Ca Paru dengan pemasangan ventilasi
1. Pengertian
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari
saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan
pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel
jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului
oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa
prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan
bentuk epitel dan menghilangnya silia (Robbin & Kumar, 2007)
Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak
terkendali dalm jaringan paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah
karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok ( Suryo, 2010).
Kanker paru merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia,
dengan prognosis yang sering kali buruk (Somantri, 2012).
2. Stadium dan klasifikasi histologic
Penentuan stadium Karsinoma paru (ICD-10 C33-34), penentuan
stadium penyakit berdasarkan sistem TNM dari American Joint
Committee on Cancer (AJCC) versi 7 tahun 2010, sebagai berikut:
Tumor Primer (T)
Tx:
tumor primer tidak dapat ditentukan dengan hasil radiologi dan
bronkoskopi tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif
(ditemukan sel ganas)
T0:
tidak tampak lesi atau tumor primer Tis Carcinoma in situ
T1:
ukuran terbesar tumor primer ≤ 3 cm tanpa lesi invasi intra bronkus
yang sampai ke proksimal bronkus lobaris
T1a: Ukuran tumor primer ≤ 2 cm
T1b: Ukuran tumor primer > 2 cm tetapi ≤ 3cm T2 ukuran terbesar
tumor primer > 3 cm tetapi ≤ 7 cm, invasi intrabronkus dengan
jarak lesi ≥ 2 cm dari distal karina, berhubungan dengan atelektasis
atau pneumonitis obstruktif pada daerah hilus atau invasi ke pleura
visera
1
T2a: Ukuran tumor primer > 3cm tetapi ≤ 5 cm
T2b: Ukuran tumor primer > 5cm tetapi ≤ 7 cm
T3:
Ukuran tumor primer > 7 cm atau tumor menginvasi dinding dada
termasuk sulkus superior, diafragma, nervus phrenikus, menempel
pleura mediastinum, pericardium. Lesi intrabronkus ≤ 2 cm distal
karina tanpa keterlibatan karina. Berhubungan dengan atelektasis
atau pneumonitis obstruktif di paru. Lebih dari satu nodul dalam
satu lobus yang sama dengan tumor primer.
T4:
Ukuran tumor primer sembarang tetapi telah melibatkan atau invasi
ke mediastinum, trakea, jantung, pembuluh darah besar, karina,
nervus laring, esophagus, vertebral body. Lebih dari satu nodul
berbeda lobus pada sisi yang sama dengan tumor (ipsilateral).
Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)
Nx:
Metastasis ke KGB mediastinum sulit dinilai dari gambaran
radiologi
N0:
Tidak ditemukan metastasis ke KGB N1 Metastasis ke KGB
peribronkus (#10), hilus (#10), intrapulmonary (#10) ipsilateral
N2:
Metastasis ke KGB mediastinum (#2) ipsilateral dan atau subkarina
(#7) N3 Metastasis ke KGB peribronkial, hilus, intrapulmoner,
mediastinum kontralateral dan atau KGB supraklavikula
Metastasis (M)
Mx:
Metastasis sulit dinilai dari gambaran radiologi
M0:
Tidak ditemukan metastasis
M1:
Terdapat metastasis jauh
M1a:
Metastasis ke paru kontralateral, nodul di pleura, efusi pleura
ganas, efusi pericardium
2
M1b: Metastasis jauh ke organ lain (otak, tulang, hepar, atau KGB leher,
aksila, suprarenal, dll)
Tabel 2.1 Pengelompokkan Stadium
3. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang
bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya
faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006).
3
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan
paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok
dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok
(Stoppler, 2010).
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara
perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain
di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak
merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker
paru meningkat dua kali (Wilson, 2005).
c. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat
dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang
pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat
dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih
rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu
karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada
asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).
4
d. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat
menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara
pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada
masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes
maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi
terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya
risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko
lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik
molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gengen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan
berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan
onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc), dan menonaktifkan
gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson,
2005).
g. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif
kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit
paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar
terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler,
2010).
Faktor Risiko Kanker Paru
1) Laki-laki
5
2) Usia lebih dari 40 tahun
3) Pengguna tembakau (perokok putih, kretek atau cerutu)
4) Hidup atau kontal erat dengan lingkungan asap tembakau
(perokok pasif)
5) Lingkungan industri tertentu
6) Zat kimia, seperti arsenic
7) Beberapa zat kimia organic
8) Radiasi dari pekerjaan, obat-obatan, lingkungan
9) Polusi udara
10) Kekurangan vitamin A dan C
4. Tanda dan gejala
Keluhan utama:
a. Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen) lebih
dari 3 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Suara serak
e. Nyeri dada yang persisten
f. Sulit/sakit menelan
g. Benjolan di pangkal leher
h. Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat.
6
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang. Ada pula gejala dan keluhan tidak
khas seperti:
a. Berat badan berkurang
b. Nafsu makan hilang
c. Demam hilang timbul
d. Sindrom
paraneoplastik,
seperti
hypertrophic
osteoartheopathy, trombosis vena perifer dan neuropatia.
7
pulmonary
Pathway Ca Paru
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati,
fungsi ginjal.
Pemeriksaan pencitraan
8
a. Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai
pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur
diagnosis penunjang dan penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto
toraks
ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka
pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk mengevaluasi lesi
tersebut.
b. CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mendiagnosa dan menentukan stadium penyakit, dan menentukan
segmen paru yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas
hingga kelenjar adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga
regio tersebut.
c. CT scan kepala / MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila
penderita mengeluh nyeri kepala hebat untuk menilai kemungkinan adanya
metastasis ke otak.
d. USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV
e. Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang. Bone
survey dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada.
f. PET-Scan dapat dilakukan untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru.
Prosedur ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan
tumor intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi
dan histopatologi, sehingga diagnosa dan stadium kanker paru dapat
ditentukan. Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang
dapat menilai paru hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan
kadang
hingga
derajat
ke-enam.
Spesimen
untuk
menghasilkan
pemeriksaan sitologi dan histologi didapat melalui bilasan bronkus,
sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat memberikan
hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker paru
dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini
9
adalah hipertensi pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia
refrakter akibat pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat
berhenti, dan hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
pneumotoraks dan perdarahan.
b. Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan untuk membantu
menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner juga untuk
penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan jaringan
sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada
CT-scan toraks maupun PET CTscan.
c. Biopsi Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy-TTB), merupakan
tindakan biopsi paru transtorakal, tanpa tuntunan radiologis (blinded TTB)
maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT-scan toraks
(CT-guided TTB), untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker
paru.
d. Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk
pembesaran kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan
bila diperlukan.
Pemeriksaan lainnya
a. Pleuroscopy
dilakukan
untuk
melihat
masalah
intrapleura
dan
menghasilkan spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas
pada cairan pleura yang dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien
kanker paru. Jika hasil sitologi tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka
penilaian ulang atau CT scan toraks dianjurkan.
b. Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan
spesimen, terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal.
c. Torakotomi eksplorasi dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan
semua modalitas lainnya tidak ditemukan sel ganas.
6. Penatalaksanaan / Terapi
Menurut Irman (2008) mengatakan Penatalaksanaan kanker paru
dilakukan berdasarkan jenis histologis kanker, stage penyakit, tampilan umum
10
(performance status) dan keuangan. Secara umum pilihan terapi untuk
KPKBSK adalah combined modality therapy (multi-modality therapy),
berupa bedah, radioterapi dan kemoterapi dan terapi lain.
a. Pengobatan Bedah
Hanya diindikasikan untuk KPKBSK stage I atau II atau untuk
pengobatan paliatif yaitu pada kondisi mengancam nyawa misal batuk
darah masif, distres pernapasan karena sindrom vena kava superior, nyeri
hebat pada Pancoast tumor, nyeri hebat pada sindrom pleksus brakialis.
Jika pada saat bedah didapat pembesaran KGB maka semua harus
diangkat dan pada kasus pasca bedah dengan metastasis KGB
mediastinal (N2)
dipertimbangkan pemberian radioterapi
dan/atau
kemoterapi.
Bedah paliatif lain dilakukan oleh dokter bedah syaraf yaitu
membuang tumor metastasis yang berupa soliter nodule di otak dan
menimbulkan gangguan kualitas hidup penderita. Pilihan lain untuk
tumor meta dikepala adalah menggunakan cyber knife yang sudah dapat
dilakukan beberapa senter di Indonesia.
Bedah adalah terapi lokal dan dapat terjadi stage pre-bedah
(cTNM) berbeda dengan diagnosis pasca-bedah. Jika terjadi perbedaan
maka stage yang digunakan adalah stage pasca-bedah (pTNM) dan
pilihan terapi tergantung pada hasil akhir.
Di
RS
Persahabatan
untuk
KPKBSK
stage
IIIA
jika
memungkinkan diberikan neoadjuvan therapy yaitu memberikan
kemoterapi 2-3 siklus dilakukan pemeriksaan ulang untuk re-staging jika
terjadi down staging atau tetap maka bedah dilakukan.
b. Radioterapi
Radioterapi atau iradiasi diberikan pada kasus stage III dan IV
KPKBSK, dapat diberikan tunggal untuk mengatasi masalah di paru
11
(terapi lokal) atau gabungan dengan kemoterapi. Radioterapi dapat
diberikan jika sistem homeostatik (darah) baik yaitu
1) HB > 10 gr%
2) Leukosit > 4.000/dl
3) Trombosit > 100.000/dl
Dosis untuk kanker primer adalah 5.000 – 6.000 cGy dengan
menggunakan COBALT atau LINAC dengan cara pemberian 200
cGy/x/hari, 5 hari dalam seminggu. Pemberian radiosensitiser dapat lebih
meningkatkan respons irradiasi itu, misalnya dengan memberikan obat
anti-kanker karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine
dengan dosis sangat kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik.
Radioterapi dapat diberikan sendiri (radiotherapy only) atau kombinasi
dengan kemoterapi (konkuren, sekuensial atau alternating) meskipun
sebagai konsekuensinya toksisiti menjadi lebih banyak dan sangat
mengganggu.
Evaluasi toksisiti harus dilakukan setiap setelah pemberian 5x, jika
ditemukan gangguan sistem hemostatik salah satu atau lebih :
1)
HB 50%,
irradiasi dapat dilanjutkan dan nilai kembali setelah 10x
pemberian berikutnya.
3) Tumor menetap/stabil : tumor mengecil < 50% atau membesar
25% atau tumbuh tumor baru
maka irradiasi harus dihentikan.
c. Toksisiti kemoterapi
Evaluasi toksisiti non-hematologik segera setelah pemberian
kemoterapi dimulai, toksisiti itu dinilai tingat keparahannya berdasarkan
skala toksisiti WHO sedangkan toksisiti hematologik sebaiknya
dilakukan setiap 1 minggu. Berat ringannya toksisiti akan mempengaruhi
jadwal pemberian kemoterapi berikutnya. Toksisiti non-hematologik
yang paling sering timbul
1)
Mual dan muntah
2)
Diare
3)
Neuropati
4)
Alopesia
Toksisiti hematologi grade III/IV harus segera dikoreksi untuk
menghindarkan terjadinya neutropenia fever yaitu demam pada pasien
13
dengan neutrofil < 1.000/dl. Jadwal kemoterapi akan tertunda jika
ditemukan gangguan sistem hematopoitik
1)
HB < 10 gr%
2)
Leukosit < 3.000/dl
3)
Trombosit < 100.000/dl
Jika setelah dilakukan koreksi nilai batas dapat dicapai maka
kemoterapi dapat segera diberikan. Jadwal kemoterapi sebaiknya jangan
tertunda > 2 minggu.
d. Rejimen kemoterapi
Kemoterapi untuk kanker paru minimal berupa rejimen yang terdiri
dari lebih dari 1 obat anti-kanker dan diberikan dengan siklus 21 atau
28 hari setiap siklusnya.
Kemoterapi untuk KPKSK diberikan sampai 6 siklus dengan
”cisplatin based” rejimen yang diberikan :
1) Sisplatin + etoposid
2) Sisplatin + irinotekan (CPT-11)
3) Pada
keadaan
tertentu
sisplatin
dapat
digantikan
dengan
karboplatin dan irinotekan digantikan dengan dosetaksel.
Kemoterapi untuk KPKBSK dapat 6 siklus (pada kasus tertentu
diberikan sampai lebih dari 6 siklus) dengan ”platinum based” rejimen
yang diberikan sebagai terapi lini pertama (first line) adalah :
1) Karboplatin/sisplatin + etoposid
2) Karboplatin/sisplatin + gemsitabin
3) Karboplatin/sisplatin + paklitaksel
14
4) Karboplatin/sisplatin + dosetaksel
7. MASALAH KEPERAWATAN
Masalah keperawatan
Masalah Kolaborasi
1. Ketidakefektifan pola nafas
a. Kolaborasi
berhubungan
dengan
penurunan ekspansi paru
2. Kerusakan pertukaran gas
pemberian
oksigen
b. Kolaborasi
dengan
yang berhubungan dengan
dokter
gangguan aliran udara ke
pemasangan jalan nafas
alveoli
atau
utama
paru,
ke
bagian
perubahan
membran alveoli
3. gangguan
rasa
buatan
c. Kolaborasi
perlunya
pemberian
obat bronkodilator
nyaman
d. kolaborasi
pemberian
(Nyeri) yang berhubungan
obat analgetik sesuai
dengan invasi kanker ke
indikasi
pleura, atau dinding dada.
4.
4. perubahan
dari
nutrisi
kurang
e. kolaborasi dengan ahli
kebutuhan
yang
gizi dalam pemberian
dengan
makan sesuai kebutuhan
berhubungan
Anoreksia
kalori pasien
15
Daftar Pustaka
Goldstraw P, et al. 2009. 7th edition of TNM for lung and pleural tumor. In:
Staging manual in thoracic oncology. International Association for the
Study of Lung Cancer: ed. Editorial Rx Press. Orange Park.
Jusuf A, dkk. 2015. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
di Indonesia. PDPI &POI: Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Indonesia. 2008. Pedoman
penanganan bahan pemeriksaan untuk histopatologi. IAPI: Jakarta.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan.
Yogyakarta: B First
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
Somantri, irman.2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan.Salemba
16
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari
saluran napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan
pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel
jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului
oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa
prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan
bentuk epitel dan menghilangnya silia (Robbin & Kumar, 2007)
Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker yang tidak
terkendali dalm jaringan paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah
karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok ( Suryo, 2010).
Kanker paru merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia,
dengan prognosis yang sering kali buruk (Somantri, 2012).
2. Stadium dan klasifikasi histologic
Penentuan stadium Karsinoma paru (ICD-10 C33-34), penentuan
stadium penyakit berdasarkan sistem TNM dari American Joint
Committee on Cancer (AJCC) versi 7 tahun 2010, sebagai berikut:
Tumor Primer (T)
Tx:
tumor primer tidak dapat ditentukan dengan hasil radiologi dan
bronkoskopi tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif
(ditemukan sel ganas)
T0:
tidak tampak lesi atau tumor primer Tis Carcinoma in situ
T1:
ukuran terbesar tumor primer ≤ 3 cm tanpa lesi invasi intra bronkus
yang sampai ke proksimal bronkus lobaris
T1a: Ukuran tumor primer ≤ 2 cm
T1b: Ukuran tumor primer > 2 cm tetapi ≤ 3cm T2 ukuran terbesar
tumor primer > 3 cm tetapi ≤ 7 cm, invasi intrabronkus dengan
jarak lesi ≥ 2 cm dari distal karina, berhubungan dengan atelektasis
atau pneumonitis obstruktif pada daerah hilus atau invasi ke pleura
visera
1
T2a: Ukuran tumor primer > 3cm tetapi ≤ 5 cm
T2b: Ukuran tumor primer > 5cm tetapi ≤ 7 cm
T3:
Ukuran tumor primer > 7 cm atau tumor menginvasi dinding dada
termasuk sulkus superior, diafragma, nervus phrenikus, menempel
pleura mediastinum, pericardium. Lesi intrabronkus ≤ 2 cm distal
karina tanpa keterlibatan karina. Berhubungan dengan atelektasis
atau pneumonitis obstruktif di paru. Lebih dari satu nodul dalam
satu lobus yang sama dengan tumor primer.
T4:
Ukuran tumor primer sembarang tetapi telah melibatkan atau invasi
ke mediastinum, trakea, jantung, pembuluh darah besar, karina,
nervus laring, esophagus, vertebral body. Lebih dari satu nodul
berbeda lobus pada sisi yang sama dengan tumor (ipsilateral).
Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)
Nx:
Metastasis ke KGB mediastinum sulit dinilai dari gambaran
radiologi
N0:
Tidak ditemukan metastasis ke KGB N1 Metastasis ke KGB
peribronkus (#10), hilus (#10), intrapulmonary (#10) ipsilateral
N2:
Metastasis ke KGB mediastinum (#2) ipsilateral dan atau subkarina
(#7) N3 Metastasis ke KGB peribronkial, hilus, intrapulmoner,
mediastinum kontralateral dan atau KGB supraklavikula
Metastasis (M)
Mx:
Metastasis sulit dinilai dari gambaran radiologi
M0:
Tidak ditemukan metastasis
M1:
Terdapat metastasis jauh
M1a:
Metastasis ke paru kontralateral, nodul di pleura, efusi pleura
ganas, efusi pericardium
2
M1b: Metastasis jauh ke organ lain (otak, tulang, hepar, atau KGB leher,
aksila, suprarenal, dll)
Tabel 2.1 Pengelompokkan Stadium
3. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang
bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya
faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006).
3
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan
paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok
dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok
(Stoppler, 2010).
b. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara
perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain
di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak
merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker
paru meningkat dua kali (Wilson, 2005).
c. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat
dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang
pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat
dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih
rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu
karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada
asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).
4
d. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat
menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara
pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada
masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes
maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
e. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi
terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya
risiko terkena kanker paru (Amin, 2006).
f. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko
lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik
molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gengen penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan
berkembangnya kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan
onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan myc), dan menonaktifkan
gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan CDKN2) (Wilson,
2005).
g. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif
kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit
paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar
terkena kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler,
2010).
Faktor Risiko Kanker Paru
1) Laki-laki
5
2) Usia lebih dari 40 tahun
3) Pengguna tembakau (perokok putih, kretek atau cerutu)
4) Hidup atau kontal erat dengan lingkungan asap tembakau
(perokok pasif)
5) Lingkungan industri tertentu
6) Zat kimia, seperti arsenic
7) Beberapa zat kimia organic
8) Radiasi dari pekerjaan, obat-obatan, lingkungan
9) Polusi udara
10) Kekurangan vitamin A dan C
4. Tanda dan gejala
Keluhan utama:
a. Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen) lebih
dari 3 minggu
b. Batuk darah
c. Sesak napas
d. Suara serak
e. Nyeri dada yang persisten
f. Sulit/sakit menelan
g. Benjolan di pangkal leher
h. Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat.
6
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di
otak, pembesaran hepar atau patah tulang. Ada pula gejala dan keluhan tidak
khas seperti:
a. Berat badan berkurang
b. Nafsu makan hilang
c. Demam hilang timbul
d. Sindrom
paraneoplastik,
seperti
hypertrophic
osteoartheopathy, trombosis vena perifer dan neuropatia.
7
pulmonary
Pathway Ca Paru
5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati,
fungsi ginjal.
Pemeriksaan pencitraan
8
a. Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai
pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur
diagnosis penunjang dan penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto
toraks
ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka
pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk mengevaluasi lesi
tersebut.
b. CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting
untuk mendiagnosa dan menentukan stadium penyakit, dan menentukan
segmen paru yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas
hingga kelenjar adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga
regio tersebut.
c. CT scan kepala / MRI kepala dengan kontras diindikasikan bila
penderita mengeluh nyeri kepala hebat untuk menilai kemungkinan adanya
metastasis ke otak.
d. USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV
e. Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang. Bone
survey dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada.
f. PET-Scan dapat dilakukan untuk evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan khusus
a. Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru.
Prosedur ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan
tumor intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi
dan histopatologi, sehingga diagnosa dan stadium kanker paru dapat
ditentukan. Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang
dapat menilai paru hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan
kadang
hingga
derajat
ke-enam.
Spesimen
untuk
menghasilkan
pemeriksaan sitologi dan histologi didapat melalui bilasan bronkus,
sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat memberikan
hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker paru
dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini
9
adalah hipertensi pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia
refrakter akibat pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat
berhenti, dan hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
pneumotoraks dan perdarahan.
b. Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan untuk membantu
menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner juga untuk
penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan jaringan
sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada
CT-scan toraks maupun PET CTscan.
c. Biopsi Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy-TTB), merupakan
tindakan biopsi paru transtorakal, tanpa tuntunan radiologis (blinded TTB)
maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT-scan toraks
(CT-guided TTB), untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker
paru.
d. Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk
pembesaran kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan
bila diperlukan.
Pemeriksaan lainnya
a. Pleuroscopy
dilakukan
untuk
melihat
masalah
intrapleura
dan
menghasilkan spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas
pada cairan pleura yang dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien
kanker paru. Jika hasil sitologi tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka
penilaian ulang atau CT scan toraks dianjurkan.
b. Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan
spesimen, terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal.
c. Torakotomi eksplorasi dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan
semua modalitas lainnya tidak ditemukan sel ganas.
6. Penatalaksanaan / Terapi
Menurut Irman (2008) mengatakan Penatalaksanaan kanker paru
dilakukan berdasarkan jenis histologis kanker, stage penyakit, tampilan umum
10
(performance status) dan keuangan. Secara umum pilihan terapi untuk
KPKBSK adalah combined modality therapy (multi-modality therapy),
berupa bedah, radioterapi dan kemoterapi dan terapi lain.
a. Pengobatan Bedah
Hanya diindikasikan untuk KPKBSK stage I atau II atau untuk
pengobatan paliatif yaitu pada kondisi mengancam nyawa misal batuk
darah masif, distres pernapasan karena sindrom vena kava superior, nyeri
hebat pada Pancoast tumor, nyeri hebat pada sindrom pleksus brakialis.
Jika pada saat bedah didapat pembesaran KGB maka semua harus
diangkat dan pada kasus pasca bedah dengan metastasis KGB
mediastinal (N2)
dipertimbangkan pemberian radioterapi
dan/atau
kemoterapi.
Bedah paliatif lain dilakukan oleh dokter bedah syaraf yaitu
membuang tumor metastasis yang berupa soliter nodule di otak dan
menimbulkan gangguan kualitas hidup penderita. Pilihan lain untuk
tumor meta dikepala adalah menggunakan cyber knife yang sudah dapat
dilakukan beberapa senter di Indonesia.
Bedah adalah terapi lokal dan dapat terjadi stage pre-bedah
(cTNM) berbeda dengan diagnosis pasca-bedah. Jika terjadi perbedaan
maka stage yang digunakan adalah stage pasca-bedah (pTNM) dan
pilihan terapi tergantung pada hasil akhir.
Di
RS
Persahabatan
untuk
KPKBSK
stage
IIIA
jika
memungkinkan diberikan neoadjuvan therapy yaitu memberikan
kemoterapi 2-3 siklus dilakukan pemeriksaan ulang untuk re-staging jika
terjadi down staging atau tetap maka bedah dilakukan.
b. Radioterapi
Radioterapi atau iradiasi diberikan pada kasus stage III dan IV
KPKBSK, dapat diberikan tunggal untuk mengatasi masalah di paru
11
(terapi lokal) atau gabungan dengan kemoterapi. Radioterapi dapat
diberikan jika sistem homeostatik (darah) baik yaitu
1) HB > 10 gr%
2) Leukosit > 4.000/dl
3) Trombosit > 100.000/dl
Dosis untuk kanker primer adalah 5.000 – 6.000 cGy dengan
menggunakan COBALT atau LINAC dengan cara pemberian 200
cGy/x/hari, 5 hari dalam seminggu. Pemberian radiosensitiser dapat lebih
meningkatkan respons irradiasi itu, misalnya dengan memberikan obat
anti-kanker karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine
dengan dosis sangat kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik.
Radioterapi dapat diberikan sendiri (radiotherapy only) atau kombinasi
dengan kemoterapi (konkuren, sekuensial atau alternating) meskipun
sebagai konsekuensinya toksisiti menjadi lebih banyak dan sangat
mengganggu.
Evaluasi toksisiti harus dilakukan setiap setelah pemberian 5x, jika
ditemukan gangguan sistem hemostatik salah satu atau lebih :
1)
HB 50%,
irradiasi dapat dilanjutkan dan nilai kembali setelah 10x
pemberian berikutnya.
3) Tumor menetap/stabil : tumor mengecil < 50% atau membesar
25% atau tumbuh tumor baru
maka irradiasi harus dihentikan.
c. Toksisiti kemoterapi
Evaluasi toksisiti non-hematologik segera setelah pemberian
kemoterapi dimulai, toksisiti itu dinilai tingat keparahannya berdasarkan
skala toksisiti WHO sedangkan toksisiti hematologik sebaiknya
dilakukan setiap 1 minggu. Berat ringannya toksisiti akan mempengaruhi
jadwal pemberian kemoterapi berikutnya. Toksisiti non-hematologik
yang paling sering timbul
1)
Mual dan muntah
2)
Diare
3)
Neuropati
4)
Alopesia
Toksisiti hematologi grade III/IV harus segera dikoreksi untuk
menghindarkan terjadinya neutropenia fever yaitu demam pada pasien
13
dengan neutrofil < 1.000/dl. Jadwal kemoterapi akan tertunda jika
ditemukan gangguan sistem hematopoitik
1)
HB < 10 gr%
2)
Leukosit < 3.000/dl
3)
Trombosit < 100.000/dl
Jika setelah dilakukan koreksi nilai batas dapat dicapai maka
kemoterapi dapat segera diberikan. Jadwal kemoterapi sebaiknya jangan
tertunda > 2 minggu.
d. Rejimen kemoterapi
Kemoterapi untuk kanker paru minimal berupa rejimen yang terdiri
dari lebih dari 1 obat anti-kanker dan diberikan dengan siklus 21 atau
28 hari setiap siklusnya.
Kemoterapi untuk KPKSK diberikan sampai 6 siklus dengan
”cisplatin based” rejimen yang diberikan :
1) Sisplatin + etoposid
2) Sisplatin + irinotekan (CPT-11)
3) Pada
keadaan
tertentu
sisplatin
dapat
digantikan
dengan
karboplatin dan irinotekan digantikan dengan dosetaksel.
Kemoterapi untuk KPKBSK dapat 6 siklus (pada kasus tertentu
diberikan sampai lebih dari 6 siklus) dengan ”platinum based” rejimen
yang diberikan sebagai terapi lini pertama (first line) adalah :
1) Karboplatin/sisplatin + etoposid
2) Karboplatin/sisplatin + gemsitabin
3) Karboplatin/sisplatin + paklitaksel
14
4) Karboplatin/sisplatin + dosetaksel
7. MASALAH KEPERAWATAN
Masalah keperawatan
Masalah Kolaborasi
1. Ketidakefektifan pola nafas
a. Kolaborasi
berhubungan
dengan
penurunan ekspansi paru
2. Kerusakan pertukaran gas
pemberian
oksigen
b. Kolaborasi
dengan
yang berhubungan dengan
dokter
gangguan aliran udara ke
pemasangan jalan nafas
alveoli
atau
utama
paru,
ke
bagian
perubahan
membran alveoli
3. gangguan
rasa
buatan
c. Kolaborasi
perlunya
pemberian
obat bronkodilator
nyaman
d. kolaborasi
pemberian
(Nyeri) yang berhubungan
obat analgetik sesuai
dengan invasi kanker ke
indikasi
pleura, atau dinding dada.
4.
4. perubahan
dari
nutrisi
kurang
e. kolaborasi dengan ahli
kebutuhan
yang
gizi dalam pemberian
dengan
makan sesuai kebutuhan
berhubungan
Anoreksia
kalori pasien
15
Daftar Pustaka
Goldstraw P, et al. 2009. 7th edition of TNM for lung and pleural tumor. In:
Staging manual in thoracic oncology. International Association for the
Study of Lung Cancer: ed. Editorial Rx Press. Orange Park.
Jusuf A, dkk. 2015. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman
diagnosis dan penatalaksanaan kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
di Indonesia. PDPI &POI: Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Anatomi Indonesia. 2008. Pedoman
penanganan bahan pemeriksaan untuk histopatologi. IAPI: Jakarta.
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan.
Yogyakarta: B First
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 3. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta
Somantri, irman.2008. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan.Salemba
16