Manusia dalam islam manusia dicip (5)
Kuliah Agama Katolik
16
I
MANUSIA
Pengantar
Setiap orang baik yang beriman maupun yang tidak beriman sepakat bahwa segala
sesuatu di dunia ini diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncak ciptaan. Apakah
manusia itu? Dahulu dan sekarang terdapat banyak pandangan dan pendapat yang sama
maupun bertentangan. Manusia seringkali menyanjung dirinya sebagai tolak ukur yang
mutlak, atau merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan; dan sebagai
akibatnya ia merasa bimbang dan gelisah. Berbagai kesulitan yang dialami manusia turut
pula dirasakan oleh Gereja. Berkat karya Allah yang mewahyukan diri, Gereja diterangi
sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan seputar manusia, melukiskan keadaan
manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan serta martabat dan panggilannya.
Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah”
artinya manusia secitra dengan Allah. Karena itu ia mampu mengenal dan mengasihi
penciptanya. Sejak diciptakan, manusia telah ditetapkan sebagai “tuan” atas ciptaan lain (Kej
1:26; Keb 2:33), untuk menguasai dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:310). Penulis Kitab Mazmur melukiskan dengan indahnya tentang manusia: “Apakah manusia,
sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?
Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan
kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segalagalanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7)
A. PANDANGAN TENTANG ASAL USUL MANUSIA
1.
Pandangan Sains Tentang Asal-Usul Manusia.
a.
Teori Evolusi
Berbagai pandangan tentang asal-usul manusia di jaman modern ini dikalahkan
oleh TEORI EVOLUSI yang muncul pada abad 19. Teori ini mengulas tentang bagaimana
asal-usul manusia yang terus berevolusi dari tingkatan yang paling rendah sampai pada
tingkatan yang paling tinggi. Melalui pembuktian-pembuktian dilakukan, para ahli
penganut teori evolusi agama bersikap kompromi. Kompromi tersebut dikenal dengan
“teori evolusi terbatas” yang bersifat moderat. Pandangan pokoknya adalah bahwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia selama ribuan tahun benar-benar mengalami
mutasi (perubahan) yang tidak sedikit. Namun mereka menolak mengakui adanya
penyeberangan antara tingkatan mahluk yang satu menuju tingkatan mahluk yang lain.
Jadi mutasi benda tak berhayat menuju tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan
menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia tetaplah disangkal dengan
kerasnya. Yang terutama ditolak adalah gagasan bahwa manusia seluruhnya, jiwa dan
badan, berasal dari binatang. Hal ini karena pihak ilmu pengetahuan pun belum bisa
membuktikan secara meyakinkan dengan teori “missing link”nya.
b. ....................................
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
c.
16
Pandangan filosofis
Menghadapi permasalahan hidup seperti tersebut di atas, manusia berusaha
dengan berbagai kemampuannya untuk mengatasinya. Pertanyaan besar yang selalu
mengganggu pikiran manusia adalah mengenai asal-usulnya. Menurut Frans Dahler
usaha untuk menjawab hal ini menjadi pangkal lahirnya mitos-mitos, dongeng-dongeng
kuno, berbagai macam filsafat dan agama-agama. Sejak ribuan tahun lamanya, manusia
menciptakan gambaran akan asal-usulnya sendiri. Dengan segala kemampuannya, ia
berusaha memuaskan nafsu dan kehausan untuk mengetahui asal-usulnya sendiri. Dari
manakah manusia berasal? Bagaimana ia diciptakan? Bagaimanakah manusia
berkembang sehingga memiliki daya rohani yang agung sekaligus yang membedakannya
dengan binatang?
Bangsa-bangsa primitif di Afrika, Asia dan Australia bicara tentang semacam
“Tuhan purba” yang menciptakan manusia. Sedangkan agama-agama polytheis dari
jaman kuno maupun jaman modern membayangkan adanya “Tuhan jamak”, dewa-dewi
yang menciptakan dunia dan manusia. Sebaliknya ada aliran filsafat yang pengaruhnya
terasa pada agama Hindu dan Buddha yang justru menyangkal adanya “ciptaan”.
Manusia dalam pandangan itu dikatakan merupakan unsur dalam “Dunia Ilahi” yang
sudah selalu ada. Alam semesta bersama manusia di dalamnya merupakan kenyataan
ilahi, dan alam ini berputar tanpa henti-hentinya dalam lingkaran reinkarnasi, lingkaran
tertutup, dari kekal sampai kekal.
Demikian pula berdasarkan pengalaman eksistensi manusia yang selalu
berhadapan dengan “baik” dan “buruk” maka berkembanglah aliran filsafat dualisme
yang menyatakan bahwa asal dunia ini dari dua prinsip, dua sumber yaitu sumber
kebaikan (Allah) dan sumber kejahatan (Iblis, setan dsb).
1) Pandangan filosofis Kristen, Islam, Yahudi tentang manusia
Tuhan menciptakan
Manusia berkembang,
berjalan menuju tujuan akhir,
yaitu Akhirat.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
2) Pandangan filosofis timur yang mempengaruhi agama Hindu dan Budha.
SIKLUS ALAM
Alam semesta selalu ada dalam
lingkungan tertutup. Semua akan
terulang lagi. Tak ada evolusi, tak
ada ciptaan. Tidak ada perbedaan
tajam antara Tuhan dan manusia
3) Pandangan filosofis Dualisme tentang manusia.
TUHAN
Sumber kebaikan
JIWA
ROH
Tubuh dengan
nafsu-nafsu
Iblis, setan, benda:
sumber kegelapan & kejahatan
2.
Sains dan Iman
3.
Pandangan Kitab Suci Tentang Asal-Usul Manusia
Berawal dari kisah penciptaan seperti terungkap dalam Kitab Suci, manusia
menemukan bahwa ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kej 1:27). Ia
dipanggil untuk mewujudnyatakan kepenuhan citra Allah tersebut. “Secitra dengan Allah”
berarti pribadi manusia diciptakan dalam wujud jasmani dan rohani yang tidak terpisahdan
merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam kisah penciptaan manusia, dikisahkan tentang
Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah lalu menghembuskan nafas kehidupan
(Roh) dalam dirinya, sehingga manusia menjadi utuh (bdk. Kej 2:7). Beberapa ungkapan yang
dipakai untuk menyatakan nafas hidup antara lain: Nefes atau Nous yang berarti nyawa,
nafas, pernapasan (dalam arti: nafas yang keluar dari tenggorokan sebagai tanda kehidupan).
Ada juga ungkapan lain yaitu Ruah (roh) yang berarti nafas kehidupan yang menunjukkan
keutuhan makhluk. Bahkan Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia pertama yang
ciptakan Allah adalah Adam dan Hawa. Adam berarti tanah (manusia yang dibentuk dari
debu tanah). Sedangkan Hawa berarti kehidupan (Kej 2:20). Apa yang diberikan Tuhan Allah
bukanlah suatu bagian yang dimasukkan kedalam tubuh tetapi merupakan daya kekuatan
yang menciptakan dan memberi hidup.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Dari semua ciptaan yang ada, manusialah satu-satunya yang “mampu mengenal dan
mencintai penciptaNya” (GS art. 12). Hanya manusialah yang dipanggil supaya dalam
pengertin dan kehendaknya mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Untuk tujuan
inilah manusia diciptakan dan inilah yang menjadi dasar dari martabanya yang sungguh
luhur dan mulia. Mengapa Allah memberikan keistimewaan kepada manusia dengan
mengangkatnya ke dalam martabat yang begitu mulia? Apa maksudnya? Keluhuran dan
keagungan manusia sebagai ciptaan tertinggi merupakan cinta yang tak ternilai dari Sang
Penciptanya. Karena cinta-Nya, Allah menganugerahkan keinginan dalam kodrat
kemanusiaan kita suatu keinginan dan kerinduan terdalam untuk berelasi dengan Allah.
Kitapun turut mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Kita diciptakan oleh Allah
dengan tujuan agar kita tetap berada dalam hubungan dengan Allah. Inilh yang menjadi
kunci kebahagiaan manusia itu sendiri.
4.
Pandangan Gereja Katolik mengenai
5.
Usaha Manusia dalam Menjawab Persoalan Dasar Kehidupannya.
Berbagai persoalan dasar yang muncul dalam kehidupan manusia menimbulkan
pertanyaan serius tentang dirinya. Manusia mulai memikirkan dan merefleksikan
pengalamannya dalam dinamika perjalanan hidupnya. Dalam keterbatasan, manusia
berusaha mengetahui asal, tujuan dan makna hidupnya. Refleksi terhadap pengalaman
hidupnya membawa manusia pada sebuah kesadaran bahwa ia diciptakan oleh Allah dan
terarah kepada-Nya. Manusia makin menyadari bahwa Allah terus menariknya ke dalam
pelukan-Nya, karena itu muncul kesadaran dalam diri manusia bahwa hanya dalam Allahlah
manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang secara terus menerus
dicarinya ( KGK art 28). Allah adalah sumber kehidupan dan hanya pada Allah saja manusia
dapat menemukan identitas dirinya. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan berikut:
“Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk
memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak awal mula manusia diundang untuk
berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan
Allah dalam cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut
kebenaran, bila tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri
kepada pencipta-Nya.” (GS art 19)
Untuk bisa menjawab persoalan-persoalan dasar yang dihadapinya, manusia berusaha
menemukan Allah dalam kehidupannya. Beberapa usaha yang dilakukan misalnya: doa,
kurban, upacara, meditasi, dll. Hal ini mau menunjukkan bahwa inti kebahagiaan manusia
terletak dalam persatuannya dengan Allah dalam relasi yang mesra. Namun dalam
kenyataannya, manusia seringkali mengingkari bahkan menolak hal tersebut karena berbagai
sebab. Beberapa penolakan yang dilakukan manusia misalnya: protes terhadap kejahatan
yang ada di dunia ini, ketidakpahaman atau ketidakpedulian religious, kesusahan hidup,
godaan harta, hawa nafsu, teladan hidup yang kurang baik dari orang beriman,
kesombongan manusia yang berdosa sehingga menyembunyikan diri dari Allah karena rasa
takut, dsbnya. Walau demikian Tuhan senantiasa memanggil manusia untuk kembali
kepadaNya; Tuhan berharap agar manusia tidak pernah berhenti mencari-Nya sehingga
dapat mengalami kebahagiaan bersama Dia.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Tuhan selalu membuka jalan bagi manusia untuk mengenal-Nya secara lebih dekat.
Manusia dapat menempuh berbagai jalan untuk dapat mencapai pengenalannya akan Allah.
Jalan-jalan itu disebut juga sebagai “pembuktian Allah”. Jalan-jalan pengenalan menuju Allah
bertitik tolak dari adanya dunia dan segala isinya serta keberadaan manusia itu sendiri.
Melalui jalan-jalan itulah manusia dapat menemukan Allah.
a. Dunia
Dalam diri manusia muncul pertanyaan ketika melihat dunia dengan segala isinya
yang begitu menakjubkan. Manusia bertanya tentang asal-usul dunia dan keteraturan
yang terjadi di alam semesta juga tentang siapa yang berada dibalik semuanya itu.
Melalui berbagai pertanyaan tersebut, manusia dihantar untuk mengenal Allah melalui
dunia ini. Dengan melihat gerak dan perkembangan, tatanan dan keindahan dunia ini,
manusia dituntun untuk mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta (KGK,
32). Dunia dapat mengenalkan manusia pada Allah yang adalah sang “Arsitek Agung”.
Dialah yang merancang dunia dan segala isinya sedemikian rupa sehingga manusia
dapat mengagumi keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak
manusi bermuara pada satu jawaban yang pasti, yakni adanya “Sang Pencipta” yang
menciptakan dunia. Dialah yang disebut Allah.
b. Manusia
Dengan keterbukaannya kepada keindahan dunia dan kenyataan akan adanya alam
semesta dengan segala isinya; dengan pengertiannya akan kebaikan moral, kebebasan,
suara hati; serta dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan,
manusia terus bertanya-tanya akan adanya Allah. Dalam semuanya itu manusia
menemukan dalam dirinya adanya tanda-tanda jiwa rohani. Karena benih keabadian
yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja
(GS 18,1),maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber. Manusia dapat
sampai kepada realitas yang merupakan Causa Prima (Sebab Pertama) dan Causa Finita
(Tujuan Akhir) dari segala sesuatu. Realitas itulah yang dinamakan Allah. Manusia
dengan keberadaannya mampu menghantarnya untuk mencari dan menemukan Allah
dalam hidupnya.
c.
Hidup Manusia Sangat Bernilai, Indah, namun Terbatas dan Penuh Misteri
1) Hidup Manusia Sangat Berharga
Sepanjang hidupnya manusia terus berusaha untuk menggapai kebadian. Ia
ingin terus hidup karena bagi manusia hidup itu sangat berarti dan bernilai.
Bagaimanapun juga manusia senantiasa berusaha untuk mempertahankan
hidupnya. Berbagai cara akan dilakukannya, misalnya: apabila sakit manusia akan
berobat atau dengan perawatan; ketika nyawanya teracam karena berbagai sebab ia
akan mempertahankannya, jika perlu dengan senjata. Karena hidup itu sangat
berharga, masyarakat kita sangat menjunjug tinggi kehidupan. Mereka berusaha
mengamankan hidupnya dengan menjaga hubungan yang selaras dengan sesama,
alam/lingkungan dan dengan dunia adikodrati. Manusia juga melanggengkan
hidupnya melalui keturunan.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Kehidupan itu sungguh sangat bernilai. Manusia tidak akan menukarkannya
dengan apapun atau menyia-nyiakan hidupnya. Kitab Suci mengatakan, “apa
gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan nyawanya?”
(Mrk 8:36). Apapun yang ada di dunia ini tidak sebanding dengan hidup. Maka Ayub
mengatakan: “orang akan memberikan segala yang dipunyainya sebagai ganti
nyawanya” (Ayb 2:4). Hidup memang sangat bernilai, dan karena itu harus
diselamatkan.
2) Hidup Manusia Indah Dan Mengagumkan
Hidup tidak hanya bernilai tetapi juga indah. Manusia bisa saja mengatakan
bahwa hidup ini terasa pahit karena penderitaan dan tantangan yang dialami.
Namun hal ini tidak akan mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya bahwa hidup
kita indah dan sungguh mengagumkan. Pada saat manusia berada dalam kondisi
normal, ia cenderung tidak menyadari keindahan hidup itu. Baru pada saat saat
mengalami cobaan, penderitaan, sakit dan mendapat vonis bahwa hidupnya tidak
akan lama lagi, manusia mulai berpikir tentang mutu hidupnya. Pada saat ini segala
sesuatu yang dilakukan manusia mempunyai sisi yang lebih tajam dan mereka
seakan melihat makna hidup.
Bila kita cermati, kita akan menemukan bahwa ternyata sebagian orang
tidak pernah menjadi manusia yang sungguh-sungguh utuh sebelum mengetahui
bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Berhadapan dengan kematian, manusiabaru
menyadari betapai indah dan bernilainya hidup ini. Hidup manusia memang
sungguh mengagumkan!
3) Hidup Manusia Terbatas
Sekalipun hidup manusia itu berharga dan indah, namun manusia tidak
berkuasa atasnya. Manusia akan selalu dihadang oleh berbagai tantangan dan
penderitaan, bahkan berakhir dengan kematian. Betapapun kerasnya usaha
manusia untuk mencapai keabadian, ia harus menerima kenyataan kalau pada
akhirnya ia akan menghadapi maut. Mengapa harus ada penderitaan dan
kematian? Apa maknanya?Dari dirinya sendiri, manusia tidak dapat memberi
jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar itu. Mungkin karena itu pula,
banyak orang yang menjalani hidupnya dengan pesimis, sehingga pada akhirnya
mautlah yang berkuasa. Beberapa penyair seperti Chairil Anwar pernah menuliskan
bahwa: “Hidup hanya menunda kekalahan!”Begitu pula dengan WS Rendra yang
mengungkapkan, “Kelahiran dan kematian adalah keniscayaan. Namun bagi yang
hidup, wafat kerabat adalah kehilangan. Selalu menimbulkan kesedihan.” Dalam
Kitab Ayub 14:1-2, Ayub menuturkan bahwa: “Manusia lahir dari perempuan,
singkat umurnya. Ia hilang, lenyap, dan tidak dapat bertahan”. Serta dalam Mazmur
90:5-6,10, dikatakan:“Hidup manusia hilang lenyap seperti mimpi, seperti rumput
yang disabit. Pagi-pagi berkembang dan berbunga, waktu sore layu dan kering.
Batas umur manusia tujuh puluh tahun, atau delapan puluh jika kuat.”
Sebagai orang beriman, kita dapat belajar dari Yesus yang tidak lari dari
penderitaan yang menghadang-Nya. Bagi Yesus seberat apapun penderitaan yang
akan Ia tanggung, Ia harus berani menghadapi-Nya sampai akhir. Yesus tidak
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
menjelaskan secara gamblang arti dan makna penderitaan dan maut, tetapi dari
Salib dan kebangkitan kita dapat melihat dan menemukan tawaran yang memberi
arti pada penderitaan dan maut tersebut. Bagi orang lain, salib adalah kebodohan,
namun bagi kita orang Kristen, salib adalah kekutan Allah (bdk. 1Kor 1:18). Bagi
kebanyakan orang, Yesus “mati konyol disalib”. Tetapi ternyata tidak! Terbukti
bahwa Allah membangkitkan Dia dari alam maut. Kebangkitan inilah yang memberi
arti dari penderitaan dan kematian itu sendiri. Juga menjelaskan bahwa Allah hadir
didalam setiap penderitaan yang dialami manusia.
Melalui penderitaan dan wafat Yesus, kita diajar untuk menemukan
keselamatan dalam penderitaan dan kematiaan yang kita alami. Karena itu kita
boleh berharap dan percaya bahwa:
Dalam setiap penderitaan, kegagalan, kekecewaan, dan keputusasaan, kita
dapat bertemu dengan Allah karena ia senantiasa ada didekat kita
Allah ikut menderita bersama dengan kita. Ia solider dengan kita. Setiap
keberhasilan dan kesuksesan yang kita capai belum tentu memiliki makna bagi
Allah, namun sebaliknya justru dalam penderitaan, kegagalan, kehinaan,
ketidakberdayaan dan kematianlah kita dirangkul oleh kasih setia Allah.
Dengan demikian, kita tidak dibebaskan dari penderitaan dan maut. Derita
dan maut adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita dan pasti akan kita
lalui. Namun kita dapat menerima bahwa derita dan maut bukanlah akhir dari
segala-galanya; bukan juga malapetaka yang harus dihindari. Melalui penderitaan
kita boleh berharap Allah selalu bersama kita. “Allah sendiri akan hidup dengan
mereka dan akan menjadi Allah mereka. Ia akan menyeka air mata dari pipi
mereka. Kematianpun tidak ada lagi. Sebab segala sesuatu yang lama telah
berlalu” (Why 21:4)
4) Hidup Manusia Penuh Misteri
Kita telah melihat bahwa hidup manusia itu sangat bernilai, indah namun
terbatas. Ketika kita membicarakannya, kita merasakan bahwa masih banyak hal
yang tersembunyi dan tidak bisa dimengerti secara tuntas. Hidup manusia memang
penuh dengan misteri dan akan tetap menjadi misteri yang tidak bisa dijangkau
oleh pikiran manusia. Akal pikiran dapat merumuskan banyak pengetahuan tentang
manusia, tetapi “keseluruhan” manusia tidak pernah bisa diselesaikan dengan
tuntas oleh ilmu pengetahuan. Misteri tetap ada didalamnya dan bahkan semakin
lama semakin “besar” untuk disadari. Seorang filsuf dan orang kudus jaman ini
yakni Edith Stein pernah mengatakan:
“Manusia selalu ingin mengerti dirinya. Sejarah peradaban manusia
merupakan sejarah ide-ide tentang dirinya. Betapa banyak pengetahuan manusia
tentang dirinya dalam kurun sejarah. Namun sampai kini tetap merupakan misteri,
rahasia terselubung yang mahabesar. Ia menjadi teka-teki bagi dirinya sendiri.
Karena dalam diri manusia memang terkandung banyak keajaiban.”
Bahwa manusia dapat hidup, bernafas, bergerak, melihat dan merasakan,
mendengar, berbicara dan berkomunikasi, berteman, mencintai….dsbnya,
merupakan hal-hal yang sangat mengagumkan dan sangat ajaib. Maka hidup
manusia sunguh-sungguh penuh dengan misteri.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Pertanyaan Refleksi dan Pendalaman
1.
2.
3.
Jelaskan asal-usul manusia menurut beberapa pandangan yang berkembang!
Berbicara mengenai asal usul manusia; menurut Anda manakah yang benar, penciptaan
manusia seperti yang tertuang dalam Kitab Suci atau seperti yang dikemukakan oleh
ilmu pengetahuan termasuk dalam teori evolusi?
Jelaskan bahwa sains dan iman tidak bertentangan!
B. MARTABAT MANUSIA
Manusia dapat hidup sebagai pribadi terhormat dan mandiri apabila ia mampu
menghayati otonominya, membangun dan memelihara kehidupan yang manusiawi dengan
penuh tanggung jawab. Sepanjang perjalanan hidupnya, manusia terus bertanya tentang
tuntutan-tuntutan pokok yang harus dilakukan agar hidup benar-benar menjadi manusiawi.
Jawaban yang diperolehpun beraneka ragam. Kendati demikian, ada satu keyakinan dasar
yang diyakini manusia di mana keputusan moral yang mandiri harus berkiblat pada sejumlah
tuntutan dasar yakni sejumlah tuntutan yang sesuai dengan ciri khas hidup manusia yang
dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Dalam tradisi Kristen terdapat nilai-nilai yang dipandang sebagai yang utama, yakni
hormat terhadap pribadi manusia, daya cipta manusia dan solidaritas dalam membangun
paguyuban manusia. Namun nilai-nilai tersebut terkadang tidak sama artinya, karena itu
dapat diurutkan berdasarkan tuntutan. Dalam perkembangan zaman, tatanan nilai tidak
sama karena mengikuti kebudayaan yang berbeda-beda, maka nilai yang diutamakan juga
berbeda-beda. Dewasa ini Gereja berusaha untuk mempermaklumkan dengan resmi hakhak manusia, demi injil yang dipercayakan kepadanya seperti hak-hak perorangan khususnya
kaum buruh, hak-hak keluarga dan pendidikan, hormat terhadap kehidupan dan
sebagainya(GS art 41).
1. Martabat Manusia Menurut Kitab Suci (Kej 1:1-2:7)
Berdasarkan Kej 1:26-28; dan Kej 2:7-8, 15-18, 21-25 dapat dikatakan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6 dengan bersabda dan bertindak. Dalam
kisah penciptaan itu manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada
di alam semesta di ciptakan. Hal itu dapat pula berarti bahwa manusia diciptakan sebagai
puncak ciptaan Allah. Sebagai puncak ciptaan. manusia diciptakan sesuai dengan gambar
dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu: akal-budi, hati/perasaan, dan kehendak
bebas (bdk. Kejadian 1:26). Adanya karunia akal-budi menjadikan manusia bisa atau
memiliki kemampuan untuk memilih, karunia hati/perasaan menjadikan manusia bisa
merasakan dan mencintai, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia mampu
membangun niat-niat. Karunia-karunia itulah yang menjadikan manusia sebagai mahluk
hidup yang memiliki kesadaran dan kebebasan.
Manusia yang telah diciptakan tidak dibiarkan begitu saja. Oleh Allah, manusia diberi
suatu tugas (bdk. Kej. 1:28, 2:15) untuk beranak-cucu, memenuhi bumi, mengolah,
memanfaatkan dan memelihara alam semesta; juga dipanggil untuk hidup bersama Allah
dalam kebahagiaan (bdk. Kej. 2: 8, 15-17). Gambaran yang paling tepat mengenai siapakah
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat dalam Kitab Mazmur 8:1-10.
Demikian juga gambaran siapakah manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat
dalam Kitab Yesus Bin Sirakh 17:1-11.
Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya.
Sebagai citra Allah, ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia
ditetapkan sebagai tuan atas semua mahluk di dunia ini (Kej 1:26; Keb 2:23), untuk
menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10). “Apakah
manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau
mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan
memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas
buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7)
Selanjutnya Kitab Suci menuliskan bahwa: “menurut citra-Nya diciptakan-Nya dia: lakilaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Allah tidak menciptakan manusia
seorang diri: sebab sejak awal mula Allah mencipatakan pria dan wanita. Rukun hidup
mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang
terdalam manusia bersifat sosial dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat
hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Maka, seperti kita baca pula dalam
Kitab Suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah
adanya” (Kej 1:31)
Karena secitra dengan Allah, manusia menduduki tempat yang paling istimewa dalam
tata penciptaan. Dalam kodratya bersatulah dunia rohani dan jasmani. “Manusia memiliki
martabat sebagai pribadi; ia bukan sesuatu melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri
sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam
kebersamaan dengan orang lain, karena rahmat ia sudah dipanggil kedalam perjanjian
dengan Penciptanya, untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta yang tidak dapat
diberikan suatu makhluk lain sebagai penggantinya” (KGK 357). Satu-satunya makhluk yang
memiliki martabat adalah manusia. Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah dan
berwujud jasmani dan rohani.
“TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas
hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7).
Dari teks ini kita bisa mengetahui bahwa kehadiran manusia seutuhnya dikehendaki dan
direncanakan oleh Allah sendiri. Dan manusia inilah yang dipanggil sebagai “wakil” yang
ditentukan Allah untuk “menaklukkan dunia”. Manusia bertanggung jawab atas tugas yang
diberikan Allah kepadanya yakni memelihara dunia dan segala isinya. Martabat luhur yang
diberikan Allah ini bertujuan agar manusia berkuasa atas segala ciptaan lain; agar manusia
mampu merasakan dan mengabdikan dirinya kepada Allah. Karena kekuasaaan yang dimiliki
manusia berasal dari Allah, maka yang dituntut dari manusia adalah berpartisipasi dalam
kemahakuasaan Allah. Martabat luhur yang dimiliki manusia semata-mata berasal dari
kemahakuasaan Allah sendiri.
Penilaian martabat manusia tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia diciptakan
oleh Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati dan dijunjung tinggi
karena iman akan Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu Sang Pencipta sekaligus
mengandung kepercayaan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai mahluk yang mulia dan
bermartabat luhur. Dalam iman kristiani, martabat manusia baru dikenal sebenarnya di
dalam Yesus, putra sulung di antara banyak saudara. Kebenaran tentang manusia hanya
dikenal di dalam Yesus Kristus. Karena martabat luhur manusia hanya diakui dalam iman
akan Allah sebagai Sang Pencipta dan dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup manusia
itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia
bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat
transcendental (bersifat ilahi dan mengatasi segala-galanya), yaitu memenuhi kerinduan
manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi
berupa kehidupan kekal. Lihat Yoh 17:1-3; 1 Yoh 3:2; 1 Kor 2:9 Tujuan hidup manusia masingmasing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya. Pandangan
Katolik berbeda dengan Yahudi dan Islam yaitu bahwa martabat luhur manusia dilihat dari
segi tujuan hidup menjadi jelas (mendapatkan makna definitive) dalam diri Yesus Kristus.
(lih. GS. 22)
Tujuan hidup manusia mengandaikan juga tugas-tugas hidup yang mesti dijalankan
oleh manusia, yaitu “memperkembangkan martabatnya”. Tugas hidup itu adalah mencapai
kesempurnaan dalam panggilan hidup sebagai anak-anak Allah. Hal ini berarti berkembang
dalam Yesus Kristus, mengejar persamaan dengan martabat Yesus Kristus.
2. Martabat Manusia dalam Pandangan Konsili Vatikan II
Pandangan mengenai martabat manusia secara jelas dikemukakan dalam Gaudium et
Spes art. 12. Acapkali manusia melihat dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak atau
merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan. Hal ini menyebabkan
manusia menjadi bimbang dan gelisah. Gereja menyadari kegelisahan dan ikut merasakan
berbagai kesulitan manusia yang dialami secara mendalam. Dengan diterangi oleh Allah yang
mewahyukan diri, Gereja berusaha untuk menjawab kesukaran-kesukaran tersebut untuk
melukiskan keadaan manusia yang sebenarnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, agar
dapat mengenali dirinya, martabat dan penggilannya (GS art 12).
Dari kodratnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup dengan sesamanya.
Tanpa orang lain manusia tidak dapat hidup dan mengembangkan dirinya dengan segala
bakat dan kemampuannya. Manusia yang diciptakan Allah ditempatkan lebih tinggi dari
ciptaan lain. Ia dianugerahi keistimewaan berupa akal budi, hati nurani dan kehendak bebas.
a. Manusia sebagai makhluk berakal budi
Satu hal yang menjadikan manusia sebagai makhluk bermartabat dan otonom adalah
akal budinya. Akal budi adalah ciri khas manusia yang unik dan sekaligus membedakannya
dengan makhluk ciptaan lain, khususnya binatang. Akal budi menjadi bentuk keunggulan
manusia. Maka hidup dan tindakannya harus didasarkan pada akal budinya. Dengan akal
budi yang dimilikinya, manusia mampu mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan
empiris, dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Bahkan pada zaman
sekarang manusia telah mencapai taraf pengetahuan yang paling tinggi dengan menyelidiki
alam bendawi dan menaklukkannyakepada dirinya. Namun demikian ia masih terus mencari
dan menemukan kebenaran yang semakin mendalam (GS art 15). Akal budi memperkaya
manusia dengan pelbagai kemampuan, seperti:
1) Mengerti dan menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Ini berarti bahwa manusia sadar akan keberadaannya, tindakannya, sikapnya, dsbnya.
Seorang filsuf Perancis (Rene Descartes), pernah berkata: “Cogito ergo sum” (saya
berpikir maka saya ada).Maka dengan kesadarannya, manusia merefleksikan diri dan
tindakannya. Namun ia tidak hanya mengerti dirinya sendiri saja, tetapi juga mengerti
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
akan dunia luar. Artinya, manusia menyadari keberadaan segala sesuatu dalam dunia ini
dan hubungan-hubungannya. Dengan akal budinya ia dapat mencari hubungan antara
segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.
2) Berkembang, membangun kebudayaan dan menciptakan sejarah.
Dengan akal budinya manusia bertanya, lalu mencari jawabannya. Berkat akal budi itu
pula manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hasilnya dapat
dinikmati saat ini. Manusia juga membangun kebudayaan terutama yang berhubungan
dengan kesenian, seperti: seni musik, lukis, bangunan, sastra, suara, tari, dsbnya. Semua
itu berasal dari budi dan hati manusia. Selain itu manusia masih dapat menciptakan
sejarah. Bukan saja sejarah dunia atau sejarah nasional, tetapi juga “sejarah” pribadi kita
masing-masing. Setiap orang pasti pernah menorehkan sejarah dalam perjalanan
hidupnya sendiri.
3) Bekerja
Manusia adalah makhluk pekerja. Kerja yang dilakukan manusia memerlukan pemikiran.
Maka kegiatan harus diarahkan kepada satu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan
kekhasan makhluk berakal budi. Dan hanya manusialah yang dapat merencanakan,
mengatur dan menguasai ciptaan lain. Kerja juga merupakan kegiatan insani. Kerja
menjadi sarana seorang manusia untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Melalui kerja
manusia dapat menuangkan segala ide-ide kreatifnya, gagasannya yang cemerlang, dan
segala daya upayanya. Kerja bukan hanya sekedar sarana untuk mencari nafkah, tetapi
lebih dari itu merupakan wadah bagi aktualisasi diri.
4) Mengembangkan hubungan yang khas dengan manusia lain
Dengan akal budinya manusia dapat “bertemu” dan “bersama” dengan sesamanya.
Karena itu manusia mampu menciptakan bahasa, membangun cinta, perhatian,
harapan, relasi, dsbnya. Manusia dapat hidup bersama dan berkomunikasi; ia mampu
menjalin persahabatan dan cinta dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan itulah
yang membuat manusia semakin bermutu dan sungguh-sungguh menjadi manusia.
Namun tidak dapat disangkal bahwa akal budi telah kabur dan lemah akibat dosa.
Maka pada akhirnya, kodrat nalariah manusia disempurnakan oleh kebijaksanaan yang dapat
menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai yang benar dan baik. Manusia
membutuhkan kebijaksanaan untuk memahami hidupnya di dunia, sehingga diharapkan
akan semakin dekat dengan Sang Penciptanya.
b. Manusia sebagai makhluk berhati nurani.
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai suara hati. Suara hati/hati nurani inilah yang
menjadi hukum yang harus ditaati. Manusia yang anugerahi martabat luhur harus mematuhi
hukum tersebut, karena dengan hukum itu pulalah ia akan diadili. “Hati nurani adalah inti
manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; disitulah ia seorang diri bersama Allah yang
sapaannya menggema dalam batinnya” (GS art 16). Kepekaan untuk mendengarkan suara
hati membawa manusia untuk mencari kebenaran. Dalam kebenaran itulah manusia
memecahkan berbagai persoalan yang ada dalam hidupnya. Untuk dapat memahami hati
nurani secara baik, maka kita perlu melihat beberapa hal berikut:
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
1) Kesadaran etis.
Ketika kita berbicara tentang manusia sebagai makhluk berakal budi, kita sudah
menyinggung bahwa dengan akal budinya manusia dapat menyadari dirinya dan
tindakannya. Ia dapat menyadari dan menilai kalau tindakannya baik dan benar atau
salah dan buruk. Dengan akal budinya manusia dapat memiliki kesadaran etis dan
moral. Kesadaran etis adalah kesadaran untuk menilai suatu tindakan itu baik atau
buruk. Kesadaran etis ini terdiri atas tiga taraf yang berbeda-beda, yakni: Pertama,taraf
naluri. Pada taraf ini segala tindak tanduk manusia didasarkan pada tekanan dan
peraturan dari luar, misalnya adat istiadat atau hukum dan bukan oleh kesadaran diri
dan hati nurani. Kedua, taraf kesadaran moral. Pada taraf ini tingkah laku etis lebih
didasarkan atas kesadaran dan kebebasan. Artinya, sebagai realisasi pribadi manusia
yang berakal budi dan berkehendak bebas. Manusia yang otonom. Sifat moralnya
adalah khas manusiawi. Ketiga, tingkat kesadaran kristiani. Pada taraf ini kesadaran
moral dilakukan dalam rangka mewujudkn diri sebagai manusia yang berakal budi dan
otonom. Dalam bertingkah laku, manusia tidak hanya sekedar melakukannya karena
tindakan itu baik, tetapi terutama karena didorong oleh cinta kasih kepada kepada
Tuhan dan sesama. Maka yang menjadi hukum pokok dalam taraf ini adalah cinta kasih.
2) Tindakan moral
Jawaban atas undangan Allah dilaksanakan manusia dalam tindakan-tindakan moralnya.
Tindakan-tindakan moral baru dapat disebut tindakan moral apabila dilaksanakan secara
sadar dan bebas, sesuatu yang khas manusia. Penilaian obyektif dan benar tentang
suatu tindakan hendaknya mempertimbangkan seluruh tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini seringkali dipengaruhi oleh motivasi dasarnya dan juga oleh sikap dasarnya.
Tindakan lahiriah manusia harus diukur pula dari disposisi batinnya. Jadi, selain
kesadaran dan kebebasan, tujuan dan motivasi sangat menetukan tindakan moral
seseorang.
3) Hati nurani
Dalam arti luas, hati nurani dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban.
Hati nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan bertumbuh dari hati manusia.
Kesadaran moral tidak berarti bahwa manusia sudah dibekali dengan aturan yang serba
jelas, sehingga ia tahu pasti yang harus ia lakukan. Manusialah yang harus berusaha
untuk membuatnya menjadi jelas. Kebiasaan, adat, tradisi serta aturan moral
merupakan sarana yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan kesadaran moral. Hati
nurani yang terdidik tidak buta terhadap kekayaan tradisi serta norma-norma yang
berlaku umum. Sedangkan dalam arti sempit, hati nurani dimaksudkan sebagai
kesadaran moral dalam situasi konkret, antara lain menilai suatu tindakan baik atau
buruk lalu mendorong kita untuk mengambil keputusan untuk bertindak. Suara hati/hati
nurani ini berfungsi untuk mengingatkan manusia untuk melakukan yang baik dan
menolak yang jahat, atau mengingatkan kita jika menyimpang dari yang baik. Akan
tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidakpedulian dan
ketidaktahuan yang tak teratasi tanpa kehilangan martabatnya. Karena ketidakpedulian
dan kebiasaaan berdosa itulah hati nurani seseorang lambat laun akan menjadi tumpul
dan buta. Agar tidak terjadi demikian maka hati nurani dan kesadaran moral harus
selalu diasah atau dibina. Pembinaan hati nurani dapat dilakukan dengan selalu
mengikuti hati nurani dalam segala hal; mencari keterangan pada sumber yang baik
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
(Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, buku-buku yang bermutu atau ikut dalam
berbagai kegiatan kerohanian yang ada); koreksi atau introspeksi.
c. Manusia sebagai makluk berkehendak bebas.
Sebagai citra Allah, manusia dianugerahi pula rahmat kekebasan. Manusia hanya akan
berpaling kepada kebaikan apabila ia bebas. Karena itu oleh orang-orang zaman sekarang
kebebasan sangat dihargai dan dicari dengan penuh semangat. Namun seringkali terjadi
bahwa kebebasan selalu disalah-artikan dengan cara yang salah, juga diartikan sebagai
kesewenang-wenangan untuk melakukan apa yang dikehendaki manusia. Sesungguhnya
yang harus diusahakan manusia adalah kebebasan yang sejati. “Kebebasan sejati merupakan
tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan
manusia kepada keputusannya sendiri” (GS art 17). Dengan pilihan bebasnya, manusia
diharapkan mengabdi kepada Allah dalam kebebasan yang sempurna. Allah menghendaki
bahwa dengan pilihan bebasnya manusia dengan sadar dan bebas digerakkan oleh hatinya
yang paling dalam untuk mencari penciptanya dan mengabdi kepada-Nya secara bebas.
3. Implikasi Manusia Sebagai Citra Allah Bagi Kehidupan Sesama
a.
Manusia sebagai Makhluk Pribadi
Berdasarkan penjelasan dari Kitab Suci dan Gaudiem et Spes, Gereja mengajarkan
bahwa manusia adalah citra Allah. Sebagai citra Allah manusia adalah mahluk pribadi yang
memiliki kodrat sosial. Manusia sebagai pribadi adalah bersifat unik dan menyejarah
sekaligus bersifat kekal. Ia memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dihadapan sesama
dan lingkungannya. Ia adalah makluk monodualisme:1 bersifat jasmani dan rohani.
Manusia itu bernilai dalam dirinya sendiri. Karena itu dalam segala tingkah-laku
perbuatannya pada akhirnya berupaya untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri. Ini
bukan berarti manusia hendaknya bersikap pragmatis2 ataupun egois. Dalam hal ini yang
menjadi tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah dan melaksanakan hukum
cintakasih. Tuhanlah tujuan akhir hidup manusia, karena di dalam Tuhan terdapat yang
didambakan manusia yaitu keselamatan hidup dan kebahagiaan abadi. Dengan demikian
tercapailah kemuliaan manusia karena kemuliaan manusia hanya ada pada Tuhan. Oleh
karena itu hakekat tujuan hidup manusia terdapat dalam Tuhan, tidak di dunia sekelilingnya.
1) Manusia memiliki kemerdekaan atau kebebasan
Hakekat dan syarat-syarat bagi manusia yang mulia itu adalah bahwa ia merdeka atau
memiliki kebebasan dan bertanggungjawab dalam hal mencari atau mengupayakan
tujuan hidupnya. Kemerdekaan manusia pada dasarnya bersifat jasmani dan rohani.
Adanya kemerdekaan pada dirinya dikarenakan manusia memiliki akal-budi atau pikiran
1 Monodualisme adalah Satu kenyataan yang berdimensi dua; manusia adalah mahluk yang berbadan dan
berjiwa. Pada abad pertengahan banyak filsuf yang cenderung menilai negatif badan manusia sehingga
mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah jiwa yang bersifat kekal tetapi terpenjara dalam badan
yang bersifat jasmani (sumber segala dosa).
2 Pragmatis adalah sifat dari sikap manusia yang hanya mementingkan manfaat yang langsung dapat dirasakan
dan dilihat, yang menguntungkan diri sendiri (bersifat egois). Sikap ini begitu kuat dijaman sekarang sebagai
perwujudan dari arus sekluarisme (Hal ini dapat dilihat pada Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun
2002). Oleh karena itu sikap pragmatis cenderung mengabaikan hal-hal yang berbau rohani dan religius,
karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung, tidak bisa diukur dan sebagainya.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
sehingga ia memiliki kemampuan untuk memilih. Kebebasan bersifat jasmani yaitu bila
tubuh manusia tidak terbelenggu untuk melakukan aktifitas yang dimaui, sejauh sesuai
dengan kodratnya. Adapun kebebasan yang bersifat rohani mencakup dua hal yaitu
kebebasan dalam arti pikiran dan dalam arti moral.
2) Manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya
Hakekatnya Tuhan menjadikan manusia itu sebagai subyek dan bukan obyek. Sebagai
subyek berarti manusia adalah pelaku dan penanggung-jawab segala perbuatannya. Ada
ungkapan latin yang mengatakan “cogito ergo sum dan cogito ergo passum”. Itu berarti
manusia itu aktif dan kreatif karena harus memikirkan, merencanakan, yang melakukan
dan yang mempertanggung-jawabkan segala apa yang diperbuatnya. Manusia bukan
obyek atau yang dikenai tindakan (bersifat pasif). Maka sangatlah keliru besar apabila
kita mengobyektivasi sesama kita, karena di sana pasti muncul penindasan martabat
manusia dan ketidakadilan.
3) Manusia dituntut untuk bertanggung-jawab dalam hidupnya
Oleh karena kesadaran akan keberadaan dirinya termasuk apa yang dipikirkan dan
diperbuatnya, dalam kebebasannya, maka dari manusia selalu dituntut untuk
mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya. Pertanggungan jawab itu pada
dirinya-sendiri (suara hatinya), pada sesamanya (dalam sebuah sistem dan komunitas)
dan kepada Tuhan Allah yang menjadi tujuan akhir dari hidupnya (seperti yang diajarkan
oleh semua agama). Dalam hal ini manusia diajarkan ajaran moral yaitu bahwa manusia
hendaknya bertindak sesala sesuatu dengan kesadaran, kemauan (tidak dipaksa) dan
bermotivasi luhur. Bila tidak demikian maka menurut ajaran moralitas, hal itu disebut
dosa.
b. Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Manusia hidupnya tergantung satu sama lain. De facto bahwa manusia tidak bisa hidup
sendirian dalam arti yang sebenarnya “No man is island”, manusia adalah mahluk sosial. Dari
bayi hingga dewasa bahkan ketika akan menghadapi kematian, manusia selalu
membutuhkan sesamanya. Hidup ditengah-tengah manusia lain adalah fakta yang tidak
terbantahkan. Dengan hidup ditengah-tengah sesamanya, manusia memiliki sifat personal
yang unik dan menyejarah. Tak terbayangkan kita hidup tanpa hubungan dengan manusia
lain.
1) Kenyataan Hidup dalam kebersamaan
Ketergantungan hidup pada orang lain sangat jelas pada masa balita. Prosentase
ketergantungan pada orang lain itu semakin mengecil dengan bertambahnya usia
seturut “hukum proses pendewasaan pribadi”. Oleh karena itu sebagai citra Allah
manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, yang disatu sisi dipandang
sebagai anugerah yang layak disyukuri” dan dilain pihak mengandung tugas
panggilan/perutusan yaitu “membangun” dan bukan untuk bermalas-malasan.
Karenanya kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas
kebersamaan, yang mau tidak mau, yang suka atau tidak suka, adalah fakta. Kesadaran
itu hendaknya dihayati dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerjasama dan
saling pengertian di antara manusia.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
2) Sikap-Sikap sebagai Makhluk Sosial.
Sebagai makhluk social, hidup dalam kebersamaan tidaklah mudah. Seringkali terjadi
konflik kepentingan antara satu dengan yang lain karena masing-masing saling berupaya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu dibutuhkan sikap saling pengertian,
saling menghormati, dan saling kerjasama menuju suatu tatanan hidup bersama yang
baik. Ciri utama sikap yang menekankan semangat sebagai makhluk sosial adalah
solidaritas dan subsidiaritas. Dalam hal ini kita perlu waspada pada mentalitas
egosentrisme yang mengutamakan bertindak dan mengukur segalanya dengan ke-AKUan yang kelewat batas kewajaran (egois). Manusia bukanlah “homo homini lupus”
(manusia menjadi serigala bagi yang lain) yang mementingkan diri sendiri tanpa
mengingat nasib dan penderitaan orang lain (individual). Ia adalah “homo homini
socius” (manusia menjadi sesama bagi manusia lainnya). Agar tidak menjadi serigala
bagi yang lain maka sikap dasar yang ideal dalam kehidupan bersama adalah “cinta”
yang hakekatnya merangkum segala-galanya dan mendasari sikap solidaritas dan
subsidiaritas antar sesama manusia.
c.
Sikap dalam Memperjungkan Keluhuran Martabat Manusia
Sebagai citra Allah yang memiliki martabat luhur, kita dituntut untuk menentukan
sikap dalam mewujudkan penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain atas martabat
baik kita. Beberapa sikap yang perlu dikembangkan untuk menghormati martabat manusia
antara lain:
1) Mencintai kehidupan
Gambaran Allah dalam diri manusia bukan hanya bersifat spiritual saja seperti
rasionalitas, afeksi atau daya refleksi, melainkan juga dalam wujud jasmani dan rohani.
Allah mengendaki agar manusia memiliki martabat yang istimewa melebihi ciptaan lain.
Karena secitra dengan Allah maka manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Kesatuan
pribadi manusia sebagai jiwa dan raga inilah yang menjadi bait kudus bagi Allah (bdk.
1Kor 3:16-17). Sebagaimana Allah mencintai dan menghargai ciptaan-Nya, demikian
pulalah manusia harus mencintai dan menghormati ciptaan yang lain.
2) Hormat pada kehidupan
Hidup manusia tidak terjadi dan berakhir begitu saja. Karenanya tidak seorangpun
boleh merekayasa dan mengakhiri hidupnya sekehendak hatinya. Manusia tidak boleh
bertindak sewenang-wenang terhadap kehidupan. Sering kali manusia disebut sebagai
makhluk religious (animal religiosum). Ciri ini nampak jelas dalam pola penghayatan
religiusnya yang dapat ditemukan disetiap kebudayaan yang ada. Manusia selalu
mengusahakan relasi dengan sesuatu yang bersifat adikodrati yang bagi orang Kristen
dinamai Allah. Relasi Allah-manusia ini bersifat unik karena sangat personal dan
menyangkut dirinya dengan Allah. Berkat anugerah Allah manusia sanggup mengatasi
segala sesuatu dan segala peristiwa dalam hidup sehari-hari hingga sampai kepada
Allah.
3) Menghargai personalitas manusia
Manusia bukanlah ‘sesuatu’ melainkan ‘seseorang’. Ia adalah makhluk personal. Unsur
personalitas ini nampak jelas dalam keadaan dirinya sebagai individu yang unik. Tingkat
keunikan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dapat memutuskan dan
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
memilih sendiri apa yang penting bagi hidupnya. Dengan demikian manusia menjadi
makhluk yang otonom. Personalitas manusia ini juga terlihat dari ketergantungannya
pada Allah menyangkut kebenaran dan kebaikan. Personalitas dan kebebasan manusia
terarah pada tujuan, sasaran dan nilai-nilai tertentu. Personalitas manusia dimengerti
dalam kesatuan antara tubuh dan roh. Kesatuan inilah yang memampukan manusia agar
dalam setiap pilihannya mampu bertanggung jawab. Akan tetapi pengertian ini tetap
menimbulkan kesulitan tersendiri, terutama pengertian personalitas dan kebebasan bila
dikaitkan dengan orang-orang yang tidak dapat menunjukkan fungsi rohnyaseperti:
janin, orang idiot, atau yang menderita penyakit. Maka salah satu sikap yang perlu
dipupuk adalah menghargai manusia sebagai person karena hal ini sudah mulai
memudar ditengah arus zaman dengan segala kompleksitasnya.
4) Memelihara hidup yang adalah suci dan berkualitas
Manusia adalah ciptaan Allah. Setiap manusia dipanggil untuk merealisasikan
kepenuhan citra Allah tersebut. Manusia bukanlah tuan atas hidupnya. Karena itu setiap
individu mempunyai kewajiban etis untuk menghormati kehidupan tanpa syarat. Hidup
manusia adalah baik karena berasal dari Allah dan pada hakikatnya hidup manusia itu
suci. Dengan menyadari harkat hidup manusia yang agung karena Penciptanya yang
Maha Agung, manusiapun tidak boleh semena-mena terhadap kehidupan.
5) Mempertahankan kemurnian hidup.
Cinta Allah kepada manusia melebihi ciptaan lain. Karena cinta-Nya inilah maka ia
mengutus Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Melalui
Kristus, Allah mau tinggal dan hidup dengan manusia. Kehadiran Kristus ini memberi
makna baru pada tubuh manusia sebagai tempat yang kudus bagi Roh Kudus, sehingga
disebut juga sebagai Bait Roh Kudus (1Kor 3:16). Dalam arti ini, tubuh tidak lagi
dipahami sebagai alat yang dapat diobyekkan, tetapi dipahami sebagai tempat tinggal
Allah. Melalui kebangkitan Kristus, hidup manusia diselamatkan dan semakin disucikan.
Hidup manusia tidak berakhir didunia, melainkan terarah kepada tujuan tertentu yakni
hidup kekal. Dengan kebangkitan Kristus pula, hidup manusia selalu terarah kepada
Allah dan semakin dekat dengan penciptanya, “sehingga bukan aku lagi yang hidup
melainkan Kristuslah yang hidup di dalam diriku.” (Gal 2:20). Demikianlah ungkapan St.
Paulus untuk mengatakan bahwa hidup manusia harus selalu terarah kepada Allah.
Pertanyaan Refleksi dan Pendalaman
1. Jelasakan tugas manusia sebagai Citra Allah yang bermartabat luhur!
2. Apakah sikap hidup manusia sekarang ini masih mencerminkan keluhuran
martabatnya?
3. Pelanggaran apa saja yang dilakukan terhadap keluhuran martabat manusia?
4. Sikap apa yang seharusnya dikembangkan untuk menunjukkan martabat manusia
yang luhur?
I. Manusia
16
I
MANUSIA
Pengantar
Setiap orang baik yang beriman maupun yang tidak beriman sepakat bahwa segala
sesuatu di dunia ini diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncak ciptaan. Apakah
manusia itu? Dahulu dan sekarang terdapat banyak pandangan dan pendapat yang sama
maupun bertentangan. Manusia seringkali menyanjung dirinya sebagai tolak ukur yang
mutlak, atau merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan; dan sebagai
akibatnya ia merasa bimbang dan gelisah. Berbagai kesulitan yang dialami manusia turut
pula dirasakan oleh Gereja. Berkat karya Allah yang mewahyukan diri, Gereja diterangi
sehingga mampu menjawab persoalan-persoalan seputar manusia, melukiskan keadaan
manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan serta martabat dan panggilannya.
Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah”
artinya manusia secitra dengan Allah. Karena itu ia mampu mengenal dan mengasihi
penciptanya. Sejak diciptakan, manusia telah ditetapkan sebagai “tuan” atas ciptaan lain (Kej
1:26; Keb 2:33), untuk menguasai dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:310). Penulis Kitab Mazmur melukiskan dengan indahnya tentang manusia: “Apakah manusia,
sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?
Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan
kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segalagalanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7)
A. PANDANGAN TENTANG ASAL USUL MANUSIA
1.
Pandangan Sains Tentang Asal-Usul Manusia.
a.
Teori Evolusi
Berbagai pandangan tentang asal-usul manusia di jaman modern ini dikalahkan
oleh TEORI EVOLUSI yang muncul pada abad 19. Teori ini mengulas tentang bagaimana
asal-usul manusia yang terus berevolusi dari tingkatan yang paling rendah sampai pada
tingkatan yang paling tinggi. Melalui pembuktian-pembuktian dilakukan, para ahli
penganut teori evolusi agama bersikap kompromi. Kompromi tersebut dikenal dengan
“teori evolusi terbatas” yang bersifat moderat. Pandangan pokoknya adalah bahwa
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia selama ribuan tahun benar-benar mengalami
mutasi (perubahan) yang tidak sedikit. Namun mereka menolak mengakui adanya
penyeberangan antara tingkatan mahluk yang satu menuju tingkatan mahluk yang lain.
Jadi mutasi benda tak berhayat menuju tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan
menuju binatang, dan dari binatang menuju manusia tetaplah disangkal dengan
kerasnya. Yang terutama ditolak adalah gagasan bahwa manusia seluruhnya, jiwa dan
badan, berasal dari binatang. Hal ini karena pihak ilmu pengetahuan pun belum bisa
membuktikan secara meyakinkan dengan teori “missing link”nya.
b. ....................................
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
c.
16
Pandangan filosofis
Menghadapi permasalahan hidup seperti tersebut di atas, manusia berusaha
dengan berbagai kemampuannya untuk mengatasinya. Pertanyaan besar yang selalu
mengganggu pikiran manusia adalah mengenai asal-usulnya. Menurut Frans Dahler
usaha untuk menjawab hal ini menjadi pangkal lahirnya mitos-mitos, dongeng-dongeng
kuno, berbagai macam filsafat dan agama-agama. Sejak ribuan tahun lamanya, manusia
menciptakan gambaran akan asal-usulnya sendiri. Dengan segala kemampuannya, ia
berusaha memuaskan nafsu dan kehausan untuk mengetahui asal-usulnya sendiri. Dari
manakah manusia berasal? Bagaimana ia diciptakan? Bagaimanakah manusia
berkembang sehingga memiliki daya rohani yang agung sekaligus yang membedakannya
dengan binatang?
Bangsa-bangsa primitif di Afrika, Asia dan Australia bicara tentang semacam
“Tuhan purba” yang menciptakan manusia. Sedangkan agama-agama polytheis dari
jaman kuno maupun jaman modern membayangkan adanya “Tuhan jamak”, dewa-dewi
yang menciptakan dunia dan manusia. Sebaliknya ada aliran filsafat yang pengaruhnya
terasa pada agama Hindu dan Buddha yang justru menyangkal adanya “ciptaan”.
Manusia dalam pandangan itu dikatakan merupakan unsur dalam “Dunia Ilahi” yang
sudah selalu ada. Alam semesta bersama manusia di dalamnya merupakan kenyataan
ilahi, dan alam ini berputar tanpa henti-hentinya dalam lingkaran reinkarnasi, lingkaran
tertutup, dari kekal sampai kekal.
Demikian pula berdasarkan pengalaman eksistensi manusia yang selalu
berhadapan dengan “baik” dan “buruk” maka berkembanglah aliran filsafat dualisme
yang menyatakan bahwa asal dunia ini dari dua prinsip, dua sumber yaitu sumber
kebaikan (Allah) dan sumber kejahatan (Iblis, setan dsb).
1) Pandangan filosofis Kristen, Islam, Yahudi tentang manusia
Tuhan menciptakan
Manusia berkembang,
berjalan menuju tujuan akhir,
yaitu Akhirat.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
2) Pandangan filosofis timur yang mempengaruhi agama Hindu dan Budha.
SIKLUS ALAM
Alam semesta selalu ada dalam
lingkungan tertutup. Semua akan
terulang lagi. Tak ada evolusi, tak
ada ciptaan. Tidak ada perbedaan
tajam antara Tuhan dan manusia
3) Pandangan filosofis Dualisme tentang manusia.
TUHAN
Sumber kebaikan
JIWA
ROH
Tubuh dengan
nafsu-nafsu
Iblis, setan, benda:
sumber kegelapan & kejahatan
2.
Sains dan Iman
3.
Pandangan Kitab Suci Tentang Asal-Usul Manusia
Berawal dari kisah penciptaan seperti terungkap dalam Kitab Suci, manusia
menemukan bahwa ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah sendiri (Kej 1:27). Ia
dipanggil untuk mewujudnyatakan kepenuhan citra Allah tersebut. “Secitra dengan Allah”
berarti pribadi manusia diciptakan dalam wujud jasmani dan rohani yang tidak terpisahdan
merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam kisah penciptaan manusia, dikisahkan tentang
Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah lalu menghembuskan nafas kehidupan
(Roh) dalam dirinya, sehingga manusia menjadi utuh (bdk. Kej 2:7). Beberapa ungkapan yang
dipakai untuk menyatakan nafas hidup antara lain: Nefes atau Nous yang berarti nyawa,
nafas, pernapasan (dalam arti: nafas yang keluar dari tenggorokan sebagai tanda kehidupan).
Ada juga ungkapan lain yaitu Ruah (roh) yang berarti nafas kehidupan yang menunjukkan
keutuhan makhluk. Bahkan Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia pertama yang
ciptakan Allah adalah Adam dan Hawa. Adam berarti tanah (manusia yang dibentuk dari
debu tanah). Sedangkan Hawa berarti kehidupan (Kej 2:20). Apa yang diberikan Tuhan Allah
bukanlah suatu bagian yang dimasukkan kedalam tubuh tetapi merupakan daya kekuatan
yang menciptakan dan memberi hidup.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Dari semua ciptaan yang ada, manusialah satu-satunya yang “mampu mengenal dan
mencintai penciptaNya” (GS art. 12). Hanya manusialah yang dipanggil supaya dalam
pengertin dan kehendaknya mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Untuk tujuan
inilah manusia diciptakan dan inilah yang menjadi dasar dari martabanya yang sungguh
luhur dan mulia. Mengapa Allah memberikan keistimewaan kepada manusia dengan
mengangkatnya ke dalam martabat yang begitu mulia? Apa maksudnya? Keluhuran dan
keagungan manusia sebagai ciptaan tertinggi merupakan cinta yang tak ternilai dari Sang
Penciptanya. Karena cinta-Nya, Allah menganugerahkan keinginan dalam kodrat
kemanusiaan kita suatu keinginan dan kerinduan terdalam untuk berelasi dengan Allah.
Kitapun turut mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri. Kita diciptakan oleh Allah
dengan tujuan agar kita tetap berada dalam hubungan dengan Allah. Inilh yang menjadi
kunci kebahagiaan manusia itu sendiri.
4.
Pandangan Gereja Katolik mengenai
5.
Usaha Manusia dalam Menjawab Persoalan Dasar Kehidupannya.
Berbagai persoalan dasar yang muncul dalam kehidupan manusia menimbulkan
pertanyaan serius tentang dirinya. Manusia mulai memikirkan dan merefleksikan
pengalamannya dalam dinamika perjalanan hidupnya. Dalam keterbatasan, manusia
berusaha mengetahui asal, tujuan dan makna hidupnya. Refleksi terhadap pengalaman
hidupnya membawa manusia pada sebuah kesadaran bahwa ia diciptakan oleh Allah dan
terarah kepada-Nya. Manusia makin menyadari bahwa Allah terus menariknya ke dalam
pelukan-Nya, karena itu muncul kesadaran dalam diri manusia bahwa hanya dalam Allahlah
manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang secara terus menerus
dicarinya ( KGK art 28). Allah adalah sumber kehidupan dan hanya pada Allah saja manusia
dapat menemukan identitas dirinya. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan berikut:
“Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk
memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak awal mula manusia diundang untuk
berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan
Allah dalam cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut
kebenaran, bila tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri
kepada pencipta-Nya.” (GS art 19)
Untuk bisa menjawab persoalan-persoalan dasar yang dihadapinya, manusia berusaha
menemukan Allah dalam kehidupannya. Beberapa usaha yang dilakukan misalnya: doa,
kurban, upacara, meditasi, dll. Hal ini mau menunjukkan bahwa inti kebahagiaan manusia
terletak dalam persatuannya dengan Allah dalam relasi yang mesra. Namun dalam
kenyataannya, manusia seringkali mengingkari bahkan menolak hal tersebut karena berbagai
sebab. Beberapa penolakan yang dilakukan manusia misalnya: protes terhadap kejahatan
yang ada di dunia ini, ketidakpahaman atau ketidakpedulian religious, kesusahan hidup,
godaan harta, hawa nafsu, teladan hidup yang kurang baik dari orang beriman,
kesombongan manusia yang berdosa sehingga menyembunyikan diri dari Allah karena rasa
takut, dsbnya. Walau demikian Tuhan senantiasa memanggil manusia untuk kembali
kepadaNya; Tuhan berharap agar manusia tidak pernah berhenti mencari-Nya sehingga
dapat mengalami kebahagiaan bersama Dia.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Tuhan selalu membuka jalan bagi manusia untuk mengenal-Nya secara lebih dekat.
Manusia dapat menempuh berbagai jalan untuk dapat mencapai pengenalannya akan Allah.
Jalan-jalan itu disebut juga sebagai “pembuktian Allah”. Jalan-jalan pengenalan menuju Allah
bertitik tolak dari adanya dunia dan segala isinya serta keberadaan manusia itu sendiri.
Melalui jalan-jalan itulah manusia dapat menemukan Allah.
a. Dunia
Dalam diri manusia muncul pertanyaan ketika melihat dunia dengan segala isinya
yang begitu menakjubkan. Manusia bertanya tentang asal-usul dunia dan keteraturan
yang terjadi di alam semesta juga tentang siapa yang berada dibalik semuanya itu.
Melalui berbagai pertanyaan tersebut, manusia dihantar untuk mengenal Allah melalui
dunia ini. Dengan melihat gerak dan perkembangan, tatanan dan keindahan dunia ini,
manusia dituntun untuk mengenal Allah sebagai sumber dan tujuan alam semesta (KGK,
32). Dunia dapat mengenalkan manusia pada Allah yang adalah sang “Arsitek Agung”.
Dialah yang merancang dunia dan segala isinya sedemikian rupa sehingga manusia
dapat mengagumi keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak
manusi bermuara pada satu jawaban yang pasti, yakni adanya “Sang Pencipta” yang
menciptakan dunia. Dialah yang disebut Allah.
b. Manusia
Dengan keterbukaannya kepada keindahan dunia dan kenyataan akan adanya alam
semesta dengan segala isinya; dengan pengertiannya akan kebaikan moral, kebebasan,
suara hati; serta dengan kerinduannya akan ketidakterbatasan dan akan kebahagiaan,
manusia terus bertanya-tanya akan adanya Allah. Dalam semuanya itu manusia
menemukan dalam dirinya adanya tanda-tanda jiwa rohani. Karena benih keabadian
yang ia bawa dalam dirinya tidak dapat dijelaskan hanya dengan asal dalam materi saja
(GS 18,1),maka jiwanya hanya dapat mempunyai Tuhan sebagai sumber. Manusia dapat
sampai kepada realitas yang merupakan Causa Prima (Sebab Pertama) dan Causa Finita
(Tujuan Akhir) dari segala sesuatu. Realitas itulah yang dinamakan Allah. Manusia
dengan keberadaannya mampu menghantarnya untuk mencari dan menemukan Allah
dalam hidupnya.
c.
Hidup Manusia Sangat Bernilai, Indah, namun Terbatas dan Penuh Misteri
1) Hidup Manusia Sangat Berharga
Sepanjang hidupnya manusia terus berusaha untuk menggapai kebadian. Ia
ingin terus hidup karena bagi manusia hidup itu sangat berarti dan bernilai.
Bagaimanapun juga manusia senantiasa berusaha untuk mempertahankan
hidupnya. Berbagai cara akan dilakukannya, misalnya: apabila sakit manusia akan
berobat atau dengan perawatan; ketika nyawanya teracam karena berbagai sebab ia
akan mempertahankannya, jika perlu dengan senjata. Karena hidup itu sangat
berharga, masyarakat kita sangat menjunjug tinggi kehidupan. Mereka berusaha
mengamankan hidupnya dengan menjaga hubungan yang selaras dengan sesama,
alam/lingkungan dan dengan dunia adikodrati. Manusia juga melanggengkan
hidupnya melalui keturunan.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Kehidupan itu sungguh sangat bernilai. Manusia tidak akan menukarkannya
dengan apapun atau menyia-nyiakan hidupnya. Kitab Suci mengatakan, “apa
gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia tetapi ia kehilangan nyawanya?”
(Mrk 8:36). Apapun yang ada di dunia ini tidak sebanding dengan hidup. Maka Ayub
mengatakan: “orang akan memberikan segala yang dipunyainya sebagai ganti
nyawanya” (Ayb 2:4). Hidup memang sangat bernilai, dan karena itu harus
diselamatkan.
2) Hidup Manusia Indah Dan Mengagumkan
Hidup tidak hanya bernilai tetapi juga indah. Manusia bisa saja mengatakan
bahwa hidup ini terasa pahit karena penderitaan dan tantangan yang dialami.
Namun hal ini tidak akan mengaburkan kenyataan yang sesungguhnya bahwa hidup
kita indah dan sungguh mengagumkan. Pada saat manusia berada dalam kondisi
normal, ia cenderung tidak menyadari keindahan hidup itu. Baru pada saat saat
mengalami cobaan, penderitaan, sakit dan mendapat vonis bahwa hidupnya tidak
akan lama lagi, manusia mulai berpikir tentang mutu hidupnya. Pada saat ini segala
sesuatu yang dilakukan manusia mempunyai sisi yang lebih tajam dan mereka
seakan melihat makna hidup.
Bila kita cermati, kita akan menemukan bahwa ternyata sebagian orang
tidak pernah menjadi manusia yang sungguh-sungguh utuh sebelum mengetahui
bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Berhadapan dengan kematian, manusiabaru
menyadari betapai indah dan bernilainya hidup ini. Hidup manusia memang
sungguh mengagumkan!
3) Hidup Manusia Terbatas
Sekalipun hidup manusia itu berharga dan indah, namun manusia tidak
berkuasa atasnya. Manusia akan selalu dihadang oleh berbagai tantangan dan
penderitaan, bahkan berakhir dengan kematian. Betapapun kerasnya usaha
manusia untuk mencapai keabadian, ia harus menerima kenyataan kalau pada
akhirnya ia akan menghadapi maut. Mengapa harus ada penderitaan dan
kematian? Apa maknanya?Dari dirinya sendiri, manusia tidak dapat memberi
jawaban atas pertanyaan yang sangat mendasar itu. Mungkin karena itu pula,
banyak orang yang menjalani hidupnya dengan pesimis, sehingga pada akhirnya
mautlah yang berkuasa. Beberapa penyair seperti Chairil Anwar pernah menuliskan
bahwa: “Hidup hanya menunda kekalahan!”Begitu pula dengan WS Rendra yang
mengungkapkan, “Kelahiran dan kematian adalah keniscayaan. Namun bagi yang
hidup, wafat kerabat adalah kehilangan. Selalu menimbulkan kesedihan.” Dalam
Kitab Ayub 14:1-2, Ayub menuturkan bahwa: “Manusia lahir dari perempuan,
singkat umurnya. Ia hilang, lenyap, dan tidak dapat bertahan”. Serta dalam Mazmur
90:5-6,10, dikatakan:“Hidup manusia hilang lenyap seperti mimpi, seperti rumput
yang disabit. Pagi-pagi berkembang dan berbunga, waktu sore layu dan kering.
Batas umur manusia tujuh puluh tahun, atau delapan puluh jika kuat.”
Sebagai orang beriman, kita dapat belajar dari Yesus yang tidak lari dari
penderitaan yang menghadang-Nya. Bagi Yesus seberat apapun penderitaan yang
akan Ia tanggung, Ia harus berani menghadapi-Nya sampai akhir. Yesus tidak
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
menjelaskan secara gamblang arti dan makna penderitaan dan maut, tetapi dari
Salib dan kebangkitan kita dapat melihat dan menemukan tawaran yang memberi
arti pada penderitaan dan maut tersebut. Bagi orang lain, salib adalah kebodohan,
namun bagi kita orang Kristen, salib adalah kekutan Allah (bdk. 1Kor 1:18). Bagi
kebanyakan orang, Yesus “mati konyol disalib”. Tetapi ternyata tidak! Terbukti
bahwa Allah membangkitkan Dia dari alam maut. Kebangkitan inilah yang memberi
arti dari penderitaan dan kematian itu sendiri. Juga menjelaskan bahwa Allah hadir
didalam setiap penderitaan yang dialami manusia.
Melalui penderitaan dan wafat Yesus, kita diajar untuk menemukan
keselamatan dalam penderitaan dan kematiaan yang kita alami. Karena itu kita
boleh berharap dan percaya bahwa:
Dalam setiap penderitaan, kegagalan, kekecewaan, dan keputusasaan, kita
dapat bertemu dengan Allah karena ia senantiasa ada didekat kita
Allah ikut menderita bersama dengan kita. Ia solider dengan kita. Setiap
keberhasilan dan kesuksesan yang kita capai belum tentu memiliki makna bagi
Allah, namun sebaliknya justru dalam penderitaan, kegagalan, kehinaan,
ketidakberdayaan dan kematianlah kita dirangkul oleh kasih setia Allah.
Dengan demikian, kita tidak dibebaskan dari penderitaan dan maut. Derita
dan maut adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup kita dan pasti akan kita
lalui. Namun kita dapat menerima bahwa derita dan maut bukanlah akhir dari
segala-galanya; bukan juga malapetaka yang harus dihindari. Melalui penderitaan
kita boleh berharap Allah selalu bersama kita. “Allah sendiri akan hidup dengan
mereka dan akan menjadi Allah mereka. Ia akan menyeka air mata dari pipi
mereka. Kematianpun tidak ada lagi. Sebab segala sesuatu yang lama telah
berlalu” (Why 21:4)
4) Hidup Manusia Penuh Misteri
Kita telah melihat bahwa hidup manusia itu sangat bernilai, indah namun
terbatas. Ketika kita membicarakannya, kita merasakan bahwa masih banyak hal
yang tersembunyi dan tidak bisa dimengerti secara tuntas. Hidup manusia memang
penuh dengan misteri dan akan tetap menjadi misteri yang tidak bisa dijangkau
oleh pikiran manusia. Akal pikiran dapat merumuskan banyak pengetahuan tentang
manusia, tetapi “keseluruhan” manusia tidak pernah bisa diselesaikan dengan
tuntas oleh ilmu pengetahuan. Misteri tetap ada didalamnya dan bahkan semakin
lama semakin “besar” untuk disadari. Seorang filsuf dan orang kudus jaman ini
yakni Edith Stein pernah mengatakan:
“Manusia selalu ingin mengerti dirinya. Sejarah peradaban manusia
merupakan sejarah ide-ide tentang dirinya. Betapa banyak pengetahuan manusia
tentang dirinya dalam kurun sejarah. Namun sampai kini tetap merupakan misteri,
rahasia terselubung yang mahabesar. Ia menjadi teka-teki bagi dirinya sendiri.
Karena dalam diri manusia memang terkandung banyak keajaiban.”
Bahwa manusia dapat hidup, bernafas, bergerak, melihat dan merasakan,
mendengar, berbicara dan berkomunikasi, berteman, mencintai….dsbnya,
merupakan hal-hal yang sangat mengagumkan dan sangat ajaib. Maka hidup
manusia sunguh-sungguh penuh dengan misteri.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Pertanyaan Refleksi dan Pendalaman
1.
2.
3.
Jelaskan asal-usul manusia menurut beberapa pandangan yang berkembang!
Berbicara mengenai asal usul manusia; menurut Anda manakah yang benar, penciptaan
manusia seperti yang tertuang dalam Kitab Suci atau seperti yang dikemukakan oleh
ilmu pengetahuan termasuk dalam teori evolusi?
Jelaskan bahwa sains dan iman tidak bertentangan!
B. MARTABAT MANUSIA
Manusia dapat hidup sebagai pribadi terhormat dan mandiri apabila ia mampu
menghayati otonominya, membangun dan memelihara kehidupan yang manusiawi dengan
penuh tanggung jawab. Sepanjang perjalanan hidupnya, manusia terus bertanya tentang
tuntutan-tuntutan pokok yang harus dilakukan agar hidup benar-benar menjadi manusiawi.
Jawaban yang diperolehpun beraneka ragam. Kendati demikian, ada satu keyakinan dasar
yang diyakini manusia di mana keputusan moral yang mandiri harus berkiblat pada sejumlah
tuntutan dasar yakni sejumlah tuntutan yang sesuai dengan ciri khas hidup manusia yang
dikehendaki oleh Sang Pencipta.
Dalam tradisi Kristen terdapat nilai-nilai yang dipandang sebagai yang utama, yakni
hormat terhadap pribadi manusia, daya cipta manusia dan solidaritas dalam membangun
paguyuban manusia. Namun nilai-nilai tersebut terkadang tidak sama artinya, karena itu
dapat diurutkan berdasarkan tuntutan. Dalam perkembangan zaman, tatanan nilai tidak
sama karena mengikuti kebudayaan yang berbeda-beda, maka nilai yang diutamakan juga
berbeda-beda. Dewasa ini Gereja berusaha untuk mempermaklumkan dengan resmi hakhak manusia, demi injil yang dipercayakan kepadanya seperti hak-hak perorangan khususnya
kaum buruh, hak-hak keluarga dan pendidikan, hormat terhadap kehidupan dan
sebagainya(GS art 41).
1. Martabat Manusia Menurut Kitab Suci (Kej 1:1-2:7)
Berdasarkan Kej 1:26-28; dan Kej 2:7-8, 15-18, 21-25 dapat dikatakan bahwa manusia
diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6 dengan bersabda dan bertindak. Dalam
kisah penciptaan itu manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada
di alam semesta di ciptakan. Hal itu dapat pula berarti bahwa manusia diciptakan sebagai
puncak ciptaan Allah. Sebagai puncak ciptaan. manusia diciptakan sesuai dengan gambar
dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu: akal-budi, hati/perasaan, dan kehendak
bebas (bdk. Kejadian 1:26). Adanya karunia akal-budi menjadikan manusia bisa atau
memiliki kemampuan untuk memilih, karunia hati/perasaan menjadikan manusia bisa
merasakan dan mencintai, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia mampu
membangun niat-niat. Karunia-karunia itulah yang menjadikan manusia sebagai mahluk
hidup yang memiliki kesadaran dan kebebasan.
Manusia yang telah diciptakan tidak dibiarkan begitu saja. Oleh Allah, manusia diberi
suatu tugas (bdk. Kej. 1:28, 2:15) untuk beranak-cucu, memenuhi bumi, mengolah,
memanfaatkan dan memelihara alam semesta; juga dipanggil untuk hidup bersama Allah
dalam kebahagiaan (bdk. Kej. 2: 8, 15-17). Gambaran yang paling tepat mengenai siapakah
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat dalam Kitab Mazmur 8:1-10.
Demikian juga gambaran siapakah manusia di hadapan Allah secara iman Kristiani terdapat
dalam Kitab Yesus Bin Sirakh 17:1-11.
Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya.
Sebagai citra Allah, ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia
ditetapkan sebagai tuan atas semua mahluk di dunia ini (Kej 1:26; Keb 2:23), untuk
menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10). “Apakah
manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau
mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan
memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas
buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7)
Selanjutnya Kitab Suci menuliskan bahwa: “menurut citra-Nya diciptakan-Nya dia: lakilaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Allah tidak menciptakan manusia
seorang diri: sebab sejak awal mula Allah mencipatakan pria dan wanita. Rukun hidup
mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang
terdalam manusia bersifat sosial dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat
hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Maka, seperti kita baca pula dalam
Kitab Suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah
adanya” (Kej 1:31)
Karena secitra dengan Allah, manusia menduduki tempat yang paling istimewa dalam
tata penciptaan. Dalam kodratya bersatulah dunia rohani dan jasmani. “Manusia memiliki
martabat sebagai pribadi; ia bukan sesuatu melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri
sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam
kebersamaan dengan orang lain, karena rahmat ia sudah dipanggil kedalam perjanjian
dengan Penciptanya, untuk memberi kepada-Nya jawaban iman dan cinta yang tidak dapat
diberikan suatu makhluk lain sebagai penggantinya” (KGK 357). Satu-satunya makhluk yang
memiliki martabat adalah manusia. Pribadi manusia yang diciptakan menurut citra Allah dan
berwujud jasmani dan rohani.
“TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas
hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7).
Dari teks ini kita bisa mengetahui bahwa kehadiran manusia seutuhnya dikehendaki dan
direncanakan oleh Allah sendiri. Dan manusia inilah yang dipanggil sebagai “wakil” yang
ditentukan Allah untuk “menaklukkan dunia”. Manusia bertanggung jawab atas tugas yang
diberikan Allah kepadanya yakni memelihara dunia dan segala isinya. Martabat luhur yang
diberikan Allah ini bertujuan agar manusia berkuasa atas segala ciptaan lain; agar manusia
mampu merasakan dan mengabdikan dirinya kepada Allah. Karena kekuasaaan yang dimiliki
manusia berasal dari Allah, maka yang dituntut dari manusia adalah berpartisipasi dalam
kemahakuasaan Allah. Martabat luhur yang dimiliki manusia semata-mata berasal dari
kemahakuasaan Allah sendiri.
Penilaian martabat manusia tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia diciptakan
oleh Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati dan dijunjung tinggi
karena iman akan Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu Sang Pencipta sekaligus
mengandung kepercayaan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai mahluk yang mulia dan
bermartabat luhur. Dalam iman kristiani, martabat manusia baru dikenal sebenarnya di
dalam Yesus, putra sulung di antara banyak saudara. Kebenaran tentang manusia hanya
dikenal di dalam Yesus Kristus. Karena martabat luhur manusia hanya diakui dalam iman
akan Allah sebagai Sang Pencipta dan dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia. Tujuan hidup manusia
itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia
bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat
transcendental (bersifat ilahi dan mengatasi segala-galanya), yaitu memenuhi kerinduan
manusia mencapai kesempurnaan dalam segala-galanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi
berupa kehidupan kekal. Lihat Yoh 17:1-3; 1 Yoh 3:2; 1 Kor 2:9 Tujuan hidup manusia masingmasing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya. Pandangan
Katolik berbeda dengan Yahudi dan Islam yaitu bahwa martabat luhur manusia dilihat dari
segi tujuan hidup menjadi jelas (mendapatkan makna definitive) dalam diri Yesus Kristus.
(lih. GS. 22)
Tujuan hidup manusia mengandaikan juga tugas-tugas hidup yang mesti dijalankan
oleh manusia, yaitu “memperkembangkan martabatnya”. Tugas hidup itu adalah mencapai
kesempurnaan dalam panggilan hidup sebagai anak-anak Allah. Hal ini berarti berkembang
dalam Yesus Kristus, mengejar persamaan dengan martabat Yesus Kristus.
2. Martabat Manusia dalam Pandangan Konsili Vatikan II
Pandangan mengenai martabat manusia secara jelas dikemukakan dalam Gaudium et
Spes art. 12. Acapkali manusia melihat dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak atau
merendahkan dirinya hingga sampai pada ambang keputusasaan. Hal ini menyebabkan
manusia menjadi bimbang dan gelisah. Gereja menyadari kegelisahan dan ikut merasakan
berbagai kesulitan manusia yang dialami secara mendalam. Dengan diterangi oleh Allah yang
mewahyukan diri, Gereja berusaha untuk menjawab kesukaran-kesukaran tersebut untuk
melukiskan keadaan manusia yang sebenarnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, agar
dapat mengenali dirinya, martabat dan penggilannya (GS art 12).
Dari kodratnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup dengan sesamanya.
Tanpa orang lain manusia tidak dapat hidup dan mengembangkan dirinya dengan segala
bakat dan kemampuannya. Manusia yang diciptakan Allah ditempatkan lebih tinggi dari
ciptaan lain. Ia dianugerahi keistimewaan berupa akal budi, hati nurani dan kehendak bebas.
a. Manusia sebagai makhluk berakal budi
Satu hal yang menjadikan manusia sebagai makhluk bermartabat dan otonom adalah
akal budinya. Akal budi adalah ciri khas manusia yang unik dan sekaligus membedakannya
dengan makhluk ciptaan lain, khususnya binatang. Akal budi menjadi bentuk keunggulan
manusia. Maka hidup dan tindakannya harus didasarkan pada akal budinya. Dengan akal
budi yang dimilikinya, manusia mampu mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan
empiris, dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Bahkan pada zaman
sekarang manusia telah mencapai taraf pengetahuan yang paling tinggi dengan menyelidiki
alam bendawi dan menaklukkannyakepada dirinya. Namun demikian ia masih terus mencari
dan menemukan kebenaran yang semakin mendalam (GS art 15). Akal budi memperkaya
manusia dengan pelbagai kemampuan, seperti:
1) Mengerti dan menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya.
Ini berarti bahwa manusia sadar akan keberadaannya, tindakannya, sikapnya, dsbnya.
Seorang filsuf Perancis (Rene Descartes), pernah berkata: “Cogito ergo sum” (saya
berpikir maka saya ada).Maka dengan kesadarannya, manusia merefleksikan diri dan
tindakannya. Namun ia tidak hanya mengerti dirinya sendiri saja, tetapi juga mengerti
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
akan dunia luar. Artinya, manusia menyadari keberadaan segala sesuatu dalam dunia ini
dan hubungan-hubungannya. Dengan akal budinya ia dapat mencari hubungan antara
segala sesuatu yang terjadi disekitarnya.
2) Berkembang, membangun kebudayaan dan menciptakan sejarah.
Dengan akal budinya manusia bertanya, lalu mencari jawabannya. Berkat akal budi itu
pula manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hasilnya dapat
dinikmati saat ini. Manusia juga membangun kebudayaan terutama yang berhubungan
dengan kesenian, seperti: seni musik, lukis, bangunan, sastra, suara, tari, dsbnya. Semua
itu berasal dari budi dan hati manusia. Selain itu manusia masih dapat menciptakan
sejarah. Bukan saja sejarah dunia atau sejarah nasional, tetapi juga “sejarah” pribadi kita
masing-masing. Setiap orang pasti pernah menorehkan sejarah dalam perjalanan
hidupnya sendiri.
3) Bekerja
Manusia adalah makhluk pekerja. Kerja yang dilakukan manusia memerlukan pemikiran.
Maka kegiatan harus diarahkan kepada satu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan
kekhasan makhluk berakal budi. Dan hanya manusialah yang dapat merencanakan,
mengatur dan menguasai ciptaan lain. Kerja juga merupakan kegiatan insani. Kerja
menjadi sarana seorang manusia untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Melalui kerja
manusia dapat menuangkan segala ide-ide kreatifnya, gagasannya yang cemerlang, dan
segala daya upayanya. Kerja bukan hanya sekedar sarana untuk mencari nafkah, tetapi
lebih dari itu merupakan wadah bagi aktualisasi diri.
4) Mengembangkan hubungan yang khas dengan manusia lain
Dengan akal budinya manusia dapat “bertemu” dan “bersama” dengan sesamanya.
Karena itu manusia mampu menciptakan bahasa, membangun cinta, perhatian,
harapan, relasi, dsbnya. Manusia dapat hidup bersama dan berkomunikasi; ia mampu
menjalin persahabatan dan cinta dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan itulah
yang membuat manusia semakin bermutu dan sungguh-sungguh menjadi manusia.
Namun tidak dapat disangkal bahwa akal budi telah kabur dan lemah akibat dosa.
Maka pada akhirnya, kodrat nalariah manusia disempurnakan oleh kebijaksanaan yang dapat
menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai yang benar dan baik. Manusia
membutuhkan kebijaksanaan untuk memahami hidupnya di dunia, sehingga diharapkan
akan semakin dekat dengan Sang Penciptanya.
b. Manusia sebagai makhluk berhati nurani.
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai suara hati. Suara hati/hati nurani inilah yang
menjadi hukum yang harus ditaati. Manusia yang anugerahi martabat luhur harus mematuhi
hukum tersebut, karena dengan hukum itu pulalah ia akan diadili. “Hati nurani adalah inti
manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; disitulah ia seorang diri bersama Allah yang
sapaannya menggema dalam batinnya” (GS art 16). Kepekaan untuk mendengarkan suara
hati membawa manusia untuk mencari kebenaran. Dalam kebenaran itulah manusia
memecahkan berbagai persoalan yang ada dalam hidupnya. Untuk dapat memahami hati
nurani secara baik, maka kita perlu melihat beberapa hal berikut:
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
1) Kesadaran etis.
Ketika kita berbicara tentang manusia sebagai makhluk berakal budi, kita sudah
menyinggung bahwa dengan akal budinya manusia dapat menyadari dirinya dan
tindakannya. Ia dapat menyadari dan menilai kalau tindakannya baik dan benar atau
salah dan buruk. Dengan akal budinya manusia dapat memiliki kesadaran etis dan
moral. Kesadaran etis adalah kesadaran untuk menilai suatu tindakan itu baik atau
buruk. Kesadaran etis ini terdiri atas tiga taraf yang berbeda-beda, yakni: Pertama,taraf
naluri. Pada taraf ini segala tindak tanduk manusia didasarkan pada tekanan dan
peraturan dari luar, misalnya adat istiadat atau hukum dan bukan oleh kesadaran diri
dan hati nurani. Kedua, taraf kesadaran moral. Pada taraf ini tingkah laku etis lebih
didasarkan atas kesadaran dan kebebasan. Artinya, sebagai realisasi pribadi manusia
yang berakal budi dan berkehendak bebas. Manusia yang otonom. Sifat moralnya
adalah khas manusiawi. Ketiga, tingkat kesadaran kristiani. Pada taraf ini kesadaran
moral dilakukan dalam rangka mewujudkn diri sebagai manusia yang berakal budi dan
otonom. Dalam bertingkah laku, manusia tidak hanya sekedar melakukannya karena
tindakan itu baik, tetapi terutama karena didorong oleh cinta kasih kepada kepada
Tuhan dan sesama. Maka yang menjadi hukum pokok dalam taraf ini adalah cinta kasih.
2) Tindakan moral
Jawaban atas undangan Allah dilaksanakan manusia dalam tindakan-tindakan moralnya.
Tindakan-tindakan moral baru dapat disebut tindakan moral apabila dilaksanakan secara
sadar dan bebas, sesuatu yang khas manusia. Penilaian obyektif dan benar tentang
suatu tindakan hendaknya mempertimbangkan seluruh tingkah laku manusia. Tingkah
laku ini seringkali dipengaruhi oleh motivasi dasarnya dan juga oleh sikap dasarnya.
Tindakan lahiriah manusia harus diukur pula dari disposisi batinnya. Jadi, selain
kesadaran dan kebebasan, tujuan dan motivasi sangat menetukan tindakan moral
seseorang.
3) Hati nurani
Dalam arti luas, hati nurani dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban.
Hati nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan bertumbuh dari hati manusia.
Kesadaran moral tidak berarti bahwa manusia sudah dibekali dengan aturan yang serba
jelas, sehingga ia tahu pasti yang harus ia lakukan. Manusialah yang harus berusaha
untuk membuatnya menjadi jelas. Kebiasaan, adat, tradisi serta aturan moral
merupakan sarana yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan kesadaran moral. Hati
nurani yang terdidik tidak buta terhadap kekayaan tradisi serta norma-norma yang
berlaku umum. Sedangkan dalam arti sempit, hati nurani dimaksudkan sebagai
kesadaran moral dalam situasi konkret, antara lain menilai suatu tindakan baik atau
buruk lalu mendorong kita untuk mengambil keputusan untuk bertindak. Suara hati/hati
nurani ini berfungsi untuk mengingatkan manusia untuk melakukan yang baik dan
menolak yang jahat, atau mengingatkan kita jika menyimpang dari yang baik. Akan
tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidakpedulian dan
ketidaktahuan yang tak teratasi tanpa kehilangan martabatnya. Karena ketidakpedulian
dan kebiasaaan berdosa itulah hati nurani seseorang lambat laun akan menjadi tumpul
dan buta. Agar tidak terjadi demikian maka hati nurani dan kesadaran moral harus
selalu diasah atau dibina. Pembinaan hati nurani dapat dilakukan dengan selalu
mengikuti hati nurani dalam segala hal; mencari keterangan pada sumber yang baik
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
(Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, buku-buku yang bermutu atau ikut dalam
berbagai kegiatan kerohanian yang ada); koreksi atau introspeksi.
c. Manusia sebagai makluk berkehendak bebas.
Sebagai citra Allah, manusia dianugerahi pula rahmat kekebasan. Manusia hanya akan
berpaling kepada kebaikan apabila ia bebas. Karena itu oleh orang-orang zaman sekarang
kebebasan sangat dihargai dan dicari dengan penuh semangat. Namun seringkali terjadi
bahwa kebebasan selalu disalah-artikan dengan cara yang salah, juga diartikan sebagai
kesewenang-wenangan untuk melakukan apa yang dikehendaki manusia. Sesungguhnya
yang harus diusahakan manusia adalah kebebasan yang sejati. “Kebebasan sejati merupakan
tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan
manusia kepada keputusannya sendiri” (GS art 17). Dengan pilihan bebasnya, manusia
diharapkan mengabdi kepada Allah dalam kebebasan yang sempurna. Allah menghendaki
bahwa dengan pilihan bebasnya manusia dengan sadar dan bebas digerakkan oleh hatinya
yang paling dalam untuk mencari penciptanya dan mengabdi kepada-Nya secara bebas.
3. Implikasi Manusia Sebagai Citra Allah Bagi Kehidupan Sesama
a.
Manusia sebagai Makhluk Pribadi
Berdasarkan penjelasan dari Kitab Suci dan Gaudiem et Spes, Gereja mengajarkan
bahwa manusia adalah citra Allah. Sebagai citra Allah manusia adalah mahluk pribadi yang
memiliki kodrat sosial. Manusia sebagai pribadi adalah bersifat unik dan menyejarah
sekaligus bersifat kekal. Ia memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dihadapan sesama
dan lingkungannya. Ia adalah makluk monodualisme:1 bersifat jasmani dan rohani.
Manusia itu bernilai dalam dirinya sendiri. Karena itu dalam segala tingkah-laku
perbuatannya pada akhirnya berupaya untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri. Ini
bukan berarti manusia hendaknya bersikap pragmatis2 ataupun egois. Dalam hal ini yang
menjadi tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah dan melaksanakan hukum
cintakasih. Tuhanlah tujuan akhir hidup manusia, karena di dalam Tuhan terdapat yang
didambakan manusia yaitu keselamatan hidup dan kebahagiaan abadi. Dengan demikian
tercapailah kemuliaan manusia karena kemuliaan manusia hanya ada pada Tuhan. Oleh
karena itu hakekat tujuan hidup manusia terdapat dalam Tuhan, tidak di dunia sekelilingnya.
1) Manusia memiliki kemerdekaan atau kebebasan
Hakekat dan syarat-syarat bagi manusia yang mulia itu adalah bahwa ia merdeka atau
memiliki kebebasan dan bertanggungjawab dalam hal mencari atau mengupayakan
tujuan hidupnya. Kemerdekaan manusia pada dasarnya bersifat jasmani dan rohani.
Adanya kemerdekaan pada dirinya dikarenakan manusia memiliki akal-budi atau pikiran
1 Monodualisme adalah Satu kenyataan yang berdimensi dua; manusia adalah mahluk yang berbadan dan
berjiwa. Pada abad pertengahan banyak filsuf yang cenderung menilai negatif badan manusia sehingga
mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah jiwa yang bersifat kekal tetapi terpenjara dalam badan
yang bersifat jasmani (sumber segala dosa).
2 Pragmatis adalah sifat dari sikap manusia yang hanya mementingkan manfaat yang langsung dapat dirasakan
dan dilihat, yang menguntungkan diri sendiri (bersifat egois). Sikap ini begitu kuat dijaman sekarang sebagai
perwujudan dari arus sekluarisme (Hal ini dapat dilihat pada Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun
2002). Oleh karena itu sikap pragmatis cenderung mengabaikan hal-hal yang berbau rohani dan religius,
karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung, tidak bisa diukur dan sebagainya.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
sehingga ia memiliki kemampuan untuk memilih. Kebebasan bersifat jasmani yaitu bila
tubuh manusia tidak terbelenggu untuk melakukan aktifitas yang dimaui, sejauh sesuai
dengan kodratnya. Adapun kebebasan yang bersifat rohani mencakup dua hal yaitu
kebebasan dalam arti pikiran dan dalam arti moral.
2) Manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya
Hakekatnya Tuhan menjadikan manusia itu sebagai subyek dan bukan obyek. Sebagai
subyek berarti manusia adalah pelaku dan penanggung-jawab segala perbuatannya. Ada
ungkapan latin yang mengatakan “cogito ergo sum dan cogito ergo passum”. Itu berarti
manusia itu aktif dan kreatif karena harus memikirkan, merencanakan, yang melakukan
dan yang mempertanggung-jawabkan segala apa yang diperbuatnya. Manusia bukan
obyek atau yang dikenai tindakan (bersifat pasif). Maka sangatlah keliru besar apabila
kita mengobyektivasi sesama kita, karena di sana pasti muncul penindasan martabat
manusia dan ketidakadilan.
3) Manusia dituntut untuk bertanggung-jawab dalam hidupnya
Oleh karena kesadaran akan keberadaan dirinya termasuk apa yang dipikirkan dan
diperbuatnya, dalam kebebasannya, maka dari manusia selalu dituntut untuk
mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya. Pertanggungan jawab itu pada
dirinya-sendiri (suara hatinya), pada sesamanya (dalam sebuah sistem dan komunitas)
dan kepada Tuhan Allah yang menjadi tujuan akhir dari hidupnya (seperti yang diajarkan
oleh semua agama). Dalam hal ini manusia diajarkan ajaran moral yaitu bahwa manusia
hendaknya bertindak sesala sesuatu dengan kesadaran, kemauan (tidak dipaksa) dan
bermotivasi luhur. Bila tidak demikian maka menurut ajaran moralitas, hal itu disebut
dosa.
b. Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Manusia hidupnya tergantung satu sama lain. De facto bahwa manusia tidak bisa hidup
sendirian dalam arti yang sebenarnya “No man is island”, manusia adalah mahluk sosial. Dari
bayi hingga dewasa bahkan ketika akan menghadapi kematian, manusia selalu
membutuhkan sesamanya. Hidup ditengah-tengah manusia lain adalah fakta yang tidak
terbantahkan. Dengan hidup ditengah-tengah sesamanya, manusia memiliki sifat personal
yang unik dan menyejarah. Tak terbayangkan kita hidup tanpa hubungan dengan manusia
lain.
1) Kenyataan Hidup dalam kebersamaan
Ketergantungan hidup pada orang lain sangat jelas pada masa balita. Prosentase
ketergantungan pada orang lain itu semakin mengecil dengan bertambahnya usia
seturut “hukum proses pendewasaan pribadi”. Oleh karena itu sebagai citra Allah
manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, yang disatu sisi dipandang
sebagai anugerah yang layak disyukuri” dan dilain pihak mengandung tugas
panggilan/perutusan yaitu “membangun” dan bukan untuk bermalas-malasan.
Karenanya kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas
kebersamaan, yang mau tidak mau, yang suka atau tidak suka, adalah fakta. Kesadaran
itu hendaknya dihayati dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerjasama dan
saling pengertian di antara manusia.
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
2) Sikap-Sikap sebagai Makhluk Sosial.
Sebagai makhluk social, hidup dalam kebersamaan tidaklah mudah. Seringkali terjadi
konflik kepentingan antara satu dengan yang lain karena masing-masing saling berupaya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu dibutuhkan sikap saling pengertian,
saling menghormati, dan saling kerjasama menuju suatu tatanan hidup bersama yang
baik. Ciri utama sikap yang menekankan semangat sebagai makhluk sosial adalah
solidaritas dan subsidiaritas. Dalam hal ini kita perlu waspada pada mentalitas
egosentrisme yang mengutamakan bertindak dan mengukur segalanya dengan ke-AKUan yang kelewat batas kewajaran (egois). Manusia bukanlah “homo homini lupus”
(manusia menjadi serigala bagi yang lain) yang mementingkan diri sendiri tanpa
mengingat nasib dan penderitaan orang lain (individual). Ia adalah “homo homini
socius” (manusia menjadi sesama bagi manusia lainnya). Agar tidak menjadi serigala
bagi yang lain maka sikap dasar yang ideal dalam kehidupan bersama adalah “cinta”
yang hakekatnya merangkum segala-galanya dan mendasari sikap solidaritas dan
subsidiaritas antar sesama manusia.
c.
Sikap dalam Memperjungkan Keluhuran Martabat Manusia
Sebagai citra Allah yang memiliki martabat luhur, kita dituntut untuk menentukan
sikap dalam mewujudkan penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain atas martabat
baik kita. Beberapa sikap yang perlu dikembangkan untuk menghormati martabat manusia
antara lain:
1) Mencintai kehidupan
Gambaran Allah dalam diri manusia bukan hanya bersifat spiritual saja seperti
rasionalitas, afeksi atau daya refleksi, melainkan juga dalam wujud jasmani dan rohani.
Allah mengendaki agar manusia memiliki martabat yang istimewa melebihi ciptaan lain.
Karena secitra dengan Allah maka manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Kesatuan
pribadi manusia sebagai jiwa dan raga inilah yang menjadi bait kudus bagi Allah (bdk.
1Kor 3:16-17). Sebagaimana Allah mencintai dan menghargai ciptaan-Nya, demikian
pulalah manusia harus mencintai dan menghormati ciptaan yang lain.
2) Hormat pada kehidupan
Hidup manusia tidak terjadi dan berakhir begitu saja. Karenanya tidak seorangpun
boleh merekayasa dan mengakhiri hidupnya sekehendak hatinya. Manusia tidak boleh
bertindak sewenang-wenang terhadap kehidupan. Sering kali manusia disebut sebagai
makhluk religious (animal religiosum). Ciri ini nampak jelas dalam pola penghayatan
religiusnya yang dapat ditemukan disetiap kebudayaan yang ada. Manusia selalu
mengusahakan relasi dengan sesuatu yang bersifat adikodrati yang bagi orang Kristen
dinamai Allah. Relasi Allah-manusia ini bersifat unik karena sangat personal dan
menyangkut dirinya dengan Allah. Berkat anugerah Allah manusia sanggup mengatasi
segala sesuatu dan segala peristiwa dalam hidup sehari-hari hingga sampai kepada
Allah.
3) Menghargai personalitas manusia
Manusia bukanlah ‘sesuatu’ melainkan ‘seseorang’. Ia adalah makhluk personal. Unsur
personalitas ini nampak jelas dalam keadaan dirinya sebagai individu yang unik. Tingkat
keunikan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dapat memutuskan dan
I. Manusia
Kuliah Agama Katolik
16
memilih sendiri apa yang penting bagi hidupnya. Dengan demikian manusia menjadi
makhluk yang otonom. Personalitas manusia ini juga terlihat dari ketergantungannya
pada Allah menyangkut kebenaran dan kebaikan. Personalitas dan kebebasan manusia
terarah pada tujuan, sasaran dan nilai-nilai tertentu. Personalitas manusia dimengerti
dalam kesatuan antara tubuh dan roh. Kesatuan inilah yang memampukan manusia agar
dalam setiap pilihannya mampu bertanggung jawab. Akan tetapi pengertian ini tetap
menimbulkan kesulitan tersendiri, terutama pengertian personalitas dan kebebasan bila
dikaitkan dengan orang-orang yang tidak dapat menunjukkan fungsi rohnyaseperti:
janin, orang idiot, atau yang menderita penyakit. Maka salah satu sikap yang perlu
dipupuk adalah menghargai manusia sebagai person karena hal ini sudah mulai
memudar ditengah arus zaman dengan segala kompleksitasnya.
4) Memelihara hidup yang adalah suci dan berkualitas
Manusia adalah ciptaan Allah. Setiap manusia dipanggil untuk merealisasikan
kepenuhan citra Allah tersebut. Manusia bukanlah tuan atas hidupnya. Karena itu setiap
individu mempunyai kewajiban etis untuk menghormati kehidupan tanpa syarat. Hidup
manusia adalah baik karena berasal dari Allah dan pada hakikatnya hidup manusia itu
suci. Dengan menyadari harkat hidup manusia yang agung karena Penciptanya yang
Maha Agung, manusiapun tidak boleh semena-mena terhadap kehidupan.
5) Mempertahankan kemurnian hidup.
Cinta Allah kepada manusia melebihi ciptaan lain. Karena cinta-Nya inilah maka ia
mengutus Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Melalui
Kristus, Allah mau tinggal dan hidup dengan manusia. Kehadiran Kristus ini memberi
makna baru pada tubuh manusia sebagai tempat yang kudus bagi Roh Kudus, sehingga
disebut juga sebagai Bait Roh Kudus (1Kor 3:16). Dalam arti ini, tubuh tidak lagi
dipahami sebagai alat yang dapat diobyekkan, tetapi dipahami sebagai tempat tinggal
Allah. Melalui kebangkitan Kristus, hidup manusia diselamatkan dan semakin disucikan.
Hidup manusia tidak berakhir didunia, melainkan terarah kepada tujuan tertentu yakni
hidup kekal. Dengan kebangkitan Kristus pula, hidup manusia selalu terarah kepada
Allah dan semakin dekat dengan penciptanya, “sehingga bukan aku lagi yang hidup
melainkan Kristuslah yang hidup di dalam diriku.” (Gal 2:20). Demikianlah ungkapan St.
Paulus untuk mengatakan bahwa hidup manusia harus selalu terarah kepada Allah.
Pertanyaan Refleksi dan Pendalaman
1. Jelasakan tugas manusia sebagai Citra Allah yang bermartabat luhur!
2. Apakah sikap hidup manusia sekarang ini masih mencerminkan keluhuran
martabatnya?
3. Pelanggaran apa saja yang dilakukan terhadap keluhuran martabat manusia?
4. Sikap apa yang seharusnya dikembangkan untuk menunjukkan martabat manusia
yang luhur?
I. Manusia