Hubungan Penderita Arthritis Kronis Yang Ditegakkan Secara Kuesioner Dengan Tes Serologis Penyakit Lime

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penyakit Lime
2.1.1Definisi
Penyakit lime disebut juga lyme borreliosis yang disebabkan oleh
spirochaeta, Borrelia burgdorferi sensu lato, dengan penyebaran melalui tungau
(kutu) kelompok Ixodes ricinus. Infeksi lime ditandai adanya lesi kulit yang luas
dengan gambaran khas dinamai eritema migrans (EM) yakni lesi pada bagian
tengah putih (pucat) dengan disekeliling warna merah cerah di bagian luar dan
disebut target pusat. (Allen C.steere, 2015)

Gambar 1. Eritema migran (EM) pada pasien lime
2.1.2Sejarah dan Etiologi Penyakit Lime
Penyakit lime pertama kali ditemukan di Connecticut, USA, pada tahun
1976 pada seorang anak laki-laki umur 9 tahun, didiagnosa sebagai juvenile
rheumatoid arthritis. Penyakit lime dikenal sebagai penyebab penyakit
multisistemik yang melibatkan kulit, persendian, saraf dan mata.
Penyakit lime merupakan penyakit oleh infeksi dari kelompok kompleks
Borrelia burgdorferi sensu lato dalam famili spirocheta. B.burgdorferi sensu lato
dikenal mempunyai minimal 18 genospesies,sebagian sangat patogen pada

manusia, hewan peternakan dan hewan peliharaan.

Universitas Sumatera Utara

Genospesies yang menyebabkan tersering penyakit lime pada manusia
yaitu B.burgdorferi sensu stricto, B.garinii, B.afzelii dan sekarang dikenal juga
patogen

adalah

B.spielmanii,

B.bissettii,

B.lusitaniae

dan

B.valaisiana,


berdasarkan isolasi pada pasien di Eropa, Asia dan atau studi pada laboratorium
hewan.

2.1.3Borreliaburgdorferi
B.burgdorferi diidentifikasi pertama kali oleh Dr. Willy Burgdorferi tahun
1982. B.burgdorferi termasuk bakteri negatif dan mikroaerofilik, genus spirocheta
dengan ukuran relatif kecil (1,5Mb) dan terdiri dari kromosom linier pada 950kb
dan 17-21 plasmik linier dan sirkular. Spirocheta ini mempunyai sedikit protein
untuk aktivitas biosintesis dan bergantung pada pemenuhan nutrisi pada vektor
dan host. Tidak dikenal adanya rangkaian racun.

2.1.4 Epidemiologi
Telah diketahui 13 genospesies B.burgdoferi sensu lato hidup di alam
sebagai siklus enzootik melibatkan 12 spesies tungau, sebagian besar tungau
kelompok Ixodes ricinus, I.scapularis, I.pacificus dan I.persulcatus.Ixodes
scapularis dan I.pacificus sebagai vektor di negara bagian AS, sedangkan
I.ricinus dan I.persulcatus di Eropa dan Asia.

Gambar 2. Tungau betina hamil dan siklus hidup Ixodes ricinus.
Penelitian yang dilakukan di negara Turki, dtemukan Borrelia burgdorferi

sensu lato yaitu satu B.burgdorferi sensu stricto, dua B.garinii (tipe Eurasia), dua
B.afzelii, empat B.lusitaniae dan satu B.valaisianadari isolasi dari Tungau Ixodes
ricinus (Ece S.Gὔner et al., 2003). Prevalensi penyakit lime pada oleh Tungau

Universitas Sumatera Utara

Ixodes persulcatus ditemukan positifB.burgdorferipada tes DNA Borrelia dengan
PCR sebesar 34,5% di Hokkaido, Jepang (Yusuke Murase et al. 2013). Prevalensi
penyakit lime oleh Tungau Ixodes persulcatus ditemukan di Cina bagian Utara
juga positif sebesar 33,8% dengan PCR (Wu-Chun Cao et al. 2003). Tungau
Ixodes ini juga dijumpai pada binatang baik domestik maupun liar, isolasi kuman
B.burgdorferi dilakukan di Amerika dan negara di Eropa.
Tungau Ixodes mempunyai siklus hidup antara lain larva, nimpha dan
dewasa. Tungau memerlukan darah pada setiap tahap siklus hidup. Resiko infeksi
tergantung pada area (distribusi geografis) disertai adannya tungau sebagai
kebiasaan makan (musim) dan hewan sebagai host. Tungau betina bila mengiggit
pada host hewan, memerlukan 3 hari dari telur menjadi larva, 5 hari menjadi
nimpha dan 7 hari menjadi dewasa. Tungau juga dapat meletakkan telur di
permukaan tanah dan memerlukan beberapa bulan untuk berkembang sampai
tahap tungau dewasa, bergantung pada cuaca.

Siklus hidup Tungau Ixodes dengan tingkat kejadian pada musim semi dan
musim gugur. Karena memerlukan darah untuk setiap tahap siklus hidup,
B.burgdorferi tidak ditemukan penyebaran secara vertikal (keturunan), larva
menjadi infeksius saat mengiggit pada hewan reservoir terinfeksi dan transmisi
infeksi baru pada hewan lain sepanjang melalui gigitan. Pada tahap nimpha yang
sangat berperan pada terjadi penyakit lime pada manusia. Rusa ekor putih (AS)
memberikan kontribusi tersering pada siklus hidup spirochaeta.

Gambar 3. Siklus hidup Tungau Ixodes berdasarkan musim

Universitas Sumatera Utara

Di negara Asia yakni Korea, dijumpai kasus penyakit lime melalui
pengambilan sampel serologisdan karakteristik epidemiologi pada tahun 20052009 ( Sang-Hee Park et al. 2011), deteksi tes serologis lime didapatkan 16 dari
53 kasus (30,2%) terinfeksi lime berasal dari luar Korea dan 37(69,8%) terinfeksi
dari Korea sendiri, dengan karakteristik endemik menurut musim yaitu pada bulan
Mei dan Desember. Seroprevalensi penyakit lime juga terdeteksi di India Timur
(Surg Cmde AK Praharafet al. 2007) dengan tes lime ELISA Ig G didapat sebesar
65 dari 500 sampel (13%) positif IgGBorrelia burgdorferi. Penelitian yang
dilakukan oleh Arunachal Pradesh (India) menunjukkan seroprevalensi lebih

tinggi yaitu 17,8%. Di negara Cina seroprevalensi penyakit lime dengan tes lime
IgG dilaporkan sebesar 5,1% di populasi perdesaan Beijing (Xiangfeng Dou et al.
2015). Seroprevalensi penyakit lime antara pekerja hutan dan petani dengan donor
darah sehat di Duzce, Barat-Laut Turki (Ayse Demet Kayaet al., 2007) tercatat
10,9% pada pekerja hutan dan petani dan 2,6% pada donor darah dengan tes
ELISA dan dilanjutkan Western Blot IgG. Di Amerika Serikat prevalensi berkisar
2-12% dengan menggunakan metode two-tier (ELISA di lanjutkan Western Blot)
dan prevalensi yang cukup tinggi di Eropa 26% dengan pemeriksaan metode lime
two-tier.

2.1.5 Patogenesis dan Immunitas
Dalam mempertahankan siklus enzootik kompleks, Borrelia burgdorferi
harus mampu beradaptasi pada lingkungan berbeda yaitu pada Tungau dan host
mamalia. Bakteri spirochaeta memperlihatkan permukaan protein luar A (OspA)
pada usus tengah tungau dan OspC sebagai regulator perjalanan kuman yang
dijumpai pada kelenjar ludah tungau. OspC berikatan pada protein kelenjar saliva,
dibutuhkan sebagai sumber infeksi pada host mamalia. Tungau ini biasanya
memerlukan waktu minimal 24 jam untuk transmisi B.burgdorferi.
Setelah menginjeksi melalui gigitan pada kulit manusia, spirochaeta
meregulasi via OspC dan lipoprotein VlsE. Protein yang dihasilkan sangat

antigenik yaitu berkemampuan merubah struktur dinding sel dan antigen
permukaan sehingga imun sistem mengalami kesulitan mengenal antigen tersebut
dinamakan polimorfism (oleh Thomas M.Grier, tutorial mikrobiologi berjudul

Universitas Sumatera Utara

The Complexities of Lyme Disease).Akibat pleomorfism ini spirochaeta mampu
beradaptasi di dalam tubuh host. Setelah beberapa hari sampai minggu,
B.burgdorferi bermigrasi ke luar kulit terjadi peradangan yang dinamakan eritema
migrans (EM) dan mungkin penyebaran secara hematogen dan atau limfogen pada
organ lain.
Faktor virulensi yang diketahui dari B.burgdorferi adalah protein
spirochaeta yang melekat pada protein mammalia, integrin, glikoaminoglikans
atau glikoprotein. Sebagai contoh, penyebaran melalui kulit dan

matriks

jaringan lain mungkin difasilitasi oleh ikatan plasminogen manusia dan aktivaktor
pada permukaan spirochaeta. Penyebaran organisme ini pada darah difasilitasi
oleh ikatan reseptor fibrinogen pada platelet teraktivasi (αIIbβ2) dan reseptor

vibronektin pada sel endothelial. Indikasi yang mirip, spirochaeta decorin-binding
protein, glikosaminoglikans pada fibril kollagen, yang dapat dijelaskan mengapa
organisme ini bisa berada sejajar pada fibril kollagen dalam matriks ekstrasellular
di jantung, sistem saraf dan persendian (Dean T.Nardelli et al.2007 dan Ok Sarah
Shin 2014).
Kontrol dan eradikasi B.burgdorferi pada host harus melibatkan kedua
sistem imun tubuh yaitu respon imun innate dan adatif, menghasilkan makrofag
dan antibodi mediasi membunuh kuman spirochaeta. Sebagian respon imun
innate, komplemen menglisiskan spirochaeta pada kulit, sel yang terlibat akan
melepaskan sitokin pro-inflammasi poten seperti interleukin 6, TNF-α, interferonϒ, dan interferon-1β. Respon imun adatif bertujuan untuk menghasilkan spesifik
antibodi, mengopsonisasi

organisme sebagai langkah awal optimal untuk

membunuh spirochaeta. Studi pada rangkaian protein menunjukkan lebih kurang
1.200 protein B.burgdorgeri terdeteksi respon antibodi pada 120 total protein
spirochaeta (khususnya lipoprotein permukaan luar) pada populasi pasien dengan
lime arthritis. Pemeriksaan histologis memperlihatkan adanya infiltrasi limfosit,
makrofag dan sel plasma dengan tingkatan kerusakan pembuluh darah. Dengan
adanya penemuan ini, diduga spirochaeta dapat berada di dalam atau sekitar

pembuluh darah (Ok Sarah Shin, 2014).
Pada infeksi enzootik, spirochaetaBorrelia burgdorferi dapat bertahan
hidup dari pengepungan sistem imun hanya pada musim panas sebelum pada

Universitas Sumatera Utara

siklus larva untuk memulai siklus hidup yang baru mengikuti siklus tahunan. Ini
berbanding terbalik, pada infeksi pada manusia merupakan akhir kematian
spirochaeta dalam beberapa minggu atau bulan, via mekanisme sistem imun
innate dan adaptif tanpa terapi antibiotik (berperan dalam mengontrol penyebaran
infeksi dan gejala klinis sistemik berkurang. Bagaimanpun, tanpa pengobatan
antibiotik, spirochaetaaa mampu hidup ditempat asal untuk beberapa tahun,
sebagai contoh, B.burgdorferipada Amerika Serikat menyebabkan arthritis
persisten atau sangat jarang encefalopathi atau polineuropathi. Demikian,
mekanisme sistem imun sukses mengeradikasi hampir seluruh B.burgdorferi dari
jaringan dan organ semula termasuk persendian dan sistem saraf dan gejala klinis
sembuh pada banyak pasien.
B.burgdorferi tidak dapat disebarkan melalui cairan tubuh, lingkungan,
pernah dilaporkan ditemukan dalam kantong darah, urine, asi pada pasien dengan
eritema migrans. Kuman B.burgdorferi pernah dilaporkan survival 28-35 hari

pada darah babi guinea pada suhu kamar, sampai 48 hari di darah manusia
sewaktu transfusi darah di suhu 4°C dan periode singkat di urine. Didapati 1kasus
penyakit lime dari sampel donor darah di Malaysia (Tay S T et.al., 2002), kontak
darah atau urine terinfeksi lime pada manusia, walaupun transfusi penyebab
penyakit

secara

teori

memungkinkan

(dalam

hewan

percobaan

yakni


tikus,transfusi darah mampu menyebabkan penyebaran. Dalam hewan peliharaan,
anjing, satu kasus transmisi horizontal dilaporkan terinfeksi dari eksperimental
pada hewan kontrol. Pada studi lain, serokonversi tidak terlaporkan saat anjing
terinfeksi atau tidak serumah dalam setahun. Ko-infeksi dengan penyakit
penyebaran tungau ditemukan pada human granulositik (ehrlichiosis) atau
babesiosis, dapat mengubah tanda klinis dan respon pada pengobatan.
Pada penyakit lime tidak ada bukti sebagai penyakit menular pada
manusia, dan juga tidak ada laporan infeksi sesudah transfusi darah terinfeksi lime
atau kontak dengan jaringan atau organ terinfeksi lime.

2.1.6 Manifestasi klinis
A. Infeksi Awal : stadium 1 (infeksi lokalisata)

Universitas Sumatera Utara

Karena ukuran tungau sangat kecil sampai tidak ingat kapan terasa
digigit. Setelah masa inkubasi (3-32 hari), tempat gigitan akan terlihat
seperti makula atau papula berwarna merah dinamakan eritema migrans
(EM). Ruam akan meluas secara perlahan-lahan membentuk lesi annular
yang luas, sehingga ukuran lesi meingkat warna merah terang pada batas

luar kulit dan bagian tengah pucat. EM dapat berlokasi dimanapun seperti
paha dan ketiak merupakan tempat lazim dari tungau. Lesi umumnya
panas dan jarang sakit. Kira-kira 20-40% pasien tidak menunjukkan
manifestasi khas ini pada kulit.

B. Infeksi awal : stadium 2 (infeksi penyebaran).
Kasus di AS, B.burgdorferi menyebar secara hematogen pada
beberapa lokasi (hari-minggu) setelah onzet EM. Pada tahap ini, adanya
lesi annular sekunder pada kulit bersamaan sakit kepala berat,
demam,nyeri migratori pada otot-tulang, radang sendi (arthralgia), bisa
disertai limfoadenopathi, letargia dan malaise.
Setelah beberapa minggu-bulan, 15% pasien tidak mendapat
pengobatan akan terjadi abnormalitas pada saraf seperti tanda encefalitis,
neuritis kranial, motorik dan sensorik radikulopathi, neuropathi perifer,
multipleks mononeuritis, ataksia cerebellar atau mielitis, bisa tunggal atau
kombinasi. Pada anak, saraf optikus akan terjadi peradangan atau
meningkatnya tekanan intrakranial dapat menyebabkan kebutaan. Kelainan
awal neurologis biasanya sembuh secara komplit dalam beberapa bulan,
akan tetapi sangat jarang terjadi abnormalitas kronis.
Kira-kira 8% pada pasien berkembang melibatkan jantung seperti
blok

atrioventrikular,

perikarditis

akut,

disfungsi

ventrikel

kiri.

Kardiomiopathi yang disebabkan B.burgdorferi pernah dilaporkan terjadi
di Eropa.
Selama pada tahap 2 ini, sering terjadi nyeri otot-tulang, berupa
sakit berupa migratori pada persendian, tendon, bursa, otot dan tulang
(biasanya tanpa pembengkakan persendian)dan melibatkan satu atau dua
persendian secara bersamaan

Universitas Sumatera Utara

C. Infeksi akhir: stadium 3 (infeksi persisten)
Beberapa bulan setelah onset dari infeksi, terdapat pada 60% pasien tanpa
pengobatan antibiotik akan berlanjut terjadi arthritis (radang sendi).
Bentuk tipikal terdiri dari serangan intermitten pada arthritis oligoartikular
pada sendi besar (lutut) dan sendi kecil. Bila berat dapat terjadi erosi pada
kartilago dan tulang.
Bila adanya infeksi B.burgdorferi pada persendiaan dinamakan
lime arthritis, ini merupakan komplikasi persentase kecil pada Amerika
bagian Timur-Laut, akibat dari persisten (antibiotik-refraktori) arthritis,
memerlukan pengobatan antibiotik baik oral atau suntikan untuk 2-3
bulan. Autoantigen pada sel respon T dan B dalam infeksi lime berperan
pada refraktori-antibiotik arthritis.
D. Sindroma post lyme (penyakit lime kronis)
Walaupun terjadi penyembuhan secara objektif dengan pengobatan
antibiotik, terdapat 10% masih mengalami nyeri subjektif, manifestasi
neurokognitif (depresi, anxietas) dan fatique. Sampai saat ini, tidak ada
indikasi

jelas

pada

simpton

persisten

secara

subjektif,

setelah

penatalaksanaan antibiotik yang disebabkan infeksi aktif.

2.1.7Diagnosa
Bentuk B.burgdorferi helikal (mikroskop elektron) yang terdiri dari
flagella, permukaan membran luar dan dalam, ruang periplasmik, peptidoglikans
dan membran sitoplasmik.

Gambar 4. Bakteri Borrelia burgdorferi (spiral) dan struktur B.burgdorferi

B.burgdorferi merubah permukaan protein sebagai sumber infeksi dan
mampu bertahan pada Tungau dan host mamalia. Permukaan luar pada lipoprotein

Universitas Sumatera Utara

yang dikenal outer surface protein (OspA dan OspC), dimana OspA sebagai
regulasi utama oleh B.burgdorferi. Dalam usus tengah (midgut) Tungau tak
terinfeksi dan regulasi tambahan sewaktu tungau menghisap darah dan sebagai
penyebaran pada host mamalia. Sebaliknya OspC tidak diekspresikan oleh
B.burgdorferi, akan tetapi OspC segera meregulasikan ke dalam tubuh host
mamalia.
Kultur B.burgdorferi dalam

medium Barbour-Stoener-Kelly (BSK)

merupakan diagnosa definitif, metode ini hanya digunakan pada studi penelitian.
Kultur positif hanya pada awal infeksi dengan biopsi pada lesi kulit EM daripada
sampel plasma, baik sampel cairan sumsum tulang belakang. Pada infeksi
akhir,PCR merupakan pemeriksaan superior dari kultur dalam mendeteksi DNA
B.burgdorferi pada cairan sendi. PCR merupakan pemeriksaan utama pada
penyakit lime.
Penyakit lime biasanya ditegakkan

berdasarkan karakteristik secara

gambaran klinis dengan pemeriksaan serologis, akan tetapi tes ini tidak dapat
membedakan secara jelas apakah infeksi aktif atau non-aktif. Tes serologis dalam
menganalisa penyakit lime di AS, CDC merekomendasikan pendekatan dua tahap
dengan tahap pertama

dengan menggunakan ELISA dan bila hasil positif

dilanjutkan tes Western-Blot.
Diagnosa pada penyakit lyme kronis berdasarkan 4 kategori (Henry M.Feder et al.
NEJM, 2007) :
1. Kategori 1
Pasien yang tidak mempunyai manisfestasi klinis yang objektif
atau bukti laboratorium adanya infeksi B.burgdorferi dan menemuhi
diagnosa dasar simpton non spesifik seperti fatigue, limfadenopathi,
keringat malam, sakit tenggorokan, mialgia, arthralgia, depresi, sulit tidur
(insomnia) dan sakit kepala. Simpton non spesifik dan terjadi lebih dari
10% pada populasi umum merujuk pada penyakit lime pada daerah
endemik.
2. Kategori 2

Universitas Sumatera Utara

Pasien cukup diidentifikasi penyakitnya atau sindroma selain
penyakit lime. Seperti pasien mempunyai riwayat penyakit lime atau tidak.
Pasien terdiagnosa atau kesalahan diagnosa ( contoh multiple sclerosis)
dan pasien menolak untuk menerima dan mencoba mencari diagnosa lain
dari klinisi dan bersedia dalam pengobatan sebagai penyakit lime kronis.
3. Kategori 3
Pasien dengan penyakit yang tidak ada riwayat pemeriksaan klinis
secara objektif konsisten dengan penyakit lime, tetapi sampel serum
terdeteksi

antibodi

B.burgdorferi

yang

ditentukan

oleh

standar

pemeriksaan mengarah pada kronisitas penyakit, gejala subjektif yang
penyebab tidak diketahui. Pasien kategori ini minimal mempunyai tes lime
yang berada pada nilai ekuivalen, bila nilai positif serologis rendah.
4. Kategori 4
Pasien mempunyai simpton yang berhubungan dengan sindrom post lime
2.2 Rheumatoid Arthritis
2.2.1Definisi
Rheumatoid

arthritis(RA) merupakan penyakit inflammasi dengan

etiologi tidak diketahui dengan tanda simetris, poliarthritis periferal, yang dapat
mengakibatkan kerusakan persendian dan gangguan fisik. Karena merupakan
penyakit sistemik, RA dapat memberikan manifestasi klinis pada ektraartikular
meliputi fatique, nodula subkutaneus, paru-paru, perikarditis, neuropathi periferal,
vaskulitis dan abnormalitas hematologis.
2.2.2Tanda klinis
Insidensi rheumatoid arthritis meningkat antara usia 25-55 tahun, setelah
itu mendatar sampai usia 75 tahun dan kemudian menurun. Gejala klinis
rheumatoid arthritis tipikal adanya peradangan pada persendian, tendon dan bursa.
Pasien biasanya mengeluh terutama pada pagi hari terjadi kekakuan persendian
minimal 1 jam dan berkurang bila aktivitas fisik. Biasanya melibatkan persendian
kecil dengan karakteristik bersifat monoartikular, oligoartikular (5 sendi). Selain terjadi pembengkakan persendian dan pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

diagnosa berdasarkan laboratorium yakni tes positif pada serum rheumatoid factor
(RF), anti-cyclic citrullinated peptide (CCP) antibodi dan atau anti-mutated
citrullinated vimentin(MCV), mempunyai nilai tinggi untuk gangguan fisik pada
persendian.

Gambar 5. Nodul pada jari tangan pada penderita rheumatoid arthritis
2.2.3Epidemiologi
Rheumatoid arthritis memberikan kontribusi sekitar 0,5-1% pada populasi
dewasa di seluruh dunia. Insidensi dan prevalensi rheumatoid arthritis bervariasi
berdasarkan letak geografis, grup ethnis dalam suatu negara. Seperti contoh:
penduduk pribumi Amerika Yakima, Pima dan Chippewa (Amerika Utara) dalam
beberapa studi hampir mendekati 7%. Sangat bertolak belakang, studi

pada

Afrika dan Asia prevalensi berkisar 0,2-0,4%.
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, rheumatoid arthritis terjadi pada
wanita lebih besar dibandingkan pria dengan rasio 2-3:1. Studi pada Amerika
Latin dan negara Afrika dengan rasio wanita dengan pria berkisar 6-8:1. Peran
estrogen dalam meningkatkan respon imun, estrogen menstimulasi tumor necrosis
factor (TNF), sitokin terbesar dalam patogenesis rheumatoid arthritis.

2.2.4Pertimbangan faktor genetik dan lingkungan
Telah diketahui lebih kurang 30 tahun yang lalu, faktor genetik
memberikan kontribusi terjadinya RA sebanding dengan keparahan dari
penyakitnya. Keturunan pertama 2-10 kali lipat lebih besar terjadinya RA
dibandingkan dalam populasi umum. Kembar dalam studi menunjukkan sebagai
faktor genetik sekitar 60% terjadi RA. Adanya peran llingkungan pada beberapa
literatur didapatkan interaksi gen dengan lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

Pada studi kembar mengimplikasikan faktor genetik pada RA dengan
kisaran 15-30% kembar monozigot dan 5% kembar dizigot. Allela yang diketahui
memberikan

resiko

terbesar

pada

RA

terletak

pada

MHC

(major

histocompatibility complex. Perkiraaan 1/3 resiko genetik untuk RA terletak pada
locus. Gen HLA-DRB1, memberikan petunjuk pada rantai MHC II β. Penyakit
yang berhubungan dengan gen ini membagi pada sekuensi asam amino pada
posisi 70-74 pada 1/3 area hipervariabel yang dikenal sebagai shared epitope (SE),
keterlibatan pada allela SE berkaitan dengan produksi antibodi anti CCP dan
memperburuk penyakit tersebut. Beberapa HLA-DRB1 mempunyai resiko
tinggiuntuk penyakit RA (*0401), sebagian moderat yaitu (*0101, *0404, *1001,
dan *0901). Sebagai tambahan, variasi regional, Yunani; penderita RA cenderung
lebih ringan dari negara Eropa Barat, kerentanan RA berhubungan dengan allela
SE *0101. Sebagai perbandingan, allela *0401atau *0404 didapati sekitar 50-70%
di Eropa Timur dan predominasi allela beresiko pada grup ini. Pada umumnya
yang rentan pada allela SE di Asia yaitu Jepang, Korea dan Cina adalah *0405
dan *0901, terakhir yang rentan adalah populasi penduduk asli Amerika seperti
Pima dan Indian Tingit, mempunyai prevalensi RA cukup tinggi sekitar 7%
berkaitan dengan allela SE *1042. Resiko RA dengan allela SE ini lebih rendah
pada African dan Hispanic American daripada leluhur individu di Eropa.
Saat ini, sebagai contoh gen non MHC menyumbang resiko RA dengan
gen yang mencetak protein tirosin phosphatase di reseptor 22 (PTPN22). Gen ini
bervariasi dalam frekuensi di antara pasien dari beberapa negara di Eropa (310%), akan tetapi absen pada Asia Timur. PTPN22 mencetak limfoid tirosin
phosphatase, protein meregulasi fungsi sel T dan B yang berhubungan eksklusif
dengan penyakit anti CCP positif. Peptidyl arginine deiminase tipe 4 (PADI4)
sebagai gen yang mengatur enzim untuk mengkonversikan arginin ke antigen
citrullin dengan postulat memberikan peranan dalam perkembangan antibodi pada
antigen citrullin. Polimorfism pada PADI4 berkaitan padaRA hanya berkaitan
dengan populasi Asia.
Studi interaksi komplemen pada gen-lingkungan, seperti perokok dan
beberapa stres bronkhial (terpapar silika) meningkatkan resiko RA pada individu
dengan kerentanan allela HLA-DRB1 secara sinergis meningkatkan resiko ACPA.

Universitas Sumatera Utara

Dalam pengamatan pada stressor lingkungan

pada sistem pernafasan

mempromosikan modifikasi translasi melalui PADI4 menghasilkan baik
kuantitastif dan kualitatif perubahan citrullinasi pada mukosa protein. Kehilangan
toleransi seperti neoepitope memperoleh respon ACPA (terdeteksi anti CCP),
meliputi α-enolase, keratin, fibrinogen, fibronektin, kollagen dan vimentin.
Sekitar 43-63% ACPA positif RA merupakan seropositif α-enolase, sangat erat
berkaitan dengan HLA-DRB1*04,PTPN22 dan merokok. Agen infeksi baik pada
kuman usus (CMV, EBV, Proteus dan E.coli) dan periodentitis

diketahui

berkaitan RA dan bentuk postulat dari mimikri molekular. Bentuk kompleks imun
selama infeksi mencetus induksi faktor rheumatoid sebagai diagnosa RA.

Gambar 7. Prevalensi rheumatoid arthritis di dunia (WHO)
2.2.5 Patologi
RA memberikan efek pada jaringan sinovial, kartilago dan tulang.
Membran sinovial, yamg melindungi permukaan artikular, pembungkus tendon
dan bursa, secara normal merupakan lapisan tipis pada jaringan pengikat. Cairan
sinovial, ultrafiltrasi darah berdifusi melalui jaringan subsinovial melewati
membran sinovial dan rongga persendian. Komponen utama terdiri dari
hyaluronan dan lubricin, hyaluronan adalah glukosamine yang memberikan
kekentalan

alami padacairan sinovial, bersamaan dengan lubricin sebagai

pelumas pada permukaan kartilago artikular.

Universitas Sumatera Utara

Patologi yang khas pada RA yakni terjadi peradangan sinovial dan
proliferasi, erosi fokal tulang dan penipisan kartilago artikular. Inflammasi kronis
menyebabkan hiperplasia sinovial dan membentuk pannus, penebalan membran
sellular terdiri dari fibroblast-like sinoviosit dan granulasi reaktif jaringan
fibrovaskular yang mempengaruhi kartilago dan tulang. Infiltrasi peradangan
terdiri dari sel T, sel B, sel plasma, sel dendritik, sel mast dan granulosit.
Kerusakan struktural pada mineralisasi kartilago dan tulang subkondral
yang dimediasi osteoklast. Osteoklast merupakan sel giant multinukleus,
yangdapat diidentifikasi dengan mengekspresikan CD68, asam tartrateresisten
phosphatase, capthesin K dan reseptor calcitonin. Terdapat pannus pada
permukaan tulang dari resorpsi lakuna, menjadi lesi lokalisata yang akhirnya
terjadi eroasi pada tulang.

2.2.6 Patogenesis
Mekanisme patogenik pada peradangan sinovial, merupakan hasil
kompleks melibatkan peran genetik, lingkungan dan faktor immunologi, terjadi
disregulasi sistem imun dan kegagalan self-tolerance. Pada RA, secara pre klinis
awalnya akibat kegagalan self tolerance, ini didukung ditemukan adanya
autoimun seperti faktor rheumatoid dan antibodi anti CCP. Antibodi anti CCP
secara langsung deaminasi peptida, hasil dari modifikasi posttranslasi oleh enzim
PADI4. Diketahui melalui pengenalan citrullin yang berisi area pada beberapa
perbedaan matriks protein, meliputi filaggrin, keratin, fibrinogen dan vimentin,
semua matriks protein terdapat pada cairan persendian, yang terdapat kadar cukup
tinggi pada serum.
Secara teori, stimulasi lingkungan sinergis dengan yang lainnya untuk
mmenyebabkan inflammasi pada RA. Pada pasien perokok menunjukkan protein
citrullinasi tinggi pada cairan bronkhoaveolar dibandingkan yang tidak merokok.
Terpapar asap rokok yang lama memungkinkan merangsang citrullinasi protein
pada paru dan merangsang ekspresi neoepitope yang mencetus reaktivitas sendiri,
pada

akhir

terjadi

pembentukan

imun

kompleks

dan

peradangan

persendian.Kuman dapat berperan dalam peradangan awal pada RA, terjadi

Universitas Sumatera Utara

perubahan sistem imun dengan mendeteksi infeksi kuman melalui Toll like
receptor (TLRs).

2.2.7Diagnosa
Diagnosa klinis RA berdasarkan gejala dan tanda klinis pada inflammasi
kronis arthritis, laboratorium dan radiografis sebagai pemeriksaan tambahan. Pada
tahun 2010, kolaborasi antara American College of Rheumatology (ACR) dan
European Legue Against Rheumatism (EULAR), yang direvisikan dari tahun
1987, sebagai kriteria klasifikasi RA untuk meningkatkan diagnosa awal untuk
lebih memberikan keuntungan

dalam penatalaksaan RA. Kriteria baru yaitu

tespositif pada serum antibodi anti CCP (ACPA, anti-citrullinated peptide
antibodies) dan anti MCV (mutated citrullinated vimentin) dimana memberikan
spesifitas lebih tinggi pada diagnosa RA dibandingkan tes RF
Kriteria RA menurut ACR 1987 ; minimal menemuhi 4 dari 7 kriteria,
keluhan minmal 6 minggu:
1. Kaku pada persendian pagi hari minimal 1 jam
2. Arthritis minimal 3 atau lebih pada area persendian.
3. Arthritis pada persendian tangan minimal lebih dari 1
4. Arthritis bersifat simetris
5. Adanya nodul rheumatoid
6. Serum faktor rheumatoid
7. Gambaran radiologis erosi tulang pada tangan

Universitas Sumatera Utara

Kriteria klasifikasi pada rheumatoid arthritis menurut

American College of

Rheumatology//European League Against Rheumatism 2010 :
skor
Populasi target (siapa perlu tes?); Pasien yang
1. Minimal 1 sendi dengan sinovitis (pembengkakkan)
2. Sinovitis tidak mampu di jelaskan oleh penyakit lain
Kriteria klasifikasi RA: >6/10 dimasukkan RA
A. Keterlibatan sendi
1 sendi besar0
2-10 sendi besar

1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa sendi besar) 2

4-10 sendi kecil (dengan atauu tanpa sendi besar)

3

>10 sendi (minimal 1 sendi kecil)

4

B. Serologi (minimal 1 tes untuk klasifikasi)

5

RF negatif dan CCCP negatif

0

RF positif rendah atau CCCP positif rendah

2

RF positif tinggi atau CCCP positi tinggi

3

C. Reaksi fase akut (minimal 1 tes untuk klasifikasi)
CRP normal dan LED normal

0

CRP abnormal dan LED abnormal

1

D. Durasi pada simptom