Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Kronis Setelah Dilakukan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Dengan Adjuvan Terapi Cuci Hidung Cairan Isotonik NaCl 0,9% Dibandingkan Cairan Hipertonik NaCl 3%

(1)

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR

HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS

SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK

FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG

CAIRAN ISOTONIK NaCl 0,9% DIBANDINGKAN CAIRAN

HIPERTONIK NaCl 3%

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah satu

Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Bedah Kepala Leher

Oleh :

IMMANUEL E.S PURBA

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Lembaran Pengesahan

Tanggal 25 Maret 2010

Disetujui untuk diajukan ke sidang ujian oleh:

Pembimbing 1

Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.THT – KL (K) NIP : 140 157 789

Pembimbing 2

dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT- KL (K) NIP : 140 125 328

Pembimbing 3

dr. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT – KL (K) NIP : 132 299 892

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.THT-KL(K) NIP: 130 517 523


(3)

Medan, 25 Maret 2010 Tesis dengan judul

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS

ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NaCl 0,9% DIBANDINGKAN CUCI HIDUNG

CAIRAN HIPERTONIK NaCl 3%

Diketahui Oleh :

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.dr.Abdul Rachman Saragih,SpTHT-KL(K) Prof.dr.Askaroellah Aboet,SpTHT-KL(K)

Telah disetujui dan diterima baik oleh pembimbing Ketua

Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.THT – KL (K) Anggota


(4)

KATA PENGANTAR

Seiring berjalannya waktu, seirama dengan bergantinya hari, tak terasa tahun demi tahun pun berganti dan sampailah saya pada penghujung akhir dari pendidikan dan pelatihan yang saya jalani selama ini di Departemen Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Maka, dengan segala kerendahan hati dan khyusuk untuk memanjatkan syukur serta doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya telah memberikan kepada saya : akal budi, hikmat, dan pemikiran sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini, yang saya persembahkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan yang saya cintai dan banggakan.

Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasannya. Meskipun demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat, dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher, khususnya tentang perbedaan waktu transportasi mukosiliar hidung pada penderita rinosinusitis kronis setelah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional dengan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3%.

Dengan berakhirnya penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula dari lubuk hati saya yang terdalam dengan diiringi rasa tulus hati dan ikhlas, saya


(5)

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi - tingginya kepada yang terhormat :

Dr. dr. Delfitri Munir Sp.THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga dr. Mangain Hasibuan Sp.THT-KL, dan dr. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing dan dr.Arlinda Sari Wahyuni, Mkes sebagai konsultan statistik, yang walaupun di tengah kesibukan masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dan dengan berakhirnya masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah juga saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.dr.Chairuddin P.Lubis, Sp.A, DTMH (K), Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar,Sp.PD (KGEH) dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU Prof.dr.T. Bahri Djohan Sp.JP(K) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU, Medan.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof.dr.Abdul Rachman Saragih,Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU , Prof. dr. Askaroellah Aboet,Sp.THT-KL(K) yang telah


(6)

memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialisasi hingga selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP.H.Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr.Asroel Aboet, Sp.THT-KL, dr.Yuritna Haryono,Sp.THT-KL (K), dr.T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K), dr.Hafni,Sp.THT-KL (K), dr.Linda I Adenin,Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL, (Almh) dr.Ainul Mardhiah, Sp.THT-KL, dr.Adlin Adnan,Sp.THT-KL, dr. Siti Nursiah,Sp.THT-Adnan,Sp.THT-KL,dr. Andrina Y.M.Rambe,Sp.THT-Adnan,Sp.THT-KL, dr.Harry Agustaf Asroel,Sp.THT-KL, dr.Farhat,Sp.THT-KL, dr. T.Siti Hajar Haryuna,Sp.THT-KL, dr.Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira,Sp.THT-KL, dr. Devira Zahra, Sp.THT-KL, dan dr. H.R Yusa Herwanto, Sp.THT-KL. Saya ucapkan terima kasih atas segala ilmu, ketrampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr.Pirngadi Medan, Direktur RS Tembakau Deli Medan, Direktur RSUD Lubuk Pakam dan Direktur Rumkit TK II Medan, Direktur RSUD F.L Tobing Sibolga, yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen / Staf Radiologi FK.USU / RSUP.H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Radiologi RS Materna Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesiologi dan Reanimasi FK.USU RSUP.H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK.USU Medan, yang juga telah memberikan arahan dan bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di bagian tersebut dan saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya.

Kepada para perawat / paramedis dan seluruh Karyawan / Karyawati RSUP H. Adam Malik Medan , khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu


(7)

membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini saya ucapkan terimakasih yang setulusnya.

Yang mulia dan tercinta kepada kedua orangtua saya, Bapak Terima Purba dan Ibunda Adat br. Bangun, saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas doa dan perjuangannya yang tiada henti serta dengan siraman kasih sayang yang luar biasa yang telah diberikan kepada saya, semenjak saya masih dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan, dan kemudian memberikan asuhan, bimbingan, pendidikan serta suri tauladan yang baik kepada saya sehingga saya dapat menjadi pribadi yang dewasa, berakhlak dan memiliki landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini dan dapat menjadi anak yang berbakti kepada orangtua, dan berguna bagi bangsa dan negara. Puji syukur serta doa saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa agar kiranya kedua orang tua saya tercinta diberikan limpahan berkat dan kebaikan.

Yang saya hormati dan cintai Bapak mertua Drs. Rumonda Napitupulu, Apt dan Ibu mertua Mala Rhoderny Estomihi br. Munthe, yang selama ini juga telah memberikan doa dan restu untuk saya dapat menuntut ilmu dan mengejar cita-cita saya yang setinggi-tingginya. Kiranya Tuhan memberkati.

Kepada Isteriku yang sangat saya cintai dan kasihi, dr. Olivia Des Vinca Albahana Napitupulu, yang selalu menyayangi dengan penuh perhatian dan dengan cinta kasihnya yang luar biasa selalu memberikan dorongan, inspirasi, waktu, motivasi dan semangat kepada saya selama saya menjalani pendidikan. Kami selalu berbagi kisah suka maupun duka bersama bahkan ketika saya harus menjalani masa-masa yang sulit dan berat sekalipun selama masa pendidikan ini, adinda tetap ada dan selalu dengan penuh kesabaran mendampingi saya. Tiada


(8)

kata yang lebih indah dan manis selain ungkapan cinta kasih saya yang setulus-tulusnya kepada adinda tersayang, semoga cinta dan kasih kita abadi selamanya.

Tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih saya kepada bibi uda yang sudah saya anggap selayaknya orang tua kandung saya sendiri yaitu, Alasen br. Bangun, yang dengan tenaga dan kekuatannya memberikan perhatian dan kasih sayang yang tulus ikhlas kepada saya selama saya menjalani masa pendidikan ini. Terimakasih dan penghargaan saya yang setulusnya, tidak akan saya lupakan kebaikan bibi uda, kiranya Tuhan Yang Maha Esa tetap memberikan kesehatan dan kebaikan kepada bibi uda.

Kepada abang – abang dan adik saya, mulai dari abang tertua Malemin Purba, S.E. beserta isteri Nuraini br Nasution, dan ketiga anak-anak, Dhea, Raja Kelengi, Sutan; abang tengah, Hendry Dunan Purba, S.H. beserta isteri, Mersita br. Sinaga, S.H, Dan adik tercinta David Muspida Purba ,Amd.Kom. Terima kasih tak terhingga atas dorongan dan inspirasinya selama saya menjalani masa pendidikan spesialistik ini.

Dan juga kepada keluarga besar saya, baik Purba dan Bangun margana, yaitu mama dan mami tua di Binjai, mama dan mami tengah di Brastagi, mama dan mami uda di Brastagi, yang telah banyak berperan serta dan membantu saya baik moril maupun materil, saya ucapkan penghargaan dan rasa terima kasih saya yang setulusnya.

Kepada yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan dan keahlian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan, Bedah Kepala dan Leher, yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun duka, saling membantu dan bekerja sama sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat selama masa-masa pendidikan


(9)

tak lupa saya haturkan terima kasih dan saya berharap semoga teman-teman lebih semangat dalam menjalankan pendidikan di bagian yang kita cintai bersama ini.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada pimpinan serta pegawai foto copy dan percetakan Mikha, Gemi, RevisNet, di jalan Dr. Mansyur Medan yang telah memberikan waktu dan tenaganya untuk membantu kelancaran dalam pekerjaan saya selama masa pendidikan ini.

Kepada seluruh rekan-rekan dan kerabat, handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materiil kepada saya selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan banyak terima kasih.

Dan akhirnya izinkan dan perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf atas segala dan kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Telinga Hidung Tenggorokan, Bedah Kepala dan Leher ini.

Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerja sama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Medan, 25 Maret 2010 Penulis


(10)

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG

PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9%

DIBANDINGKAN CUCI HIDUNG CAIRAN HIPERTONIK NACL 3%.

ABSTRAK

Pendahuluan : Terapi cuci hidung telah lama digunakan sejak berabad- abad yang lalu, untuk mengobati penyakit sinus, khususnya rinosinusitis kronis Beberapa peneliti telah pernah menggunakan cairan pencuci hidung berupa cairan hipertonik salin NaCl 3% untuk penderita rinosinusitis kronis yang telah mendapat pembedahan, Efeknya sangat nyata terhadap waktu transportasi mukosiliar dan daya pembersihan mukosiliar. Terapi cuci hidung digunakan sebagai suatu adjuvan terapi pada penderita sinusitis karena dianggap dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung, khususnya di daerah KOM. Penelitian tentang cuci hidung ini sangat bermakna untuk memperbaiki gejala sinus agar skala kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan diharapkan dapat menurunkan penggunaan obat–obatan untuk sinus

Tujuan : Sebagai informasi untuk mengetahui perbedaan waktu transport mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan cairan hipertonik NaCl 3% yang dinilai dengan uji sakarin.


(11)

Metode : Penelitian ini menggunakan metode eksperimental murni dengan cara randomized controlled double-blind trial. Sampel pada penelitian ini adalah pasien baru atau lama yang secara klinis didiagnosis rinosinusitis kronis yang datang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan di mulai pada bulan Maret 2009 sampai dengan Maret 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.berjumlah 42 orang yang dibagi dua kelompok, yaitu kelompok yang dicuci dengan cairan isotonik NaCl 0.9% (21 orang) dan kelompok lainnya adalah responden yang dicuci dengan cairan NaCl 3% (21 orang) selama 4 minggu. Semua sampel dilakukan uji sakarin setelah dioperasi dan dicuci dengan cairan salin yang berbeda untuk tiapkelompok. Stop watch digunakan untuk menilai waktu transport mukosiliar. Semua data diolah dengan bantuan program window SPSS versi 17.00.

Hasil Penelitian ;Terdapat perbedaan waktu yang signifikan antara penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional yang menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan yang menggunakan cairan hipertonik NaCl 3%. Waktu transportasi mukosiliar yang mendapat adjuvant terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3% lebih cepat dibandingkan dengan yang mendapat cairan isotonik NaCl 0,9%.

Diskusi : Nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung yang dicuci dengan cairan isotonilk salin NaCl 0.9% adalah 16.0548 (SD ± 1.7612) menit sedangkan nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar yang dicuci dengan NaCl 3% adalah 9.0443 0548 (SD ± 1.4883). Dan setelah dilakukan uji t-independent didapatkan


(12)

nilai p< 0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada penderita rinosinusitis kronis yang dicuci dengan NaCl 0.9% dibandingkan dengan yang dicuci dengan NaCl 3%.

Kata Kunci : Waktu Transportasi Mukosiliar, Tes Sakarin, Rinosinusitis Kronis, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional, Adjuvan terapi, Cairan Salin Isotonik NaCl 0.9% , Cairan Salin Hipertonik NaCl 3%.

ABSTRACT

Introduction : Nasal irrigations have been used for centuries for patients with sinuses especially chronic rhinosinusitis. Several authors has used buffered hypertonic saline NaCl 3% as nasal irrigation who those having undergone sinus surgery . The effect of buffered hypertonic saline NaCl 3% on mucocilliary clearance and transport mucocilliary improves significantly. Nasal iirigations are using as adjuvant therapy on chronic rhinosinusitis patients because its suggested can be used for cleaning the nose and fascilitating mechanical removal of intranasal crusts,especially ostiomeatal complex region. The study of nasal irrigations on chronic rhinosinusitis patients is significantly can be effective to decreses symptoms of sinuses , improves sinus-related quality of life, and decreases medication use in patients with sinusitis.

Purpose : To provide further information about the effects of different saline solutions on nasal physiology by comparing the effect of buffered physiologic saline NaCl 0.9% and bufferend hypertonic saline, NaCl 3% on mucocilliary clearance time


(13)

after Funtional Endoscopic Sinus Surgery in chronic rinosinusitis patient as assessed by the saccharine clearance method.

Method :

The statistical method was a pure experimental design, with randomized controlled double-blind trial. Samples were new or old patients who diagnosed as a chronic rhinosinusitis that came to Department of ENT and Head Neck Surgery , Adam Malik Hospital Medan, from March 2009 until March 2010 . Fourty-two patient were included in this study, they randomly divided into two groups. The patients of one group (21 persons) were treated by isotonic saline NaCl 0,9% and the other (21 persons) were treated by hypertonic saline NaCl 3%. All of them were treated for 4 weeks . Mucocilliary clearance was assessed by using the saccharine test method after Funtional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) had been done and washed by different saline. Stop watch was using to observe the mucocilliary transport time. All data was analyzed by using SPSS (Statistical Program for Social Science) version 17.00 and t-independent.

Result : There is significant difference between mucociliary transport time in chronic rhinosinusitis patient with isotonic saline NaCl 0.9% compares hypertonic saline NaCl 3%. The mucocilliary transport time with adjuvant therapy hypertonic saline NaCl 3% is faster than isotonic salin NaCl 0.9%.


(14)

The mean of transport mucociliary time from chronic rhinosinusitis patient with isotonic saline NaCl 0.9% is 16.0548 (SD ± 1.7612) minute and the mean of transport mucociliary time from chronic rhinosinusitis patient with hypertonic saline NaCl 3% is 9.0443 0548 (SD ± 1.4883)minute. p < 0.05 is result from t-independent test . It means there is a significant result statiscally

Key words : Mucociliary Transport Time, Chronic Rhinosinusitis, Saccharine Test, Functional Endoscopic Sinus Surgery, Adjuvant therapy, Isotonic Saline NaCl 0.9%, Hypertonic Saline 3%.


(15)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 8

1.3 Hipotesis... 9

1.4 Tujuan Penelitian... 9

1.4.1. Tujuan Umum ... 9

1.4.2. Tujuan Khusus ... 9

1.4 Manfaat Penelitian... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal ... 11

2.1.1 Anatomi hidung ... 11

2.1.1.1 Embriologi hidung ... 11

2.1.1.2 Anatomi hidung luar ... 12

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam... 13

2.1.1.3.1 Septum nasi ... 14

2.1.1.3.2 Kavum nasi ... 14

2.1.1.3.3 Meatus superior... 15

2.1.1.3.4 Meatus media... 16

2.1.1.3.5 Meatus inferior... 16

2.1.1.3.6 Nares... 17

2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM) ... 17

2.1.1.5 Perdarahan hidung... 18

2.1.1.6 Persarafan hidung ... 18

2.1.2 Fisiologi hidung ...19

2.2 Anatomi Sinus Paranasal ...20

2.2.1 Embriologi sinus paranasal ...21

2.2.2 Sinus maksila ...22

2.2.3 Sinus frontal ...24

2.2.4 Sinus etmoid ...25

2.2.5 Sinus sfenoid...26

2.2.6 Fisiologi sinus paranasal ...27

2.3 Sistem Mukosiliar Hidung ...30

2.3.1 Mukosa hidung ...30


(16)

2.3.3. Silia hidung...34

2.3.4 Palut lendir ...38

2.4 Transportasi Mukosiliar...40

2.5 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar...41

2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Transportasi Mukosiliar ...43

2.6.1 Kelainan kongenital ...44

2.6. 2 Lingkungan...45

2.6.3 Alergi ...45

2.6.4 Obat-obatan ...46

2.7 Rinosinusitis ...47

2.8 Kekerapan ...49

2.9 Patofisiologi ...49

2.10 Gejala Klinis Dan Diagnosa ...50

2.11 Cairan Salin ...51

2.12 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) ...52

. BAB 3 KERANGKA KONSEP ...54

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ...55

4.1. Desain Penelitian ...54

4.2. Populasi, Sampel, Besar sampel 4.2.1 Populasi ...55

4.2.2 Sampel ...55

4.2.3 Besar sampel ...56

4.2.4. Teknik pengambilan sampel ...57

4.3. Variabel Penelitian ...57

4.3.1.Variabel Penelitian ...57

4.3.2 Definisi Operasional ...57

4.3.2.1 Rinosinusitis kronis ...57

4.3.2.2 Bedah Sinus Endoskopi Fungsional...58

4.3.2.3 Transportasi mukosiliar ...58

4.3.2.4 Waktu Transportasi Mukosiliar ...59

4.3.2.5 Tes Sakarin ...59

4.3.2.6 Rinitis alergi...60

4.3.2.7 Septum deviasi...60

4.3.2.8 Variasi anatomi ...61

4.3.2.9 Umur ...61

4.3.2.10 Jenis kelamin ...61

4.4. Instrumen Penelitian ...60

4.5. Bahan Penelitian ...62

4.6 Cara Kerja ...62

4.7 Kerangka Kerja...63


(17)

. BAB 5

ANALISIS HASIL PENELITIAN ...64

BAB 6 PEMBAHASAN ...75

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ...85

7.1. Kesimpulan ...85

7.2. Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA ...86

PERSONALIA PENELITIAN...92

Lampiran 1. Status Penelitian ...95

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian ...99

Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ...101

Lampiran 4. Riwayat Hidup ...102

Lampiran 5. Data Penelitian ...103


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Keterangan Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam...….. 14

Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal ...….. 18

Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal ...….. 22

Gambar 2.4. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance……… 30

Gambar 2.5. Histologi Mukosa Hidung ... 32

Gambar 2.6 Anatomi Molekuler Silia ……… 36

Gambar 2.7 Diagram gerak silia………. … 37

Gambar 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………. 65

Gambar 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur………... 66

Gambar 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Keluhan utama………. 67

Gambar 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Nasoendoskopi………. 69


(19)

DAFTAR TABEL

TABEL KETERANGAN HAL Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan

Jenis Kelamin... ... 6 Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 65 Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Keluhan utama... 67

Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan

Hasil Pemeriksaan Nasoendoskopi... 69 Tabel 5.5 Hasil Uji t-Independet Rata-Rata Waktu Transportasi

Mukosiliar Hidung Antara Kelompok Penderita Rinosinusitis Kronis Yang Dicuci Dengan

Cairan Isotonik Salin Nacl 0.9% Dibandingkan Dengan

Yang Dicuci Dengan Cairan Hipertonik Nacl 3%...…. 70. Tabel 5.6 Hasil Uji t-Independet Rata-Rata Waktu Transportasi

Mukosiliar Hidung Antara Kelompok Penderita Rinosinusitis Kronis Yang Dicuci Dengan Cairan Isotonik Salin NaCl 0.9% Dibandingkan Dengan Yang Dicuci Dengan Cairan

Hipertonik NaCl 3% Berdasarkan Jenis Kelamin... 71. Tabel 5.6.1 Jenis Kelamin Laki-Laki...71 Tabel 5.6.2 Jenis Kelamin Perempuan ...72

Tabel 5.7 Hasil Uji t-Independet Rata-Rata Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Antara Kelompok Penderita


(20)

Rinosinusitis Kronis Yang Dicuci Dengan Cairan Isotonik Salin NaCl 0.9% Dibandingkan Dengan Yang Dicuci Dengan Cairan Hipertonik NaCl 3%

Berdasarkan Ada Tidaknya Polip. ...73 Tabel 5.7.1 Polip Ada...73


(21)

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG

PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN

BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

TERAPI CUCI HIDUNG CAIRAN ISOTONIK NACL 0,9%

DIBANDINGKAN CUCI HIDUNG CAIRAN HIPERTONIK NACL 3%.

ABSTRAK

Pendahuluan : Terapi cuci hidung telah lama digunakan sejak berabad- abad yang lalu, untuk mengobati penyakit sinus, khususnya rinosinusitis kronis Beberapa peneliti telah pernah menggunakan cairan pencuci hidung berupa cairan hipertonik salin NaCl 3% untuk penderita rinosinusitis kronis yang telah mendapat pembedahan, Efeknya sangat nyata terhadap waktu transportasi mukosiliar dan daya pembersihan mukosiliar. Terapi cuci hidung digunakan sebagai suatu adjuvan terapi pada penderita sinusitis karena dianggap dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung, khususnya di daerah KOM. Penelitian tentang cuci hidung ini sangat bermakna untuk memperbaiki gejala sinus agar skala kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan diharapkan dapat menurunkan penggunaan obat–obatan untuk sinus

Tujuan : Sebagai informasi untuk mengetahui perbedaan waktu transport mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan cairan hipertonik NaCl 3% yang dinilai dengan uji sakarin.


(22)

Metode : Penelitian ini menggunakan metode eksperimental murni dengan cara randomized controlled double-blind trial. Sampel pada penelitian ini adalah pasien baru atau lama yang secara klinis didiagnosis rinosinusitis kronis yang datang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan di mulai pada bulan Maret 2009 sampai dengan Maret 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.berjumlah 42 orang yang dibagi dua kelompok, yaitu kelompok yang dicuci dengan cairan isotonik NaCl 0.9% (21 orang) dan kelompok lainnya adalah responden yang dicuci dengan cairan NaCl 3% (21 orang) selama 4 minggu. Semua sampel dilakukan uji sakarin setelah dioperasi dan dicuci dengan cairan salin yang berbeda untuk tiapkelompok. Stop watch digunakan untuk menilai waktu transport mukosiliar. Semua data diolah dengan bantuan program window SPSS versi 17.00.

Hasil Penelitian ;Terdapat perbedaan waktu yang signifikan antara penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional yang menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan yang menggunakan cairan hipertonik NaCl 3%. Waktu transportasi mukosiliar yang mendapat adjuvant terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3% lebih cepat dibandingkan dengan yang mendapat cairan isotonik NaCl 0,9%.

Diskusi : Nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung yang dicuci dengan cairan isotonilk salin NaCl 0.9% adalah 16.0548 (SD ± 1.7612) menit sedangkan nilai rata-rata waktu transportasi mukosiliar yang dicuci dengan NaCl 3% adalah 9.0443 0548 (SD ± 1.4883). Dan setelah dilakukan uji t-independent didapatkan


(23)

nilai p< 0,05 yang berarti terdapat perbedaan bermakna secara statistik dari rata-rata waktu transportasi mukosiliar hidung pada penderita rinosinusitis kronis yang dicuci dengan NaCl 0.9% dibandingkan dengan yang dicuci dengan NaCl 3%.

Kata Kunci : Waktu Transportasi Mukosiliar, Tes Sakarin, Rinosinusitis Kronis, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional, Adjuvan terapi, Cairan Salin Isotonik NaCl 0.9% , Cairan Salin Hipertonik NaCl 3%.

ABSTRACT

Introduction : Nasal irrigations have been used for centuries for patients with sinuses especially chronic rhinosinusitis. Several authors has used buffered hypertonic saline NaCl 3% as nasal irrigation who those having undergone sinus surgery . The effect of buffered hypertonic saline NaCl 3% on mucocilliary clearance and transport mucocilliary improves significantly. Nasal iirigations are using as adjuvant therapy on chronic rhinosinusitis patients because its suggested can be used for cleaning the nose and fascilitating mechanical removal of intranasal crusts,especially ostiomeatal complex region. The study of nasal irrigations on chronic rhinosinusitis patients is significantly can be effective to decreses symptoms of sinuses , improves sinus-related quality of life, and decreases medication use in patients with sinusitis.

Purpose : To provide further information about the effects of different saline solutions on nasal physiology by comparing the effect of buffered physiologic saline NaCl 0.9% and bufferend hypertonic saline, NaCl 3% on mucocilliary clearance time


(24)

after Funtional Endoscopic Sinus Surgery in chronic rinosinusitis patient as assessed by the saccharine clearance method.

Method :

The statistical method was a pure experimental design, with randomized controlled double-blind trial. Samples were new or old patients who diagnosed as a chronic rhinosinusitis that came to Department of ENT and Head Neck Surgery , Adam Malik Hospital Medan, from March 2009 until March 2010 . Fourty-two patient were included in this study, they randomly divided into two groups. The patients of one group (21 persons) were treated by isotonic saline NaCl 0,9% and the other (21 persons) were treated by hypertonic saline NaCl 3%. All of them were treated for 4 weeks . Mucocilliary clearance was assessed by using the saccharine test method after Funtional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) had been done and washed by different saline. Stop watch was using to observe the mucocilliary transport time. All data was analyzed by using SPSS (Statistical Program for Social Science) version 17.00 and t-independent.

Result : There is significant difference between mucociliary transport time in chronic rhinosinusitis patient with isotonic saline NaCl 0.9% compares hypertonic saline NaCl 3%. The mucocilliary transport time with adjuvant therapy hypertonic saline NaCl 3% is faster than isotonic salin NaCl 0.9%.


(25)

The mean of transport mucociliary time from chronic rhinosinusitis patient with isotonic saline NaCl 0.9% is 16.0548 (SD ± 1.7612) minute and the mean of transport mucociliary time from chronic rhinosinusitis patient with hypertonic saline NaCl 3% is 9.0443 0548 (SD ± 1.4883)minute. p < 0.05 is result from t-independent test . It means there is a significant result statiscally

Key words : Mucociliary Transport Time, Chronic Rhinosinusitis, Saccharine Test, Functional Endoscopic Sinus Surgery, Adjuvant therapy, Isotonic Saline NaCl 0.9%, Hypertonic Saline 3%.


(26)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologi lokal. Dalam hal imunologi lokal, hidung dan sinus paranasal merupakan organ yang berperanan penting sebagai garis terdepan pertahanan tubuh pada saluran nafas bagian bawah terhadap mikroorganisme dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, kedua organ ini seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya. Kedua organ tersbut memiliki daya pertahanan yang disebut spesifik dan non spesifik. (Hilger PA,1997. Passali. Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Daya pertahanan spesifik adalah ketika aliran turbulensi udara terhadap bahan-bahan yang terhirup oleh hidung dan dengan bantuan kerja dari mukus hidung terpelihara dengan baik, sedangkan daya pertahanan non spesifik adalah daya pembersihan hidung yang bekerja di dalam rongga hidung yang bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan rongga hidung dari virus, bakteri, jamur ataupun partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektifitasnya tergantung pada integritas dari sistem mukosiliar yang disebut sistem transport mukosiliar, terdiri dari sel-sel silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan palut lendir yang dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa.. Tidak ada perbedaan secara struktural dan fungsional


(27)

antara sel-sel silia dari hidung dan sinus paranasal. (Hilger PA,1997 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Sistem transport mukosiliar merupakan sistem yang bekerja secara aktif dan simultan tergantung pada gerakan silia untuk mendorong gumpalan mukus dan benda asing yang terperangkap masuk saat menghirup udara melalui sistem pengangkutan di saluran pernafasan atas dan bawah hingga ke saluran pencernaan. Keterlambatan dalam mengeliminasi partikel patogen potensial yang masuk secara inhalasi dapat menyebabkan penumpukan beberapa benda asing yang lain termasuk bakteri dan virus di saluran pernafasan. Oleh karena itu sistem transportasi mukosiliar adalah disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran pernafasan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, allergen, toksin dan benda asing lainnya yang tertangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997)

Transportasi mukosiliar (TMS) adalah proses pengangkutan benda asing ke arah nasofaring yang sangat ditentukan oleh keadaan gerak silia, palut lendir dan interaksi antara keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang oleh karena perubahan komposisi palut lendir, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel ekskresi ataupun obstruksi anatomi. Waktu transport mukosiliar dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, kelembaban, kebiasaan dan ras. Dalam hal ras, perbedaan luas permukaan mukosa yang berbeda-beda berdasarkan konstitusi anatomi, dapat juga mempengaruhi waktu transport mukosiliar. (Ballenger JJ,1994 ; Huang HM,2006 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)


(28)

Terganggunya sistem transport mukosiliar dapat terjadi pada penderita rinosinusitis baik akut, maupun kronik. Mekanisme etiologi pada rinosinusitis akut terutama gangguan pada sistem mukosiliar yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen dan imunitas pasien. (Busquets JM, 2006 ; Mc Caffrey 2000; Shoseyov D, 2005).

Penyakit sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Mangunkusumo E & Soetjipto D , 2007)

Secara patofisiologi kesehatan sinus paranasal dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya daya pembersihan mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal (KOM). Gangguan pada KOM dapat menyebabkan terjadinya gangguan ventilasi dan pembersihan mukosa. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak akan dapat bergerak dan ostium sinus akan tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, yang mula-mula berupa cairan serous. Kondisi inilah yang dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun bila kondisi menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri. Sekret menjadi purulen dan keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial yang memerlukan terapi dengan disertai antibiotik. Jika terapi tidak berhasil proses


(29)

peradangan berlanjut dan terjadi hipoksia sehingga bakteri anaerob berkembang, mukosa makin membengkak dan merupakan rantai siklus yang terus berputar hingga akhirnya terjadi perubahan mukosa menjadi kronik. (Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Nizar NW, 2000)

Prinsip dari pengobatan rinosinusitis adalah membuka sumbatan di daerah KOM sehingga drainase dan ventilasi dari sinus -sinus menjadi kembali pulih secara alami. Terapi pilihan pada penyakit sinusitis adalah antibiotika dan dekongestan yang bertujuan untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Terapi tambahan laih yang diperlukan adalah analgetik, mukolitik, steroid oral atau topikal, dan pencucian hidung dengan NaCl. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Pada beberapa kasus rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak dapat terkontrol dengan terapi obat-obatan yaitu berupa kombinasi pemberian antibiotika dengan kortikosteroid topikal ataupun sistemik maka tindakan operasi adalah dapat diindikasikan dan merupakan hal yang dianjurkan. (Wilma T.2007)

Tindakan operasi dengan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) adalah pilihan bedah standard terkini yang dikerjakan untuk sinusitis kronis yang secara konseptual BSEF adalah salah satu pengobatan untuk memperbaiki daerah KOM, yang merupakan salah satu modalitas penyebab pengobatan sinusitis yang didasari oleh penelitian dari Messerklinger pada tahun 1950-1960 an. Teori beliau adalah

menjelaskan bahwa adanya perbaikan drainase pada daerah yang sangat kritis yaitu daerah KOM dan untuk memperbaiki fungsi seluruh sinus secara fisiologis dengan cara memperbaiki daya pembersihan mukosiliar sehingga mukosa sinus yang patologik dapat dipulihkan kembali ke kondisi yang normal setelah BSEF (Bassiouny. 2003: Wilma T.2007).


(30)

Tindakan BSEF ini secara meluas telah dapat diterima sebagai tindakan primer untuk mengobati sinusitis kronis, yang sangat meningkat penggunaanya sejak tahun 1980an dan sampai sekarang merupakan tindakan bedah yang paling sering digunakan pada rinosinusitis kronis. (Wilma T. 2007 ; Katsuhisa.1996)

BSEF menunjukkan hasil yang sangat bermakna pada sebagian besar pasien. Namun bagaimanapun meningkatnya hasil perbaikan yang bermakna tersebut biasanya memerlukan kombinasi antara tindakan operatif dengan perawatan sesudah BSEF dilakukan yaitu dengan perawatan lokal seperti melakukan pencucian hidung dan disertai terapi obat– obatan. (Raymod GS. 2005)

Dalam jurnal penelitian yang dikerjakan oleh Kai-Li Liang dan kawan-kawan dikatakan bahwa tindakan mengirigasi atau mencuci hidung adalah terapi yang paling popular digunakan sebagai terapi adjuvan dan seringkali diresepkan untuk digunakan setelah bedah sinus endoskopik.

Tindakan cuci hidung yang dapat digunakan sebagai suatu adjuvan terapi pada penderita sinusitis adalah karena dapat mencegah sekresi krusta pada rongga hidung, khususnya di daerah KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema mukosa dengan cara berdifusi berdasarkan kandungan osmolaritasnya yang diharapkan dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder dapat memperbaiki patensi dari ostium sinus yang tersumbat. Rabago dkk, tahun 2006 telah mendemonstrasikan penelitian mereka untuk menunjukkan bahwa pengaruh cuci hidung dengan cairan salin baik dengan penilaian secara objektif maupun subjektif adalah meningkat penggunaannya dalam terapi untuk rinosinusitis. Dan penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 12


(31)

kali dalam peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Liang KL, 2008 ; Raymond GS, 2005 ; Hauptman, 2007 Rabago D, 2006 ; Talbot AR, 1997)

Penggunaan irigasi nasal atau cuci hidung dengan menggunakan cairan hipertonik yang dilakukan secara alamiah telah digunakan sejak berabad- abad yang lalu, khususnya di negara India, sebagai purifikasi yang rutin dilakukan sebelum praktik yoga dimulai. Kedokteran barat telah mengadopsi praktik cuci hidung ini sejak abad ke-19. Pada tahun 1895 para editorial menuliskan dalam “British Medical Journal“ tentang suatu artikel tentang hidung dengan judul “Hidung adalah salah satu organ tubuh yang paling kotor”. Berdasarkan artikel tersebut dilakukan salah satu teknik pembersihan hidung dengan cara mencelupkan wajah ke dalam suatu bak yang berisi air bersih yang suam-suam kuku atau dingin dengan mengambil sedikit demi sedikit sambil mengendus-endus, keluar-masuk saat wajah terendam air. Dan selama lebih dari seabad para ahli dari kedokteran Barat telah merekomendasikan cuci hidung sebagai salah satu terapi untuk penyakit sinonasal maupun setelah pembedahan hidung. (Hauptman,2007; Snidvongs K, Chaowanapanja P ; 2008)

Secara klinis, teknik cuci hidung pertama kali dipergunakan untuk irigasi hidung pada pasien sifilis dan tuberkulosis pada tahun 1870an sebagai terapi yang dilakukan di rumah. Arthur W. Proetz, tahun 1926, mendukung bahwa irigasi dengan cairan hipertonik salin dapat mempengaruhi fungsi mukosiliar hidung. Konsep inilah yang kemudian juga diadaptasi oleh para ahli rinologi selama beberapa dekade dan mereka secara rutin melakukan pencucian hidung dan sinus paranasal pada pasien-pasien yang telah mendapat pembedahan sinus endoskopik.


(32)

Cuci hidung telah digunakan untuk mengobati penyakit sinus termasuk rinosinusitis dan rinitis alergik. Metode penelitian tentang cuci hidung ini sangat bermakna untuk memperbaiki gejala sinus agar skala kualitas hidup pasien menjadi lebih baik dan diharapkan dapat menurunkan penggunaan obat–obatan untuk sinus. Pada anak-anak juga memperlihatkan hasil yang yang sama dengan dewasa, baik pada penderita rinitis alergi maupun pada rinosinusitis kronis. (Snidvongs K, Chaowanapanja P ; 2008)

Pada beberapa dekade yang lalu, para ahli juga telah sering meresepkan penggunaan dari cairan fisiologis atau normal salin (0,9%) dan terkadang cairan hipertonik salin. Parson DS, seorang peneliti senior, selama lebih dari sepuluh tahun telah menggunakan cairan yang tidak mahal yang dapat dilakukan oleh pasien di rumahnya berupa cairan buffer hipertonik salin (3%, ph 7,4) pada pasien dengan sinusitis akut ataupun kronik dan digunakan juga pada pasien yang telah mendapat pembedahan sinus. Hasil yang ditunjukkan pada pasien adalah berbeda-beda, kelihatannya menjanjikan, tetapi data secara statistik sangatlah kurang. (Talbot AR, 1997)

Kemudian Talbot et al, 1997, dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cairan hipertonik salin 3%, dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar yang dilakukan pada 21 sukarelawan perempuan sehat yang berusia 25-45 tahun yang dilakukan pembersihan dengan cairan normal salin diikuti dengan penilaian waktu TMS dengan metode sakarin. Selanjutnya dilakukan pencucian hidung dengan cairan hipertonik salin dan diikuti kembali dengan pemeriksaan waktu TMS dengan uji sakarin. Kemudian hasil dibandingkan dan menunjukkan bahwa cairan hipertonik salin dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar. Penelitian ini seharusnya


(33)

dapat dilakukan ulang terhadap pasien yang disertai dengan sinusitis akut maupun kronik. (Talbot AR, 1997)

Atas dasar tersebutlah maka kami dalam hal ini mencoba untuk melakukan kembali penelitian terhadap pengaruh dan efektifitas penggunaan cuci hidung dengan cairan hipertonik salin 3% yang dibandingkan dengan cairan normal salin 0,9% pada penderita rinosinusitis kronis.

Dan untuk mengetahui sistem mukosiliar berjalan normal dapat dilakukan beragam pemeriksaan seperti pemeriksaan fungsi transportasi mukosiliar, ultrakstruktur silia, frekwensi denyut silia, dan pemeriksaan konsistensi atau kandungan palut lendir. Untuk menguji waktu TMS dapat digunakan partikel sakarin atau label radioaktif. Partikel kecil dari sakarin dapat ditempatkan pada mukosa hidung dan waktu dicatat sampai pasien merasakan manis yang pertama kalinya. Uji sakarin merupakan uji yang sederhana, tidak mahal, non-invasif dan merupakan gold standard untuk uji perbandingan. (Jorissen, 2000; Sun SS, 2002 ; Havas T , 199 , Waguespack 1995)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah ada perbedaan waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan adjuvan terapi cuci hidung dengan cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan cairan hipertonik NaCl 3%.


(34)

1.3. Hipotesis

Waktu transportasi mukosiliar penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan adjuvan terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3% lebih cepat dibandingkan dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengaruh dan manfaat adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9% dibandingkan dengan cairan hipertonik NaCl 3% terhadap waktu transportasi mukosiliar hidung pada pasien rinosinusitis kronis setelah dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional.

1.4.2. Tujuan khusus

1.4.2.1. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan isotonik NaCl 0,9%

1.4.2.2. Untuk mengetahui rata-rata waktu transportasi mukosiliar pada penderita rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional dengan menggunakan adjuvan terapi cuci hidung cairan hipertonik NaCl 3%.


(35)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Dapat digunakan sebagai standar pengobatan terhadap keberhasilan terapi dengan menggunakan adjuvan terapi cairan pencuci hidung dalam pengobatan rinosinusitis kronis setelah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional.

1.5.2. Diharapkan dapat sebagai informasi untuk pertimbangan terapi pada penatalaksanaan rinosinusitis kronis setelah mendapat pembedahan bedah sinus endoskopi fungsional.

1.5.3. Untuk pengembangan khasanah pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.


(36)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung Dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.1 Embriologi hidung

Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. (Walsh WE, 2002)

Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris.(Walsh WE, 2002)


(37)

Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh WE, 2002)

2.1.1.2 Anatomi hidung luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)


(38)

ala nasi,5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.3 Anatomi hidung dalam

Bahagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)


(39)

Gambar 2.1 Anatomi Hidung Dalam

2.1.1.3.1 Septum nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.2 Kavum nasi

Kavum nasi terdiri dari: Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. . (Ballenger JJ,1994)


(40)

Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger JJ,1994)

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. . (Ballenger JJ,1994)

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.3 Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa


(41)

ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger JJ,1994)

2.1.1.3.4 Meatus media

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)

2.1.1.3.5 Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)


(42)

2.1.1.3.6 Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994)

Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ; Hilger PA,1997)

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).

2.1.1.4 Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina


(43)

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. (Nizar NW, 2000 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007).

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media (Nizar NW, 2000).

Gambar 2.2 Kompleks Ostio Meatal (Sumber : Nizar NW, 2000)

2.1.1.5 Perdarahan hidung

Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis


(44)

interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.1.1.6 Persarafan hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris


(45)

dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007

2.1.2 Fisiologi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

2.2. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk


(46)

rongga di dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. (Ballenger JJ,1994; Heilger PA, 1997; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. (Ballenger JJ,1994)

2.2.1 Embriologi sinus paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun


(47)

perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Gambar 2.3. Embriologi Tingkat Perkembangan Sinus Paranasal

2.2.2 Sinus maksila

Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. (Lund VJ,1997)


(48)

Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun. (Ballenger JJ,1994; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai


(49)

hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan mengakibatkan sinusitis. 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.3 Sinus frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum


(50)

etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.4 Sinus etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang


(51)

dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.5 Sinus sfenoid

Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi. Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak


(52)

berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi lainnya. (Ballenger JJ,1994)

Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

( Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

2.2.6 Fisiologi sinus paranasal

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.

Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini

adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari


(53)

sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah :

(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.

Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)\


(54)

(3) Membantu keseimbangan kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)

(6) Membantu produksi mukus.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.


(1)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

( INFORMED CONSENT )

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

:

Umur

:

Jenis kelamin

:

Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran mengenai

penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila

dikemudian hari saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan

dituntut apapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.

Medan,………2009

Peserta penelitian


(2)

CURICULUM VITAE

I. IDENTITAS

1. Nama

: dr. Immanuel Es Stevanus Purba

2. Tempat/Tgl. Lahir : Perbaungan / 16 Mei 1971

3. Alamat

: Jl Akasia Asr.TNI-AD Glugur Hong Blok J No: 1 MDN

4. No telp/Hp

: 061-77886495 / 08126307571

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1978 – 1984

: SD RK Setia Budi Medan

2. 1984 – 1987

: SMPN 12 Medan

3. 1987– 1990

: SMAN 3 Medan

4. 1991 – 2000

: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

5. 2006 – Sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK-USU Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. 2000

: PAMA DITKES MABES TNI - AD

2. 2001

: PAMA KESDAM BUKIT BARISAN

3. 2002 – 2003

: Dokter Batalyon Infantri 111 Karma Bakti Kodam

Iskandar

Muda

4. 2003 – 2004

: Dokter Batalyon Pengamanan Obyek Vital Nasional

5. 2004 – 2005 : Kepala Poliklinik Penyakit Dalam Dan Keswa

KODAM Iskandar Muda

6. 2005 : Dokter Panglima KODAM Iskandar Muda

IV. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2000 – 2001

: Anggota IDI cabang Medan

2. 2002 – 2003

: Anggota IDI Cabang Aceh Timur

3. 2004 – 2005

: Anggota IDI Cabang Medan

4. 2006 – Sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL Cabang Sumut


(3)

Data Pasien Post BSEF yang Dicuci dengan Cairan Isotonik NaCl 0.9%

MR Na ma

U m ur

Kela min

Pekerj

aan Keluhan N

O

L

k P

Hidun g tersu mbat

PN D

Nye ri Waj

ah

Saki t Kep

ala

Gang Penciu man

Halit osis

Dem am 1 383

612 TA F

44t

hn X - Petani X X - X X X -

2 383 563

KA S

35t

hn X - Wiras

wata X X - X - - -

3 298 768

MT S

21t

hn X - Mahasi

swa X X - X - - -

4 217 799 JT

27t

hn X - Wiras

wata X X - X - - -

5 387 905

ZF R

18t

hn X - Mahasi

swa X X - X - - -

6 388 610

LH T

30t

hn X - Petani X X - X - - -

7 384 855 NH

33t

hn - X IRT X - - X - - X

8 390 890

FG I

32t

hn - X Mahasi

swi - - X X - - x

9 381 841 RB

18t

hn X - Mahasi

swa X X - X - - -

1 0

391 042

CM S

56t

hn X - Petani X X - X X X -

1 1 392

764

MS 30t

hn - X

PNS X X - - - - X

1 2

393 293

RS A

42t

hn - X PNS - X X X - X -

1 3 381

559 KN I

25t

hn - X

IRT - X X X - - -

1 4

393 844 AZ

44t

hn - X IRT X - - X - - -

1 5

390 273 RI

26t

hn X - Wiras

wasta X X - X - - -

1 6

300 481 NH

40t

hn X X IRT X X - X - - -

1 7

316 937

SK N

35t

hn X - PNS X X X X - - -

1 8

393 165 NA

25t

hn - X IRT X - - X - - X

1 9

398 265 LS

22t

hn - X Mahasi

swi X X - - - - X

2 0

397 639 RA

30t


(4)

2 1

3777 74

CA N

38t

hn X - PNS X X - X - - -

Data Pasien Post BSEF yang Dicuci dengan Cairan Hipertonik NaCl 3%

MR Na ma

U mu

r

Kela min

Pekerj

aan Keluhan N

O

L

k P

Hidun g tersu mbat

PN D

Nye ri Waj

ah

Saki t Kep

ala

Gang Penciu man

Halit osis

Dem am 1 399

954 JNA 30t

hn - X IRT X X - X - - -

2 748 489

RD P

36t

hn - X PNS X X - - - - X

3 400 144

GM N

25t

hn X - Wiras

wata X X - X - - -

4 405 888

SR O

58t

hn X - Petani X X - - X X -

5 405 312

TS A

21t

hn - X Mahas

iswi - X - X - - x

6 403

033 DIL 17t

hn X - Mahas

iswa X X X - - - x

7 397

810 DH 36t

hn X - PNS - X - X - - -

8 144 253

BT R

63t

hn - X IRT X X - X X - -

9 407

446 MB 34t

hn - X Petani X - X X - - -

1 0

407

646 MS 57t

hn - X Petani X X - X X X -

1 1

409 349 TH

20t

hn - X Mahas

iswi X X - X - - -

1 2

401 928

SK A

18t

hn - X Mahas

iswi X X - X - - -

1 3

305 609

RM N

52t

hn X - PNS X X - - X - -

1 4

407 962

JM N

50t

hn X - Petani X - - X X X -

1 5

409 154

HL N

49t

hn - X Peg,s

wsta X X - X - - -

1 6

399 497 EI

17t

hn - X Siswi X X X X - - X

1 7

413 020

ZD N

61t


(5)

1 8 413 224 MN Z 45t

hn X - Peg.s

wsta X X - X - - -

1 9

252

513 ES 30t

hn - X IRT X X - X - - -

2 0

417

436 HT 24t

hn - X Peg.s

wsta X X - X - - X

2 1 412 317 NZ N 58t

hn X - Petani X X - X X - -

Data Pasien Post BSEF yang Dicuci dengan Cairan Isotonik NaCl 0.9%

Waktu TMS Konka Media Meatus Media Proc.Uns inatus Bulla Etmoidali s Konka Inferior Sept um Sek ret Poli p N O Eu tr o p i H ip e rtr o p i/ Ed e m a T e rb u k a T e rtu tu p N o rm a l Me n o n jo l T id a k m e n o n jo l Me n o n jo l Eu tr o p i H ip e rtr o p i N o rm a l D e v ia s i A d a T id a k a d a A d a T id a k a d a Si n u s iti s Ma k s il a D u p le x Pa n s in u s iti s Mu lti s in u s iti s C u c i N a C l 0 .9 % (d e ti k )

1 X -

-

X X - - - - X - X X - - X - - X

15. 10

2 X -

-

X - X X - - X - X X - - X - - X

16. 04

3 - X

-

X X - X - X - X - X - - X X -

- 15. 00

4 - X

-

X X - X - X - X - X - - X X X

- 16. 30

5 - X

-

X X - X - - X - X X - - X - X -

10. 58

6 - X

-

X X - X X - X - X X - - X - - -

16. 56

7 - X

-

X - X - - X - X - X - - X - - X

15. 39

8 X -

-

X X - X - - X - X X - - X - - X

16. 29

9 - X

-

X X - X X - X - X X - X - - - X

15. 18 1

0 - X

-

X X - - - - X - X X - - X - - X

13. 25 1

1 - X

-

X X - X - - X - X X - - X - - X

16. 46 1

2 - X

-

X X - X - - X - X X - - X - X -

17. 43 1

3 - X

-

X - X - - X - X - X - - X X - -

16. 05 1

4 X -

-

X X - X - - X - X X - X - - - X

16. 40 1

5 - X

-

X X - X - X - X - X - - X X -

- 17. 25 1

6 - X

-

X X - X - - X - X X - - X - X -

18. 47 1 - X - X - X - X - X - X X - - X - x - 17.


(6)

7 52 1

8 X -

-

X X - - X - X - X X - - X - - X

17. 58 1

9 - X

-

X - X X - X - X - X - - X - - X

15. 03 2

0 - X

-

X - X X - - X - X X - X - - - X

18. 20 2

1 X -

-

X X - X - - X - X X - - X - - x

17. 07

Data Pasien Post BSEF yang Dicuci dengan Cairan Isotonik NaCl 3%

Waktu TMS Konka Media Meatus Media Proc.Uns inatus Bulla Etmoidali s Konka Inferior Sep tum Sek ret Poli p N O Eu tr o p i H ip e rtr o p i/ Ed e m a T e rb u k a T e rtu tu p N o rm a l Me n o n jo l T id a k m e n o n jo l Me n o n jo l Eu tr o p i H ip e rtr o p i N o rm a l D e v ia s i A d a T id a k a d a A d a T id a k a d a Si n u s iti s m a x d u p le k Pa n s in u s iti s Mu lti s in u s iti s C u c i N a C l 3 %

1 X - - X X - X - X - X - X - - X - - X 7.10

2 - X - X - X X - - X X - X - X - - X - 6.43

3 - X - X - X X - - X X - X - - X - - X 8.54

4 - X - X X - - X - X X - X - - X X - - 7.12

5 - X - X X - - X - X - X X - - X - X - 9.40

6 - X - X X - X - - X X - X - X - - - X 8.45

7 - X - X X - X - - X - X X - - X - - X

11.1 2

8 X - - X X - X - X - X - X - - X X - -

10.2 8

9 - X - X - X X - - X X - X - - X - X -

10.5 0 1

0 - X - X X - X - - X X - X - - X - - X 8.07

1

1 - X - X - X X - - X X - X - - X - - X 7.20

1

2 X - - X X - X - X - - X X - - X - - X 8.35

1

3 - X - X - X - X - X - X X - X - - X -

10.4 6 1

4 - X - X - X X - - X X - X - X - - - X

10.1 2 1

5 - X - X - X X - - X X - X - - X - - X 9.50

1

6 X - - X X - X - X - X - X - - X X - - 9.56

1

7 X - - X X - X - - X X - X - - X - - X

10.3 5 1

8 - X - X - X - X X - X - X - - X - X -

10.1 0 1


Dokumen yang terkait

Efektifitas Penggunaan Catatan Pantau Cairan Terhadap Keseimbangan Cairan pada Anak dengan Diare di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012

0 51 76

Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

6 85 101

Perbandingan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Kronis Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

1 30 110

Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung Pada Penderita Rinosinusitis Maksila Kronis Dengan Kavum Nasi Normal

0 46 78

Gambaran Pemberian Cairan Intravena untuk Tindakan Resusitasi Cairan pada Kasus Trauma Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di IGD RSUP H.Adam Malik pada Bulan Oktober 2014

2 60 60

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

1 18 64

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

0 0 14

Pengaruh Cuci Hidung dengan NaCl 0,9% Terhadap Peningkatan Rata-rata Kadar pH Cairan Hidung pada Pedagang Kaki Lima di Kawasan Kampus Universitas Sumatera Utara

0 0 2

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

0 0 8

Pengaruh cuci hidung dengan NaCl 0,9 terhadap peningkatan rata-rata kadar pH cairan hidung

0 0 6