Analisis Determinan Kinerja Petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar Tahun 2013

(1)

ANALISIS DETERMINAN KINERJA PETUGAS SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA PEMATANG SIANTAR

TAHUN 2013

TESIS

Oleh

MALAPTHA GINTING 117032171/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE ANALYSYS ON DETERMINANT OF THE PERFORMANCE OF HEMORRHAGIC FEVER SURVEILLANCE PERSONNEL IN

PEMATANGSIANTAR, IN 2013

THESIS

By

MALAPTHA GINTING 117032171/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ANALISIS DETERMINAN KINERJA PETUGAS SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA PEMATANG SIANTAR

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MALAPTHA GINTING 117032171/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN KINERJA PETUGAS SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA PEMATANG SIANTAR TAHUN 2013 Nama Mahasiswa : Malaptha Ginting

Nomor Induk Mahasiwa : 117032171

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si)

Anggota

(dr.Surya Dharma, M.P.H)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

pada Tanggal : 10 Pebruari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si Anggota : 1. Dr. Surya Dharma, M.P.H

2. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D 3. Ir. Evi Naria, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

ANALISIS DETERMINAN KINERJA PETUGAS SURVEILANS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA PEMATANG SIANTAR

TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Malaptha Ginting 117032171/IKM


(7)

ABSTRAK

Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD di Kota Pematangsiantar.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan eksplanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan determinan kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas surveilans DBD puskesmas di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang berjumlah 34 orang sekaligus menjadi sampel penelitian (total sampling). Pengumpulan data meliputi data primer melalui angket dan data sekunder melalui pencatatan dan pelaporan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar. Analisa data meliputi analisa univariat, bivariat dengan uji chi-square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematangsiantar 58,8% termasuk kurang. Hasil uji chi square menunjukkan terdapat pengaruh pengetahuan (p=0,007), sikap (p=0,012), motivasi kerja (p=0,000), beban kerja (p=0,000), dukungan pimpinan (p=0,017), dan imbalan (p=0,000) terhadap kinerja petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa petugas surveilans DBD yang memperoleh imbalan yang baik berpeluang sebesar 29.085 kali mempunyai kinerja yang baik.

Disarankan agar melakukan advokasi dan dukungan alokasi anggaran untuk meningkatkan pengetahuan dan pelatihan khusus bagi petugas surveilans DBD, memotivasi petugas akan pentingnya surveilans DBD serta monitoring dan evaluasi kinerja petugas surveilans DBD secara berkala melalui mekanisme pendekatan partisipatif serta meningkatkan kemauan, dan kompetensinya dalam melaksanakan tugas-tugas surveilans.


(8)

ABSTRACT

Epidemiology surveillance is a very important activity in supporting control and eradication of infectious diseases, including the activity of control and preventing DHF (dengue hemorrhagic fever) in Pematangsiantar.

The research was an analytic study with explanatory research method which was aimed to explain the determinants of performance of DHF in surveillance officer Pematangsiantar. The population was all 34 DHF surveillance officer in the working area of the Department of Health Pematangsiantar, and all of them were used as the samples, using total sampling technique. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews and secondary data were gathered through the record and the report of the Department of Health Pematangsiantar. The data were analyzed by using univatriate which consisted of bivatriate analysis with chi square test and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests at 95% confidence level.

The result of the analysis showed that 58.8% of the respondents were had bad performance in DHF surveillance in Pematangsiantar. The result of chi square test showed that there was the influence of knowledge (p = 0.007), attitude (p = 0.012), work motivation (p = 0.000), work load (P = 0.001), support from management (p = 0.017), and reward (p = 0.000) on the performance of DHF surveillance officer in Pematangsiantar. The result of logistic regression test showed that DHF surveillance officer who had a good reward for 29.085 times a likely to have good performance.

It is recommended that advocacy and support for budget allocation should be done in order to improve knowledge and special training for DHF surveillance officer, motivate them about the importance of DHF surveillance, monitor and evaluate the performance of DHF surveillance personnel regularly through participative approach mechanism, and improve their willingness and competence in doing their surveillance job.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Analisis Determinan Kinerja Petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar Tahun 2013”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, semoga sehat, bahagia dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K). selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Dr.Yeni Absah, S.E, M.Si dan dr. Surya Dharma, M.P.H selaku komisi pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

5. Dra. Nurmaini, M.K.M., Ph.D dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

7. Dr. Ronald H. Saragih selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang telah memberikan Izin Belajar kepada penulis sehingga penulis dapat melanjutkan Pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri.

9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda alm. Nikepi Ginting dan Ibunda almh. T. Mariani Bukit atas segala jasanya sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.


(11)

10. Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri tercinta Bertha Juliana Pasaribu dan anak-anakku tersayang Christyne Sesilia Ginting dan Gabriel Ginting yang telah turut memberikan doa, karena kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014 Penulis

Malaptha Ginting 117032171/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Malaptha Ginting, lahir pada tanggal 26 Nopember 1974 di Deli Tua, beragama Katholik, anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Nikepi Ginting dan T. Mariani Bukit. Mempunyai dua orang anak ; Christin Sesilia Ginting dan Gabriel Ginting, sekarang menetap di Jalan Handayani Perum Pemda No. 05 Kelurahan Bah Kapul Kota Pematangsiantar.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Swasta (SD) RK. Xaverius Namorambe pada tahun 1981 dan diselesaikan pada tahun 1987, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) Namorambe pada tahun 1987 dan diselesaikan pada tahun 1990, Sekolah Menengah Atas Swasta (SMA) Deli Murni Deli Tua pada tahun 1990 dan diselesaikan pada tahun 1993, Akademi Kesehatan Lingkungan Depkes R.I. Kabanjahe pada tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1996, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2003, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri tahun 2011 sampai dengan saat ini.

Pada tahun 1998 sampai tahun 2009 menjadi Staf di Dinas Kesehatan Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu, pada tahun 2009 sampai tahun sampai saat ini menjadi Staf di Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 9

1.5. Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 11

2.1.1. Bionomik Vektor Penular DBD ... 11

2.1.2. Habitat Vektor Penyebab DBD ... 14

2.1.3. Penularan Penyakit DBD ... 17

2.1.4. Siklus Hidup Nyamuk... ... 20

2.1.5. Pengaruh Faktor Lingkungan ... 22

2.2. Penanggulangan DBD ... 25

2.2.1. Pengendalian Vektor Penyebab DBD ... 25

2.2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Penyebab DBD ... 25

2.2.3. Surveilans DBD ... 27

2.3. Kinerja ... 32

2.3.1. Pengertian Kinerja ... 32

2.3.2. Penilaian Kinerja ... 34

2.3.3. Cara Menilai Kinerja ... 36

2.3.4. Determinan Kinerja Petugas DBD... 39

2.4. Landasan Teori ... 41

2.5. Kerangka Konsep ... 43

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44


(14)

3.3.1. Populasi ... 44

3.3.2. Sampel ... 45

3.4. Variabel dan Definisi Operasional ... 45

3.4.1. Variabel Penelitian ... 45

3.4.2. Definisi Operasional ... 45

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 47

3.5.1. Jenis Data ... 47

3.5.2. Uji Validitas dan Reliabilitas... 47

3.6. Metode Pengukuran ... 48

3.7. Metode Analisis Data ... 51

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 53

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 53

4.2. Analisis Univariat ... 54

4.3. Analisis Bivariat ... 69

4.4. Analisis Multivariat ... 72

BAB 5. PEMBAHASAN ... 75

5.1. Kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar ... 75

5.2. Hubungan Faktor Intrinsik terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar ... 78

5.3. Hubungan Faktor Ekstrinsik terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar………... ... 87

5.4. Keterbatasan Penelitian ... 94

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

6.1. Kesimpulan ... 95

6.2. Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Petugas Surveilans DBD di Kota

Pematangsiantar Tahun 2013 ... 54 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator variabel

Pengetahuan ... 55 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Pengetahuan . 56 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Variabel

Sikap ... 59 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel Sikap ... 59 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja ... 59 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Motivasi

Kerja ... 59 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi Kerja ... 61 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Beban Kerja . 62 4.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Beban Kerja... 63 4.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Dukungan

Pimpinan ... 64 4.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dukungan Pimpinan.. .. 65 4.13 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Variabel

Imbalan……… ... 65 4.14 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Imbalan…. ... 66 4.15 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Variabel


(16)

4.16 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar Tahun 2013… ... 68 4.17 Analisis Bivariat Faktor Intrinsik dengan Kinerja Petugas Surveilans

DBD…… ... 69 4.18 Analisis Bivariat Faktor Ekstrinsik dengan Kinerja Petugas

Surveilans DBD….. ... 71 4.19 Hasil Uji Regresi Logistik Berganda ….. ... 73


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 20 2.2 Determinan Kinerja Sumber Daya Manusia ... 42 2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 43


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Pernyataan Kesediaan menjadi Responden ... 103

2. Kuesioner Penelitian ... 104

3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 112

4. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 119

5. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 132

6. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar... 133

7. Surat Sudah Melakukan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar ... 134


(19)

ABSTRAK

Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD di Kota Pematangsiantar.

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan eksplanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan determinan kinerja Petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas surveilans DBD puskesmas di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang berjumlah 34 orang sekaligus menjadi sampel penelitian (total sampling). Pengumpulan data meliputi data primer melalui angket dan data sekunder melalui pencatatan dan pelaporan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar. Analisa data meliputi analisa univariat, bivariat dengan uji chi-square dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematangsiantar 58,8% termasuk kurang. Hasil uji chi square menunjukkan terdapat pengaruh pengetahuan (p=0,007), sikap (p=0,012), motivasi kerja (p=0,000), beban kerja (p=0,000), dukungan pimpinan (p=0,017), dan imbalan (p=0,000) terhadap kinerja petugas Surveilans DBD di Kota Pematangsiantar. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa petugas surveilans DBD yang memperoleh imbalan yang baik berpeluang sebesar 29.085 kali mempunyai kinerja yang baik.

Disarankan agar melakukan advokasi dan dukungan alokasi anggaran untuk meningkatkan pengetahuan dan pelatihan khusus bagi petugas surveilans DBD, memotivasi petugas akan pentingnya surveilans DBD serta monitoring dan evaluasi kinerja petugas surveilans DBD secara berkala melalui mekanisme pendekatan partisipatif serta meningkatkan kemauan, dan kompetensinya dalam melaksanakan tugas-tugas surveilans.


(20)

ABSTRACT

Epidemiology surveillance is a very important activity in supporting control and eradication of infectious diseases, including the activity of control and preventing DHF (dengue hemorrhagic fever) in Pematangsiantar.

The research was an analytic study with explanatory research method which was aimed to explain the determinants of performance of DHF in surveillance officer Pematangsiantar. The population was all 34 DHF surveillance officer in the working area of the Department of Health Pematangsiantar, and all of them were used as the samples, using total sampling technique. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews and secondary data were gathered through the record and the report of the Department of Health Pematangsiantar. The data were analyzed by using univatriate which consisted of bivatriate analysis with chi square test and multivatriate analysis with multiple logistic regression tests at 95% confidence level.

The result of the analysis showed that 58.8% of the respondents were had bad performance in DHF surveillance in Pematangsiantar. The result of chi square test showed that there was the influence of knowledge (p = 0.007), attitude (p = 0.012), work motivation (p = 0.000), work load (P = 0.001), support from management (p = 0.017), and reward (p = 0.000) on the performance of DHF surveillance officer in Pematangsiantar. The result of logistic regression test showed that DHF surveillance officer who had a good reward for 29.085 times a likely to have good performance.

It is recommended that advocacy and support for budget allocation should be done in order to improve knowledge and special training for DHF surveillance officer, motivate them about the importance of DHF surveillance, monitor and evaluate the performance of DHF surveillance personnel regularly through participative approach mechanism, and improve their willingness and competence in doing their surveillance job.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa DBD sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak di Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 50 – 100 juta kasus DBD, dan sebanyak 500.000 diantaranya memerlukan perawatan di rumah sakit. Jumlah kasus DBD di Indonesia sebanyak 57% dari total kasus di Asia Tenggara, selanjutnya diikuti oleh Thailand 23%, kemudian Srilangka, Myanmar dan India masing-masing 6% (WHO,2009).

Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus, tetapi yang paling berperan adalah Aedes aegypti karena hidupnya di dalam rumah dan sekitar rumah. Virus dengue merupakan bagian dari flaviviridae dan dapat diklasifikasikan dalam empat serotipe yaitu serotipe Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4, dan paling sering menyebabkan kasus-kasus berat dan menyebabkan kematian adalah sterotipe Dengue-3 (Depkes RI, 2007).

Sejak pertama ditemukan penyakit DBD di Indonesia yaitu Kota Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke


(22)

seluruh Propinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah kematian 24 orang (CFR sebesar 41,37%), sedangkan dalam lima tahun terakhir (2002-2006) jumlah rata-rata kasus dilaporkan sebanyak 40.854 kasus dengan rata-rata kematian 701 orang (CFR 1,72%) setiap tahunnya. Pada tahun yang sama, setiap 100.000 penduduk 20-21 orang diantaranya penderita DBD dan setiap 100 penderita, rata-rata yang meninggal sebanyak 1-2 orang (Depkes RI, 2006).

Kejadian luar biasa (KLB) DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan wabah terbesar sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia dengan 1.411 kematian atau case fatality rate (CFR) 1,956%. Pada KLB tahun 2004, sejak Januari sampai dengan April 2004 jumlah penderita sebanyak 58.861 orang dan 669 orang diantaranya meninggal (CFR:1,14%). Kemudian tahun 2005 jumlah kasus 3.336 orang dengan 55 orang diantaranya meninggal (CFR:1,65%), dan tahun 2006 terjadi penurunan kasus selama periode Januari– September yaitu jumlah kasus 1.323 orang, 21 orang diantaranya meninggal atau CFR:1,59%, kemudian tahun 2010 jumlah penderita DBD seluruh Indonesia adalah sebanyak 5.059 kasus, dengan angka kematian 0,87, dan Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %) (Depkes RI,2012).

Menurut Sungkar (2007), keberhasilan pemberantasan DBD di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain perilaku penduduk, tenaga kesehatan,


(23)

sistem peringatan dini oleh pemerintah, resistensi nyamuk terhadap insektisida, serta alokasi dana. Dalam perilaku penduduk, Sebagian besar penduduk Indonesia belum menyadari pentingnya memelihara kebersihan lingkungan. Salah satu masalah yang umum ditemukan adalah rendahnya kesadaran penduduk untuk menjaga agar tidak terdapat wadah-wadah yang dapat menampung air di lingkungan tempat tinggalnya, sehingga bedampak terhadapa pertumbuhan telur Aedes aegypti. Target ABJ yang telah diharapkan oleh Depkes RI adalah nilai ABJ ≥ 95%, karena nilai tersebut menunjukkan bahwa wilayah atau lingkungan yang mencapai target (ABJ ≥ 95%) dapat dikategorikan sebagai wilayah yang aman DBD.

Kegiatan pemantauan jentik yang dilakukan oleh juru pemantau jentik bertujuan memantau adanya jentik nyamuk yang dilakukan di rumah guna mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit DBD. Keberhasilan pelaksanaan pemantauan jentik ditinjau dari nilai ABJ dan Container Index (CI). Nilai ABJ adalah prosentase rumah yang tidak ditemukan jentik, yaitu dengan membandingkan jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dibagi jumlah rumah yang diperiksa (Depkes RI,, 2010). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hasyim dalam penelitian Kurniawan (2008), nilai ABJ yang relative rendah (<95%) memperbesar peluang terjadinya transmisi virus DBD.

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya DBD adalah musim hujan dan keadaan lingkungan berupa kebersihan halaman rumah dari tempat/wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air serta sikap masyarakat terhadap kejadian DBD. Semakin bersih lingkungan dan semakin baik sikap masyarakat terhadap


(24)

kejadian DBD maka semakin rendah terjadinya DBD (Kurniawan, 2008). Menurut Sukowati (2010), sejak pertengahan tahun 1970-an dibandingkan dengan 100 tahun yang lalu episode El Nino lebih sering, menetap dan intensif. Perubahan iklim dapat memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.

Salah satu kegiatan utama yang dilakukan untuk mendukung keberhasilan program penanggulangan DBD adalah melalui surveilans epidemiologi DBD yang dilaksanakan pada semua tingkat administratif. Surveilans epidemiologi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam mendukung pengendalian dan penanggulangan penyakit menular, tidak terkecuali pada kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Surveilans adalah kegiatan yang bersifat terus menerus dan sistematik dalam pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpretasi dan diseminasi kepada pihak terkait, untuk melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan yang ada. Oleh karena itu hasil kegiatan surveilans sangat dibutuhkan dalam menunjang aspek manajerial program penyakit DBD, dimana berperan dalam proses perencanaan, monitoring dan evaluasi dari program kesehatan yang ada (Depkes RI, 2010).


(25)

Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain kasus-kasus yang dilaporkan sebagai DBD, tidak semuanya didukung dengan hasil pemeriksaan laboratorium klinik, terutama adanya peningkatan hematorit dan penurunan trombosit sebagaimana kriteria yang ditetapkan WHO. Hal ini menyebabkan pengelompokan penderita dan pelaporan demam berdarah atau sindrom syok dengue (SSD) belum terlaksana seperti yang diharapkan. Selain itu kasus-kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis jumlahnya masih sangat sedikit. (Depkes, 2005).

Fenomena insidens kasus DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Propinsi Sumatera Utara. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012), menunjukkan propinsi Sumatera Utara masih merupakan daerah yang edemis DBD, selama kurun waktu 5 (lima) tahun trakhir 2006-2010, menunjukkan ada fluktuasi angka insidens rate (IR) DBD, tahun 2006 adalah sebesar 17,9 per 100.000 penduduk, dan CFR sebesar 1,6%, tahun 2007 IR meningkat menjadi 33,3 per 100.000 penduduk, dan CFR sebesar 0,9%, tahun 2008 IR kembali meningkat menjadi 36,2 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,2%, dan tahun 2010 IR meningkat tajam menjadi 72 per 100.000 penduduk, artinya dalam 100.000 penduduk terdapat 72 kasus DBD, dengan angka CFR 1,25%. Permasalahan insidensi dan prevalensi DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Kota Pematang Siantar. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2012), menunjukkan bahwa Kota Pematang Siantar adalah daerah kategori endemis DBD setelah Kota Medan, Deli Serdang, Kota Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi dan Kabupaten Karo. Berdasarkan


(26)

Profil Kesehatan Kota Pematang Siantar (2012), menunjukkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir, terjadi peningkatan kasus dan kematian akibat DBD. Tahun 2007 IR sebesar 234 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,23%, Tahun 2008 menurun menjadi 195 per 100.000 pendudu dengan CFR sebesar 1,44%, tahun 2009 meningkat tajam menjadi 245,8 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,13%, Tahun 2010 meningkat kembali menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,27%, dan Tahun 2011 menurun menjadi 254 per 100.000 penduduk dengan CFR 0,78%, namun tahun 2012 menurun menjadi 165,6 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 1,82%. Keadaan tersebut menunjukkan ada fluktuasi kasus DBD secara permanen di Kota Pematang Siantar, sehingga sangat perlu dilakukan berbagai upaya yang tepat sasaran dan tepat guna, agar dapat mereduksi angka kesakitan dan kematian akibat DBD.

Upaya yang sekarang telah dilakukan sesuai dengan rekomendasi Kementerian Kesehatan RI melalui penguatan surveilans DBD, penguatan program pengendalian vektor, pemberantasan sarang nyamuk, pemeriksaan jentik secara berkala dan pemberdayaan masyarakat untuk berperan aktif dalam penanggulangan DBD, namun secara aktual kasus DBD tetap masih ada di Kota Pematang Siantar. Fenomena ini menunjukkan bahwa surveilans epidemiologi DBD di Kota Pematang Siantar masih sangat lemah. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain dari faktor instrinsik, umumnya petugas surveilans DBD belum mendapatkan pelatihan yang baik tentang surveilans DBD, dan belum ada pelatihan surveilans DBD berbasis web, atau perkembangan surveilans lainnya, kemudian dilihat dari aspek


(27)

pengetahuan, umumnya juga masih belum mahir dalam menyusun laporan surveilans DBD, dan dilihat dari aspek ekstrinsik, diketahui masih banyak petugas kesehatan yang belum paham terhadap langkah-langkah pelaksanaan surveilans DBD, tidak tersusunnya jadwal pelaksanaan surveilans DBD.

Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kinerja petugas DBD. Penelitian Lestari (2010), di Puskesmas Kota Semarang menjelaskan bahwa 51,4% petugas DBD mempunyai kinerja yang rendah, secara statistik dipengaruhi oleh motivasi petugas DBD, kepemimpinan kepala puskesmas, dan persepsi beban kerja yang berat, demikian juga dengan penelitian Zubaedah (2007) di Kota Semarang yang menjelaskan bahwa kinerja petugas Pokjanal DBD juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap dan keterampilan petugas pokjalan DBD, dan dari faktor ekternal kinerja petugas DBD juga dipengaruhi oleh faktor imbalan, dan beban kerja.

Keseluruhan kinerja petugas Surveilans Puskesmas dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Menurut Ilyas (2006) yang mengutip pendapat Gibson beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja petugas adalah kemampuan, ketrampilan, latar belakang pendidikan, motivasi kerja, sikap dan kepribadian, dukungan organisasi berupa kompensasi, kebijakan, insentif, gaya kepemimpinan dan desain pekerjaan.

Menurut Ridwan (2004) yang mengutip pendapat Keith dan Davis bahwa kinerja pegawai atau petugas diberbagai instansi sangat dipengaruhi oleh kompetensi (kemampuan dan ketrampilan) dan motivasi. Selanjutnya ada 3 (tiga) komponen variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu variabel individu,


(28)

variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.

Berdasarkan hasil Survei awal yang dilakukan peneliti pada 21 Februari 2013, menunjukkan bahwa dari 4 (empat) petugas puskesmas yang terlibat langsung dengan program DBD menjelaskan bahwa pelaksanaan surveilans epidemiologi hanya dilakukan pada saat ada kasus-kasu DBD saja, dan itupun tidak didasarkan pada perencanaan yang baik, selain itu sistim pelaporan masih manual, sehingga kualitas data rendah. Permasalahan lain minimnya perhatian kepala puskesmas terhadap upaya surveilans epidemiologi, khususnya surveilans DBD, padahal kegiatan surveilans adalah bentuk kegiatan yang terus-menerus, dan masih tinggi kecenderungan arah kebijakan kepala puskesmas terhadap upaya pengobatan saja, kemudian dari aspek imbalan, tidak ada insentif khusus bagi petugas surveilans DBD, sehingga ada kecenderungan rendahnya motivasi petugas DBD dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di Puskesmas.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang determinan kinerja petugas Surveilans DBD Puskesmas di Kota Pematang Siantar, sehingga dapat ditemukan data dan informasi yang aktual dan faktual guna menjadi masukan dalam peningkatan kapasitas petugas surveilans dan peningkatan capaian keberhasilan program penanggulangan DBD.


(29)

1.2. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh faktor intrinsic (pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap dan motivasi) dan ekstrinsik (beban kerja, dukungan pimpinan dan imbalan) terhadap kinerja petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi (intrinsik dan ekstrinsik) kinerja petugas Surveilans Demam Berdarah Dengue di Kota Pematang Siantar.

1.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh faktor intrinsik (pendidikan, masa kerja, pengetahuan, sikap, dan motivasi) terhadap kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematang Siantar. 2. Ada pengaruh faktor ekstrinsik (beban kerja, dukungan pimpinan, dan imbalan)

terhadap kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematang Siantar.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematang Siantar dalam merumuskan rencana kegiatan yang berbasis surveilans epidemiologi DBD


(30)

melalui peningkatan kualitas petugas DBD khususnya petugas Surveilans Epidemiologi Puskesmas se kota Pematang Siantar

2. Menjadi masukan bagi Kepala Puskesmas se-Kota Pematang Siantar dalam melakukan pembinaan dan evaluasi pelaksanaan program DBD dan kinerja petugas Surveilans DBD di wilayah kerja puskesmasnya.

3. Menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya, dan keilmuan dalam kebijakan kesehatan dan analisis kinerja sumber daya organisasi khususnya instansi pelayanan publik.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah atau Demam Berdarah Dengue adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae albopictus (Depkes RI, 2007).

2.1.1. Bionomik Vektor Penular DBD

Karakteristik Ae. aegypti dan Ae albopictus sebagai penular utama virus DBD adalah kedua spesies tersebut termasuk Genus Aedes dari Famili Culicidae. Secara morfologis keduanya sangat mirip, namun dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya (Merrit & Cummins, 1978). Skutum Ae. aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictus yang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Roche (2002) melaporkan bahwa Ae.aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Ae. aegypti queenslandensis dan Ae. aegyptiformosus. Subspesies pertama hidup bebas di Afrika sementara subspecies kedua hidup didaerah tropis yang dikenal efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan subspecies pertama (Roche, 2002). Informasi tentang karakteristik tersebut sangat membantu mengenali


(32)

jenis nyamuk tersebut terutama bagi petugas surveilen dan masyarakat dalam rangka mengendalikan penyakit DBD yang ditularkan oleh kedua nyamuk tersebut.

Karakteristik telur Aedes adalah berbentuk bulat pancung yang mula-mula berwarna putih kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air untuk memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi larva di dalam media air. Media air yang dipilih untuk tempat peneluran itu adalah air bersih yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (Mortimer, 1998). Sejauh ini, informasi mengenai pemilihan air bersih stagnant sebagai habitat bertelur Ae. aegypti banyak dilaporkan oleh peneliti searangga vekktor tersebut dari berbagai negeri. Demikian juga oleh peneliti Indonesia. Informasi tersebut telah mengarahkan fokus perhatian para surveilen pada tipe-tipe habitat seperti itu. Sementara Ae. albopictus meletakkan telurnya dipinggir kontener atau lubang pohon di atas permukaan air (Lutz, 2000). Oleh karena itu, kegiatan surveilen tidak terbatas pada media atau kontener yang berisi air atau air bersih.

Larva nyamuk semuanya hidup di air yang stadianya terdiri atas empat instar. Keempat instar itu dapat diselesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung keadaan lingkungan seperti suhu air persediaan makanan. Pada air yang agak dingin perkembangan larva lebih lambat, demikian juga keterbatasan persediaan makanan juga menghambat perkembangan larva. Setelah melewati stadium instar ke empat larva berubah menjadi pupa. Sebagaimana larva, pupa juga membutuhkan lingkungan akuatik (air). Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan pernafasannya pupa berada


(33)

di dekat permukaan air. Lama fase pupa tergantung dengan suhu air dan spesies nyamuk yang lamanya dapat berkisar antara satu hari sampai beberapa minggu. Setelah melelewati waktu itu maka pupa membuka dan melepaskan kulitnya kemudian imago keluar ke permukaan air yang dalam waktu singkat siap terbang. Imago yang lebih awal keluar adalah jantan yang sudah siap melakukan kopulasi bila betinanya muncul belakangan. Imago Ae. albopictus biasanya melakukan kopulasi di dekat inang imago betina dengan harapan memudahkan mendapatkan cairan darah (Hawley, 1988 dalam Lutz, 2000). Imago betina membutuhkan cairan darah sebelum meletakkan telurnya yang fertil. Cairan darah itu diperlukan oleh imago betina setiap akan meletakkan sejumlah telurnya. Siklus pengisapan darah itu dilakukan setiap akan meletakkan telur, sehingga pengisapan cairan darah itu dapat dilakukan berkali-kali selama hidupnya (Lutz, 2000).

Lama hidup imago itu dapat berkisar antara 1 sampai 2 bulan. Selama hidupnya, nyamuk tersebut menunjukkan preferernsi bervariasi terhadap sumber darah yang dibutuhkan. Ae. albopictus cenderung memilih makan pada manusia atau binatang peliharaan seperti burung bila inang utama tidak ada (Hawley, 1988 dalam Lutz, 2000).

Kegiatan itu biasanya dilakukan pada siang hari atau kadang-kadang pada pagi hari. Untuk menyelesaikan satu siklus hidupnya diperlukan waktu antara 9 – 12 hari atau rata-rata 10 hari dari telur sampai imago menghasilkan telur kembali (Borror & Long, 1954). Untuk mengefektifkan usaha pencegahan penyakit DBD melalui


(34)

penanganan vector itu diperlukan pelatihan intensif kepada petugas surveilen tentang pengetahuan dasar ini.

2.1.2. Habitat Vektor Penyebab DBD

Habitat dan Kebiasaan Hidup. Secara bioekologis kedua spesies nyamuk tersebut mempunyai dua habitat yaitu aquatic (perairan) untuk fase pradewasanya (telur, larva dan pupa), dan daratan atau udara untuk serangga dewasa. Walaupun habitat imago di daratan atau udara, namun juga mencari tempat di dekat permukaan air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun. Masa hibernasi telur-telur itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas. Terlur itu akan menetas antara 3 – 4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Habitat larva yang keluar dari telur tersebut hidup mengapung di bawah permukaan air. Perilaku hidup larva tersebut berhubungan dengan upayanya menjulurkan alat pernafasan yang disebut sifon menjangkau permukaan air guna mendapatkan oksigen untuk bernafas. Habitat seluruh masa pradewasanya dari telur, larva dan pupa hidup di dalam air walaupun kondisi airnya sangat terbatas.

Berbeda dengan habitat imagonya yaitu hidup bebas di daratan (terrestrial) atau udara (aborial). Walaupun demikian masing-masing dari spesies itu mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda yaitu imago Ae. aegypti lebih menyukai tempat di dalam rumah penduduk sementara Ae. albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu hidup di pohon atau kebun atau kawasan pinggir hutan. Oleh karena itu,


(35)

Ae. albopictus sering disebut nyamuk kebun. Sementara Ae. aegypti yang lebih memilih habitat di dalam rumah sering hinggap pada pakaian yang digantung untuk beristirahat dan bersembunyi menantikan saat tepat inang datang untuk mengisap darah. Informasi tentang habitat dan kebiasaan hidup nyamuk tersebut sangat penting untuk mempelajari dan memetakan keberadaan populasinya untuk tujuan pengendaliannya baik secara fisik-mekanik, biologis maupun kimiawi.

Dengan pola pemilihan habitat dan kebiasaan hidup imago tersebut Ae. aegypti dapat berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan terisi air. Sementara Ae. albopictus dapat berkembang biak di habitat perkebunan terutama pada lubang pohon atau pangkal babu yang sudah dipotong yang biasanya jarang terpantau di lapangan. Kondisi itu dimungkinkan karena larva nyamuk tersebut dapat berkembang biak dengan volume air minimum kira-kira 0.5 sentimeter setara atau dengan dengan satu sendok teh (Judarwanto, 2007).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor abiotik dan biotik. Menurut Barrera et al. (2006) faktor abiotik seperti curah hujan, temperatur, dan evaporasi dapat mempengaruhi kegagalan telur, larva dan pupa nyamuk menjadi imago. Demikian juga faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor dan makanan yang berinteraksi dalam kontener sebagai habitat akuatiknya pradewasa juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi imago. Keberhasilan itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik,


(36)

komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu juga berpengaruh terhadap siklus hidup Ae. aegypti. Selain itu bentuk, ukuran dan letak kontener (ada atau tidaknya penaung dari kanopi pohon atau terbuka kena sinar mata hari langsung) juga mempengaruhi kualitas hidup nyamuk. Faktor curah hujan mempunyai pengaruh nyata terhadap flukstuasi populasi Ae. aegypti (Irpis 1972). Suhu juga berpegaruh terhadap aktifitas makan (Wu & Chang 1993), dan laju perkembangan telur menjadi larva, larva menjadi pupa dan pupa menjadi imago (Rueda et al. 1990). Faktor suhu dan curah hujan berhubungan dengan evaporasi dan suhu mikro di dalam kontainer (Barrera et al., 2006). Di Indonesia, faktor curah hujan itu mempunyai hubungan erat dengan laju peningkatan populasi di lapang. Pada musim kemarau banyak barang bekas seperti kaleng, gelas plastic, ban bekas, keler plastic, dan sejenisnya yang dibuang atau ditaruh tidak teratur di sebarang tempat. Sasaran pembuangan atau penaruhan barang-barang bekas tersebut biasanya di tempat terbuka seperti lahan-lahan kosong atau lahan-lahan tidur yang ada di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan. Ketika cuaca berubah dari musim kemarau ke musim hujan sebagian besar permukaan dan barang bekas itu menjadi sarana penampung air hujan. Bila di antara tempat atau barang bekas itu berisi telur hibernasi maka dalam waktu singkat akan menetas menjadi larva Aedes yang dalam waktu (9-12 hari) menjadi imago. Fenomena lahan tidur dan lahan kosong sering menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga termasuk barang kaleng yang potensial sebagai tempat pembiakan nyamuk.


(37)

Pada musim hujan imago bertina memperoleh habitat air jernih yang sangat luas untuk meletakkan telurnya. Setiap benda berlekuk atau lekukan pohon atau bekas potongan pakal pohon bambu juga potensial sebagai penampung air jernih yang dapat dijadikan tempat peletakkan telur bagi serangga vector terutama Ae. albopictus yang biasa hidup di luar rumah. Terlebih lagi cuaca dalam keadaan mendung dapat merangsang naluri bertelurnya nyamuk. Dengan demikian populasi nyamuk meningkat drastis pada awal musim hujan yang diikuti oleh meningkatnya kasus DBD di daerah tersebut.

2.1.3. Penularan Penyakit DBD

Perilaku Makan dan Cara Penularan Penyakit. Imago Ae. aegypti dan Ae.albopictus mempunyai perilaku makan yang sama yaitu mengisap nectar dan jus tanaman sebagai sumber energinya. Selain energi, imago betina juga membutuhkan pasokan protein untuk keperluan produksi (anautogenous) dan proses pematangan telurnya. Pasokan protein tersebut diperoleh dari cairan darah inang (Merrit & Cummins, 1978). Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk proses pematangan telurnya ditentukan oleh frekuensi kontak antara vector dengan inang. Frekuensi kontak tersebut dapat dipengaruhi oleh jenis dan kepadatan inang. Ada perbedaan perilaku makan darah antara imago yang belum dan sudah terinfeksi virus DBD. Perbedaan itu berimpilkasi terhadap frekuensi kontak nyamuk dengan inang. Imago betina terinfeksi lebih sering kontak dengan inang untuk mendapatkancairan darah untuk produksi dan proses pematangan telurnya. Kejadian itu meningkatkan frekuensi kontaknya dengan inang sehingga peluang penularan virus DBD semakin


(38)

cepat dan singkat. Meningkatnya frekuensi kontak antara vektor dengan inang tersebut dapat dipengaruhi juga oleh kisaran dan freferensinya terhadap inang. Walaupun Ae. Aegypti diketahui bersifat antropofilik (Harrington et al., 2001) namun penelitian tentang pola makan terhadap inangnya selain manusia, banyak dilakuan untuk mencari frekuensi kontak vektor tersebut dengan inang utama yaitu manusia.

Hasil penelitian Ponlawat & Harington (2005) yang dilakukan sekitar tahun 2003 dan 2004 di Thailand menunjukkan bahwa Ae. aegypti hampir sepenuhnya (99%, 658/664) mengisap darah manusia. Sementara hasil penelitian di Afrika yang dilakukan oleh Weitz (1960) dalam Ponlawat & Harington (2005) juga menyebutkan inang nyamuk selain manusia adalah kucing, anjing, kambing, anak sapi jantan dan kera. Sama dengan Ae. albopictus yang dikenal sebagai vector kedua virus DBD tersebut diasumsikan sebagai pemakan yang lebih generalis dibandingkan dengan Ae. aegypti. Anggapan tersebut diperkuat oleh penemuan Niebylski et al. dan Savage et al. dalam Ponlawat & Harington (2005) bahwa inang nyamuk tersebut selain manusia adalah kelinci, tikus, anjing, rusa, lembu, bajing tanah, penyu, tupai, sapi jantan, kucing, dan burung. Walaupun demikian ada juga fakta yang menunjukkan bahwa di daerah tertentu nyamuk Ae. albopictus hanya menjadikan manusia sebagai inang tunggalnya seperti yang dilaporkan oleh Ponlawat & Harington (2005) dari hasil penelitiannya di Sebelah Selatan Thailand pada tahun 2003 dan 2004. Oleh karena itu, kisaran inang dan preferensi vector terhadap inang tersebut menentukan status spesies tersebut sebagai vector utama virus DBD.


(39)

Cara Menularkan Virus. Cara penularan virus DBD adalah melalui cucukan stilet nyamuk Aedes betina terhadap inang penderita DBD. Nyamuk Aedes yang bersifat “antropofilik” itu lebih menyukai mengisap darah manusia dibandingkan dengan darah hewan. Darah yang diambil dari inang yang menderita sakit mengandung virus DBD, kemudian berkembang biak di dalam tubuh nyamuk sekitar 8 -10 atau sekitar 9 hari. Setelah itu nyamuk sudah terinfeksi virus DBD dan efektif menularkan virus. Apabila nyamuk terinfeksi itu mencucuk inang (manusia) untuk mengisap cairan darah, maka virus yang berada di dalam air liurnya masuk ke dalam sistem aliran darah manusia. Setelah mengalami masa inkubasi sekitar empat sampai enam hari, penderita akan mulai mendapat demam yang tinggi. Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi hari yaitu sekitar pukul 08.00-10.00 dan sore hari antara pukul 15.00-17.00. Nyamuk yang aktif mengisap darah adalah yang betina untuk mendapatkan protein. Tiga hari setelah menghisap darah, imago betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur kemudian siap diletakkan pada media. Setelah itu nyamuk dewasa, mencari inang luntuk menghisap darah untuk bertelur selanjutnya.

Selain itu Ae. Aegypti mempunyai kemampuan untuk menularkan virus terhadap keturunannya secara transovarial atau melalui telurnya (Yulfi, 2006). Namun Roche (2002) melaporkan bahwa hanya A. albopictus yang mampu menularkan virus melalui keturunanya sementara Ae. Aegypti tidak. Sementara Yulfi, (2006) menyimpulkan pendapat dari Maurya et al., Joshi et al. dan Rohani et al. yang menyatakan bahwa kedua spesies itu dapat menularkan virus pada keturunannya.


(40)

Rohani et al. (2005) menemukan larva terinfeksi virus DBD tersebut di 16 lokasi penelitiannya di Malaysia dengan laju infeksi virusnya lebih tinggi pada Ae. aegypti (13,7%) dibandingkan pada Ae. albopictus (4,2%). Keturunan nyamuk yang menetas dari telur nyamuk terinfeksi virus DBD secara outomatis menjadi nyamuk terinfeksi yang dapat menularkan virus DBD kepada inangnya yaitu manusia.

2.1.4. Siklus Hidup Nyamuk

Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber : Anggraeni, 2010


(41)

a. Telur

Setiap kali bertelur , nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Nyamuk Ae. aegypti meletakkan telur pada permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang ± 0,80 mm. Telur Ae. aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik dalam 1 sampai 2 hari.

b. Jentik

Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya. Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan jentik tersebut, yaitu: Instar I berukuran paling kecil, yaitu 1 – 2 mm; 2) Instar II 2,5 – 3,8 mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV berukuran paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam 5 sampai 7 hari.

c. Pupa / Kepompong

Pupa berbentuk seperti ‘koma’. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 1-2 hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Anggraeni, 2010).


(42)

2.1.5. Pengaruh Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesakitan akibat DBD, karena berkaitan dengantempat perindukan nyamuk penular DBD, faktor lingkungan tersebut antara lain:

1. Lingkungan Biologik

Pertumbuhan larva dari instar ke instar dipengaruhi oleh air yang ada di dalam kontainer, pada kontainer dengan air yang lama biasanya terdapat kuman patogen atau parasit yang akan mempengaruhi pertumbuhan larva tersebut. Adanya infeksi patogen dan parasit pada larva akan mengurangi jumlah larva yamg hidup untuk menjadi nyamuk dewasa, masa pertumbuhan larva bias menjadi lebih lama dan umur nyamuk dewasa yang berasal dari larva yang terinfeksi patogen atau parasit biasanya lebih pendek.

2. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan nyamuk penular DBD antara lain jarak antar rumah, macam kontainer, suhu udara, curah hujan, pengaruh angin dan kelembaban.

a) Jarak Antar Rumah

Jarak antar rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah kerumah yang lain. Semakin dekat jarak antar rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah yang lain.


(43)

b) Suhu Udara

Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Aedes aegypti. Nyamuk Aedes akan meletakkan telurnya pada temperature udara sekitar 200C – 300C. Telur yang diletakkan dalam air akan menetas pada 1 sampai 3 hari pada suhu 300C, tetapi pada suhu udara 160C dibutuhkan waktu selama 7 hari. Nyamuk dapat hidup pada suhu rendah tetapi proses metabolismanya menurun atau bahkan berhenti apabila suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu lebih tinggi dari 350C juga mengalami perubahan dalam arti lebih lambatnya proses-proses fisiologi, rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-270

Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali pada suhu kurang dari 10 C.

0 C atau lebih dari 400

c) Kelembaban Udara

C. Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari kecepatan proses metabolismanya yang sebagian diatur oleh suhu. Karenanya kejadian-kejadian biologis tertentu seperti: lamanya pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap dan pematangan indung telur dan frekensi mengambil makanan atau menggigit berbeda-beda menurut suhu, demikian pula lamanya perjalanan virus di dalam tubuh nyamuk.

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen. Dalam kehidupan nyamuk kelembaban udara mempengaruhi kebiasaan meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan nyamuk atau serangga pada umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor kelembaban. Sistem pernafasan nyamuk Aedes aegypti yaitu dengan menggunakan


(44)

pipa-pipa udara yang disebut trachea, dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.

Adanya spirakel yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturnya, maka pada kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dalam tubuh nyamuk, dan salah satu musuh nyamuk dewasa adalah penguapan. Pada kelembaban kurang dari 60 % umur nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk perpidahan virus dari lambung ke kelenjar ludah.

d) Intensitas Cahaya

Cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi aktivitas terbang nyamuk, nyamuk terbang apabila intensitas cahaya rendah (<20 Ft-cd). Larva dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan juga menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Dalam bejana yang intensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari bejana yang intensitas cahanya besar atau terang.

e) Pengaruh Hujan

Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah jumlah tempat perindukan nyamuk alamiah. Perindukan nyamuk alamiah di luar rumah selain sampah-sampah kering seperti botol bekas, kaleng-kaleng, juga potongan bambu sebagai pagar sering dijumpai di rumah-rumah penduduk serta daun-daunan yang


(45)

memungkinkan menampung air hujan merupakan tempat perindukan yang baik untuk bertelurnya Aedes aeegypti.

f) Pengaruh Angin

Secara tidak langsung angina akan mempengaruhi evaporasi atau penguapan air dan suhu udara atau konveksi. Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk. Kecepatan angin kurang dari 8,05 km/jam tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk, dan aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 km/jam (2,2 meter/detik) atau lebih.

2.2. Penanggulangan DBD

2.2.1. Pengendalian Vektor Penyebab DBD

Saat ini hanya cara pengendalian yang tepat menanggulangi penyakit DB dan DBD adalah menurunkan populasi vector untuk mengurangi kontak antara vector dengan manusia dan mengendalikan habitat larva dari beragam lokasi.

Cara ini memerlukan pengetahuan yang memadai untuk mengenali jenis dan karakter, habitat dan perilaku hidup atau bioekologinya dan arti penting nyamuk vector tersebut sebagai penular penyakit yang mematikan itu. Untuk itu diperlukan pengembangan teknologi dan strategi berbasis masyarakat untuk menjamin keberlanjutan usaha pengendalian tersebut (Depkes RI, 2005).

2.2.2. Pemberantasan Sarang Nyamuk Penyebab DBD

Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara rutin oleh semua masyarakat maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau


(46)

dibatasi. Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk memberantas nyamuk Ae aegypti, dilakukan dengan cara:

a. Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bias menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut.

b. Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk.

c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.

d. Mencegah barang-barang/pakaian-pakaian yang bergelantungan di kamar ruang yang remang-remang atau gelap.

Pendekatan pemberantasan terpadu menurut Kalra dan Bang adalah suatu strategi pemberantasan vektor penyakit yang dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian secara kimiawi, perlindungan diri, pengelolaan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan secara terpadu. Pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan upaya pemberantasan vektor dengan metode pendekatan terpadu karena menggunakan beberapa cara yaitu secara kimia dengan menggunakan larvasida, secara biologi dengan mengguanakan predator, dan secara fisik yang dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, dan Mengubur). Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur


(47)

sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak ditempat itu. Apabila PSN-DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat dibasmi. Untuk itu diperlukan upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, karena keberadaan Aedes aegypti berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

2.2.3 Surveilans DBD

Surveilans DBD adalah bagain dari surveilans kesehatan masyarakat atau surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus-menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).

Menurut Depkes RI (2003), surveilans epidemiologi adalah kegiatan secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan


(48)

penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sedang sistem surveilans epidemiologi adalah merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, propinsi dan pusat.

Ada banyak definisi surveilans yang dijabarkan oleh para ahli, namun pada dasarnya mareka setuju bahwa kata “surveilans” mengandung empat unsur yaitu: koleksi, analisis, interpretasi dan diseminasi data. WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat.

Dengan demikian, di dalam suatu sistem surveilans, hal yang perlu digaris bawahi adalah:

1. Surveilans merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan pada suatu waktu.

2. Kegiatan surveilans bukan hanya berhenti pada proses pengumpulan data, namun yang jauh lebih penting dari itu perlu adanya suatu analisis, interpretasi data serta pengambilan kebijakan berdasarkan data tersebut, sampai kepada evaluasinya.


(49)

3. Data yang dihasilkan dalam sistem surveilans haruslah memiliki kualitas yang baik karena data ini merupakan dasar yang esensial dalam menghasilkan kebijakan/ tindakan yang efektif dan efisien.

1) Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.

Tujuan khusus surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).

Menurut Depkes RI (2003), surveilans juga penting untuk mengamati kecenderungan dan memperkirakan besar masalah kesehatan, mendeteksi serta memprediksi adanya KLB, mengamati kemajuan program pencegahan dan pemberantasan penyakit yang akan dilakukan, memperkirakan dampak program intervensi, mengevaluasi program intervensi dan mempermudah perencanaan program pemberantasan penyakit.

2) Kegiatan-kegiatan Surveilans


(50)

(1) Pengumpulan data

Pengumpulan data surveilans dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Surveilans aktif dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber lain sedang surveilans pasif dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari laporan unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber lain.

(2) Pengolahan data, analisis dan interpretasi data

Aspek kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam pengolahan data dan analisis data surveilans yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data. Ketepatan waktu pengolahan data sangat berkaitan dengan waktu penerimaan data.

(3) Umpan balik dan diseminasi informasi yang baik serta respon yang tepat Kunci keberhasilan surveilans adalah umpan balik dan diseminasi kepada sumber-sumber data dan pengguna informasi tentang pentingnya proses pengumpulan data. Bentuk umpat balik biasanya berupa ringkasan informasi dari analisis data serta tindakan korektif kepada sumber laporan

3) Uraian Tugas Petugas Surveilans

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petugas Surveilans DBD Puskesmas mempunyai uraian tugas sesuai dengan kegiatan-kegiatan surveilans epidemiologi penyakit menular, yaitu:

1) Menyusun rencana kegiatan surveilans DBD

Petugas merencanaan kegiatan surveilans DBD dengan menyiapkan sumber daya manusia yang terlibat, fasilitas yang dibutuhkan serta bentuk kegiatan


(51)

operasional lainnya yang berkaitan dengan kegiatan surveilans DBD di lapangan.

2) Pengumpulan data / Pencarian Kasus

Pengumpulan data dapat dilakukan secara aktif yaitu melakukan kajian-kajian epidemiologi DBD dengan menggunakan form atau lembar ceklist yang telah dipersiapkan. Data yang dikumpulkan berupa data morbiditas DBD berdasarkan karakteristik penduduk, dan berdasarkan wilayah. pengumpulan data dapat dilakukan di dalam dan diluar gedung puskesmas. Pengumpulan data secara tidak aktif biasanya dilakukan didalam gedung puskesmas dengan merekaptulasi seluruh kunjungan penderita DBD di Puskesmas, serta data dari catatan laboratorium. Umumnya di Indonesia, pencarian kasus DBD menggunakan teknik Passive Case Finding (PCD). Pada teknik PCD si penderita dengan gejala DBD datang ke di rumah sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Poliklinik untuk berobat, kemudian dilakukan pemeriksaan hingga didiagnosa penyakit DBD. PCD biasanya diperuntukkan di daerah endemis termasuk Kota Pematangsiantar.

Apabila ada laporan dari RS mengenai kasus DBD dan dicurigai akan adanya wabah, maka akan dilakukan penelitian ke lapangan. Ini gunanya untuk mengetahui adanya penderita lain ataupun tersangka DBD yang perlu dikonfirmasi laboratorium, menentukan luas daerah yang terkena dan luas daerah yang perlu ditanggulangi, menilai sumber-sumber (inventory) mengenai keadaan umum setempat, mengenai fasilitas dan faktor-faktor yang


(52)

berperanan penting pada timbulnya wabah serta setiap kasus demam berdarah/tersangka demam berdarah perlu dilakukan kunjungan rumah oleh petugas untuk penyuluhan dan pemeriksaan jentik di rumah kasus tersebut dan 20 rumah di sekelilingnya (radius 100 meter). Bila terdapat jentik, masyarakat diminta melakukan pemberantasan sarang nyamuk (Pada umumnya penyemprotan/fogging, dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan . Prioritas fogging adalah pada areal dengan kasus-kasus demam berdarah yang mengelompok, dan yang meninggal).

3) Pengolahan dan Penyajian Data

Pengolahan data dilakukan terhadap seluruh data yang telah dikumpulkan dengan pendekatan Epidemiologi, dan mendistribusikan dalam bentuk tabel dan grafik serta narasi yang sesuai sebagai bentuk dalam penyajian informasi 4) Penyebarluasan Informasi (diseminasi informasi)

Upaya ini adalah menyampaikan seluruh informasi yang berkaitan dengan epidemiologi DBD dan langkah strategis penanggulangan DBD dalam bentuk laporan rutin, laporan mingguan, maupun jenis bentuk laporan lain sesuai pedoman surveilans DBD.

2.3. Kinerja

2.3.1. Pengertian Kinerja

Kata kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang dalam bahasa Indonesia seringkali juga diterjemahkan dengan unjuk kerja, hasil karya, pelaksanaan


(53)

kerja maupun hasil pelaksanaan kerja. Beach (Putti, 1990) menyebutkan kinerja adalah: “a systematic evaluation on an individual employee regarding his/her performance on his/her job and his/her potentials for development.” Jadi, kinerja adalah penilaian sistematis atas diri pegawai terkait dengan prestasinya dan potensinya yang dapat dikembangkan. Belows (Putti, 1990) mengemukakan definisi senada, dengan menambahkan bahwa penilaian tersebut dilakukan oleh pihak atasan atau pihak lain yang diberi tugas melakukan penilaian. Dikemukakannya, kinerja adalah : “evaluation on the value of an individual employee for his/her organization conducted by his/her superior or by someone in position to evaluate his/her performance.”

Menurut Amstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Menurut Bernadin dan Russell (Sulistiyani dan Rosidah, 2003), kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan (2001) menyatakan, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Gibson, et al., (1996) menyebutkan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam penelitian ini, kinerja petugas surveilans DBD adalah tingkat keberhasilan


(54)

mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan DBD sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan.

2.3.2. Penilaian Kinerja

Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa, penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap pekerjaannya. Esensinya, supervisor dan karyawan secara formal melakukan evaluasi terus menerus. Kebanyakan mereka mengacu pada prestasi kerja sebelumnya dan mengevaluasi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika kinerja atau prestasi kerja tidak memenuhi syarat, maka manajer atau supervisor harus mengambil tindakan, demikian juga apabila prestasi kerjanya bagus maka perilakunya perlu dipertahankan.

Penilaian kinerja dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Menurut Ruky (2006), tujuannya adalah: (1) meningkatkan prestasi kerja seseorang dengan memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan, (2) merangsang minat dalam pengembangan pribadi agar meningkatkan hasil karya dan prestasi serta potensi laten dengan cara memberikan umpan balik tentang prestasi yang bersangkutan, (3) membantu menyusun program pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, dan (4) sebagai pertimbangan obyektif dalam sistem penghargaan (reward -punishment).

Melakukan penilaian kinerja akan bemanfaat untuk memperoleh umpan balik atas kinerja, identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, penghargaan, dan evaluasi pencapaian tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2001), memberikan informasi sebagai


(55)

pertimbangan untuk promosi dan penetapan gaji dan memberikan peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan, dan membantu menilai perkembangan seorang dalam melaksanakan tugasnya (Mckirchy, 2004). Penilaian kinerja juga bermanfaat untuk: (1) penyesuaian dalam kompensasi, (2) perbaikan kinerja, (3) kebutuhan latihan dan pengembangan, (4) pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian, dan perencanaan tenaga kerja, dan (5) membantu diagnosis terhadap kesalahan dalam disain pegawai (Sulistiyani dan Rosidah, 2003).

Dalam konteks organisasi, penilaian kinerja juga sangat membantu pimpinan mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat maupun program-program organisasi secara menyeluruh (Ruky, 2006).

Dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia, menurut Ruky (2006) beberapa manfaat penilaian kinerja terutama dalam: (1) penyusunan program pelatihan dan pengembangan karyawan; karena dengan penilaian kinerja akan teridentifikasi pelatihan tambahan yang masih diperlukan untuk membantu tercapai standar prestasi yang ditetapkan, (2) penyusunan program suksesi dan kaderisasi; karena dengan catatan (record) kinerja dapat mengetahui potensi untuk dikembangkan kariernya, dan (3) pembinaan karyawan; karena dengan penilaian kinerja dapat diketahui hambatan-hambatan untuk meningkatkan prestasinya.

Dalam konteks perilaku, penilaian kinerja membantu mengidentifikasi faktor yang membentuk pola perilaku yang menjadi ciri individu, sehingga berguna untuk


(56)

mengomunikasikan ikhwal mengapa individu berperilaku dan bertindak dengan cara-cara tertentu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sangat dibutuhkan tidak saja bagi pengembangan organisasi, melainkan juga bagi individu yang bersangkutan. Bagi organisasi publik, kinerja pegawai yang tinggi di samping meningkatkan kinerja organisasi, juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Jadi, penilaian terhadap kinerja petugas Surveilans DBD diharapkan akan mendorong peningkatan upaya penyelidikan epidemiologi kasus DBD, pencatatan dan pelaporan serta upaya peningkatan daerah bebas jentik.

2.3.3. Cara Menilai Kinerja

Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau kriteria. Memilah metode penilaian kinerja berdasarkan konsep Input–Process–Output. Metode penilaian berorientasi input disebut person centered approach. Metode ini bersifat individual yang menekankan pada penilaian ciri-ciri atau karakteristik kepribadian seperti; kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut bukanlah sebagai prestasi, tetapi lebih tepat disebut persyaratan atau karakteristik yang harus dipenuhi oleh seseorang agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga akhirnya mempunyai prestasi yang bagus.

Pada metode yang memfokuskan penilaiannya pada proses (disebut job centered approach), yang menjadi tolok ukurnya adalah tanggung jawab dan


(57)

persyaratan. Prestasi diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku serta tanggung jawabnya. Dengan kata lain, penilaian masih tetap difokuskan langsung pada kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya. Jadi cara ini merupakan pergeseran fokus penilaian dari input ke proses. Adapun cara yang ketiga yaitu yang berbasis pencapaian hasil individu (result oriented performance), yang memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai (output).

Menurut Ainsworth et al., (2002) pengukuran kinerja menggunakan skala dua faktor, yakni skala hasil dan skala usaha, di mana ukuran ini memfokuskan pada: (1) produktivitas; yang mempertimbangkan ukuran seperti volume dan hasil kerja, (2) biaya; yang diperlukan bagi manusia, pemrosesan, dan bahan mentah, (3) mutu; yaitu hasil yang dapat diterima, kedekatan dengan spesifikasi, tingkat apkiran (produk yang tidak mendekati standar), dan standar yang terpenuhi, (4) kepuasan pelanggan, apakah ditemukan keluhan atau pujian, dan tingkat kepuasan, dan (5) tenggat waktu, mencapai tenggat waktu dan jadwal yang disepakati.

Menurut Klinger dan Nalbandian dalam Ilyas (2006), fokus penilaian kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: (1) penilaian berdasarkan hasil akhir (resultbased performance), yakni penilaian yang didasarkan pada pencapaian tujuan atau hasil akhir (end result); (2) penilaian berdasarkan perilaku (behavior-based performance), yang memfokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals), bukan pada hasil akhir; dan (3) penilaian berdasarkan pendapat (judgment based performance), yang melakukan penilaian dengan menggunakan peringkat penilaian:


(58)

sangat bagus – sangat tidak bagus (rating method) dan pengurutan: dari paling baik – paling buruk (ranking method).

Menurut K-State Cooperative Extension Service (Khalil et al., 2008), ukuran kinerja dapat dicapai melalui dimensi: (1) kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3) keterikatan pada jadwal kerja, (4) alokasi kerja, (5) sikap dan ketenangan, dan (6) kepuasan organisasi dan pelanggan. Terziovski dan Dean (Khalil et al,. 2008) menyatakan bahwa peningkatan/pengembangan kualitas kerja mengacu pada dimensi yang paling efektif dalam memengaruhi kinerja pegawai. Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek input-proses-output ataupun dari aspek hasil dan usaha..

Tujuan Pengukuran Kinerja antara lain:a).Membantu memperbaiki kinerja pemerintahan agar kegiatan pemerintah terfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. b). Pengalokasian sumber daya dan pembuatankeputusan. c).Mewujudkan pertanggungjawaban public dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.

Manfaat Pengukuran Kinerja: a). Membawa organisasi dekat pada pelanggannya dan seluruh anggota organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan. b).Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan kepada para pelanggan secara maksimal. c).Menidentifikasi berbagai factor untuk mempengaruhi hasil kinerja organisasi yang dapat dicapai. d). Membuat tujuan strategis untuk mempertinggi kepuasan pelanggan. e).Membangun konsensus bagi intervensi terencana bagi pengembangan organisasi.


(59)

2.3.4. Determinan Kinerja Petugas DBD

Keberhasilan pelaksanaan tugas pegawai sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Menurut Ainswort et al., (2002), kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi. Artinya, kinerja adalah hasil akhir dari kemampuan dan keinginan seseorang. Jadi, model kinerja adalah: P(performance) = f (A(ability), M(otivation)).

Menurut Robbins (1996), kinerja tidak saja ditentukan oleh kedua faktor tersebut, melainkan juga oleh kesempatan (opportunity). Jadi, kinerja adalah fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), atau kinerja = ƒ (A, M, O). Kesempatan merujuk pada tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menghambat. Untuk itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.

Menurut Sulistiyani dan Rosidah (2003) menyebutkan bahwa kinerja adalah kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Lorsch dan Laurence dalam Wibowo (2007) menyatakan bahwa kinerja adalah fungsi dari atribut individu, organisasi dan lingkungan, sehingga dirumuskan sebagai: kinerja = f(atribut individu,organisasi, lingkungan). Hersey dan Blanchard (1982) dalam Simamora (2006) merumuskan tujuh faktor yang memengaruhi kinerja yang dirumuskan dengan akronim ”ACHIEVE”, yakni: pengetahuan dan keterampilan


(60)

(Ability), pemahaman atau persepsi (Clarity), dukungan organisasi (Help), motivasi atau kemauan (Incentive), bimbingan dan umpan balik kinerja (Evaluation), validitas (legal personal practice), dan dukungan lingkungan (environment fit).

Atmosoeprapto (2001) merinci beberapa aspek yang berhubungan dengan kinerja, antara lain: kemampuan (competence) merupakan fungsi dari pengetahuan dan keterampilan. Commitment adalah pengaruh atas confidence dan motivation. Confidence ialah rasa keyakinan diri seseorang mampu melakukan tugas dengan baik tanpa banyak diawasi. Adapun motivation adalah minat atau antusias seseorang untuk melakukan suatu tugas dengan baik.

Gibson et al., (1996) menyebutkan bahwa faktor pengaruh kinerja individu: (1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi, (2) faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja, dan (3) faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem penghargaan. Ketiga variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja pegawai. Kinerja atau penampilan kerja adalah perilaku yang berkaitan langsung dengan tugas pekerjaan dan yang perlu diselesaikan untuk mencapai sasaran pekerjaan. Bagi seorang manajer hubungan perilaku dan kinerja mencakup beberapa kegiatan seperti identifikasi masalah, perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian karyawan.

Model teori kerja melakukan analisis terhadap sejumlah variabel yang menjelaskan perilaku dan kinerja individu. Variabel individu dikelompokkan pada


(61)

sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, sedangkan variabel demografi mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

Variabel Psikologik dikelompokkan pada sub variabel sikap, persepsi, kepribadian, belajar dan motivasi, variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan varibel demografi. sub variabel sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks dan sulit diukur, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organisasi kerja pada usia, etnis latar belakang budaya, ketrampilan berbeda satu dengan yang lainnya.

Variabel Organisasi dikelompokkan pada sub variabel sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Sub variabel imbalan atau kompensasi akan berpengaruh untuk meningkatkan motivasi kerja yang pada akhirnya secara langsung akan meningkatkan kinerja individu.

2.4. Landasan Teori

Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Menurut Gibson yang dikutip Illyas (2001) kinerja merupakan proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai dari seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Kinerja dalam surveilans DBD merupakan bentuk hasil kerja yang dicapai petugas surveilans dalam menjalankan serangkaian tugas-tugas sebagai petugas surveilans. Adapun kerangka teori determinan kinerja petugas DBD dapat merujuk pada beberapa pendapat Gibson (1996), berikut ini:


(62)

Gambar 2.2. Determinan Kinerja Sumber Daya Manusia Gibson (1996) Menurut Gibson dalam Ilyas (2001) ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu :

1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur.


(63)

3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

WHO mendefiniskan surveilans sebagai suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat. Surveilans DBD adalah tindakan terus-menerus dan berkesinambungan dalam menganalisis seluruh upaya pendataan kasus DBD, analisis, penyusunan laporan, dan umpan balik. Kinerja petugas surveilans adalah keseluruhan dari hasil kerja petugas surveilans sesuai dengan uraian tugasnya.

2.5. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Faktor Intrinsik Petugas Surveilans

1. Pendidikan 2. Pelatihan 3. Pengetahuan 4. Sikap 5. Masa Kerja 6. Motivasi Kerja

Faktor Ekstrinsik Petugas Surveilans 1. Beban Kerja

2. Dukungan Pimpinan 3. Imbalan

Kinerja Petugas Surveilans DBD


(1)

Beban_Kerja * Kinerja

Crosstab

Kinerja

Total

Kurang Baik

Beban_Kerja Ringan Count 16 2 18

% within Beban_Kerja 88.9% 11.1% 100.0%

Berat Count 4 12 16

% within Beban_Kerja 25.0% 75.0% 100.0%

Total Count 20 14 34

% within Beban_Kerja 58.8% 41.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 14.275a 1 .000

Continuity Correctionb 11.759 1 .001

Likelihood Ratio 15.517 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.855 1 .000

N of Valid Cases 34

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.59. b. Computed only for a 2x2 table

Dukungan_Pimpinan * Kinerja

Crosstab

Kinerja

Total Kurang Baik

Dukungan_Pimpinan Rendah Count 14 4 18

% within Dukungan_Pimpinan 77.8% 22.2% 100.0%

Tinggi Count 6 10 16

% within Dukungan_Pimpinan 37.5% 62.5% 100.0%


(2)

Crosstab

Kinerja

Total Kurang Baik

Dukungan_Pimpinan Rendah Count 14 4 18

% within Dukungan_Pimpinan 77.8% 22.2% 100.0%

Tinggi Count 6 10 16

% within Dukungan_Pimpinan 37.5% 62.5% 100.0%

Total Count 20 14 34

% within Dukungan_Pimpinan 58.8% 41.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 5.673a 1 .017

Continuity Correctionb 4.132 1 .042

Likelihood Ratio 5.830 1 .016

Fisher's Exact Test .035 .020

Linear-by-Linear Association 5.507 1 .019

N of Valid Cases 34

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.59. b. Computed only for a 2x2 table

Imbalan * Kinerja


(3)

Crosstab

Kinerja

Total

Kurang Baik

Imbalan Rendah Count 17 2 19

% within Imbalan 89.5% 10.5% 100.0%

Tinggi Count 3 12 15

% within Imbalan 20.0% 80.0% 100.0%

Total Count 20 14 34

% within Imbalan 58.8% 41.2% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 16.703a 1 .000

Continuity Correctionb 13.958 1 .000

Likelihood Ratio 18.271 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 16.212 1 .000

N of Valid Cases 34

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.18. b. Computed only for a 2x2 table


(4)

Analisis Multivariat

Logistic Regression

Dependent Variable Encoding

Original

Value Internal Value

Kurang 0

Baik 1

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Kinerja Percentage

Correct

Kurang Baik

Step 0 Kinerja Kurang 20 0 100.0

Baik 14 0 .0

Overall Percentage 58.8

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant -.357 .348 1.048 1 .306 .700


(5)

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Pengetahuan 7.201 1 .007

Sikap 6.275 1 .012

Motivasi 16.703 1 .000

Beban_Kerja 14.275 1 .000

Dukungan_Pimpinan 5.673 1 .017

Imbalan 16.703 1 .000

Overall Statistics 22.795 6 .001

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

Chi-square df Sig.

Step 1 Step 29.690 6 .000

Block 29.690 6 .000

Model 29.690 6 .000

Model Summary

Step -2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

1 16.380a .582 .785

a. Estimation terminated at iteration number 20 because maximum iterations has been reached. Final solution cannot be found.


(6)

Classification Tablea

Observed

Predicted

Kinerja Percentage

Correct

Kurang Baik

Step 1 Kinerja Kurang 18 2 90.0

Baik 3 11 78.6

Overall Percentage 85.3

a. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a Pengetahuan .547 1.355 .163 1 .686 1.729

Sikap -19.971 16890.552 .000 1 .999 .000

Motivasi 2.601 1.506 2.984 1 .084 13.476

Beban_Kerja 20.188 16890.552 .000 1 .999 5.855E8

Dukungan_Pimpinan .328 1.830 .032 1 .858 1.388

Imbalan 3.370 1.477 5.209 1 .022 29.085

Constant -4.159 1.564 7.077 1 .008 .016

a. Variable(s) entered on step 1: Pengetahuan, Sikap, Motivasi, Beban_Kerja, Dukungan_Pimpinan, Imbalan.