Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Landasan Teori

2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah
Pemerintah telah menyiapkan piranti yuridis dalam penerapan akuntansi
untuk mewujudkan good governance berupa Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Bastian (2006 : 14) menyatakan ada 4 prinsip dasar
pengelolaaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 paket undangundang bidang keuangan negara, yaitu :
1.

Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja;

2.

Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah;


3.

Pemberdayaan manajer profesional;

4.

Adanya lembaga pemeriksa ekternal yang kuat, profesional dan mandiri
serta penghindaran terhadap terjadinya duplikasi dalam pelaksanaan
pemeriksaan.
Disamping

itu

Undang-Undang

Nomor

32

Tahun


2004

tentang

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dengan Daerah menjadi pedoman dan
pijakan dalam pengelolaan keuangan daerah. Devas (1989 : 279) menjelaskan
bahwa tujuan utama pengelolaan keuangan pemerintahan daerah adalah sebagai
berikut :

14
Universitas Sumatera Utara

15

1.

2.


3.
4.

5.

Pertanggungjawaban (Accountability). Pemerintah daerah harus
mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau
orang yang berkepentingan. Unsur tanggung jawab ini adalah meliputi
keabsahan dengan berpangkal pada ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, sedangkan pengawasan merupakan tata cara
yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang, mencegah
penghamburan dan penyelewengan, dan memastikan bahwa semua
sumber pendapatan dan penggunaannya adalah tepat dan sah;
Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus
dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan
keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang;
Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan kepada pegawai yang
jujur dan kesempatan untuk berbuat curang dipersempit;
Efisiensi dan efektivitas. Tata cara mengurus keuangan daerah harus
menggunakan manajemen pengawasan yang baik. Sehingga
memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk

mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya seefisien mungkin
dan memerlukan jangka waktu pelaksanaan yang seefektif mungkin;
Pengendalian. Petugas keuangan daerah, DPRD, dan petugas
pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan yang
direncanakan bisa tercapai. Untuk itu semua pihak yang
berkepentingan dalam pengawasan ini harus mengusahakan agar
selalu mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memantau
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah sesuai
dengan rencana dan sasaran.

Tentunya hal ini berhubungan dengan konstruksi otonomi dan desentralisasi
dengan pemberian kekuasaan, kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan menentukan penggunaan dana untuk melaksanakan
urusan daerahnya. Mardiasmo (2002) memberikan penjelasan bahwa salah satu
dampak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah perlunya dilakukan
reformasi manajemen keuangan daerah.
Keberhasilan keuangan daerah ditunjukkan oleh kemampuan daerah dalam
meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan
perkembangan perekonomian tanpa memperburuk faktor-faktor produksi dan
keadilan. Musgrave (1993 : 237) menyebutkan bahwa asal usul prinsip

kemampuan keuangan adalah muncul dari prinsip manfaat. Dengan demikian

Universitas Sumatera Utara

16

prinsip kemampuan keuangan berorientasi pada penerimaan dan masalah
pendistribusian kembali penerimaan pajak dan retribusi. Disamping itu juga
penelitian Haryanto (2006) yang menitikberatkan kemandirian keuangan daerah
menyimpulkan antara lain :
1.
2.
3.

4.

Esensi utama dari pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan
selama 4 tahun adalah mewujudkan kemandirian daerah.
Selama ini kemandirian daerah yang kuat diukur dari struktur PAD
yang antara lain terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan BUMD.

Muncul permasalahan variabel apakah yang sebetulnya juga dapat
mempengaruhi kemandirian daerah diluar struktur PAD yang sudah
ada. Pada intinya variabel yang kita ajukan haruslah suatu variabel
yang benar-benar dapat mencerminkan kemampuan daerah dalam
menggali semua potensi yang mereka miliki.
Sebagai model awal kemudian diajukan suatu persamaan yang dapat
mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagai proxy dari
kemandirian daerah digunakan variabel kapasitas fiskal daerah
sedangkan variabel independen yang digunakan adalah pajak daerah,
retribusi daerah, PDRB jasa dan Bagi Hasil daerah.

Ketentuan hukum dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
menegaskan bahwa Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya semua bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut.
Halim (2007) mengutarakan bahwa pada prinsipnya kemandirian daerah
otonom sangat tergantung dari dua hal, yakni kemampuan keuangan daerah dalam
menggali sumber‐sumber keuangan yang ada serta ketergantungan daerah

terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Daerah dinyatakan mampu untuk
melaksanakan otonomi jika mempunyai ciri‐ciri sebagai berikut : 1) Kemampuan
Keuangan Daerah yaitu daerah mempunyai kewenangan dan kemampuan
menggali sumber-sumber keuangan yang cukup untuk membiayai jalannya

Universitas Sumatera Utara

17

pemerintahan 2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus diminimalisir,
sehingga PAD menjadi sumber keuangan terbesar pemerintah daerah.
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya.
Kemandirian

keuangan

daerah

ditunjukkan


oleh

besar

kecilnya

PAD

dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah. Rasio kemandirian dapat
diformulasikan sebagai berikut :

Rasio Kemandirian =

Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Total Pendapatan Daerah

x 100%

Semakin tinggi rasio kemandirian, berarti tingkat ketergantungan daerah

terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan Propinsi) semakin
rendah, demikian pula sebaliknya.
Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat
membayar

pajak

dan

retribusi

daerah

menggambarkan

bahwa


tingkat

kesejahteraan masyarakat semakin tinggi (Mahmudi, 2010 : 142).
Tolak ukur rasio kemandirian keuangan daerah dapat dijelaskan dengan
menggunakan skala seperti dalam Tabel 2.1 berikut :

Universitas Sumatera Utara

18

Tabel 2.1
Skala Interval Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemampuan Keuangan
Daerah
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
Sumber : Halim 2004 : 186


RKKD

Pola Hubungan

0,00% - 25,00%
25,01% - 50,00%
50,01% - 75,00%
75,01% - 100%

Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif

Jika rasio kemandirian keuangan daerah menurun, maka hal ini
menunjukkan kemandirian keuangan daerah cenderung menurun walaupun
pendapatan asli daerah meningkat, sebab peningkatannya lebih lambat
dibandingkan dengan peningkatan bantuan dan sumbangan. Semakin sedikit
sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang
menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya
sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat.
Pola hubungan keuangan daerah tersebut dapat diinterpretasikan sebagai
berikut: 1) Pola hubungan instruktif dimana peranan pemerintah pusat lebih
dominan, dianggap daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah 2) Pola
hubungan konsultatif yaitu pemerintah pusat sudah berkurang campur tangannya
3) Pola hubungan partisipasif yang mana peranan pemerintah pusat semakin
berkurang 4) Pola hubungan delegatif, daerah benar-benar telah mampu mandiri
karena campur tangan pemerintah pusat tidak ada (Halim, 2012).

Universitas Sumatera Utara

19

2.1.2

Belanja Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar

Akutansi Pemerintahan pada PSAP 02, dikemukakan bahwa klasifikasi belanja
menurut ekonomi (jenis belanja) adalah terdiri dari :
1.

2.

3.

Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan seharihari pemerintah pusat/daerah yang memberi manfaat jangka
pendek.Belanja operasi antara lain me liputi belanja pegawai, belanja
barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial.
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset
tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk
perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak
berwujud.
Belanja lain-lain/tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang
seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan
pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam
rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

Dalam pada itu kewajiban pemerintah daerah untuk menyajikan laporan
keuangan pemerintah daerah (LKPD) juga menyesuaikan dan berpedoman dengan
PSAP meliputi juga belanja operasi, belanja modal dan belanja lain-lain/tak
terduga. Dengan demikian diharapkan pemeriksaan atas laporan keuangan
pemerintah daerah (LKPD) yang bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas
kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LKPD, senantiasa tetap
berdasarkan pada: (a) kesesuaian dengan SAP dan atau prinsip-prinsip akuntansi
yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan; (b) kecukupan
pengungkapan (adequate disclosure); (c) kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Merujuk klasifikasi belanja dalam teori yang dikemukakan Salvatore
Schiavo -Campo- dan Daniel Tommasi www.kemenkeu.go.id dalam bukunya

Universitas Sumatera Utara

20

“Managing Government Expenditure” (1991) mengungkapkan pentingnya
klasifikasi belanja. Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa klasifikasi belanja
sangat penting dalam :
1.
2.
3.

memformulasikan kebijakan dan mengidentifikasi alokasi sumber daya
sektor-sektor;
mengidentifikasi tingkatan kegiatan pemerintah melalui penilaian
kinerja pemerintah; dan
membangun akuntabilitas atas ketaatan pelaksanaan dengan otorisasi
yang diberikan oleh legislatif.

Dengan

demikian,

sistem

klasifikasi

belanja

dimaksudkan

untuk

memberikan kerangka dasar baik untuk pengambilankeputusan maupun untuk
akuntabilitas. Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun
2006 pada pasal 36 menegaskan bahwa belanja diklasifikasikan berdasarkan jenis
belanja sebagai belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja
tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Selanjutnya pada pasal 37 peraturan menteri tersebut
menyebutkan bahwa kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

belanja pegawai;
belanja bunga;
belanja subsidi;
belanja hibah;
belanja bantuan sosial;
belanja bagi basil;
bantuan keuangan; dan
belanja tidak terduga.

Universitas Sumatera Utara

21

Sedangkan Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan menurut pasal
50 peraturan menteri dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
1. belanja pegawai;
2. belanja barang dan jasa; dan
3. belanja modal.
Belanja pegawai dalam kelompok belanja langsung tersebut dimaksudkan
untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah. Belanja jenis ini antara lain untuk
menampung
honorarium
panitia
pengadaan
dan
administrasi
pembelian/pembangunan untuk memperoleh setiap aset yang dianggarkan
pada belanja modal sebagaimana dianggarkan pada belanja pegawai
dan/atau belanja barang dan jasa. Belanja barang dan jasa digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang
dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan
program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja barang dan jasa ini
mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi
asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa
rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa
perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas
dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari hari tertentu,
perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas, dan pemulangan pegawai.
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan
dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap
lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud
yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun
aset.

Berdasarkan penegasan Pasal 1 angka 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
menegaskan bahwa belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang
diakui sebagai pengurang nilai.
Belanja daerah (basis akural) merupakan kewajiban pemerintah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Halim (2007 : 322) mengemukakan
bahwa belanja daerah adalah kewajiban pemerintah mengurangi nilai kekayaan

Universitas Sumatera Utara

22

bersih. Hal ini juga ditegaskan oleh Yuwono (2005 : 108) yang menyatakan
bahwa belanja daerah adalah sarana pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang
diakui sebagai pengurang kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran
yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Singkatnya
belanja daerah dipergunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi otoritas daerah otonom.
Karakteristik belanja langsung adalah bahwa input (alokasi belanja) yang
ditetapkan dapat diukur dan diperbandingkan dengan output yang dihasilkan.
Sedangkan belanja tidak langsung, pada dasarya merupakan belanja yang
digunakan secara bersama-sama (common cost) untuk melaksanakan seluruh
program atau kegiatan unit kerja.
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan
Republik Indonesia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, pemerintahan daerah
memiliki peranan penting dalam pemberian pelayanan publik. Hal ini didasarkan
pada asumsi bahwa permintaan terhadap pelayanan publik dapat berbeda-beda
antar daerah. Sementara itu, Pemerintah Daerah juga memiliki yang paling dekat
dengan publik untuk mengetahui dan mengatasi perbedaan-perbedaan dalam
permintaan dan kebutuhan pelayanan publik

tersebut.

Satu hal yang sangat

penting adalah bagaimana memutuskan untuk mendelegasikan tanggung jawab
pelayanan publik atau fungsi belanja pada berbagai tingkat pemerintahan.
Secara teoritis, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam pendelegasian
fungsi belanja, yaitu pendekatan “pengeluaran” dan pendekatan “pendapatan”.
Menurut pendekatan “pengeluaran”, kewenangan sebagai tanggung jawab antar
tingkat pemerintahan dirancang sedemikian rupa agar tidak saling timpang tindih.

Universitas Sumatera Utara

23

Pendelegasian ditentukan berdasarkan kriteria yang bersifat obyektif, seperti
tingkat lokalitas dampak

dari fungsi tertentu,

kebijakan dan penyelenggaraan,

pertimbangan

kemampuan teknik

keseragaman

dan manajerial pada

umumnya, pertimbangan faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kewilayahan,
efiensi dan skala ekonomi, sedangkan menurut pendekatan “pendapatan”, sumber
pendapatan

publik

dialokasikan

antar berbagai

merupakan hasil dari tawar-menawar politik.

tingkat pemerintah yang

Pertukaran iklim politik sangat

mempengaruhi dalam pengalokasian sumber dana antar tingkat pemerintahan.
Selanjutnya, meskipun pertimbangan prinsip diatas relevan, namun kemampuan
daerah menajadi pertimbangan yang utama.

2.1.3

Jumlah Penduduk
Penduduk merupakan orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah

yang terkait oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain
secara terus menerus. Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang
menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Sedangkan konsep penduduk
menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah semua orang yang berdomisili di
wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka
yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.
Faktualnya, penduduk sebagai subyek penting dalam pembangunan.
Penyebabnya

karena

penduduk

merupakan

penggerak

dan

pelaksana

pembangunan. Selain itu penduduk adalah sumber tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk menggerakkan roda pembangunan.

Setiap tahun, angka pertumbuhan

penduduk terus meningkat.

Universitas Sumatera Utara

24

Hal ini tentu menyebabkan jumlah penduduk juga semakin besar.
Meningkatnya jumlah penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan
sarana dan prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Karena
seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk maka barang dan jasa yang
dibutuhkan juga makin besar dan memerlukan anggaran yang besar dalam
membiayai kebutuhan tersebut.
Widarjono

(Budiharjo,

2003:159)

mengemukakan

bahwa,

jumlah

penduduk yang besar bagi Indonesia oleh perencanaan pembangunan dipandang
sebagai asset modal besar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban.
Pembangunan sebagai asset apabila dapat meningkatkan produksi nasional.
Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran, dan
mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat
produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara
efektif.
Penduduk dalam konteks perekonomian dapat berfungsi ganda jika
ditinjau dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dilihat dari sisi permintaan,
jumlah penduduk yang besar merupakan pangsa pasar yang baik dan potensial.
Karena pada sisi ini, penduduk berfungsi sebagai konsumen harus memenuhi
segala kebutuhan hidup. Namun jika dilihat dari sisi penawaran, penduduk juga
merupakan produsen yang memproduksi barang dan jasa. Sehingga berdasarkan
hal tersebut, secara teori pertumbuhan penduduk yang besar bila diikuti oleh
tingkat produktivitas yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
tinggi.

Universitas Sumatera Utara

25

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menggariskan
bahwa dalam hal kebutuhan pembiayaan suatu daerah lebih banyak diperoleh dari
subsidi atau bantuan dari pusat, dan nyata-nyata kontribusi PAD terhadap
kebutuhan pembiayaan tersebut sangat kecil, maka dapat dipastikan bahwa kinerja
keuangan daerah itu masih sangat lemah. Kecilnya kontribusi PAD terhadap
kebutuhan pembiayaan sebagaimana yang tertuang dalam APBD merupakan bukti
kekurangmampuan daerah dalam mengelola sumber daya perekonomiannya
terutama sumber-sumber pendapatannya.
Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
sumber pandapatan asli daerah terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Pajak Daerah. Wewenang mengenakan pajak atas penduduk untuk membiayai
layanan masyarakat merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan daerah.
Diungkapkan dalam Devas (1989 : 58) bahwa sistem perpajakan yang dipakai
sekarang ini banyak mengandung kelemahan, dan tampaknya bagian terbesar dari
pajak daerah lebih banyak menimbulkan beban daripada menghasilkan
penerimaan bagi masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan perubahan
besar pada sistem p ajak nasional, dan perubahan sistem pajak daerah merupakan
langkah logis untuk langkah berikutnya.
Pembaharuan yang dilakukan pemerintah misalnya dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjelaskan tentang pembagian
hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Universitas Sumatera Utara

26

Bangunan (BPHTB) serta pembagian berbagai penerimaan negara. Upaya
peningkatan pajak dilakukan di dalam perbaikan sistem perpajakan secara
keseluruhan. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain menghapus
pajak daerah yang tidak memuaskan, memperbaiki kinerja pajak daerah yang ada,
meningkatkan wewenang pemerintah daerah, meningkatkan administrasi pajak
daerah, dan menciptakan pajak daerah baru. Keberhasilan dalam mengelola
sumber-sumber penerimaan pajak daerah tergantung pada kemampuan pemerintah
daerah itu sendiri dalam mengoptimalisasikan faktor-faktor yang turut
menentukan keberhasilan tersebut. Devas

(1989 : 72) dalam memberikan

penjelasan bahwa kemampuan menghimpun dana adalah perbandingan antara
penerimaan dari pajak dengan PDRB atau disebut dengan upaya pajak (tax effort).
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasaan daerah (local
discretion). Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan
penerimaan pajak yang riil yang dimiliki oleh daerah tersebut, sehingga bisa
diketahui peningkatan kapasitas pajak (tax capacity) daerah. Peningkatan
kapasitas pajak pada dasarnya adalah optimalisasi sumber-sumber pendapatan
daerah.
Retribusi Daerah. Pemungutan retribusi (Charging) dibayar langsung oleh mereka
yang menikmati suatu pelayanan, dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh
atau sebagian dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi seharusnya (lebih kurang)
sama dengan nilai layanan yang diberikan. Menurut Sumitro (1987 : 15) retribusi
ialah pembayaran pada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasajasa. Lebih lanjut Syamsi (1994 : 221) mengatakan bahwa retribusi adalah iuran dari
masyarakat tertentu (individu yang bersangkutan) yang ditetapkan berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

27

peraturan

pemerintah

yang

prestasinya

ditunjuk

secara

langsung,

dan

pelaksanaannya dapat dipaksakan. Dengan kata lain yang lebih sederhana,
retribusi adalah pungutan yang dibebankan kepada seseorang karena menikmati
jasa secara langsung.
Sedangkan Redjo (1998 : 89) berpendapat bahwa retribusi ialah suatu pembayaran
dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan antara
balas jasa yang diterima langsung dengan adanya pembayaran retribusi tersebut,
misalnya uang langganan air minum, uang langganan listrik dan lain-lain.
Mengenai potensi retribusi daerah, Koswara (2001 : 191) memaparkan bahwa
seperti halnya dengan pajak daerah, hanya dengan beberapa jenis retribusi yang
efektif berperan sebagai sumber pendapatan daerah. Walaupun demikian Devas
et.al, (1989 : 91) mengatakan bahwa retribusi merupakan sumber pendapatan yang
sangat penting dan hasil retribusi hampir mencapai setengah dari seluruh
pendapatan daerah. Dalam dimensi potensi daerah yang demikian itu, pemerintah
daerah hendaknya dapat mengembangkan inisiatif dan upaya untuk meningkatkan
penerimaan retribusi daerah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan cara
memberikan palayanan publik secara profesional dan mampu memberikan
kepuasan kepada setiap penerima pelayanan.
Davey (1988 : 148) mengungkapkan beberapa pendapatan mungkin akan timbul
pada elastisitas retribusi yang harus responsif kepada pertumbuhan penduduk dan
pendapatan. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan atau
konsumsi akan suatu pelayanan. Dalam konteks yang demikian itu, pengelolaan
sumber-sumber PAD dari jenis retribusi tentu mempunyai konsekuensi yang harus
difikirkan oleh pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah tidak boleh hanya
memikirkan bagaimana memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dari

Universitas Sumatera Utara

28

pemungutan retribusi, tetapi pemerintah daerahpun harus bertanggung jawab atas
konsekuensi pemungutan retribusi tersebut.
Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah. Jenis bagian laba badan usaha milik
daerah dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah /BUMN dan bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Jenis lain-lain Pendapatan Asli
Daerah yang Sah sesuai UU No. 33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah
dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut obyek
pendapatan yang antara lain: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga,
penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan
ataupun bentuk lain sebagaimana akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang
dan/atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing
Demikian halnya maka pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang
diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh
pemerintah daerah. Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung
pembiayaan daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan otonomi diukur
dari besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap
APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh pendapatan asli
daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah
terhadap bantuan pemerintah pusat.

Universitas Sumatera Utara

29

2.2

Review Peneliti Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis juga menyertakan penelitian sebelumnya yang

relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai referensi :
1.

Ariasih (2011)
Penelitian ini berjudul “Pengaruh Jumlah Penduduk dan PDRB Per kapita

Terhadap Penerimaan PKB dan BBNKB serta Kemandirian Keuangan Daerah
Propinsi Bali tahun 1991-2010”. Penelitian ini menggunakan analisis jalur (path
analysis) dengan menggunakan 4 (empat) variabel yakni jumlah penduduk, PDRB
per kapita, penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama
Kendaraan (BBNKB) serta kemandirian Keuangan Daerah Propinsi Bali.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa jumlah penduduk (X1)
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PKB dan BBNKB (X3) namun tidak
signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah (Y). PDRB per kapita (X2)
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PKB dan BBNKB (X3) namun tidak
signifikan terhadap kemadirian keuangan daerah (Y). Sedangkan penerimaan PKB
dan BBNKB (X3) berpengaruh signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah
(Y). Nilai koefisien determinan diperoleh sebesar 0,942 yang diartikan bahwa
model yang terbentuk dapat memberikan informasi sebesar 94,2%, sedangkan
sisanya sebesar 5,8% ditentukan oleh variabel lain diluar model.
2.

Haryanto, dkk (2006)
Penelitian yang berjudul “ Kemandirian Daerah Sebuah Perspektif dengan

metode Path Analysis” ini menyimpulkan bahwa pajak daerah dan bagi hasil
pajak memiliki hubungan signifikan terhadap kapasitas fiskal sebagai proxy

Universitas Sumatera Utara

30

kemandirian daerah, sedangkan retribusi daerah dan PDRB jasa tidak terbukti
mempengaruhi kapasitas fiskal daerah secara signifikan.
3.

Helvyra (2010)
Penelitian yang berjudul ”Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemandirian

Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Sumatera Barat” ini menyimpulkan
Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak berpengaruh signifikan terhadap
kapasitas fiskal proxy kemandirian daerah sedangkan variabel PDRB yang
dianggap sebelumnya sebagai variabel yang dapat meningkatkan kemandirian
daerah melalui pengelolaan potensi sektoral daerah ternyata tidak berpengaruh
signifikan terhadap kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota di Sumatera Barat.
4.

Lestari (2015)
Penelitian yang berjudul ”Analisis Pengaruh Produk Domestik Regional

Bruto Per Kapita dan Jumlah Penduduk

Terhadap Kemandirian Keuangan

Daerah Melalui Penerimaan Pajak Daerah Pada Kabupaten/Kota di Sumatera
Utara“ini

menggunakan investasi dan PDRB per kapita sebagai variabel

independen serta kemandirian fiskal sebagai variabel dependen Kemandirian
Keuangan Daerah
Penduduk

dan

VariabelIndependen

PDRB Per kapita dan Jumlah

menyimpulkan bahwa PDRB per kapita dan jumlah penduduk

berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah melalui penerimaan pajak
daerah. Pajak daerah merupakan intervening sempurna yang memediasi hubungan
PDRB per kapita dan kemandirian keuangan daerah, serta pajak daerah
merupakan intervening sebagian yang memediasi hubungan jumlah penduduk dan
kemandirian keuangan daerah.

Universitas Sumatera Utara

31

5.

Saputra (2007)
Telah meneliti tentang Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dan

Pengaruhnya Terhadap Belanja Daerah di Kabupaten Aceh Tenggara dan
menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi
daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Total Belanja Daerah di
Kabupaten Aceh Tenggara.
6.

Meilina ( 2014)
Penelitian yang berjudul Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan

Dana Bagi Hasil terhadap Kemandirian Keuangan Daerah Kota Bandar Lampung
menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan Pajak Daerah, Retribusi Daerah
dan Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah Kota
Bandar Lampung secara statistik dapat diterima. Pajak daerah merupakan variabel
yang paling berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah, hal ini
ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel ini sebesar
0.410, sedangkan besarnya nilai koefisien regresi untuk variabel retribusi daerah
dan dana bagi hasil sebesar 0,252 dan 0,109.
7.

Fitriyanti dan Pratolo (2010)
Penelitian ini menganalisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja

Pembangunan

terhadap

Rasio

Kemandirian

dan

Pertumbuhan

Ekonomi

menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999–2007 di beberapa
kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian
menyimpulkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli
daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi terdapat pengaruh yang

Universitas Sumatera Utara

32

signifikan antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Rasio Kemandirian, serta
pengaruh signifikan antara Belanja Pembangunan terhadap Rasio Kemandirian.
8.

Heston (2014)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengeluaran

pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara menurut
kabupaten/kota pada Tahun 2008-2012, berdasarkan implementasi Permendagri
Nomor 59 tahun 2007 tentang Struktur APBD yang menyangkut tentang
pengeluaran pemerintah pada Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung juga
pengaruh tenaga kerja di Propinsi Sumatera Utara. Setelah dilakukan analisis,
hasil yang diperoleh dari pengeluaran pemerintah Propinsi Sumatera Utara Tahun
2008-2012 bahwa pengaruh dari variabel Belanja Tidak Langsung (BTL) dan
Belanja Langsung (BL) tidak menunjukkan pengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi di Propinsi Sumatera Utara. Untuk variabel tenaga kerja memberikan
pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara.
Diketahui pertumbuhan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara meningkat setelah
mengalami otonomi daerah.
9.

Rudiati (2011 )
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

kemampuan keuangan daerah terhadap belanja langsung daerah dan bagaimana
mendapatkan jalan keluar serta bagaimana kebijakan yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan keuangan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera
Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada Retribusi Daerah dan Lainlain Pendapatan Asli Daerah yang Sah berpengaruh secara signifikan terhadap

Universitas Sumatera Utara

33

Belanja Langsung Daerah. Sedangkan Pajak Daerah dan Bagian Laba Badan
Usaha Milik Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja
Langsung Daerah.

10.

Dian (2008)
Penelitian ini menguji Pengaruh Rasio Efektivitas PAD dan DAU terhadap

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah pada Pemkab/Pemko di Sumatera Utara.
Hasil penelitiannya menyimpulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh signifikan terhadap Kemandirian
Keuangan Daerah.

Universitas Sumatera Utara

34

Review penelitian terdahulu di atas diringkas melalui Tabel 2.2 :
Tabel 2.2
Review penelitian terdahulu
No
1.

Peneliti /
Tahun
Ariasih
(2011)

Judul
Penelitian
Pengaruh
Jumlah
Penduduk dan
PDRB Perkapita
Terhadap
Penerimaan
PKB dan BBN
KB
Serta
Kemandirian
Keuangan
Daerah Propinsi
Bali

Variabel Yang
Digunakan
Variabel Dependen
Kemandirian Keuangan
Daerah

Variabel Independen
PDRB
Jlh Penduduk

Variabel Intervening
PKB & BBN KB

2.

Haryanto,
dkk
(2006)

3.

Helvyra
(2010)

Kemandirian
Daerah Sebuah
Perspektif
dengan Metode
Path Analysis

Variabel Dependen

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
Kemandirian
Daerah Studi
Kasus
Kabupaten Kota
di Sumatera
Barat

Variabel Dependen
Kapasitas Fiskal proxy
Kemandirian Daerah

Kemandirian Daerah
Variabel Independen
Bagi Hasil Pajak
Pajak Daerah
Retibusi Daerah PDRBj

Variabel Independen
Pendapatan Asli
Daerah,Bagi Hasil Pajak,
PDRB

Hasil Penelitian
Jumlah penduduk (X1)
berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan PKB
dan BBNKB (X3) namun
tidak signifikan terhadap
kemandirian keuangan
daerah (Y).PDRB per
kapita (X2) berpengaruh
signifikan terhadap
penerimaan PKB dan
BBNKB (X3) namun tidak
signifikan
terhadap
kemadirian
keuangan
daerah (Y). Sedangkan
penerimaan PKB dan
BBNKB (X3) berpengaruh
signifikan
terhadap
kemandirian
keuangandaerah (Y).
Pajak Daerah (PD) dan
Bagi Hasil Pajak (BHP)
secara nyata dan positif
mempengaruhi Kapasitas
Fiskal Daerah. Namun
tinggi rendahnya Kapasitas
Fiskal
Daerah
tidak
dipengaruhi oleh Retribusi
Daerah dan PDRB jasa.

Pendapatan Asli Daerah
dan Bagi Hasil Pajak
berpengaruh signifikan
terhadap Kapasitas Fiskal
proxy Kemandirian Daerah
dan variabel PDRB tidak
berpengaruh signifikan
terhadap Kapasitas Fiskal
proxy Kemandirian
Daaerah Kabupaten/Kota
di Sumatera Barat

Universitas Sumatera Utara

35
Lanjutan Tabel 2.2
4.

Lestari
(2015)

5

Saputra
(2007)

6.

Meilina
( 2014)

7.

Fitriyanti
dan Pratolo
(2010)

Analisis
Variabel Dependen
Pengaruh Produk Kemandirian Keuangan
Domestik
Daerah
Regional Bruto
Per Kapita dan Variabel Independen
Jumlah
PDRB Per kapita dan
Penduduk
Jumlah Penduduk
Terhadap
Kemandirian
Keuangan
Daerah Melalui
Penerimaan
Pajak
Daerah
Pada
Kabupaten/Kota
di
Sumatera
Utara
Analisis
Dependen
Kemampuan
Belanja Daerah
Keuangan Daerah
dan Pengaruhnya
terhadap Belanja Independen
Daerah
di Kemampuan Keuangan
Kabupaten Aceh Daerah
Tenggara
Pengaruh Pajak Variabel Dependen
Daerah,
Kemandirian Keuangan
Retribusi
Daerah
Daerah
dan
Dana Bagi Hasil Variabel
terhadap
IndependenPajak
Kemandirian
Daerah, Retribusi Daerah
Keuangan
dan Dana Bagi Hasil
Daerah
Kota
Bandar
Lampung

Pengaruh
Pendapatan Asli
Daerah dan
Belanja
Pembangunan
terhadap Rasio
Kemandirian
dan
Pertumbuhan
Ekonomi di
Propinsi Daerah
Istimewa
Yogyakarta

Dependen
Rasio Kemandirian dan
Pertumbuhan Ekonomi
Independen Pendapatan
Asli Daerah,Belanja
Pembangunan

PDRB per kapita dan
jumlah penduduk
berpengaruh terhadap
kemandirian keuangan
daerah melalui penerimaan
pajak daerah. Pajak daerah
merupakan intervening
sempurna yang memediasi
hubungan PDRB per
kapita dan kemandirian
keuangan daerah, serta
pajak daerah merupakan
intervening sebagian yang
memediasi hubungan
jumlah penduduk dan
kemandirian keuangan
daerah.
Adanya pengaruh positif
dan signifikan antara PAD,
Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah terhadap
Total Belanja Daerah

Secara parsial ( Uji t)
pajak daerah, retribusi
daerah dan dana bagi hasil
daerah berpengaruh
terhadap kemandirian
keuangan daerah Kota
Bandar Lampung. Pajak
daerah merupakan variabel
yang paling berpengaruh
terhadap kemandirian
keuangan daerah, hal ini
ditunjukan dengan
besarnya nilai koefisien
regresi untuk variabel ini
sebesar 0.410, sedangkan
besarnya nilai koefisien
regresi untuk variabel
retribusi daerah dan dana
bagi hasil sebesar 0,252
dan 0,109.
Tidak terdapat pengaruh
signifikan antara
Pendapatan Asli Daerah
terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Akan tetapi
terdapat pengaruh yang
signifikan antara
Pendapatan Asli Daerah
terhadap Rasio
Kemandirian, serta
pengaruh signifikan anatara
Belanja Pembangunan
terhadap Rasio Kemandirian

Universitas Sumatera Utara

36

Lanjutan Tabel 2.2
8.

Heston (2014) Pengaruh
Pengeluaran
Pemerintah
terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
di
Sumatera Utara

9.

Rudiati (2011) Pengaruh
Kemampuan
Keuangan Daerah
Terhadap Belanja
Langsung Daerah
di
Kabupaten/Kota
Propinsi
Sumatera Utara

10. Dian
(2008)

Pengaruh Rasio
Efektivitas PAD
dan DAU
terhadap
Tingkat
Kemandirian
Keuangan
Daerah pada
Pemkab/Pemko
di Sumatera
Utara

Belanja Tidak Langsung
(BTL) dan Belanja
Pertumbuhan Ekonomi
Langsung (BL) tidak
menunjukkan pengaruh
Variabel Independen
terhadap pertumbuhan
Belanja tidak langsung
ekonomi di Propinsi
Belanja langsung
Sumatera Utara. Untuk
Tenaga kerja
variabel tenaga kerja
memberikan pengaruh
yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di
Propinsi Sumatera Utara
Retribusi Daerah dan LainVariabel Dependen
lain Pendapatan Asli Daerah
Belanja Langsung
yang
Sah
berpengaruh
secara signifikan terhadap
Belanja Langsung Daerah.
Sedangkan Pajak Daerah
Variabel Independen
dan Bagian Laba Badan
Retribusi Daerah
Usaha Milik Daerah tidak
Lain-lain Pendapatan Asli berpengaruh
secara
Daerah yang Sah
signifikan terhadap Belanja
Pajak Daerah
Langsung Daerah
Bagian Laba Badan Usaha
Milik Daerah
Pendapatan Asli Daerah
Variabel Dependen
dan Dana Alokasi Umum
Kemandirian Keuangan
mempunyai pengaruh
Daerah
signifikan terhadap
Variabel Independen
Kemandirian Keuangan
Pendapatan Asli Daerah
Daerah
dan Dana Alokasi Umum
Variabel Dependen

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Belanja Daerah, Investasi, Pendapatan Per Kapita Dan Jumlah Penduduk Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Sumatera Utara

2 54 110

Pengaruh Belanja Modal Dan Belanja Pemeliharaan Untuk Pelayanan Publik Terhadap Realisasi Pendapatan Asli Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Pemerintah Kota Di Propinsi Sumatera Utara

5 46 86

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Utara

3 47 94

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN BELANJA DAERAH TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA.

0 3 29

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 0 17

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 0 2

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 0 13

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara Chapter III VI

0 0 46

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 1 3

Analisis Pengaruh Belanja Daerah dan Jumlah Penduduk terhadap Kemandirian Keuangan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Kota di Propinsi Sumatera Utara

0 0 16