KAITAN ANTARA KERANCUAN PIHAK KETIGA DEN

KAITAN ANTARA KERANCUAN PIHAK KETIGA DENGAN PARATE EXECUTIE DALAM EKSEKUSI OBJEK HAK TANGGUNGAN

Pengajar : Dr. Ahmad Muliadi,SH, MH

Ditulis untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Agraria

NAMA : Cendy Suwardi

NPM : 2012010461002

Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya kerap kali terhambat oleh berbagai masalah, salah satunya adalah keterbatasan dana atau finansial. Masalah keterbatasan dana tersebut dapat diatasi dengan melakukan peminjaman uang, baik itu kepada lembaga keuangan, seperti bank, maupun peminjaman kepada orang perseorangan. Pihak yang meminjam dana atau uang disebut debitor, sedangkan pihak yang meminjamkan disebut kreditor. Mengenai utang atau kredit, pengertiannya dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 (selanjutnya disebut UU Perbankan), yaitu:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 (selanjutnya disebut UU Kepailitan), mendefinisikan utang sebagai berikut:


Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.



Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa utang terjadi antara debitor dan kreditor yang biasanya tertuang dalam sebuah perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit, di mana timbul kewajiban bahwa debitor harus mengembalikan pinjaman uang tersebut dalam jangka waktu tertentu kepada kreditor.

Perjanjian kredit berkaitan erat dengan jaminan. Jaminan, secara umum, diartikan sebagai segala harta kekayaan debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan datang, yang dijaminkan bagi perikatan yang dibuat oleh debitor. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Menurut Hartono Hadisoeprapto1, jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Dalam hal demikian, jaminan dianggap memberikan kepastian bagi kreditor bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitor. Jaminan dapat pula diartikan sebagai segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang2. Oleh sebab itu, aspek jaminan dalam suatu hubungan utang piutang merupakan faktor yang begitu penting, mengingat fungsinya sebagai pembayaran dalam hal debitor wanprestasi.

Hukum perdata mengenal jenis-jenis jaminan, antara lain jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitor, apabila debitor wanprestasi3. Jaminan kebendaan, yaitu jaminan berupa harta kekayaan dengan cara pemisahan bagian dari harta kekayaan, baik si debitor maupun dari pihak ketiga, yang fungsinya untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor yang bersangkutan bila wanprestasi4. Dalam penelitian ini, yang akan dikaji ialah salah satu jenis jaminan kebendaan, yaitu hak tanggungan.

Hak tanggungan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda - benda yang Berkaitan dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 (selanjutnya disebut UUHT). Lahirnya UUHT mengakibatkan semua jaminan atas tanah dan kebendaan lainnya yang berkaitkan dengan tanah tidak lagi dijamin dengan hipotek. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA). Hak tanggungan diartikan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk. pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain5.

Mengenai hak didahulukan dan kemudahan yang terkandung dalam hak tanggungan, ditegaskan dalam Pasal 21 UUHT, yaitu apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-undang ini. Ditambahkan pula oleh Mariam Darus Badrulzama6 bahwa:


”UUHT memberi kedudukan utama (preference) kepada pemegang Hak Tanggungan. Dalam hal pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, maka pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak separatis, artinya objek Hak Tanggungan tidak dimasukkan ke dalam harta pailit. Kepailitan tidak berlaku dalam objek Hak Tanggungan.”


Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa:


”Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”


Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa kreditor sebagai pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi objek hak tanggungan ketika debitor wanprestasi. Hal ini dikarenakan di dalam sertifikat Hak Tanggungan terdapat irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”7 memiliki kekuatan eksekusi sama seperti putusan pengadilan. Hak tanggungan, sebagai salah satu jenis hak jaminan kebendaan, memiliki lembaga yang merupakan keistimewaan. Lembaga istimewa tersebut adalah parate executie. Parate executie berhubungan erat dengan sifat hak tanggungan yang mendahulukan dan memudahkan pelunasan hak tagih kreditor yang memegangnya. Subekti8 menyatakan bahwa parate executie ialah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut. Dari pengertian tersebut, maka tampak jelas bahwa parate executie memberikan posisi yang sangat terlindungi bagi kreditor sebagai pemegang hak tanggungan. Hal yang mendasari pembuat undang-undang memberikan kewenangan tersebut bagi pemegang hak tanggungan, yaitu semata-mata agar ia mendapat kedudukan yang lebih baik bagi pelunasan piutangnya, sebab seolah-olah debitor telah menyisihkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya untuk membayar utangnya apabila di kemudian hari ia wanprestasi.

Pengaturan mengenai parate executie dalam hak tanggungan terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 6 UUHT, yaitu:


Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT:

“(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:

  1. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;”


Pasal 6 UUHT:

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”


Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk menjual jaminan debitor apabila ia wanprestasi, secara langsung tanpa diperlukan penetapan dari pengadilan. Namun demikian, parate executie tidaklah absolut. Pasal 27 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 (selanjutnya disebut Permenkeu 2010) mengatur sebagai berikut:


“Pembatalan lelang sebelum pelaksanaan lelang di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan oleh Pejabat Lelang dalam hal:

  1. SKT untuk pelaksanaan lelang tanah atau tanah dan bangunan belum ada

  2. Barang yang akan dilelang dalam status sita pidana, khusus Lelang Eksekusi;

  3. Terdapat gugatan atas rencana pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UU HT dari pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi;

  4. Barang yang akan dilelang dalam status sita jaminan/sita eksekusi/sita pidana, khusus Lelang Noneksekusi;

  5. Tidak memenuhi legalitas formal subjek dan objek lelang karena terdapat perbedaan data pada dokumen persyaratan lelang;

  6. Penjual tidak dapat memperlihatkan atau menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;

  7. Penjual tidak hadir pada saat pelaksanaan lelang, kecuali lelang yang dilakukan melalui internet;

  8. Pengumuman Lelang yang dilaksanakan Penjual tidak dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan;

  9. Keadaan memaksa (force majeur)/kahar;

  10. Nilai Limit yang dicantumkan dalam Pengumuman Lelang tidak sesuai dengan surat penetapan Nilai Limit yang dibuat oleh Penjual/Pemilik Barang; atau

  11. Penjual tidak menguasai secara fisik barang bergerak yang dilelang.”



Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 mengatur sebagai berikut:


“1. Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.

2. Permohonan atas pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengadilan Negeri.”


Pengaturan tersebut menimbulkan suatu ketidakpastian hukum bagi pelaksanaan parate executie dalam hak tanggungan. Hal ini dikarenakan siapa pun, kecuali debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, dapat mengajukan perlawanan atau keberatan atas pelelangan objek hak tanggungan tersebut.

Ketidakpastian hukum dapat mengakibatkan kekacauan di dalam suatu negara hukum. Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Berkenaan dengan negara hukum, Schelterna9 merumuskan pandangannya, yaitu berlakunya asas kepastian hukum menjadi salah satu unsur pokok dalam suatu negara hukum. Sejalan dengan hal tersebut, Subekti10 menyatakan bahwa mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain untuk mendapatkan keadilan bukanlah tujuan hukum semata, melainkan hukum juga harus menghasilkan keseimbangan antara keadilan dengan ketertiban dan kepastian hukum. Ditegaskan pula oleh J. van Kan11 bahwa menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat adalah tugas yang dimiliki oleh hukum. Hukum dapat berbentuk undang-undang, yaitu hukum tertulis yang merupakan produk legislatif (perundang-undangan) hasil kerja sama antara pemerintah dengan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat disebut DPR)12. Oleh karena terdapat begitu banyak produk hukum tertulis, maka diaturlah suatu tata urutan yang mengatur hubungan antara peraturan-peraturan tersebut. Adapun jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan13 terdiri atas :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

  3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

  4. Peraturan Pemerintah;

  5. Peraturan Presiden;

  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

  7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.


Dalam hubungan antara suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya bukan tidak mungkin terdapat pertentangan. Dalam prakteknya sangat sering ditemui adanya suatu celah untuk kepentingan pihak ketiga dalam pelaksanaan parate executie dalam eksekusi objek hak tanggungan, di mana hak didahulukan dan kemudahan eksekusi objek hak tanggungan berbenturan dengan gugatan pihak ketiga terhadap objek hak tanggungan tersebut.


1.2 Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam makalah ini, yaitu: bagaimana kaitan antara gugatan pihak ketiga dengan pelaksanaan parate executie dalam eksekusi objek hak tanggungan?



























BAB II

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS


2.1 Kaitan Gugatan Pihak Ketiga dengan Pelaksanaan Parate Executie dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 194514. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan kegiatan usaha, baik yang dijalankan oleh orang perorangan maupun badan usaha. Tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara sering diidentikan dengan kelancaran kegiatan usaha. Oleh sebab itu, perlu dibentuknya suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang mampu untuk menjaga stabilitas kegiatan perekonomian nasional. Kegiatan usaha, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi nasional, sangat berhubungan dengan perkreditan. Setiap kegiatan usaha membutuhkan permodalan. Permodalan digunakan untuk mendukung kegiatan usaha yang dilaksanakan, pun dapat ditujukan bagi perluasan usaha. Tanpa permodalan yang cukup, suatu kegiatan usaha tidak dapat berkembang dengan baik. Para pelaku usaha biasanya melakukan perkreditan untuk meningkatkan kegiatan usahanya, dan bank adalah satu sumber perkreditan tersebut. Bank sebagai lembaga intermediasi yang mengumpulkan dana dari masyarakat, berupa berbagai jenis simpanan yang disetor para penabung, akan mendistribusikan dana tersebut kepada mereka yang membutuhkan, terutama ditujukan kepada sektor usaha yang produktif15. Bank tidak hanya berhubungan dengan nasabah peminjam, tetapi juga dengan nasabah penyimpan. Dana yang disalurkan kepada nasabah peminjam berasal dari dana yang disetor oleh nasabah penyimpan. Dengan demikian, bank harus senantiasa menjaga agar dana yang dipinjamkannya tetap tertagih kembali (collectible) dan tidak menjadi macet16.

Perkreditan menjadi hal yang sangat penting karena dapat mendukung kelancaran kegiatan usaha yang akan berdampak bagi pembangunan ekonomi. Untuk itu, setiap kegiatan perkreditan dimuat dalam suatu perjanjian kredit antara kreditor dengan debitor. Adanya perjanjian kredit tersebut melahirkan hubungan keperdataan di antara para pihak. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, alat bukti mengenai batasan hak dan kewajiban antara kreditor dan debitor, dan sebagai alat untuk memantau kredit.

Dalam praktek perbankan, selain perjanjian kredit, terdapat pula perjanjian penjaminan untuk mengamankan dana yang dipijamkan kepada debitor. Perjanjian penjaminan tersebut menjaminkan kebendaan debitor berupa tanah dan/atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif maupun konsumtif, didasarkan pada pertimbangan bahwa tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi17.

Mengenai penjaminan tanah dan/atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah, Herowati Poesoko18 berpendapat bahwa hak tanggungan dianggap oleh perbankan sebagai lembaga jaminan yang paling efektif dan aman. Hal itu didasari oleh adanya kemudahan dalam mengidentifikasi objek hak tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, serta utang yang dijamin harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan objek hak tanggungan19. Kemudahan eksekusi objek hak tanggungan yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, disebut parate executie, di mana kreditor pemegang hak tanggungan pertama dapat dengan langsung menjual objek hak tanggungan apabila debitor wanprestasi tanpa campur tangan pengadilan. Adanya parate executie untuk mengeksekusi objek hak tanggungan memberikan manfaat bagi kreditor, terutama bank, agar dapat dengan segera membereskan kredit macet, sehingga tidak berdampak buruk kepada kegiatan perekonomian nasional.

Parate executie sebagai upaya penyelesaian kredit macet dinilai sangat efektif. Adapun kelebihan parate executie, yaitu tidak memerlukan persetujuan debitor, tidak memerlukan campur tangan pengadilan, proses cepat dan sederhana (apabila tidak ada perlawanan atau gugatan), dan biaya relatif murah.

Mengenai proses cepat dan sederhana, Swandy Halim menjabarkan proses parate executie sebagai berikut:

  1. Surat somasi kepada debitor.

  2. Permohonan lelang ke KPKNL.

  3. Penetapan jadwal lelang dari KPKNL.

  4. Penjualan melalui lelang terbuka untuk umum.

  5. Pengumuman.

  6. Pengosongan (apabila perlu).


Seluruh tahapan tersebut dilalui dalam lebih kurang 2 sampai 4 bulan, apabila tidak ada perlawanan atau gugatan. Penyelesaian kredit macet dengan waktu yang relatif cepat dan dengan proses yang sederhana menjadikan hak tanggungan sebagai lembaga jaminan kebendaan yang diminati oleh kreditor. Akan tetapi, terdapat hambatan yang melemahkan parate executie sebagai senjata pamungkas dalam menyelesaikan kredit bermasalah. Adanya Permenkeu 2010 menjadi kekurangan bagi pelaksanaan parate executie dalam eksekusi objek hak tanggungan. Hal ini dikarenakan Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 memberi celah masuknya gugatan pihak ketiga untuk menghentikan proses eksekusi, yang berbunyi:


Pasal 27 Permenkeu 2010:

“Pembatalan lelang sebelum pelaksanaan lelang di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan oleh Pejabat Lelang dalam hal:

  1. Terdapat gugatan atas rencana pelaksanaan lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 UU HT dari pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi;”


Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010:

“(1) Dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak

tanggungan dari pihak selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.

(2) Permohonan atas pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengadilan Negeri.”


Keberadaan pasal-pasal tersebut dalam Permenkeu 2010 membatasi kewenangan yang diberikan oleh UUHT terhadap pelaksanaan parate executie bagi kreditor pemegang hak tanggungan pertama. Permasalahan yang dialami oleh BRI dalam upayanya melelang aset PT Palur Raya (pailit) adalah bukti adanya kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan pasal-pasal tersebut dalam Permenkeu 2010. BRI, sebagai kreditor dari Palur, memegang hak tanggungan pertama berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan Nomor: 2446/2007 tertanggal 11 Desember 2007 atas sebidang tanah dan bangunan seluas 40.580 mSragen Km. 6,3 Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor: 2156 atas nama Palur, di Jalan Solo . BRI juga memegang Sertifikat Jaminan Fiducia Nomor: W9.09754.HT.04.06.TH.2007 tertanggal 20 November 2007 atas objek jaminan berupa mesin-mesin dan peralatan milik Palur20. Palur dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang No. 05/PKPU/2010/PN. NIAGA. SMG. Jo. No. 15/Pailit/2010/PN. NIAGA. SMG. tanggal 10 Februari 2011 atas permohonan PT Gresik Cipta Sejahtera.

Oleh karena itu Palur kemudian dinyatakan dalam keadaan insolvensi, maka BRI hendak melaksanakan eksekusi jaminan kebendaan Palur dengan mengajukan permohonan eksekusi dengan surat No. B.861-RPK/RPS/04/2011 ke KPKNL Surakarta. Di dalam surat permohonan lelang tersebut dicantumkan harga limit masing-masing jaminan kebendaan Palur, dengan total Rp. 115.119.700.000,-21. Kepala KPKNL Surakarta menetapkan jadwal pelaksanaan lelang eksekusi atas aset-aset Palur yang dijaminkan kepada BRI, pada hari Jumat tanggal 13 Mei 2011. Hal tersebut ditandai dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Kepala KPKNL Surakarta No. S-85/WKN.09/KNL.02/2011. Namun demikian, terdapat gugatan yang diajukan oleh salah satu kreditor dari Palur, yaitu PT Karya Prima. Gugatan resmi telah diajukan PT Karya Prima ke Pengadilan Negeri Surakarta tanggal 6 Mei 2011 terdaftar dengan Nomor Perkara: 75/Pdt.G/2011/PN.Ska. Oleh karena adanya gugatan tersebut, Pejabat Lelang Kelas I kemudian mengeluarkan Surat Pernyataan Pembatalan Lelang pada tanggal 13 Mei 2011. Alasan pembatalan lelang tersebut dikarenakan adanya ketentuan Pasal 27 huruf c Permenkeu 2010.

Dalam hal debitor dinyatakan dalam masa penundaan kewajiban pembayaran utang (selanjutnya disebut PKPU) atau dinyatakan pailit, kreditor separatis tidak dapat langsung melaksanakan haknya untuk mengeksekusi jaminan kebendaan debitor. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 246 UU Kepailitan, yang berbunyi:


Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”


Pasal 246 UU Kepailitan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Kreditor yang diistimewakan, dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang.”


Palur berada dalam masa PKPU sementara berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga Semarang No. 05/PKPU/2010/PN. NIAGA. SMG. tertanggal 20 Desember 2010. PKPU sementara, seperti yang diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UU Kepailitan, berlangsung selama 45 hari. Pengadilan kemudian menetapkan PKPU sementara berlangsung hingga tanggal 1 Februari 2011. Pada tanggal 1 Februari 2011, diadakan pemungutan suara PKPU tetap dan usul perdamaian Palur. Rapat pemungutan suara tersebut diadakan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang, dan dihadiri oleh 32 kreditor konkuren dari 33 kreditor, hak suara sebesar 4.889 suara dari total hak suara berdasarkan tagihan yang diakui sebesar 5.285 suara. Dasar hukum pemungutan suara tersebut terdapat dalam Pasal 229 ayat (1) UU Kepailitan yang berbunyi:


“(1) Pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang tetap

berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan:

  1. persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut;”




Adapun hasil selengkapnya rapat pemungutan suara tersebut, yaitu:

  1. Setuju PKPU tetap

25 kreditur, dengan jumlah suara 1.979 suara = 40,47%.

  1. Tidak setuju PKPU tetap

7 kreditur, dengan jumlah suara 2.910 suara = 59,53%.

Hasil pemungutuan suara tersebut menunjukkan bahwa dari total 92% suara yang hadir, terdapat 59,53% suara tidak menyetujui PKPU tetap. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 225 ayat (4) UU Kepailitan22 jo. Pasal 230 ayat (1) UU Kepailitan23, Palur dinyatakan pailit dan berada dalam keadaan insolvensi.

Keadaan insolvensi ini lantas tidak memberikan hak kepada kreditor separatis untuk melaksanakan eksekusi jaminan. Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan menyatakan bahwa setelah lewat jangka waktu penangguhan, yaitu maksimal 90 hari sejak tanggal putusan pailit, barulah kreditor separatis dapat mengeksekusi jaminan kebendaannya. Hal ini telah ditaati oleh BRI, yang baru melayangkan permohonan lelang ke KPKNL Surakarta pada tanggal 11 April 2011. Dengan adanya PKPU dan penangguhan tersebut, maka dapat dikatakan BRI sebagai kreditor separatis telah dikurangi haknya untuk dengan segera melelang objek jaminan yang dimilikinya. Keadaan ini diperparah dengan masuknya gugatan PT Karya Prima atas rencana lelang yang telah dimohonkan BRI ke KPKNL Surakarta. Keadaan ini merupakan suatu pencideraan hak dan kewenangan yang telah diberikan UUHT kepada kreditor pemegang hak tanggungan pertama.

KPKNL sangat selektif melayani permohonan parate executie, dimana KPKNL hanya mau melelang objek yang tidak dipersengketakan. Hal ini tercermin dalam pembatalan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas, yang disebabkan oleh keberadaan Pasal 27 huruf c Permenkeu 2010. Pasal tersebut membuka ruang bagi pihak ketiga untuk menghambat kreditor separatis menjalankan haknya. Masuknya gugatan pihak ketiga tersebut ke pengadilan negeri atas rencana lelang sudah menjadi dasar yang cukup bagi Pejabat Lelang Kelas I untuk membatalkan lelang eksekusi. Batalnya lelang eksekusi tersebut tidak memerlukan pemeriksaan perkara hingga putusan terlebih dahulu oleh ketua pengadilan negeri. Terdaftarnya gugatan dianggap layak untuk menghentikan rencana lelang eksekusi. Terhentinya proses lelang akibat gugatan pihak ketiga membawa akibat, yaitu dibutuhkannya penetapan pengadilan untuk melaksanakan rencana lelang. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 mengatur sebagai berikut:


“(1) Dalam hal terdapat gugatan terhadap obyek lelang hak tanggungan dari pihak selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.

(2) Permohonan atas pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengadilan Negeri.”


Keberadaan Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 telah menggeser asas eksekusi objek hak tanggungan, dari parate executie ke fiat executie. Kedua jenis eksekusi tersebut saling berlawanan maknanya. Parate executie adalah pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim, sedangkan fiat executie adalah eksekusi berdasarkan izin pengadilan negeri. Landasan filosofis parate executie adalah pemberian kemudahan kepada kreditor untuk memperoleh pelunasan piutangnya, yaitu dengan memberikan ketentuan yang dapat digunakan sebagai senjata berupa kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri benda jaminan. Sejalan dengan hal tersebut, prinsip ini tertuang dalam Pasal 6 UUHT yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama memiliki hak untuk menjual objek hak tanggungan dalam hal debitor wanprestasi.

Prinsip parate executie ini ditujukan untuk mengambil pelunasan pinjaman dan menghindarkan diri kreditor dari perilaku debitor yang tidak pantas. Dengan dimunculkannya fiat executie sebagai eksekusi akibat hadirnya gugatan pihak ketiga, maka sebenarnya Permenkeu sedang memberikan peluang kepada debitor untuk berlaku yang tidak pantas. Pasal 27 huruf c Permenkeu 2010 menyatakan apabila terdapat gugatan tentang rencana lelang dari pihak ketiga, maka rencana lelang dibatalkan oleh Pejabat Lelang Kelas I. Yang dimaksud pihak ketiga yang disebutkan oleh pasal tersebut adalah pihak lain selain suami/istri debitor/tereksekusi. Dengan kata lain, dapatlah teman, kerabat, atau karyawan debitor/tereksekusi melayangkan gugatan dengan tujuan menghalang-halangi kreditor untuk melaksanakan haknya, mengingat rencana lelang batal tanpa harus diperiksa terlebih dahulu gugatan yang masuk tersebut.

Adapun pihak lain selain debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi dapat saja merupakan pihak mana pun, baik itu atas kehendaknya sendiri maupun digerakkan oleh debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi. Misalnya, penjual makanan yang bukan debitor/suami atau istri debitor/tereksekusi, yang berjualan di depan sebuah perusahaan, yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan tersebut, dapat mendaftarkan gugatan di pengadilan negeri atas rencana lelang, sehingga lelang yang sudah dijadwalkan dengan biaya yang tidak sedikit akan dibatalkan oleh pejabat lelang. Biaya yang tidak sedikit itu salah satunya adalah biaya pengumuman lelang eksekusi di media cetak, mengingat hal tersebut adalah salah satu syarat melakukan lelang. Kerugian yang ditimbulkan akibat adanya pasal-pasal tersebut dalam Permenkeu 2010 sangat menghambat kelancaran usaha kreditor, dan dalam jangka panjang mampu berdampak buruk pula bagi kegiatan perekonomian nasional.

Pada asasnya, parate executie merupakan upaya perlindungan hukum bagi kreditor. Mengingat pemberian kredit berpengaruh bagi kegiatan perekonomian, maka diperlukan aturan hukum yang mampu memfasilitasi pemberian kredit agar kelancaran pengembalian dana pinjaman dapat terjamin. Kualitas kredit dibagi menjadi 5, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan kredit macet24. Adapun kredit macet diuraikan kriterianya sebagai berikut25 :

  1. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari;

  2. Terdapat kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau

  3. Jaminan tidak dapat dicairkan dengan nilai wajar, baik dari segi hukum maupun kondisi pasar.





Dalam setiap pemberian kredit, tentu para pihak, baik kreditor maupun

debitor, tidak mengharapkan akan terjadi kredit macet. Namun demikian, dalam hubungan utang piutang kehadiran jaminan akan lebih menenteramkan, terutama bagi kreditor. Perlu dibuatkan kewenangan khusus bagi kreditor sehingga posisinya lebih terlindungi secara hukum. Hukum jaminan dinilai mampu memberikan kepastian bagi kreditor bahwa piutangnya akan dilunasi oleh debitor. Oleh sebab itu, hak tanggungan sebagai bagian dari hukum jaminan dilengkapi dengan parate executie agar kreditor dapat mengatasi kredit macet dengan mudah dan pasti.

Dalam rangka menghindari risiko kredit macet, bank sebagai kreditor diwajibkan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pinjaman. UU Perbankan memberikan penekanan agar dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, para bankir mempunyai keyakinan atas itikad baik dan kemampuan, serta kesanggupan debitur untuk melunasi utang-utangnya26. Keyakinan tersebut diperoleh dengan melakukan analisis melalui pendekatan 5 Cs of credit, yaitu character, capacity, capital, conditions dan collateral dari nasabah debitor27. Mengenai formula 5C dapat diuraikan sebagai berikut28 :

  1. Character

Penilaian terhadap karakter calon nasabah debitor dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan keinginannya untuk melakukan kewajiban mengembalikan dana yang dipinjamkan kepadanya.

  1. Capacity

Menganalisis kemampuan calon nasabah debitor untuk mengembalikan dana pinjamannya merupakan hal yang sangat penting. Informasi mengenai kemampuannya ini dapat diperoleh salah satunya dari laporan keuangan beberapa tahun terakhir.

  1. Capital

Permodalan menjadi salah satu aspek penting yang dinilai oleh bank sebelum memberikan fasilitas kredit kepada calon nasabah debitor. Bank tidak hanya menilai besar kecilnya modal, tetapi juga melihat distribusi modal agar usahanya berjalan efektif.


  1. Collateral

Aspek jaminan juga dipertimbangkan oleh bank untuk menyetujui pemberian kredit. Jaminan berfungsi sebagai sarana pengaman atas kemungkinan tidak dipenuhinya pengembalian pinjaman oleh calon nasabah debitor.

  1. Condition of economy

Kondisi ekonomi, baik secara umum maupun khusus pada usaha milik calon nasabah debitor, turut diperhatikan oleh bank. Hal ini guna mencegah kredit bermasalah akibat keadaan ekonomi tersebut.


Meski telah melakukan analisis terhadap berbagai aspek yang dimiliki oleh debitor, tetap saja kredit macet tidak dapat dihindari. Sama halnya dengan yang dialami oleh BRI terhadap Palur. Dapat dipastikan BRI, sebagai bank pemerintah yang ternama, telah menyelidiki segala hal yang berhubungan dengan Palur sebelumnya mengucurkan dana pinjaman kepadanya. Jaminan berupa hak tanggungan yang diserahkan Palur pun semakin memperkuat kepercayaan BRI bahwa pasti pengembalian dana pinjaman tersebut akan berjalan lancar. Kendati terjadi kredit macet, BRI yakin bahwa eksekusi objek hak tanggungan tersebut akan dapat diselesaikan dengan mudah, mengingat adanya parate executie yang melekat dalam hak tanggungan. Hal tersebutlah yang memang seharusnya terjadi. Parate executie yang didasari prinsip perlindungan hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan, memberikan fasilitas kepada kreditor antara lain29:

  1. Kemudahan prosedur eksekusi dalam sarana untuk mendapatkan kembali uangnya.

  2. Waktu yang cepat dalam sarana untuk mendapatkan kembali uangnya.

  3. Biaya murah dan sederhana dalam sarana mendapatkan kembali uangnya.

  4. Perlindungan atas hak dari pihak ketiga dalam hal debitor pailit.

  5. Adanya kepastian dalam penjualan benda jaminan denga cara lelang.

  6. Adanya pengecualian pelaksanaan eksekusi dari formalitas hukum acara perdata.

  7. Didahulukan pelunasan piutangnya.

  8. Hak atas menjual benda jaminan secara sederhana karena tanpa melalui proses sita jaminan dan sita eksekusi.

Ketika ada gugatan pihak ketiga yang melawan rencana lelang eksekusi, maka berbagai keuntungan yang disediakan parate executie menjadi hilang fungsi dan maknanya, karena tidak lagi kemudahan, kesederhanaan, dan waktu yang cepat yang dapat diperoleh pemegang hak tanggungan pertama manakala ia hendak mengeksekusi objek hak tanggungannya. Ia harus melewati proses ijin dari pengadilan yang pastinya akan memakan waktu lebih lama dibandingkan dengan eksekusi tanpa ijin pengadilan. Padahal mudah dan pasti eksekusinya merupakan ciri yang melekat pada hak tanggungan.

Dengan adanya Pasal 27 huruf c Permenkeu 2010, perlindungan hukum yang disediakan oleh parate executie bagi kreditor pemegang hak tanggungan pertama telah dihilangkan. Kerugian yang dialami BRI akibat batalnya rencana lelang eksekusi yang telah dimohonkan kepada KPKNL Surakarta karena gugatan PT Karya Prima, sudah tentu mempengaruhi kegiatan usahanya. BRI sebagai bankyang menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat pastterganggu kelancaran usahanya akibat hal tersebut. Prinsip yang mendasari parate executie sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor adalah prinsip perlindungan hukum bagi pemegang hak jaminan kebendaan pertama. Apabila penyelesaian kredit macet yang dialami oleh pemegang hak tanggunganpertama harus menempuh jalur yang sama dengan kreditor konkuren, maka tidakbergunalah hak tanggungan yang dimilikinya. Herowati Poesoko30 menegaskan bahwa:


“Perwujudan prinsip perlindungan hukum tersebut, tercermin dalam pelaksanaan parate executie, adanya kemudahan, waktu yang cepat dan biaya yang murah untuk mendapatkan kembali piutang kreditor, dibandingkan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, sehubungan prosedur penjualan objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, tanpa didahului sita jaminan dan sita eksekusi, serta tanpa fiat pengadilan.”


Penyelesaian kredit bermasalah diharapkan memenuhi nilai efisiensi. Terdapat berbagai upaya penyelesaian kredit bermasalah, antara lain :

  1. Gugatan perdata ke pengadilan negeri.

  2. Parate executie.

  3. Fiat executie.

  4. Kepailitan.

  5. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Gugatan perdata ke pengadilan negeri dirasa kurang menguntungkan bagi kreditor. Hal ini dikarenakan panjangnya proses penyelesaian yang harus dilalui, dimulai dari pengajuan gugatan hingga putusan. Selain itu, putusan di pengadilan negeri belumlah akhir dari penyelesaian kredit bermasalah. Hukum acara perdata membuka peluang adanya upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali apabila ada pihak yang tidak puas dengan putusan tersebut. Oleh sebab itu, timbul kebutuhan akan penyelesaian kredit bermasalah yang lebih sederhana daripada melalui gugatan perdata. Parate executie menjadi jawaban bagi permasalahan waktu dan efisiensi penyelesaian kredit bermasalah. Oleh karena pelaksanaannya tidak tunduk pada hukum acara perdata, maka tahap penyelesaian kredit macet oleh parate executie, yaitu tidak didahului sita jaminan dan sita eksekusi, tanpa fiat pengadilan, dan penjualan objek jaminan dilakukan dengan lelang. Sita jaminan adalah sita yang diletakkan, baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Fungsi dari sita jaminan adalah memberikan jaminan kepada Penggugat bahwa gugatannya nanti akan dilaksanakan oleh Tergugat. Akibat dari sita jaminan ialah harta kekayaan Tergugat tidak dapat dijual atau dikurangi nilainya, dan penjualan bagian harta kekayaan Tergugat dianggap sebagai ganti rugi. Prosedur sita jaminan (conservatoir beslag), yaitu31 :

  1. Penggugat mengajukan permohonan untuk meletakkan sita jaminan terhadap objek tertentu kepada Pengadilan dengan alasan yang cukup, yaitu karena Tergugat berusaha menghilangkan, memindahtangankan atau menyingkirkan objek tersebut dengan maksud menjauhkan barang-barang tersebut.

  2. Permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan surat gugatan, atau saat berlangsungnya sidang pemeriksaan materi perkara yang digugat, setelah putusan perkara dibacakan sampai saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

  3. Berdasarkan permohonan sita, maka Ketua Pengadilan memeriksa permohonan sita, dan apabila menurut penilaiannya permohonan Penggugat dikabulkan, maka dibuatlah penetapan untuk dilakukan.

Lain halnya dengan sita jaminan, sita eksekusi adalah sita yang diletakkan atas harta benda yang dinyatakan dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Harta benda tersebut tidak dieksekusi secara langsung, tetapi melalui lelang. Adapun prosedur sita eksekusi (executoir beslag32), yaitu:

  1. Pemohon mengajukan permohonan sita eksekusi ke Pengadilan setelah putusan berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan oleh Tergugat dengan sukarela.

  2. Berdasarkan penetapan eksekusi, Ketua Pengadilan memerintahkan juru sita untuk meletakkan sita eksekusi terhadap Tergugat atau pihak yang kalah. Penyitaan ini bertujuan untuk menjamin dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.

Di dalam parate executie, tidak ada harta benda milik debitor yang disita agar ia memenuhi janjinya melunasi utang kepada kreditor. Setelah peringatan-peringatan yang diberikan oleh kreditor, ketika telah tiba waktunya pelunasan dan debitor wanprestasi, maka tanpa diperlukan permohonan ke pengadilan negeri kreditor dapat segera menjual objek hak jaminan itu dengan kekuasaanya sendiri. Jelas parate executie merupakan proses eksekusi yang cepat dan sederhana. Ketika gugatan perdata masih memproses eksekusi dengan penyitaan, parate executie telah menghasilkan pelunasan piutang bagi kreditor.

Namun demikian, menjadi sangat miris ketika pada praktek, Kantor Lelang Negara pada umumnya tidak berani melakukan lelang tanpa adanya fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri33. Dapat dikatakan jika kreditor ingin melakukan parate executie, maka ia harus diposisikan sebagai orang yang memenangkan perkara, karena pelaksanaan hak tersebut hanya dapat terjadi dengan adanya fiat eksekusi tersebut34. Padahal, secara filosofis dan ratio legis Pasal 6 UUHT, eksekusi melalui parate executie memberikan hak bagi kreditor untuk mengeksekusi objek hak tanggungannya seperti miliknya sendiri atau atas kekuasaan sendiri tanpa bantuan pengadilan35. Hak tanggungan sebagai jaminan kebendaan yang dimiliki kreditor separatis tidak hanya sekadar menguatkan kepastian pengembalian piutang, tetapi juga mengutamakan dan mendahulukan pengembalian piutang baginya. Semakin cepat kredit bermasalah diselesaikan, semakin baik dampak yang ditimbulkan bagi pembangunan ekonomi nasional. Waktu dinilai sangat berharga dalam penyelesaian kredit macet karena berkaitan dengan jalannya suatu kegiatan usaha. Semakin lama penyelesaian kredit, maka semakin terkatung-katung nasib kreditor pula. Apabila badan usaha tidak mampu menyelesaikan kredit macetnya dengan waktu yang relatif singkat, maka hampir dapat dipastikan kelancaran usahanya terganggu, pembiayaan dan permodalannya terganggu. Dalam jangka panjang, hal tersebut dapat membuatnya bangkrut dan banyak pegawai harus kehilangan pekerjaannya. Pembentukan UUHT dengan melekatnya parate executie dalam eksekusi objek hak tanggungan diharapkan dapat menjadi solusi bagi efektivitas dan efisiensi pembayaran pelunasan piutang, yang diharapkan mampu menjadi penggerak bagi kegiatan perekonomian. Hoogerrechtschof van Nederlands Indie36 (selanjutnya disebut HGH) mengartikan parate executie sebagai hak untuk mengambil pelunasan tanpa putusan pengadilan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Maria Elisabeth Elijana37, yaitu bahwa yang dimaksud dengan parate executie adalah eksekusi secara serta merta yang dapat dilakukan tanpa perantara atau bantuan pengadilan. Berdasarkan uraian pengertian parate excutie tersebut, terdapat beberapa keistimewaan, yaitu38 :

  1. Penjualan tanpa melibatkan debitur

Hal ini terkait dengan adanya kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik kembali onherroepelijk kepada kreditur, untuk menjual atas kekuasaannya sendiri yang didapat dengan diperjanjikan dengan tegas atau karena diberikan oleh undang-undang.

  1. Penjualan tanpa perantara/melalui Pengadilan

Hal ini terkait dengan kuasa mutlak sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dan juga doktrin eksekusi yang disederhanakan dan murah. Prosedur penagihan yang dilakukan melalui pengadilan, baik dengan proses penetapan maupun gugatan, sampai dengan proses sitaan dan eksekusi, jelas akan memakan waktu yang lama.

Kemudahan dan penyederhanaan, serta percepatan pengambilan pelunasan bagi kreditor manakala debitor cidera janji dengan menggunakan parate executie sangat mendukung perputaran roda ekonomi yang menghendaki efisiensi39. Dana pinjaman yang diberikan kepada debitor harus dapat dikembalikan. Hal ini guna menjaga kelancaran kegiatan usaha kreditor, khususnya dalam hal ini bagi perbankan. Namun, adanya celah masuknya gugatan pihak ketiga yang dibuat oleh Permenkeu 2010 bagaikan momok yang menghantui dan menghalang-halangi lancarnya pembangunan ekonomi, baik sektoral maupun nasional.

Parate executie menjadi prinsip dasar yang melatarbelakangi eksekusi objek hak tanggungan yang terkristalisasi dalam Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT. Telaah terhadap prinsip hukum atas asas hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum, bahkan asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum40. Asas hukum merupakan pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret41. Asas-asas yang terkandung dalam hak tanggungan sebagai jaminan kebendaan, serta nilai-nilai filosofis yang mendasari parate executie menunjukkan bahwa keberadaan Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 Permenkeu 2010 telah melukai harmonisasi hukum nasional. Luka yang ditimbulkan itu adalah ketidakpastian hukum. Menurut M. Isnaeni42, kalau dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.

Adanya Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 dalam Permenkeu 2010 menjadikan parate executie yang termuat dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a jo. Pasal 6 UUHT hanya sebagai pasal percobaan. Apabila tidak ada gugatan dari pihak ketiga, barulah parate executie dapat dilaksanakan. Sebaliknya bila terdapat gugatan atas rencana lelang, parate executie yang dicita-citakan UUHT dapat menjadi senjata, kini hanyalah sebuah pisau tumpul yang tiada berguna. Dalam hal ini, KPKNL-lah yang menjadi penentunya. Sebab bila muncul gugatan tentang rencana lelang, Pejabat Kelas I KPKNL membatalkan rencana lelang tersebut tanpa menunggu proses pemeriksaan di pengadilan.

Permenkeu 2010 merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pembentukannya, peraturan perundang-undangan haruslah tunduk pada asas-asas yang mengikatnya. Salah satunya, yaitu lex specialis derogate legi generali. Rosjidi Ranggawidjaja43 menyatakan bahwa asas lex specialis derogate legi generali dapat diterapkan pada dua jenis peraturan perundang-undangan yang sejajar. Mengenai tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dituangkan hierarkinya dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

  3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

  4. Peraturan Pemerintah;

  5. Peraturan Presiden;

  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan

  7. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Dalam hal ini, UUHT harus memiliki lex specialis yang berbentuk undang-undang pula, yang mengatur hal spesifik atau khusus tentang hak tanggungan yang sebelumnya diatur secara umum atau tidak diatur dalam UUHT. Mengacu pada uraian tersebut, maka Permenkeu 2010 bukanlah lex specialis dari UUHT, sebab posisinya tidak sejajar. Oleh sebab itu, Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 tidak dapat dimenangkan untuk mengalahkan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT yang mengandung prinsip parate executie. Asas berikutnya yang terkait dengan permasalahan ini, yaitu lex superior derogate legi inferiori. Peraturan menteri adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan44. Berdasarkan hierarki peraturang perundang-undangan, undang-undang berada pada posisi yang lebih tinggi dari peraturan menteri. Hal ini dikarenakan peraturan menteri berada pada kelompok peraturan perundang-undangan yang keberadaannya bergantung pada perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi darinya. Lahirnya Permenkeu 2010 bersumber pada Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3)45 (selanjutnya disebut UU Lelang). Materi muatan Permenkeu 2010 sifatnya adalah prosedural atau teknis. Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU Pembentukan Perundang-undangan menyatakan bahwa:


“(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndangatau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”


Peraturan menteri, dalam hal ini Permenkeu 2010, adalah peraturan yang sifatnya prosedural yang berasal dari UU Lelang. Peter Mahmud Marzuki46 menyatakan bahwa aturan-aturan yang bersifat prosedural tersebut tidak boleh menyisihkan atau menyimpangi ketentuan yang bersifat substantif. Penjelasan UU Pembentukan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (2)47 menegaskan prinsip lex superior derogate legi inferiori yang dipaparkan secara a priori. Memang Permenkeu 2010 tidak berada ‘di bawah’ UUHT, dalam arti UUHT tidak menjadi sumber lahirnya Permenkeu 2010. Akan tetapi, keberadaan Permenkeu 2010 membatasi ruang lingkup pengaturan yang termuat dalam UUHT. Permenkeu 2010 membatasi parate executie dalam pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan melalui pelelangan umum, di mana ia meluaskan gugatan pihak ketiga untuk menghalangi hak kreditor yang telah diberikan oleh UUHT. Menurut hemat Penulis, konflik yang ditimbulkan oleh pembatasan dalam Permenkeu 2010 terhadap UUHT dapat diselesaikan dengan menarik asas lex superior derogate legi inferiori. Sebab bagaimanapun, secara hierarki, kedudukan UUHT lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Permenkeu 2010, sehingga keberadaan Permenkeu 2010 tidak boleh bertentangan dengan UUHT.

Ketentuan Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 jelas-jelas telah membatasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi berlakunya parate executie yang termuat dalam Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT. Dengan demikian, baik secara asas peraturan perundang-undangan, materi muatan, maupun secara nilai filosofis, yaitu kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi objek hak tanggungan untuk perlindungan hukum kepada kreditor, maka Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT. Hal ini mengandung konsekuensi, yaitu Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 harus dicabut demi mewujudkan kepastian hukum. Sebab selayaknya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak dapat membatasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi berlakunya peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalam rangka mencapai kepastian hukum mengenai pengaturan parate executie, yang perlu dilakukan adalah dengan mengajukan permohonan uji materi Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 terhadap Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT ke Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA). Adapun dasar hukum pengajuan uji materi ke MA sebagai berikut:

  1. Pasal 24A ayat (1)48 UUD 1945 jo. Pasal 20 ayat (2) huruf b49 UndangUndangNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 (selanjutnya disebut UU Kehakiman), yaitu MA berwenang menguji peraturan peraturan perundangundangan dibawah undang-undang.

  2. Pasal 1 ayat (2) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pada pokoknya, bahwa yang disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Dilandasi oleh dasar hukum tersebut, lembaga tinggi negara yang memiliki kewenangan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah MA. Permenkeu 2010 adalah peraturan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang50, serta merupakan peraturan tertulis yang mengikat dan dibentuk oleh pejabat yang berwenang. Oleh sebab itu, pengajuan permohonan uji materi Permenkeu 2010 ditujukan kepada MA adalah tepat. Mengenai pengajuan uji materi kepada MA, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:

  1. Pasal 31A angka (1)51 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 (selanjutnya disebut sebagai UU MA), permohonan pengujian peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang harus diajukan oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

  2. Pasal 31A ayat (2)52 UU MA mengatur bahwa permohonan pengujian materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang hanya dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum, baik publik maupun privat. Juga pasal tersebut mengatur bahwa permohonan pengujian tersebut hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dalam hal ini Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010.

Apabila seluruh syarat telah dipenuhi, maka pengajuan permohonan uji materi Permenkeu 2010 terhadap UUHT dapat ditujukan kepada MA dan selanjutnya diperiksa untuk diputuskan apakah benar Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT. Dalam hal terbukti bertentangan, maka MA akan menyatakan bahwa:

  1. Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT;

  2. Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010 tidak sah atau tidak berlaku untuk umum;

  3. Memerintahkan Menteri Keuangan untuk mencabut Pasal 27 huruf c dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Permenkeu 2010.



























BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN



3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan penjelasan yang termuat dalam BAB I hingga BAB II, dengan ini Penulis menyimpulkan bahwa gugatan pihak ketiga atas rencana pelelangan objek hak tanggungan telah membatasi hak kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan pertama dan masuknya gugatan pihak ketiga yang dapat menghentikan rencana lelang objek hak tanggungan pun telah membatasi kewenangan UUHT. UUHT memerikan kewenangan istimewa agar kreditor tersebut dapat mengeksekusi objek hak tanggungan bila debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sarana yang diberikan baginya adalah mengeksekusi dengan melalui parate executie. Selain cepat dan sederhana, parate executie pun memberikan kemudahan bagi kreditor. Hal ini dikarenakan, kreditor dapat menjual objek hak tanggungan tanpa bantuan pengadilan. Diluaskannya gugatan pihak ketiga oleh Permenkeu 2010 untuk menginterupsi proses parate executie telah menciderai hak kreditor untuk memperoleh pelunasan piutangnya secara istimewa berkenaan dengan hak tanggungan yang dimilikinya. Parate executie yang berupaya melindungi kreditor dari tindakan mangkirnya debitor justru dilumpuhkan oleh keberadaan gugatan pihak ketiga. Pelaksanaan parate executie tidak dapat dicampuradukkan dengan formalitas hukum acara perdata, akan tetapi gugatan pihak ketiga telah menarik parate executie ke dalam ruang lingkup hukum acara perdata, di mana dibutuhkan penetapan pengadilan atau fiat executie untuk mengeksekusi objek hak tanggungan. Permenkeu 2010 yang meluaskan hal tersebut secara langsung membatasi, bahkan melawan pengaturan parate executie dalam UUHT. Secara tegas UUHT menetapkan eksekusi objek hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan pertama dengan parate executie, sedangkan Permenkeu 2010 menyatakan bahwa eksekusi tersebut harus dilakukan dengan fiat executie manakala terdapat gugatan atas rencana lelang. Keberadaan Permenkeu 2010 yang mengijinkan masuknya gugatan pihak ketiga terhadap pelaksanaan eksekusi objek hak tangungan sesungguhnya melunturkan keabsolutan parate executie sebagai senjata pamungkas penangkal itikad buruk debitor yang mau menghalangi pelunasan kreditnya.


5.2 Saran

Kedudukan Permenkeu 2010 tidak dapat membatasi UUHT. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang posisinya lebih rendah tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi daripadanya. Oleh karena antara Pasal 27 huruf c jo. Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenkeu 2010 dengan Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 6 UUHT terjadi pertentangan, baik secara asas peraturan perundang-undanganm hierarki maupun secara filosofis, yaitu pergeseran eksekusi secara parate executie menjadi fiat executie yang menciderai asas mudah dan pasti eksekusinya yang melekat pada hak tanggungan, maka jalan yang harus ditempuh adalah mengajukan permohonan uji materi kepada MA. Pemohon uji materi tersebut hendaknya memperhatikan dan memenuhi segala syarat yang ditetapkan, agar permohonannya dapat diperiksa dan diterima. Permohonan uji materi tersebut dilayangkan kepada MA dengan tujuan untuk mencabut pasal-pasal dalam Permenkeu 2010 yang bertentangan dengan UUHT. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan parate executie terhadap eksekusi objek hak tanggungan.


















DAFTAR PUSTAKA


Buku


Badrulzaman, Mariam Darus, Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, Bandung: Mandar Maju, 2004


Bahsan, M., Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: Rejeki Agung, 2002


Hadisoeprapto, Hartono. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Jaminan, Yogyakarta: Liberty, 1984


Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996


Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan ke-2, Jakarta: Prenada Media Group, 2005


Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-8, Jakarta: Balai Pustaka, 1989


Poesoko, Herowati, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2007


Satrio, J., Parate Eksekusi Sebagai Sarana Menghadapi Kredit Macet, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993


__________, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Cetakan ke-5, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007



Sidharta B. Arief, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000


Sihombing, Jonker, Butir-butir Hukum Perbankan, Cetakan ke-1, Jakarta: Red Carpet Studio, 2011


Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, Jakarta: Books Terrace & Library, 2005


Soetiksno, Filsafat Hukum (Bagian I), Cetakan ke-9, Jakarta: Pradnya Pramita, 2002


Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, Dalam: Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Jakarta: Pengembangan Teknis Yustisial MARI, 1990


Sutantio, Retnowulan, Penelitian tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1999


Suyuthi, Wildan, Sita Ekseskusi, Praktek Kejurusitaan Pengadilan, Jakarta: Tatanusa, 2004


Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta: Ikhtiar, 1957


Jurnal Hukum


Anggoro, Teddy, “Parate Eksekusi: Hak Kreditur, yang Menderogasi Hukum Formil (Suatu Pemahaman Dasar dan Mendalam”, Jurnal Hukum Pembangunan No. 4 Tahun ke-37, Oktober-Desember 2007


Hutagalung, Mura P., ”Eksekusi Hipotik dan Kepastian Hukumnya”, Jurnal Hukum dan Pembangunan No. 6 Tahun ke-20, Desember 1990


Isnaeni, M., “Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia”, Jurnal Hukum Ekonomi Edisi V, 1996


Marzuki, Peter Mahmud, “Filosofi Pembaharuan Hukum Indonesia”, Jurnal Yustika Media Hukum dan Keadilan Vol. 5 No. 1, 2002


Makalah Seminar


Elijana, Maria Elisabeth, ”Eksekusi Barang Jaminan Sebagai Salah Satu Cara Pengembalian Hutang Debitur”, Prosiding Seminar Sehari Perbankan, Jakarta: FHUI, 2006


Hasil Penelitian


Hernoko, Agus Yudha, Lembaga Jaminan Hak Tanggungan sebagai Penunjang Kegiatan Perkreditan Perbankan Nasional, Tesis, Surabaya: Pascasarjana UNAIR, 1998


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 tanggal 24 September 2960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 tanggal 9 April 1996, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 tanggal 10 November 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 tanggal 18 Oktober 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 tanggal 12 Agustus 2011, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234


Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 12 tanggal 20 Januari 2005, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4471


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 217 tanggal 23 April 2010