Karakteristik Tanah Gambut DataranTinggi Toba

TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Tanah Gambut
Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah
yang terdapat pada deposit gambut. Ia mempunyai kandungan bahan organik yang
tinggi dan kedalaman gambut yang minimum. Istilah gambut mengacu pada
tumpukan bahan yang terbentuk dari seresah organik tanaman yang terurai pada
kondisi jenuh air, dimana laju penambahan material organik lebih cepat daripada
laju peruraiannya.
Najiyati dkk (2005) mendefinisikan tanah organosol atau tanah histosol
yang saat ini lebih populer disebuttanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari
akumulasi bahan organikseperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung
dalam jangka waktuyang cukup lama. Tanah Gambut umumnya selalu jenuh air
atau terendamsepanjang tahun kecuali didrainase.
Taksonomi Tanah mendefenisikan tanah histosol (gambut) dengan
ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada
≥ 60%
ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara
permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila
lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau
lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu
apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung

di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau b)
apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung
yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar
≥ 4 0 cm, di an tara
permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyusun
≥ 2/3 dari ketebalan

Universitas Sumatera Utara

total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai
horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan total
≤ 10 cm
atau; d) jenuh air selama≥ 30 hari setiap tahun dalam tahun -tahun normal (atau
telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah,
dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) 60 cm atau lebih jika ¾ bagian
atau lebih volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya,
lembab, sebesar < 0,1 g/cm3; atau (2) 40 cm atau lebih apabila terdiri dari bahan
saprik atau hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari
serat-serat


lumut

dan

berat

jenisnya,

lembab,


0,1
sebesar
g/cm

3

(Soil Survey Staff, 2014).
Genesis dan Pembentukan Gambut
Bahan induk dari tanah histosol terbentuk dari bahan organik di alam.

Bahan induk tanah histosol ini berbeda dengan berbagai macam bahan mineral
yang berfungsi sebagai bahan induk untuk tanah lainnya. Kondisi yang
menyebabkan akumulasi bahan induk organik sangat terkait erat dengan prosesproses yang membentuk berbagai horizon tanah organik. Sifat unik dari histosol
disebabkan oleh bahan induk organik. Beberapa faktor yang mempengaruhi sifat
bahan induk organik termasuk hydroperiod, kimia air dan jenis vegetasi.
Akumulasi bahan induk organik sering terjadi selama jangka waktu yang lama
dan di bawah kondisi yang berubah. Dengan demikian, stratigrafi dari rawa
mungkin

mencerminkan

ribuan

tahun

dari

akumulasi

bahan


organik

(Rabenhorst dan Swanson, 2000).Vegetasi benar-benar menciptakan sebagian
besar bahan tanah histosol. vegetasi ini yang membentuk tanah memegang kendali
yang kuat atas sifat fisik dan kimianya. Gambut umumnya dibagi menjadi tiga

Universitas Sumatera Utara

kelompok atas dasar komposisi botani: lumut, herba, dan gambut kayu
(Rabenhorst dan Swanson, 2000).Lahan gambut dataran rendah Indonesia
terbentuk sebagian besar dari vegetasi hutan, di bawah kondisi jenuh air, sehingga
memiliki kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 2008). Gambut di Indonesia
dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya kandungan lignin dan
selulosa. Oleh karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut
masih dapat dijumpai batang, cabang, dan akar tumbuhan yang besar
(Najiyati dkk, 2005).
Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang
merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk
daerah-daerah cekungan. Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah

dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih daripada 2500 mm/tahun
tanpa ada bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat
tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang
akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah
tersebut biasanya kurang daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa
dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian
lebih daripada 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar
sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah 5 cekungan dengan
genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang
langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga
proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses
tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Oleh karena adanya
kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan pengatusan

Universitas Sumatera Utara

buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai sehingga
terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar
dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya (Budianta,
2003).

Topografi memperngaruhi pembentukan tanah histosol, seperti halnya
tanah lainnya. Pembentukan tanah histosol unik diantara tanah lain karena juga
memodifikasi topografi. Akumulasi bahan organik tanah dapat mengisi depresi
dan menciptakan topografi yang tinggi secara perlahan yang dapat mencegah air
yang kaya basa pindah ke lahan gambut dan dengan demikian mengakibatkan
terbentuknya sebuah rawa yang sangat masam (Rabenhorst dan Swanson, 2000).
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun yang
lalu(pada periode Holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara 6.800-4.200
tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak yang berada di dasar
kubah terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and Esterle, 1991), sedangkan gambut
di MuaraKaman Kalimantan Timur umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun
(Diemont andPons, 1991). Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa
berdasarkan carbondating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio
isotop) umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun pada
kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari salah satu
lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan sebaran umur
gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 500-5.400 tahun pada
kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada kedalaman 200-300 cm, 7.9009.400 tahun pada kedalaman 300-400 cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman
400-800 cm dan 13.000-26.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.


Universitas Sumatera Utara

Proses awal dimana histosol terbentuk disebut paludisasi. Sejak genesis
dari histosol bergantung pada endapan bahan organik, proses ini sering dianggap
geogenik daripada pedogenik. Dalam arti ini, seseorang dapat mempertimbangkan
awal endapan dari bahan organik adalah bahan induk dimana histosol bisa
terbentuk oleh perubahan dari bentuk organik yang dapat dikenali dari daun,
batang, dll., menjadi bahan organik yang tidak dapat dikenali; dan dari sebuah
lapisan atau tumpukan tidak berstruktur menjadi butiran, gumpal, atau horizon
berstruktur prisma (Buol dkk, 1980).

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau
dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen,
dan c. pembentukan
gambut
ombrogen
di
atas
gambut
topogen

(Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).

Universitas Sumatera Utara

Klasifikasi Lahan Gambut
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu gambut eutrofik, gambut oligotrofik, dan gambut mesotrofik.
1.

Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral,
terutamakalsium karbonat: sebagian besar berada di daerah payau dan berasal
dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin.

2.

Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral,
khususnya kalsium dan magnisium, serta bersifat asam atau sangat asam (pH
< 4).

3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan di atas.

(Noor, 2001).
Berdasarkan tingkat kematangan, gambut dikelompokkan dalam 3 kelas,
yaitu:
(a) fibrik, gambut mentah, memiliki kandungan serat tinggi (>66 persen),
kematangan gambut kasar, dan warna air jernih,
(b) hemik, setengah matang, kandungan serat sedang (33-66 persen), warna air
bersih sampai gelap, dan
(c) saprik, matang, berkadar serat halus ( 300 cm)
(Agus dan Subsika, 2008).
Karakteristik Fisik dan Kimia Lahan Gambut
Lahan gambut memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan
tipe lahan lainnya. Lahan gambut tropika di tandai dengan kubah berbentuk,
keanekargaman yang unik, kapasitas yang besar sekali untuk mempertahankan
dan menyimpan lengas, dan karakteristik kimia dan fisik yang unik. Lahan
gambut tropika juga merupakan ekosistem yang sangat rapuh sangat rentan
terhadap gangguan, dan sumber yang praktis tidak dapat diperbaharui dengan
tingkat deposisi yang rendah. Dalam hal sifat fisik, tanah gambut tropika ditandai
dengan bulkdensiti rendah, kapasitas menahan beban rendah, porositas tinggi,
kapasitas mempertahankan kelembaban sangat tinggi, dan cenderung tidak
kembali seperti semula setelah di drainase. Dalam hal sifat kimia, tanah gambut

tropika ditandai dengan pH rendah, rendahnya ketersediaan dari banyak nutrisi
esensial, rasio C/N tinggi, KTK tinggi, kadar abu rendah, dan kadar asam organik
tinggi, karakteristik yang membatasi pertumbuhan tanaman (Radjagukguk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya.
Artinyagambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian,
sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal
sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut
menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah. BD tanah gambut lapisan
atas bervariasi antara 0,1-0,2 g cm-3tergantung pada tingkat dekomposisinya.
Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah
dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki
BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral.
Sifat fisik lain yang penting pada tanah gambut adalah sifat kering tak
balik (irreversible drying) bila terjadi pengeringan yang berlebihan. Sifat ini
menunjukkan bahwa bila gambut menjadi terlalu kering, maka tidak akan dapat
lagi menjadi basah, karena gambut tidak mampu meyerap air kembali
(Hardjowigeno, 1996).

Subsiden (subsidence) atau penurunan permukaan lahan merupakan
kondisi fisik yang sering dialami lahan gambut yang telah didrainase. Proses
drainase menyebabkan air yang berada di antara massa gambut mengalir keluar
(utamanya bagian air yang bisa mengalir dengan kekuatan gravitasi), akibat
proses ini gambut mengempis atau mengalami penyusutan. Subsiden juga bisa
terjadi akibat massa gambut mengalami pengerutan akibat berkurangnya air yang
terkandung dalam bahan gambut. Proses lainnyayang menyebabkan penurunan
permukaan gambut adalah proses pelapukan (dekomposisi) (Dariah dkk, 2015).
Kematangan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan organik
yang menjadi komponen utama dari tanah gambut. Kematangan gambut sangat

Universitas Sumatera Utara

menentukan tingkat produktivitas lahan gambut, karena sangat berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan tanah gambut, dan ketersediaan hara. Ketersediaan
hara pada lahan gambut yang lebih matang relatif lebih tinggi dibandingkan lahan
gambut mentah. Struktur gambut yang relatif lebih matang juga lebih baik,
sehingga lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu,
tingkat kematangan gambut merupakan karakteristik fisik tanah gambut yang
menjadi faktor penentu kesesuaian gambut untuk pengembangan pertanian.
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang),
hemik (setengah matang), dan fibrik (mentah) (Dariah dkk, 2015).
Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam
danditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis tanaman penyusun
gambut, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi
gambut. Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan
Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu
komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya
melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti
selulosa,

hemiselulosa,

dan

protein

umumnya

tidak

melebihi

11%

(Hartatik dkk, 2011)
Secara umum gambut beraksi masam. Hal ini disebabkan oleh keluarnya
asam-asam organik (humat dan fulvat). Hasil penelitian Suhardjo dan Adhi
(1976), Pangudiatno (1974) gambut Riau mempunyai pH berkisar antara 3,5-4,7
dan Kalimantan mempunyai pH 3,3. Sedangkan kandungan N, C-total masing masing berkisar antara 1,13-1,98% dan 49,8-54,11% (Riau), 1,44-1,80% dan

Universitas Sumatera Utara

74,83-83,84% (Kalimantan). Selanjutnya kandungan P, K, Ca dan Mg sangat
rendah (Budianta, 2003).
Tingkat kemasaman tanah gambut mempunyai kisaran sangat lebar.
Umumnya, tanah gambut tropik, terutama gambut ombrogen (oligotrofik),
mempunyai kisaran pH 3,0 – 4,5, kecuali yang mendapatkan pengaruh
penyusupan air laut atau air payau. Kemasaman tanah gambut cenderung makin
tinggi jika gambut tersebut makin tebal (Noor, 2001).
Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya
adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila
pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi
hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK
menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK
yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida
(pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun
kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan
Na

yang

tidak

membentuk

ikatan

koordinasi

akan

mudah

tercuci

(Agus dan Subsika, 2008)
Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut berkisar dari 3 m) sekitar 5%,
gambut dalam dan tengahan (tebal 1–3 m) berkisar 11% - 12%, dan gambut
dangkal sekitar 15% (Noor, 2001).
Penyebaran Lahan Gambut
Negara yang paling luas mempunyai lahan gambut adalah Kanada, disusul
oleh bekas negara Uni Soviet dan Amerika Serikat, Indonesia termasuk sebagai
negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di dunia. Menurut
Notohadiprawiro (1996), luas lahan gambut di Indonesia sekitar 17 juta hektar
atau sekitar 10% luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia
menmpati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

gambut terluas setelah Indonesia (70%) adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta
hektar, disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta hektar. Lahan gambut di
Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar, yaitu Kalimantan, Sumatra, dan
Papua (Noor, 2001).
Luas dan penyebaran lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun2002,
berdasarkan ketebalan dan jenis gambut, diurutkan mulai dari penyebaran pada
provinsi yang terluas. Dapat diketahui bahwa luas total lahan gambut di Pulau
Sumatera pada tahun 2002, adalah sekitar 7,204 juta ha, atau 14,90% dari luas
seluruh daratan Pulau Sumatera (luasnya 48,24 juta ha). Luas lahan gambutpada
masing-masing provinsi diurutkan dari yang terluas, adalah sebagai berikut: (i)
Riau4,043 juta ha (56,12% dari luas total lahan gambut); (ii) Sumatera
Selatan1,484 juta ha (20,60%); (iii) Jambi 0,717 juta ha(9,95%); (iv) Sumut0,325
juta ha(4,51%); (v) Nanggroe Aceh D.0,274juta ha(3,80%); (vi) Sumatera
Barat0,210 juta ha(2,92%); (vii) Lampung 0,088 juta ha(1,22%); dan (viii)
Bengkulu0,063 juta ha (0,87%). Berdasarkan ketebalan lapisan gambut, lahan
gambut Sumatera dapat dikelompokkan seperti berikut ini: (i) gambut-dangkal
1,925 juta ha (26,72%) dari luas total lahan gambut); (ii) gambut-sedang 2,327
juta ha (32,30%); (iii) gambutdalam 1,246 juta ha (17,30%); dan (iv) gambutsangat dalam 1,706 juta ha (23,68%) (Wahyunto dan Mulyani, 2011).
Permasalahan Lahan Gambut
Dalam

keadaan

hutan

alami,

lahan

gambut

berfungsi

sebagai

penambat(sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah
kaca diatmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3
mmgambut per tahun (Parish dkk, 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t

Universitas Sumatera Utara

CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase,
makakarbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah
satu gasrumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami
penurunanpermukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu
diperlukankehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi
hutangambut. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam
mengenaikarakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut
dikonversi (Agus dan Subiksa, 2008).
Penghambat lain yang mungkin ditemukan pada tanah gambut Sumatera
adalah adanya lapisan (berpotensi) sulfat masam yang umumnya berupa lapisan
dengan kadar pirit yang tinggi. Bila lapisan ini teroksidasi maka akan terbentuklah
asam sulfat yang dapat menyebabkan pH tanah menjadi sangat masam (pH < 3.5)
yang sangat berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Walaupun demikian data-data
menunjukkan bahwa kandungan pirit pada tanah gambut sumatera umumnya
rendah atau terdapat jauh dari permukaan tanah, sehingga pengaruh buruk
terhadap pertumbuhan tanaman di daerah ini tidak terlalu besar. Menurut Diemont
dan Wijngaarde (1974) rendahnya kandungan pirit di daerah ini adalah karena
besarnya pengikisan (accretion) dan sedimentasi (Hardjowigeno, 1989).
Rendahnya

BD

gambut

menyebabkan

daya

menahan

atau

menyanggabeban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan
beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga
tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman
perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan

Universitas Sumatera Utara

roboh. Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan
bagi petani untuk memanen sawit (Agus dan Subiksa, 2008).
Tanaman sering mengalami kahat hara mikro pada tanah gambut terutama
hara mikro Cu. Kekahatan terjadi karena rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah
serta kuatnya ikatan kompleks Cu-organik sehingga tidak tersedai bagi tanaman.
Kekurangan unsur hara mikro yang lain pun sering terjadi seperti Fe, B, Zn.
Tanah gambut dalam umumnya memiliki kadar abu yang sangat rendah, yang
menunjukkan bahwa gambut tersebut sangat miskin (Hardjowigeno, 1996).
Profil tanah gambut
Kedalaman profil yang diamati untuk profil tanah gambut mencapai 130
cm dari permukaan tanah. Hal ini dikarenakan tanah gambut tropika tidak berasal
dari sphagnum, hypnum, atau lumut-lumut yang lain, dan tidak memiliki berat
volume kurang dari 0.1 g/cm3. Menurut Soil Survey Staff (2014) untuk tujuan
praktis, berdasarkan pertimbangan objektif suatu penampang kontrol telah
ditetapkan untuk klasifikasi Histosol. Tergantung dari jenis bahan tanah di dalam
lapisan permukaan, penampang kontrol mempunyai ketebalan 130 cm atau 160
cm dari permukaan tanah, apabila tidak terdapat kontak densik, litik atau paralitik,
lapisan air yang tebal, atau permafrost di dalam masing-masing batas tersebut.
Penampang kontrol yang lebih tebal (160 cm) digunakan, apabila lapisan
permukaan sampai sedalam 60 cm, memenuhi salah satu berikut: tiga perempat
bagian atau lebih dari volume serat-seratnya berasal dari sphagnum, hypnum, atau
lumut-lumut yang lain, atau mempunyai berat vulume kurang dari 0.1 g/cm3.
Penampang kontrol untuk ketiga profil dibagi menjadi tiga tier, sesuai
dengan Soil Survey Staff (2014) yaitu:

Universitas Sumatera Utara

-

Surface Tier (Lapisan Permukaan) dengan kedalaman 0–30 cm

-

Subsurface Tier (Lapisan Sub-permukaan) dengan kedalaman 30–60 cm

-

Bottom Tier (Lapisan Dasar) dengan kedalaman 60–130 cm.

Universitas Sumatera Utara