Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter Dalam Akta Notaris yang Aktanya Menjadi Objek Perkara Pidana di Pengadilan

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan
berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa Negara
termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga Negara yang lain dalam
setiap melaksanakan tindakan apa pun, harus dilandasi oleh hukum.1
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dimana kekuasaan tunduk pada
hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi
dalam pemerintahan, hukum adalah perlindungan kepentingan manusia. Hukum
mengatur segala hubungan individu atau perorangan dan individu dengan kelompok
atau masyarakat maupun individu dengan pemerintah.2
Berdasarkan dengan ketentuan bahwa Negara Indonesia adalah Negara
Hukum, maka orang yang merasa haknya terlanggar dalam suatu hubungan hukum
pada umumnya tidak boleh bertindak sendiri dalam membela haknya itu, akan tetapi
pembelaan tersebut harus dilakukan dengan perantara badan pemerintah yakni
pengadilan.3

1

Marsono, Susunan Dalam Naskah Undang-Undang Dasar 1945 dengan Perubahanperubahannya, (Jakarta: Ekojaya, 2003), hal. 91
2
Agustining, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Autentik Yang Dibuat Dan Berindikasi
Perbuatan Pidana, diakses dari http:/www.google.com/10E00165-1.pdf pada tanggal 14 Februari
2015.
3
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Groose Akta Dalam Pembuktian dan
Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 12

1

Universitas Sumatera Utara

2

Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan
perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas dalam kehidupan

masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.4
Dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
tersebut, perlu adanya profesional hukum yang memiliki keahlian yang berkaitan
dengan bidangnya sehingga mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan masyarakat
yang memerlukan pelayanan dibidang hukum.
Pada kehidupan bermasyarakat yang sederhana tentunya hubungan di antara
warganya lebih banyak didasarkan pada kebiasaan dan norma berasaskan nilai dan
moral yang ada dan tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Pada kehidupan yang lebih
kompleks kepastian hukum sering kali menjadi tumpuan dari mekanisme roda
kehidupan masyarakat.5
Kehidupan bermasyarakat sering kali mengandung banyak ketidakpastian.
Oleh karena itu, naluri seseorang cenderung untuk mendapatkan jaminan yang
mendekati kepastian terjadi. Jaminan, baik berupa benda maupun orang diminta
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan manakala debitor tidak dapat
memenuhi kewajibannya.

4

Ibid.

Herlien budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hal. 280.
5

Universitas Sumatera Utara

3

Perlu diketahui bahwa profesi hukum bukan saja menyangkut amanat
kepercayaan yang menyangkut kepentingan individu (private trust), akan tetapi juga
menyangkut kepentingan umum (public trust).6 Salah satu contoh dari profesi hukum
itu adalah Notaris.
Pada umumnya para pencari jasa Notaris kurang memahami hukum dan para
klien menyerahkan sepenuhnya kepada Notaris untuk merumuskan perjanjian antara
mereka yang tentunya diharapkan dibuat sesuai dengan hukum dan kebenaran.
Menurut Purwoto Gandasubrata7, dalam melakukan tugasnya diharapkan
Notaris selalu berpegang teguh serta menjunjung tinggi martabat profesinya sebagai
jabatan kepercayaan dan terhormat sebagai pejabat umum yang terpercaya maka
diharapkan akta-aktanya menjadi alat bukti yang kuat apabila menjadi sengketa
hukum di pengadilan.

Bagi masyarakat, Notaris muncul sebagai sosok

yang mempunyai

kewenangan publik, penyuluh, dan pemberi nasihat. Kewenangan publik diperoleh
Notaris berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), untuk
memberikan bantuannya kepada masyarakat dalam bentuk pembuatan akta autentik.
Kewenangan publik yang diberikan Notaris, memberikan suatu kesan bahwa Notaris
adalah “penguasa”.

6

Suhrawadi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2014), hal. 9-10.

7

Puwoto Gandasubrata, Peranan Notaris Sebagai Pejabat umum Di Dalam Mengisi dan
Turut Mensukseskan Pembangunan Nasional Di Bidang Hukum, (Jakarta: Renungan Hukum, IKAHI,
1998), hal. 486.


Universitas Sumatera Utara

4

Kesan ini ternyata tidaklah demikian halnya, karena sebenarnya Jabatan
Notaris itu sendiri mempunyai dua ciri dan sifat yang essentiil, yaitu tidak memihak
dan kemandiriannya dalam memberikan bantuan kepada para kliennya. Jadi dalam
hal ini, Notaris bukanlah seorang penguasa melainkan suatu jabatan yang memiliki
wewenang untuk membantu masyarakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan
yang berkaitan dengan akta secara adil dan jujur.
Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh Peraturan
Perundang-undangan dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat
yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik, mengenai keadaan
peristiwa atau perbuatan hukum atas keterlibatan langsung oleh para pihak yang
menghadap.
Notaris sendiri harus bekerja kapanpun dibutuhkan untuk melayani
masyarakat untuk kepentingan perdagangan dan kekeluargaan. Oleh sebab itu,
Notaris dilarang meninggalkan tempat tanpa cuti lebih dari 7 (tujuh) hari, dan harus
selalu siap sedia melayani. Notaris harus mampu melayani kapan saja, bahkan Notaris

boleh membuat akta tengah malam jika diperlukan.
Notaris memiliki kewenangan yang timbul dari kebutuhan masyarakat, yaitu
membuat akta tentang semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan atau dikehendaki yang bersangkutan.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), menentukan
bahwa Notaris adalah Pejabat Umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang untuk

Universitas Sumatera Utara

5

membuat akta autentik8 dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lain. Notaris sebagai
salah satu professional hukum di Indonesia memiliki fungsi dan peran dalam gerak
pembangunan nasional yang semakin kompleks terutama di bidang hukum.
Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang diberikan kewenangan atribut
berdasarkan Undang-Undang dan bekerja untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan
Negara.9 Dalam rangka menjalankan profesinya, seorang Notaris wajib dilindungi

oleh hukum yang berlaku. Hal ini sangat diperlukan karena dalam menjalankan
profesinya tidak jarang seorang Notaris dijadikan sebagai tersangka bahkan terpidana
sehubungan dengan akta autentik yang dibuat oleh Notaris. Baik karena pemalsuan
akta maupun tentang pernyataan para pihak ataupun saksi yang hadir.
Akta Notaris sendiri lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak
yang menghadap Notaris, para pihak yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan
sebuah akta sehingga tercipta seluruh akta yang autentik. Akta yang dibuat Notaris
menguraikan secara autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan
yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi.10

8

Tesis Hanna Mandela, Pertanggung Jawaban Notaris/PPAT Terhadap Akta Jual Beli Tanah
Yang Mengandung Cacat Hukum Materil Ditinjau Dari Hukum Pidana (Studi Putusan MA NO.
126/PID/B/2009/PN. DUM), Magister Kenotariatan USU, hal. 10.
9
Tesis Hanna Nathasya Rumia Hutapea, Kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan
Akta Notaris, Magister Kenotariatan USU, hal. 2.
10
Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-Kasus dalam Kehidupan Sehari-hari,

(Jakarta: Milenia Populer, 2001), hal. 85.

Universitas Sumatera Utara

6

Akta Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai
sifat autentik dari akta itu. Misalnya dalam pembacaan akta menerangkan bahwa
harus mencantumkan identitas para pihak, isi perjanjian yang dikehendaki para pihak,
dan sebagainya.
Notaris sebagai salah satu penegak hukum karena Notaris membuat alat bukti
tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa
akta Notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai
isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti
sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan
oleh Notaris dalam aktanya adalah benar.11
Dalam ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat
bukti yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu, dan alat
bukti tersebut berada dalam tataran Hukum Perdata, dan bahwa Notaris membuat akta
karena ada permintaan dari para pihak yang menghadap. Tanpa ada permintaan dari

para pihak, Notaris tidak akan membuat akta apa pun, dan Notaris membuatkan akta
yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyatan para pihak yang
dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan di hadapan Notaris, dan selanjutnya
Notaris membingkainya secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta
Notaris, dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau prosedur

11

Liliana Tedjosaputro, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang: CV. Agung,
1991), hal. 4

Universitas Sumatera Utara

7

pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang
bersangkutan yang dituangkan dalam akta.12
Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa,
maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris
dengan sengaja untuk menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan

para pihak yang tidak memberikan dokumen yang sebenarnya. Apabila akta yang
dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik
karena kelalaian maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri, maka Notaris harus
memberikan pertanggung jawaban secara moral dan secara hukum. Dan tentunya hal
ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan.
Oleh karena itu jika Notaris terbukti melakukan kesalahan-kesalahan baik
yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam suatu
pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum, maka beberapa tahap
prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain, Pemanggilan
Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di pengadilan perdata
menyangkut pertanggung jawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang
sebelumnya

adanya

toleransi

dari

Majelis


Pengawas

Notaris,

selanjutnya

ditindaklanjuti dengan pemidanaan yakni Notaris dapat dijadikan saksi atau tersangka
dalam kasus pidana serta penyitaan bundel minuta yang disimpan oleh Notaris.
Selain bukti tertulis, kesaksian dari para saksi juga dapat membenarkan atau
menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka persidangan. Saksi-saksi itu ada yang
12

Op.Cit., hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

8

secara kebetulan melihat dan mengalami sendiri peristiwa itu, ada pula yang dengan
sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan.13
Dalam melakukan perbuatan hukum, Notaris berkewajiban menghadirkan 2
(dua) orang saksi, yang pengenalan tentang identitas dan kewenangan dari saksi
disebutkan secara tegas dalam akta. Disamping itu dalam pasal 40 UUJN juga
menentukan mengenai syarat-syarat untuk dapat menjadi saksi dan seorang saksi
harus dikenal oleh Notaris. Dalam ruang lingkup kenotariatan dikenal dua macam
saksi, yaitu saksi pengenal dan saksi instrumenter.
Saksi instrumenter diwajibkan oleh hukum untuk hadir pada pembuatan akta
Notaris. Tugas saksi instrumenter ini adalah membubuhkan tanda tangan,
memberikan kesaksian tentang kebenaran isi akta dan dipenuhinya formalitas yang
diharuskan oleh undang-undang. Biasanya, yang menjadi saksi instrumenter ini
adalah karyawan Notaris itu sendiri.
Saksi pengenal adalah saksi yang memperkenalkan penghadap kepada
Notaris. Saksi pengenal terdiri dari dua orang yang berumur paling sedikit 18 tahun
atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.
Saksi yang tertera di dalam akta Notaris hanya sebatas saksi instrumenter
(instrumentaire getuigen), artinya saksi yang dikehendaki oleh peraturan perundangundangan. Kehadiran 2 (dua) orang saksi instrumenter adalah mutlak, tetapi bukan
berarti harus 2 (dua) orang, boleh lebih jika keadaan memerlukan.14

13
14

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1989), hal. 100
Sutrisno, Komentar UU Jabatan Notaris Buku II, (Medan: 2007), hal 35-37.

Universitas Sumatera Utara

9

Saksi instrumenter sendiri harus cakap bertindak dalam hukum, mengerti
bahasa akta, tidak boleh ada hubungan keluarga dekat dalam arti garis ke atas dan ke
bawah tanpa batas dan garis ke samping sampai derajat ketiga, baik dengan Notaris
ataupun dengan para penghadap.15
Secara umum saksi merupakan salah satu alat bukti yang diakui dalam
perundang-undangan. Sebagai alat bukti yang sah, saksi adalah seseorang yang
memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis atau tanda tangan,
yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri, baik itu berupa perbuatan atau
tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu kejadian.16
Keterangan saksi yang tidak sesuai atau tidak disertai dengan sebab dan alasan
yang memadai bagaimana dia dapat mengetahui suatu peristiwa tertentu, tidak dapat
digunakan sebagai bukti yang sempurna. Keterangan saksi yang bukan merupakan
pengetahuan dan pengalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran
kesaksiannya.17
Notaris harus bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya jika akta
tersebut dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lain. Dalam hal ini, Notaris
dapat dijadikan saksi atau bahkan tersangka oleh pihak lain yang merasa bahwa
tindakan hukum yang tersebut dalam akta dianggap merugikan. Sebagai contoh,
misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008.

15

Ibid.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1983), hal. 168.
17
Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 164
16

Universitas Sumatera Utara

10

Bahwa di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008,
Terdakwa Ny. Idahjaty Kusni menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam
akta authentik yang menimbulkan kerugian bagi para saksi yang tidak lain adalah
mantan suaminya sendiri Tuan Kosin Kunardi serta pembeli Villa yang menjadi
objek akta yaitu Ny. Lina.
Bermula ketika Ny. Idahjaty hadir di hadapan Notaris Ny. Sri Madiathie, SH
Binti Achmad Idris untuk membuat akta jual beli Villa Komplek Villa Indo Alam
Desa Sindanglaya Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur kepada Ny. Lina dengan
harga Rp.375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah).
Ny. Idahjaty yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu dalam
pembuatan akta di depan Notaris dengan menyembunyikan perihal hak dari Tuan
Kosin Kunardi selaku mantan suaminya atas Villa tersebut kepada Notaris. Terdakwa
yang dalam hal ini adalah Ny. Idahjaty juga memberikan keterangan palsu mengenai
persetujuan dari Tuan Kosin atas penjualan Villa tersebut yang sebenarnya tidak
demikian. Tuan Kosin sama sekali tidak mengetahui mengenai perbuatan Ny.
Idahjaty yang menjual Villa tersebut kepada Ny. Lina. Sehingga hal ini menimbulkan
kerugian bagi Tuan Kosin maupun Ny. Lina.
Merujuk ke contoh kasus di atas, terlihat jelas bahwa Notaris dalam
menjalankan profesinya, tidak jarang terjerat kasus hukum yang dapat diakibatkan
oleh para pihak serta saksi di dalam akta. Dalam kasus di atas, Notaris dituduh ikut
serta memalsukan identitas dari para pihak yang hampir saja menjeratnya dalam
sanksi pidana pemalsuan keterangan yang dilakukan oleh Terdakwa Ny. Idahjaty

Universitas Sumatera Utara

11

selaku pemberi keterangan palsu yang disaksikan juga anaknya yang bernama
Minardi Aminudin Kurnadi ketika pembuatan akta di hadapan Notaris.
Kejahatan mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek),
yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal
sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.18
Berdasarkan dari uraian penjelasan di atas, maka penulis akan membahas dan
lebih memfokuskan penelitian ini dalam bentuk penulisan tesis yang berjudul :
“Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter dalam Akta Notaris Yang
Aktanya Menjadi Objek Perkara Pidana Di Pengadilan”. Dan diharapkan
penelitian ini dapat memberikan saran mengenai perlindungan seorang saksi maupun
Notaris dalam akta di setiap perkara yang timbul di lingkungan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Akta Notaris?
2. Bagaimana

Perlindungan

Hukum

Bagi

Saksi

Instrumenter

Dalam

Memberikan Keterangan Dalam Akta Notaris?
3. Apakah Akibat Hukum Terhadap Saksi Dalam memberikan Keterangan Palsu
Perihal Akta Notaris?
18

Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Selanjutnya disebut buku I, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 2-3.

Universitas Sumatera Utara

12

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan Saksi Instrumenter
dalam Akta Notaris
2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai ruang lingkup perlindungan
hukum bagi saksi instrumenter dalam memberikan keterangan dalam akta
Notaris
3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum terhadap saksi dalam
memberikan keterangan dalam akta Notaris

D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang hendak dicapai bersama, dengan
demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan pustaka/literature
mengenai jabatan atau profesi Notaris khususnya tentang perlindungan hukum
saksi dalam akta Notaris yang aktanya menjadi objek perkara di dalam
pengadilan.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pihak-pihak yang terkait kedudukan Notaris/PPAT khususnya mengenai
perlindungan saksi dalam akta Notaris yang aktanya dijadikan objek perkara di

Universitas Sumatera Utara

13

pengadilan, sehingga keadilan, kepastian serta perlindungan hukum dapat
dilaksanakan dengan baik bagi pihak-pihak di dalam akta, khususnya saksi akta.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada
di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya
yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Instrumenter Dalam Akta
Notaris Yang Aktanya Menjadi Objek Perkara Di Pengadilan”. Akan tetapi ada
beberapa penelitian yang menyangkut Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dalam
Akta Notaris, antara lain penelitian yang dilakukan oleh:
a. Hanna Nathasya Rumia Hutapea, NIM: 137011024, Mahasiswa Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan
judul: “Kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan Akta Notaris”.
Dengan permasalahan yang diteliti, yaitu:
1. Bagaimanakah ruang lingkup tanggung jawab saksi instrumenter dalam
pembuatan akta yang dibuat oleh notaris?
2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi instrumenter dalam
pembuatan akta yang dibuat oleh notaris?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Dalam penelitian ilmiah, kerangka teori menjadi landasan yang sangat penting

serta teori mengacu sebagai pemberi sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta
memahami masalah yang kita bicarakan menjadi lebih baik.19

19

Sutjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259.

Universitas Sumatera Utara

14

Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk
mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori
merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori
merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari
seperangkat konsep atau variable, definisi dan proposisi yang disusun secara
sistematis.20
Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba
secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya
memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.21
Teori merupakan serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang
saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai
fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan
fenomena alamiah. Kerangka teori adalah menyajikan cara-cara untuk bagaimana
mengorganisasikan

dan

menginterpretasikan

hasil-hasil

penelitian

dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.22
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pandangan dan
menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.
Artinya, bahwa penelitian ini nantinya akan mampu memahami kedudukan saksi
ataupun Notaris yang dinyatakan sebagai saksi dalam akta yang objeknya terdapat
dalam perkara di pengadilan dan menjelaskan pandangan tentang perlindungan
20

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta, Rineka Cipta, 2003), hal. 194.
H.R.Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 21.
22
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2010), hal. 19.
21

Universitas Sumatera Utara

15

hukum yang nantinya akan diberikan kepada Notaris yang dinyatakan sebagai saksi
ataupun saksi akta itu sendiri.
Adapun asas, konsep dan teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis
dalam penelitian ini adalah asas kepastian hukum dan teori perlindungan hukum,
sebagai berikut :
1. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum, yaitu teori yang menjelaskan mengenai kedudukan
saksi akta dalam akta Notaris, serta mengenai kepastian akan perlindungan hukum
yang didapatkan oleh saksi akta maupun Notaris yang menjadi terdakwa maupun
saksi di dalam akta yang menjadi objek perkara di pengadilan.
Kepastian hukum adalah tujuan utama dari hukum.23 Tugas kaedah-kaedah
hukum adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum. Dengan adanya pemahaman
kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh akan menyadari bahwa
kehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan sesama
manusia, dalam pengertian teori kepastian hukum yang oleh Roscue Pound dikatakan
bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya ‘Predictability’.24
Dengan demikian kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang
pertama adanya aturan yang besifat umum membuat individu mengetahui apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan, dan yang kedua berupa keamanan bagi individu dari

23

J.B.Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT.
Prennahlindo, 2001), hal. 120.
24
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), hal. 158.

Universitas Sumatera Utara

16

kewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu,
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.
Kepastian hukum diperlukan untuk menjamin ketenteraman dan ketertiban
dalam masyarakat karena kepastian hukum terkait peraturan/ketentuan mempunyai
sifat yakni:25
a. adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alatalatnya. Salah satu kewajiban Notaris adalah merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta autentik. Apabila Notaris
melanggar kewajiban tersebut, maka Notaris dapat dikenai sanksi yang telah
diatur dalam pasal 85 UUJN. Selain itu, dikarenakan Notaris merupakan
jabatan kepercayaan yang mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia,
Notaris juga dapat dikenai sanksi pidana yang diatur dalam pasal 322 KUHP.
Sanksi-sanksi tersebut diberikan guna tercapainya tujuan dari pasal 16 ayat (1)
huruf e UUJN, yakni untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
masyarakat, khususnya para pihak yang terakit dengan akta Notaris.
b. sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja. Apabila dikaitkan dengan
pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, maka kewajiban untuk menyimpan rahasia
terkait dengan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta
Notaris ini tidak hanya dimiliki oleh Notaris, melainkan juga harus
dilaksanakan oleh semua orang yang berada di dalam ruangan pada saat
verlidjen akta. Hal ini dapat diartikan bahwa para pihak yang terkait dan para
saksi akta pun mempunyai kewajiban untuk merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta.
Teori kepastian hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan mengenai
kedudukan serta perlindungan hukum yang berkaitan dengan kewenangan Notaris
berdasarkan UUJN. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti
yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu

25

Yahya Zein, Keadilan Dan Kepastian Hukum, diakses dari http://www.google.co.id/
keadilan/kepastianhukum, pada tanggal 16 Januari 2016.

Universitas Sumatera Utara

17

perbuatan

yang

harus

dipertanggungjawabkan

secara

pidana

jika

terjadi

permasalahan.
2. Teori Perlindungan Hukum.
Perlindungan Hukum merupakan unsur yang harus ada dalam suatu negara.
Setiap pembentukan negara pasti di dalamnya ada hukum untuk mengatur warga
negaranya. Dalam suatu negara, terdapat hubungan antara negara dengan warga
negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban.
Perlindungan Hukum akan menjadi hak bagi warga negara, namun di sisi lain
perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara. Negara wajib memberikan
perlindungan hukum bagi warga negaranya, sebagaimana di Indonesia yang
mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi : “Indonesia adalah negara hukum”.
Perlindungan hukum merupakan suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukum (dari tindakan sewenang-wenang seseorang) dalam bentuk perangkat
hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis.26
Perlindungan hukum merupakan suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu
bahwa hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan
dan kedamaian.

26

Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1987), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

18

Konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon mengemukakan
perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum bahasa Belanda dikenal dengan
sebutan “rechtbescherming van de burgers”27. Pendapat ini menunjukkan kata
perlindungan

hukum

merupakan

terjemahan

dari

bahasa

Belanda,

yakni

“rechsbescherming”.
Pengertian

kata perlindungan

tersebut, terdapat suatu usaha untuk

memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah
dilakukan.
Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai pertanggungjawaban
bahwa : “Seseorang bertanggungjawab secara hukum terhadap suatu perbuatan
tertentu atau karena ia memikul tanggung jawab hukum tersebut yang berarti ia
bertanggung jawab apabila ia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum”.28
Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa pertanggungjawaban sangat erat
kaitannya dengan sanksi, selain itu Hans Kelsen juga menyatakan bahwa
pertanggungjawaban dibagi menjadi:29
1. Pertanggungjawaban individu
2. Pertanggungjawaban Kolektif
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault)
27

Philipus M. Hadjon, Ibid., hal. 1.
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Teori Umum Hukum Dan Negara, DasarDasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi,
(selanjutnya disingkat Hans Kelsen I), (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2013), hal. 95.
29
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien, (selanjutnya disingkat
Hans Kelsen II), (Bandung: Nuansa & Nusamedia, 2006), hal. 140
28

Universitas Sumatera Utara

19

4. Pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility)
Dalam pertanggungjawaban individu, seorang individu bertanggung jawab
terhadap

pelanggaran

yang

dilakukannya

sendiri,

sedangkan

pada

pertanggungjawaban kolektif yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap
suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan yaitu seorang individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukannya dengan sengaja dan diperkirakan memiliki tujuan untuk menimbulkan
kerugian. Pertanggungjawaban mutlak artinya seorang individu bertanggung jawab
atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.30
Suatu sanksi dapat dikenakan kepada seorang individu yang melakukan suatu
perbuatan hukum bersama-sama dengan individu lainnya tetapi ia berposisi dalam
suatu hubungan hukum dengan pelaku delik.
Satijipto Raharjo menyatakan bahwa perlindungan hukum itu adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.31 Sedangkan Philipus M. Hadjon menyebutkan
bahwa pada dasarnya perlindungan hukum meliputi dua hal yakni perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif

32

meliputi tindakan yang menuju kepada upaya pencegahan terjadinya sengketa

30

Hans Kelsen II, Ibid.
Satjipto Raharjo Dalam Buku Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 54.
32
Philipus M. Hadjon Dalam Buku Budi Agus Riswandi dan Sabhi Mahmashani, Dinamika
Hak Kekayaan Intelektual Dalam masyarakat Kreatif, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hal. 12.
31

Universitas Sumatera Utara

20

sedangkan perlindungan represif maksudnya adalah perlindungan yang arahnya lebih
kepada upaya untuk menyelesaikan sengketa, seperti contohnya adalah penyelesaian
sengketa di pengadilan.
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah untuk bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di
lembaga peradilan.33
Jabatan Notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang
menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani
kepentingan umum dalam bidang hukum perdata. Dalam UUJN diatur bahwa ketika
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran,
Notaris tersebut dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata dan
administrasi, akan tetapi dalam Peraturan Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, UUJN,
dan UUJN-P, tidak diatur mengenai ketentuan sanksi pidana terhadap Notaris.
Apabila terjadi pelanggaran pidana terhadap Notaris, maka dapat dikenakan sanksi
pidana yang terdapat dalam KUHP, dengan catatan bahwa pemidanaan terhadap
Notaris tersebut dapat dilakukan dengan batasan-batasan.

33

Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk
Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang:
Universitas Brawijaya, Malang, 2010), hal 18.

Universitas Sumatera Utara

21

Menurut Habib Adjie, adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat saja
dilakukan dengan batasan sebagai berikut:34
a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja,
penuh kesadaran serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan
Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk
melakukan suatu tindak pidana.
b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh
Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN.
c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu Notaris
sebagai berikut:
Pentingnya peranan Notaris dalam membantu menciptakan kepastian hukum
serta perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif yaitu bersifat
pencegahan terjadinya masalah hukum, dengan cara menerbitkan akta autentik yang
dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum, hak, dan kewajiban seseorang
dalam hukum yang berfungsi sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan
apabila terjadi sengketa atas hak dan kewajiban terkait.35
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti autentik
dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang
berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau kepastian
perbuatan hukum itu dilakukan.
Berbicara masalah alat bukti ini juga diatur dalam Pasal 164 Herzein
Indonesisch Reglement (HIR) juncto Pasal 1866 KUH Perdata. Alat-alat bukti
tersebut dalam proses perkara di Pengadilan semuanya adalah penting, tetapi dalam
34

Sjaifurrachman, dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 208-209
35
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Ibid., hal. 7

Universitas Sumatera Utara

22

HIR yang menganut asas pembuktian formal. Dimana dalam suatu perkara perdata
alat bukti (alat pembuktian) yang utama adalah tulisan, sedangkan dalam suatu
perkara pidana adalah kesaksian.36 Kekuatan pembuktian mengenai alat bukti tulisan
ini diserahkan pada kebijaksanaan hakim. Pasal 1867 KUH Perdata menyatakan:
“pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan autentik maupun
dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.”
2.

Konsepsi
Konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-

konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala
yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut.37
Konsep diartikan sebagai penggambaran antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti
dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.38
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
a. Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya
hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan
36

R. Subekti, 2010, Hukum Pembuktian, PT Pradnya Paramita, Jakarta (untuk selanjutnya
disebut Subekti I), hal. 1.
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986), hal. 132.
38
H. Zainuddin Ali, M.A., Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2010),
hal. 96.

Universitas Sumatera Utara

23

rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai
ancaman dari pihak manapun.39
b. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau
keadaan tersebut.40
c. Saksi Instrumenter adalah saksi yang menyaksikan formalistas peresmian akta
apakah peresmian itu sudah sesuai dengan ketentuan Undang-undang, serta
ikut menandatangani akta, yang identitasnya disebutkan pada bagian akhir
akta.41
d. Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang, akta
yang dibuat Notaris menguraikan secara autentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksisaksi.42
e. Akta autentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut
hukum, oleh atau dihadapan penjabat-penjabat umum, yang berwenang untuk
berbuat demikian itu, di tempat dimana akta itu dibuat.43

39

Sujipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 74.
H.A Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal. 165.
41
Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 16
42
Wawan Tunggal Alam, Op.Cit., hal. 85.
43
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notaris Di Indonsia Suatu Penjelasan, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 42
40

Universitas Sumatera Utara

24

Akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembutian, yaitu :44
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan
kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta
autentik. Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus
dilihat apa adanya, bukan ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan
dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta
Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib
membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta autentik.
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan
kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul
dilakukan oleh Notaris berdasarkan keterangan dari para pihak yang
menghadap sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta
Notaris. Jika aspek formal dipermasalahan oleh para pihak, makan harus
dibuktikan dengan melihat ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan
pukul berapa para pihak menghadap, membuktikan ketidakbenaran
pernyataan atau keterangan para pihak yang disampaikan di hadapan Notaris.
Selanjutnya melihat ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan
termasuk Notaris itu sendiri. Serta melihat apakah terdapat kelalaian dalam
menjalankan prosedur pembuatan akta Notaris. Jika tidak dapat ditemukan
ketidakbenaran di dalam akta tersebut, maka akta itu harus diterima oleh
seluruh pihak.
3. Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) yang merupakan
kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut di dalam akta,
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum.
Dalam masalah Hukum Pembuktian, hal yang paling penting adalah
pembagian beban pembuktian. Masalah ini sangat penting, karena apabila dilakukan
kurang adil atau berat sebelah, akan berarti dapat menjerumuskan salah satu pihak.45
Di dalam perkara perdata, alat bukti yang utama adalah surat-surat (bukti tertulis)
yang dapat disebut dengan akta.46 Namun jika bukti tertulis belum cukup, Hakim

44
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hal. 26-27.
45
M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2008),
hal. 72.
46
Ibid., hal. 75.

Universitas Sumatera Utara

25

dapat memanggil saksi yang turut serta dalam perbuatan hukum atau hanya sekedar
menyaksikan dan menandatangani akta yang bersangkutan ke dalam persidangan.
Pembuktian dengan saksi merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu
perkara yang sedang diperiksa di depan hakim.47
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian adalah cara atau jalan proses pemeriksaan atau penyelidikan
yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis (logika),
berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus, dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa
cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau mengadakan verifikasi) atau
suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial
atau peristiwa hukum tertentu.48
1.

Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, maksudnya dari

penelitian ini diharapkan diperolehnya gambaran secara rinci dan sistematis tentang
permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta
yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.
Penelitian

ini

termasuk

ke

dalam

ruang

lingkup

penelitian

yang

menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang
bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan terhadap
saksi dalam pembuatan akta Notaris sehingga dapat diperoleh penjelasan mengenai
47

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 180
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung:
Alumni, 1994), hal. 105.
48

Universitas Sumatera Utara

26

hak-hak dan kewajiban saksi dalam pembuatan akta di Notaris, bagaimana
perlindungan hukum yang diterima saksi akta Notaris ketika akta tersebut menjadi
objek perkara dalam pengadilan dan bagaimana kedudukan saksi dalam akta Notaris.
Dan hasilnya diharapkan dapat menjelaskan tentang ruang lingkup mengenai saksi
akta serta perlindungannya yang saksi akta dapatkan ketika akta Notaris tersebut
menjadi objek perkara di pengadilan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif (yuridis normatif), yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data
sekunder yang dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum yang baik
berasal dari literature maupun peraturan perundang-undangan.49
Pada penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan, yaitu pendekatan
perundang-undangan, artinya pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Oleh karena itu penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan
sekunder, baik berupa peraturan perundang-undangan maupun teori-teori hukum,
disamping menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga
ditemukan asas-asas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat
teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,
serta menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis
ini.

49

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), Hal. 37-38.

Universitas Sumatera Utara

27

2.

Sumber Data/Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari
bahan kepustakaan, diantaranya adalah :
a. Bahan Hukum Primer,50 yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan
peraturan-peraturan lain yang berkaitan terhadap saksi dalam pembuatan akta
Notaris.
b. Bahan Hukum Sekunder,51 yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan
hukum primer, seperti hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari
kalangan hukum dan literatur-literatur.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan

50

Ronny Hanitijo Seomitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), Hal. 53.
51
Ibid., Hal. 53.

Universitas Sumatera Utara

28

yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.52
3.

Teknik dan Alat Pengumpulan Data

a.

Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan

melalui studi kepustakaan (Library Research), studi kepustakaan ini dilakukan untuk
mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil
pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan :
1. Studi Dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi
literatur yang berkaitan dengan permasalahan kedudukan saksi dalam
pembuatan akta Notaris dalam hukum perundang-undangan Nasional.
2. Wawancara dipandu pedoman wawancara, hasil wawancara yang diperoleh
akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian. Data tersebut
diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai informan atau
narasumber dari pihak yang terkait terhadap pembahasan kedudukan saksi
dalam pembuatan akta Notaris dalam hukum perundang-undangan nasional
yaitu Notaris, Karyawan Notaris, wawancara dilakukan dengan berpedoman
52

Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

29

pada pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data
yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian tesis ini.
4.

Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang ekstrak dan tepat seperti yang disarankan
oleh data.53 Di dalam penelitian hukum normative, maka maksud pada hakekatnya
berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis,
sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut
untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.54 Sebelum melakukan analisis,
terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang
dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan
dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan dengan
kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan
klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini,
dengan tujuan untuk memperoleh suatu kesimpulan yang tepat.

53

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002), hal. 106
54
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 25

Universitas Sumatera Utara