Analisis Implementasi Program Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue Dalam Menurunkan Insiden Dbd Berbasis Kelurahan Di Kota Medan Tahun 2014
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan
2.1.1 Defenisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan
alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompokkelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya
(Winarno, 2012).
Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan publik.
Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
dan penilaian kebijakan (Winarno, 2012).
Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari
keseluruhan
proses
perencanaan
program/kebijakan.
Kebijakan
yang
telah
direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa
kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun
kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya
policy makersuntuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. (Subarsono, 2005)
Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003) meyatakan bahwa implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program,
dimana
pada
posisi
ini
eksekutif
mengatur
cara
untuk
mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien
sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta
melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang
dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Pressman dan Wildavsky (Solichin, 1997) menyatakan bahwa sebuah kata
kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata
benda kebijaksanaan. Senada dengan ini, Van Meter dan Van Horn memberikan
batasan terhadap konsep implementasi dengan menyatakan bahwa implementasi
kebijakan adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok), pemerintah, atau swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan
besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Lineberry dalam Putra (2003) menyatakan implementasi adalah tindakantindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Wahab
(2005) implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya
dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Proses
ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk
pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikanperbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan.
Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta
rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.
Sebelum dilakukan pelayanan publik, tentunya akan dirumuskan kebijakan
untuk mengatur teknis pelayanan tersebut kepada masyarakat pengguna. Bagaimana
agar kebijakan publik yang dirumuskan sesuai dengan yang diinginkan oleh
masyarakat, adalah merupakan titik pangkal dari keberhasilan Pemerintah Daerah
dalam menerima dan mengimplementasikannya.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan
adalah:
1.
Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program
kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2.
Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program
kedalam tujuan kebijakan.
3.
Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah
dan lain-lain (Tangkilisan, 2003).
Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan
tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh
keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya
setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk
membiayai
implementasi kebijakan tersebut (Winarno, 2012).
Dengan demikian kebijakan publik merupakan sebuah awal dan belum dapat
dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang
jauh lebih esensial adalah pada tahapan implementasi kebijakan yang ditetapkan.
Karena kebijakan adalah suatu perkiraan akan masa depan yang lebih bersifat semu,
abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi
dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah
keberhasilan maupun ketidakberhasilan akan diketahui.
Suatu kebijakan (publik) dikatakan berhasil bila dalam implementasinya
mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Pertanyaannya adalah ketika suatu
kebijakan tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai
kebijakan yang berhasil, Peters (dalam Tangkilisan, 2003) mengatakan bahwa:
“Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu informasi, di
mana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang
kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi
kebijakan itu; isi kebijakan, dimana implementasi kebijakan dapat gagal karena masih
samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern
ataupun ekstern kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan
publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk
kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan pembagian
potensi di antaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana
dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang”.
2.1.2 Model-model Implementasi Kebijakan
Untuk melaksanakan kegiatan dalam tahap implementasi maka dapat dilihat
dari berbagai model implementasi kebijakan. Berikut ini model-model implementasi
kebijakan:
1. Model Donald S. van Meter dan Carl E. van Horn
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier
dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Donal S Van Meter
dan Carl E Van Horn menerapkan model implementasi dengan lebih memfokuskan
ke sisi teknisnya. Menurut Meter dan Horn (Indiahono, 2009), ada enam variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
a.
Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan pada dsarnya
adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan.
b.
Sumber daya. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan financial
dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.
c.
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas. Hal ini menunjuknkepada
mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan
program.
d.
Karakterisktik agen pelaksana. Hal ini menunjuk seberapa besar daya dukung
struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang
terjadi di internal birokrasi.
e.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menunjuk bahwa kondisi dalam ranah
implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi itu sendiri.
f.
Disposisi implementor. Hal ini menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi
variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias,
dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat
ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.
2. Model Merilee S. Grindle
Keberhasilan implementasi menurut Grindle dipengaruhi oleh dua variabel
besar, yaitu isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan mencakup
tentang kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan
dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa
pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks
implementasinya lebih mencakup ke arah politis seperti kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; kepatuhan dan daya
tanggap (Dwidjowijoto, 2006).
3. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006) menklasifikasikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu
mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah
teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang
dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi
tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana,
dukungan publik, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen serta kualitas
kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan
dalam proses implementasi dengan lima tahapan. Yaitu, pemahaman dari
lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan
obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah
kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
4. Model George C. Edwards III
Model implemetasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat
dari sisi administrasinya .Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
a.
Komunikasi.
Keberhasilan
implementasi
kebijakan
mensyaratkan
agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok
sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b.
Sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan
hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat
berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya
finansial serta fasilitas-fasilitas.
c.
Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis. Apabila
implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak
efektif.
d.
Struktur Birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah
adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP).
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
(Subarsono, 2005).
2.2 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
DBD atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 406/Menkes/SK/III/20004 tentang penetapan kondisi kejadian
luar biasa demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes RI, 2004). Dan Permenkes
RI Nomor 1501/Menkes/PER/X/2010 tentang penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan (Depkes RI, 2010).
Ada tiga faktor yang memegang peranan penting pada penularan penyakit
DBD, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang infeksius dan nyamuk Aedes
aegypti dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viraemia (Depkes RI, 2004).
2.2.1 Perilaku Nyamuk Aedes Aegypti
Biasanya nyamuk
Aedes aegypti mencari mangsanya pada siang hari.
Aktivitas mengigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan dua puncak
aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain,
nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali untuk
memenuhi lambungnya dengan darah sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai
penular penyakit. Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di
dalam
atau
kadang-kadang
di
luar
rumah
berdekatan
dengan
tempat
perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempattempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Hadinegoro, 2005).
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina Aedes
aegypti akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di
atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetes menjadi jentik dalam waktu
2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umumnya
nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Setiap bertelur nyamuk betina dapat
mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air)
dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2°C dan -42°C, dan bila tempat-tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya maka telur dapat menetes lebih
cepat (Depkes RI, 2007).
2.2.2 Tempat Potensial Bagi Penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya, antara lain:
1. Wilayah yang banyak kasus (endemis).
2. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah, sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat tersebut antara lain
sekolah, rumah sakit, pertokoan dll.
3. Pemukiman baru di pinggir kota.
Karena di lokasi ini penduduknya berasal dari berbagai wilayah, maka
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa virus
dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal (Depkes RI, 2007).
2.2.3 Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter
namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah
lebih jauh Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia
nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum.
Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian ± 1000
meter dari permukaan air laut.Di atas ketinggian 1000 meter tidak dapat
berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga
tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2007).
2.2.4 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan DBD
Sebagaimana diketahui cara pencegahan dan pemberantasan DBD yang dapat
dilakukan saat ini adalah memberantas vektor yaitu nyamuk penular Aedes aegypti
dan pemberantasan terhadap jentik-jentiknya, karena vaksin untuk mencegah dan
obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara yang dianggap paling tepat
adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) yang
harus didukung oleh peran serta masyarakat.
Apabila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka populasi
nyamuk Aedes aegypti akan dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan
DBD tidak terjadi lagi. Upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus, karena keberadaan jentik
nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 2007).
Hadinegoro (2005), menyatakan bahwa strategi dalam pencegahan DBD,
meliputi:
1. Fogging
Fogging dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan insektisida, mengingat
kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka
penyemprotan tidak dilakukan pada dinding rumah. Kegiatan fogging hanya
dilakukan jika ditemukan penderita/tersangka penderita DBD lain, atau sekurangkurangnya ada 3 orang penderita tanpa sebab yang jelas dan ditemukannya jentik
nyamuk Aedes aegypti di lokasi.
2. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui
media massa, tempat ibadah, kader/PKK dan kelompok masyarakat lainnya. Kegiatan
ini dilakukan setiap saat pada beberapa kesempatan. Selain penyuluhan kepada
masyarakat luas, penyuluhan juga dilakukan secara individu melalui kegiatan
Pemantauan Jentik Nyamuk (PJB).
3. Pemantuan jentik berkala
Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 (tiga) bulan di rumah dan
tempat-tempat umum. Diharapkan Angka Bebas Jentik (ABJ) setiap kelurahan/desa
dapat mencapai lebih dari 95% akan dapat menekan penyebaran DBD.
4. Penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Cara yang tepat dalam pencegahan DBD adalah dengan melaksanakan PSNDBD, dapat dilakukan dengan cara antara lain:
-
Fisik, cara ini dikenal dengan ”3M” yaitu: menguras dan menyikat bak mandi
secara teratur seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air rumah
tangga (tempayan, drum dan lain-lain), mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dan lain-lain).
Berdasarkan fakta ini, Depkes RI telah menetapkan program PSN DBD
sebagai program prioritas dalam pencegahan dan penanggulangan DBDdi
Indonesia. Sebagai landasan hukum pelaksanaan PSN DBD adalah Surat
Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/1002
Tahun 1992 tentang PSN DBD dan Pembentukan Kelompok Kerja
Operasional Demam Berdarah Dengue (POKJANAL), juga ditunjang dengan
KEPMENKES 1457 Tahun 2003 tentang Standart Pelayanan Minimal yang
menguatkan pentingnya upaya pengendalian DBD di Indonesia hingga ke
tingkat kabupaten/kota bahkan sampai ke desa. Berbagai bentuk kegiataan
PSN DBD yang saat ini dilaksanakan di Indonesia baik secara nasional
maupun regional, antara lain gerakan 3 M
(menguras, menutup, dan mengubur).
-
Kimia, cara memberantas jentik Aedes aegypti
dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida
yang biasa digunakan adalah temephos fomulasi yang digunakan adalah
dalam bentuk granule (sand granules), dengan dosis 1 ppm atau 100gram (± 1
sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temophos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Larvasida yang lain yang dapat digunakan
adalah golongan insect growth regulato.
-
Biologi, pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan cara biologi adalah
dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan
cupang dan lain-lain).
Selain itu ditambah juga dengan cara lain:
1. Mengganti air dalam vas bunga, tempat minum burung, atau tempat-tempat lain
yang sejenis seminggu sekali.
2. Menutup lubang-lubang dan potongan bambu.
3. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.
4. Memakai obat/ lotion yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
5. Memasang kawat kasa.
6. Menggunakan kelambu.
7. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.
8. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak (Depkes RI, 2007).
2.2.5 Variasi Musiman Nyamuk Aedes Aegypti
Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang
pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air, telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas, selain itu pada musim hujan semakin banyak
tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk ini.
Oleh karena
itu
pada
musim
hujan
populasi Aedes aegypti meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan
salah
satu
faktor
yang
menyebabkan peningkatan penularan penyakit DBD
(Depkes RI, 2005).
2.2.6 Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti ditemukan hampir di semua daerah perkotaan di
daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara. Akhir-akhir ini juga ditemukan di
daerah pedesaan, akibat penyebaran penduduk/tempat pemukiman baru dan sistem
transportasi yang lancar.Aedes albopictus menyukai tempat yang jauh dari tempat
tinggal manusia sedangkan nyamuk Aedes aegypti sangat berperan dalam penularan
penyakit DBD karena hidupnya berada di dalam dan di sekitar rumah penduduk.
Nyamuk ini sangat senang berkembangbiak di tempat penampungan air
karena tempat itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk ini tidak dapat
hidup dan berkembangbiak di daerah yang berhubungan langsung dengan tanah. Jenis
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Tempat-tempat penampungan (wadah) air di dalam atau di sekitar rumah tangga,
rumah ibadah, bangunan pabrik, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya,
seperti drum, tangki, tempayan dan lain-lain. Biasanya tidak melebihi jarak 500
meter dari pemukiman penduduk tersebut.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat
minum burung, vas bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air.
c. Tempat penampungan air yang alamiah, seperti pelepah daun, tempurung kelapa
dan lain-lain (Hindra, 2004).
2.2.7 Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan DBD oleh Masyarakat
Kegiataan pencegahan DBD yang melibatkan masyarakat adalah:
1.
Pergerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Pelaksana
: masyarakat di lingkungan masing-masing, yang sebelumnya
telah diberikan pengarahan langsung oleh Ketua RT/RW, tokoh
masyarakat (Toma), dan kader.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: semua tempat potensial bagi perindukan nyamuk; tempat
penampungan air, lubang/pohon dll.
Cara
2.
: melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur).
Penggerakan masyarakat dalam menaburkan bubuk larvasida.
Pelaksana
: tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas kesehatan.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan di tempat-tempat
umum.
Cara
: larvasida dilakukan di seluruh wilayah terjangkit, dengan
menaburkan larvasida sesuai takaran.
3.
Penyuluhan
Pelaksana
: petugas kesehatan, kader masyarakat atau kelompok kerja
(POKJA) DBD desa/kelurahan
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: seluruh masyarakat.
Cara
: memberikan pengarahan dan informasi tentang cara-cara
pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh individu,
keluarga, dan masyarakat serta situasi DBD di wilayahnya.
2.3 Landasan Teori
Suatu kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah merupakan
upaya pemecahan masalah publik yang timbul.Program pemberantasan DBD yang
dibuat oleh pemerintah adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberantasan
DBD dan mengurangi insiden DBD yang memprioritaskan pada upaya promotif dan
preventif.
Setelah suatu kebijakan diformulasikan atau ditetapkan selanjutnya akan
memasuki tahap implementasi kebijakan, yang dianggap sebagai tahap yang paling
menentukan dalam proses suatu kebijakan. Menurut Akib (2010) bahwa
implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan
pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk
menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), ada 4 faktor yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor
sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi. Keempat faktor tersebut tidak
berdiri sendiri namun saling berkaitan dalam memengaruhi proses implementasi
sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut ;
Komunikasi
Sumber
Daya
Implementasi
Struktur
Birokrasi
Sikap
Gambar 2.1 Model Implementasi Menurut George Edwards III
Sumber: Subarsono (2005)
Setiap
kebijakan
publik
yang
telah
diimplementasikan
semestinya
memerlukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.Hal
ini sesuai dengan pendapat Tuckman (1985) yang mengemukakan bahwa evaluasi
adalah suatu proses untuk mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan,proses
kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah
ditentukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rossi (2004) yang dikutip oleh
Harris (2010) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah penggunaan pengujian atau
penelitian untuk mengetahui efektifitas suatu program.
Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui
sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena
efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah
ditetapkan.
Melalui
penilaian
efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan
kelanjutan suatu program.
Efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986) yang dikutip oleh
M.Fazhrin (2012), adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi
atau sesungguhnya (OS), jika OS > OA disebut efektif.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk mengetahui gambaran implementasi
kebijakan program pencegahan dan penanggulangan DBD dalam
menurunkan
insiden DBD berbasis kelurahan di Kota Medan Tahun 2014 dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Untuk
menganalisa faktor-faktor
yang memengaruhi implementasi
kebijakan, peneliti menggunakan teori George Edwards III yang menyatakan
bahwa ada 4
faktor yang
implementasi kebijakan yaitu:
mempengaruhi
keberhasilan
dan
kegagalan
1). Komunikasi, 2) Sumber daya, 3). Disposisi
dan 4). Struktur birokrasi.
2.4 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam gambar berikut:
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
(TEORI GEORGE
EDWARDS III) :
- KOMUNIKASI
- SUMBER DAYA
- DISPOSISI
- STRUKTUR
IMPLEMENTASI
PROGRAM
PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN
DBD
BIROKRASI
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan
2.1.1 Defenisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan
alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau
tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompokkelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya
(Winarno, 2012).
Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan publik.
Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
dan penilaian kebijakan (Winarno, 2012).
Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari
keseluruhan
proses
perencanaan
program/kebijakan.
Kebijakan
yang
telah
direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa
kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun
kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya
policy makersuntuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia
memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. (Subarsono, 2005)
Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003) meyatakan bahwa implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program,
dimana
pada
posisi
ini
eksekutif
mengatur
cara
untuk
mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga
dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien
sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta
melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang
dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Pressman dan Wildavsky (Solichin, 1997) menyatakan bahwa sebuah kata
kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata
benda kebijaksanaan. Senada dengan ini, Van Meter dan Van Horn memberikan
batasan terhadap konsep implementasi dengan menyatakan bahwa implementasi
kebijakan adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok), pemerintah, atau swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan
besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Lineberry dalam Putra (2003) menyatakan implementasi adalah tindakantindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta yang diarahkan pada
pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.
Sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Wahab
(2005) implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya
dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Proses
ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk
pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikanperbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan.
Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta
rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.
Sebelum dilakukan pelayanan publik, tentunya akan dirumuskan kebijakan
untuk mengatur teknis pelayanan tersebut kepada masyarakat pengguna. Bagaimana
agar kebijakan publik yang dirumuskan sesuai dengan yang diinginkan oleh
masyarakat, adalah merupakan titik pangkal dari keberhasilan Pemerintah Daerah
dalam menerima dan mengimplementasikannya.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan
adalah:
1.
Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program
kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2.
Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program
kedalam tujuan kebijakan.
3.
Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah
dan lain-lain (Tangkilisan, 2003).
Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan
tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh
keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya
setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk
membiayai
implementasi kebijakan tersebut (Winarno, 2012).
Dengan demikian kebijakan publik merupakan sebuah awal dan belum dapat
dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang
jauh lebih esensial adalah pada tahapan implementasi kebijakan yang ditetapkan.
Karena kebijakan adalah suatu perkiraan akan masa depan yang lebih bersifat semu,
abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi
dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah
keberhasilan maupun ketidakberhasilan akan diketahui.
Suatu kebijakan (publik) dikatakan berhasil bila dalam implementasinya
mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Pertanyaannya adalah ketika suatu
kebijakan tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai
kebijakan yang berhasil, Peters (dalam Tangkilisan, 2003) mengatakan bahwa:
“Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu informasi, di
mana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang
kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi
kebijakan itu; isi kebijakan, dimana implementasi kebijakan dapat gagal karena masih
samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern
ataupun ekstern kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan
publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk
kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan pembagian
potensi di antaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana
dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang”.
2.1.2 Model-model Implementasi Kebijakan
Untuk melaksanakan kegiatan dalam tahap implementasi maka dapat dilihat
dari berbagai model implementasi kebijakan. Berikut ini model-model implementasi
kebijakan:
1. Model Donald S. van Meter dan Carl E. van Horn
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier
dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Donal S Van Meter
dan Carl E Van Horn menerapkan model implementasi dengan lebih memfokuskan
ke sisi teknisnya. Menurut Meter dan Horn (Indiahono, 2009), ada enam variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:
a.
Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan pada dsarnya
adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan.
b.
Sumber daya. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan financial
dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.
c.
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas. Hal ini menunjuknkepada
mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan
program.
d.
Karakterisktik agen pelaksana. Hal ini menunjuk seberapa besar daya dukung
struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang
terjadi di internal birokrasi.
e.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menunjuk bahwa kondisi dalam ranah
implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi itu sendiri.
f.
Disposisi implementor. Hal ini menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi
variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias,
dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat
ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.
2. Model Merilee S. Grindle
Keberhasilan implementasi menurut Grindle dipengaruhi oleh dua variabel
besar, yaitu isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan mencakup
tentang kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan
dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa
pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks
implementasinya lebih mencakup ke arah politis seperti kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; kepatuhan dan daya
tanggap (Dwidjowijoto, 2006).
3. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006) menklasifikasikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu
mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah
teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang
dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk
menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi
tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan
hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana,
dukungan publik, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen serta kualitas
kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan
dalam proses implementasi dengan lima tahapan. Yaitu, pemahaman dari
lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan
obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah
kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
4. Model George C. Edwards III
Model implemetasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat
dari sisi administrasinya .Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
a.
Komunikasi.
Keberhasilan
implementasi
kebijakan
mensyaratkan
agar
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok
sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b.
Sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan
hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat
berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya
finansial serta fasilitas-fasilitas.
c.
Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis. Apabila
implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak
efektif.
d.
Struktur Birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan
kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah
adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP).
Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
(Subarsono, 2005).
2.2 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
DBD atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 406/Menkes/SK/III/20004 tentang penetapan kondisi kejadian
luar biasa demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes RI, 2004). Dan Permenkes
RI Nomor 1501/Menkes/PER/X/2010 tentang penyakit menular tertentu yang dapat
menimbulkan wabah dan upaya penanggulangan (Depkes RI, 2010).
Ada tiga faktor yang memegang peranan penting pada penularan penyakit
DBD, yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang infeksius dan nyamuk Aedes
aegypti dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viraemia (Depkes RI, 2004).
2.2.1 Perilaku Nyamuk Aedes Aegypti
Biasanya nyamuk
Aedes aegypti mencari mangsanya pada siang hari.
Aktivitas mengigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan dua puncak
aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Tidak seperti nyamuk lain,
nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali untuk
memenuhi lambungnya dengan darah sehingga nyamuk ini sangat efektif sebagai
penular penyakit. Setelah menghisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di
dalam
atau
kadang-kadang
di
luar
rumah
berdekatan
dengan
tempat
perkembangbiakannya. Biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempattempat ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya (Hadinegoro, 2005).
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina Aedes
aegypti akan meletakkan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di
atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetes menjadi jentik dalam waktu
2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umumnya
nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Setiap bertelur nyamuk betina dapat
mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur itu di tempat yang kering (tanpa air)
dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -2°C dan -42°C, dan bila tempat-tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya maka telur dapat menetes lebih
cepat (Depkes RI, 2007).
2.2.2 Tempat Potensial Bagi Penularan DBD
Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk
penularnya, antara lain:
1. Wilayah yang banyak kasus (endemis).
2. Tempat-tempat umum yang merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang
datang dari berbagai wilayah, sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran
beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat tersebut antara lain
sekolah, rumah sakit, pertokoan dll.
3. Pemukiman baru di pinggir kota.
Karena di lokasi ini penduduknya berasal dari berbagai wilayah, maka
kemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa virus
dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi asal (Depkes RI, 2007).
2.2.3 Penyebaran Nyamuk Aedes Aegypti
Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter
namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah
lebih jauh Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia
nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum.
Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian ± 1000
meter dari permukaan air laut.Di atas ketinggian 1000 meter tidak dapat
berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga
tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2007).
2.2.4 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan DBD
Sebagaimana diketahui cara pencegahan dan pemberantasan DBD yang dapat
dilakukan saat ini adalah memberantas vektor yaitu nyamuk penular Aedes aegypti
dan pemberantasan terhadap jentik-jentiknya, karena vaksin untuk mencegah dan
obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Cara yang dianggap paling tepat
adalah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) yang
harus didukung oleh peran serta masyarakat.
Apabila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka populasi
nyamuk Aedes aegypti akan dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan
DBD tidak terjadi lagi. Upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus
dilakukan secara berkesinambungan dan terus-menerus, karena keberadaan jentik
nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 2007).
Hadinegoro (2005), menyatakan bahwa strategi dalam pencegahan DBD,
meliputi:
1. Fogging
Fogging dilakukan terhadap nyamuk dewasa dengan insektisida, mengingat
kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan, maka
penyemprotan tidak dilakukan pada dinding rumah. Kegiatan fogging hanya
dilakukan jika ditemukan penderita/tersangka penderita DBD lain, atau sekurangkurangnya ada 3 orang penderita tanpa sebab yang jelas dan ditemukannya jentik
nyamuk Aedes aegypti di lokasi.
2. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan melalui
media massa, tempat ibadah, kader/PKK dan kelompok masyarakat lainnya. Kegiatan
ini dilakukan setiap saat pada beberapa kesempatan. Selain penyuluhan kepada
masyarakat luas, penyuluhan juga dilakukan secara individu melalui kegiatan
Pemantauan Jentik Nyamuk (PJB).
3. Pemantuan jentik berkala
Pemantauan jentik berkala dilakukan setiap 3 (tiga) bulan di rumah dan
tempat-tempat umum. Diharapkan Angka Bebas Jentik (ABJ) setiap kelurahan/desa
dapat mencapai lebih dari 95% akan dapat menekan penyebaran DBD.
4. Penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Cara yang tepat dalam pencegahan DBD adalah dengan melaksanakan PSNDBD, dapat dilakukan dengan cara antara lain:
-
Fisik, cara ini dikenal dengan ”3M” yaitu: menguras dan menyikat bak mandi
secara teratur seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air rumah
tangga (tempayan, drum dan lain-lain), mengubur, menyingkirkan atau
memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dan lain-lain).
Berdasarkan fakta ini, Depkes RI telah menetapkan program PSN DBD
sebagai program prioritas dalam pencegahan dan penanggulangan DBDdi
Indonesia. Sebagai landasan hukum pelaksanaan PSN DBD adalah Surat
Keputusan (SK) Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 581/1002
Tahun 1992 tentang PSN DBD dan Pembentukan Kelompok Kerja
Operasional Demam Berdarah Dengue (POKJANAL), juga ditunjang dengan
KEPMENKES 1457 Tahun 2003 tentang Standart Pelayanan Minimal yang
menguatkan pentingnya upaya pengendalian DBD di Indonesia hingga ke
tingkat kabupaten/kota bahkan sampai ke desa. Berbagai bentuk kegiataan
PSN DBD yang saat ini dilaksanakan di Indonesia baik secara nasional
maupun regional, antara lain gerakan 3 M
(menguras, menutup, dan mengubur).
-
Kimia, cara memberantas jentik Aedes aegypti
dengan menggunakan
insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida
yang biasa digunakan adalah temephos fomulasi yang digunakan adalah
dalam bentuk granule (sand granules), dengan dosis 1 ppm atau 100gram (± 1
sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temophos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Larvasida yang lain yang dapat digunakan
adalah golongan insect growth regulato.
-
Biologi, pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan cara biologi adalah
dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan
cupang dan lain-lain).
Selain itu ditambah juga dengan cara lain:
1. Mengganti air dalam vas bunga, tempat minum burung, atau tempat-tempat lain
yang sejenis seminggu sekali.
2. Menutup lubang-lubang dan potongan bambu.
3. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar.
4. Memakai obat/ lotion yang dapat mencegah gigitan nyamuk.
5. Memasang kawat kasa.
6. Menggunakan kelambu.
7. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai.
8. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak (Depkes RI, 2007).
2.2.5 Variasi Musiman Nyamuk Aedes Aegypti
Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang
pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air, telur-telur yang tadinya belum
sempat menetas akan menetas, selain itu pada musim hujan semakin banyak
tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk ini.
Oleh karena
itu
pada
musim
hujan
populasi Aedes aegypti meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan
salah
satu
faktor
yang
menyebabkan peningkatan penularan penyakit DBD
(Depkes RI, 2005).
2.2.6 Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes Aegypti
Nyamuk Aedes aegypti ditemukan hampir di semua daerah perkotaan di
daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara. Akhir-akhir ini juga ditemukan di
daerah pedesaan, akibat penyebaran penduduk/tempat pemukiman baru dan sistem
transportasi yang lancar.Aedes albopictus menyukai tempat yang jauh dari tempat
tinggal manusia sedangkan nyamuk Aedes aegypti sangat berperan dalam penularan
penyakit DBD karena hidupnya berada di dalam dan di sekitar rumah penduduk.
Nyamuk ini sangat senang berkembangbiak di tempat penampungan air
karena tempat itu tidak terkena sinar matahari langsung. Nyamuk ini tidak dapat
hidup dan berkembangbiak di daerah yang berhubungan langsung dengan tanah. Jenis
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Tempat-tempat penampungan (wadah) air di dalam atau di sekitar rumah tangga,
rumah ibadah, bangunan pabrik, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya,
seperti drum, tangki, tempayan dan lain-lain. Biasanya tidak melebihi jarak 500
meter dari pemukiman penduduk tersebut.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat
minum burung, vas bunga, dan barang-barang bekas yang dapat menampung air.
c. Tempat penampungan air yang alamiah, seperti pelepah daun, tempurung kelapa
dan lain-lain (Hindra, 2004).
2.2.7 Pelaksanaan Kegiatan Pencegahan DBD oleh Masyarakat
Kegiataan pencegahan DBD yang melibatkan masyarakat adalah:
1.
Pergerakan masyarakat dalam PSN-DBD
Pelaksana
: masyarakat di lingkungan masing-masing, yang sebelumnya
telah diberikan pengarahan langsung oleh Ketua RT/RW, tokoh
masyarakat (Toma), dan kader.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: semua tempat potensial bagi perindukan nyamuk; tempat
penampungan air, lubang/pohon dll.
Cara
2.
: melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur).
Penggerakan masyarakat dalam menaburkan bubuk larvasida.
Pelaksana
: tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas kesehatan.
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan di tempat-tempat
umum.
Cara
: larvasida dilakukan di seluruh wilayah terjangkit, dengan
menaburkan larvasida sesuai takaran.
3.
Penyuluhan
Pelaksana
: petugas kesehatan, kader masyarakat atau kelompok kerja
(POKJA) DBD desa/kelurahan
Lokasi
: meliputi seluruh wilayah terjangkit dan wilayah sekitarnya dan
merupakan satu kesatuan epidemiologis.
Sasaran
: seluruh masyarakat.
Cara
: memberikan pengarahan dan informasi tentang cara-cara
pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan oleh individu,
keluarga, dan masyarakat serta situasi DBD di wilayahnya.
2.3 Landasan Teori
Suatu kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah merupakan
upaya pemecahan masalah publik yang timbul.Program pemberantasan DBD yang
dibuat oleh pemerintah adalah salah satu upaya pemerintah untuk memberantasan
DBD dan mengurangi insiden DBD yang memprioritaskan pada upaya promotif dan
preventif.
Setelah suatu kebijakan diformulasikan atau ditetapkan selanjutnya akan
memasuki tahap implementasi kebijakan, yang dianggap sebagai tahap yang paling
menentukan dalam proses suatu kebijakan. Menurut Akib (2010) bahwa
implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan
pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk
menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat.
Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), ada 4 faktor yang
menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor
sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi. Keempat faktor tersebut tidak
berdiri sendiri namun saling berkaitan dalam memengaruhi proses implementasi
sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut ;
Komunikasi
Sumber
Daya
Implementasi
Struktur
Birokrasi
Sikap
Gambar 2.1 Model Implementasi Menurut George Edwards III
Sumber: Subarsono (2005)
Setiap
kebijakan
publik
yang
telah
diimplementasikan
semestinya
memerlukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.Hal
ini sesuai dengan pendapat Tuckman (1985) yang mengemukakan bahwa evaluasi
adalah suatu proses untuk mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan,proses
kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah
ditentukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rossi (2004) yang dikutip oleh
Harris (2010) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah penggunaan pengujian atau
penelitian untuk mengetahui efektifitas suatu program.
Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui
sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena
efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah
ditetapkan.
Melalui
penilaian
efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan
kelanjutan suatu program.
Efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986) yang dikutip oleh
M.Fazhrin (2012), adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara
membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi
atau sesungguhnya (OS), jika OS > OA disebut efektif.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk mengetahui gambaran implementasi
kebijakan program pencegahan dan penanggulangan DBD dalam
menurunkan
insiden DBD berbasis kelurahan di Kota Medan Tahun 2014 dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Untuk
menganalisa faktor-faktor
yang memengaruhi implementasi
kebijakan, peneliti menggunakan teori George Edwards III yang menyatakan
bahwa ada 4
faktor yang
implementasi kebijakan yaitu:
mempengaruhi
keberhasilan
dan
kegagalan
1). Komunikasi, 2) Sumber daya, 3). Disposisi
dan 4). Struktur birokrasi.
2.4 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam gambar berikut:
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
(TEORI GEORGE
EDWARDS III) :
- KOMUNIKASI
- SUMBER DAYA
- DISPOSISI
- STRUKTUR
IMPLEMENTASI
PROGRAM
PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN
DBD
BIROKRASI
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian