprediksi perubahan Laba, tetapi CAR, NIM, ROA, NPL, BOPO tidak berpengaruh signifikan positif terhadap variabel perubahan laba. Sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Amertha (2012) mendapat kesimpulan kinerja perusahaan yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets) berpengaruh positif yang berarti pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba. Namun bertentangan dengan Harefa (2011) menyimpulkan bahwa CAR, BO/PO, ROA bernilai negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan laba. Berdasarkan uraian di atas dibuat ikhtisar pada tabel 2.1 yang menyajikan hasil penelitian-penelitian tentang Manajemen Laba.

Tabel 2.1 Ikhtisar Tinjauan Penelitian Terdahulu

  No Nama Peneliti

  Judul Variabel Penelitian

  Teknik Analisis

  Hasil Penelitian 1 Werner R.

  Murhadi (2009)

  Good Corporate Governance and Earnings Management Practices: An Indonesian Cases

  Variabel Independen : Good Corporate Governance Variabel Dependen : Manajemen Laba

  Generalized Methods of Moments

  GCG berpengaruh signifikan terhadap praktik EM dilakukan oleh perusahaan, Tapi dari ke lima indikator GCG hanya Dualitas CEO dan Pemegang saham pengendali memiliki pengaruh yang signifikan

  2 Nurleni Simamora (2011)

  Analisa Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

  Variabel Independen : Kepemilikan Institusional, Ukuran Dewan Komisaris, Proporsi Dewan Komisaris, Komite Audit Variabel Dependen : Manajemen Laba

  Metode Analisis Persamaan Regresi Berganda.

  Mekanisme GCG tidak memberi pengaruh signifikan terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba, Ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, komite audit secara parsial tidak mempunyai pengaruh terhadap dilakukannya tindakan manajemen laba Hanya kepemilikan institusional yang mempunyai pengaruh

  Lanjutan tabel 2.1

  Analisis Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

  Metode Analisis regresi berganda

  Variabel Independen: Kepemilikan Institusional Proporsi Dewan Komisaris Independen Kepemilikan Manajerial Variabel Dependen : Manajemen

  Mekanisme Corporate Governance, Manajamen Laba dan Kinerja Keuangan

  Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka (2006)

  5 Muh.

  Good corporate governance yang diproksikan kedalam leverage, kepemilikan instutisional berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba dan , proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh secara parsial terhadap manajeman laba

  Metode Analisis Regresi Berganda

  Variabel Independen: Leverage Kepemilikan Institusional Proporsi Dewan Komisaris Independen Komite Audit Variabel Dependen : Manajemen laba

  4 Fauziah Aprianti (2012)

  No Nama Peneliti

  Good Corporate Governance tersebut tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, tetapi berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

  Metode Analisis Linear Berganda

  Manajemen Laba, struktur perusahaan dan kinerja perusahaan.

  Pengaruh Good Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan terhadap Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan Manufaktur di BEJ

  3 Rudi Isnanta (2007)

  Hasil Penelitian

  Teknik Penelitian

  Judul Variabel Penelitian

  Kepemilikan institusional, jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba; Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap manajemen laba; Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh positif

  Lanjutan tabel 2.1

  No Judul Nama Peneliti Variabel Penelitian

  Teknik Penelitian

  Hasil Penelitian laba Kinerja Keuangan signifikan terhadap manajemen laba; Manajemen laba (discretionary accruals) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan (cash

  flow return on assets )

  6 Lilis Erna Ariyanti (2010)

  Analisis Pengaruh CAR, NIM, LDR, NPL, BOPO, ROA dan Kualitas Aktiva Produktif Terhadap Perubahan Laba pada Bank Umum di Indonesia

  Variabel Independen : CAR, NIM, LDR, NPL, BOPO, ROA dan Kualitas Aktiva Produktif Variabel Dependen : Perubahan Laba

  Metode Analisis Regresi Berganda dengan Persamaan kuadrat terkecil (ordinary

  least square –

  OLS) Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan bank (terutama LDR) mampu memprediksi perubahan Laba, tetapi CAR, NIM, ROA, NPL, BOPO tidak berpengaruh signifikan positif terhadap variabel perubahan laba.

  7 Sherly P.S Harefa (2011)

  Analisis Pengaruh Kinerja Bank dan Efisiensi Operasional terhadap Pertumbuhan Laba pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia

  Variabel Independen : CAR, ROA, LDR, LAR, BOPO Variabel Dependen : Perubahan Laba

  Metode Analisis Linear Berganda

  CAR, BO/PO, ROA Bernilai negatif dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan laba LAR, bernilai negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan laba LDR, berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan laba pada bank.

  Lanjutan tabel 2.1 Sumber : Lampiran 1

  Pengaruh Return On Asset Pada Praktik Manajemen Laba Dengan Moderasi Corporate Governance

  H 2 H 1 H 3 H 4 Profitabilitas

  (X4) Manajemen Laba (Y)

  Kepemilikan Institusional (X3) Return on Asset

  Ukuran Dewan Komisaris (X1) Good Coorporate Governance (GCG) Proporsi Dewan Komisaris Independen (X2)

  Penelitian ini menemukan bahwa kinerja perusahaan yang diproksikan dengan ROA (Return on Assets) berpengaruh positif yang berarti pihak manajemen melakukan tindakan manajemen laba.

  Moderat Regressi on Analysis (MRA)

  Variabel Independen : ROA (Return On Asset) Variabel Dependen : Manajemen Laba

  8 Indra Satya Prasavita Amertha (2012)

  Kerangka konseptual menurut Sekaran (1996) adalah suatu model

  Hasil Penelitian

  Teknik Penelitian

  Judul Variabel Penelitian

  No Nama Peneliti

2.3 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  konseptual yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor- faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.

  Ukuran dewan komisaris berarti jumlah dewan komisaris yang ada dalam suatu perusahaan. Jumlah dewan komisaris yang terlalu besar akan mengurangi efektivitas pengawasan terhadap kinerja manajemen. Komite Nasional Kebijakan Governance (2004) mengemukakan, “Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan.”

  Proporsi dewan komisaris independen diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan. Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan akan mengurangi tindakan manajemen laba.

  Penelitian yang dilakukan oleh Nikmah dan Suranta (2005) menunjukkan bahwa institusional selaku pemilik perusahaan memiliki insentif untuk membatasi perilaku manajemen laba yang dilakukan manajer atas investasi yang telah dilakukannya, sehingga kepemilikan institusional yang lebih besar mampu melakukan mekanisme monitoring atas tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh manajer perusahaan.

  Profit (laba) yang disajikan pada laporan keuangan digunakan sebagai indikator kinerja pihak manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Laba berfungsi dalam mengukur efektifitas bersih dari suatu operasi bisnis. Kinerja suatu entitas bisnis dapat dilihat melalui tingkat perolehan laba. Kinerja tersebut tercermin melalui profitabilitas perusahaan. Profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Return on asset adalah rasio keuntungan bersih pajak yang juga berarti suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian dari asset yang dimiliki perusahaan (Bambang, 1997). Return On Asset yang positif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk operasi perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan, sebaliknya jika Return on asset negatif menunjukkan bahwa total aktiva yang digunakan tidak memberikan keuntungan/rugi.

2.4 Hipotesis Penelitian

  Menurut Sekaran (1996) Hipotesis adalah hubungan logis yang menduga

  antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan untuk diuji. Hubungan menduga berdasarkan jaringan asosiasi dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1 : Ukuran dewan komisarisberpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. H2 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  H3 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  H4 : Return On Asset berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance and Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 36 92

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (agency theory) - Analisis Pengaruh Good Corporate Governance Dan Konvergensi Ifrs Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Bumn Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Agensi - Pengaruh Corporate Governance dan Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Good Corporate Governance, Kualitas Auditor Dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 17 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Corporate Governance, Leverage, Kualitas Audit dan Employee Diff Terhadap Manajemen Laba: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek In

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Likuiditas, Laba, Dan Arus Kas Dapat Memprediksi Kondisi Financial Distress Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Pengaruh Karakteristik Komite Audit Terhadap Audit Report Lag Pada Perusahaan Manufaktur Barang Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2012

0 1 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Stakeholders - Pengaruh Corporate Social Responsibility dan Kinerja Keuangan Pada Nilai Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) - Analisis Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba : Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdapat Di Bursa Efek Indonesia (

0 0 21

Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance and Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)

0 0 15