Gambaran Kualitas Tidur pada Kelompok Obesitas

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur

2.1.1 Definisi tidur

Tidur adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh aktivitas bagian-bagian tertentu di otak. Ditinjau dari derajat kesadaran, tidur adalah suatu derajat kesadaran dibawah keadaan awas waspada.

Tidur tidak sama dengan keadaan koma. Pada keadaan koma, stimulasi dengan rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi. Pada keadaan tidur, seseorang yang sedang tidur masih dapat dibangunkan ketika diberikan stimulasi tertentu (Mardjono dan Sidharta, 2009)

Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga.

Tingkat aktivitas otak keseleruhan tidak berkurang selama tidur. Selama tahap-tahap tertentu tidur, penyerapan oksigen oleh otak meningkat

melebihi tingkat normal sewaktu terjaga (Sherwood, 2007). 2.1.2 Fungsi tidur

Fungsi tidur belum jelas dan alasan alasan mengapa tidur sangat dibutuhkan

masih merupakan sebuah misteri. Hipotesis “restorasi dan pemulihan” menyatakan bahwa tidur gelombang lambat memberi otak waktu untuk memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas toksik yang dihasilkan sebagai produk sampingan metabolisme selama keadaan terjaga. Teori lain yang menonjol adalah bahwa tidur, terutama tidur paradoksal, diperlukan bagi otak untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi dan struktural jangka panjang yang diperlukan untuk belajar dan mengingat,

terutama konsolidasi ingatan prosedural (Sherwood, 2007).

Fungsi tidur adalah restorative (memperbaiki) kembali organ – organ tubuh. Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat tidur Rapid Eye Movement


(2)

(REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Tidur Non-rapid Eye Movement akan memengaruhi proses anabolik di dalam sel dan sintesis makromolekul ribonucleic acid (RNA) (Arifin et al, 2010)

2.1.3 Fisiologi tidur

Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya, yaitu :

Fase rapid eye movement (REM) dan fase non-rapid eye movement (NREM) atau tidur gelombang lambat. Tidur NREM dibagi menjadi 4 stadium. Seorang yang baru tertidur memasuki stadium 1 dicirikan oleh aktivitas gelombang

EEG frekuensi tinggi dengan amplitudo gelombang yang rendah. Stadium 2 ditandai dengan munculnya kumparan tidur (sleep spindle). Pada stadium ini terjadi letupan gelombang mirip alfa, yaitu gelombang 10-14

Hz,50 µV. Pada Stadium 3, pola yang timbul adalah gelombang EEG dengan frekuensi yang lebih rendah dan amplitudo meningkat. Perlambatan maksimum dengan gelombang besar dijumpai pada stadium 4.

Dengan demikian karakteristik tidur yang dalam adalah pola gelombang lambat yang ritmis, yang menunjukkan sinkronisasi yang jelas. Perpindahan tahapan tidur dari stadium 1 hinga stadium 4 terjadi dalam waktu 30 sampai 45 menit.

Pada tidur REM, gelombang lambat dengan amplitudo tinggi, kemudian diganti oleh aktivitas EEG cepat dan bervoltase rendah. Gelombang ini

mirip dengan tidur stadium 1. Namun, tidur tidak terganggu; bahkan ambang untuk terjaga oleh rangsangan sensorik meningkat. Pola EEG selama periode ini mendadak berubah seperti dalam keadaan terjaga, meskipun kelihatannya masih

tertidur lelap. Keadaan ini kadang kadang disebut tidur paradoksal. Selama tidur paradoksal terjadi gerakan mata yang cepat dan acak, dan karena hal inilah tidur tersebut dinamakan tidur REM. Tidur REM ditandai dengan adanya potensial fasik besar yang terdiri dari 3-5 gelombang. Potensial ini disebut ponto-geniculo-occipital

spike.


(3)

Fase Tidur Tanda Klinis Karakteristik EEG Fase REM Pergerakan cepat bola

mata Tonus otot rendah Pola pernafasan tidak

teratur

Ada gelombang cepat pada lead EEG pada

mata

Voltase rendah pada EEG

Fase Non-REM

Tahap 1 Merasa mengantuk Pergerakan bola mata

melambat Pola pernafasan teratur ambang kesadaran rendah

Aktivitas gelombang teta dan beta

meningkat Tampak gelombang

Vertex tajam

Tahap 2 Sudah tertidur Tidak ada pergerakan

bola mata Pola pernafasan teratur

Ambang kesadaran meningkat

Gambaran kumparan tidur (Sleep Spindle)

Gambaran K-complexes

Tahap 3-4 Berada pada tidur yang dalam

Pola pernafasan teratur Ambang kesadaran

sangat tinggi

Ada gelombang delta Kecepatan gelombang

lambat Aktivitas sedang gelombang teta pada

tahap 3 NREM Aktivitas tinggi gelombang teta pada

tahap NREM


(4)

Pencitraan otak yang dilakukan pada manusia saat tidur REM menunjukkan adanya peningkatan aktivitas yang tinggi di sistem limbik (emosi)

disertai oleh penurunan aktivitas di korteks prafrontal (akal). Pola aktivitas ini merupakan dasar bagi karakteristik mimpi yang terjadi pada fase tidur REM. Akibatnya, mimpi sering kali memiliki muatan emosi yang besar, sensasi waktu yang kacau, dan isi yang aneh yang diterima begitu saja

sebagai kenyataan, dengan hanya sedikit refleksi mengenai semua kejadian yang aneh (Ganong, 2008).

2.1.4 Siklus bangun-tidur

Siklus bangun-tidur adalah variasi siklik normal dalam kesadaran akan lingkungan. Siklus bangun-tidur serta berbagai tahapan tidur

disebabkan oleh hubungan timbal balik antara tiga sistem saraf: (1) sistem keterjagaan, yaitu bagian dari reticular activating system yang ada di

batang otak; (2) pusat tidur gelombang lambat (NREM) di hipotalamus; dan (3) pusat tidur paradoksal (REM) di batang otak. Pola interaksi diantara ketiga regio ini menghasilkan rangkaian siklis yang dapat diperkirakan

antara keadaan terjaga dan kedua jenis tidur. Pola interaksi tergolong rumit dan masih menjadi bahan penelitian intensif (Ganong, 2008).

Siklus normal dapat mudah diinterupsi, dengan sistem yang membuat kita terjaga lebih mudah mengalahkan sistem tidur daripada

kebalikannya; yaitu, lebih mudah terjaga penuh. Sistem keterjagaan dapat diaktifkan oleh masukan sensorik aferen atau oleh masukan yang turun ke batang otak dari daerah daerah otak yang lebih tinggi. Konsentrasi penuh atau keadaan emosi yang kuat dapat mencegah seseorang tidur, demikian juga

aktivitas motorik, misalnya bangkit dan berjalan jalan, dapat membangunkan orang yang mengantuk (Ganong, 2008).

2.1.5 Irama sirkadian dan tidur

Irama sirkadian tidur merupakan salah satu dari irama intrinsik tubuh yang diatur oleh hipotalamus. Jalur rethinohypothalamic memberikan rangsang secara

langsung terhadap nucleus suprachiasma (NSC) yang berkerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur (Arifin et al, 2010).


(5)

Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur (Rahayu, 2006).

Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal

(bagian dari otak tengah). Saat hari mulai gelap, melatonin akan disekresikan ke dalam darah yang kemudian akan menyebabkan relaksasi otot serta penurunan temperatur badan dan hormon kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, dan akan terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi (Rahayu, 2006). Penurunan irama sirkadian sebelum pagi hari diperkirakan

berguna untuk membantu otak agar tetap tidur selama semalam sehingga terjadi restorasi penuh dan mencegah kebangkitan prematur. Siklus suhu tubuh juga terjadi dibawah kendali hipothalamus. Peningkatan suhu tubuh terjadi sepanjang siang hari dan penurunan terjadi

sepanjang malam. Suhu puncak dan penurunannya diperkirakan dapat menjadi

cerminan irama tidur seseorang. Orang yang aktif di malam hari memiliki puncak suhu tubuh di malam hari sementara mereka yang menempatkan diri untuk aktif pada pagi hari memiliki puncak suhu tubuh pada awal malam (Arifin et al, 2010).

2.1.6 Kualitas tidur

Kualitas tidur , menurut Buysse tahun 2014, didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.

Dimensi Tidur:  Durasi  Efisiensi  Waktu/

Timing  Terjaga/

Mengantuk  Kepuasan/

Kualitas

Respon pada Sistem tubuh:  Inflamasi  Aktivitas

Simpatis  Respon

Hormonal  Respon

Saraf

 Kesehatan  Penyakit  Fungsi


(6)

Berdasarkan berbagai penelitian, maka dimensi dimensi tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian :

a) Durasi tidur : Total jumlah dari tidur yang diperoleh dalam 24 jam. b) Efisiensi tidur : Mudah atau sulitnya memulai tidur dan kembali tidur

setelah dibangunkan

c) Waktu / (Timing) : waktu yang menunjukkan tidur dilakukan setiap 24 jam.

d) Terjaga/mengantuk : Kemampuan untuk mencapai kondisi terjaga dan penuh perhatian.

e) Kualitas / kepuasan : penilaian yang bersifat subjektif terhadap baik atau buruknya tidur.

Dimensi ini dijadikan sebagai indikator tidur yang baik karena setiap dimensi tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan kesehatan.

Pada manusia, durasi tidur yang diperlukan seseorang untuk tidur berbeda

beda, tergantung pada faktor faktor tertentu dan usia mereka. Neonatus tidur sekitar 16 hingga 18 jam per hari. Pola dan tahapan tidur pada bayi

baru lahir terdiri dari 3 tahap yaitu NREM, REM, dan indeterminate sleep. Perbedaan tahapan tidur ini dengan tahapan tidur dewasa diakibatkan olehtidak adanya irama sirkadian pada neonatus. Mulai usia 3 bulan, irama sirkadian mulai terbentuk dan mulai matang menjelang usia 1 tahun.

Setelah berusia satu tahun, durasi tidur balita berkurang menjadi 14 hingga 15 jam dalam 1 hari. Pada usia 2 hingga 5 tahun maka durasi tidur berkurang 2 jam (11- 13 jam per hari). Remaja membutuhkan durasi tidur selama 9 hingga 10 jam per hari. Akibat perubahan hormonal pada usia remaja, maka tahap 2 NREM pada remaja

menjadi lebih panjang. Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung


(7)

Sedangkan orang dengan usia lanjut cenderung mengalami penurunan durasi tidur dan mereka memerlukan waktu 6-7 jam per hari (Colten dan Altevogt, 2006).

Memiliki durasi tidur yang cukup akan menghasilkan kualitas tidur yang

baik yang kemudian dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari, perasaan energik, dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain, memiliki kualitas tidur yang baik sangat penting dan vital untuk hidup sehat semua orang (Colten dan Altevogt, 2006).

Dimensi Tidur

Pengaruhnya terhadap Kesehatan

Bukti (Evidence)

Kualitas Tidur

Kematian Kojima et al., 2000; Elder et al., 2008; Rod et al., 2011; Hublin et al., 2011 Sindroma

Metabolik

Jennings et al., 2009; Troxel et al., 2010

Diabetes Tipe-2 Vontzas et al., 2009; Haseli-Mashhadi et al., 2009; Knutson et al., 2011;

Pyykkonen et al., 2012

Hipertensi Vgontzas et al., 2009; Fiorentini et al., 2007; Rod et al., 2011

Penyakit Jantung Koroner

Laugsand et al., 2011; Hoevenaar-Blom, 2011; Appelhans, 2013

Depresi Baglioni, 201180

Terjaga/ Mengantuk

Mortalitas Hays, 1996; Newman et al, 2000 Penyakit Jantung

Koroner

Newman et al, 2000; Sabanayagam et al, 2011

Gangguan performa

kognitif

Dinges et al, 1997. Tabel 2.2 Kesehatan tidur dan dampak-dampaknya


(8)

Tidak memeroleh kualitas tidur yang baik dapat berpengaruh kepada kesehatan. Kualitas tidur yang tidak baik dikaitkan dengan beberapa penyakit seperti penyakit jantung, peradangan, diabetes dan penyakit kardiovaskular (Wavy, 2008). Secara psikologis, kualitas tidur

Waktu Tidur

Sindroma Metabolik

Karlsson et al, 2011; Lin et al, 2009; Pietrositi et al, 2010

Mortalitas Akerstedt et al, 2004

Diabetes Pan et al, 2011; Buxton et al, 2012; Reutrakul et al, 2013

Efisiensi Tidur

Mortalitas Newman et al, 2000; Nilsson et al, 2001; Mallon et al, 2002; Dew et al, 2003 Sindroma

Metabolik

Troxel et al, 2010

Penyakit Jantung Koroner

Laugsand et al, 2011; Grandner, 2012

Depresi Baglioni et al, 2011 Durasi

Tidur

Obesitas Buxton et al, 2010; Gangwisch et al, 2005; Cappucio et al, 2008; Hasler et al,

2004 Sindroma

Metabolik

Hall et al, 2008

Diabetes Ayas et al, 2003; Golttieb et al, 2006, Yaggi et al, 2006

Hipertensi Gottleib et al, 2006; Cappucio et al, 2007 Penyakit Jantung

Koroner

Mallon et al, 2002; Ayas et al, 2003


(9)

yang buruk berdampak pada penurunan fungsi kognitif. Selanjutnya, hal itu terkait dengan tingkat yang lebih tinggi terhadap kecemasan,

meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingungan, suasana hati yang buruk, depresi, penurunan kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup yang lebih rendah. Secara bersamaan, hal tersebut berhubungan positif dengan melambatnya

kemampuan psikomotor dan terganggunya konsentrasi (Wavy, 2008). Melalui berbagai penelitian, sudah ditemukan bahwa berbagai dimensi dari kualitas

tidur dapat memengaruhi berbagai aspek kesehatan (Buysse, 2014). 2.1.7 Pittsburgh sleep quality index

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan salah satu alat yang cukup efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur pada orang

dewasa. Melalui Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas tidur dibagi menjadi baik dan buruk melalui pengukuran terhadap 7 domain : kualitas tidur secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat-obat yang berhubungan dengan tidur, dan disfungsi yang dialami pada siang hari selama satu bulan terakhir. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

memiliki koefisien konsistensi dan reliabilitas (Cronbach’s alpha) sebesar 0.83 terhadap setiap domain yang diukur (Smyth, 2012). Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) telah divalidasi pada kedua populasi klinis

dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana (Brick et al, 2010).

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) terdiri dari sembilan belas item pertanyaan yang meliputi tujuh komponen, yakni kualitas tidur secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,

dan disfungsi pada siang hari (Smyth, 2012). Salah satu item pertanyaan pada PSQI hanya ditujukan untuk kepentingan klinis pasien sehingga tidak ditabulasikan dan dicantumkan pada kuesioner PSQI yang ditujukan untuk menilai kualitas tidur. Jumlah pertanyaan pada kuesioner PSQI yang hanya ditujukan untuk menilai kualitas tidur secara subyektif berjumlah

delapan belas pertanyaan (Buysse et al, 1989). Setiap dari nilai komponen tujuh tersebut diberi bobot yang sama dengan skala 0-3, 0 menunjukkan tidak ada


(10)

kesulitan dan 3 menunjukkan kesulitan yang parah. Jumlah skor untuk nilai tujuh komponen ini akan menghasilkan satu skor secara keseluruhan, mulai dari 0 hingga 21. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas tidur buruk, dan bila skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) secara keseluruhan > 5 maka seseorang tersebut memiliki kualitas tidur yang buruk

(Smyth, 2012). 2.2. Obesitas

2.2.1 Definisi obesitas

Obesitas adalah keadaan dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh. Obesitas sering dianggap sama dengan kenaikan berat badan yang berlebih, namun pada kenyataaanya orang dengan masa otot yang besar dengan berat badan yang berlebih tidak memiliki kondisi dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh. Metode yang paling sering digunakan untuk menentukan kondisi obesitas adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Pengukuran indeks masa tubuh ini

tidak menunjukkan distribusi jaringan adiposa di dalam tubuh secara langsung (Flier dan Maratos, 2008).

Indeks massa tubuh dihitung dengan cara membagikan berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.

Batasan IMT yang digunakan oleh WHO pada tahun 2011 adalah : - Kategori kurus IMT < 18,5 kg/m2

- Kategori normal IMT ≥18,5 - 22,9 kg/m2 - Kategori BB lebih IMT ≥23,0 – 24,9 kg/m2 - Kategori obesitas I IMT ≥25,0 – 29,9 kg/m2 - Kategori obesitas II IMT ≥30 kg/m2

2.2.2 Etiologi obesitas

Penyebab obesitas masih sulit dipahami (Flier dan Maratos, 2008). Penyebab obesitas banyak, dan sebagian masih belum jelas. Beberapa faktor yang mungkin terlibat adalah sebagai berikut :

2.2.2.1Gangguan jalur sinyal leptin. Sebagian kasus obesitas dilaporkan


(11)

dari adipokin utama jaringan adiposa yang berfungsi untuk menekan nafsu makan dan berperan dalam regulasi keseimbangan energi jangka panjang. Kemungkinan terjadi defek reseptor leptin di otak yang tidak berespon terhadap tingginya kadar leptin di dalam darah yang berasal dari jaringan

lemak. Sehingga otak tidak mendeteksi kadar leptin sebagai sinyal untuk menurunkan nafsu makan sampai titik patokan yang lebih tinggi tercapai. Selain gangguan respetor, gangguan lain dalam jalur lain dapat menjadi penyebab, misalnya gangguan transpor leptin menembus sawar darah otak atau defisiensi salah satu pembawa pesan kiniawi di jalur leptin (Sherwood, 2007).

2.2.2.2Kurang olahraga. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa orang gemuk tidak makan lebih banyak dibandingkan dengan orang

kurus. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa orang

dengan kelebihan berat tidak makan berlebihan tetapi

“kurang bergerak” - sindroma “couch potato” (menonton televisi sambil makan camilan). Tingkat aktivitas fisik yang rendah biasanya tidak disertai penurunan setara asupan makan (Sherwood, 2007). 2.2.2.3Perbedaan Termogenensis non-olahraga (nonexercise activity

thermogenesis, NEAT) atau fidget factor. NEAT dapat menjelaskan

beberapa variasi dalam penyimpanan lemak dalam tubuh. NEAT merujuk kepada energi yang dikeluarkan oleh aktivitas fisik

di luar olahraga yang direncanakan (Sherwood,2007)

2.2.2.4Perbedaan dalam mengekstraksi energi dari makanan. Orang yang

tubuhnya langsing dengan orang obesitas dapat memiliki perbedaan berat yang mencolok meskipun mereka mengonsumsi

jumlah kalori yang sama. Studi-studi memperlihatkan bahwa orang yang bertubuh langsing cenderung kurang memeroleh energi dari makanan yang mereka santap, karena mereka mengubah lebih banyak energi makanan menjadi panas daripada menjadi energi untuk digunakan atau disimpan. Hal ini dapat terjadi akibat orang


(12)

yang bertubuh langsing memiliki lebih banyak uncoupling protein yang memungkinkan sel sel mereka mengubah lebih banyak kalori menjadi panas dan bukan menjadi lemak. Mereka adalah orang yang dapat mampu makan dengan jumlah yang banyak tanpa mengalami penambahan berat badan. Hal yang sebaliknya terjadi pada obesitas,

sistem metabolik orang dengan obesitas lebih efisien dalam mengekstraksi energi dari makanan (Sherwood,2007)

2.2.2.5Kecenderungan herediter dan genetik. Perbedaan dalam jalur-jalur regulatorik untuk keseimbangan energi sering berasal dari varasi

genetik (Sherwood, 2007). Penelitian pada hewan pengerat, mutasi gen ob dapat mengakibatkan hyperphagia dan pengurangan pengeluaran energi. Produk dari gen ob ini adalah leptin. Leptin disekresi dari jaringan adiposa dan bekerja

pada hipotalamus. Kadar leptin yang tinggi akan mengurangi asupan makan dan meningkatkan pengeluaran energi. Gen ob ini ternyata dijumpai pada manusia dan diekspresikan di jaringan adiposa. Mutasi pada gen proopiomelanocortin (POMC) menyebabkan obesitas akibat gagalnya pembentukan α-MSH yang berfungsi untuk menekan nafsu makan di hipotalamus. Mutasi pada gen proenzyme

convertase 1 (PC-1) akan mencegah sintesis α-MSH melalui prekursornya yaitu proopiomelanocortin (POMC) yang

pada akhirnya akan mengakibatkan obesitas (Flier dan Maratos, 2008).

2.2.2.6Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan

berlebihan. Sekali sel lemak terbentuk, pembatasan makan dan penurunan berat badan tidak akan melenyapkan sel lemak

tersebut. Bahkan ketika seseorang yang berdiet telah kehilangan banyak lemak yang tersimpan dari sel lemak, sel sel tersebut tetap ada dan siap diisi kembali.


(13)

2.2.2.7Keberadaan penyakit endokrin tertentu misalnya hipotirodisme. Hipotiroidisme meningkatkan laju metabolik dasar sehingga tubuh membakar lebih banyak kalori dalam keadaan istirahat.

2.2.2.8Ketersediaan makanan yang melimpah, lezat, padat energi, dan relatif murah.

2.2.2.9Gangguan emosi dimana makan berlebihan menggantikan kepuasan yang lain (Sherwood, 2007). Faktor budaya memiliki perananan, dimana budaya dapat memengaruhi ketersediaan makanan, kandungan nutrisi pada makanan, dan tingkat aktifitas fisik suatu individu (Flier dan Maratos, 2008).

2.2.2.10 Keterkaitan dengan virus. Salah satu hipotesis mengaitkan virus flu biasa dengan kecenderungan mengalami kelebihan berat badan dan mungkin berperan pada sebagian kasus obesitas saat ini (Sherwood, 2007).

2.2.3 Mekanisme terjadinya obesitas

Obesitas terjadi akibat bertambahnya asupan energi, berkurangnya

pengeluaran energi, atau kombinasi keduanya (Flier dan Maratos, 2008). Jika kondisi ini berlanjut, kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk trigliserida

di jaringan adiposa (Sherwood, 2007). Hal ini akan mengakibatkan status keseimbangan energi positif. Secara teoritis, keseimbangan energi dalam tubuh dipertahankan dengan cara mengatur jumlah makanan yang masuk,

aktivitas fisik, atau kerja internal dan produksi panas. Tingkat aktivitas fisik secara prinsip berada dibawah kontrol kesadaran, dan mekanisme yang mengubah

tingkat kerja internal dan produksi panas terutama ditujukan untuk mengatur suhu tubuh dan bukan mengatur keseimbangan energi total. Kontrol asupan makanan agar menyamai pengeluaran energi adalah cara utama untuk mempertahankan keseimbangan energi netral. Regulasi asupan makanan adalah fakor terpenting dalam memelihara keseimbangan energi dan berat tubuh jangka panjang (Sherwood, 2007).

Asupan makanan dipengaruhi berbagai faktor yang terintegrasi di otak


(14)

tersebut berasal dari saraf aferen, hormon, dan metabolit tertentu. Informasi berupa distensi saluran cerna yang terjadi saat makanan ada di saluran cerna akan diteruskan melalui saraf aferen (saraf vagus) menuju

hipotalamus. Hormon-hormon yang terlibat adala leptin, insulin, kortisol, dan peptida pencernaan. Peptida pencernaan dihasilkan oleh saluran cerna meliputi

ghrelin, peptida YY, dan kolesistokinin. Ghrelin dihasilkan oleh lambung dan berfungsi untuk meningkatkan asupan makan. Peptida YY dan kolesistokinin

dihasilkan oleh usus halus yang akan menurunkan asupan makan dan menimbulkan sensasi kenyang setelah makan. Berbagai hormon yang bekerja di hipotalamus dalam mengatur asupan makan :

Menurunkan Nafsu Makan (Anoreksigenik)

Meningkatkan Nafsu Makan (Oreksigenik)

α-melanocyte-stimulating hormone (α -MSH)

Neuropeptida Y

Leptin Agouti related protein (AGRP)

Norepinefrin Asam Amino Glutamat dan γ

-Aminobutirat

Kolesistokinin Kortisol

Peptida YY Ghrelin

Leptin adalah sinyal penanda kenyang yang pertama kali diketahui. Leptin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh adiposit yang secara kolektif disebut adipokin. Peningkatan leptin dari simpanan lemak yang berkembang pesat akan menekan nafsu makan sehingga menurunkan konsumsi makananan dan mendorong penurunan berat badan. Leptin bekerja sebagai penekan nafsu makan dengan cara

menghambat neuropeptida Y(NPY) dan melanokortin di hipotalamus. Tabel 2.3 Hormon yang meregulasi asupan makan


(15)

Leptin dianggap sebagai faktor dominan yang bertanggung jawab dalam penyesuaian jangka panjang asupan makanan dengan pengeluaran energi

sehingga kandungan energi total tubuh tetap seimbang dan berat tubuh konstan.

Hormon lain selain leptin yang berperan dalam menekan asupan makanan adalah insulin. Insulin disekresikan oleh pankreas sebagai respon terhadap

peningkatan glukosa darah. Insulin akan menghambat sel penghasil neuropeptida Y(NPY) sehingga akan menekan asupan makan.

Metabolit seperti glukosa dapat memengaruhi asupan makanan. Kondisi hipoglikemia dapat menginduksi pusat lapar di hipotalamus dan meningkatkan asupan makanan (Flier dan Maratos, 2008).

Kerja berbagai hormon, peran metabolit, dan kerja sistem saraf akan memengaruhi pelepasan berbagai peptida di hipotalamus seperti neuropeptida

Y(NPY), Agouti-related peptide (AgRP), α-melanocyte-stimulating hormone

(α-MSH), dan melanin-concentrating hormone (MCH) yang kemudian Pusat

asupan makan Peptida

Saluran Cerna

CCK Ghrelin

PYY Faktor Psikologis

aktifitas saraf aferen

faktor budaya

leptin insulin kortisol

Metabolit, Glukosa,

Keton

Gambar 2.2 Regulasi Sistem Oreksin (Flier dan Maratos, 2008. Biology Of Obesity). In: Harrison Internal Med.


(16)

akan memengaruhi asupan makan. Faktor psikologis dan budaya juga berperan dalam asupan makanan.

Jika regulasi asupan makanan terjaga dengan baik dan dibarengi aktivitas

fisik yang sesuai maka keseimbangan energi netral akan tercapai. Kenaikan berat badan terjadi apabila asupan makanan lebih besar dari

pengeluarannya yang mengakibatkan keseimbangan energi positif. Pada kondisi obesitas, terjadi gangguan pada kerja leptin akibat ada defek pada reseptor insulin di otak sehingga otak tidak merespon terhadap peningkatan kadar leptin dalam darah yang berasal dari jaringan adiposa yang banyak. Akibatnya, asupan makan tidak ditekan dan adiposit akan terus memperbanyak jumlahnya agar dihasilkan

lebih banyak leptin untuk menekan asupan makan. Namun akibat defek pada reseptor leptin di otak, maka sekresi leptin ini menjadi sia-sia dan malah

menimbulkan simpanan jaringan lemak yang terus bertambah (Flier dan Maratos, 2008).

2.3 Obesitas dan Kualitas Tidur

Penelitian epidemiologi dan laboratorium menunjukkan bahwa durasi tidur

yang terlalu singkat adalah faktor resiko dari obesitas dan komplikasinya (Knutson, 2010). Tidur adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam

mengatur fungsi neuro-endokrin dan metabolisme glukosa dan kurang tidur telah dibuktikan mengakibatkan perubahan metabolik dan endokrin, seperti berkurangnya toleransi glukosa dan berubahnya regulasi hormon yang berperan dalam pengaturan asupan makan (Beccuti dan Pannain, 2011). Ghrelin, hormon yang akan meningkatkan asupan makanan, meningkat kadarnya akibat kurang tidur, kemudian leptin, hormon yang akan menurunkan asupan makanan, kadarnya menurun (Morselli et al, 2012).

Pada gambar 2.3, hubungan antara tidur dan asupan makan (orexin system) dan akibatnya terhadap kualitas tidur dan keseimbangan energi ditampilkan dalam bentuk skema. Sistem oreksin yang merangsang nafsu makan dihambat oleh neuron penginduksi tidur yang ada di ventrolateral preoptic area (VLPO) yang mengandung gamma-aminobutyric acid (GABA).


(17)

Sistem oreksin diatur oleh neuron neuron oreksigenik yang terletak di lateral

hipotalamus (lateral hypothalamic area) dan bagian belakang hipotalamus (posterior hypothalamus). Neuron neuron oreksigenik ini juga memiliki peran

dalam siklus bangun-tidur dengan cara mengaktifkan ascending arousal system,

seluruh bagian dari korteks serebri, dan struktur lainnya. Aktifitias neuron oreksigenik ini juga berpengaruh pada regulasi asupan makan dengan cara: (a) meningkatkan aktivitas neuron NPY; (b) menstimulasi

Sistem Oreksin LHA/PH

PVN NTS

Korteks

Arousal System

Aktivitas Simpatis Aktivitas

Simpatis Ghrelin

Leptin Tidur

(VLPO/GABA)

NPY; Nukleus arkuatus

Reward System

Perilaku Hedonis >>>> dalam asupan

Integrasi sinyal perifer untuk keseimbangan energi

Siklus Bangun-Tidur

Gambar 2.3 Kualitas tidur dengan Obesitas (Beccuti dan Pannain, 2011. Sleep and Obesity).


(18)

nucleus tractus solitarius (NTS) dan paraventricular nucleus (PVN), yang kemudian akan mengintegrasikan sinyal perifer tentang keseimbangan energi,

asupan makan, dan rasa kenyang; (c) menstimulasi reward system , yang berikutnya

akan meregulasi asupan makanan yang tidak normal; (d) meningkatkan aktivitas simpatis, yang kemudian akan menurunkan sekresi leptin dan

menstimulasi sekresi ghrelin (Pannain et al, 2008). Berkurangnya energy expenditure dan bertambahanya asupan makanan dalam

jangka waktu panjang dapat mengakibatkan berat badan berlebih dan obesitas (Almatsier, 2009).

Kerja dan sekresi hormon seperti insulin, growth hormone (GH), kortisol, leptin, dan ghrelin dipengaruhi oleh durasi tidur, waktu tidur, dan kualitas tidur (Steiger, 2003). Pada orang dengan waktu tidur yang sangat pendek, maka kadar leptin akan menurun dan kadar ghrelin ditemukan meningkat (Morselli et al, 2012). Kadar ghrelin dari perifer yang meningkat akan meningkatkan asupan makan

melalui stimulasi neuron oreksigenik (Beccuti dan Pannain, 2011). Durasi tidur yang pendek ini akan menyebabkan gangguan keseimbangan energi

dimana energy expenditure akan berkurang karena leptin berperan dalam meningkatkan energy expenditure (Schmid et al, 2009).

Hubungan antara kualitas tidur yang tidak baik dengan berat badan yang meningkat akan membentuk lingkaran setan yang selanjutnya akan memperburuk kualitas tidur. Lingkaran setan ini terjadi akibat berbagai hal yang dapat terjadi

akibat terganggunya regulasi berat badan. Obesitas menjadi faktor resiko dari kondisi kondisi yang dapat menyebabkan kualitas tidur seperti Obstructive

sleep apnea (Morselli et al, 2012). Obstructive sleep apnea terjadi pada obesitas akibat penimbunan lemak pada jalan nafas yang mengakibatkan penyempitan jalan

nafas yang kemudian mengganggu upaya ventilasi saat tidur. Gangguan pernafasan tersebut menyebabkan terhentinya pernafasan saat sehingga seorang penderita

OSA akan terbangun dan durasi tidur dan kualitas tidurnya akan terganggu

(Rahman et al, 2012). Kualitas tidur yang buruk kembali menjadi faktor resiko bagi peningkatan berat badan dan obesitas. Jika akibat kualitas tidur yang buruk


(19)

ini menyebabkan obesitas, maka obesitas akan memperburuk kondisi OSA dan kualitas tidur itu sendiri. Berdasarkan paradigma baru ini, OSA dapat

menyebabkan interaksi kompleks dengan perubahan perilaku, resistensi leptin, peningkatan kadar ghrelin, dan terjadinya perilaku makan yang tidak sehat (Beccuti dan Pannain, 2011).

2.4 Obstructive sleep apnea (OSA) 2.4.1 Definisi

Obstructive sleep apnea merupakan bentuk gangguan napas dalam tidur yang paling sering dijumpai. Sindrom henti napas saat tidur diartikan sebagai terhentinya aliran udara pada jalan nafas atas pada saat tidur lebih dari 10 detik disertai penurunan oksigen lebih dari 4% yang terjadi berulang kali hingga 20-60 kali per jam (Barton, 2010).

2.4.2 Mekanisme terjadinya OSA

Obstructive Sleep Apnea terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas atas selama penderitanya tidur. Obstruksi jalan nafas ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu kelainan anatomi pada saluran nafas atas dan gangguan fungsi saraf dan otot yang bekerja dalam mengatur otot pernafasan di saluran nafas atas (Schwartz et al, 2007).

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (Supinasi) dapat menyebabkan kolapsnya saluran nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah ke arah belakang. Faktor Struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia, dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA (Febriani et al, 2011).

Obesitas adalah faktor risiko utama OSA. Obesitas dapat menyebabkan peningkatan resiko OSA akibat efek mekanis dan kimiawi yang ditimbulkannya terhadap struktur dan fungsi jalan nafas (Schwartz et al, 2007). Penimbunan lemak yang berlebihan di jalan nafas atas dapat mengakibatkan penyempitan jalan nafas


(20)

yang kemudian dapat mengakibatkan penutupan prematur jalan nafas pada saat jaringan otot di sepanjang jalan nafas sedang relaksasi sewaktu tidur. Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada akan

menekan paru paru sehingga mengganggu upaya ventilasi pada saat tidur (Febriani et al, 2011).

Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan kadar leptin di dalam darah yang

diakibatkan oleh berlebihnya jaringan adiposa yang menghasilkan leptin. Leptin tidak hanya berperan pada sistem oreksin namun juga berperan dalam

kontrol ventilasi. Kadar dan fungsi leptin yang tidak adekuat pada kondisi obesitas diduga berdampak pada gangguan pada kontrol ventilasi. Leptin bersama adipokin lainnya, seperti TNF-α dan interleukin-6 dapat mengakibatkan depresi aktivitas

susunan saraf pusat yang mengatur saraf-otot pada saluran nafas (Romero-Corral et al, 2009).

Gangguan Metabolik:  Resistensi Insulin >>  Leptin>>

 Kolestrol>>  Lemak Visceral>>  Trigliserida>>

 C-reactive protein> >  HDL <<

OSA

Obesitas Kualitas

Tidur << Nafsu makan >>

Aktifitas fisik <<

Genetik dll Gangguan tidur dan Psikologis

Gambar 2.4 Hubungan obesitas dengan OSA (Romero-Corral et al, 2009. Interactions Between Obesity and OSA.


(21)

2.4.3 Diagnosis

Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian. Keluhan tersering adalah rasa kantuk harian dan terganggunya tidur malam. Gejala klasik pada pasien dengan OSA selain mendengkur saat tidur adalah excessive daytime sleepiness yaitu sering tertidur saat melakukan kegiatan sehari-hari terutama siang hari. Laporan teman tidur pasien yang menyaksikan langsung apnea nokturnal merupakan gejala terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat keluhan sakit kepala, lelah saat bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan, refluks asam lambung, episode seperti tercekik atau terengah-engah di malam hari,

nokturia hingga gejala berat seperti gangguan kognitif. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan

leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher (Febriani et al, 2011).

Pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis OSA adalah dengan polisomnografi. Variabelnya adalah Electroencephalogram (EEG), Electromyogram (EMG), Electrooculogram (EOG), Electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen perifer, intensitas mendengkur, aliran udara naso-oral, pergerakan dinding dada dan dinding perut, maka akan didapatkan informasi mengenai efisiensi tidur, posisi tidur, frekuensi dan penyebab pasien terbangun, timbulnya gangguan pernapasan saat tidur, fluktuasi saturasi oksigen dan aritmia jantung spesifik, dari seluruh rekaman tersebut dihitung jumlah apnea dan hipopnea untuk menentukan Apnea-Hypopnea Index (AHI) (Febriani et al, 2011).

2.4.5 Kuesioner Berlin

Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA. Netzer et al pada tahun 1999 membuat kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki respiratory disturbance index (RDI) >5 (Netzer et al, 1999).

Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan


(22)

utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu

kategori 1 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS);

kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi atau IMT) (Netzer et al., 1999).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang bersifat persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) yang ditemukan pada ≥ 2 pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat

mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat

tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30k g/m Jika seseorang berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi

menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer et al., 1999).

2.5 Aktivitas Olahraga 2.5.1 Definisi olahraga

Menurut Gale Encyclopedia of Medicine (2008), olahraga adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, dan dikerjakan secara berulang dan bertujuan memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani.

2.5.2 Jenis-jenis olahraga

Ada dua jenis olahraga berdasarkan penggunaan oksigen oleh sel, yaitu olahraga aerobik dan anaerobik. Olahraga aerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang melibatkan otot-otot besar dan dilakukan dalam intensitas yang cukup rendah serta dalam waktu yang cukup lama. Latihan aerobik dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskular dan untuk menurunkan berat badan. Olahraga jenis ini sangat dianjurkan pada orang yang mengalami obesitas


(23)

atau overweight. Aktivitas fisik yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan cepat, jogging atau lari-lari kecil, renang, dansa, atau bersepeda (Sherwood, 2007). Frekuensi atau jumlah hari untuk olahraga dalam seminggu yang dianjurkan adalah 3-7 hari perminggu selama 20-30 menit (AHA, 2001).

Olahraga anaerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang tidak memerlukan oksigen dalam pelaksanaannya. Olahraga ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (CDC, 2011). Latihan-latihan yang dimaksud di sini adalah angkat beban. Dianjurkan untuk melakukan olahraga angkat beban dengan satu set mengandung 12-20 kali repetisi dengan angkat beban ringan dan 8-12 repetisi angkat beban berat untuk membentuk massa otot. Disarankan terdapat masa recovery yaitu 0-180 detik di antara dua set. Hal ini untuk mencegah kelelahan otot yang lebih cepat (AHA, 2001).

2.5.3 Olahraga dan kualitas tidur

Kebiasaan olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang dapat berperan serta mengatur siklus tidur seseorang. Mereka yang kurang dalam beraktivitas olahraga akan memicu seseorang menjadi sulit untuk masuk pada fase kedalaman tidur atau tidur yang dalam. Selain itu, seseorang yang biasa berolahraga maka akan lebih mudah untuk jatuh tidur. Dimana, hal ini juga disebabkan oleh keletihan yang biasanya mereka rasakan setelah selesai berolahraga (Sulistiyani, 2012). Olahraga juga memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kualitas tidur, menurunkan latensi tidur, dan mengurangi penggunaan obat tidur (Yang et al, 2012).

Olahraga yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dapat memberi dampak yang tidak menguntungkan terhadap kualitas tidur. Olahraga mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan suhu tubuh secara fisiologis akan terjadi dalam waktu enam jam. Suhu tubuh yang rendah adalah salah satu

faktor penting agar seseorang dapat memulai tidurnya dengan baik. Oleh karena itu, berolahraga saat sore hari lebih dianjurkan daripada berolahraga


(24)

2.6 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga

Kualitas tidur yang buruk

Kadar ghrelin naik kadar leptin

turun

Pengeluran energi olahraga

turun

Deposisi lemak di jalan nafas dan diafragma Kebiasaan

berolahraga<<

obesitas

Perilaku sedentari Perilaku

makan hedonis Nafsu

makan naik

Depresi sistem saraf pengatur otot ventilasi

Faktor risiko OSA dan OSA

Gambar 2.5 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga (Beccuti dan Pannain, 2011. Sleep and Obesity).


(1)

ini menyebabkan obesitas, maka obesitas akan memperburuk kondisi OSA dan kualitas tidur itu sendiri. Berdasarkan paradigma baru ini, OSA dapat

menyebabkan interaksi kompleks dengan perubahan perilaku, resistensi leptin, peningkatan kadar ghrelin, dan terjadinya perilaku makan yang tidak sehat (Beccuti dan Pannain, 2011).

2.4 Obstructive sleep apnea (OSA) 2.4.1 Definisi

Obstructive sleep apnea merupakan bentuk gangguan napas dalam tidur yang paling sering dijumpai. Sindrom henti napas saat tidur diartikan sebagai terhentinya aliran udara pada jalan nafas atas pada saat tidur lebih dari 10 detik disertai penurunan oksigen lebih dari 4% yang terjadi berulang kali hingga 20-60 kali per jam (Barton, 2010).

2.4.2 Mekanisme terjadinya OSA

Obstructive Sleep Apnea terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas atas selama penderitanya tidur. Obstruksi jalan nafas ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu kelainan anatomi pada saluran nafas atas dan gangguan fungsi saraf dan otot yang bekerja dalam mengatur otot pernafasan di saluran nafas atas (Schwartz et al, 2007).

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (Supinasi) dapat menyebabkan kolapsnya saluran nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah ke arah belakang. Faktor Struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia, dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA (Febriani et al, 2011).

Obesitas adalah faktor risiko utama OSA. Obesitas dapat menyebabkan peningkatan resiko OSA akibat efek mekanis dan kimiawi yang ditimbulkannya terhadap struktur dan fungsi jalan nafas (Schwartz et al, 2007). Penimbunan lemak yang berlebihan di jalan nafas atas dapat mengakibatkan penyempitan jalan nafas


(2)

yang kemudian dapat mengakibatkan penutupan prematur jalan nafas pada saat jaringan otot di sepanjang jalan nafas sedang relaksasi sewaktu tidur. Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada akan

menekan paru paru sehingga mengganggu upaya ventilasi pada saat tidur (Febriani et al, 2011).

Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan kadar leptin di dalam darah yang

diakibatkan oleh berlebihnya jaringan adiposa yang menghasilkan leptin. Leptin tidak hanya berperan pada sistem oreksin namun juga berperan dalam

kontrol ventilasi. Kadar dan fungsi leptin yang tidak adekuat pada kondisi obesitas diduga berdampak pada gangguan pada kontrol ventilasi. Leptin bersama adipokin lainnya, seperti TNF-α dan interleukin-6 dapat mengakibatkan depresi aktivitas

susunan saraf pusat yang mengatur saraf-otot pada saluran nafas (Romero-Corral et al, 2009).

Gangguan Metabolik:  Resistensi Insulin >>  Leptin>>

 Kolestrol>>  Lemak Visceral>>  Trigliserida>>

 C-reactive protein> >  HDL <<

OSA

Obesitas Kualitas

Tidur << Nafsu makan >>

Aktifitas fisik <<

Genetik dll Gangguan tidur dan Psikologis

Gambar 2.4 Hubungan obesitas dengan OSA (Romero-Corral et al, 2009. Interactions Between Obesity and OSA.


(3)

2.4.3 Diagnosis

Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian. Keluhan tersering adalah rasa kantuk harian dan terganggunya tidur malam. Gejala klasik pada pasien dengan OSA selain mendengkur saat tidur adalah excessive daytime sleepiness yaitu sering tertidur saat melakukan kegiatan sehari-hari terutama siang hari. Laporan teman tidur pasien yang menyaksikan langsung apnea nokturnal merupakan gejala terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat keluhan sakit kepala, lelah saat bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan, refluks asam lambung, episode seperti tercekik atau terengah-engah di malam hari,

nokturia hingga gejala berat seperti gangguan kognitif. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan

leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher (Febriani et al, 2011).

Pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis OSA adalah dengan polisomnografi. Variabelnya adalah Electroencephalogram (EEG), Electromyogram (EMG), Electrooculogram (EOG), Electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen perifer, intensitas mendengkur, aliran udara naso-oral, pergerakan dinding dada dan dinding perut, maka akan didapatkan informasi mengenai efisiensi tidur, posisi tidur, frekuensi dan penyebab pasien terbangun, timbulnya gangguan pernapasan saat tidur, fluktuasi saturasi oksigen dan aritmia jantung spesifik, dari seluruh rekaman tersebut dihitung jumlah apnea dan hipopnea untuk menentukan Apnea-Hypopnea Index (AHI) (Febriani et al, 2011).

2.4.5 Kuesioner Berlin

Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA. Netzer et al pada tahun 1999 membuat kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki respiratory disturbance index (RDI) >5 (Netzer et al, 1999).

Kuesioner Berlin terdiri dari 10 pertanyaan, yaitu satu pertanyaan utama dan empat pertanyaan tambahan untuk menilai gejala mendengkur; tiga pertanyaan


(4)

utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu

kategori 1 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS);

kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi atau IMT) (Netzer et al., 1999).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang bersifat persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) yang ditemukan pada ≥ 2 pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat

mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat

tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30k g/m Jika seseorang berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi

menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer et al., 1999).

2.5 Aktivitas Olahraga 2.5.1 Definisi olahraga

Menurut Gale Encyclopedia of Medicine (2008), olahraga adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, dan dikerjakan secara berulang dan bertujuan memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani.

2.5.2 Jenis-jenis olahraga

Ada dua jenis olahraga berdasarkan penggunaan oksigen oleh sel, yaitu olahraga aerobik dan anaerobik. Olahraga aerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang melibatkan otot-otot besar dan dilakukan dalam intensitas yang cukup rendah serta dalam waktu yang cukup lama. Latihan aerobik dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskular dan untuk menurunkan berat badan. Olahraga jenis ini sangat dianjurkan pada orang yang mengalami obesitas


(5)

atau overweight. Aktivitas fisik yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan cepat, jogging atau lari-lari kecil, renang, dansa, atau bersepeda (Sherwood, 2007). Frekuensi atau jumlah hari untuk olahraga dalam seminggu yang dianjurkan adalah 3-7 hari perminggu selama 20-30 menit (AHA, 2001).

Olahraga anaerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang tidak memerlukan oksigen dalam pelaksanaannya. Olahraga ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (CDC, 2011). Latihan-latihan yang dimaksud di sini adalah angkat beban. Dianjurkan untuk melakukan olahraga angkat beban dengan satu set mengandung 12-20 kali repetisi dengan angkat beban ringan dan 8-12 repetisi angkat beban berat untuk membentuk massa otot. Disarankan terdapat masa recovery yaitu 0-180 detik di antara dua set. Hal ini untuk mencegah kelelahan otot yang lebih cepat (AHA, 2001).

2.5.3 Olahraga dan kualitas tidur

Kebiasaan olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang dapat berperan serta mengatur siklus tidur seseorang. Mereka yang kurang dalam beraktivitas olahraga akan memicu seseorang menjadi sulit untuk masuk pada fase kedalaman tidur atau tidur yang dalam. Selain itu, seseorang yang biasa berolahraga maka akan lebih mudah untuk jatuh tidur. Dimana, hal ini juga disebabkan oleh keletihan yang biasanya mereka rasakan setelah selesai berolahraga (Sulistiyani, 2012). Olahraga juga memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kualitas tidur, menurunkan latensi tidur, dan mengurangi penggunaan obat tidur (Yang et al, 2012).

Olahraga yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dapat memberi dampak yang tidak menguntungkan terhadap kualitas tidur. Olahraga mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan suhu tubuh secara fisiologis akan terjadi dalam waktu enam jam. Suhu tubuh yang rendah adalah salah satu

faktor penting agar seseorang dapat memulai tidurnya dengan baik. Oleh karena itu, berolahraga saat sore hari lebih dianjurkan daripada berolahraga


(6)

2.6 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga

Kualitas tidur yang buruk

Kadar ghrelin naik kadar leptin

turun

Pengeluran energi olahraga

turun

Deposisi lemak di jalan nafas dan diafragma Kebiasaan

berolahraga<<

obesitas

Perilaku sedentari Perilaku

makan hedonis Nafsu

makan naik

Depresi sistem saraf pengatur otot ventilasi

Faktor risiko OSA dan OSA

Gambar 2.5 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga (Beccuti dan Pannain, 2011. Sleep and Obesity).