Pemaknaan Followers Akun Instagram Komikazer Mengenai Kritik Reza Mustar Terhadap Budaya Konsumtif Generasi Muda

11

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1

Paradigma Penelitian
Peneliti harus menentukan cara pandang tertentu dalam melihat suatu

fenomena. Dalam dunia ilmu, cara pandang inilah yang disebut paradigma,
perspektif atau pendekatan. Peneliti harus memahami dan menjelaskan metode
yang dipakainya dalam kerangka suatu paradigma (Hidayat, 2002). Paradigma
adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam
mencari fakta–fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya (Arifin, 2012:
146).
Paradigma menurut Bogdan dan Biklen (1982 dalam Tahir, 2011:59) adalah
sekumpulan anggapan dasar mengenai pokok permasalahan, tujuan dan sifat dasar
bahan kajian yang akan diteliti. Deddy Mulyana (dalam Tahir 2011:59)
mendefinisikan paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar dari
suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang

dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam rangka mencari
fakta. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu
tertentu. Paradigma membantu peneliti dalam menentukan permasalahan yang
harus dikaji, pertanyaan yang harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan
apa saja aturan-aturan dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan
kualitatif dapat memberikan gambaran khusus dan mendalam terhadap suatu

11
Universitas Sumatera Utara

12

kasus. Penelitian kualitatif adalah suatu metode untuk menangkap dan
memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk
mengeksplorasi fenomena dan memberikan penjelasan dari fenomena yang
diteliti. Pendekatan penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat postpositivistik. Filsafat postpositivistik sendiri dibagi
menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu paradigma interpretif atau konstruktivis dan

paradigma kritis.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis. Teori konstruktivis menyatakan bahwa individu melakukan
pemaknaan dan bertindak menurut berbagai kategori konseptual yang ada dalam
pikirannya. Menurut teori ini, realitas tidak menunjukkan dirinya dalam bentuk
yang kasar, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara
seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:107). Paradigma konstruktivis adalah
paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi
sosial sedangkan kebenaran suatu realitas sosial itu sendiri bersifat relatif.
Paradigma konstruktivis berada dalam perspektif interpretif (penafsiran)
yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan
hermeneutika. Paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi
simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis
mengatakan bahwa manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons
terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia
sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakala realitas sosial tersebut

Universitas Sumatera Utara


13

dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga
memantapkan realita tersebut secara objektif.
Paradigma konstruktivis meneguhkan asumsi bahwa individu-individu
selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup. Mereka mengembangkan
makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka. Makna-makna ini
pun cukup banyak dan beraneka ragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih
mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit maknamakna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Peneliti berusaha mengandalkan
sebanyak mungkin pandangan informan tentang situasi yang tengah diteliti.
Pertanyaan-pertanyaan

pun

perlu

diajukan

sehingga


mereka

dapat

mengkonstruksikan makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak asli atau tidak
dipakai dalam interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka pertanyaan tersebut
tentu akan semakin baik, agar peneliti bisa mendengarkan dengan cermat apa
yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam kehidupan mereka (Creswell,
2013:11).
Penelitian ini menggunakan analisis resepsi. Analisis resepsi merujuk pada
sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak,
yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan
konteks atas isi media lain (Jensen, 2003). Khalayak (followers) dilihat sebagai
bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan
dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya
menerima saja makna yang diproduksi oleh media.

Universitas Sumatera Utara

14


3.2

Penelitian Terdahulu
Telaah terhadap tesis dan jurnal terdahulu yang sejenis diharapkan dapat

menjadi bahan rujukan, pelengkap bahkan sebagai pembanding dalam penelitian
ini.

Dengan

demikian,

peneliti

dapat

mempelajari

tentang


bagaimana

pengaplikasian teori serta bagaimana metode penelitian dalam penelitianpenelitian tersebut. Peneliti juga diharapkan dapat mengisi kekosongan ataupun
kekurangan pada penelitian terdahulu sehingga menghasilkan penelitian baru yang
lebih fresh dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Berikut adalah
lima (5) penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini :
1) Ratu Malika Bulqis (2016) dengan Judul „Pemaknaan Followers Terhadap
Gaya Fashion Syahrini di Media Sosial (Studi Resepsi Pada Followers
Akun Instagram @Princessyahrini)‟.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pemaknaan para followers
terhadap gaya fashion Syahrini di Instagram. Metode penelitian yang
digunakan adalah studi resepsi untuk mengetahui pemaknaan gaya fashion
syahrini di media sosial Instagram. Tipe penelitian yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif yang memandu peneliti untuk menggambarkan fakta
mengenai objek penelitian secara rinci.
Penelitian ini menghasilkan 3 kesimpulan yang telah di kaitkan
dengan studi resepsi. Pertama pada kategori dominan, audiens memaknai
bahwa foto fashion Syahrini di Instagram bukan hanya semata-mata
negatif karena dinilai memamerkan sesuatu, tetapi mengambil sisi positif

yaitu suatu bentuk kreatifitas yang dapat di jadikan sebagai panutan trend
fashion di Indonesia. Kedua, pada kategori negosiasi audiens menerima

Universitas Sumatera Utara

15

adanya gaya fashion Syahrini di Instagram karena latar belakang Syahrini
yang sebagai publik figur sehingga ingin menjadi sorotan audiens. Ketiga,
kategori oposisi, audiens memaknai gaya fashion Syahrini di Instagram
hanya sebagai upaya mencari sensasi dan menyebutnya pamer. Peran
informan tidak hanya berperan sebagai konsumen, tetapi juga sebagai
produsen yang menciptakan makna pada sebuah media.
2) Sanda Garini (2012) yang mengangkat Judul „Pemaknaan Followers
Perempuan

terhadap

Simbol-Simbol


Seks

pada

Akun

Twitter

@soalDEWASA‟.
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pemaknaan perempuan
terhadap simbol-simbol seksual pada media sosial (akun Twitter
@soalDEWASA). Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kritis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa
pemaknaan yang berbeda-beda sangat terkait dengan proses pembentukkan
konsep diri masing-masing informan.
3) Maharani

Rizka

Rakhmawati (2015)


yang

berjudul

„Pemaknaan

Mahasiswa terhadap Video di Instagram Sebagai Media Ekspresi dan
Kreativitas

(Studi

Resepsi

Pada

Follower

Akun


Instagram

Malangvidgram)‟.
Latar belakang pada penelitian ini berisi tentang keunikan
Instagram sebagai media sosial baru. Instagram sangat populer terutama
di kalangan anak muda. Kemudahan mengunggah foto atau video yang
dapat dilihat oleh seluruh pengguna Instagram dari seluruh dunia
membuat Instagram berbeda dengan media sosial lain. Video di Instagram

Universitas Sumatera Utara

16

yang merupakan salah satu fitur dalam Instagram yang menjadi populer
sehingga akhirnya muncul Malangvidgram sebagai wadah dalam
menyalurkan ekspresi dan kreativitas.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pemaknaan followers akun
@Malangvidgram yang berstatus mahasiswa terhadap video di Instagram
sebagai media ekspresi dan kreativitas. Penelitian ini menggunakan studi
resepsi untuk mengetahui bagaimana pemaknaan video di Instagram

sebagai media ekspresi dan kreativitas pada follower Malangvidgram.
Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang
memandu peneliti untuk menggambarkan fakta mengenai objek penelitian
secara rinci. Peneliti menggunakan Focus Group Discussion (FGD)
sebagai teknik pengumpulan data yang diikuti oleh 10 audiens yang
merupakan follower Malangvidgram yang berstatus mahasiswa dari 6
perguruan tinggi di Malang.
Penelitian ini menghasilkan 3 kesimpulan yang telah dikaitkan
dengan studi resepsi. Pertama, pada kategori dominan, audiens memaknai
bahwa adanya video di Instagram menjadi media sosial baru untuk
menyalurkan ekspresi dan kreativitas. Kedua, pada kategori negosiasi,
audiens menerima adanya video di Instagram jika video yang dibuat
memiliki tujuan yang jelas. Pada kategori ini, audiens menerima makna
yang dihasilkan dengan mengkompromikan makna yang dimaksudkan
oleh peneliti. Ketiga, kategori oposisi, audiens memaknai video di
Instagram hanya sebagai hiburan. Mereka tidak tertarik membuat dan

Universitas Sumatera Utara

17

menganggap video di Instagram tidak sebagai media menyalurkan
ekspresi dan kreativitas.
Makna yang dihasilkan pada kategori ini bertolak belakang dengan
makna yang dimaksud peneliti. Maka dapat diartikan disini, seluruh subjek
penelitian merupakan audiens yang aktif. Dengan kata lain mereka tidak
hanya berperan sebagai konsumen, tetapi juga produsen yang turut aktif
menciptakan makna dari sebuah media. Audiens secara aktif melakukan
pemaknaan terhadap video di Instagram berdasarkan latar belakang
mereka masing-masing. Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat memberi
masukan kepada pengguna Instagram dalam memanfaatkan video di
Instagram tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai
sarana edukasi baru untuk berprestasi melalui media sosial.
4) Penelitian keempat yaitu penelitian yang disusun oleh Dhani Ulan Sari
(2014) yang berjudul „Penerimaan Khalayak Terhadap Beberapa Green
Advertising di Media Massa‟.
Fokus dalam penelitian ini mengenai penerimaan khalayak
terhadap beberapa green advertising di media massa. Penelitian ini
mensubjekkan pada khalayak yang pernah mengkonsumsi green
advertising. Metode yang digunakan adalah reception analysis serta
kualitatif eksploratif dalam pembahasannya. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD).
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa
informan memiliki empat garis besar pemaknaan mengenai beberapa
green advertising di media massa. Pertama,“green advertising sebagai

Universitas Sumatera Utara

18

bentuk pemanfaatan isu go green yang dijadikan sebagai komoditas”,
pemaknaan ini oleh Informan AY dan AB. Kedua, “Green advertising
sebagai bentuk tindakan greenwashing”, pemaknaan ini oleh Informan P.
Ketiga, “Green advertising sebagai usaha untuk mendapatkan citra baik
perusahaan”, pemaknaan ini oleh Informan AL dan L. Garis besar
pemaknaan keempat adalah “green advertising sebagai iklan yang ramah
lingkungan”, pemaknaan ini oleh Informan RI.
5) Penelitian kelima dilakukan oleh Amelia Septianti (2015). Penelitian ini
berjudul „Unsur Budaya Dalam Korean Reality Show (Analisis Resepsi
pada Reality Show EXO‟s Showtime)‟.
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui unsur budaya yang
terdapat pada tayangan reality show Korea yang dibintangi boyband EXO,
yaitu EXO‟s Showtime. Reality Show yang diproduksi Korea selalu
berusaha menyisipkan unsur budaya didalamnya, sehingga diharapkan
mampu berfungsi untuk membangun budaya didalam negara mereka
sendiri. Selain itu, juga diharapkan dapat menjadi media yang efektif
untuk memperkenalkan budaya Korea ke negara lain. Penelitian yang
menggunakan model encoding-decoding Stuart Hall dan metode kualitatif
dengan menggunakaan analisis resepsi ini menyimpulkan bahwa unsur
budaya yang paling terlihat menonjol dalam tayangan ini adalah unsur
sistem teknologi dan peralatan, seni rupa, bahasa dan sistem pengetahuan.

Universitas Sumatera Utara

19

3.3

Uraian Teori

3.3.1 Teori Interaksionisme Simbolik
Istilah interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer
dalam lingkup sosiologi. Awalya, ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert
Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikasi oleh Blumer untuk tujuan
tertentu. Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga
premis utama (Kuswarno, 2008:22), yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada
pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang
lain.
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
sedang berlangsung.
Pada dasarnya, teori interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakikat
manusia yang merupakan makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi
dengan sesamanya sehingga tidak mengherankan bila kemudian teori interaksi
simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori sosial lainnya.
Alasannya adalah diri manusia muncul melalui interaksi dengan yang ada diluar
dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol yang
dimaksud misalnya bahasa, tulisan dan simbol lainnya yang biasa digunakan dan
bersifat dinamis serta unik.
Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut
manusia untuk harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam memaknai simbolsimbol yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol

Universitas Sumatera Utara

20

tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan.
Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup
manusia dan lingkungannya.
Teori interaksionisme simbolis adalah suatu faham atau aliran yang
implementasinya menginterpretasikan pemaknaan dalam interaksi sosial antar
individu satu dengan yang lain. Hal ini diawali dari mengetahui sesuatu,
menilainya, memberinya makna yang dijembatani oleh penggunaan simbolsimbol, penafsiran dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain. Teori ini
dicanangkan sebagai studi perilaku individu dan atau kelompok kecil masyarakat
melalui serangkaian pengamatan dan deskripsi. Metode ini berlandaskan pada
pengamatan atas apa yang diekspresikan orang meliputi penampilannya, gerakgeriknya, dan bahasa simbolik yang muncul dalam situasi sosial. Teori ini akan
berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksionisme simbolik
memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan
sosial dan hubungan sosial.
Para pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi
dua aliran, yaitu aliran Iowa dan Chicago. Kalangan pemikir aliran Iowa banyak
yang menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis, sedangkan
Aliran Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan
pemikiran George Herbert Mead. George Herbert Mead mengemukakan bahwa
makna muncul sebagai hasil interaksi diantara manusia, baik secara verbal
maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan
makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami

Universitas Sumatera Utara

21

suatu peristiwa dengan cara- cara tertentu (Morissan, 2009:75). Penelitian ini
tentu saja termasuk ke dalam aliran Chicago kualitatif yang menggunakan teori
interaksi simbolik untuk memaknai suatu hal.
Terdapat tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah
diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep ini saling
memengaruhi satu sama lain dalam teori interaksionisme simbolik. Ketiga konsep
tersebut adalah (1) pikiran (mind); (2) diri (self) dan (3) masyarakat (society).
Pikiran manusia (mind) dan diri (self) digunakan untuk menginterpretasikan dan
memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Ketiga konsep tersebut
memiliki aspek-aspek yang berbeda, namun berasal dari proses umum yang sama
yang disebut „tindakan sosial‟ (social act). Tindakan sosial (social act) adalah
suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam subbagian
tertentu (Morissan, 2009:144).
3.3.2 Teori Konstruksi Realitas Sosial
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui
bukunya yang berjudul „The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociological of Knowledge‟ (1966). Mereka menggambarkan proses sosial
melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus
menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Realitas sosial memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan
secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara
obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial ke dalam dunia realitas dan

Universitas Sumatera Utara

22

memantapkan realitas tersebut berdasaran subyektifitas individu lain dalam
institusi sosialnya (Sobur, 2004: 91).
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan bahwa terjadi
dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan
individu. Proses dialektika ini terjadi melalui tiga tahapan yaitu eksternalisasi,
objektivasi dan internalisasi. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan
ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik.
Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia yang mana akan selalu
mencurahkan diri ke tempat dimana dirinya berada. Manusia akan selalu berusaha
mengungkapkan dirinya, dalam proses inilah manusia menemukan dirinya sendiri
dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik
dari kegiatan eksternalisasi manusia. Lewat proses objektivasi, masyarakat
menjadi suatu realitas suigeneris. Contoh hasil dari eksternalisasi adalah
kebudayaan dimana manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau
kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Setelah dihasilkan, baik benda
atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif.
Realitas objektif berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Realitas objektif
dapat menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
Ketiga, yaitu internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sehingga subjektif individu
dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang
telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar

Universitas Sumatera Utara

23

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu
yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, realitas dibentuk dan
dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda/plural.
Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas.
Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan
lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu
sesuai dengan konstruksinya masing-masing.
3.3.3 Analisis Resepsi
Tradisi studi khalayak dalam komunikasi massa mempunyai dua pandangan
arus besar, pertama khalayak sebagai audiens yang pasif. Audiens yang pasif
hanya bereaksi pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak
tidak ambil bagian dalam diskusi-diskusi publik. Khalayak merupakan sasaran
media massa. Sementara pandangan kedua menyatakan bahwa khalayak
merupakan partisipan aktif dalam publik. Publik merupakan kelompok orang yang
terbentuk atas isu tertentu dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu
yang mengemuka.
Tradisi studi khalayak telah dimulai sejak tahun 1930 melalui penelitian
efek isi media massa pada sikap publik dimana institusi media massa merupakan
kekuatan besar yang mampu memengaruhi khalayak yang dianggap pasif. Tahun
1960, tradisi studi khalayak bergeser pada perspektif penelitian Uses and
Gratifications yang mengedepankan penggunaan media massa oleh khalayak

Universitas Sumatera Utara

24

dalam usahanya memenuhi kebutuhan. Khalayak aktif dalam memilih dan
menggunakan media.
Studi mengenai hubungan yang terjadi antara media dan khalayak
(pembaca, pemirsa, pengguna internet) menjadi perhatian utama antara industri
media, akademisi, maupun pemerhati media dan masalah sosial. Media mampu
menjadi stimuli individu untuk menikmati sajian pesan atau program yang
ditampilkan. Isi media mampu menjadi wacana perbincangan (penerimaan
khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks budaya, misalnya efek
dramatisasi visual yang ditimbulkan. Pemirsa mampu mengkonstruksi makna
sesuai dengan teks dan konteks.
Salah satu standar untuk mengukur khalayak media adalah menggunakan
analisis resepsi. Analisis resepsi mencoba memberikan sebuah makna atas
pemahaman teks media (cetak, elektronik, internet) dengan memahami bagaimana
karakter teks media dibaca oleh khalayak. Individu yang menganalisis media
melalui kajian resepsi, memfokuskan pada pengalaman dan pemirsaan khalayak
(penonton/ pembaca), serta bagaimana makna diciptakan melalui pengalaman
tersebut.
Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses dimana common
sense dikonstruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar dan teks
bahasa. Sementara, makna teks media bukanlah fitur yang transparan, tetapi
produk interpretasi oleh pembaca dan penonton. Asumsinya adalah, sebelumnya
media hanya menjadi penyalur informasi, maka kini ia menjadi fasilitator,
penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi. Media kini bertugas untuk

Universitas Sumatera Utara

25

membawa audiensnya masuk dalam dunia makna yang lebih luas, tidak terbatas
pada tempat dan waktu kejadian sebuah peristiwa.
Riset khalayak menurut Stuart Hall (1973) seperti dikutip Baran (2003:269)
mempunyai perhatian langsung terhadap : (a) analisis dalam konteks sosial dan
politik dimana isi media diproduksi (encoding); dan (b) konsumsi isi media
(decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Analisis resepsi memfokuskan
pada perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada
proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media, dan bagaimana
individu memaknai isi media (Baran, 2003 : 269-270).
Hal tersebut bisa diartikan individu secara aktif memaknai teks media
dengan cara memberikan makna atas pemahaman dan pengalamannya sesuai apa
yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Interpretasi didefinisikan sebagai
kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian
makna (Littlejohn, 1999: 199). Sementara makna pesan media tidak permanen.
Makna dikontruksi oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media dalam
kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak aktif dalam menginterpretasi dan
memaknai teks media.
Proses interpretasi terjadi apabila media mampu memberikan makna
tersendiri atas ritual konsumsi media yang dilakukan setiap harinya dalam konteks
sosialnya. Konsumsi isi media mampu memberikan sharing the experience
seseorang dengan orang lain melalui tahapan penggunaan media (contexts of
media use) dengan interpretasi secara introspeksi, retrospeksi (persepsi) dan
pernyataan verbal seseorang atas kegiatannya mengkonsumsi media. Dalam social
contexts, konsumsi media cenderung mengkonseptualisasikan media sebagai

Universitas Sumatera Utara

26

representasi daripada sebagai sumber informasi. Media terintegrasi ke dalam
kehidupan sosial seseorang setiap harinya (Jensen, 2003 : 161-163). Media adalah
bagian kehidupan sosial manusia dan manusia terhubung dengan media dalam
social settings masing-masing.
Inti dari studi resepsi atau teori resepsi adalah teori yang menekankan pada
peran pembaca atau khalayak dalam menerima pesan, bukan pada peran pengirim
pesan. Pemaknaan pesan bergantung pada latar belakang budaya dan pengalaman
hidup khalayak itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa makna dalam sebuah teks
tidak melekat pada teks, tetapi dibentuk pada hubungan antara teks dan pembaca.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Stuart Hall ini, proses komunikasi (encoding
dan decoding) berlangsung lebih kompleks. Khalayak tidak hanya menerima
pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (pengirim-pesan-penerima), tetapi
juga bisa mereproduksi pesan yang disampaikan (produksi, sirkulasi, distribusi
atau konsumsi-reproduksi).
3.3.3.1 Encoding dan Decoding
Fokus dari analisis resepsi atau pemaknaan adalah proses encoding dan
decoding. Stuart Hall mengatakan bahwa sebuah pesan bisa dimaknai secara
berbeda. Kode yang digunakan atau disandi (encode) dan yang disandi balik
(decode) tidak selamanya berbentuk simetris. Sebelum memahami lebih jauh
tentang hal tersebut, penting untuk memahami lebih dalam tentang encoding dan
decoding.
Encoding dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan sumber
(komunikator) untuk menerjemahkan pikiran dan ide-idenya ke dalam suatu
bentuk yang dapat diterima oleh indra pihak penerima (Domminick dalam

Universitas Sumatera Utara

27

Morrisan, 2013). Jika seseorang akan mengatakan sesuatu, maka otak dan
lidahnya akan bekerja sama untuk menyusun kata-kata dan membentuk kalimat.
Ketika menulis surat, otak dan jari tangan akan bekerja sama untuk menghasilkan
pola-pola atau bentuk yang terlihat di atas kertas. Begitu juga ketika seorang
komikus akan menggambarkan imajinasi yang ada dipikirannya. Ia akan
memadukan antara ide yang terdapat di kepala dengan skill atau keahlian
menggambarnya kemudian menuangkan ide tersebut ke atas kertas.
Encoding dalam proses komunikasi dapat berlangsung satu kali namun
dapat terjadi berkali-kali (Morrisan, 2013). Dalam percakapan tatap muka,
pembicara melakukan encoding terhadap pikiran atau idenya ke dalam kata-kata.
Dalam percakapan melalui telepon, proses encoding terjadi dua kali. Pembicara
melakukan encoding terhadap pikirannya dan pesawat telepon melakukan
encoding terhadap gelombang suara yang dikeluarkan pembicara.
Kemampuan melakukan encoding berbeda-beda untuk setiap orang. Ada
orang yang sangat mahir memilih kata-kata sehingga menghasilkan kalimat yang
bagus dan mengesankan, seperti para orator. Namun, yang tidak memiliki
kemampuan encoding yang baik justru lebih banyak lagi. Kemampuan encoding
juga berbeda-beda untuk setiap teknologi. Radio FM memiliki kemampuan
encoding yang lebih baik dibandingkan dengan radio AM sehingga suara yang
dihasilkan pun lebih jernih.
Jika encoding dilihat dari sisi sumber (komunikator), maka decoding akan
dilihat dari sisi penerima pesan (komunikan). Proses decoding adalah kemampuan
khalayak untuk menerima pesan dan membandingkan pesan tersebut dengan
makna yang sebelumnya telah disimpan dalam ingatan mereka (Morrisan, 2013).

Universitas Sumatera Utara

28

Ketika seseorang menerima pesan dari pihak lain, maka ia melakukan decoding
terhadap pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman masa
lalu.
Individu yang menerima pesan iklan dari media massa yang menawarkan
suatu produk akan menghubungkan pesan iklan itu dengan berbagai perilaku
mentalnya (mental behavior) seperti keinginannya untuk membeli produk
tersebut, percakapan yang dilakukannya dengan mereka yang telah membeli,
pengetahuannya terhadap produk dan fakta bahwa dirinya belum pernah memiliki
produk tersebut. Ia akan menyimpan segala informasi yang dimilikinya dan
menggunakan informasi itu kembali ketika berbicara dengan orang lain mengenai
produk tersebut.
Proses decoding pesan merupakan hal penting karena karena masyarakat
menerima informasi dalam jumlah besar dari media dan khalayak yang secara
tidak sadar menerima, menyetujui atau mendukung apa yang dikemukakan oleh
ideologi dominan (Morrisan, 2013). Secara hierarkis, masyarakat berada dalam
posisi yang tidak seimbang dan menghasilkan situasi dimana mereka yang berada
pada kelas sosial rendah harus menerima pesan dari mereka yang berada pada
kelas sosial yang lebih tinggi. Media melakukan kontrol terhadap isi pesan dengan
melakukan encoding terhadap pesan. Namun pada zaman sekarang, kemunculan
media baru menjadikan siapa saja dapat menjadi komunikator, tidak harus orang
yang berasal dari kelas sosial tinggi. Individu maupun kelompok dapat
menyuarakan pesan melalui media-media yang telah tersedia. Mereka
menyebarluaskan ideologi dalam bentuk-bentuk simbolis (Becker dalam
Morrisan, 2009).

Universitas Sumatera Utara

29

Komunikator memiliki pilihan terhadap sejumlah kode dan simbol yang
akan memengaruhi makna isi pesan bagi penerimanya. Kode, simbol dan bahasa
memiliki latar belakang ideologi sehingga pemilihan kode, simbol dan bahasa
secara sadar ataupun tidak, dipilih berdasarkan ideologi tertentu. Pada saat
bersamaan, audiens akan menggunakan berbagai kategori yang dimilikinya untuk
melakukan decoding terhadap pesan dan mereka sering kali memaknai pesan
melalui cara-cara yang tidak dikehendaki oleh sumber pesan sehingga
menimbulkan makna yang berbeda. Sebagai akibat munculnya makna yang
berbeda ini, ideologi yang berlawanan akan muncul di masyarakat.
3.3.3.2 Teori Interpretasi dan Negosiasi Makna
Pada umumnya, banyak orang berasumsi bahwa mengonsumsi media
adalah aktivitas pasif

karena audiens hanya duduk di depan televisi dan

mengonsumsi tanpa benar-benar „terjalin‟ atau beraktivitas. Namun, Stuart Hall
sebagai penggagas studi resepsi berpendapat bahwa konsumsi bukanlah aktivitas
pasif. Ini disebabkan konsumsi media membutuhkan pemahaman. Tanpa
pemahaman, tidak akan ada konsumsi. Pemahaman sebaliknya tidak dapat
digeneralisasikan secara pasif, oleh karena itu kita harus menciptakannya sendiri
(Helen, 2004: 62). Khalayak aktif tidak lagi dianggap sebagai jarum hipodermik
yang begitu saja menerima pesan dari media. Khalayak menggunakan field of
experience dan frame of reference mereka sehingga ideologi dominan dari media
tidak lagi diterima secara mentah oleh khalayak aktif.
Istilah

decoding-encoding

(Helen,

2004)

digunakan

Hall

untuk

mengungkapkan bahwa makna dari teks terletak antara si pembuat teks (encoder
dalam hal ini komunikator atau professional media) dengan pembacanya (decoder

Universitas Sumatera Utara

30

atau komunikan, dalam hal ini audience media). Teori Stuart Hall tentang
encoding dan decoding, mendorong terjadinya intepretasi-intepretasi beragam dari
teks-teks media selama proses produksi dan resepsi (penerimaan). Jadi intinya,
makna tidak pernah pasti (Ida, 2010: 148). Menurut Stuart Hall, khalayak
melakukan decoding terhadap pesan media melalui tiga kemungkinan posisi
pemaknaan, yaitu:
1. Posisi dominan, yaitu situasi dimana khalayak menyetujui dan menerima
langsung apa saja yang disajikan oleh komunikator. Ini adalah situasi
dimana media menyampaikan pesannya dengan menggunakan kode
budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, baik media dan
khalayak sama-sama menggunakan budaya dominan yang berlaku. Media
harus memastikan bahwa pesan yang diproduksinya harus sesuai dengan
budaya dominan yang ada dalam masyarakat. Jika misalnya khalayak
memaknai pesan di media melalui cara-cara yang dikehendaki media maka
media, pesan, dan khalayak sama-sama menggunakan ideologi dominan.
2. Posisi negosiasi, yaitu posisi dimana khalayak secara umum menerima
ideologi dominan namun menolak penerapannya dalam kasus-kasus
tertentu sebagaimana dikemukakan Stuart Hall (dalam Susanti, 2014)
“..the audience assimilates the leading ideology in general but opposes its
application in specific case..” Dalam hal ini, khalayak bersedia menerima
ideologi dominan yang bersifat umum, namun mereka akan melakukan
beberapa pengecualian dalam penerapannya yang disesuaikan dengan
aturan budaya setempat. Khalayak yang masuk kategori negosiasi

Universitas Sumatera Utara

31

bertindak antara adaptif dan oposisi terhadap intepretasi pesan atau
ideologi yang disampaikan.
3. Posisi oposisi, yaitu ketika khalayak yang kritis mengganti atau mengubah
pesan atau kode yang disampaikan media dengan pesan atau kode
alternatif. Audiensi menolak makna pesan yang dimaksudkan media dan
menggantikannya dengan cara berpikir mereka sendiri terhadap topik yang
disampaikan media. Stuart Hall menerima fakta bahwa media membingkai
pesan dengan maksud tersembunyi yaitu untuk membujuk, namun
demikian khalayak juga memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari
kemungkinan tertelan oleh ideologi dominan. Seringkali pesan bujukan
yang diterima khalayak bersifat sangat halus. Para ahli teori studi kultural
tidak berpandangan khalayak mudah dibodohi media, namun seringkali
khalayak tidak mengetahui bahwa mereka telah terpengaruh dan menjadi
bagian dari ideologi dominan (Morissan, 2013: 550-551).
3.3.4 Khalayak
Konsep “khalayak” (audience) dalam konteks komunikasi telah dikenal
sejak zaman Yunani Kuno. Pada masa itu pengertian khalayak menunjuk pada
sekumpulan orang yang menonton suatu pertunjukan (misalnya drama atau
pertandingan). Dengan demikian, pengertian khalayak di sini adalah sekumpulan
orang yang terorganisir pada waktu dan tempat tertentu, dimana masing-masing
secara sukarela datang ke suatu tempat karena memiliki perhatian yang sama serta
tujuan yang lebih kurang sama, yaitu ingin memperoleh hiburan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pengertian khalayak tersebut di atas
sudah tidak lagi memadai untuk menggambarkan kondisi nyata dari khalayak.

Universitas Sumatera Utara

32

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan yang terjadi
dalam hal teknologi komunikasi telah mengubah konsep khalayak dari rumusan
awalnya. Kehadiran teknologi mesin cetak telah melahirkan khalayak pembaca
yang tidak lagi terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Munculnya komersialisasi
media massa dan internet telah memperluas skala operasi media massa dari hanya
sekedar institusi sosial menjadi institusi ekonomi.
Pada masa sekarang ini, konsepsi khalayak menunjuk pada sekumpulan
orang yang terbentuk sebagai akibat atau hasil dari kegiatan komunikasi yang
dilakukan dalam jumlah besar (bahkan mungkin tidak terbatas), tersebar secara
luas, banyak di antaranya yang tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya
dan heterogen dalam hal ciri-ciri sosio-ekonomi dan demografinya. Istilah
khalayak media berlaku universal dan secara sederhana diartikan sebagai
sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, pemirsa dan pengikut
berbagai media. Kumpulan ini disebut sebagai khalayak dalam bentuk yang paling
dikenali dan versi yang diterapkan dalam hampir seluruh penelitian media itu
sendiri. Dalam penelitian ini, khalayak yang dimaksud adalah followers akun
Instagram @Komikazer dimana followers dalam mengikuti sebuah akun bukan
berarti karena sepenuhnya setuju terhadap ideologi yang disampaikan dalam akun
tersebut, melainkan justru untuk mengutarakan kritik dan sarannya.
3.3.5 New Media
New media atau media daring didefinisikan sebagai produk dari komunikasi
yang termediasi teknologi yang terdapat bersama dengan komputer digital
(Creeber dan Martin, 2009). Definisi lain media daring adalah media yang di
dalamnya terdiri dari gabungan berbagai elemen. Artinya, terdapat konvergensi

Universitas Sumatera Utara

33

media di dalamnya, dimana beberapa media dijadikan satu. New media
merupakan media yang menggunakan internet, berbasis teknologi, berkarakter
fleksibel, berpotensi interaktif dan dapat berfungsi secara privat maupun secara
publik (Mondry, 2008: 13).
Definisi lain mengemukakan, media baru merupakan digitalisasi yang mana
sebuah konsep pemahaman dari perkembangan zaman mengenai teknologi dan
sains, dari semua yang bersifat manual menjadi otomatis dan dari semua yang
bersifat rumit menjadi ringkas. Digital adalah sebuah metode yang kompleks dan
fleksibel yang membuatnya menjadi sesuatu yang pokok dalam kehidupan
manusia. Digital juga selalu berhubungan dengan media karena media adalah
sesuatu yang terus selalu berkembang dari media zaman dahulu (old media)
sampai sekarang yang sudah menggunakan digital (modern media/new media).
Selama tahun 2000, internet telah memasuki fase yang disebut web 2.0.
(web two point-oh), dimana semua menjadi lebih interaktif dan telah menjadi area
untuk semua orang, tidak hanya milik beberapa pihak saja. Semua orang saat ini
dapat langsung mengambil peran dan menaruh apapun ke dalam internet.
Perkembangan web 2.0 sebagai platform telah mengubah sifat interaktivitas di
web dan membuka alam semesta bagi pengguna media. Aplikasi web 2.0
memungkinkan pengguna untuk menjadi produsen otonom. Blog, Youtube,
Wikipedia, Ebay, Flickr, Second Life dan situs jaringan sosial daring lainnya
seperti memungkinkan pengguna media untuk memiliki pengalaman siaran.
Salah satu bagian dari new media adalah „Network Society‟. Network society
adalah formasi sosial yang berinfrastuktur dari kelompok, organisasi dan
komunitas massa yang menegaskan bentuk awal organisasi dari segala segi

Universitas Sumatera Utara

34

(individu, grup, organisasi dan kelompok sosial). Dengan kata lain, aspek
mendasar dari formasi teori ini adalah semua yang memiliki hubungan yang luas
secara kolektivitas (Van Dijk, 2006:20).
Media baru/new media/media online adalah sarana komunikasi dimana
individu dapat saling berinteraksi, berpendapat, bertukar informasi dan
mengetahui berita. Hal ini dilakukan melalui saluran jaringan internet dimana
informasinya selalu up to date dan ringkas dalam memberikan informasi kepada
pembaca/khalayak/followersnya. Media baru/new media/ media daring sangat
berbeda jauh dengan media konvesional seperti radio, televisi, media cetak, media
massa dan lain-lain yang merupakan media konvensional karena sifatnya 2 (dua)
arah.
Internet adalah salah satu bentuk dari media baru (new media). Internet
dinilai sebagai alat informasi yang paling penting untuk dikembangkan
kedepannya. Internet memiliki kemampuan untuk mengkode, menyimpan,
memanipulasi dan menerima pesan (Ruben, 1998:110). Internet memiliki
teknologi, cara penggunaan, lingkup layanan, isi dan citra sendiri. Internet tidak
dimiliki, dikendalikan atau dikelola oleh sebuah badan tunggal tetapi merupakan
sebuah jaringan komputer yang terhubung secara intensional dan beroperasi
berdasarkan protokol yang disepakati bersama. Sejumlah organisasi khususnya
provider dan badan telekomunikasi berperan dalam operasi internet (McQuail,
2009: 28-29).
Menurut
Kontemporer

Septiawan
(2005),

Santana

internet

Kurnia

adalah

dalam

sebuah

bukunya

medium

Jurnalisme

terbaru

yang

mengkonvergensikan seluruh karakteristik media dari bentuk-bentuk yang

Universitas Sumatera Utara

35

terdahulu. Hal yang membuat bentuk-bentuk komunikasi berbeda satu sama lain
bukanlah penerapan aktualnya, namun perubahan dalam proses komunikasi
seperti kecepatan komunikasi, harga komunikasi, persepsi pihak-pihak yang
berkomunikasi, kapasitas storage, fasilitas mengakses informasi, densitas
(kepekatan atau kepadatan) dan kekayaan arus-arus informasi. Jadi, titik esensinya
adalah bahwa keunikan internet terletak pada esensinya sebagai sebuah medium
(Setyani, 2013:5).
Sebagai media komunikasi, internet mempunyai peranan penting sebagai
alat untuk menyampaikan pesan dari komunikator/penyalur pesan (source) kepada
komunikan/penerima pesan (receiver). Sifat dari internet sebagai media
komunikasi adalah transaksional, yaitu terdapat interaksi antar individu secara
intensif (terus-menerus) dan ada umpan balik (feedback) dari antar individu dalam
setiap interaksi tersebut. Selain itu, terdapat partisipasi antar individu dengan
mempertimbangkan untung/rugi dalam setiap interaksi.
Internet juga dianggap memiliki kapasitas besar sebagai media baru. Tidak
hanya memperkecil jarak dalam mengkomunikasikan pesan, teknologi komputer
dan internet juga telah berkembang dan mengeliminasi penggunaan koneksi kabel,
namun tetap dapat memfasilitasi taransmisi informasi yang sangat cepat ke
seluruh dunia (Bagdakian, 2004:114). Menurut Bagdakian, duplikasi dan
penyebaran materi dari internet bisa mencapai jangkauan yang sangat luas. Satu
orang khalayak bisa mengunduh kemudian menyebarkannya pada orang-orang
dalam jaringan pertemanan atau jaringan kerjanya. Pihak yang mendapatkan
sebaran itu bisa menyebarkannya lagi pada orang-orang dalam jaringannya, dan
seterusnya.

Universitas Sumatera Utara

36

3.3.6 Media Sosial
Kemunculan situs jejaring sosial diawali dengan adanya inisiatif untuk
menghubungkan orang-orang dari seluruh belahan dunia. Situs jejaring sosial
pertama yaitu Sixdegrees.com, muncul pada tahun 1997. Situs ini memiliki
aplikasi untuk membuat profil, menambah teman dan mengirim pesan. Tahun
1999 dan 2000 muncul situs sosial Lunarstorm, Live Journal, dan Cyword yang
berfungsi memperluas informasi secara searah. Tahun 2001, muncul Ryze.com
yang berperan untuk memperbesar jejaring bisnis. Tahun 2002, muncul Friendster
sebagai situs anak muda untuk saling berkenalan dengan pengguna lain. Tahun
2003, muncul situs sosial interaktif Flickr, Youtube dan Myspace.
Hingga akhir tahun 2005, Friendster dan Myspace merupakan situs jejaring
sosial yang paling diminati. Lalu para pengguna media sosial beralih ke Facebook
yang sebenarnya telah dibuat pada tahun 2004, tetapi baru saja tenar pada tahun
2006. Tahun 2006, kemunculan Twitter ternyata menambah jumlah pemakai
media sosial. Twitter merupakan microblog yang memiliki batasan karakter
tulisan bagi penggunanya, yaitu sebanyak 140 karakter. Lalu setelah lahirnya
Twitter, muncul lagi jejaring sosial lain seperti Path dan Instagram yang hanya
bisa diakses melalui perangkat iOs atau Android.
Media sosial adalah sebuah media daring, yang para penggunanya bisa
dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan Wiki merupakan
bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh
dunia. Menurut Antony Mayfield dari iCrossing, media sosial adalah mengenai
menjadi manusia biasa yang saling membagi ide, bekerjasama dan berkolaborasi

Universitas Sumatera Utara

37

untuk menciptakan kreasi, berfikir, berdebat, menemukan orang yang bisa
menjadi teman baik, menemukan pasangan dan membangun sebuah komunitas.
Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri. Selain
kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, menjadi diri sendiri
dalam media sosial adalah alasan mengapa media sosial berkembang pesat.
Karateristik media sosial diantaranya adalah :
a. Pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu orang saja namun bisa ke
banyak orang;
b. Pesan yang disampaikan bebas, tanpa harus melalui gatekeeper;
c. Pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat dibandingkan media
lainnya;
d. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi.
3.3.7 Instagram
Instagram pada awalnya dibentuk pada tahun 2010 oleh sebuah perusahaan
aplikasi dan gawai bernama Burbn Inc yang didirikan oleh CEO sekaligus
programmer bernama Mike Krieger dan Kevin Systrom. Pada awalnya Burbn Inc
bergerak di bidang HTML 5, namun karena berbagai pertimbangan, kedua CEO
memutuskan untuk memulai dari awal dengan membentuk Instagram, yang
fungsinya hanya fokus pada bagian foto maupun video, komentar dan like. Dalam
waktu 10 bulan setelah diluncurkan, Instagram berhasil menarik 7 juta pengguna,
kemudian pada tanggal 9 April 2012, Instagram dibeli oleh Facebook dan
menjadi sangat populer di kalangan pengguna smartphone.
Kata „Instagram‟ berasal dari keseluruhan fungsi aplikasi ini. „Insta‟ berasal
dari kata „instan‟, seperti kamera polaroid yang pada massanya dikenal dengan

Universitas Sumatera Utara

38

sebutan foto instan. Kata „gram‟ berasal dari „telegram‟ yang cara kerjanya untuk
mengirimkan sesuatu kepada orang lain dengan cepat, layaknya Instagram yang
menggunakan jaringan internet sehingga tidak diragukan kecepatannya. Instagram
dapat digunakan pada iPhone, iPad atau iPod versi apapun dengan sistem operasi
iOS 7.0 atau yang terbaru, telepon genggam android apapun dengan sistem
operasi versi 2.2 ke atas, dan Windows Phone 8. Aplikasi ini dapat diunggah
melalui Apple App Store dan Google Play. Berikut ini adalah fitur–fitur Instagram
(www.wikipedia.com) :
a) Pengikut (followers)
Sistem sosial di Instagram adalah dengan menghadirkan pengikut yang
mana mereka mengikuti akun pengguna lainnya dalam Instagram.
Seseorang akan mengikuti akun yang dia anggap sebagai teman maupun
akun yang dia sukai.
b) Mengunggah foto dan video
Kegunaan utama dari Instagram adalah sebagai tempat berbagi foto
kepada pengguna lainnya. Instagram juga menambah fitur berbagi video.
c) Kamera
Foto yang telah diambil melalui Instagram dapat disimpan di dalam
iDevice tersebut. Pengambilan gambar melalui Instagram juga dapat
langsung menggunakan efek-efek yang ada, untuk mengatur pewarnaan
dari foto yang dikehendaki oleh sang pengguna. Ada juga efek kamera tiltshift yang fungsinya adalah untuk memfokuskan sebuah foto pada satu
titik tertentu. Setelah foto diambil melalui kamera di dalam Instagram,
foto tersebut juga dapat diputar arahnya sesuai dengan keinginan para

Universitas Sumatera Utara

39

pengguna. Foto-foto yang akan diunggah melalui Instagram tidak terbatas
atas jumlah tertentu, namun Instagram memiliki keterbatasan ukuran
untuk foto. Ukuran yang digunakan di dalam Instagram adalah dengan
rasio 3:2 atau hanya sebatas bentuk kotak saja. Para pengguna hanya dapat
mengunggah foto dengan format itu saja, atau harus menyunting foto
tersebut terlebih dahulu untuk menyesuaikan format yang ada. Setelah
para pengguna memilih sebuah foto untuk diunggah di dalam Instagram,
maka pengguna akan dibawa ke halaman selanjutnya untuk menyunting
foto tersebut.
d) Efek foto
Pada versi awalnya, Instagram memiliki 15 efek foto yang dapat
digunakan oleh para pengguna pada saat mereka hendak menyunting
fotonya. Efek tersebut terdiri dari: X-Pro II, Lomo-fi, Earlybird, Sutro,
Toaster, Brannan, Inkwell, Walden, Hefe, Apollo, Poprockeet, Nashville,
Gotham, 1977, dan Lord Kelvin. Pada tanggal 20 September 2011,
Instagam telah menambahkan 4 buah efek terbaru, yaitu Valencia, Amaro,
Rise, Hudson, dan menghapus 3 efek, Apollo, Poprockeet, dan Gotham.
e) Judul foto
Sebelum mengunggah sebuah foto, para pengguna dapat memasukkan
judul untuk menamai foto tersebut sesuai dengan apa yang ada dipikiran
para pengguna. Judul-judul tersebut dapat digunakan pengguna untuk
menandai pengguna Instagram lainnya dengan mencantumkan nama akun
dari orang tersebut. Para pengguna juga dapat memberikan label pada

Universitas Sumatera Utara

40

judul foto sebagai tanda untuk mengelompokkan foto tersebut di dalam
sebuah kategori.
f) Arroba
Seperti Twitter dan Facebook, Instagram juga memiliki fitur yang dapat
digunakan penggunanya untuk menandai pengguna lainnya dengan
manambahkan tanda arroba (@) dan memasukkan nama akun Instagram
dari pengguna tersebut. Para pengguna tidak hanya dapat menyinggung
pengguna lainnya di dalam judul foto, melainkan juga pada bagian
komentar foto. Pada dasarnya penyinggungan pengguna yang lainnya
dimaksudkan untuk berkomunikasi dengan pengguna

yang telah

disinggung tersebut.
g) Label foto
Sebuah label (#) dalam Instagram adalah sebuah kode yang memudahkan
para pengguna untuk mencari foto tersebut dengan menggunakan "kata
kunci". Bila para pengguna memberikan label pada sebuah foto, maka foto
tersebut dapat lebih mudah untuk ditemukan. Label itu sendiri dapat
digunakan di dalam segala bentuk komunikasi yang bersangkutan dengan
foto itu sendiri. Para pengguna dapat memasukkan namanya sendiri,
tempat pengambilan foto tersebut, untuk memberitakan sebuah acara,
untuk menandakan bahwa foto tersebut mengikuti sebuah lomba, atau
untuk menandakan bahwa foto tersebut dihasilkan oleh anggota komunitas
Instagram. Foto yang telah diunggah dapat dicantumkan label yang sesuai
dengan informasi yang bersangkutan dengan foto. Pada saat ini, label

Universitas Sumatera Utara

41

adalah cara yang terbaik jika pengguna hendak mempromosikan foto di
dalam Instagram.
h) Geotagging
Setelah memasukkan judul foto tersebut, bagian selanjutnya adalah bagian
Geotag. Bagian ini akan muncul ketika para pengguna mengaktifkan GPS
di dalam iDevice mereka. Dengan demikian iDevice tersebut dapat
mendeteksi lokasi para pengguna Instagram tersebut. Geotagging sendiri
adalah identifikasi metadata geografis dalam situs web ataupun foto.
Dengan Geotag, para penguna dapat terdeteksi lokasinya setelah
mengambil foto.
i) Share ke jejaring sosial
Dalam berbagi foto, para pengguna juga tidak hanya dapat membaginya di
dalam Instagram saja. Foto tersebut dapat dibagi juga melalui jejaring
sosial lainnya seperti Facebook, Twitter, Tumblr dan Flickr yang tersedia
di halaman Instagram untuk membagi foto tersebut.
j) Tanda suka
Instagram juga memiliki sebuah fitur tanda suka yang fungsinya memiliki
kesamaan dengan yang disediakan Facebook, yaitu sebagai penanda
bahwa pengguna yang lain menyukai foto yang telah diunggah. Durasi
waktu dan jumlah suka pada sebuah foto di dalam Instagram menjadi
faktor khusus yang memengaruhi foto tersebut terkenal atau tidak. Namun
jumlah pengikut juga menjadi salah satu unsur yang penting untuk
membuat foto menjadi terkenal. Bila sebuah foto menjadi terkenal, maka
secara langsung foto tersebut akan masuk ke dalam halaman popular.

Universitas Sumatera Utara

42

k) Popular
Sebuah foto dapat masuk ke dalam halaman popular, yang merupakan
tempat kumpulan foto-foto popular dari seluruh dunia pada saat itu.
Secara tidak langsung, foto tersebut akan menjadi suatu hal yang dikenal
oleh masyarakat mancanegara, sehingga jumlah pengikut juga dapat
bertambah. Foto-foto yan