Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (Khi) Dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

26

BAB II
PRINSIP-PRINSIP PENGGANTIAN BENDA WAKAF MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
A. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
1.

Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk

menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disingkat KHI, yang terdiri
dari Buku I (pertama) tentang Hukum Perkawinan, Buku II (kedua) tentang Hukum
Kewarisan, dan Buku III (ketiga) tentang Hukum Perwakafan. Hukum Perwakafan
terdiri dari lima bab dan lima belas Pasal yang memuat ketentuan umum tentang
wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nazhir,
tata cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian
perselisihan benda wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. Kompilasi Hukum

Islam (KHI) ini disusun dengan maksud untuk dijadikan pedoman dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang hukum
tersebut,

baik

oleh

instansi

pemerintah

maupun

oleh

masyarakat

yang


memerlukannya.
Penjelasan umum dinyatakan bahwa pedoman yang dipergunakan Peradilan
Agama dalam bidang-bidang hukum tersebut yaitu tiga belas kitab fiqih Mażhab
Syafi'i dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan bahwa KHI

26

Universitas Sumatera Utara

27

merupakan hasil lokakarya yang diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta
yang telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia disertai perbandingan
dengan yurisprudensi peradilan agama maupun perbandingan dengan negara-negara
lain.
Beberapa

catatan

terhadap


Kompilasi

Hukum

Islam

(KHI)

dan

pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari sisi formal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberi baju dalam bentuk
Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak dianggap kurang kuat karena tidak
memiliki landasan hukum/rujukan konstitusi maupun Ketetapan MPR yang selama
ini ada. Namun pendapat ini disanggah oleh Ismail Sanny yang merujuk pada
pasal 4 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden untuk
menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan
pemerintahan serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin
departemen untuk melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh

karena itu, akan semakin kuat dan mantap apabila KHI yang di dalamnya
mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah atau Undang-Undang.
2. Dari sisi substansial atau materi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya memuat
beberapa ketentuan masalah wakaf menurut hukum Islam. Oleh karena itu,
seyogyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan peraturan

Universitas Sumatera Utara

28

perundangan yang lain dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu
disatukan dalam bentuk undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka
lembaga hibah dan wasiat merupakan cara penyampaian kehendak dari pihak
pemberi wakaf kepada penerima wakaf. Oleh karena itu selain diatur dalam hukum
pewarisan, seharusnya juga diatur dan dimasukan ke dalam salah satu bagian
tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan maupun tertulis) serta
pemberian wakaf dengan cara hibah wakaf.
3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan

perwakafan tanah milik atau menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) penyelesaian
perselisihan benda wakaf, seyogyanya tidak hanya melalui proses perdata
(Pengadilan Agama) tetapi dapat pula diajukan secara pidana sebagaimana diatur
pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977.
4. Perlu diatur lebih lanjut tentang perubahan benda wakaf atas dasar alasan tidak
sesuai dengan tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan umum
sebagaimana diatur dalam pasal 225 KHI agar tidak menyalahi ketentuanketentuan Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf semula dalam ikrak wakaf.41
Membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dari perwakafan tanah di
Indonesia, pada dasarnya adalah membicarakan sebuah pranata hukum yang unik dan
rumit. Oleh karena itu di Indonesia tidak ada pranata hukum yang dalam waktu
bersamaan diatur oleh berbagai ketentuan hukum yang berasal dari berbagai sub

41

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

29


sistem keberadaanya perlu dilihat sedemikian rupa dan dapat mengundang perbedaan
pendapat yang cukup tajam, bergantung dari sudut mana kita memandangnya. 42
Dari sudut lingkup makna hukum yang ideal, kehadiran Kompilasi Hukum
Islam

(KHI)

merupakan

rangkaian

sejarah

hukum

nasional

yang

dapat


mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama
tentang:
a. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut bahkan mengatur interaksi sosial;
b. Aktualnya dimensi normative akibat terjadi eksplanasinya fungsional ajaran
Islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum;
c. Respon struktural yang dinilai melahirkan rangsangan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Alim Ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas
dengan kesepakatan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah rumusan
tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan kondisi hukum dan kondisi
masyarakat Indonesia.43
Berikut ini merupakan prinsip-prinsip yang harus di pertahankan didalam
perwakafan:
a Prinsip Keabadian dan Prinsip Kemanfaatan
b Seluruh harta benda wakaf harus diterima sebagai sumbangan dari wakif
c dengan status wakaf sesuai dengan syariah

42
43


Siah Khosyi’ah, Op. Cit., hal. 191.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

30

d Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya
e pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif
f Jumlah harta wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan
dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan44
Pada dasarnya benda wakaf tidak dapat diubah atau dialihkan. Dalam pasal
225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan
tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.
Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilaksanakan terhadap
hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat dengan alasan:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. Karena kepentingan umum.
2.

Fungsi Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Mengenai fungsi wakaf yang tertuang didalam Pasal 216 Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yaitu, fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai
dengan tujuan wakaf.

44

Internet,http://suhairistain.blogspot.com, wakaf-uang-dalam mewujudkan.html, Suhairi blog
Stain Jurai Siwo Metro, Wakaf Uang Dalam Mewujudkan Ekonomi Umat, (diakses tanggal, 21 Mei
2012).

Universitas Sumatera Utara

31


Dari uraian di atas dapatlah kita ketahui bahwa hikmah dari disyari’atkanya
wakaf itu banyak sekali, diantaranya ialah:
1.

Untuk membela nasib fakir miskin, atau orang-orang yang kurang mampu di
dalam meneruskan hidupnya.

2.

Dengan adanya bantuan berupa wakaf, zakat fitrah, sadakah dan lain-lainnya
akan terpelihara agama orang yang tidak berkemampuan.

3.

Bila orang-orang miskin tidak berkemampuan sudah dibantu mereka tidak akan
menempuh jalan yang salah, dan bila mereka tidak menempuh jalan yang salah
akan tercipta pulalah keamanan pada masyarakat sekitarnya.

4.


Dengan adanya bantuan orang yang mampu, akan terjalinlah hubungan
persaudaraan yang lebih erat dan rasa cinta mencintai sesama muslim. Dengan
terciptanya rasa persatuan, terciptalah persatuan. Persatuan adalah pokok
kekuatan.

5.

Dengan adanya harta wakaf akan bertambahlah modal ummat Islam. Dengan
modal akan terciptalah rencana dan ekonomi yang kuat, dengan ekonomi yang
kuat itu makmurlah ummat Islam.
Bagi orang yang berwakaf juga akan mendapat pahala yang berkepanjangan

selama harta wakafnya itu masih dapat dipergunakan dan juga wakaf itu adalah
sebagai amal shaleh baginya.45
Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan dan tidak
hanya sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqih yang belum
45

Hasbalah Thaib, Fiqih Wakaf, Op. Cit., hal. 77.

Universitas Sumatera Utara

32

seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada
bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem
sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai
salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam
yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah.
Agar wakaf lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan
kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis. Merujuk pada praktek
pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh para Sahabat,
dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan
diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut.
Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi wakaf
itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi yang jauh
lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan umum.46
Imam Malik mengemukakan bahwa wakaf itu adalah menjadikan manfaat
benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang
yang berhak, dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang
diperjanjikan atau yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan. Pendapat Imam
Malik ini wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bila berlaku

46

Achmad
Kholiq,
Kontektualisasi
dan
Reposisi
Fungsi
Wakaf,
Internet:http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?Itemid=57&catid=2:islamkontemporer&id=1248:
kontektualisasi-dan-reposisi-fungsiwakaf&option=com_content&view=article, (diakses, tanggal 09
Mei 2012).

Universitas Sumatera Utara

33

untuk waktu tertentu saja (misalnya untuk satu tahun), sesudah itu kembali kepada
pemiliknya.47
Pendapat ini dinilai cukup relevan dengan kondisi hukum positif di Indonesia
saat ini yang mengenal dengan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai dengan
sistem kontrak. Jika pendapat Imam malik ini yang diterapkan, maka wakaf akan
mendapat perluasan makna dan perluasan kesempatan kepada para pihak yang tidak
memiliki benda permanen yang ingin diwakafkan tetapi memiliki benda yang
bersetatus temporer. Selain membuka lebih lebar kepada calon wakif, bisa juga
dikembangkan secara maksimal.48
3.

Unsur-Unsur Dan Syarat-Syarat Wakaf Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI)

a.

Unsur-Unsur Wakaf
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf

terletak didalam bab II Pasal 217 yaitu:
1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa
dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya
dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya
adalah pengurusanya yang sah menurut hukum.

47
48

Abdul Manan, Loc. Cit
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

34

3. Badan wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam (KHI),

harus merupakan benda milik yang bebas segala

pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Sebagaimana Pasal tersebut diatas dilanjutkan di dalam Pasal 218 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yaitu:
1. Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan
tegas kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagai
mana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6) yang kemudian menuangkanya
dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
orang saksi.
2. Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat
(1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri
Agama.49
Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam merumuskan
defenisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf sebab tanpa
rukun, wakaf tidak dapat berdiri sendiri atau wakaf tidak sah. Menurut Abdul Wahab
Khallaf rukun wakaf atau unsur-unsur wakaf Ada empat, yaitu:
1. Wakif (orang yang berwakaf) adalah pemilik harta yang mewakafkan
hartanya. Seseorang yang akan mewakafkan hartanya harus mempunyai
syarat-syarat berikut :

49

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 306-307.

Universitas Sumatera Utara

35

a) Wakif itu adalah pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan. Harta yang
belum jelas pemiliknya tidak boleh di wakafkan, seperti harta warisan yang
belum dibagikan, harta berserikat yang belum ditentukan siapa-siapa
pemiliknya, harta yang telah dijual tapi belum lunas pembayaranya dan
sebagainya. Karena itu perlu diteliti kedudukan suatu harta yang akan
diwakafkan.
b) Wakif mempunyai kecakapan melakukan tabru; yaitu kecakapan seseorang
telah dapat melakukan tabarru; ialah telah mempunyai kemampuan
mempertimbangkan sesuatu yang dikemukakan kepadanya dengan baik.50
2. Mauquuf (harta yang diwakafkan)
a. Kekal zatnya, berarti diambil manfa’atnya zat barang tidak rusak.
b. Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya, (bercampur dan tidak
dapat dipisahkan dengan yang lain).51
3. Mauquuf’alaih (tujuan wakaf) adalah yang harus dilaksanakan berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam berdasarkan ketentuan yang
telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, benda-benda yang
dijadikan sebagai objek wakaf hendaknya berbeda-beda yang termasuk dalam
bidang mendekatkan diri kepada Allah SWT.52
4. Sighat Wakaf ( Ikar wakaf)

50

Zakiah Daradjat, Husni Rahiem dan Suaibu Thalib, Ilmu Fiqih, (Jakarta : Direktur
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986). hal. 212.
51
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1954). hal. 325.
52
Abdul Manan, Op. Cit., hal. 241.

Universitas Sumatera Utara

36

Tentang Sighat Wakaf ( Ikar wakaf) ini merupakan rukun wakaf yang
disepakati oleh wakif. Tanpa adanya ikrar wakaf, menganggap wakaf belum
sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah
pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazir
untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf. Ikrar wakaf
yang diucapkan pemberi wakaf pada umumnya sebagai berikut: “saya
wakafkan harta saya ini kepada Madrasah Polan untuk dipakai pembelanjaan
dan penyelenggaraanya atau saya wakafkan kebun kelapa ini untuk digunakan
hasilnya bagi penyelenggaraan yayasan yatim piatu polan dan sebagainya”.
Pada umumnya, lafaz Kabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan,
tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz kabul, cukup
dengan ikrar penyerahan saja.53
b. Syarat-Syarat Wakaf
Selanjutnya syarat-syarat wakaf dilanjutkan dalam pasal 219 Kompolasi
Hukum Islam (KHI) yaitu:
1. Nazhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Sudah dewasa.
d. Sehat jasmani dan rohani.
53

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

37

e. Tidak berada di bawah pengampuan.
f. Bertempat tinggal dikecamatan tempat ketak benda yang diwakafkanya.
2. Jika berbentuk badan hukum, paka nazhir harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
b. Mempunyai perwakilan

di

kecamatan

tempat

letak benda

yang

diwakafkanya.
3. Nazhir sebagaimana dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis
Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
4. Nazhir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya
oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apa pun tidak
memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun
juga.”
“Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku nazhir dalam
pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuanya.”

Universitas Sumatera Utara

38

Jumlah nazhir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti
dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyakbanyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.54
Syarat-syarat sahnya suatu perwakafan benda atau harta seseorang adalah
sebagai berikut :
1. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi
untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk lima tahun saja
misalnya, adalah tidak sah.
2. Tujuanya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas perwakafan
tidak sah. Namun demikian, apa bila seorang wakif menyerahkan tanahnya
kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya,
wewenang untuk penentuan tujuan wakaf itu berbeda pada badan hukum yang
brsangkutan sesuai dengan tujuan badan hukum itu.
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif
tanpa menggantungkan pelaksanaanya pada suatu peristiwa yang akan terjadi
di masa yang akan datang. Sebabnya adalah ikrar wakaf itu menyebabkan
lepasnya hubungan pemilikan seketika itu juga, antara wakif dengan wakaf
yang bersangkutan. Bila digantungkan pada kematian seseorang, seperti telah
disebut di atas, yang berlaku adalah hukum wasiat. Dalam hal ini tidak boleh
lebih dari sepertiga harta peninggalan. Bila wasiat wakaf itu melebihi
54

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

39

sepertiga harta peninggalan, selebihnya baru dapat dilaksanakan kalau
disetujui oleh para ahli waris. Bila semua ahli waris menyetujuinya, semua
harta yang diwakafkan itu dapat diolah atau dikerjakan. Bila semua tidak
menyetujuinya hanya sepertiga yang dapat dilaksanakan, selebihnya menjadi
batal karena hukum. Kalau ada yang setuju ada pula yang tidak, yang dapat
dilaksanakan adalah bagian mereka yang setuju saja.
4. Wakaf yang sah wajib dilaksanaka, karena ikrar wakaf yang dinyatakan oleh
wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya.55

B. Prinsip-Prinsip Penggantian Benda Wakaf Dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf
1.

Prinsip Penggantian Benda Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf mengatur

tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau
kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip harta benda
wakaf termuat didalam Pasal 42, 43, 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf Pasal 42 yaitu:
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi, dan peruntukanya.
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu:

55

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat Wakaf, (Jakarta : UI-Press, 1988). hal.

88-89.

Universitas Sumatera Utara

40

1. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazhir sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
2. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagai mana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara produktif.
3. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud
pada ayat (1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin
syariah.
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yaitu:
1. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir dilarang
melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta
benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan
yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.
Namun, ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah
diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR), berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari
Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Namun, harta benda wakaf
yang sudah diubah setatusnya karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar

Universitas Sumatera Utara

41

dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan
harta benda wakaf semula.
Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada
prinsifnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan
mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang
yang berlaku. Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan benda wakaf itu
bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga keutuhan
harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksitensi
wakaf itu sendiri, sehingga wakaf tetap menjadi alternative untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat banyak.56
Sejak lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafkan Tanah Milik dan
lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, perwakafkan mulai dan
terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan
dan paham wakaf secara umum. Paling tidak pelaksanaan pembaharuan paham yang
selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan
wakaf. Upaya sertifikasi tanah wakaf terhadap tanah-tanah wakaf yang belum
memiliki sertifikat adalah bentuk pembaharuan paham di lingkungan masyarakat
muslim Indonesia, bahwa wakaf adalah sah jika dilakukan secara lisan tanpa
dicatatkan secara resmi kepada administrasi pemerintahan.

56

Departemen Agama, Op. Cit, hal. 85-86.

Universitas Sumatera Utara

42

Fenomena yang banyak terjadi sebelum UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28
Tahun 1977 UU No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 28 Tahun 1977 hingga lahirnya
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah perbuatan wakaf yang
dilakukan hanya dengan faktor kepercayaan kepada salah satu tokoh agama yang
diangkat sebagai Nazhir. Namun dari praktek paham wakaf yang terbilang tradisional
tersebut mengundang persoalan-persoalan baru, seperti hilangnya benda-benda wakaf
seperti dijadikan rebutan oleh para ahli waris Nazhir, obyek persengketaan para pihak
yang berkepentingan, ketidak jelasan status benda wakaf sehingga mengakibatkan
tidak dikelola secara baik. Untuk itu, pola sertifikasi tanah-tanah atau benda wakaf
lainya merupakan upaya memperbaharui paradigma baru dalam pelaksanaan
perwakafan di Indonesia.
Peruntukan benda wakaf, menurut PP No. 28 Tahun 1977 Bab IV Bagian
Pertama, Pasal 11 ayat (2) dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf Bab IV Pasal 41 sebenarnya memberikan legalitas
terhadap tukar menukar benda wakaf setelah terlebih dahulu meminta ijin dari
Menteri Agama RI dengan dua alasan, yaitu: karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf
dan demi kepentingan umum.
Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal
untuk kepentingan umum dengan jalan tukar-menukar. Keberadaan aturan tersebut
merupakan upaya pembaharuan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas
ulama dan masyarakat Indonesia yang mengikuti pendapat Imam Syafi’I bahwa

Universitas Sumatera Utara

43

benda-benda wakaf tidak boleh diganggu gugat, walaupun demi kepentingan manfaat
sekalipun seperti membangun masjid dari hasil wakaf yang sudah roboh.
Paradigma baru terhadap perubahan status benda wakaf memang menjadi
salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya sudah cukup baik, paling
tidak sejak adanya PP No. 28 Tahun 1977 dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004
tentang wakaf berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya.
Pola seleksi yang dilakukan oleh para nazhir wakaf atas pertimbangan
manfaat. Memang sistim yang diterapkan oleh para nazhir wakaf di Indonesia tidak
seluruhnya menggunakan pola penyeleksian secara ketat agar benda-benda yang ingin
diwakafkan oleh masyarakat dapat memberi manfaat secara maksimal. Selama ini
banyak nazhir wakaf yang “asal” menerima wakaf tanpa mempertimbangkan asas
kemampuan dalam pengelolaan, sehingga banyak benda-benda wakaf, khususnya
tanah tidak terkelola secara baik. Namun, hingga saat ini ada perkembangan yang
positif yang dilakukan oleh beberapa lembaga wakaf.57
Sistem ikrar yang dilakukan oleh para calon wakif diarahkan kepada bentuk
ikrar wakaf untuk umum, tanpa penyebutan yang bersifat khusus seperti yang selama
ini terjadi. 58

57

Departemen Agama, Peradikma Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007). hal. 59-60.
58
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

44

2.

Fungsi Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
Untuk memajukan dunia perwakafan di Indonesia, pemerintah melalui

Departemen

Agama

berupaya

menjalankan

fungsi

dan

peranannya,

guna

memfasilitasi pengembangan administrasi perwakafan di Indonesia sesuai dengan
tuntutan perkembangan masyarakat. Pada tahun 2006 Pemerintah memecah
Direktorat zakat dan wakaf di Departemen Agama Pusat menjadi dua Direktorat yang
berdiri sendiri, di lingkungan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. Departemen Agama Provinsi
Sumatera Utara masalah perwakafan ditangani Seksi Pemberdayaan Wakaf pada
Bidang Hazawa (Haji, Zakat, dan Wakaf).
Secara kelembagaan Departemen Agama memiliki fungsi dan tugas yang bisa
dijabarkan sebagai berikut:
a.

Fungsi motivator,

artinya Departemen

Agama sebagai

lembaga

yang

memberikan motivasi, rangsangan ataupun stimulan khususnya terhadap
lembaga-lembaga pengelolaan wakaf yang ada agar memaksimalkan kesejateraan
masyarakat banyak.
b.

Fungsi fasilitator, artinya Departemen Agama memberikan fasilitas-fasilitas yang
memungkinkan terhadap para nazhir, wakif, calon wakif, lembaga atau pihak lain
yang terkait dengan perwakafan, baik yang bersipat fisik maupun nonfisik dalam

Universitas Sumatera Utara

45

mengoptimalkan peran pengelolaan, pengembangan, pelaporan, dan pengawasan
kelembagaan.
c.

Fungsi regulator, artinya Departemen Agama menjadi pihak yang memantau
seluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap
tidak relevan dengan perkembangan masa kini untuk kemudian menyusun dan
atau mengusulkan perubahan kebijakan bersama pihak-pihak lain, baik yang
bersifat internal maupun eksternal.

d.

Public service, artinya Departemen Agama menjadi lembaga yang melayani
kepada seluruh lapisan masyarakat Islam tentang perwakafan. Bentuk pelayanan
umum yang dilakukan oleh Departemen Agama berupa dibukanya akses
informasi, kebijakan pelayanan administrasi wakaf, dan membantu berbagai
persoalan, pengembangan dan pembinaan wakaf.59
Pengelolaannya untuk mencari dana untuk kesejahteraan umum, maka dalam

rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf harta benda, ketentuan dalam Pasal 22
Undang-Undang, Nomor 41 Tahun 2004 menyatakan, wakaf hanya dapat
diperuntukkan bagi:
a.

Sarana dan kegiatan ibadah;

b.

Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

c.

Bantuan kepada fakir miskin,anak terlantar, yatim piatu dan beasiswa;

d.

Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;

59

Bahdin Nur Tanjung dan Farid Wadi, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta : Sinar
Grafika dengan UMSU, 2010). hal. 179-180.

Universitas Sumatera Utara

46

e. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah
dan peraturan perundang-undangan.60
3.

Unsur-Unsur Dan Syarat Wakaf Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf

a.

Orang yang berwakaf (wakif)
Adapun syarat-syarat orang yang mewakafkan adalah setiap wakif harus

mempunyai kecakapan melakukan untuk

melepaskan hak milik tanpa imbalan

materil atau mereka telah dewasa, berakal sehat, tidak dibawah pengampuan dan
tidak karena terpaksa berbuat. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, wakif meliputi:
1) Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak
terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf;
2) Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik organisasi yang bersangkutan;
3) Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan
harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan
hukum yang bersangkutan.
b. Benda yang diwakafkan
Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila merupakan harta bernilai,
tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Benda yang diwakafkan
dipandang sah apa bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
60

Khalid, Aspek Hukum Dalam Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi Kasus Di Kecamatan Tanjung Marawa Kabupaten
Deli Serdang), (Medan: Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010). hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

47

1) Benda harus memiliki nilai guna.
2) Tidak sah hukumnya sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang
bersangkut paut dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain
sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut
syarat, yaitu benda yang tidak boleh diambil manfaatnya, seperti benda
memabukkan dan benda-benda haram lainnya.
3) Benda tetap atau benda bergerak.
4) Secara garis umum yang dijadikan sandaran golongan safi’iyyah dalam
mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta
tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang
kongsi (milik bersama).
5) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui), ketika terjadi akad wakaf
Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlah seperti seratus juta
rupiah, atau biasa juga menyebutkan dengan nishab terhadap benda tertentu,
misalnya separuh tanah yang dimiliki dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak
menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan tidak sah
hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku, dan
sebagainya.
6) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap orang yang
mewakafkan ketika terjadi akad wakaf

Universitas Sumatera Utara

48

7) Dengan demikian, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum
menjadi miliknya, walaupun nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya
tidak sah, seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan
jual beli dan lain sebagainya.61

61

Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat Dan Wakaf, (Jakarta : Grasindo, 2006). hal. 59-

60.

Universitas Sumatera Utara