Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan akuntasi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal
batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia
(Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi
ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi,
politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi
adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan
komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke
seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam
bidang pendidikan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus
globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di
indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem
pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan
billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa
Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari

sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program
kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan
tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga
kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan
bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia pendidikan di
Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri
sendiri.
`
Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga
dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi
antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi.
Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya
bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras
dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak
masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat
menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup
besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan
oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas
Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih dari 50 juta.
Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain

yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan
tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam
jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah
di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar
menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan
1

yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai
akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan
ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.
1.2 Rumusan Masalah
Secara umum, rumusan masalah pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap
Pendidikan” ini dapat dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.
a. Apa dampak dari globalisasi untuk dunia pendidikan?
b. Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi?
c. Cara penyesuaian pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?
d. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
e. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
f. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
g. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di

Indonesia?
1.3 Tujuan
1.
Bagi Penulis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah pengantar
pendidikan. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk
menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa, baik dalam lingkup universitas negeri
malang maupun di civitas akademika yang lain.
2.

Bagi Pembaca

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan
menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula
mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga
kedepannya tercipta sdm-sdm yang unggul.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak negatif yang
berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan positif terhadap adanya pendidikan
semakin lebih baik.


1.4. Metode Penulisan
Metode yang Penulis gunakan adalah dengan menggunakan Pengumpulan data atau
internet.
1.5. Kegunaan Penulisan
Kita bisa menjadi lebih tahu dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan
menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi.

2

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Globalisasi Dunia Pendidikan
2.1.1 Pengertian Globalisasi
Menurut asal katanya globalisasi berasal dari kata “Global” yang maknanya universal.
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan,
kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik
kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.
Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri. Banyak pengguna istilah

globalisasi memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa
diterima
mengingat
tidak
ada
definisi
yang
tunggal
terhadap
globalisasi.
Maksudnya globalisasi memiliki banyak pengertian tergantung orang mengartikan
globalisasi dari sisi tertentu, ada orang yang mengartikan globalisasi berdasarkan dunia
pendidikan, sosial, ekonomi, politik. Sehingga kata globalisasi tersebut memiliki pengertian yang
beragam.
Pendapat J.A. Scholte (2002:15-17) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima
kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi
tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing
mengandung unsur yang khas.
1. Globalisasi sebagai internasionalisasi
Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat (adjective)

untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara’. la menggambarkan
pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume
perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju
ekonomi global di mana `ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali
ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional’

2.Globalisasi sebagai liberalisasi
Dalam pengertian ini, “globalisasi” merujuk pada sebuah proses penghapusan hambatan¬hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan
sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas. Mereka yang berpendapat pentingnya
menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik
mantel globalisasi.
3. Globalisasi sebagai universalisasi.
Dalam konsep ini, kata global digunakan dengan pemahaman bahwa proses mendunia
3

dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai objek dan pengalaman kepada semua
orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi
komputer, televisi, internet, dan lain-lain.
4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised)
Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana strukturstruktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.)

disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat
yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.
5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran suprateritorialitas)
Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi semata
dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial. Dalam konteks
ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses (atau serangkaian proses) yang melahirkan
sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari
segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya yang memutar mobilitas antar-benua atau
antar-regional serta jaringan aktivitas.
Globalisasi didefinisikan sebagai semua proses yang merujuk kepada penyatuan seluruh
warga dunia menjadi sebuah kelompok masyarakat global. Namun, pada kenyataannya
globalisasi merupakan penyatuan semu, karena nilai-nilai ekonomi, sosial, dan budaya
didominasi nilai-nilai yang sebenarnya asing bagi masyarakat dunia.
Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia”. Suatu entitas, betapapun, dimanapun,
kapanpun, dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data,
informasi, produksi, pembangunan, pemberontakan, dan sebagainya, begitu disampaikan, saat itu
pula diketahui oleh semua orang di dunia.
Kekuatan globalisasi menurut analisis para ahli pada umumnya bertumpu pada 4
kekuatan global, yaitu:
a. Kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi dan inovasi-inovasi baru di

dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusia.
b. Perdagangan bebas yang ditunjang oleh kemajuan iptek.
c. Kerjasama regional dan internasional yang telah menyatukan kehidupan bersama
dari bangsa-bangsa tanpa mengenal batas negara.
d. Meningkatnya kesadaran terhadap hak-hak asasi manusia serta kewajiban
manusia di dalam kehidupan bersama, dan sejalan dengan itu semakin
meningkatnya kesadaran bersama dalam alam demokrasi.
Kemajuan iptek yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia
membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Sebagai contoh, berbagai jenjang
4

pendidikan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta
membuka program kelas internasional. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan
tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Inilah yang dimaksud dengan globalisasi
pendidikan.

2.1.2.Peran Globalisasi Dunia Pendidikan Di I ndonesia
Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di
berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada
banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun

sebaliknya, kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia,
apalagi dalam era globalisasi sekarang ini. Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin
menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala
industrialisasi sekolah. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan
pengembangan suatu kompleks perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota
besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan
jaringan
multinasional
berupa
adopsi
kurikulum
dan
staf
pengajar
asing.
Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi
negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber
pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan
tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan
mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Perdebatan antara anti-otonomi dan pro-otonomi

perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu. Berkurangnya tanggung
jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan.
Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antar sekolah akan makin
seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status
sosio-ekonomi. Atau, kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara
siswa
dari
keluarga
miskin
dan
kaya
akan
makin
jelas
dan
kukuh.
Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik
sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis.
Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana
dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran

pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak
keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, sekolah yang
sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya,
sekolah
yang
miskin
akan
makin
terperosok
dalam
kebangkrutan.
Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah
yang beragam menurut latar belakang sosio-ekonomi yang berbeda. Negara belum mampu
memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang
bermutu. Sampai saat ini, belum tampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan
tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Ke mana arah pendidikan di Indonesia?
5

Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa
depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan
yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi
lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa
depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah
kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan
tujuan dan berada pada rel yang tepat. Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu
membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi
bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan
bukan hanya state building dan nation building melainkan juga capacity building. Birokrasi
pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak
terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan
kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan
berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa
menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai
persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah
masyarakat menjadi lebih baik.

2.2. Pengaruh Globalisasi terhadap dunia Pendidikan
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar
bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang
lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk
menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu
pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan
agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
mendapatkan pendidikan.
Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang
dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan
Dampak positif dan negatif dari dari pengaruh globalisasi dalam pendidikan dijelaskan dalam
poin-poin berikut:
2.2.1 Dampak Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia
* Dampak positif globalisasi pendidikan:
a. Semakin mudahnya akses informasi.
b. Globalisasi dalam pendidikan akan menciptakan manusia yang professional dan
berstandar Internasional dalam bidang pendidikan.
c. Globalisasi akan membawa dunia pendidikan Indonesia bisa bersaing dengan
negara lain.
6

negara-

d. Globalisasi akan menciptakan tenaga kerja yang berkualitas dan mampu bersaing.
e. Adanya perubahan struktur dan sistem pendidikan yang memiliki tujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan karena perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pendidikan akan sangat pesat.
f. Pengajaran Interaktif Multimedia
Kemajuan teknologi akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran
pada dunia pendidikan. Pengajaran yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran
yang berbasis teknologi baru seperti internet dan computer. Apabila dulu, guru menulis
dengan sebatang kapur, sesekali membuat gambar sederhana atau menggunakan suarasuara dan sarana sederhana lainnya untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan
informasi. Sekarang sudah ada computer. Sehingga tulisan, film, suara, music, gambar
hidup, dapat digabungkan menjadi suatu proses komunikasi.
Dalam fenomena balon atau pegas, dapat terlihat bahwa daya itu dapat mengubah
bentuk sebuah objek. Dulu, ketika seorang guru berbicara tentang bagaimana daya dapat
mengubah bentuk sebuah objek tanpa bantuan multimedia, para siswa mungkin tidak
langsung menangkapnya. Sang guru tentu akan menjelaskan dengan contoh-contoh,
tetapi mendengar tak seefektif melihat. Levie dan Levie (1975) dalam Arsyad (2005)
yang membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus kata, visual
dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih
baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan
menghubung-hubungkan fakta dengan konsep.
g.Perubahan Corak Pendidikan
Mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk
berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak,
membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan
perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa
perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis. Sekolahsekolah atau satuan pendidikan berhak mengatur kurikulumnya sendiri yang dianggap
sesuai dengan karakteristik sekolahnya. Kemudahan Dalam Mengakses Informasi Dalam
dunia pendidikan, teknologi hasil dari melambungnya globalisasi seperti internet dapat
membantu siswa untuk mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan serta
sharing riset antarsiswa terutama dengan mereka yang berjuauhan tempat tinggalnya.
Pembelajaran Berorientasikan Kepada Siswa Dulu, kurikulum terutama
didasarkan pada tingkat kemajuan sang guru. Tetapi sekarang, kurikulum didasarkan pada
tingkat kemajuan siswa. KBK yang dicanangkan pemerintah tahun 2004 merupakan
langkah awal pemerintah dalam mengikutsertakan secara aktif siswa terhadap pelajaran
di kelas yang kemudian disusul dengan KTSP yang didasarkan pada tingkat satuan
pendidikan. Di dalam kelas, siswa dituntut untuk aktif dalam proses belajar-mengajar.
Dulu, hanya guru yang memegang otoritas kelas. Berpidato di depan kelas. Sedangkan
siswa hanya mendngarkan dan mencatat. Tetapi sekarang siswa berhak mengungkapkan

7

ide-idenya melalui presentasi. Disamping itu, siswa tidak hanya bisa menghafal tetapi
juga mampu menemukan konsep-konsep, dan fakta sendiri.
2.2.2

Dampak Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia

* Dampak negative globalisasi pendidikan:
a) Dunia pendidikan Indonesia bisa dikuasai oleh para pemilik modal.
b) Dunia pendidikan akan sangat tergantung pada teknologi, yang berdampak munculnya
“tradisi serba instant”.
c) Globalisasi akan melahirkan suatu golongan-golongan didalam dunia pendidikan.
d) Semakin terkikisnya kebudayaan akibat masuknya budaya dari luar.
e) Globalisasi mengakibatkan melonggarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara.
f) Komersialisasi Pendidikan
Era globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan sekolahsekolah dengan tujuan utama sebagai media bisnis. John Micklethwait menggambarkan
sebuah kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai merambah dunia pendidikan dalam
bukunya “Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan pendidikan menandai
pendekatan kembali ke masa depan. Salah satu ciri utamanya ialah semangat menguji murid
ala Victoria yang bisa menyenangkan Mr. Gradgrind dalam karya Dickens. Perusahaanperusahaan ini harus membuktikan bahwa mereka memberikan hasil, bukan hanya bagi
murid, tapi juga pemegang saham.(John Micklethwait, 2007:166)
g) Bahaya Dunia Maya
Dunia maya selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan mudah juga dapat
memberikan dampak negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka macam materi yang
berpengaruh negative bertebaran di internet. Misalnya: pornografi, kebencian, rasisme,
kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan seperti pedafolia, dan
pelecehan seksual pun mudah diakses oleh siapa pun, termasuk siswa. Barang-barang seperti
viagra, alkhol, narkoba banyak ditawarkan melalui internet. Contohnya, 6 Oktober 2009 lalu
diberitakan salah seorang siswi SMA di Jawa Timur pergi meninggalkan sekolah demi
menemui seorang lelaki yang dia kenal melalui situs pertemanan “facebook”. Hal ini sangat
berbahaya pada proses belajar mengajar.
h) Ketergantungan
Mesin-mesin penggerak globalisasi seperti computer dan internet dapat menyebabkan
kecanduan pada diri siswa ataupun guru. Sehingga guru ataupun siswa terkesan tak
bersemangat dalam proses belajar mengajar tanpa bantuan alat-alat tersebut.
8

2.3. Sikap Masyarakat Pendidikan Indonesia terhadap Globalisasi.

Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan. Selalu menampakkan dua wajah yang
berbeda, yaitu globalisasi yang menampakkan wajah positif dan dampak negatif. Dampak positif
dapat diterima untuk menambah daftar kekayaan dalam dunia pendidikan Indonesia. Sedangkan
untuk dampak negatif, Menolak dan menghindarinya sangatlah tidak mungkin dilakukan, yang
bisa dilakukan adalah mengeliminasi dan mereduksi dampak negatif tersebut. Untuk menghadapi
dampak negatif globalisasi terhadap dunia pendidikan Indonesia diperlukan sikap tegas dari
masyarakat pendidikan itu sendiri yaitu:
2 Menjadikan pancasila sebagai acuan
Pancasila selain sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia, juga berperan sebagai filter.
Pengaruh-pengaruh dari luar Indonesia, disaring. Kemudian diklasifikasikan kedalam dua
golongan:
• Golongan pertama adalah golongan yang sesuai dengan watak dan kepribadian bangsa
Indonesia. Golongan pertama ini merupakan golongan yang diterima dan dikembangkan,
agar benar-benar sesuai dengan watak dan kepribadian Indonesia.
• Golongan kedua adalah golongan yang tidak sesuai dengan watak dan kepribadian
bangsa Indonesia. Sehingga perlu ditindak lanjuti untuk mengurangi bahayanya bagi bangsa
Indonesia.
3 Menjadikan pelajaran-pelajaran moral sebagai pelajaran wajib.
Pelajaran-pelajaran yang menjurus pada pembekalan moral dan perbaikan akhlak (seperti
pendidikan agama, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan) hendaklah dijadikan
pelajaran wajib dalam penyusunan kurikulum. Sehingga siswa tidak hanya dituntut pandai
dalam keilmuan atau spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu tetapi juga memiliki moral
dan akhlak yang baik yang tercermin pada setiap tingkah laku maupun ucapan.
2.4 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia
2.4.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem
pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20
tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15
yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti
telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab
tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan
pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah
dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu
kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan
agama. Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan
justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya
sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu
9

terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak
lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka
yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan
kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor
modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri,
karena tidak mampu terjun ke sektor modern.
2.4.2 Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan
masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang
bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi
membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid
sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena
komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah
secara mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri
Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan
menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi
komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk
menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.
Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser.
Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas
10

sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan
bebas (free trade).
Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan
bentuk pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan
bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun
golongan.
2.4.3 Kualitas SDM yang Rendah
Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak
didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika
dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan
segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM
Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan.
Jika Indonesia masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik
yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar
Internasional.
Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia
masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang
kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan
2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas
utama dari lembaga pendidikan keguruan.
Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia
dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia
yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
2.5 Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi
Dari beberapa takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi.
Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut. Kita
harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat
besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah
satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh.
Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di
atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan
anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di
sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting
dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan
kesalahan dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat,
karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas
individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka
membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya
kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang
globalisasi ini.
Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning strategy
(strategi) , dan leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak
11

dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas,
dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020
bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih
bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

2.6 Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan
di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan
di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikanpendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan
ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap
melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruanperguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
2.7 Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru
saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain
atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya
menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam
mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak
guru-guru berpengalaman yang pensiun.
12

Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia,
terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang
tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada
banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan
siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman,
Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:


Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap
masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka
partisipasi.



Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti
ktidakmerataan di desa dan kota, serta jender.



Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan
dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.



Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang
kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang
dibutuhkan.



Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah
komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.



Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini
dianggarkan Rp 44 triliun.



Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
13



Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas
penddikan.

2.8 Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia secara umum, yaitu:
a) Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik
untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan
melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak
adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan
sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana
mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya
menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di
Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing
dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya
untuk dianggap hebat oleh orang lain.

14

Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan
efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti
program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak
terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam
menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
b) Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses
yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik
pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak
hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi
kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan
dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa
kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang
biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang
dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara
tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran
yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan
pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan
15

lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika
kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya
lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah
waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap
muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan
formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari
dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak
efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti
lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas
juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena
peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan
formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu
pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang
mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang
juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar
tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di
bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan
kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di
lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan
bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik.

16

Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah
sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses
pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika
mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus
diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga
amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif
lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara
optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil
mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari
efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam
pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah
ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga
sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian
dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan
relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu
program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan
pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program
pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian
tujuan tidak mengalami hambatan.
c) Standardisasi Pendidikan Di Indonesia

17

Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara
tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk
menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat
terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern
dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan
formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi.
Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi,
demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi
dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan
dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar
saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan
makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu
menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah
18

cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang
menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan
sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu
hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang
tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas
yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar
permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat
memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan
dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
1.Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan
tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari
seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581
19

atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami
kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi
karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.
Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94%
(swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri)
dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan
58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang
memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidika