Penerapan Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri (Analisis Terhadap Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri)

20

BAB II
MAKNA DAN FUNGSI ASAS PROPORSIONALITAS DALAM
KONTRAK KOMERSIAL

A. Pengertian dan Asas-asas Kontrak Komersial
Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidakpastian
kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada
umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak
Menurut Subekti, kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dasar
yuridisnya mengacu kepada hukum perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang
menganut suatu sistem terbuka, maka dalam pembuatan kontrak masih tetap
diizinkan memasukkan klausul-klausul yang telah disepakati para pihak. Kontrak
komersial adalah perjanjian dalam bentuk tertulis yang substansinya disetujui oleh
para pihak yang isinya bermuatan bisnis, perjanjian dua belah pihak atau lebih
yang isinya bermuatan komersial. 25
Kontrak adalah perjanjian, dalam kenyataan tidak dibedakan istilah
kontrak atau perjanjian, walaupun dalam teori sering dibedakan.Kontrak
merupakan kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang berisi prestasi hak dan
kewajiban.Dengan demikian, kontrak komersial sebagai proses mata rantai

hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang
dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak
para kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan
25

http://www.slideshare.net/aulianrachmi/kontrak-daganginternasional-30maret2009
(diakses tanggal 6 November 2015).

Universitas Sumatera Utara

21

yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian
pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan
(hak dan kewajiban) tersebut tetap harus dalam bingkai aturan main yang
mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional. 26
Dengan melihat pengertain kontrak komersial yang telah di jabarkan di
atas, maka dapat dilihat Asas-asas yang terdapat dalam kontrak komersial berikut
ini:
1. Asas kebebasan berkontrak

Menurut

asas

kebebasan

berkontrak,

seseorang

pada

umumnya

mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Di dalam asas ini
terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak
melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas
tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat
perjanjian. Menurut Sutan Remi Sjahdeini27 Asas kebebasan berkontrak menurut
hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya.
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

26

http://blogingria.blogspot.co.id/2011/12/bahan-kuliah-perancangan-kontrak.html,
(diakses tanggal 6 November 2015).
27
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.,hlm. 47.

Universitas Sumatera Utara

22

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional.

2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal
1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan), yang menyatakan bahwa perjanjian itu
telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga
diinterpretasikan

semata-mata

secara

gramatikal.

Pemahaman

Asas

konsensualisme yang menekankan pada sepakat para pihak ini, berangkat dari
pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang
menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang
yang beritikad baik, yang berlandaskan pada satunya kata satunya perbuatan.

3. Asas itikad baik
Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 KUHPerdata, adalah kemauan
baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia
mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas
barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum
dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat
dinamis, melainkan bersifat statis. 28 Demikian pula dengan pengertian itikad baik
dalam Pasal 1977 (1) KUHPerdata, terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh
suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat
kepemilikan tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam kaitan dengan penerapan itikad baik tersebut diartikan tidak tahu dan tidak
28

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan (Surabaya: Bina
Ilmu, 1997), hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

23


harus tahu,maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini
dapat dimaafkan menurut kepatutan dan kekayaan.
4. Asas kekuatan mengikat
Asas kekuatan mengikat asas ini tersirat dalam Pasal 1338 (1)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt
servanda). Akan tetapi sahnya perjanjian juga harus didasarkan pada nilai-nilai
kepatutan, kebiasaaan dan Undang-undang yang berlaku (Pasal 1339, 1447
KUHPerdata), sehingga perjanjian yang melanggar hal-hal tersebut dapat
dianggap batal demi hukum. 29
Asas kekuatan mengikat atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta
sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. 30
Asas kekuatan mengikat dapat dipahami dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum

sudah cukup dengan kata sepakat saja.

29

http://michiko60.blogspot.co.id/2012/02/seputar-hukum-kontrak-komersial.html
(diakses 6 November 2015).
30
Ibid,. hlm 103.

Universitas Sumatera Utara

24

5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang

tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

B. Makna Asas Proporsionalitas dalam Kontak Komersial
Hubungan bisnis yang terjalin diantara para pihak pada umumnya karena
mereka bertujuan saling bertukar kepentingan. Roscoe Pound 31 memberikan
defenisi kepentingan ( sebagai suatu tuntutan atau hasrat yang ingin dipuaskan
manusia, baik secara individu, kelompok atau asosiasi). Kerangka dasar yang
digunakan Pound adalah kepentingan-kepentingan sosial yang lebih luas dan yang
merupakan keinginan manusia untuk memenuhinya, baik secara pribadi,
hubungan antar pribadi maupun kelompok. Atas dasar itu Pound membedakan
berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu kepentingan
pribadi, kepentingan umum, dan kepentingan sosial atau masyarakat.
Pertukaran kepentingan para pihak senantiasa dituangkan dalam bentuk
kontrak mengingat “setiap langkah bisnis adalah langkah hukum”. 32Ungkapan ini
merupakan landasan utama yang harus diperhatikan para pihak yang berinteraksi
31

Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Op .Cit..,hlm.12-13.
Menurut J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.27.

32

Universitas Sumatera Utara

25

dalam dunia bisnis. Meskipun para pihak acap kali tidak menyadarinya, namun
setiap pihak yang memasuki belantara bisnis pada dasarnya melakukan langkahlangkah hukum dengan segala konsekuensinya. Urgensi pengaturan kontrak
dalam praktisi bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan
kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para pihak, sehingga dengan
demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan.
Upaya mencari makna asas proporsionalitas merupakan proses yang tidak
mudah, bahkan sering kali tumpang tindih dalam pemahamannya dengan asas
keseimbangan. Pada dasarnya asas keseimbangan dan asas proporsionalitas tidak
dapat dipisahkan keberadaannya dalam hukum kontrak. Namun demikian,
sesederhana apa pun pemahaman tersebut masih dapat ditarik benang merah
melalui pemahaman yang lebih komprehensif untuk membedakan keduanya.
Pemikiran mengenai asas proporsionalitas perlu dikemukakan di samping asas
keseimbangan dalam kontrak. Untuk membedakan keduanya pertama-tama dapat
ditelusuri dari makna leksikal di antara kedua istilah tersebut, yaitu makna

keseimbangan dan proporsional. Dalam beberapa kamus terhadap dua istilah
tersebut ada yang membedakan arti, namun juga ada yang menyamarkannya.
Pengertian asas keseimbangan lebih abstrak pemahamannya dibandingkan
asas proporsionalitas. Untuk memudahkan pemahaman antara kedua asas tersebut
dapat ditelusuri melalui pendapat para sarjana, karakteristik maupun daya
kerjanya. 33

33

Ibid.,hlm. 79.

Universitas Sumatera Utara

26

Pemahaman makna asas keseimbangan ditelusuri dari pendapat beberapa
sarjana, antara lain: Sutan Remy Sjahdeini, Mariam Darus Badrulzaman, Sri
Gambir Melati Hatta, serta Ahmadi Miru,secara umum memberi makna asas
keseimbangan sebagai keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak. Oleh
karena itu, dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan

gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah).
Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja
asas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang
berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen hal ini
didasari pemikiran bahwa dalam perspektif perlindungan konsumen terdapat
ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Hubungan konsumen-produsen
diasumsikan hubungan yang subordinat, sehingga konsumen berada pada posisi
lemah

dalam proses pembentukan

kehendak

kontraktualnya.

Hubungan

subordinat, posisi tawar yang lemah, dominasi produsen serta beberapa kondisi
lain diasumsikan terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan para pihak. 34
Berdasarkan pertimbangan di atas, konsumen perlu diberdayakan dan
diseimbangkan posisi tawarnya. Dalam konteks ini asas keseimbangan yang
bermakna equal-equilibriumakan bekerja memberikan keseimbangan manakala
posisi tawar para pihak dalam menentukan kehendak menjadi tidak seimbang.
Tujuan dari asas proporsionalitas adalah hasil akhir yang menempatkan posisi
para pihak seimbang (equal) dalam rangka menyeimbangkan posisi para pihak,
intervensi dari otoritas negara (pemerintah) sangat kuat. Konsumen menjadi objek

34

Ibid.,hlm. 80.

Universitas Sumatera Utara

27

aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar
yang merugikan konsumen. 35
Bentuk intervensi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
kepada konsumen dengan cara membatasi sekaligus menyeimbangkan posisi
tawar para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Substansi pasal tersebut mengatur
pencantuman klausula baku yang harus diperhatikan oleh produsen (pelaku usaha)
agar tidak merugikan konsumen.
Beranjak dari rumusan Pasal 18 di atas, pada dasarnya asas keseimbangan
mempunyai daya kerja, baik pada proses pembentukan maupun pelaksanaan
kontrak. Namun unsur kebebasan kehendak para pihak, khususnya bagi konsumen
baik dalam proses pembentukan kehendak maupun pelaksanaan kontrak dianggap
lemah sehingga diberdayakan melalui pencantuman norma larangan. Dengan
demikian, daya kerja asas keseimbangan di sini mempunyai makna imperatif yang
memaksa salah satu pihak (pelaku usaha) untuk tunduk dengan tujuan akan
dicapai keseimbangan hak dan kewajiban para pihak. Hal ini dapat disimak dari
substansi Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat 1 yang
menyatakan :
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 Ayat (1) huruf a,

35

Periksa penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.

Universitas Sumatera Utara

28

huruf b, huruf c, huruf e, Ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
Substansi pengaturan pasal tersebut di atas sejalan dengan pemikiran
bahwa dalam kontrak yang bersifat timbal balik, posisi para pihak (hak
kehendak)diupayakan seimbang dalam menentukan hak dan kewajibannya. Oleh
karena itu, apabila terdapat posisi yang tidak seimbang di antara para pihak, maka
hal ini harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud
dan tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan istilah
keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut, ialah :
1. Lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam
hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan
2. Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolaholah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir
pembagian tersebut.
3. Keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir dari sebuah proses.
4. Intervensi negara merupakan instrumen pemaksa dan mengikat agar terwujud
keseimbangan posisi para pihak.
5. Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat
dan kondisi yang sama. 36

C. Fungsi Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial.
Dunia bisnis peran sentral aspek hukum kontrak dalam membingkai pola
hubungan hukum para pihak semakin dirasakan urgensinya. Disadari atau tidak,
36

Ibid.,hlm. 83.

Universitas Sumatera Utara

29

maka setiap langkah bisnis yang dilakukan oleh para pelaku bisnis, pada dasarnya
adalah merupakan langkah hukum, yang notabenenya berada pada ranah hukum
kontrak. Namun demikian masih terasa betapa lemahnya pemahaman sementara
pihak, di mana hukum bisnis yang menjadi landasan setiap aktivitas bisnisnya
acap kali dimaknai sebatas produk aturan yang diterbitkan penguasa. 37
Hakikat hukum kontrak pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan hukum
pelaku bisnis, dalam arti tidak sekadar mengatur namun lebih dari itu memberi
keleluasaan dan kebebasan sepenuhnya kepada para pelaku bisnis untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Hal ini karena para pelaku
bisnis yang lebih paham dan mengetahui seluk-beluk pelbagai kebutuhan dalam
kegiatan bisnisnya.
Menurut P.S. Atiyah, 38 kontrak memiliki tiga tujuan, yaitu:
1. Kontrak wajib untuk dilaksanakan (memaksa) serta memberi perlindungan
terhadap suatu harapan yang wajar.
2. Kontrak berupaya mencegah terjadinya suatu penambahan kekayaan secara
tidak adil.
3. Kontrak bertujuan untuk mencegah terjadinya kerugian tertentu dalam
hubungan kontraktual.

37

apa yang terurai di dalam pernyataan tersebut sejalan dengan sinyalemen yang
dikemukakan oleh M. Isnaeni bahwa, “seluk-beluk ikatan bisnis yang terjadi di antara para pelaku
bisnis senantiasa berada dalam bingkai ikatan kontraktual.” Periksa M. Isnaeni, Perkembangan
Prinsip-prinsip Hukum Kontrak sebagai Landasan Kegiatan Bisnis di Indonesia, Pidato Peresmian
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Surabaya, Sabtu, 16 September 2000, hlm. 2.
38
Ibid., hlm. 35.

Universitas Sumatera Utara

30

Beranjak dari pendapat berbagai sarjana tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa fungsi atau arti penting kontrak dalam lalu lintas bisnis,
antara lain :
1. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menuangkan hak dan
kewajiban masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan).
2. Kontrak sebagai bingkai aturan main.
3. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum.
4. Kontrak memberikan (menjamin) kepastian hukum.
5. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution). 39
Agar supaya proses pertukaran kepentingan dalam kontrak berjalan fair,
para pihak dituntut untuk memahami dasar-dasar hukum kontrak. Mengapa
pemahaman ini diperlukan, perlu diingat bahwa kontrak yang dibuat atau disusun
oleh para pihak pada dasarnya adalah penuangan proses bisnis ke dalam rumusan
bahasa hukum (kontrak). Dengan memahami dasar-dasar hukum kontrak
dimaksudkan agar para pihak mempunyai pedoman dalam penyusunan kontrak
karena:
1. Memberikan dasar hukum bagi kontrak yang dibuat.
2. Memberikan bingkai atau rambu-rambu aturan main dalam transaksi bisnis.
3. Sebagai batu uji atau tolak ukur eksistensi kontrak yang bersangkutan. 40
Hubungannya

dengan

kegiatan

bisnis,

kontrak

berfungsi

untuk

mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung suatu
39

A.Yudha Hernoko, “Dasar-dasar Hukum Kontrak”, Materi Perkuliahan Teknik
Perancangan Kontrak, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 2005.
40
Ibid.,hlm. 56

Universitas Sumatera Utara

31

pemikiran (tujuan) akan adanya keuntungan komersial yang diperoleh para pihak.
Terkait dengan kontrak komersial yang beriorentasi keuntungan para pihak, fungsi
Asas Proporsionalitas menunjukkan pada karakter kegunaan yang operasional
dan implementatif 41dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak.
Dengan demikian fungsi asas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan
maupun pelaksanaan kontrak komersial adalah :
1. Dalam tahap pra-kontrak, Asas Proporsionalitas membuka peluang negosisasi
bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara
fair.Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi.
2. Dalam pembentukan kontrak, Asas Proporsional menjamin kesetaraan hak
serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur proporsi hak dan kewajiban
para pihak berlangsung secara fair;
3. Dalam pelaksanaan kontrak, Asas Proporsional menjamin terwujudnya
distrbusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati atau
dibebankan pada para pihak;
4. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai
secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga
mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekadar hal-hal yang
sederhana/kesalahan kecil. Oleh karena itu, pengujian melalui Asas
Proporsionalitas sangat menntukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar

41

karakter ‘operasional dan implementatif’ dari asas proporsionalitas hendaknya tidak
diartikan bahwa asas ini, dengan sendirinya berlaku mengikat para pihak. Sesuai dengan sifatnya,
asas berkedudukan sebagai metanorma sehingga tidak dapat langsung mengikat para pihak.
Namun yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah seyogianya para pihak menuangkan dan
mengimplementasikan asas proporsionalitas ini ke dalam klausul-klausul kontrak yang mereka
buat.

Universitas Sumatera Utara

32

jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam
memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi
keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;
5. Bahkan

dalam

hal terjadi sengketa

kontrak,

Asas

Proporsionalitas

menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus
dibagi menurut pertimbangan yang fair. 42
Sengketa bisnis dalam kontrak komersial sering kali berawal dari
kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor
atau penyebabnya, antara lain:
1. Ketidakpahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul
ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta
karakter coba-coba (gambling) tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang
akan menimpanya.
2. Ketidakmampuan mengenali partner atau mitra bisnisnya, ada sementara
pelaku bisnis yang sekadar memerhatikan performa atau penampilan fisik
mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record dan bonafiditas, yang
berkembang menerangkan bahwa beberapa pelaku bisnis lokal begitu
mudahnya terpaku dan tertarik untuk terlibat dengan kerja sama yang
ditawarkan mitra bisnis asingnya, semata-mata berasumsi bahwa orang asing
selalu lebih unggul segala-galanya, tanpa memerhatikan prinsip “know your
partner”.

42

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,hlm.102.

Universitas Sumatera Utara

33

3. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini
menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis
dalam melindungi aktivitas bisnis mereka. 43
Muara konflik sebagaimana terurai di atas, dikarenakan pelaku bisnis tidak
memerhatikan aspek legal cover dalam memproteksi bisnis mereka, khususnya
aspek kontraktualnya. Dalam praktik dapat diperbandingkan bagaimana aspek
hukum (kontrak) dikesampingkan semata-mata tuntutan bisnis, seolah-olah aspek
legal cover ini sekadarthe last resort dalam mata rantai aktivitas bisnis mereka.
Bukankah pelaku bisnis begitu terikatnya dengan metode analisis-evaluasi, antara
lain dengan penerapan berbagai model audit (misal: audit keuangan) dalam upaya
mengawasi jalannya bisnis. Namun demikian, jarang yang menempatkan audit
hukum (termasuk audit kontrak) sebagai kebutuhan primer dalam bisnis mereka.
Terbukti pada saat penyusunan rencana anggaran dan belanja perusahaan, jarang
pelaku bisnis yang menganggarkan atau mengalokasikan biaya hukum untuk
meng cover risiko bisnis mereka, kalaupun ada lebih sekadar menyerap pos-pos
anggaran lain tanpa melalui pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Sehingga
ketika

kemudian

muncul

sengketa

yang

mengharuskan

pelaku

bisnis

mengeluarkan biaya (dana) dicarilah langkah akal-akalan untuk menutup biaya
hukum tersebut melalui dana taktis, yang konon menurut tertib neraca keuangan
perusahaan tidak pernah dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dapat
dipastikan kondisi demikian akan mengantar bisnis mereka pada kondisi yang
tidak menguntungkan.

43

Ibid., hlm. 305.

Universitas Sumatera Utara

34

Kontrak komersial, yang merupakan proses mata rantai hubungan para
pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas
pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak para
kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang
sama dalam pertukaran hak dan kewajiban secara proporsional. Tentunya fungsi
Asas Proporsionalitas sebagai batu uji dalam pelaksanaan pertukaran hak dan
kewajiban kontraktual menjadi relevan dan penting.

D. Hubungan antara Asas Proporsionalitas dengan Asas-Asas Pokok
Hukum Kontrak.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, aturan-aturan hukum yang menguasai
kontrak sebenarnya penjelmaan dari dasar-dasar filosofis yang terdapat pada asasasas hukum secara umum. Asas-asas hukum ini bersifat sangat umum dan menjadi
landasan berfikir, yaitu dasar ideologis aturan-aturan hukum. Beberapa asas
tersebut bersifat samar-samar dan hanya dengan upaya yang sangat keras dapat
dipahami dan diurai secara jelas. Asas hukum merupakan sumber bagi sistem
hukum yang memberi inspirasi mengenai nilai-nilai etis, moral, dan sosial
masyarakat. Dengan demikian, asas hukum sebagai landasan norma menjadi alat
uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya
harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. 44
Menurut Niewenhuisasas-asas hukum

berfungsi sebagai pembangun

sistem, dan lebih lanjut asas-asas itu sekaligus membentuk sistem check and
balance. Beranjak dari pendapat Niewenhuis tersebut, maka kedudukan Asas
44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.196.

Universitas Sumatera Utara

35

Proporsinalitas tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan asas-asas
pokok hukum kontrak lainnya. 45
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan
hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan
kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, dilanjutkan oleh kaum Epicuristen
dan

berkembang

pesat

pada

zaman

Renaissance

(dan

semakin

ditumbuhkembangkan pada zaman Aufklarung). 46 Kebebasan berkontrak pada
dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi
manusia

yang

perkembangannya

dilandasi

semangat

liberalisme

yang

mengagungkan kebebasan individu. Menurut paham individualisme setiap orang
bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum
perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak. Buku III
BW menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para
pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam
Buku III BW hanya sekedar mengatur dan melengkapi. Berbeda dengan
pengaturan Buku II BW yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa,
dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku
II BW tersebut. Dengan demikian yang harus dipahami dan perlu menjadi
perhatian, bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam
45
46

Ibid., hlm 121.
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara

36

Pasal 1338 (1) BW tersebut hendaknya dibaca atau diinterpretasikan dalam
kerangka pikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang
atau proporsional. Asas ini secara filosofis membuka apabila dalam suatu
perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat
sebelah dan lain-lain. Apabila hal itu terjadi, maka justru merupakan
pengingkaran terhadap asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu,
dengan terwujudnya proporsional dalam hubungan para pihak, hal itu membuat
kontrak menjadi bernilai. 47
2. Asas konsensualisme
Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa:
semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya, Istilah secara sah bermakna bahwa dalam pembuatan
perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide Pasal 1320 BW),
karena di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan di antara para pihak terhadap
pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber
pada moral. 48
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal
1338 (1) BW. Hal ini berdasarkan dengan pendapat Subekti yang menyatakan
bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo. 1338 BW

49

.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan sebagai undang-undang.
47

Agus Yudha Hernoko,Op.Cit., hlm.120.
Mariam Darus Badrulzaman-II, Op. Cit., hlm. 108-109.
49
Ibid., hlm. 37.
48

Universitas Sumatera Utara

37

Sementara Rutten, 50 menggarisbawahi bahwa perjanjian yang dibuat itu pada
umumnya bukan secara formal tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai
karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata.
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 BW (angka
1) kesepakatan dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan
adanya kata sepakat. Di sini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak
sebagai inti dari hukum kontrak, Asas konsensualisme merupakan roh dari suatu
perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada
situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan
yang

sesungguhnya.

Hal

ini

disebabkan

adanya

cacat

kehendakyang

mempengaruhi timbulnya perjanjian.
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari
ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan), yang menyatakan
bahwa perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya
tidak juga diinterpretasikan semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas
konsensualisme yang menekankan pada sepakat para pihak ini, berangkat dari
pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang
menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang
yang beritikad baik, yang berlandaskan pada satunya kata satunya perbuatan.
Sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan dalam berkontrak itu adalah
para gentleman, maka akan terwujud juga gentlement agreement di antara mereka.
Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang
50

Purwahid Padrik,Dasar-dasar Hukum Perikatan (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.

66.

Universitas Sumatera Utara

38

sebenarnya, dalam arti terdapat cacat kehendak, maka hal ini akan mengancam
eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya pemahaman terhadap asas
konsensualisme tidak terpaku sekadar mendasar pada kata sepakat saja, tetapi
syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 BW dianggap telah terpenuhi sehingga
kontrak tersebut menjadi sah. 51
3. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Asas daya mengikatdipahami sebagai mengikatnya kewajiban kontraktual
(terkait isi perjanjianprestasi) yang harus dilaksanakan para pihak. Jadi pertamatama

makna

daya

mengikat

kontrak

tertuju

pada

isi

atau

prestasi

kontraktualnya.Pada dasarnya janji itu mengikat (pacta sunt servanda) sehingga
perlu diberikan kekuatan untuk berlakunya. Untuk memberikan kekuatan daya
berlaku atau daya mengikatnya kontrak, maka kontrak yang dibuat secara sah
mengikat serta dikualifikasikan mempunyai kekuatan mengikat setara dengan
daya berlaku dan mengikatnya undang-undang.Asas pacta sunt servanda
merupakan

konsekuensi logis dari efek berlakunya kekuatan mengikat

kontrak.Kekuatan mengikat kontrak pada dasarnya hanya menjangkau sebatas
para pihak yang membuatnya.
4. Asas Itikad Baik
Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.Apa yang dimaksud dengan itikad baik
perundang-undangan tidak memberikan defenisi yang tegas dan jelas. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan itikad adalah

51

Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,hlm. 122.

Universitas Sumatera Utara

39

kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik). 52 Wirjono
Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah dengan jujur atau
secara jujur.

53

Pengaturan Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa

persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksudnya perjanjian itu
dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia
hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari.
Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 BW, adalah kemauan baik atau
kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, di mana ia mengira
bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu
telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad
baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis,
melainkan bersifat statis. 54 Demikian pula dengan pengertian itikad baik dalam
Pasal 1977 (1) BW, terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh suatu benda
(kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat kepemilikan
tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Dalam kaitan
dengan penerapan itikad baik tersebut diartikan tidak tahu dan tidak harus
tahu,maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini dapat
dimaafkan menurut kepatutan dan kekayaan.

52

KBBI, Op. Cit. hlm. 369.
Ibid., hlm. 67.
54
Ibid., hlm. 74
53

Universitas Sumatera Utara