Pemilu di Singapura Declining of PAP and

Nama: Andi Wira Pratama
NPM: 1306412703
Jurusan: Ilmu Politik

Pemilu di Singapura: Declining of PAP and Managing
Oppositionalism
Pendahuluan
Biasanya, negara yang menganut demokrasi, sudah dikenal sebagai negara yang maju dan
berkecukupan. Hal ini bisa dilihat dari tingginya kualitas hidup di negara- negara yang maju,
seperti di kawasan Eropa Barat. Namun, ada hal yang menarik yang membantah tesis tersebut.
Singapura adalah sebuah negara yang tidak dianggap sebagai negara yang bebas. Akan tetapi,
negara tersebut terkenal sebagai negara yang maju dan berkecukupan.
Oleh karena itu, cukup menarik rasanya membahas Singapura lebih dekat. Otoritarianisme di
Singapura sudah terkenal di kalangan dunia internasional. Beberapa pengamat dan sebagian
kaum oposisi bahkan menganggap Singapura adalah negara yang berpartai tunggal, yaitu PAP.
Hal ini disebabkan karena PAP sudah memerintah negeri ini selama lima dekade dengan oposisi
yang kecil dan tidak berkekuatan.
Hal seperti ini lah yang menimbulkan tanda tanya, bagaimana mungkin sebuah partai bisa
berkuasa penuh selama lima dekade? Apa yang membiarkan mereka terus berkuasa? Mengapa
oposisi sama sekali tidak bertaring? Disinilah pentingnya membahas sistem pemilu dan segala
tetek bengeknya. Bagaimana pula, PAP dapat memanage oposisi dengan cukup apik?

Adapun selain membahas demikian, essay ini juga akan membahas penurunan kekuatan PAP.
Pada pemilu 2011, PAP mengalami penurunan suara dan kekuatan oposisi meningkat. Hal ini
terbukti dengan adanya penambahan kursi oleh oposisi.

Pembahasan
Sejarah PAP
PAP adalah partai yang awalnya berisikan kelas menengah dan professional yang pernah
berkuliah di Inggris. Lee Kuan Yew, salah seorang pendirinya, terkenal cukup moderat. PAP
awalnya memperjuangkan bergabungnya Singapura ke Federasi Malaysia, kewarganegaraan bagi
masyarakat Cina, pendidikan yang wajib dan gratis, serta reformasi kebijakan yaitu mengisi staff
pegawai negeri sipil dari ras Asia, membangun industri dalam negeri dan sebagainya.
PAP tidak langsung memerintah Singapura. David Marshall dengan LF ( League of Front) lah
yang pertama kali memerintah, tepat setelah pemilu 1955. Baik PAP dengan LF sama sama
datang dan berasal dari aliran kiri. Namun, David Marshall memiliki kesulitan dalam
memerintah Singapura, disebabkan karena kurang kuatnya posisi Chief Minister yang dia jabat
serta partainya yang tidak memperoleh kursi mayoritas sehingga membutuhkan partai oposisi
untuk melegislasi hukum.
PAP berhasil memenangkan pemilu awalnya di tahun 1959. PAP sendiri awalnya terbelah
menjadi dua kubu. Kubu pertama yaitu kubu moderat yang dipimpin oleh Lee Kuan Yew. Kubu
kedua adalah kubu ekstrim yang dipimpin oleh seorang aktivis bernama Lim Chin Siong yang

beraliran komunis1. Adanya kubu ekstrim di kalangan PAP telah menyebabkan konflik dengan
LF selaku partai berkuasa, dan hal ini berakibat yakinnya Inggris akan adanya militansi komunis
di Singapura. Hal ini tentu memberikan alasan mengapa Lee Kuan Yew berusaha
mendisosiasikan kegiatannya dengan kalangan komunis. Dia berhasil melakukan hal tersebut dan
kaum militan yang ada di PAP akhirnya tersingkir.
Namun, ancaman kaum komunis masih nyata. Lim Chin Siong bahkan bersatu dengan David
Marshal dan membentuk BS (Barisan Sosialis). Namun, BS dan organ mereka akhirnya
mengalami penurunan kekuatan besar-besara. Konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dengan
Malaysia menyebabkan pemerintah Inggris melakukan penangkapan terhadap aktivis yang pro
komunis. Operasi tersebut dengan nama Operation Cold Store menangkap setengah dari komite
1

eksekutif BS dan juga menangkap lebih dari 150 orang. Sejak saat itu, BS tidak pernah lagi
menjadi ancaman bagi PAP.
PAP telah berkuasa di Singapura sejak tahun 1959. Semenjak pemilu tersebut, PAP selalu
memenangkan mayoritas suara di Singapura sampai sekarang ini.
Sistem Pemilu di Singapura
Pemilu di Singapura meniru dan mewarisi pemerintahan kolonial di Inggris. Pemilu di Singapura
menggunakan sistem distrik dan memakai prosedur winner takes all. Singapura menerapkan
simple majority di single member constituencies dari tahun 1959 sampai tahun 1987 walau

kemudian hal ini berubah dengan adanya penambahan. Penambahan tersebut misalnya adanya
GRC (Group Representative Constituency), NCMP (Non Constituency Member of Parliament),
Nominated Member of Parliament ( NMP), dan Elected Presidency2.
GRC adalah sistem dimana terjadi perubahan terhadap Single Member Constituency menjadi
Multimember Constituency, dimana warga harus memilih grup yang mana mereka
mengikutsertakan etnik minoritas di grup mereka. Skema NCMP diperuntukkan untuk kalangan
oposisi yang terbaik namun kalah dalam pemilu. Hal ini diperuntukan untuk menyediakan suara
oposisi di Parlemen, jikalau anggota parlemen yang terpilih dari kalangan oposisi berjumlah
lebih sedikit dari tiga orang. NMP yang diperkenalkan pada tahun 1990 diperuntukkan untuk
warga yang bukan partai untuk berpartisipasi di pemerintahan.
Dominasi oleh PAP dan Kontrol Terhadap Oposisi
PAP, tidak seperti partai politik di Barat, cenderung sangat skeptis terhadap demokrasi liberal
yang ada di barat. Hal ini disebabkan karena pengalaman buruk yang mereka alami, seperti
berhadapan dengan kaum komunis yang waktu itu adalah salah satu sayap mereka.
PAP juga memiliki alasan yang kuat bagi mereka untuk menjadi otoriter. Salah satunya adalah
Asian Values yang menekankan perbedaan nilai yang dianut antara Singapura dan Barat. Di
Singapura, bagi mereka, lebih diutamakan stabilitas, nilai kolektif dibandingkan dengan hak-hak
individu. Oleh karena itu, kebebasan individu boleh dikorbankan demi stabilitas masyarakat.

2


Stabilitas Singapura sangat diandalkan oleh PAP sebagai salah satu penyokong terbesar dari
ekonomi.
Mereka melakukan berbagai macam cara untuk menjaga stabilitas Singapura. Salah satunya
adalah dengan menggunakan Internal Security Act dan Preservation of Public

Security

Ordinance. Hukum ini digunakan untuk kaum oposisi yang biasanya kritis dan vocal terhadap
pemerintah dan dapat menahan serta memenjarakan tersangka tanpa proses ke pengadilan. Salah
satu yang menjadi korban dari hukum ini adalah Lim Chin Siong.
Aktivitas Mahasiswa dikontrol ketat oleh PAP dengan melalui kontrol keuangan terhadap serikat
mahasiswa. PAP bahkan mempengaruhi masa depan mahasiwa. Mahasiswa yang terkenal vokal
dan trouble-maker akan sulit menemukan pekerjaannya. Kita dapat melihat betapa kuatnya
pengaruh PAP di institusi pendidikan.
Saat ini, di Singapura, sangat sulit sekali membedakan PAP dengan pemerintah. PAP mengontrol
masyarakat begitu kuatnya, sampai-sampai mereka harus masuk ke pusat komunitas. Sebagai
contoh adalah kewajiban setiap guru TK untuk menjadi anggota PAP.
Pemerintah mengontrol dengan ketat media massa. Media massa berada dibawah pemerintah.
Pemerintah juga sangat mengkritisi media massa asing, yang dianggap mengancam keamanan

nasional. Selain media massa, pemerintah juga mengontrol ketat birokrasi, serikat dagang,
serikat buruh.
PAP juga menggunakan cara kasar untuk mencegah kaum oposisi. Sebagai contoh adalah JB
Jayaretnam, setelah beliau mengalahkan PAP di pemilu 1981 di distrik Anson, beliau langsung
diserang dengan tunduhan fraud, dan lalu dituntut agar bangkrut. Dr Chee Jong Suan, yang
merupakan kadindat oposisi yang bahkan hanya mengancam suara PAP dengan memperoleh
seperempat suara, dipecat dari NUS, dan bahkan dituntut untuk dibangkrutkan dengan tuduhan
defamasi.
Dalam kampanye politik, PAP cenderung mencegah suara oposisi agar terdengar. Belum lagi,
waktu kampanye yang sangat singkat sehingga tidak memberi kesempatan untuk oposisi
mengampanyekan visi dan misinya. Waktu kampanye hanya disediakan 9 hari. Pemerintah

mengumumkan pemilu hanya sekitar 2 minggu dari hari-H sehingga semakin mempersulit gerak
kaum oposisi.
Dengan alasan-alasan di atas, dapat dikatakan bahwa PAP bukanlah partai dan rezim yang
demokratis. PAP

melanggar banyak hak-hak oposisi, mengontrol oposisi dan masyarakat,

menggunakan hukum untuk alasan politis, mengontrol media massa dan


PAP dapat

diklasifikasikan sebagai hybrid regime yang mengandung unsur demokratis namun juga
authoritarian. Selain hybrid regime, Singapura bisa dibilang sebagai demokrasi illiberal karena
upayanya dalam merongrong kebebasan oposisi dan membatasi serta mengontrol ketat media
massa. Akibat dari ini, terjadi semacam depolitisasi sehingga pihak oposisi tidak bisa member
serangan yang efektif kepada PAP.
Kemunduran PAP
Dengan kontrol negara berada di bawah pengaruhnya secara kuat dan mengakar, Apakah PAP
berhasil memadamkan kaum oposisi? Ternyata tidak. PAP malah mengalami gejala penurunan
performa. Hal ini terlihat di pemilu 2011, dimana oposisi berhasil memenangkan 6 kursi dari 82
kursi yang disediakan3. Ini kontras dengan pemilu 2006, oposisi hanya memperoleh 2 kursi dari
84 kursi yang disediakan.
Hasil yang menggembirakan ini menunjukkan bahwa kaum oposisi sudah semakin bertaring.
Kaum oposisi yang dulunya terpecah belah, memiliki mesin politik yang lemah, kini telah
mampu menjadi semacam mesin politik yang baik. Selain itu, semakin banyak kaum professional
yang kompeten berada di bendera oposisi sehingga meningkatkan performa dan kualitas oposisi
di Singapura.
Hal yang menarik lainnya adalah semakin menurunnya kualitas anggota Parlemen di PAP.

Sebagai contoh adalah kasus kandidat PAP bernama Tin Pei Ling, yang menjijikkan bagi para
pemilih di Singapura, karena memamerkan tas mewah dan perangai kekanak-kanakannya di
facebook. Koordinasi dan strategi yang dimiliki oleh oposisi juga cukup baik. Karena relaksasi
internet, Oposisi melakukan kampanye dan memobilisasi massa lewat media sosial. Setelah
mengumpulkan massa, mereka melakukan aksi jalan dan mendebat anggota PAP yang
kampanye. Mereka bahkan dapat mengumpulkan dana lewat internet.
3

Ada semacam kemarahan untuk PAP dari kalangan rakyat Singapura terutama kelas pekerja.
Semakin tingginya inflasi, ditambah meroketnya kesenjangan menyebabkan suara PAP menurun
di kalangan pekerja. Kekecewaan terhadap pemerintah juga meningkat akibat semakin
banyaknya jumlah pekerja asing di Singapura. Isu transparansi dimanfaatkan oleh oposisi untuk
meningkatkan suara dengan mendengungkan janji untuk menyeimbangkan PAP.
KESIMPULAN
PAP adalah partai yang sukses mendominasi perpolitikan di Singapura. PAP bahkan mampu
mengubah negara tersebut menjadi Hybrid Regime yang mengandung unsur demokrasi dan
otoritarianisme. Namun, dominasi tersebut tidak dapat bertahan lama. Hal ini dibuktikan dengan
performa pemilu yang dimiliki oleh PAP pada saat 2011. Kekecewaan terhadap pemerintah juga
menjadi alasan turunnya performa pemilu oleh PAP.
Referensi

Diamond, Larry Jay. April 2002,Thinking About Hybrid Regimes, Journal of Democracy,
Volume

13,

Number

2,

pp.

21-35

diakses

pukul

11.37

AM


10/6/2015

dari

http://www.asu.edu/courses/pos350/diamond--Thinking%20about%20Hybrid%20Regimes.pdf
Elgin, Molly. 2010, Asian Values: A New Model of Development?, Stanford Journal of East
Asian

Affairs,

diakses

pukul

11.41

AM

10/6/2015


dari

http://web.stanford.edu/group/sjeaa/journal102/10-2_12%20SeA-Elgin.pdf
Fetzer, S.Joel. July 2008, Election Strategy and Ethnic Politics in Singapore, Taiwan Journal of
Democracy, Volume 4, No.1: 135-153, diakses pukul 11.50 AM 10/6/2015 dari
http://www.tfd.org.tw/export/sites/tfd/files/publication/journal/dj0401/135-154.pdf
Mutalib,Hussin. April 2000, Illiberal Democracy and the Future of Opposition in Singapore,
Third World Quarterly, Vol. 21, No. 2 pp. 313-342 diakses pukul 11.50 AM 9/6/2015 dari
http://www.jstor.org/stable/3993422

Tan,Netina. 2014, The 2011 general and presidential elections in Singapore, Departement of
Political

Science,

Mc

Master


Univeristy,

diakses

11.58

AM

10/6/2015

dari

http://www.researchgate.net/publication/260216685_The_2011_General_and_Presidential_Electi
ons_in_Singapore

Abshire, E. Jean. 2011. The History of Singapore. Santa Barbara: Greenwood
Mauzy, K. Diane dan Milne, R.S. Singapore Politics Under The People’s Action Party. Routlege:
New York.