Definisi Dan Dasar Hukum Jual Beli Istis
MAKALAH
DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih
Muamalah)
Dosen Pengampu :
Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Riska Indah Cahyani
: 1502100209
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
S1 PERBANKAN SYARIAH (SEMESTER III/C)
STAIN JURAI SIWO METRO
2016
1
Abstrak
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu
barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan
antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah.
Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai
dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang
tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama. Akad
istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual dapat
dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi
keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak
intermediasi dalam hal ini. Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih
mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal
ini disebabkan karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih
banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan
dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah
banyak tersedia dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada
saat
hendak
membelinya.
mengimplementasikan
istisna
Oleh
karena
bisa
menjadi
itu,
salah
pembiayaan
yang
satu
untuk
mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
KATA KUNCI : Istisna, Pembiyaan istisna
2
solusi
DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA’
A. PENDAHULUAN
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang
menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat indonesia yang banyak
berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan
tetapi pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah islam
masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli
menyimpang dari syariah islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara
tangguh (kredit). Jual beli secara tangguh pun dibagi menjadi tiga, yaitu jual beli
murabahah, salam dan istisna. Jual beli salam dan istisna sebenarnya jual beli
yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang
dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual
beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan.
Sedangkan jual beli istisna terjadi pada komoditas hasil industri yang
spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istisna merupakan
teknik jual beli yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti
menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli istisna
yang sederhana tapi hal tersebut adalah contoh kecil dari jual beli istisna.
Akad istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga
jual dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan
syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi
keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak
intermediasi dalam hal ini.1
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih mungkin banyak di
gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan
1
Lutfi Indah Nurmalasari, Transaksi Istisna, Dalam laman www.bi.go.id . Diunduh 29
Desember 2015
3
karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang
belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang
yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia
dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak
membelinya. Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istisna
bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang
yang belum tersedia.
Bekenaan dengan pendahuluan di atas, maka penulis bermaksud
menjelaskan tentang Definis Istisna dan Dasar Hukum Jual Beli Istisna.
B. PENGERTIAN ISTISNA
Istisna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya
meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan
sesuatu. Adapun istilah istisna secar terminalogi adalah transaksi terhadap
barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya.
Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan
pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan
penjual.2
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat
suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar
pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh
nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan
sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli
barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama.3
Al-istisna adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen atau
pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni) untuk
2
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 24
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013)
hal 112
3
4
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu) dimana
bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaraan bisa dilakukan dimuka, tengah, atau akhir.4
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga
berlaku pada bai istisna. Menurut hanafi, bai istisna termasuk akad yang
dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa besok kontrak
penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istisna pokok
kontrak itu belum atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyetujui
kontrak istisna atas dasar istisna.5
Al- istisna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua pihak lain,
dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnya dengan harga dan pembayaran yang disetujui
terlebih dahulu. Istisna adalah akad penjualan antara al-mustashni (pembelli)
dan as-shani (produsen yang bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad
istisna pembeli menugasi produsen untuk membuat atau mengadakan al-mashni
(barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan dan menjualnya dengan
harga telah disepakati.6
Dalam fatwa DSN MUI istisna adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat,
shani).7
Pembiayaan istisna adalah penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi
jual beli melalui pesanan pembuatan barang (kepada nasabah produsen), yang
dibayar oleh bank berdasarkan pesetujuan atau kesepakatan dengan nasabah
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Pers, 2005) hal 113-114
5 Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara,
2010) hal 100
6 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011) hal 146
7 Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010) hal 126
4
5
pembiayaan yang harus melunasi utang atau kewajibannya sesuai dengan
akad.8
Maka dapat disimpulkan bahwa istisna bisa disebut sebagai akad yang
terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang
atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2 membuatkan suatu barang
sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara
keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh pembayaran di muka dan
penyerahan barang secara tangguh.
a) Definisi Istisna Menurut Para Ulama
Menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, Istisna adalah
sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat sesuatu, “Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham”,
dan orang itu menerimanya maka akad istisna telah terjadi dalam pandangan
mazhab ini.
Senada
dengan
definisi
diatas,
kalangan
ulama
mazhab
Hambali
menyebutkan Istisna memiliki makna yakni adalah jual beli barang yang tidak
(belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istisna
mereka samakan dengan jual beli dengan pembuatan.
Namun kalangan Al-Malikyah dan Asy-Syafi’iyah mengaitkan akad istisna ini
dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.9
8
Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010) hal 79
9 Diposkan oleh Mustopa Kamal Batubara, Akad Istisna (muamalah). Dalam laman
http://karya-kamal.blogspot.co.id/2015/04/istishna-muamalah.html. Diakses pada tanggal
07 Oktober 2016
6
C. DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA
Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam,
karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barangbarang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna
barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini,
maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak
boleh.10
Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak
memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum
ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang
yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain
itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk
membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila
berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad
semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh
masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad
berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad
salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada .
Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.11
Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur
dalam undang-undang dan fatwa.
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
11
Imam al-syukani, Fath al-Qadir. (Digital Library, al-maktabah al-syakamilah al-isdar alsani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95
10
7
1. Al-Quran
Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275)
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan
seperti
lantaran
(tekanan)
demikian
itu,
berdirinya
orang
penyakit
gila.
adalah
“Sesungguhnya
jual
disebabkan
beli
itu
yang
Keadaan
mereka
sama
kemasukan
mereka
berkata
dengan
syaitan
yang
(berpendapat):
riba,”
padahal
Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah
sampai
lalu
kepadanya
terus
yang
berhenti
telah
urusannya
(dari
diambilnya
(terserah)
(mengambil
riba),
larangan
mengambil
dahulu
kepada
maka
dari
riba),
(sebelum
Allah.
orang
maka
datang
Orang
itu
Rabbnya,
adalah
baginya
apa
larangan);
dan
yang
meng-ulangi
penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal
setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.12
2. As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu :
Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR.
Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad
yang dibolehkan.13 Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
12
Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum
Syariah , Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
8
Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad
istishna‟ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala
tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.14
3. Al Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara
defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah
akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang
sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarangnya.
Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al istisna, apakah
termasuk akad jual beli atau akad sewa atau akad as-salam.
Pendapat pertama : menengatakan bahwa al istisna termasuk akad as
salam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun yang dimaksud akad as-salam adalah seseorang memesan sesuatu
yang belum ada dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu dan pembayaran
dilakukan di awal terjadinya akad. Adapun perbedaan antara keduanya, bahwa
akad al istisna berlaku pada barang-barang yang dibuat oleh pabrik atau
kerajinan tangan, sedangkan akad as-salam berlaku pada barang-barang yang
dibuat oleh tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran.
Dasar dibolehkan akad as-salam ini adalah hadis Ibnu Abbas :
Artinya : “Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ketika Nabi Saw tiba di Madinah,
penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran dimuka,
sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam dalam tempo
setahun atau dua tahun kemudian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Siapa yang menjual kurma dengan akad as-salam, hendaklah
13
Fathur Qadir Oleh Ibnu Humaam Jilid 7, hal. 115. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji
Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
14
Al Mabsuth oleh As Sarakhsi Jilid 12, hal 138. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji Lestari,
Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam Jurnal
Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
9
dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pendapat kedua : menyatakan bahwa al istisna merupakan akad tersendiri
dan bukan termasuk kedalam akad as-salam. Ini merupakan pendapat alHanafiyah. Dalil mereka adalah riwayat yang menyatakan :
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memesan seseorang untuk
membuat cincin untuk beliau.” (HR. Bukhari)
Begitu juga beliau memesan seseorang untuk membuat mimbar masjid,
sebagaimana dalam hadis Sahal :
“Dari Sahal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang
wanita Muhajirin yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata
kepadanya : “Perintahkanlah budakmu agar membuatkan mimbar untuk kami.”
Maka wanita itu memerintahkan budaknya, maka ghulam itu pergi mencari kayu
dihutan lalu dia membuat mimbar untuk beliau. “ (HR. Bukhari)
Tetapi didalam kalangan al Hanafiyah sendiri terjadi perbedaan pendapat
apakah al istisna hanya sebuah janji yang harus ditepati atau sebuah akad.15
15 Diposkan Oleh Ahmad Zain An-Najah, Hukum Akad Istisna, Dalam laman
www.ahmadzain.com. Diunduh 14 April 2011
10
Waktu pembayaran :
Atas dasar perbedaan ulama didalam menentukan status akad al istisna,
maka mereka pun berbeda pendapat di dalam menentukan waktu pembayaran :
Pendapat pertama, pemesan wajib untuk membayar terlebih dahulu di awal
transaksi kepada pihak kedua. Ini adlah pendapat mayoritas ulama, karena
mereka menganggap bahwa al istisna ini bagian dari akad as salam, sedangkan
dalam akad as-salam semua ulama sepakat pembayarannya harus dilakukan
diawal transaksi.
Alasan lainnya, bahwa jika pembayaran ditangguhakan maka termasuk
katagori jual beli hutang dengan hutang, dan hal ini dilarang, sebagaimana dalam
hadits Ibnu Umar :
“Dari Ibnu Umar bahnwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Daraqutni dan dishahihkan oleh hakim)
Pendapat kedua, pemesan boleh membayar ketika pesanan sudah jadi dan
sesuai dengan kriteria yang disepakati. Ini adalah pendapat ulama al-Hanafiyah
dan didukung oleh Mukhtamar Majma al-Fiqh al-islami yang diadakan di kota
Jeddah pada 7-12 Dzuliqa’dah 1412 H/ 9-14 Mei 1992 M, pada keputusan no
66/3/7 tentang akad al istisna, dan diantaranya isinya adalah sebagai berikut :
“Dibolehkan
di
dalam
akad
al
istisna
tersebut
untuk
menangguhkan
pembayarannya secara keseluruhan atau diangsur secara periodik dalam waktu
yang terbatas.”
Tetapi perlu digaris bawahi bahwa pendapat kedua yang membolehkan
pembayaran di akhir ini, akan terjebak kedalam jual beli hutang dengan hutang,
karena membeli barang yang belum ada dengan uang yang belum ada juga,
bukanlah hal ini dilarang sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar di atas. Sebagian
kalangan memberikan jalan keluar dengan cara merubah akad al-istisna ini
menjadi dua akad lain, yaitu akad jual beli barang (bahan dasar) dengan kredit,
dan akad jasa pembuatan barang tersebut.
11
Tentunya paling baik adalah membayar terlebih dahulu, sebagaimana yang
dinyatakan oleh mayoritas ulama agar kita bisa keluar dari perbedaan pendapat
di atas.
4. Fatwa
Sedangakan berdasarkan Fatwa yang mengatur tentang jual beli istishna‟
yaitu Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/ IV/2000.16
a. Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
b. Objek akad.
1. Ketentuan tentang pembayaran
a) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
b) Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi
apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam
akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung
jawab pembeli.
c) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
d) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
2. Ketentuan tentang barang
a) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga
tidak ada lagi jahalah danperselisian dapat dihindari.
b) Barang pesanan diserahkan kemudian.
c) Waktu
dan
penyerahan
pesanan
harus
ditetapkan
berdasarkan
kesepakatan.
d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
dengan kesepakatan.
f)
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
mebatalkan akad.
16
Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana
dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat ,
2008) hal 194
12
g) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak
dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan.
Dan juga Fatwa Tentang Jual Beli Istishna‟ Pararel No.22/DSN-MUI/III/2002
adalah.
a. Jika LKS melakukan transaksi istishna‟, untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟
lagi dengan pihak lain
pada objek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak tergantung
(Mu‟allag) pada istishna‟ kedua.
b. LKS selaku mustashni‟ tidak diperkenankan untuk memungut MDC
(Margin During Construction) dari nasabah (Shani’) karena hai ini tidak
sesuai dengan prinsip syariah.
c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah Tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
d. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dengan ketentuan jika
dikemudian
hari
ternyata
dapat
kekeliruan,
akan
diubah
dan
disempurnakan sebagai mestinya.17
Adapun beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam akad istisna yaitu :
1. Kepemilikan barang objek akad adalah pada pesanan, hanya saja barang
tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau pembuat
barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapatkan
kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan , bisa uang atau barang.
2. Sebelum barang yang dipesan jadi maka akad istisna bukanlah akad
yang mengikat setelah barang tersebut dikerjakan, maka kedua belah
pihak
mempunyai
hak
pilih
untuk
melanjutkan
akad
atau
mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila si penerima pesanan menjual
17
Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana
dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat ,
2008) hal 194
13
barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad
tersebut bukan akad yang mengikat.
3. Apabila pihak yang pertama menerima pesanan datang dengan
membawa sebuah barang kepada pemesan. Maka penerima pesanan
tersebut tidak mempunyai hak khiyar karena secara otomatis ia memang
merelakan barang tersebut bagi pemesan.18
Masyarakat telah mempraktikan istisna secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istisna sebagai kasus ijma
atau konsensus umum. Istisna sah sesuai dengan aturan umum mengenai
kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umum serta
tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan apakah hal tersebut
dapat di praktikan secara umum atau tidak.19
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
uraian
pembahasan
di
atas,
maka
penulis dapat memberikan kesimpulan, yaitu bahwa istisna bisa disebut sebagai
akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen
suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh
pembayaran di muka dan penyerahan barang secara tangguh. Sebagai dasar
hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia
merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang
yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna
barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini,
18
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2016) hal 96
19 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2008) hal
195
14
maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak
boleh.20
Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak
memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum
ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang
yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain
itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk
membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila
berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad
semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh
masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad
berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad
salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada .
Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.21
Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur
dalam undang-undang dan fatwa.
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
21
Imam al-syukani, Fath al-Qadir. (Digital Library, al-maktabah al-syakamilah al-isdar alsani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95
20
15
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Putra Media Nusantara,
Surabaya. 2010
Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2010
Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, Graha Ilmu,
Yogyakarta. 2010
Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum
Syariah , Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, Salemba Empat, Jakarta.
2013
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2016
Ismail, Perbankan Syariah, Prenada Media Group, Jakarta. 2011
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. 2008
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, Kencana, Jakarta. 2012
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani
Pers, Jakarta. 2005
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. 2008
16
DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih
Muamalah)
Dosen Pengampu :
Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Riska Indah Cahyani
: 1502100209
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
S1 PERBANKAN SYARIAH (SEMESTER III/C)
STAIN JURAI SIWO METRO
2016
1
Abstrak
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu
barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan
antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah.
Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai
dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang
tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama. Akad
istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual dapat
dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah
memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi
keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak
intermediasi dalam hal ini. Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih
mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal
ini disebabkan karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih
banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan
dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah
banyak tersedia dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada
saat
hendak
membelinya.
mengimplementasikan
istisna
Oleh
karena
bisa
menjadi
itu,
salah
pembiayaan
yang
satu
untuk
mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.
KATA KUNCI : Istisna, Pembiyaan istisna
2
solusi
DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA’
A. PENDAHULUAN
Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang
menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat indonesia yang banyak
berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan
tetapi pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah islam
masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli
menyimpang dari syariah islam.
Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara
tangguh (kredit). Jual beli secara tangguh pun dibagi menjadi tiga, yaitu jual beli
murabahah, salam dan istisna. Jual beli salam dan istisna sebenarnya jual beli
yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang
dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual
beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan.
Sedangkan jual beli istisna terjadi pada komoditas hasil industri yang
spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istisna merupakan
teknik jual beli yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti
menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli istisna
yang sederhana tapi hal tersebut adalah contoh kecil dari jual beli istisna.
Akad istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga
jual dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan
syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi
keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang
memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak
intermediasi dalam hal ini.1
Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih mungkin banyak di
gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan
1
Lutfi Indah Nurmalasari, Transaksi Istisna, Dalam laman www.bi.go.id . Diunduh 29
Desember 2015
3
karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang
belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang
yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia
dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak
membelinya. Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istisna
bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang
yang belum tersedia.
Bekenaan dengan pendahuluan di atas, maka penulis bermaksud
menjelaskan tentang Definis Istisna dan Dasar Hukum Jual Beli Istisna.
B. PENGERTIAN ISTISNA
Istisna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya
meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan
sesuatu. Adapun istilah istisna secar terminalogi adalah transaksi terhadap
barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya.
Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan
pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES),
Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan
penjual.2
Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat
suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar
pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh
nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan
sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli
barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama.3
Al-istisna adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen atau
pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni) untuk
2
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 24
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013)
hal 112
3
4
membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu) dimana
bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen
sedangkan sistem pembayaraan bisa dilakukan dimuka, tengah, atau akhir.4
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga
berlaku pada bai istisna. Menurut hanafi, bai istisna termasuk akad yang
dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa besok kontrak
penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istisna pokok
kontrak itu belum atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyetujui
kontrak istisna atas dasar istisna.5
Al- istisna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua pihak lain,
dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dan menjualnya dengan harga dan pembayaran yang disetujui
terlebih dahulu. Istisna adalah akad penjualan antara al-mustashni (pembelli)
dan as-shani (produsen yang bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad
istisna pembeli menugasi produsen untuk membuat atau mengadakan al-mashni
(barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan dan menjualnya dengan
harga telah disepakati.6
Dalam fatwa DSN MUI istisna adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu
yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat,
shani).7
Pembiayaan istisna adalah penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi
jual beli melalui pesanan pembuatan barang (kepada nasabah produsen), yang
dibayar oleh bank berdasarkan pesetujuan atau kesepakatan dengan nasabah
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Pers, 2005) hal 113-114
5 Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara,
2010) hal 100
6 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011) hal 146
7 Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010) hal 126
4
5
pembiayaan yang harus melunasi utang atau kewajibannya sesuai dengan
akad.8
Maka dapat disimpulkan bahwa istisna bisa disebut sebagai akad yang
terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang
atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2 membuatkan suatu barang
sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara
keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh pembayaran di muka dan
penyerahan barang secara tangguh.
a) Definisi Istisna Menurut Para Ulama
Menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, Istisna adalah
sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat sesuatu, “Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham”,
dan orang itu menerimanya maka akad istisna telah terjadi dalam pandangan
mazhab ini.
Senada
dengan
definisi
diatas,
kalangan
ulama
mazhab
Hambali
menyebutkan Istisna memiliki makna yakni adalah jual beli barang yang tidak
(belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istisna
mereka samakan dengan jual beli dengan pembuatan.
Namun kalangan Al-Malikyah dan Asy-Syafi’iyah mengaitkan akad istisna ini
dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.9
8
Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010) hal 79
9 Diposkan oleh Mustopa Kamal Batubara, Akad Istisna (muamalah). Dalam laman
http://karya-kamal.blogspot.co.id/2015/04/istishna-muamalah.html. Diakses pada tanggal
07 Oktober 2016
6
C. DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA
Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam,
karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barangbarang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna
barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini,
maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak
boleh.10
Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak
memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum
ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang
yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain
itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk
membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila
berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad
semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh
masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad
berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad
salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada .
Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.11
Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur
dalam undang-undang dan fatwa.
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
11
Imam al-syukani, Fath al-Qadir. (Digital Library, al-maktabah al-syakamilah al-isdar alsani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95
10
7
1. Al-Quran
Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275)
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan
seperti
lantaran
(tekanan)
demikian
itu,
berdirinya
orang
penyakit
gila.
adalah
“Sesungguhnya
jual
disebabkan
beli
itu
yang
Keadaan
mereka
sama
kemasukan
mereka
berkata
dengan
syaitan
yang
(berpendapat):
riba,”
padahal
Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah
sampai
lalu
kepadanya
terus
yang
berhenti
telah
urusannya
(dari
diambilnya
(terserah)
(mengambil
riba),
larangan
mengambil
dahulu
kepada
maka
dari
riba),
(sebelum
Allah.
orang
maka
datang
Orang
itu
Rabbnya,
adalah
baginya
apa
larangan);
dan
yang
meng-ulangi
penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal
setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam
dalil yang kuat dan shahih.12
2. As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu :
Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR.
Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad
yang dibolehkan.13 Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
12
Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum
Syariah , Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
8
Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad
istishna‟ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala
tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.14
3. Al Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara
defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah
akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang
sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk melarangnya.
Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al istisna, apakah
termasuk akad jual beli atau akad sewa atau akad as-salam.
Pendapat pertama : menengatakan bahwa al istisna termasuk akad as
salam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun yang dimaksud akad as-salam adalah seseorang memesan sesuatu
yang belum ada dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu dan pembayaran
dilakukan di awal terjadinya akad. Adapun perbedaan antara keduanya, bahwa
akad al istisna berlaku pada barang-barang yang dibuat oleh pabrik atau
kerajinan tangan, sedangkan akad as-salam berlaku pada barang-barang yang
dibuat oleh tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran.
Dasar dibolehkan akad as-salam ini adalah hadis Ibnu Abbas :
Artinya : “Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ketika Nabi Saw tiba di Madinah,
penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran dimuka,
sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam dalam tempo
setahun atau dua tahun kemudian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Siapa yang menjual kurma dengan akad as-salam, hendaklah
13
Fathur Qadir Oleh Ibnu Humaam Jilid 7, hal. 115. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji
Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam
Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
14
Al Mabsuth oleh As Sarakhsi Jilid 12, hal 138. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji Lestari,
Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam Jurnal
Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
9
dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Pendapat kedua : menyatakan bahwa al istisna merupakan akad tersendiri
dan bukan termasuk kedalam akad as-salam. Ini merupakan pendapat alHanafiyah. Dalil mereka adalah riwayat yang menyatakan :
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memesan seseorang untuk
membuat cincin untuk beliau.” (HR. Bukhari)
Begitu juga beliau memesan seseorang untuk membuat mimbar masjid,
sebagaimana dalam hadis Sahal :
“Dari Sahal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang
wanita Muhajirin yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata
kepadanya : “Perintahkanlah budakmu agar membuatkan mimbar untuk kami.”
Maka wanita itu memerintahkan budaknya, maka ghulam itu pergi mencari kayu
dihutan lalu dia membuat mimbar untuk beliau. “ (HR. Bukhari)
Tetapi didalam kalangan al Hanafiyah sendiri terjadi perbedaan pendapat
apakah al istisna hanya sebuah janji yang harus ditepati atau sebuah akad.15
15 Diposkan Oleh Ahmad Zain An-Najah, Hukum Akad Istisna, Dalam laman
www.ahmadzain.com. Diunduh 14 April 2011
10
Waktu pembayaran :
Atas dasar perbedaan ulama didalam menentukan status akad al istisna,
maka mereka pun berbeda pendapat di dalam menentukan waktu pembayaran :
Pendapat pertama, pemesan wajib untuk membayar terlebih dahulu di awal
transaksi kepada pihak kedua. Ini adlah pendapat mayoritas ulama, karena
mereka menganggap bahwa al istisna ini bagian dari akad as salam, sedangkan
dalam akad as-salam semua ulama sepakat pembayarannya harus dilakukan
diawal transaksi.
Alasan lainnya, bahwa jika pembayaran ditangguhakan maka termasuk
katagori jual beli hutang dengan hutang, dan hal ini dilarang, sebagaimana dalam
hadits Ibnu Umar :
“Dari Ibnu Umar bahnwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Daraqutni dan dishahihkan oleh hakim)
Pendapat kedua, pemesan boleh membayar ketika pesanan sudah jadi dan
sesuai dengan kriteria yang disepakati. Ini adalah pendapat ulama al-Hanafiyah
dan didukung oleh Mukhtamar Majma al-Fiqh al-islami yang diadakan di kota
Jeddah pada 7-12 Dzuliqa’dah 1412 H/ 9-14 Mei 1992 M, pada keputusan no
66/3/7 tentang akad al istisna, dan diantaranya isinya adalah sebagai berikut :
“Dibolehkan
di
dalam
akad
al
istisna
tersebut
untuk
menangguhkan
pembayarannya secara keseluruhan atau diangsur secara periodik dalam waktu
yang terbatas.”
Tetapi perlu digaris bawahi bahwa pendapat kedua yang membolehkan
pembayaran di akhir ini, akan terjebak kedalam jual beli hutang dengan hutang,
karena membeli barang yang belum ada dengan uang yang belum ada juga,
bukanlah hal ini dilarang sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar di atas. Sebagian
kalangan memberikan jalan keluar dengan cara merubah akad al-istisna ini
menjadi dua akad lain, yaitu akad jual beli barang (bahan dasar) dengan kredit,
dan akad jasa pembuatan barang tersebut.
11
Tentunya paling baik adalah membayar terlebih dahulu, sebagaimana yang
dinyatakan oleh mayoritas ulama agar kita bisa keluar dari perbedaan pendapat
di atas.
4. Fatwa
Sedangakan berdasarkan Fatwa yang mengatur tentang jual beli istishna‟
yaitu Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/ IV/2000.16
a. Pelaku, harus cakap hukum dan baligh.
b. Objek akad.
1. Ketentuan tentang pembayaran
a) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,
barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
b) Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi
apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam
akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung
jawab pembeli.
c) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
d) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
2. Ketentuan tentang barang
a) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga
tidak ada lagi jahalah danperselisian dapat dihindari.
b) Barang pesanan diserahkan kemudian.
c) Waktu
dan
penyerahan
pesanan
harus
ditetapkan
berdasarkan
kesepakatan.
d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.
e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai
dengan kesepakatan.
f)
Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,
pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau
mebatalkan akad.
16
Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana
dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat ,
2008) hal 194
12
g) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,
hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak
dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan.
Dan juga Fatwa Tentang Jual Beli Istishna‟ Pararel No.22/DSN-MUI/III/2002
adalah.
a. Jika LKS melakukan transaksi istishna‟, untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟
lagi dengan pihak lain
pada objek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak tergantung
(Mu‟allag) pada istishna‟ kedua.
b. LKS selaku mustashni‟ tidak diperkenankan untuk memungut MDC
(Margin During Construction) dari nasabah (Shani’) karena hai ini tidak
sesuai dengan prinsip syariah.
c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah Tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.
d. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dengan ketentuan jika
dikemudian
hari
ternyata
dapat
kekeliruan,
akan
diubah
dan
disempurnakan sebagai mestinya.17
Adapun beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam akad istisna yaitu :
1. Kepemilikan barang objek akad adalah pada pesanan, hanya saja barang
tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau pembuat
barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapatkan
kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan , bisa uang atau barang.
2. Sebelum barang yang dipesan jadi maka akad istisna bukanlah akad
yang mengikat setelah barang tersebut dikerjakan, maka kedua belah
pihak
mempunyai
hak
pilih
untuk
melanjutkan
akad
atau
mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila si penerima pesanan menjual
17
Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana
dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat ,
2008) hal 194
13
barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad
tersebut bukan akad yang mengikat.
3. Apabila pihak yang pertama menerima pesanan datang dengan
membawa sebuah barang kepada pemesan. Maka penerima pesanan
tersebut tidak mempunyai hak khiyar karena secara otomatis ia memang
merelakan barang tersebut bagi pemesan.18
Masyarakat telah mempraktikan istisna secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istisna sebagai kasus ijma
atau konsensus umum. Istisna sah sesuai dengan aturan umum mengenai
kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umum serta
tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan apakah hal tersebut
dapat di praktikan secara umum atau tidak.19
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil
uraian
pembahasan
di
atas,
maka
penulis dapat memberikan kesimpulan, yaitu bahwa istisna bisa disebut sebagai
akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen
suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga
yang disepakati antara keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh
pembayaran di muka dan penyerahan barang secara tangguh. Sebagai dasar
hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia
merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang
yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna
barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini,
18
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2016) hal 96
19 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2008) hal
195
14
maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak
boleh.20
Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak
memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum
ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang
yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain
itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk
membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila
berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad
semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh
masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah
disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad
berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad
salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada .
Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.21
Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas
petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur
dalam undang-undang dan fatwa.
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
21
Imam al-syukani, Fath al-Qadir. (Digital Library, al-maktabah al-syakamilah al-isdar alsani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah
Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95
20
15
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Putra Media Nusantara,
Surabaya. 2010
Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2010
Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, Graha Ilmu,
Yogyakarta. 2010
Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum
Syariah , Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014
Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, Salemba Empat, Jakarta.
2013
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2016
Ismail, Perbankan Syariah, Prenada Media Group, Jakarta. 2011
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. 2008
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, Kencana, Jakarta. 2012
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani
Pers, Jakarta. 2005
Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal
RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. 2008
16