Proses Komunikasi Lintas Budaya Mantan Au pair Indonesia dengan Keluarga Angkat Se Berada di Jerman

BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 Kerangka Teori
Teori merupakan pendorong pemecahan masalah dalam setiap penelitian.
Menurut Kerlinger, teori merupakan himpunan konstruk atau konsep yang
mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi
antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat,
2004: 6).
Setiap penelitian sosial memerlukan teori, karena salah satu unsur yang
paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37).
Adapun teori yang relevan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.1.1 Komunikasi
Keating dalam Samovar dan Porter (2010: 15) mengatakan bahwa
komunikasi itu sangat kuat, komunikasi mampu membawa teman ke sisi kita atau
menceraiberaikan musuh, meyakinkan atau memperingatkan anak-anak, dan
menciptakan mufakat atau garis pertempuran di antara kita. Komunikasi
merupakan kemampuan kita untuk berbagi kepercayaan, nilai, pandangan dan
perasaan yang merupakan inti hubungan manusia. Alasan orang lain untuk
berkomunikasi cenderung sama untuk berbagi pikiran dan perasaan dengan orang
lain meskipun terkadang akibat yang ditimbukan ketika mengirimkan pesan

mungkin berbeda.
2.1.1.a Pengertian Komunikasi
Dedi Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (2008:
46) menyatakan bahwa kata komunikasi atau communications berasal dari Bahasa
Latin

communis

yang berarti

“sama”,

communico,

communicatio

atau

communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama


(communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata
komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.

9
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

10

Lebih dari 35 tahun yang lalu, Dance dan Larson meneliti literatur tentang
komunikasi dan menemukan 126 definisi kata “komunikasi” sejak saat itu,
semakin banyak defenisi yang bertambah. Samovar dan Porter (2010: 18)
mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang
berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui
penggunaan simbol.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli di mana berada, manusia selalu
berinteraksii dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik
atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi
komunikasi itu sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani

hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu.
Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku dan tindakan yang
terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia
tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide,
gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang
lain (Liliweri, 2003: 5).
Dalam komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili
atau menandakan sesuatu hal yang lain. Manusia menggunakan simbol bukan
hanya untuk berinteraksi, penyimbolan juga memungkinkan budaya disampaikan
dari generasi ke generasi. Sifat komunikasi meliputi komunikasi verbal dan nonverbal. Tatanan komunikasi meliputi intrapribadi, antarpribadi, kelompok massa
dan media. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, opini,
perilaku, masyarakat dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah
menginformasikan, mendidik dan mempengaruhi. Teknik komunikasi terdiri dari
komunikasi informatif, persuasif, koersif, instruktif dan hubungan manusia
(Mufid, 2012: 84). Dengan demikian definisi komunikasi mendapat penekanan
yang berbeda antara satu sama lain, dan perbedaan tersebut pada umumnya
dilatarbelakangi oleh sudut pandang keilmuan para ahli yang mendefinisikannya.

Universitas
Sumatera

Utara
Universitas
Sumatera
Utara

11

2.1.1.b Prinsip Komunikasi
Menurut Samovar dan Porter dalam bukunya yang berjudul Komunikasi
Lintas Budaya Edisi ke-7 (2010: 18-23) ada enam prinsip komunikasi, yaitu:
1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang
sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup,
bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu
berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses
dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan
sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua
belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam
waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa
seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis
komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya

seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat
dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir
hingga ia mati.
2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili
atau menandakan sesuatu hal yang lain. Salah satu karakteristik simbol adalah
bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya,
sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam
berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari
generasi ke generasi.
3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual karena
komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan
bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti
yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan
sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa
tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan
yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian,
bahasa, perilaku menyentuh dan lainnya diadaptasikan dalam konteks.
4. Komunikasi merupakan refleksi diri. Refleksi diri menyatakan bahwa manusia
mempunyai kemampuan untuk memikirkan diri sendiri, teman mereka


Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

12

berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut
(terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat
berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini
mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa
penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan.
5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi
merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam
dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang
dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta
tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya
informasi itu tetap ada di sana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang

sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang
dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu
hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut.
Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain.
6. Komunikasi memiliki konsekuensi. Inti dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan
mengirim dan menerima simbol mempengaruhi semua orang yang terlibat di
dalamnya. Respons seseorang terhadap suatu pesan berbeda, baik dari segi cara
maupun jenisnya. Hal ini mungkin membantu seseorang untuk mencoba
menggambarkan respons potensial yang ia miliki dalam suatu rangkaian kesatuan.
Di akhir setiap rangkaian ini terdapat respons terhadap pesan yang jelas dan
mudah dimengerti. Salah satu implikasi penting dari prinsip ini adalah pengaruh
potensial yang seseorang miliki atas orang lain. Apa yang seseorang katakan pasti
berpengaruh pada orang lain: bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri,
bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka
berpikir tentang orang lain.

2.1.1.c Pengalihan Bahasa
Komunikasi dalam bahasa yang sama dapat menimbulkan salah
pengertian, apalagi jika kita tidak menguasai bahasa lawan bicara kita. Untuk
melakukan komunikasi yang efektif, kita harus mengusai bahasa mitra

komunikasi kita. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional perlu dikuasai utuk

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

13

menjadi seorang komunikator yang efektif jika berkomunikasi dengan mitra
komunikasi yang tidak menggunakan bahasa yang sama dengan kita.Seperti
dikatakan Tubbs dan Moss, penguasaan bahasa asing yang minim, pada tingkat
pribadi, dapat menimbulkan kesulitas-kesulitan yang segera. Perbedaan bahasa
dapat

menimbulkan

kesulitan


lebih

jauh

daripada

sekedar

kekeliruan

penerjemhan. Kita sering sulit menerjemahkan sebuah kata ke bahasa lain, karena
tidak ada padanannya dalam bahasa lain itu, meskipun kita bisa mereka-reka
artinya. Bahkan ketika kita mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain
dengan kecermatan yang harfiah, maknanya yang dalam sering hilang karena
makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut. Kelemahan dalam
penguasaan tata bahasa, struktur dan kosakata (termasuk idiom, slang dan jargon
khusus) sering menghasilkan terjemahan yang membingungkan, menggelikan dan
terkadang bertentangan dengan apa yang dimaksudkan tulisan aslinya (Mulyana,
2008: 320).

2.1.1.d Komunikasi Konteks-Tinggi VS Komunikasi Konteks-Rendah
Edward T. Hall dalam Mulyana (2008: 327) membedakan budaya kontekstinggi (high-context culture) dengan budaya konteks-rendah (low-context culture)
yang mempunyai beberapa perbedaan penting dalam cara penyandian pesannya.
Budaya konteks-rendah ditandai dengan komunikasi konteks-rendah: pesan verbal
dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para penganut
budaya konteks-rendah mengatakan apa yang mereka maksudkan dan
memaksudkan apa yang mereka katakan. Bila mereka mengatakan “Yes,” itu
berarti mereka benar-benar menerima atau setuju. Sifat dari komunikasi konteksrendah adalah cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok.
Sebaliknya budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi kontekstinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang.
Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku nonverbal
pembicara: intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan
mata, atau bahkan konteks fisik. Pernyataan verbalnya bisa berbeda dengan pesan
nonverbalnya. Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah: tahan lama, lamban
berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya. Berdasarkan sifatnya

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera

Utara

14

orang-orang yang berbudaya konteks-tinggi lebih menyadari proses penyaringan
budaya daripada orang-orang berbudaya konteks-rendah (Mulyana, 2008: 328).
Secara garis besar, urutan sejumlah negara berdasarkan tingkat
budayanya (dari budaya konteks-rendah hingga budaya konteks-tinggi), menurut
Hall dan Kohls, adalah sebagai berikut: Swiss Jerman, Jerman, Skandinavia,
Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan
Jepang. Indonesia termasuk budaya konteks-tinggi, namun di beberapa subkultur,
misalnya suku Batak menunjukkan komunikasi konteks-rendah yang lumayan.
Namun secara umum, komunikasi kita termasuk komunikasi konteks-tinggi
(Mulyana, 2008: 328-329).
2.1.2. Komunikasi Antarbudaya
Sejak awal peradaban, ketika manusia pertama membentuk kelompok
suku, hubungan antarbudaya terjadi setiap kali orang-orang dari suku yang satu
bertemu dengan anggota dari suku yang lain dan mendapati bahwa mereka
berbeda (Samovar dan Porter, 2010: 2). Istilah antarbudaya pertama kali
diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959, namun demikian, Hall tidak
menerangkan

pengaruh

perbedaan

budaya

terhadap

proses

komunikasi

antarpribadi. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David
K.Berlo melalui bukunya The Process of Communication (An Introduction to
Theory and Practice) pada tahun 1960 saat individu-individu yang berasal dari

kebudayaan berbeda berkomunikasi dan mengalami proses pertukaran informasi
maka saat itulah terjadi komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2001:1).
2.1.2.a Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Tubbs dan Moss dalam (Lubis, 2012: 13) mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda (ras, etnis, sosio ekonomi atau gabungan dari semua perbedaan ini).
Menurut mereka kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari satu atau gabungan dari semua
perbedaan ini. Melalui komunikasi, kebudayaan itu dikenal, dipahami dan
menjadi bagian dari interaksi sosial antara manusia maupun kelompok.

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

15

Komunikasi yang terjalin antar bangsa-bangsa/internasional, antarras dan
antaretnis termasuk ke dalam komunikasi antarbudaya. Pada intinya untuk bisa
menjalin komunikasi yang efektif komunikasi internasional, antarras dan
antaretnis membutuhkan sebuah kunci, yakni budaya baik yang dikomunikasikan
dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dengan memahami budaya masingmasing bangsa, ras dan etnis akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya
komunikai tersebut (Lubis, 2012: 3).
Carley H.Dood (dalam Lubis, 2012:12) mengatakan komunikasi
antarbudaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks
perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural
communications is the sending and receiving of message within a context of
cultural differences producing differential effects). Budaya sangat mempengaruhi

orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh
perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.
Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula
perbendaharaan yang dimilikinya dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan
tertentu. Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi
tentang kebudayaan komunikasi antar budaya, ada 3 dimensi yang perlu
diperhatikan: (1) Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan
komunikasi, (2) Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya, (3)
Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya (baik yang bersifat
verbal maupun nonverbal).
(1) Tingkat Keorganisasian Kelompok Budaya
Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjuk pada macam-macam tingkat
lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan
mencakup:
- Kawasan – kawasan di dunia, seperti: budaya timur/barat.
- Sub kawasan-kawasan di dunia, seperti: budaya Amerika Utara/Asia Tenggara,
- Nasional/Negara, seperti: Budaya Indonesia/Perancis/Jepang,
- Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negara seperti:budaya orang Amerika
Hutam, budaya Amerika Asia, budaya Cina Indonesia,
- Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategorisasi jenis

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

16

kelamin kelas sosial. Countercultures (budaya Hippie, budaya orang dipenjara,
budaya gelandangan, budaya kemiskinan).
(2) Konteks Sosial
Komunikasi antarbudaya dapat lagi diklasifikasi berdasarkan konteks sosial yaitu:
- Bisnis
- Organisasi
- Pendidikan
- Akulturasi imigran
-Politik-Penyesuaian pelancong/pendatang sementara
- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi
- Konsultasi terapis.

(3) Saluran Komunikasi.
Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas :
- Antarpribadi/interpersonal/person-person,
- Media massa.
Ketiga dimensi di atas dapat digunakan secara terpisah ataupun
bersamaan, dalam mengklasifikasikan fenomena komunikasi antarbudaya khusus.
Misalnya: kita dapat menggambarkan komunikasi antara Presiden Indonesia
dengan Duta besar

baru dari Nigeria sebagai komunikasi internasional,

antarpribadi dalam konteks politik, komunikasi antara pengacara AS dari
keturunan Cina dengan kliennya orang AS keturunan Puerto Rico sebagai
komunikasi antarras/antaretnik dalam konteks bisnis, komunikasi imigran dari
Asia di Australia sebagai komunikasi antaretnik, antarpribadi dan massa dalam
konteks akulturasi migran. Maka apapun tingkat keanggotaan kelompok konteks
sosial dan saluran komunikasi, komunikasi dianggap antarbudaya apabila para
komunikator yang menjalin kontak dan interaksi mempunyai latar belakang
pengalaman berbeda (Lubis, 2002: 3-5).

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

17

2.1.2.b Model Komunikasi Antarbudaya
Salah satu model komunikasi yang menjelaskan komunikasi antarbudaya
adalah model William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, yakni komunikasi
antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan atau komunikasi
dengan orang asing (stranger ). Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk
komunikasi tatap-muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut
model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing,
model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja,
karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya
dan psikobudaya yang persis sama. model Gudykunst dan Kim ini
mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing
sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus
melakukan penyandian (encoding) dan penyandian-balik (decoding). Karena itu,
tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi
pihak

lainnya.

Pesan/umpan

balik

antara

kedua

peserta

komunikasi

dipresentasikan oleh garis dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang
lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua
garis pesan/umpan balik menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara
serentak kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi
tidak statis; kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga
kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang
(menyandi-balik) pada saat kita juga menyandi pesan.
Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik
pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter
konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya,
psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung
interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga
lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan
psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, yakni orang A dan orang B,
dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran
dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa
budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

18

mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak
dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Lagi, garis
terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan
tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi
antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup
orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.

Gambar 2.1. Model Gudykunst dan Kim

Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim, 1992
Seperti ditunjukkan di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan
psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan
menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah
alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandibalik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat
mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita.
Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi
pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan
dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik
pesan yang datang. Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam
model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan
budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, juga sikap terhadap manusia,
misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu (individualisme) atau

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

19

terhadap kolektivis (kolektivisme). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai,
norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi.
Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan
sosial (social ordering process). Penataan sosial berkembang berdasarkan
interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan
berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan
dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran dan definisi mengenai
hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi
(personal ordering process). Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi
stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip
dan sikap (misalnya etnosentrisme dan prasangka) terhadap kelompok lain.
Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain
akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita
menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku
orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang
lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain
berperilaku sama seperti kita.
Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan
perilakunya yang akan datang secara salah pula. Salah satu unsur yang
melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat
berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim,
situasi arsitektural (lingkungan fisik), dan persepsi atas linkungan tersebut,
mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang
dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai
persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang sama. Intinya, model
tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi
antarbudaya.
Edward T. Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan
siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang dimiliki
untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

20

menafsirkan pesan. Singkatnya komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata
uang, yang mana budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi pun turut
menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya (Samovar
dan Porter, 2003: 7).
2.1.2.c Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya
Dalam suatu proses komunikasi antabudaya, terdapat hambatan yang
menjadi penghalang agar terjadinya komunikasi yang efektif. Hambatan
komunikasi antarbudaya terbagi menjadi dua yakni di atas air (above waterline)
dan di bawah air (below waterline). Maksud hambatan di bawah air (below
waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang.

Biasanya hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan
karena tidak terlihat dari penampilan luar. Jenis-jenis hambatan ini adalah
persepsi, norma, stereotip, filosofi bisnis, aturan, jaringan, nilai dan grup cabang.
Sedangkan hambatan yang berada di atas air lebih mudah untuk dilihat karena
hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik. Hambatan-hambatan
komunikasi antarbudaya dalam (Lubis, 2012: 6-8) adalah:
1. Fisik, yang berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri dan juga
media fisik.
2. Budaya, berasal dari etnik yang berbeda, agama dan juga perbedaan sosial yang
ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3. Persepsi, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai
suatu hal setelah berinteraksi dan berkomunikasi. Jadi untuk mengartikan sesuatu
setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4. Motivasi, berkaitan dengan tingkat motivasi dari komunikan, apakah
komunikan ingin menerima pesan tersebut atau sedang malas dan tidak punya
motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman, setiap individu memiliki pengalaman hidup yang berbeda-beda
sehingga individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam
melihat sesuatu.
6. Emosi, ketika emosi komunikan sedang buruk maka hambatan komunikasi
yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

21

7. Bahasa, ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan dengan
bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh
komunikan.
8. Nonverbal, bahasa dalam bentuk nonverbal yang bisa terlihat dari ekspresi
wajah dan gerak tubuh.
9. Kompetisi, hambatan yang muncul ketika komunikan sedang melakukan
kegiatan lain sambil mendengarkan.
Komunikasi oleh setiap kebudayaan memberikan makna yang beraneka
ragam. Masing-masing kebudayaan memiliki sub sistem kebudayaan yang
berbeda dan dengan makna yang berbeda pula. Hambatan komunikasi sebagai
sesuatu yang menjadi penghalang untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang
efektif merupakan faktor penyebab kesalahpahaman dalam memandang perbedaan
antarbudaya tersebut.

2.1.3. Teori Penetrasi Sosial
Teori penetrasi sosial mulai dikembangkan sejak tahun 1973 oleh dua
orang ahli psikologi, Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Mereka mengajukan
sebuah konsep penetrasi sosial yang menjelaskan bagaimana berkembangnya
kedekatan hubungan. Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang
bagaimana proses komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam
proses berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana
terjadi semacam proses adaptasi di antara keduanya. Mereka menduga bahwa
sebuah hubungan interpersonal akan berakhir sebagai teman terbaik hanya jika
mereka memproses dalam sebuah "tahapan dan bentuk yang teratur dari
permukaan ke tingkatan pertukaran yang intim sebagai fungsi dari hasil langsung
dan perkiraan".
Teori penetrasi sosial juga menjelaskan bahwa dengan berkembangnya
hubungan, keluasan dan kedalaman meningkat. Bila suatu hubungan menjadi
rusak, keluasan dan kedalaman sering kali akan (tetapi tidak selalu) menurun,
proses ini disebut depenetrasi (Devito, 1997:242). Struktur personalitas
digambarkan seperti “Multi-lapis Bawang" sebagai berikut:

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

22

Gambar 2.2. Penetration of Pete's Personality Structure

Sumber: Kadarsih Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal (2009:
54)

Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah.
Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan
kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan
lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia. Lapisan kulit terluar
dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa
kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi seperti usia,
jenis kelamin, pekerjaan, rumah dan barang-barang yang melekat padanya. Jika
kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada
lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih
bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu
saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling dalam adalah wilayah private,
di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum
terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat
oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua atau orang terdekat
manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling
berperan dalam kehidupan seseorang (Kadarsih, 2009: 54-55).
Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat
dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

23

Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian
yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat
dengan kita. Dalam kerangka kerja teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor
dalam (Kadarsih, 2009: 58-60) telah menjelaskan empat pengamatan berikut
mengenai proses yang telah membawa seseorang pada titik ini:
1. Hal-hal di rumah lebih sering dan lebih cepat daripada informasi pribadi.
Ketika sisi tajam irisan baru saja menyentuh wilayah intim, bagian yang lebih
tebal telah memotong jalur yang lebar melalui lingkaran yang lebih luar.
Hubungan masih relatif pada tingkat yang tidak mengenai orang tertentu (laki-laki
dewasa jangan menangis). Arthur Van Lear, seorang profesor di Universitas
Connecticut menganalisis isi percakapan dalam mengembangkan hubungan.
Studinya menunjukkan bahwa 14% tidak mengungkapkan sesuatu mengenai
pembicara, 65% menempati hal-hal umum, 19 % berbagi detil yang semi pribadi
dan hanya 2% menyingkap rahasia yang mendalam. Penetrasi lebih jauh akan
membawa pada suatu titik di mana seseorang bisa berbagi perasaannya lebih
mendalam (misalnya kesengsaraan cinta).
2. Penyingkapan diri adalah timbal balik, khususnya pada tahap awal
pengembangan hubungan. Teori memperkirakan bahwa kenalan baru akan
mencapai tingkat yang sama dalam keterbukaan, tetapi tidak menjelaskan
mengapa Apapun alasannya, teori penetrasi sosial menegaskan hukum timbal
balik.
3. Penetrasi berlangsung cepat pada awalnya tetapi melambat dengan cepat karena
ketatnya bungkusan pada lapisan yang lebih dalam untuk dicapai. Keakraban
secara langsung adalah mitos. Tidak hanya adanya dorongan internal untuk
merangsek dengan cepat ke dalam hati, ada norma-norma kemasyarakatan juga
berpengaruh yang terlalu banyak dan terlalu cepat. Sebagian besar hubungan
berhenti sebelum pertukaran keakraban yang stabil ditetapkan. Untuk alasan ini,
hubungan ini memudar atau mati dengan mudah setelah pemisahan atau sedikit
ketegangan. Pembagian yang nyaman dalam hal reaksi positif dan negatif adalah
jarang. Ketika hal tersebut dicapai, hubungan menjadi lebih penting bagi kedua
belah pihak, lebih berarti dan lebih abadi.

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

24

4. Penetrasi adalah proses bertahap pada penarikan lapisan per lapisan.
Persahabatan hangat antara seseorang akan memburuk jika mereka mulai menutup
wilayah hidup mereka yang telah dibuka sebelumnya. Hubungan mundur akan
mengembalikan pada apa yang sebelumnya dipertukarkan dalam membangun
hubungan. Altman dan Taylor membandingkan proses ini dengan tayangan setback dalam film. Pembicaraan di permukaan masih berlangsung jauh setelah

penyingkapan yang dalam disembunyikan. Hubungan kemungkinan berakhir tidak
dengan kilauan ledakan kemarahan tetapi dengan peredaman secara bertahap
dengan hiburan dan perhatian. Ketika kedalaman adalah penting sekali dalam
proses penetrasi sosial, perluasan cakupan menjadi sama pentingnya. Sangat
mungkin bagi seseorang secara tulus mengungkap tiap detil keakraban pada
percintaannya.

2.1.4. Persepsi
Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial
menjadi masuk akal, persepsi menunjukkan bagaimana suatu budaya mengajarkan
anggotanya untuk melihat dunia ini dengan cara yang berbeda. Persepsi dan
respons seseorang terhadap peristiwa eksternal sebagian ditentukan oleh
budayanya. Gamble dan Gamble menyatakan bahwa persepsi merupakan proses
seleksi, pengaturan dan penginterpretasian data sensor dengan cara yang
memungkinkan kita mengerti dunia kita, dengan kata lain persepsi merupakan
proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman eksternal
menjadi pemahaman internal yang berarti (Samovar dan Porter, 2010: 222).
Menurut Singer “kita mengalami segala sesuatu di dunia ini bukan
sebagaimana adanya namun, hanya ketika dunia ini datang kepada kita melalui
alat indra kita.” Hal ini melibatkan bagaimana kita secara kognitif mengolah
proses tersebut. Walaupun dimensi fisik merupakan fase penting dari persepsi,
kita harus menyadari bahwa aspek psikologis dari persepsi adalah apa yang
menolong kita untuk memahami komunikasi antarbudaya. Persepsi merupakan
suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Manusia belajar untuk melihat dunia
dengan cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budanya masingmasing. Sama seperti pada budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

25

manusia adalah dalam bentuk kepercayaan dan nilai. Kedua konsep ini, bekerja
sama, membentuk apa yang disebut dengan pola budaya.
Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika kita tidak akurat, tidak
mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita
memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lan. Semakin tinggi derajat
kesamaan persepsi antarindividu, semakin mudah dan semakin sering mereka
berkomunikasi, dan sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk
kelompok budaya

atau kelompok identitas. Persepsi meliputi pengindraan

(sensasi) melalui alat-alat indra kita (indra peraba, indra penglihat, indra pencium,
indra pengecap dan indra pendengar), atensi dan interpretasi. Sensasi merujuk
pada pesan yang dikirimkan ke otak lewat penglihatan, pendengaran, sentuhan,
penciuman dan pengecapan. Reseptor indrawi-mata, telinga, kulit dan otot, hidung
dan lidah-adalah penghubung antara gelombang cahaya, telinga terhadap
gelombang suara, kulit terhadap temperatur dan tekanan, hidung terhadap baubauan dan lidah terhadap rasa. Lalu rangsangan-rangsangan ini dikirimkan ke
otak (Mulyana, 2008:181).
Tahap terpenting dalam persepsi adalah interpretasi atas informasi yang
diperoleh melalui salah satu atau lebih indra kita. Namun kita tidak dapat
menginterpretasikan

makna

setiap

objek

secara

langsung,

melainkan

menginterpretasikan makna yang dipercaya mewakili objek tersebut. Jadi
pengetahuan yang dipeoleh melalui persepsi bukan pengetahuan mengenai objek
yang sebenarnya, melainkan pengetahuan mengenai bagaimana tampaknya objek
tersebut.
Agama, ideologi, tingkat intelektualitas, tingkat ekonomi, pekerjaan dan
cita rasa jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap realitas. Dengan
demikian persepsi terikat oleh budaya (culture-bound). Bagaimana kita memaknai
pesan, objek atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang kita anut.
Kelompok-kelompok budaya boleh jadi berbeda dalam mempersepsi kredibilitas,
kredibilitas pribadi merupakan sifat yang dibentuk oleh budaya akibat variasi
budaya, seperti yang diilustrasikan oleh De Mente: “seperti yang diketahui,
kebanyakan orang Amerika dan Eropa menghargai keterusterangan, presentasi
yang detail dan debat yang hangat berdasarkan fakta juga asumsi. Sebaliknya,

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

26

selama lebih ribuan tahun, orang Jepang diprogramkan untuk berbicara di depan
umum hanya pada tatamae (menekankan ekspektasi sosial) dan menyatakan
honne mereka (pandangan sebenarnya) hanya pada ruang lingkup pribadi saja.”

Oleh karena persepsi berdasarkan budaya yang telah dipelajari, maka
persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat subjektif. Semakin besar
perbedaan budaya antara dua orang semakin besar pula perbedaan persepsi
mereka terhadap realitas. Oleh karena tidak ada dua orang yang mempunyai nilainilai budaya yang persis sama, maka tidak pernah ada dua orang yang mempunyai
persepsi yang persis sama pula. Dalam konteks ini, sebenarrnya budaya dapat
dianggap sebagai pola persepsi dan perilaku yang dianut sekelompok orang
(Mulyana, 2008: 214).
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam (Mulyana, 2008: 214)
mengemukakan enam unsur budaya yang secara langsung mempengaruhi persepsi
ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain, yakni:
1. Kepercayaan (beliefs), nilai (values) dan sikap (attitudes)
2. Pandangan dunia (worldview)
3. Organisasi sosial (social organization)
4. Tabiat manusia (human nature)
5. Orientasi kegiatan (activity orientation)
6. Persepsi tentang diri dan orang lain (perception of self and others)
Keenam aspek tersebut saling berkaitan satu sama lain, kita dapat
mengalami peristiwa yang sama dan sepakat mengenai apa yang kita lihat secara
fisik. Namun, kita sering berbeda dalam memaknai peristiwa atau objek yang kita
lihat. Berbagai orang dari berbagai budaya dapat setuju bahwa seseorang tertentu
adalah perempuan, namun kemungkinan besar tidak sepakat apakah perempuan
itu secara sosial, dan juga bagaimana bereaksi terhadap makhluk tersebut.
Persepsi individu-individu sering tidak cermat, salah satu penyebabnya
adalah asumsi atau pengharapan. Kita mempersepsi sesuatu atau seseorang sesuai
dengan pengharapan kita, beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi
adalah sebagai berikut:

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

27

a. Stereotip: stereotip berasal dari buku Public Opinion tahun 1922, Walter
Lippman yang berarti ―pictures in our head.‖ Larry A.Samovar dan Richard E.
Porter mendefinisika stereotip sebagai persepsi atau kepercayaan yang kita anut
megenai kelompok-kelompok atau individu-individu berdasarkan pendapat dan
sikap yang lebih dulu terbentuk. Stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok
secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.
Kelompok-kelompok ini mencakup: kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua,
berbagai pekerjaan dan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Pada
umumnya, stereotip bersifat negatif. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan
dalam kepala kita. Akan tetapi bahayanya sangat nyata bila stereotip diaktifkan
dalam hubungan manusia. Apa yang kita persepsi sangat dipengaruhi oleh apa
yang kita harapkan. Ketika kita mengharapkan orang lain berperilaku tertentu, kita
mungkin mengkomunikasikan pengharapan kita kepada mereka dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga mendorong mereka untuk berperilaku sesuai dengan
apa yang kita harapkan.
b. Prasangka: istilah prasangka (prejudice) berasal dari kata Latin praejudicium,
yang berarti preseden, atau penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman
terdahulu. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu
kelompok. Prasangka umumnya bersifat negatif, prasangka ini bermacam-macam,
yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan (etnik), prasangka
gender dan prasangka agama. Sementara itu, Allport mendefinisikan prasangka
etnik sebagai suatu antipati berdasarkan generalisasi yang salah dan kaku.
Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan
kepada kelompok secara keseluruhan atau seseorang karena dia anggora
kelompok tersebut. Sebagaimana stereotip, prasangka ini alamiah dan tidak
terhindarkan, penggunaan prasangka memungkinkan kita merespons lingkungan
secara umum alih-alih secara khas, sehingga terlalu menyederhanakan masalah.
Budaya dan kepribadian, sangat mempengaruhi prasangka. Akal sehat
memberitahu kita bahwa cara memelihara atau meningkatkan prasangka terhadap
kelompok luar adalah dengan menghindari kontak dengan mereka, karena itu cara
terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

28

mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun hal ini tidak berhasil dalam
segala situasi.
c. Gegar budaya: Menurut Kalvero Oberg gegar budaya (culture shock)
ditimbulkan oleh kecemasan karena hilangnya tanda-tanda yang sudah dikenal
dan simbol-simbol hubungan sosial. Lundstedt mengatakan bahwa gegar budaya
adalah suatu bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang merupakan reaksi
terhadap upaya sementara yang gagal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan orang-orang baru. Gegar budaya pada dasarnya adalah benturan persepsi,
yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktor-faktor internal yang
telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai
budayanya berbeda dan belum ia pahami. Kita biasanya menerima begitu saja
nilai-nilai yang kita anut dan kita bawa sejak lahir, yang juga diinformasikan oleh
orang-orang di sekitar kita, namun ketika kita memasuki lingkungan baru, kita
menghadapi situasi yang membuat kita mempertanyakan kembali asumsi-asumsi
kita itu, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran,
kesopanan, kebijakan dan sebagainya. Benturan-benturan persepsi itu kemudian
menimbulkan konflik dalam diri kita, dan menyebabkan kita merasa tertekan dan
menderita stres. Efek stres inilah yang disebut gegar budaya. Berbagai penelitian
empiris menunjukkan bahwa gegar budaya sebenarnya merupakan titik pangkal
untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan budaya kita, sehingga kita dapat
menjadi orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai
budaya kita sendiri (Mulyana, 2008: 237-251).
2.1.5. Au pair
Au pair telah menjadi fenomena yang populer di Eropa, Amerika dan

Australia dalam beberapa dekade terakhir. Banyaknya keluarga di mana kedua
orang tua bekerja full time di luar rumah dan biaya jasa pengurus anak atau nanny
yang disediakan oleh negara atau jasa privat lainnya terlalu mahal menjadikan
permintaan Au pair menjadi lebih populer di banyak keluarga beberapa dekade
ini, Au pair bukan juga hal yang dianggap sebagai pekerja yang dibayar murah,
karena biaya yang dikeluarkan keluarga terhadap Au pair hampir sama dengan
membayar

jasa

seorang

nanny,

seperti

membayar

asuransi

kesehatan,

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

29

berkontribusi dalam biaya kursus bahasa, tiket transportasi publik dan akomodasi
serta makanan. Hanya saja Au pair dianggap lebih efektif karena Au pair adalah
orang yang sudah dianggap sebagai anggota keluarga dan tinggal bersama dengan
keluarga tersebut dan bisa dimintai bantuan kapan saja termasuk tengah malam
jika orangtua sedang ada urusan mendadak dengan membuat perjanjian di awal
terlebih dahulu dengan au pair . Program Au pair juga merupakan kesempatan
yang menarik kepada orang muda untuk memiliki kesempatan tinggal di luar
negeri dalam waktu tertentu, belajar kebudayaan dan mendapatkan pengalaman
tinggal di luar negeri.
2.1.5.a Pengertian Au pair dan Sejarah Au pair
Au pair biasanya perempuan meskipun laki-laki bisa juga menjadi au pair ,

tetapi kemungkinan terbanyak menjadi Au pair ialah perempuan, di Inggris
bahkan Au pair laki-laki dilarang pada tahun 1993 (Hempshell 1995:13). Kriteria
untuk menjadi Au pair adalah bertanggung jawab, dewasa, menguasai bahasa
asing tempat negara penerima minimal tingkat dasar, peduli terhadap anak-anak,
memiliki beberapa pengalaman merawat anak-anak dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga ringan, sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan menyetir
menjadi nilai plus, memiliki kemampuan sosialisasi yang baik dan perilaku positif
(Riikonen:2002: 9).
Sejarah Au pair dimulai di Swiss pada akhir abad ke 19, pada masa itu
Gereja melarang perempuan untuk pindah ke kota mencari pekerjaan, karena
mereka akan kehilangan moral jika mereka hidup dengan cara mereka sendiri,
untuk mencegah hal ini, tinggal bersama keluarga angkat akan mengajarkan
mereka tentang keahlian dalam pekerjaan rumah tangga. Pada masa berikutnya,
negara-negara lain mulai melakukan pertukaran dengan perempuan-perempuan
dari Swiss, dan khususnya setelah perang dunia ke II tingkat partisipasi negara
penerima meningkat dengan tajam (Griffth dan Legg, 1993:12).
Biasanya ada tiga cara untuk mendapatkan pekerjaan Au pair di luar
negeri, seperti menggunakan jasa agensi berbayar dan tidak berbayar,
menggunakan agensi berbayar dianggap lebih efektif, mudah dan aman karena

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

30

calon Au pair tidak perlu repot mencari keluarga angkat dan agensi akan
membantu calon Au pair tersebut untuk mendapatkan Visa Au pair dan membantu
Au pair serta keluarga angkat jika terjadi masalah dikemudian hari. Cara kedua

adalah dengan mencari keluarga angkat sendiri dengan mendaftar di situs agensi
Au pair tidak berbayar melalui website atau internet, seperti aupairworld.com,
aupair.com dan newaupair.com cara ini merupakan cara yang paling populer di

kalangan Au pair karena gratis dan memungkinkan Au pair untuk memilih
keluarga angkatnya sendiri. Cara ketiga adalah dari mulut ke mulut, misalnya
seorang Au pair yang hampir habis masa kontraknya dan keluarga angkatnya
membutuhkan Au pair lagi, dia lalu merekomendasikan teman atau kenalannya
kepada keluarga angkatnya sebagai penggantinya.
2.1.5.b Au pair di Jerman
Berikut adalah penjelasan bekerja sebagai Au pair di Jerman dalam
Bundesagentur für Arbeit bulan Agustus tahun 2015:

1.

Bekerja sebagai au pair
Pekerjaan harian seorang Au pair bervariasi, tergantung dengan kesepakatan

kontrak kerja dengan keluarga angkat. Umumnya tugas-tugas Au pair sehari-hari
seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan, seperti membantu menjaga
rumah agar tetap bersih, laundry dan menyetrika pakaian anak-anak, menyiapkan
sarapan dan makanan sederhana, menjaga dan mengawasi anak-anak, mengantarjemput ke sekolah, kegiatan ekskul atau aktivitas lainnya, berjalan-jalan dan
bermain dengan mereka.

2.

Hak dan kewajiban

a. Masa tinggal kontrak au pair : Kontrak kerja paling tidak 6 bulan hingga 12
bulan, tidak diizinkan untuk menjadi Au pair lagi meskipun kontrak kerja selama
satu tahun tidak selesai (Dalam kasus ini jika Au pair kembali ke negaranya dan
mengakhiri kontraknya sebaga Au pair meskipun belum penuh selama satu tahun,
dia tidak dizinkan untuk mengajukan visa sebagai Au pair untuk kedua kalinya).

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

31

b. Jam kerja dan waktu luang: Au pair tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 6
jam per hari dan lebih dari 30 jam per minggu, keluarga angkat harus
mendiskusikan terlebih dahulu kepada Au pair jika mereka membutuhkan Au pair
di luar dari jam kerja yang telah ditentukan. Au pair berhak memiliki hari libur
minimal satu hari per minggu, biasanya Au pair memiliki hari libur di akhir
pekan.

c. Masa libur: Jika keluarga angkat menerima atau mempekerjakan Au pair
selama penuh satu tahun, Au pair berhak menerima 4 minggu liburan berbayar.
Jika keluarga angkat pergi liburan, Au pair ikut bersama mereka, Au pair tidak
diizinkan untuk bekerja di luar dari pekerjaannya sebagai Au pair di keluarga
penerima.
d. Kursus bahasa: Setiap Au pair harus menghadiri kursus bahasa Jerman,
keluarga angkat bertanggung jawab untuk memberikan kontribusi sebesar 50 Euro
per bulan, oleh karena itu Au pair harus menanggung kekurangan biaya kursusnya
sendiri.
e. Akomodasi dan makanan: Akomodasi dan makanan disediakan oleh keluarga
angkat secara gratis. Umumnya Au pair memiliki kamar tidur dan kamar mandi
pribadi. Au pair bergabung dengan keluarga penerima dan berperilaku sebagai
anggota keluarga, seperti makan malam bersama. Jika Au pair memiliki pola diet
khusus, dia harus mendiskusikannya terlebih dahulu secara jelas dengan keluarga
angkat.
f. Uang saku dan biaya perjalanan: Tujuan dari Au pair ialah untuk meningkatkan
kemampuan bahasa dan belajar kebudayaan dari negara penerima, oleh karena itu
Au pair tidak menerima gaji seperti gaji pekerjaan pada umumnya di negara

penerima, jadi uang ini bisa disebut sebagai uang saku. Jumlah uang saku yang
diterima sebagai Au pair di Jerman adalah 260 Euro per bulannya. Biaya
perjalanan dari dan ke Jerman ditanggung oleh au pair.

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

32

g.

Asuransi kesehatan: Keluarga angkat harus menyediakan dan membayar

asuransi au pair.
h. Mengakhiri kontrak kerja au pair : Kontrak Au pair berakhir sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat dengan keluarga angkat, jika di kemudian hari ada
permasalahan antara Au pair dengan keluarga angkat, masing-masing pihak harus
setuju bahwa Au pair bisa tinggal sampai dia menemukan keluarga angkat baru.
3.

Aplikasi, penempatan dan pekerjaan
Au pair berusia minimal 18 tahun pada saat mengajukan diri sebagai au

pair, Au pair yang sudah menikah juga boleh mendaftar sebagai au pair . Pelamar
Au pair diharapkan menguasai paling tidak mampu berbahasa Jerman tingkat

dasar, bahasa Jerman tingkat dasar disebut A1, oleh karena itu setiap pelamar Au
pair harus menyertakan sertifikat kemampuan berbahasa Jerman A1 pada saat

mengajukan visa di Kedutaan besar Jerman.
Au pair yang bukan berasal dari negara Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi

Eropa atau Swiss harus mengikuti bahwa Au pair hanya bisa dipekerjakan oleh
keluarga Jerman yang di mana menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa
sehari-hari. Paling tidak, salah satu dari orang tua angkat adalah warga negara
Jerman atau warga negara salah satu anggota Unifikasi Eropa, Zona Ekonomi
Eropa atau warga negara Swiss. Jika bahasa Jerman menjadi bahasa sehari-hari di
rumah keluarga penerima, maka mereka bisa mempekerjakan Au pair meskipun
mereka bukan berasal dari negara penerima.
4. Kedatangan au pair
Au pair dari negara ketiga (yang bukan berasal dari negara Unifikasi

Eropa) wajib memiliki visa Au pair yang diajukan di negara asal au pair , kecuali
warga negara Australia, Israel, Jepang, Kanada, Republik Korea, Selandia baru
dan Amerika boleh memasuki negara Jerman tanpa visa.
Au pair pada saat mengajukan visa Au pair ke Kedutaan Jerman berusia

tidak lebih dari 27 tahun. Sebagai Au pair di Jerman, mereka dituntut untuk
berpikiran terbuka (open minded), belajar dan bergabung dengan gaya hidup,
kebiasaan dan budaya keluarga angkat yang akan dipelajari dan dialami selama

Universitas
Sumatera
Utara
Universitas
Sumatera
Utara

33

masa tinggal di Jerman. Mereka harus belajar serius untuk meningkatkan
kemampuan bahasa Jerman mereka.

2.2 Kerangka Pemikiran
Kerangka adalah hasil pemikiran yang rasional yang merupakan uraian
yang bersifat kritis dan memperkirak