Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

(1)

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UT

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UTARA DALAM

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF

GLIFOSAT PADA TANAH

SKRIPSI

OLEH

JUWITA SIHOMBING

100805034

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

ARA DALAM

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF


(2)

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UT

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar

FAKULTAS MATEMATIKA DAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UTARA DALAM

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF

GLIFOSAT PADA TANAH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

JUWITA SIHOMBING 100805034

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI

ARA DALAM

MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah

Kategori : Skripsi

Nama : Juwita Sihombing

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 100805034

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Disetujui di

Medan, Juli 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. Dra. Nunuk Priyani, M.Sc. NIP: 196404091994031003 NIP: 196404281996032001

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP: 196301231990032001


(4)

PERNYATAAN

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UTARA DALAM MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF GLIFOSAT PADA TANAH

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

Juwita Sihombing 100805034


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Tri Tunggal karena atas kasih dan anugerah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Air Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Herbisida Berbahan Aktif Glifosat pada Tanah” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih penulis ucapakan kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Dosen Penguji I dan Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi, Ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi, Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik, Ibu Mizarwati dan seluruh Staf Pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah membimbing dan membekali berbagai disiplin ilmu kepada penulis, Ibu Nurhasni Muluk, Bang Erwin dan Ibu Rosalina Ginting selaku staf pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda dan Ibunda tercinta Sihol Sihombing dan Lamria Sinaga, S.Pd yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, dukungan, perhatian dan pengorbanan yang besar kepada penulis. Terima kasih kepada adik-adikku terkasih Harmalina Sihombing, Martua Yuhensia Sihombing dan Beauty Angel Sihombing yang selalu mendoakan, menghibur dan mendukung penulis. Terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang telah ikut memberikan banyak dukungan kepada penulis.

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada sahabat-sahabatku Riris Delima Purba, Tiur Mawarni Parhusip, Silvia Julita Saragih, Sri Rejeki Samosir, Lisbet Simatupang, dan Veronika H. L. Tobing yang telah menasehati, memotivasi dan menjadi tempat berbagi cerita. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dalam penelitian Nurul Fadilah, Santa Lusia, Hendika Sinaga, Norton Adyanto Pane, Devi Permatasari, Tien P Sitinjak, Nialusi dan teman B10REVOLUTION atas kebersamaan, baik dalam suka maupun duka selama mengikuti perkuliahan di Biologi USU. Kepada Bang Aan, Bang Imam, adik asuhku Evi, Chandra, Frico, Steven, Virzha, Poppy dan Bobby Hutabarat terima kasih atas bantuan dan masukannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada adik-adik angkatan 2011, 2012, 2013 dan 2014. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada PKBKB (Persekutuan Keluarga Besar Kristen Biologi) yang telah menjadi wadah dalam membangun kerohanian penulis dan sebagai tempat berbagi cerita dengan senior dan junior.


(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Atas partisipasi dan dukungan penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Juli 2015


(7)

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UTARA DALAM MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF GLIFOSAT SECARA PADA TANAH

ABSTRAK

Penelitian tentang potensi bakteri penghasil biosurfaktan dari Laut Belawan Sumatera Utara telah dilakukan. Sebanyak 10 isolat yang sebelumnya telah diisolasi dari Laut Belawan Sumatera Utara mampu menggunakan glifosat sebagai sumber karbon pada media Bushnell-Hass Broth (BHB) yang mengandung 2%

Round Up. Dua isolat (NF1 dan NF9) dipilih berdasarkan pertumbuhan sel, aktivitas biosurfaktan, produksi biosurfaktannya untuk dilakukan uji lebih lanjut dalam mendegradasi glifosat di tanah selama 15 hari inkubasi dengan menggunakan High-Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah perlakuan tanpa sterilisasi (K+) mengalami penurunan konsentrasi glifosat sebanyak 91%. Sedangkan tanah perlakuan dengan penambahan isolat NF1 dan NF9 masing-masing mampu menurunkan konsentrasi glifosat di tanah sebanyak 58% dan 75% setelah 15 hari.


(8)

POTENTIAL OF BIOSURFACTANT PRODUCING BACTERIA FROM BELAWAN SEA SUMATERA UTARA IN DEGRADING GLYPHOSATE

BASED HERBICIDE IN SOIL ABSTRACT

The research on potential of biosurfactant producing bacteria from Belawan Sea, Sumatera Utara in degrading gliphosate based herbicide in soil has been conducted. Ten biosurfactant producing isolates that have been isolated previously from Belawan Sea, Sumatera Utara were able to use glyphosate as the sole carbon source in the medium Bushnell-Hass Broth (BHB) containing 2% of Round Up. Two isolates namely NF1 and NF9 were selected based on cell growth, biosurfactan activity and biosurfactan production to degrade glyphosate in soil during 15 days of incubation. The glyphosate residue were analyzed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) on day 0, 5th, 10th and 15th. The results showed that non sterilized soil treatment (K+) decrease 91% of glyphosate concentration. While soil treatment with the addition of isolate NF1 was able to decrease the concentration of glyphosate in soil up to 58,92% and isolate NF9 up to 75%.

Keywords: Belawan Sea Isolates, Biosurfactan, Glyphosate degradation, Round Up


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Pestisida 4

2.2 Pencemaran Pestisida 5

2.3 Bioremediasi 6

2.4 Bioegradasi Glifosat 7

2.5 Surfaktan dan Biosurfaktan 8

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 12

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Alat dan Bahan 12

3.3 Metode Kerja 12

3.3.1 Subkultur Bakteri 12

3.3.2 Perhitungan Pertumbuhan Sel 13 3.3.3 Skrining Aktivitas Biosurfaktan 13 3.3.4 Uji Potensi Bakteri dalam Memproduksi

Biosurfaktan 14

3.3.4.1 Penentuan Kurva Standar Rhamnosa 14 3.3.4.2 Produksi Biosurfaktan 14 3.3.5 Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam

Mendegradasi Herbisida dan Analisis Residu

Glifosat 15

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

4.1 Pertumbuhan Sel Bakteri dalam Media BHB + 2%


(10)

4.2 Aktivitas Biosurfaktan 18

4.3 Produksi Biosurfaktan 20

4.4 Pertumbuhan Sel Bakteri dalam Tanah 22 4.5 Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam

Mendegradasi Glifosat

23

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 26

5.1 Kesimpulan 26

5.2 Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Pertumbuhan sel isolat bakteri penghasil biosurfaktan

dari Laut Belawan pada media BHB selama 15 hari 16 2 Konsentrasi residu glifosat dalam tanah selama 15


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Struktur Glifosat 7

2 Jalur Degradasi Glifosat 8

3 Indeks emulsi aktivitas biosurfaktan isolat asal Laut

Belawan dalam media BHB selama 15 hari 18 4 Konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan bakteri

selama 15 hari inkubasi 20

5 Pertumbuhan sel bakteri dalam tanah selama 15 hari

inkubasi 22

6 Pengurangan konsentrasi glifosat di tanah pada hari


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Alur Kerja Subkultur Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari

Laut dalam Mendegradasi Glifosat 32

2. Pembuatan Suspensi Isolat Bakteri 108 CFU/ml 33

3. Alur Kerja Perhitungan Pertumbuhan Sel Bakteri Metode

Standard Plate Count (SPC)(Lay, 1994) 34

4. Alur Kerja Screening Aktivitas Biosurfaktan Metode Drop

Collapsing Test (Jain et al., 1991) yang Dimodifikasi 35

5. Alur Kerja Penentuan Kurva Standar Rhamnosa Metode

Least Square 36

6. Alur Kerja Produksi Biosurfaktan Secara Kuantitatif dengan

Metode Orsinol (Chandrasekaran & Be Miller, 1980) yang

Dimodifikasi 37

7. Alur Kerja Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan

dalam Mendegradasi Herbisida dan Analisis Residu

Glifosat (Anupama & Paul, 2009) 38

8. Komposisi Media Bushnell-Haas, Larutan Standar

Mc-Farland, dan Larutan Orsinol 39


(14)

POTENSI BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI AIR LAUT BELAWAN SUMATERA UTARA DALAM MENDEGRADASI HERBISIDA BERBAHAN AKTIF GLIFOSAT SECARA PADA TANAH

ABSTRAK

Penelitian tentang potensi bakteri penghasil biosurfaktan dari Laut Belawan Sumatera Utara telah dilakukan. Sebanyak 10 isolat yang sebelumnya telah diisolasi dari Laut Belawan Sumatera Utara mampu menggunakan glifosat sebagai sumber karbon pada media Bushnell-Hass Broth (BHB) yang mengandung 2%

Round Up. Dua isolat (NF1 dan NF9) dipilih berdasarkan pertumbuhan sel, aktivitas biosurfaktan, produksi biosurfaktannya untuk dilakukan uji lebih lanjut dalam mendegradasi glifosat di tanah selama 15 hari inkubasi dengan menggunakan High-Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah perlakuan tanpa sterilisasi (K+) mengalami penurunan konsentrasi glifosat sebanyak 91%. Sedangkan tanah perlakuan dengan penambahan isolat NF1 dan NF9 masing-masing mampu menurunkan konsentrasi glifosat di tanah sebanyak 58% dan 75% setelah 15 hari.


(15)

POTENTIAL OF BIOSURFACTANT PRODUCING BACTERIA FROM BELAWAN SEA SUMATERA UTARA IN DEGRADING GLYPHOSATE

BASED HERBICIDE IN SOIL ABSTRACT

The research on potential of biosurfactant producing bacteria from Belawan Sea, Sumatera Utara in degrading gliphosate based herbicide in soil has been conducted. Ten biosurfactant producing isolates that have been isolated previously from Belawan Sea, Sumatera Utara were able to use glyphosate as the sole carbon source in the medium Bushnell-Hass Broth (BHB) containing 2% of Round Up. Two isolates namely NF1 and NF9 were selected based on cell growth, biosurfactan activity and biosurfactan production to degrade glyphosate in soil during 15 days of incubation. The glyphosate residue were analyzed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC) on day 0, 5th, 10th and 15th. The results showed that non sterilized soil treatment (K+) decrease 91% of glyphosate concentration. While soil treatment with the addition of isolate NF1 was able to decrease the concentration of glyphosate in soil up to 58,92% and isolate NF9 up to 75%.

Keywords: Belawan Sea Isolates, Biosurfactan, Glyphosate degradation, Round Up


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bertambahnya populasi penduduk Indonesia dari tahun ke tahun menyebabkan meningkatnya kebutuhan terhadap bahan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia maka sektor pertanian berusaha meningkatkan produksi pangan. Menurut Munarso et al. (2006), upaya untuk meningkatkan produksi dengan tujuan agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan penyakit adalah dengan menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal ini terutama disebabkan kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman.

Ketergantungan petani pada pestisida amat tinggi, disertai dengan peningkatan dosis dan frekuensi secara terus menerus, karena hama semakin sulit dikendalikan (Waage, 1996). Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani juga sering mencampur beberapa jenis pestisida, dengan alasan untuk meningkatkan daya racunnya pada hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida (Agus, 1999).

Pada kenyataannya, dari bahan aktif pestisida yang diaplikasikan di lapangan, hanya sedikit partikel semprot yang diperlukan untuk mematikan hama. Bagian terbesar pestisida, yakni >99% menjadi sisa dan masuk dalam sistem lingkungan melalui berbagai cara (Supriyadi et al., 2001).

Udara dapat dengan mudah terkontaminasi pestisida selama proses penyemprotan. Butiran-butiran pestisida selama penyemprotan menjadi partikel halus dapat melayang jauh terbawa angin. Residu pestisida dapat pula terjadi di tanah, apabila pestisida disemprotkan pada tanaman/tanah tidak mencapai sasaran dan jatuh ke permukaan tanah dan selanjutnya diserap ke dalam tumbuhan jenis umbi-umbian. Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida.


(17)

2

Pindahnya pestisida dapat bersama partikel air atau debu pembawa. Pestisida dapat pula menguap karena suhu yang tinggi. Pestisida yang di udara bisa kembali ke tanah oleh hujan atau pengendapan debu (Yusnaini et al., 2013).

Untuk mengurangi residu pestisida dilakukan berbagai upaya untuk mendegradasinya, diantaranya secara kimia, fisika dan biologi. Salah satu cara yang efektif dalam mendegradasi pestisida adalah dengan biodegradasi. Menurut Liu et al. (2007), biodegradasi adalah metode umum yang digunakan dalam menurunkan residu pestisida karena biayanya yang tidak mahal. Dalam ekosistem terdapat mikroorganisme yang mampu melakukan biodegradasi sehingga kondisi lingkungan dapat bersifat lebih baik (Capelli et al., 2001; Richard & Vogel, 1999; Kim et al., 2005).

Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah (Francy et al., 1991). Sehingga mikroorganisme yang ada di lingkungan minyak bumi mampu mendegradasi hidrokarbon dengan menghasilkan metabolit berupa biosurfaktan, biopolimer, asam, biomassa dan gas. Biosurfaktan merupakan surfaktan yang dihasilkan oleh metabolisme mikroorganisme (Baker dan Herson, 1994). Bakteri penghasil biosurfaktan antara lain Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Bacillus cereus, B. thuringiensis, B. sphaericus (Banat, 1995). Berdasarkan penelitian Naibaho (2013), terdapat bakteri penghasil biosurfaktan yang diisolasi dari air Laut Belawan yang mampu mendegradasi pestisida karbosulfan. Dan penelitian Nasution (2011), yang mendapatkan bakteri penghasil biosurfaktan yang mampu mendegradasi pestisida naftalen yang diisolasi dari Laut Sibolga dan Laut Tanjung Balai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis melakukan penelitian tentang potensi bakteri asal Laut Belawan dalam mendegradasi pestisida glifosat secara in vivo.

1.2 Permasalahan

Keberadaan hama menyebabkan banyak kerugian dalam bidang pertanian, maka untuk mengatasi masalah tersebut petani menggunakan pestisida. Keberadaan pestisida sangat berperan dalam peningkatan produksi pertanian, namun penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan


(18)

3

makhluk hidup karena penggunaannya yang berlebihan. Penggunaan pestisida yang berlebihan meninggalkan residu yang susah untuk didegradasi. Untuk mengurangi dampak negatif dari pencemaran oleh pestisida maka perlu dicari cara yang aman untuk menguranginya yaitu dengan menggunakan mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme dapat mengurangi residu pestisida seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dimana bakteri yang telah diisolasi dari tanah pertanian terbukti mampu mendegradasi residu pestisida yang berbahan aktif glifosat yang terdapat di dalam media. Untuk itu diadakan penelitian lebih lanjut dalam mengaplikasikan bakteri tersebut ke dalam tanah yang telah tercemar pestisida dimana bakteri akan diisolasi dari air laut Belawan dan diuji kemampuannya dalam mendegradasi senyawa aktif dari pestisida yang berupa senyawa hidrokarbon secara in vivo.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi isolat bakteri penghasil biosurfaktan asal Laut Belawan dalam mendegradasi herbisida berbahan aktif glifosat secara in vivo.

1.4 Hipotesis

Bakteri penghasil biosurfaktan yang diisolasi dari air Laut Belawan memiliki kemampuan yang tinggi dalam mendegradasi herbisida berbahan aktif glifosat secara in vivo.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi potensi bakteri penghasil biosurfaktan yang diisolasi dari air Laut Belawan dalam mendegradasi residu pestisida untuk dikembangkan lebih lanjut.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

Pestisida adalah substansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi, secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi, bakteri, virus, nematoda, siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Prijanto, 2009). Menurut Afriyanto (2008), Pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya.

Meskipun secara konseptual penggunaan pestisida diposisikan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) serta dukungan dengan piranti peraturan yang mengikat, namun kenyataan di lapangan menunjukkan pestisida sering merupakan pilihan utama dan paling umum dilakukan petani. Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman telah membudaya dikalangan petani. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya trend data sebelum tahun 1970 jumlah penggunaan pestisida untuk tanaman pangan masih dibawah 100 ton, maka pada tahun 1970 sudah mencapai 2000 ton yang kemudian terus meningkat cepat dan pada tahun 1987 jumlah pestisida yang disubsidi oleh pemerintah sebesar 80% dari harga pestisida maka penggunaannya meningkat pesat mencapai 18.700 ton. Sehingga secara tidak sengaja pemerintah telah menciptakan iklim budaya yang mengagungkan pestisida (pestisidaisme) sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pertanian yang telah diusahakan oleh petani. Kondisi ini telah menjadi suatu tradisi dan bertahan hingga saat ini pada kalangan petani dalam menjalankan sistem usahataninya (Sulistiyono, 2004).

Penggunaan pestisida biasanya dilakukan dengan bahan lain. Misalnya dicampur minyak dan air untuk melarutkannya, juga ada yang menggunakan


(20)

5

bubuk untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotannya. Bubuk yang dicampur sebagai pengencer umumnya dalam formulasi dust, atraktan (misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, juga bahan yang bersifat sinergis lainnya untuk penambah daya racun (Afriyanto, 2008).

2.2 Pencemaran Pestisida

Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) pada umumnya dilakukan dengan menggunakan pestisida kimia sintetik yang seringkali menimbulkan dampak yang negatif. Meskipun telah berjasa dalam meningkatkan produksi pangan dan sandang, penggunaan pestisida juga mengancam keberlanjutan sistem produksi (kasus resistensi, resurgensi, dan ledakan hama kedua), lingkungan, keamanan pangan (residu pada produk), dan resiko kesehatan masyarakat (Hartati, 2012).

Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan menimbulkan bermacam-macam masalah kesehatan dan pencemaran lingkungan. Penggunaan pestisida yang dipengaruhi oleh daya racun, volume dan tingkat pemajanan secara signifikan mempengaruhi dampak kesehatan. Semakin tinggi daya racun pestisida yang digunakan semakin banyak tanda gejala keracunan yang dialami petani (Yuantari, 2009).

Cemaran pestisida yang terjadi pada lahan pertanian umumnya akibat penggunaanya yang kurang terkontrol. Faktor peningkatan cemaran muncul karena pemakaian pestisida yang secara terus-menerus dan mengabaikan kepatuhan dalam penggunaan dosis, serta pemakaian pestisida yang penggunaannya diluar pengawasan resmi (Rahmansyah & Sulistinah, 2009).

Residu pestisida menimbulkan efek yang bersifat tidak langsung terhadap konsumen, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan diantaranya berupa gangguan pada syaraf dan metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan terakumulasi pada jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi residu pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan kekebalan tubuh,


(21)

6

Tingkat residu pestisida dilingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan bahan organik tanah. Stabilitas pestisida di lingkungan dihitung dengan waktu degradasi setengah umur jangka waktu yang diperlukan untuk degradasi senyawa kimia hingga tinggal separuhnya (DT50) (Yuantari, 2009).

Menurut Supriyadi et al. (2001), mengingat dampak yang diakibatkan oleh pestisida cukup serius, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan dan penggunaannya di lapangan. Alasan kuat yang mendasari pengurangan tersebut adalah: (i) keprihatinan akan kontaminasi pestisida pada lingkungan, (ii) kebutuhan untuk pengembangan sistem produksi yang akrab lingkungan, (iii) residu pestisida pada produk pertanian dan lingkungan, (iv) keselamatan pengguna pestisida, dan (v) dampak pestisida pada ekosistem pertanian.

2.3 Bioremediasi

Pengertian dari bioremediasi sendiri adalah proses penguraian limbah (pencemar) menggunakan agen biologi (mikroba) yang dilakukan dalam kondisi terkendali (controlled condition). Proses bioremediasi dapat terjadi secara alamiah oleh mikroba yang terdapat pada lingkungan tercemar (intrinsict bioremediation). Meskipun demikian, sering kali dilakukan beberapa hal untuk mempercepat proses tersebut. Contohnya dengan menambahkan mikroba (exogenous microbe), nutrien, donor dan atau akseptor elektron (Sarwoko, 2005).

Bioremediasi adalah suatu teknik yang menggunakan makhluk hidup untuk meminimalisir atau mengurangi kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari akumulasi senyawa-senyawa toksik dan limbah berbahaya lainnya. Penggunaan bakteri untuk degradasi dan detoksifikasi sejumlah senyawa toksik, seperti pestisida adalah cara yang efektif untuk mengurangi kontaminasi senyawa pencemar. Isolasi bakteri indigenous yang dapat memetabolisme pestisida merupakan detoksifikasi secara in situ. Metodologi bioremediasi untuk menghilangkan senyawa-senyawa xenobiotik seperti pestisida di tanah memiliki beberapa manfaat karena ramah lingkungan dan telah berhasil diaplikasikan di banyak negara (Nawaz et al., 2012).


(22)

7

2.4 Biodegradasi Glifosat

Glifosat (N-(phosphonomethyl) glycine) adalah herbisida sistemik non-selektif yang diaplikasikan langsung kepada daun tanaman. Kemampuan glifosat sebagai herbisida diketahui pada tahun 1971. Glifosat tersusun atas asam, garam monoamonium, garam diamonium, potasium, sodium, dan trimetilsulfonium atau garam trimesium (Tomlin, 2006).

Gambar 1. Struktur Glifosat (Tu et al., 2002)

Glifosat bekerja membunuh gulma dengan cara menghambat aktivitas enzim 5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase (EPSPS) yang terdapat dalam kloroplas tanaman, yang diperlukan untuk pembentukan asam amino aromatik tirosin, triptofan dan fenilalanin. Asam amino ini sangat diperlukan untuk menghubungkan metabolisme primer dan sekunder dalam tanaman (Carlisle & Trevors, 1988). Glifosat juga daapat bertindak sebagai inhibitor kompetitif dari

phosphoenolpyruvate (PEP) yang merupakan salah satu prekursor untuk sintesis asam amino aromatik yang dapat mempengaruhi proses biokimia lainnya. Walaupun efek ini dianggap sebagai efek sekunder, tetapi bisa saja hal ini merupakan peran glifosat dalam membunuh tanaman (Tu et al., 2002).

Waktu paruh glifosat bervariasi tergantung dengan lingkungannya. Di air berkisar dari beberapa hari sampai 97 hari (Tomlin, 2006). Sedangkan di tanah cukup persisten dengan kisaran 2 sampai 197 hari (Giesey, 2007). Di tanah, glifosat tahan terhadap degradasi kimia dan stabil terhadap sinar matahari. Relatif tidak bergerak di dalam tanah karena adsorpsi yang kuat terhadap partikel tanah.


(23)

8

Gambar 2. Jalur degradasi glifosat (Schuette, 1998)

Jalur utama degradasi glifosat oleh bakteri tanah menghasilkan

aminomethyl Phosphonic Acid (AMPA)dan asam glioksilat. Kedua produk ini selanjutnya terdegradasi menjadi karbondioksida (Roberts, 1998). Bakteri mendegradasi glifosat melalui dua cara yaitu melalui produksi glisina atau AMPA. Bakteri memutus ikatan C-P dari glifosaat menghasilkan fosfonat dan sarkosin. Fosfonat digunakan bakteri sebagai sumber fosfor bagi kehidupannya sedangkan sarkosin digunakan bakteri sebagai sumber karbon dan menghasilkan produk AMPA (Liawati, 2001). Degradasi AMPA umumnya lebih lambat dibandingkan dengan glifosat kemungkinan karena AMPA dapat menyerap ke partikel tanah lebih kuat dan/atau kurang memungkinkan untuk menembus dinding sel atau membran mikroorganisme tanah (USDA, 1984).

2.5 Surfaktan dan Biosurfaktan

Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan


(24)

9

minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung gugus hidroksil (Jatmika, 1998).

Menurut Moroi (1992), berdasarkan sifat-sifat gugus hidrofilik yaitu gugus yang bersifat polar, surfaktan dikelompokkan sebagai berikut :

1) Surfaktan ionik

Surfaktan ionik adalah surfaktan yang bagian hidrofiliknya bermuatan. Surfaktan ionik dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

a. Anionik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan negatif. Contoh : sabun (RCOO-Na+)

b. Kationik yaitu bagian hidrofiliknya mempunyai muatan positif. Contoh: garam ammonium rantai panjang R+NH3Clc.

c. Amfoterik yaitu bagian hidrofiliknya bermuatan positif dan negatif. 2) Surfaktan non ionik

Surfaktan non ionik merupakan surfaktan yang bagian hidrofiliknya tidak bermuatan atau netral.

Surfaktan dapat diproduksi secara sintetis dan dapat juga diproduksi secara alami oleh tumbuhan, hewan dan banyak jenis mikroorganisme (Zhang & Miller, 1992). Kebutuhan akan surfaktan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya proses-proses yang membutuhkan senyawa aktif permukaan. Surfaktan banyak dibutuhkan antara lain dalam proses bioremediasi, industri petrokimia, dan dalam meningkatkan perolehan minyak bumi Enhanced Oil Recovery (EOR) (Zajic& Akit, 1983).


(25)

10

Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia (Ciccyliona & Nawfa, 2012).

Biosurfaktan adalah surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme tertentu ketika ditumbuhkan dalam media dan kondisi tertentu. Banyak organisme menghasilkan biosurfaktan saat tumbuh dalam media yang terdiri dari sumber karbon. Biosurfaktan terdiri dari lemak kompleks atau sederhana atau turunannya (Kosaric et al., 1987). Menurut Kosaric (2001), penggunaan biosurfaktan lebih banyak diminati dibandingkan surfaktan sintetis karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sifatnya yang ramah lingkungan yaitu biodegradable (dapat terdegradasi secara alami) dan tidak toksik (beracun). Biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan dasar organik yang melimpah yaitu karbohidrat, lemak, dan protein.

Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroorganisme dapat menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan. Pengetahuan mengenai surfaktan akan sangat berguna dalam merancang produk dengan sifat yang sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Beberapa mikroorganisme juga ada yang menghasilkan enzim dan dapat digunakan sebagai katalis pada proses hidrolisis, alkoholisis, kondensasi, asilasi atau esterifikasi. Proses ini digunakan dalam pembuatan


(26)

11

berbagai jenis produk surfaktan termasuk monogliserida, fosfolipida dan surfaktan asam amino (Herawan et al., 1996).

Biosurfaktan dapat dihasilkan oleh mikroorganisme prokariot maupun eukariot. Bakteri penghasil biosurfaktan antara lain Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, Bacillus cereus, B. thuringiensis, B. sphaericus. Biosurfaktan ini dihasilkan pada permukaan sel mikroorganisme atau diekskresikan ke lingkungan yang dapat membantu melepaskan senyawa hidrokarbon dalam senyawa organik dan meningkatkan konsentrasi senyawa hidrokarbon dalam air melalui pelarutan ataupun emulsifikasi (Banat, 1995). Mikroorganisme dapat memproduksi biosurfaktan ketika ditumbuhkan pada substrat yang tidak larut (seperti hidrokarbon, minyak, dan lilin) atau pada substrat yang larut (karbohidrat) (Carillo et al., 1996). Beberapa mikroorganisme menghasilkan biosurfaktan hanya ketika ditumbuhkan pada hidrokarbon, sementara yang lainnya membutuhkan substrat yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam amino untuk membentuk suatu biosurfaktan. Selain itu minyak, lemak dan asam lemak juga digunakan sebagai substrat untuk menghasilkan suatu biosurfaktan (Ghazali & Ahmad, 1997).


(27)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai dengan bulan April 2015 di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sedangkan analisis residu glifosat secara kuantitatif dilakukan di Laboratorium Residu Bahan Agrokimia, Ciomas, Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain spektrofotometer, High-Performance Liquid Chromatography (HPLC), waterbath shaker, vortex, spektrofotometer, sentrifus, inkubator, pipet volume, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, beaker glass.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain herbisida berbahan aktif glifosat dengan merk dagang Round Up, KH2PO4, K2HPO4, NH4NO3, MgSO4, 7H2O, FeCl3, CaCl2 2H2O, H2SO4 53%, larutan Orsinol, Rhamnosa, Dietil eter, etanol, Bushnell-Haas Agar (BHA), Nutrient Agar (NA), Plate Count Agar (PCA), standar Mac Farland (≈108 sel/ml), akuades, natrium Bikarbonat, N-heksan, alkohol 70%, dan desinfektan.

3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1 Subkultur Bakteri

Isolat Laboratorium Mikrobiologi yang sebelumnya telah diisolasi dari Laut Belawan diambil dan disubkultur ke media BHA yang mengandung 2% herbisida berbahan aktif glifosat. Sampel yang telah diinokulasikan ke media diinkubasi selama 10-15 hari sampai isolat tumbuh. Alur kerja subkultur bakteri dapat dilihat di Lampiran 1.


(28)

13

3.3.2 Perhitungan Pertumbuhan Sel

Untuk mengetahui laju pertumbuhan dan kepadatan sel selama masa inkubasi, maka bakteri ditumbuhkan pada media BHB yang mengandung 2% Round Up yang mengandung 42% bahan aktif glifosat. Sebanyak 2 ml inokulum cair isolat bakteri yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (Lampiran 2) diinokulasikan ke dalam 98 ml media secara aseptis. Media diinkubasi pada

waterbath shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang selama 15 hari. Pertumbuhan sel diamati setiap lima hari sekali yaitu pada hari ke-0, 5, 10 dan 15 masa inkubasi. Pengukuran jumlah sel dilakukan dengan metode Standard Plate Count. Sebanyak 1 ml media biakan diencerkan hingga konsentrasi 10-7, kemudian diinokulasikan ke media Plate Count Agar (PCA) dengan metode cawan sebar lalu diinkubasi dan jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Alur kerja pengukuran pertumbuhan sel bakteri dapat dilihat pada Lampiran 3. Untuk perhitungan estimasi jumlah sel dihitung dengan rumus:

Estimasi jumlah sel = Jumlah Koloni x Faktor pengenceran1 (CFU/ml)

3.3.3 Skrining Aktivitas Biosurfaktan

Skrining aktivitas biosurfaktan dilakukan dengan metode Drop Collapsing Test

(Jain et al., 1991) yang dimodifikasi, yaitu metode yang digunakan untuk menentukan penurunan tegangan permukaan cairan. Isolat bakteri ditumbuhkan pada media BHB yang ditambahkan 2% dekstros. Sebanyak 2 ml inokulum cair isolat bakteri yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland diinokulasikan ke dalam 100 ml media BHB yang mengandung 2% dekstros secara aseptis. Media diinkubasi pada waterbath shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang selama 15 hari. Setelah 15 hari masa inkubasi, masing-masing media biakan disaring dan diambil filtratnya. Sebanyak 4 ml filtrat media dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 4 ml N-heksan dan 2 ml akuades. Lalu campuran larutan tersebut dihomogenkan dengan vorteks selama 10 detik dan didiamkan selama 1 menit. Emulsi yang terbentuk diukur ketebalannya dengan menggunakan gelas ukur. Kemudian dihitung persentase indeks emulsifikasi (IE) dari masing-masing


(29)

14

isolat dengan cara membandingkannya antara volume emulsi dibagi dengan total volume filtrat lalu dikali 100% (Hamzah et al., 2013). Alur kerja screening

aktivitas biosurfaktan dapat dilihat pada Lampiran 4.

% = 100%

3.3.4 Uji Potensi Bakteri dalam Memproduksi Biosurfaktan 3.3.4.1 Penentuan Kurva Standar Rhamnosa

Kurva standar Rhamnosa dibuat dengan menggunakan biosurfaktan murni dari jenis Rhamnosa yang diperoleh dari Tokyo Chemical Industries, Jepang. Rhamnosa dibuat dengan konsentrasi berbeda-beda yang dilarutkan dengan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,05M. Rhamnosa dibuat dengan konsentrasi 10, 50, 100 dan 200 ppm, masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml. Pada setiap larutan ditambah 3,6 ml larutan orsinol, dipanaskan hingga mendidih, didinginkan pada temperatur kamar selama 15 menit dan dianalisis dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 421 nm. Persamaan garis regresi kurva standar rhamnosa ditentukan dengan metode Least Square (Glover & Mitchell, 2002 dalam Warsito, 2009). Alur kerja penentuan kurva standar rhamnosa dapat dilihat pada Lampiran 5.

Y= a + bX a = Y – bX b = n(∑XY)- (∑X)(∑Y)n ∑X2 - ∑X2 Dimana: a = intersep

b = slope (koefisien regresi) Y = absorbansi

X = konsentrasi

3.3.4.2 Produksi Biosurfaktan

Untuk memacu bakteri memproduksi biosurfaktan bakteri ditumbuhkan pada media BHB yang mengandung 2% Round Up. Sebanyak 2 ml inokulum cair isolat bakteri yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland diinokulasikan ke dalam 100 ml media BHB yang mengandung 2% Round Up. Media diinkubasi pada waterbath shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang selama 15 hari. Konsentrasi biosurfaktan yang terbentuk dianalisis dengan metode orsinol yang


(30)

15

dimodifikasi (Chandrasekaran & Be Miller, 1980). Media cair dari hasil inkubasi disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan media biakan dengan bakterinya dan diambil supernatannya. Sebanyak 4 ml supernatan diekstrak dengan 2 ml dietilether selama 5 menit. Lapisan ether diambil dengan pipet tetes, dikeringkan dan dilarutkan kembali dalam 2 ml larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,05 M. Larutan sampel tersebut di homogenkan dengan vorteks dan ditambah 3,6 ml larutan orsinol, dipanaskan hingga mendidih, didinginkan pada temperatur kamar selama 15 menit dan dianalisis dengan spektrofotometer. Alur kerja produksi biosurfaktan secara kuantitatif dapat dilihat pada Lampiran 6.

3.3.5 Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam Mendegradasi Herbisida dan Analisis Residu Glifosat

Untuk menguji kemampuan isolat bakteri penghasil biosurfaktan dalam mendegradasi glifosat, sebanyak 2 isolat bakteri yang paling bagus potensinya dalam uji sebelumnya ditumbuhkan pada tanah yang mengandung 2% herbisida berbahan aktif glifosat. Sebanyak 5 ml inokulum cair isolat bakteri (107 sel/ml) diinokulasikan ke dalam 500 g tanah yang mengandung 2% Round Up. Kemudian diinkubasi selama 15 hari. Selama 15 hari masa inkubasi, setiap 5 hari (hari 0, 5, 10 dan 15) tanah diambil dan diperiksa kandungan residunya (Anupama & Paul, 2009). Analisis residu pestisida di dalam tanah menggunakan High-Performance Liquid Chromatographic Analysis sehingga diperoleh nilai konsentrasi herbisida tersisa dari masing-masing sampel. Alur kerja uji potensi bakteri penghasil biosurfaktan dalam mendegradasi herbisida dan analisis residu glifosat dapat dilihat pada Lampiran 7.


(31)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertumbuhan Sel Bakteri dalam Media BHB + 2% Round Up

Sebanyak 10 Isolat bakteri Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU hasil isolasi dari Laut Belawan Sumatera Utara yang telah disubkultur dan diinokulasi ke media BHB yang mengandung 2% Round Up diinkubasi selama 15 hari. Sel isolat bakteri dihitung jumlahnya dengan metode Standard Plate Count (SPC) pada hari ke- 5, 10 dan 15. Hasil Pengukuran pertumbuhan isolat bakteri asal Laut Belawan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan sel isolat bakteri penghasil biosurfaktan dari Laut Belawan pada media BHB selama 15 hari

Kode

Isolat Hari ke-0 Hari ke-5 Jumlah Sel (CFU/ml) Hari ke-10 Hari ke-15 NF 1 2x106 69x106 40 x107 10 x108 NF 2 2 x106 57 x106 18 x107 5 x108 NF 4 2 x106 95 x106 14 x107 10 x108 NF 5 2 x106 54 x106 35 x107 38 x108 NF 6 2 x106 90 x106 126 x107 20 x108 NF 7 2 x106 71 x106 40 x107 23 x108 NF 8 2 x106 65 x106 26 x107 7 x108 NF 9 2 x106 40 x106 16 x107 10 x108 NF 10 2 x106 28 x106 10 x107 30 x108 NF 11 2 x106 94 x106 26 x107 14 x108

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari hari ke-0 sampai ke-15 semua isolat mengalami kenaikan jumlah sel. Isolat NF5 menunjukkan pertumbuhan sel tertinggi dengan jumlah 38 x 108 CFU/ml diikuti NF10 dengan jumlah 30 x 108 CFU/ml pada hari ke-15 sedangkan NF2 menunjukkan pertumbuhan terendah dengan jumlah 5 x 108 CFU/ml. Pertambahan jumlah sel bakteri dikarenakan tersedianya nutrisi pada media dimana dalam hal ini bakteri mampu menggunakan glifosat dan senyawa lainnya yang terdapat pada media sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Namun terlihat adanya perbedaan jumlah sel masing-masing isolat pada hari ke-15 dikarenakan masing-masing-masing-masing isolat memiliki kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi glifosat. Hidayat et al. (2006) menyatakan bahwa, laju peningkatan jumlah mikroorganisme tergantung pada


(32)

17

komposisi dan kondisi fisik lingkungan pertumbuhan yang mampu mendukung mikroorganisme untuk mensintesis sel baru.

Menurut Horowitz et al. (2005), nutrien merupakan hal yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan mikroba termasuk bakteri penghasil biosurfaktan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa elemen makro yang memegang peranan penting dalam menunjang pertumbuhan bakteri penghasil biosurfaktan adalah elemen karbon dan nitrogen.

Menurut Okoh (2006), pertumbuhan bakteri biasanya dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah nilai pH, suhu, nutrien, ketersediaan oksigen, dan faktor-faktor lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yunita (2011) bahwa, isolat bakteri SpB 4, SpB8, SpB12 dan SpB13 asal Laut Belawan yang diinkubasi dalam media BHB dengan glifosat menunjukkan pertambahan jumlah sel sampai pada hari ke-6. Isolat SpB12 menunujukkan pertumbuhan tertinggi pada hari ke 6 dengan jumlah 135 x 1013 CFU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri asal Belawan mampu menggunakan glifosat sebagai sumber karbon untuk nutrisi pertumbuhannya.

Menurut Alexander (1994), nutrisi merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam sintesis dan pertumbuhan sel serta dalam aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri untuk mendegradasi polutan. Beberapa nutrisi penting yang dibutuhkan mikroorganisme adalah karbon, nitrogen, dan fosfor. Pada dasarnya semua mikrroganisme memerlukan karbon sebagai sumber energi untuk aktivitasnya. Nitrogen dan fosfor merupakan penyusun senyawa-senyawa penting dalam sel yang menentukan aktivitas pertumbuhan mikrooganisme. Ketiga unsur ini harus ada dalam rasio yang tepat agar tercapai pertumbuhan bakteri yang optimal. Rasio C:N yang rendah (kandungan unsur N yang tinggi) akan meningkatkan emisi dari nitrogen sebagai amonium yang dapat menghalangi perkembangbiakan bakteri, sedangkan rasio C:N yang tinggi (kandungan unsur N yang relatif rendah) akan menyebabkan proses degradasi berlangsung lebih lambat karena nitrogen akan menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).


(33)

18

4.2 Aktivitas Biosurfaktan

Aktivitas biosurfaktan dapat ditandai dengan terbentuknya lapisan emulsi diantara lapisan N-heksan dan media. Dari 10 isolat yang telah diinkubasi dalam media BHB terdapat 9 isolat yang menghasilkan lapisan emulsi dengan indeks emulsi yang bervariasi. Hasil aktivitas biosurfaktan dapat dilihat dalam Gambar 3.

Gambar 3. Indeks emulsi aktivitas biosurfaktan isolat asal Laut Belawan dalam media BHB selama 15 hari

Gambar 3 dapat menunjukkan bahwa isolat NF9 dan NF1 memiliki indeks emulsi terbesar dengan nilai masing-masing 48% dan 38%. Sedangkan indeks emulsi terendah adalah NF10 dengan nilai 1%. Hal ini berbeda dengan hasil pengukuran pertumbuhan sel (Tabel 2.) NF5 dan NF10 diketahui menunjukkan pertumbuhan sel yang paling tinggi tetapi indeks emulsi yang dihasilkan masing-masing 26% dan 1%. Hal ini dikarenakan setiap isolat bakteri memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan biosurfaktan. Menurut Duvnjak et al. (1983) biosurfaktan yang dihasilkan masing-masing mikroba berbeda bergantung pada jenis mikroba dan nutrien yang dikonsumsinya. Demikian pula untuk jenis mikroba yang sama, jumlah surfaktan yang dihasilkan berbeda berdasarkan nutrien yang dikonsumsinya.

Berdasarkan hasil penelitian Fatimah (2007), mengenai uji produksi biosurfaktan oleh Pseudomonas sp. pada substrat yang berbeda menunjukkan hasil uji aktivitas emulsifikasi menunjukkan bahwa besarnya kemampuan biosurfaktan dalam mengemulsi hidrokarbon bergantung pada jenis biosurfaktan

0 10 20 30 40 50 60

NF 1 NF 2 NF 4 NF 5 NF 6 NF 7 NF 8 NF 9 NF 10 NF 11

In

deks

Em

ul

si (%

)


(34)

19

dan minyak uji yang digunakan. Biosurfaktan yang dihasilkan dalam kultur dengan substrat glukosa mempunyai aktivitas emulsifikasi yang lebih baik dibanding yang lain.

Menurut Rosenberg et al. (1980), perbedaan tipe dan komponen biosurfaktan yang dihasilkan tiap-tiap isolat akan mempengaruhi aktivitas emulsi yang terjadi pada permukaan cairan. Menurut Desai & Desai (1993), kemampuan bakteri untuk menggunakan karbon dari substrat pertumbuhannya untuk menentukan pengubahan karbon tersebut dalam bentuk biosurfaktan. Biosurfaktan yang dihasikan oleh masing-masing bakteri bisa saja berbeda kualitas maupun kuantitasnya ketika ditumbuhkan pada substrat yang berbeda, sehingga memberikan aktivitas emulsifikasi yang berlainan, serta perbedaan kemampuan dalam menurunkan tegangan permukaaan kultur.

Hasil penelitian Ciccyliona dan Nawfa (2012) mengenai pengaruh pH terhadap produksi biosurfaktan oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa lokal menunjukkan bahwa pada uji aktivitas biosurfaktan terjadi proses emulsifikasi antara pelarut dan hidrokarbon uji pada ketiga larutan uji. Hal ini menunjukkan bahwa endapan yang diuji adalah biosurfaktan. Ketiga hidrokarbon yang digunakan dalam penelitian ini adalah oli, minyak tanah dan N-heksana. Aktivitas emulsi biosurfaktan yang terbesar ditunjukkan oleh penggunaan hidrokarbon oli dan terendah oleh N-heksan.

Hasil aktivitas biosurfaktan bakteri asal Laut Belawan pada penelitian ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas biosurfaktan asal Laut Belawan dalam mendegradasi naftalen yang telah dilakukan Panjaitan (2010), dimana aktivitas biosurfaktan tertinggi ditunjukkan oleh isolat Sp4 dengan nilai aktivitas emulsi sebesar 28,9%. Aktivitas biosurfaktan tertinggi dari bakteri pendegradasi propineb asal tanah pertanian Berastagi ditunjukkan oleh isolat CBA02 sebesar 34% (Utami, 2013), bakteri pendegradasi karbosulfan asal tanah pertanian Berastagi menunjukkan aktivitas biosurfaktan sebesar 41,8% (Damanik, 2013).


(35)

20

4.3 Produksi Biosurfaktan

Konsentrasi biosurfaktan diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 421 nm. Konsentrasi biosurfaktan yang terbentuk dapat dilihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Konsentrasi biosurfaktan yang dihasilkan bakteri selama 15 hari inkubasi

Gambar 4 menunjukkan bahwa semua isolat mengalami kenaikan konsentrasi biosurfaktan sampai hari ke-15. Pada hari ke-5 konsentrasi biosurfaktan tertinggi ditunjukkan oleh NF5 dengan konsentrasi 1,9 ppm sedangkan terendah NF1 dengan 0,7 ppm. Pada hari ke-10 semua isolat mengalami peningkatan konsentrasi biosurfaktan dimana NF1 menunjukkan konsentrasi tertinggi dengan 1,3 ppm dan NF9 terendah dengan 0,5 ppm. Pada hari ke-15 konsentrasi tertinggi ditunjukkan oleh NF1 dengan 6 ppm dan terendah NF11 dengan konsentrasi 2,7 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa semua isolat mampu memproduksi biosurfaktan sekalipun sumber karbon yang diberikan adalah glifosat yang bersifat larut dalam air. Hasil serupa ditunjukkan oleh penelitian Yunita (2012), isolat asal Laut Belawan yang ditumbuhkan dalam media dengan sumber karbon glifosat juga memproduksi biosurfaktan dengan konsentrasi lebih tinggi. Isolat SpB4 menghasilkan konsentrasi biosurfaktan sampai 70% dan SpB12 sampai 72%.

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00

NF 1 NF 2 NF 4 NF 5 NF 6 NF 7 NF 8 NF 9 NF 10 NF 11

Biosurfa kta n ya ng Di produk si (ppm ) Isolat


(36)

21

Hasil produksi ini lebih rendah dibandingkan konsentrasi biosurfaktan bakteri asal Laut Belawan dalam mendegradasi karbofuran dari penelitian yang telah dilakukan Fadhilah (2015), dimana pada minggu ketiga isolat NF7 menunjukkan nilai produksi biosurfaktan tertinggi sebesar 16,15 ppm diikuti NF1 dan NF2 dengan nilai 15,84 ppm. Perbedaan nilai produksi biosurfaktan ini dapat dikarenakan perbedaan sumber karbon yang digunakan oleh bakteri untuk metabolismenya.

Menurut penelitian yang telah dilakukan Devianto & Kardena (2010), diketahui bahwa peningkatan konsentrasi glukosa dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri Azotobacter vinelandii serta produksi biosurfaktan. Pada konsentrasi glukosa 2% biomassa yang terbentuk sebesar 1,24 gram dengan produksi biosurfaktan total sebesar 9,191 gram. Sedangkan 9,56 gram glukosa tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan. Pada konsentrasi glukosa 3,5% (w/v) diperoleh 14,3 gram biosurfaktan dari 1,94 gram biomassa yang terbentuk. Glukosa yang tidak dipergunakan dalam produksi sebesar 17,8 gram. Bila membandingkan antara glukosa yang tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan, maka semakin besar penambahan konsentrasi ini tidak memberikan efisiensi peningkatan produksi. Glukosa yang tidak terpakai dalam produksi biosurfaktan kemungkinan digunakan sebagai energi pada saat adaptasi, namun masih dimungkinkan keberadaan glukosa yang tidak dipakai sama sekali. Ghazali & Ahmad (1997) menyatakan bahwa, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah produksi biosurfaktan antara lain sumber karbon alami; sumber nitrogen; serta parameter fisika dan kimia seperti aerasi, suhu, dan pH. Biosurfaktan dapat diproduksi dari berbagai substrat yang dapat diperbaharui.

4.4 Pertumbuhan Sel Bakteri dalam Tanah

Uji potensi bakteri penghasil biosurfaktan dalam mendegradasi glifosat secara in vivo dilakukan dengan memilih 2 isolat yang berpotensi berdasarkan uji sebelumnya yaitu NF1 dan NF9. Pertumbuhan sel bakteri pada tanah pada hari ke-5, ke-10 dan ke-15 dihitung dengan menggunakan metode SPC. Hasil pertumbuhan sel bakteri dalam tanah dapat dilihat dalam Gambar5.


(37)

22

Gambar 5. Pertumbuhan sel bakteri dalam tanah selama 15 hari inkubasi

Gambar 5 menunjukkan bahwa perlakuan tanah tanpa sterilisasi, tanah dengan penambahan isolat NF1 dan NF9 masih mengalami kenaikan jumlah sel sampai pada hari ke-10. Kenaikan jumlah sel bakteri dikarenakan bakteri dapat menguraikan residu pestisida yang terdapat di dalam tanah menjadi sumber nutrisi untuk proses metabolismenya. Memasuki hari ke-15 tanah perlakuan tanpa sterilisasi dan dengan penambahan isolat NF9 masih menunjukkan peningkatan jumlah sel bakteri. Berbeda dengan tanah perlakuan dengan penambahan isolat NF1 yang sudah menunjukkan penurunan jumlah sel bakteri pada hari ke-15. Penurunan jumlah sel ini dapat dikarenakan isolat NF1 yang tidak mampu lagi menguraikan senyawa hasil degradasi glifosat seperti AMPA sebagai sumber nutrisi untuk metabolismenya sehingga mengakibatkan kematian sejumlah sel bakteri. Menurut USDA (1984), degradasi AMPA (aminomethyl Phosphonic Acid) umumnya lebih lambat dibandingkan dengan glifosat.

Tanah perlakuan tanpa sterilisasi yang masih menunjukkan peningkatan jumlah sel bakteri pada hari ke-15 dapat disebabkan adanya berbagai jenis bakteri tanah. Bakteri-bakteri tersebut dapat saling melengkapi dalam menggunakan berbagai senyawa yang terdapat dalam residu sehingga kebutuhan nutrisinya dapat terpenuhi dan jumlah sel semakin bertambah. Horowitz et al. (2005), menyatakan hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa hidrokarbon yang lebih ringan dan lebih sederhana dapat didegradasi dahulu pada tahap awal oleh suatu kultur

0 100 200 300 400 500 600

K(+) NF 1 NF 9

Jum lah Sel (x10 7CFU/m l) Perlakuan Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15


(38)

23

campur mikroba, kemudian senyawa yang tidak didegradasi pada tahap awal didegradasi oleh kultur campur kedua dan seterusnya.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Komarwidjaja (2009), terhadap karakteristik dan pertumbuhan konsorsium mikroba lokal dalam media mengandung minyak bumi. Waktu terbaik untuk pertumbuhan mikroba terjadi setelah masa inkubasi 9 hari. Perbedaan pertumbuhan tersebut diduga terjadi karena adanya perbedaan produksi biosurfaktan yang dihasilkan oleh konsorsium bakteri pada masing-masing perlakuan. Indikasi pertambahan kepadatan mikroba yang semakin meningkat atau dengan kata lain konsorsium mikroba telah mampu memanfaatkan minyak mentah sebagai sumber karbon sehingga dapat melipat gandakan kepadatan sel dalam media ujinya.

Konsorsium adalah kombinasi dari kultur murni yang disebut sebagai inokulum campuran (Navarrete-Bolanos et al., 2007). Pada lingkungan yang telah lama tercemar terdapat bakteri pendegradasi secara alamiah, bersaing maupun berkonsorsia dengan mikroorganisme lainnya (Cooper et al., 1990 dalam Oktavia, 2012).

4.5 Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam Mendegradasi Glifosat Analisis konsentrasi residu glifosat dilakukan terhadap 2 isolat paling potensial berdasarkan pola pertumbuhan, aktivitas biosurfaktan dan konsentrasi biosurfaktannya yaitu isolat bakteri NF 1 dan NF 9. Konsentrasi residu glifosat dalam tanah pada hari ke-0, ke-5, ke-10 dan ke-15 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsentrasi residu glifosat dalam tanah selama 15 hari

Perlakuan Hari ke-Konsentrasi Glifosat (ppm) Pengurangan Glifosat (%) 0 Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15

Kontrol (+) 0,056 0,030 0,017 0,005 91,07

NF 1 0,056 0,050 0,043 0,023 58,92

NF 9 0,056 0,017 0,017 0,014 75,00

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa semua perlakuan menunjukkan terjadinya pengurangan residu glifosat dalam tanah sampai pada hari ke-15. Namun penurunan konsentrasi glifosat tidak terlihat pada tanah perlakuan dengan penambahan isolat NF9 pada hari ke-5 dan ke-10, terlihat konsentrasi glifosat tetap sama yaitu 0,017 ppm. Hal ini dapat dikarenakan jumlah sel isolat NF9 pada


(39)

24

hari ke-5 dan ke-10 tidak mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu 19 x 107 CFU/ml pada hari ke-5 dan 31 x 107 CFU/ml. Sehingga penurunan konsentrasi glifosat tidak terlalu terlihat.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan isolat tunggal terutama NF9 memberikan hasil yang cukup baik. Sekalipun jumlah sel isolat NF1 Dan NF9 tidak terlalu tinggi pada saat perhitungan pertumbuhan sel (Gambar 6) dibandingkan dengan tanah perlakuan K(+). Namun penurunan konsentrasi glifosat ini sejalan dengan aktivitas biosurfaktan. Isolat NF1 dengan indeks emulsi 38% mampu menurunkan konsentrasi glifosat sebanyak 58,92% sedangkan isolat NF9 dengan indeks emulsi 48% mampu mendegradasi glifosat sebanyak 75%. Persentase penurunan konsentrasi glifosat ini cukup tinggi dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yunita (2011), dimana isolat SpB4 asal Laut belawan dapat menurunkan residu glifosat dalam media cair sebanyak 34% dan SpB12 sebanyak 30%. Untuk lebih jelas berikut ini adalah histogram pengurangan residu glifosat pada hari ke-0 sampai ke-15.

Gambar 6. Pengurangan konsentrasi glifosat di tanah pada hari ke-0 sampai ke-15 Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa perlakuan Tanah tanpa sterilisasi menunjukkan pengurangan residu glifosat sampai 91% pada hari ke-15, sedangkan perlakuan dengan isolat NF1 dan NF9 masing-masing 59% dan 75%. Penurunan jumlah residu glifosat dengan penggunaan isolat tunggal yaitu isolat NF1 dan NF9 sudah cukup baik. Namun penggunaan kultur campuran bakteri asal tanah tersebut ternyata lebih mampu menurunkan jumlah residu glifosat. Hal ini

0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06

K(+) NF1 NF9

Residu G lifo sat (ppm ) Perlakuan Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15

0,056 0,056 0,056

0,030 0,017 0,005 0,050 0,043 0,023 0,017 0,014


(40)

25

dikarenakan jumlah sel bakteri yang terdapat pada tanah perlakuan tanpa sterilisasi sangat tinggi dibandingkan jumlah sel bakteri NF1 dan NF9 yaitu mencapai 53 x 108 CFU/ml.

Selain jumlah sel yang tinggi, besar kemungkinan terdapat berbagai jenis mikroba yang berbeda pada tanah perlakuan tanpa sterilisasi mengakibatkan bakteri menggunakan sumber karbon yang ada dalam tanah secara berkonsorsia maupun bersaing. Hal inilah yang mengakibatkan tingginya penurunan konsentrasi glifosat dibanding dengan perlakuan dengan penambahan isolat NF1 dan NF9. Menurut Okoh (2006), penggunaan konsorsium mikroba cenderung memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan penggunaan isolat tunggal, karena diharapkan kerja enzim dari tiap jenis mikroba dapat saling melengkapi untuk dapat bertahan hidup menggunakan sumber nutrien yang tersedia dalam residu pestisida tersebut. Harayama et al. (1995) menyatakan bahwa, kemampuan degradasi suatu jenis mikroba terbatas hanya pada kisaran senyawa hidrokarbon tertentu, namun beberapa jenis mikroba akan bekerja secara bersamaan dalam mendegradasi minyak bumi sesuai dengan spesifisitas substrat yang dimiliki.


(41)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa isolat asal Laut Belawan mampu mendegradasi residu herbisida berbahan aktif glifosat dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tanah perlakuan tanpa sterilisasi dapat menurunkan konsentrasi glifosat sebanyak 91% dengan jumlah sel bakteri 53 x 108 CFU/ml. Tanah perlakuan dengan penambahan isolat NF9 dengan pertumbuhan sel sebanyak 79 x 107 CFU/ml memiliki aktivitas biosurfaktan yang cukup tinggi mampu menurunkan konsentrasi glifosat dalam tanah sebanyak 75%.

5.2 Saran

a. Sebaiknya dilakukan penelitian dengan penggunaan konsorsium bakteri dimana penggabungan beberapa jenis isolat tunggal mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan isolat tunggal.

b. Sebaiknya dilakukan identifikasi terhadap isolat yang memiliki potensi dalam mendegradasi glifosat


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida pada Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Agus, S., Lolit, S. dan Warsono. 1999. Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan.

Solo: Yayasan Duta Awam.

Alexander, M. 1994. Biodegradation and Bioremediation. United States of America: Academic Press, Inc.

Anupama, K. S. and Paul, S. 2009. Ex situ and In situ Biodegradation of Lindane by Azotobacter chroococcum. Journal of Environmental Science and Health, Part B: Pesticides, Food Contaminants, and Agricultural Wastes. 45(1): 58-66.

Baker, C. and Herson, D. 1994. Bioremediation. USA: Mc Graw-Hill, Inc.

Banat, I. M. 1995. Biosurfactants Production and Possible Uses in Microbial- Enchanced Oil Recovery and Oil Pollution Remediation. A Review Bioresource Technology. 51: 1-12.

Capelli, S. M., Busalmen, P. J. and De Sánchez, R. S. 2001. Hydrocarbon Bioremediation of A Mineral-Base Contaminated Waste From Crude Oil Extraction by Indegnious Bacteria. International Biodeterioration and Biodegradation.47: 233-238.

Carillo, G. G., Mardaraz, C., Pitta –Alfarez and Guiliettu, A. M. 1996. Isolation and Selection of Biosurfactant Producing Bacteria. Word J Microbiol and Biotechnol. 12: 82–84.

Carlisle, S. M. and Trevors, J. T. 1988. Glyphosate in the environment. Water Air Soil Pollut. 39: 409-420.

Carsten, L. 2002. The Promise of Bioremediation. Northwest Science and Technology. P. 37-39.

Ciccyliona, D. Y. dan Nawfa, R. 2012. Pengaruh pH terhadap Produksi Biosurfaktan oleh Bakteri Pseudomonas aeruginosa Lokal. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 1(1): 1-6.

Chandrasekaran, E. V. and Be Miller, J. N. 1980. Constituent Analysis of Glucosa Aminoglicans: Methods in Carbohydrate Chemistry. In R. L. Whistler (ed). New York: Academic Press Inc.

Damanik, N. S. 2013. Isolasi dan Uji Potensi Bakteri Tanah Pertanian Berastagi Sumatera Utara Dalam Mendegradasi Insektisida Marshal Berbahan Aktif Karbosulfan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.


(43)

28

Desai, J. D. and Desai, A. J. 1993. Advances in The Production of Biosurfactants and Their Commercial Applications. Journal Scientific and Industrial Research. 53: 619-629.

Devianto, L. A. dan Edwan, K. 2010. Pengaruh Glukosa terhadap Produksi Biosurfaktan oleh Azotobacter vinelandii dan Pengaruh Biosurfaktan terhadap Biodegradasi TPH oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik. [Skripsi]. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Duvnjak. Z., Cooper, D.G. and Kosaric, N. 1983. Effect on N sources on Surfactant Production by Arthrobacter parafineus ATCC 19558.

Microbial Enhanced Oil Recovery. P. 66-72.

Fadhilah, N. 2015. Isolasi dan Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Pestisida Berbahan Aktif Karbofuran pada Tanah. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Fatimah. 2007. Uji Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas sp. Pada Substrat yang Berbeda. Berk. Penel. Hayati. 12: 181-185.

Francy, D. S., Thomas J. M., Raymond, R. L. and Ward, C. H. 1991. Emulsification of Hydrocarbons by Surface Bacteria. J ind Microbiol. 8: 234–246.

Giesey, J. P., Dobson, S. and Solomon, K. R. 2000. Ecotoxicological Risk Assessment for Roundup Herbicide. Rev. Environ. Contam. Toxicol. 167: 35-120.

Ghazali, R. and Ahmad, S. 1997. Biosurfactants- A Review. Kuala Lumpur. Palm Oil Research Institute of Malaysia.

Hamzah, A., Sabturani, N. and Radiman, S. 2013. Screening and Optimization of Biosurfactant Production by the Hydrocarbon-degrading Bacteria. Sains Malaysia. 42(5): 615-623.

Harayama, S., Sigiura, K., Asaumi, M., Shimauchi, T., Goto, M., Sasaki, S. and Ishihara, M. 1995. Biodegradation of Crude Oil. Program and Abstratcs in the First Asia-Pasific Marine Biotechnology Conference, Shimizu, Shizuoka, Japan. P. 19-24.

Hartati, S. Y. 2012. Efikasi Formula Fungisida Nabati terhadap Penyakit Bercak Daun Jahe Phyllosticta sp.. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bul. Littro. 24(1): 42-48.

Herawan, T., Rakmi, A. R. dan Guritno, P. 1996. Pembuatan Karbohidrat Ester Sebagai Biosurfaktan Secara Enzimatis. Warta PPKS. 6: 85-91.

Hidayat, Masdiana, C. P. dan Sri, S. 2006. Mikrobiologi Industri. Edisi I. Yogyakarta: Andi.

Horowitz, A., Gutnick, D. and Rosenberg, E. 2005. Sequential Growth of Bacteri on Crude Oil. Apllied Microbiology. 30(1): 10-19.


(44)

29

Jain, D. K., Thompson, D. L. C., Lee, H. and Trevois, J. T. 1991. A Drop Collapsing Test for Screening Surfactant Producing Microorganism.

Journal Microbiol.Method. 13: 271-279.

Jatmika, A. 1998. Aplikasi Enzim Lipase dalam Pengolahan Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit Untuk Produk Pangan. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 6(1): 31-37.

Kim, S. J., Choi, D. H., Sim, D. S. and Oh, Y. S. 2005. Evaluation of Bioremediation Effectiveness on Crude Oil-contaminated Sand.

ChemoSphere. 59: 845-852.

Koch, A., Kappeli, K., Fiecher, A. and Reiser, J. 1991. Hydrocarbon Assimilation and Biosurfactant Production in Pseudomonas aeruginosa Mutans.

Journal Bacteriol. 173: 4212-4219.

Komarwidjaja, W. 2009. Karakteristik dan Pertumbuhan Konsorsium Mikroba Lokal dalam Media Mengandung Minyak Bumi. J. Tek. Lingkungan. 10(1): 114-119.

Kosaric, N., Cairns, W. L. and Gray, N. C. C. 1987. Biosurfactants and Biotechnology. New York: Maecell Dekker. INC.

Kosaric, N. 2001. Biosurfactant and Their Application for Soil Bioremidiation.

Food Technol. Biotechnol 39(4): 295-304.

Lay, B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Liawati, L. 2001. Seleksi Bakteri Resisten Herbisida Glifosat. [Tesis]. Bogor: Intitut Pertanian Bogor.

Liu, F., Hong, M., Liu, D. and Li, Y. 2007. Biodegradation of Methyl Parathion by Acinetobacter radioresistens USTB-04. J Environ Sci. 19(10): 1257-1260.

Moroi, Y. 1992. Micelles Theoretical and Applied Aspects. New York: Plenum Press.

Munarso, S., Miskiyah, J. dan Broto, W. 2009. Studi Kandungan Residu Pestisida Pada Kubis, Tomat, Dan Wortel Di Malang. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian. 5: 28.

Naibaho, F. G. 2013. Isolasi dan Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Asal Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Pestisida Karbosulfan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nasution, N. 2011. Potensi Isolat Bakteri Penghasil Biosurfaktan Asal Laut Tanjung Balai dan Sibolga Sumatera Utara dalam Mendegradasi Glifosat. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Navarrete-Bolanos, J. L., Serrato-Joya, O., Botello-Alvarez, E., Jimenez-Islas, H., Cardenas-Manriques, M., Conde-Barajas, E. and Rico-Martinez, R. 2007. Analyzing Microbial Consortia for Biotechnological Processes Design.

Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology. P. 437-449.


(45)

30

Nawaz, K., Hussain, K., Choudary, N., Majeed, A., Ilyas, U., Ghani, A., Lin, F., Ali, K., Afghan, S., Raza, G. and Lashari, M. I. 2011. Eco-Friendly Role of Biodegradation Againts Agricultural Pesticides Hazards. African Journal of Microbiology Research. 5(3): 177-179.

Okoh, A. I. 2006. Biodegradation Alternative in the Cleanup of Petroleum Hydrocarbon Pollutants. Biotechnol. and Molecular Biology Review. 1(2): 38-50.

Oktavia, D. A., Djumali, M., Singgih, W. Titi, C. S. dan Mulyorini, R. 2012. Pengolahan Limbah Cair Perikanan Menggunakan Konsorsium Mikroba

Indigeous Proteolitik dan Lipolitik. Agrointek. 6(2): 65-71.

Panjaitan, I. L. W. 2010. Isolasi dan Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Asal Laut Belawan Sumatera Utara Dalam Mendegradasi Naftalen. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Prijanto, T. B. 2009. Analisis Faktor Resiko Keracunan Pestisida Organofosfat pada Keluarga Petani Hortikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Rahmansyah, M. dan Sulistinah, N. 2009. Performa Bakteri pada Tanah Tercemar Pestisida. Berita Biologi.9(5): 1-8.

Richard, J. Y. and Vogel, M. T. 1999. Characterization of a Soil Bacterial Cosortium Capable of Degrating Diesel Fuel. International Biodeterioration & Biodegradation. 44: 93-100.

Roberts, T. R. 1998. Metabolic Pathways of Agrochemicals-Part 1: Herbicides and Plant Growth Regulators. Cambridge: The Royal Society of Chemistry.

Rosenberg, M., Gutnick, D. and Rosenberg, E. 1980. Adherence of Bacteria to Hydrocarbons: a Simple Method for Measuring Cell Surface Hydrophobicity. FEMS Microbiol. 9: 29-33.

Sarwoko, M. 2005. Seleksi Teknologi Pemulihan Untuk Ekosistem Laut Tercemar Minyak. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS. Surabaya. 24 November 2005.

Schuette, J. 1998. Environmental Fate of Glyphosate. Environmental Monitoring & Pest Management. Department of Pesticide Regulation Sacramento. Sulistiyono, L. 2004. Dilema Penggunaan Pestisida Dalam Sistem Pertanian

Tanaman Hortikultura di Indonesia. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Supriyadi, Pranoto, W. S. Dewi dan Suranto. 2001. Aplikasi dan Pencemaran Pestisida pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi. Laporan Penelitian FP UNS.

Tomlin, C. D. S. 2006. The Pesticide Manual: A World Compendium. Hampshire, UK. British Crop Protection Council.

Tu, M., Hurd, C., Robison, R. and Randall, J. M. 2002. Glyphosate. Weed Control Methods Handbook, The Nature Conservancy.


(46)

31

U.S.D.A., Forest Service. 1984. Pesticide Background Statements. Agriculture Handbook. 1(633): 1-72.

Waage, J. 1996. Integrated Pest Management and Biotechnology: an Analysis of Their potential for Integration. dalam Persley, G. J. (Ed). Biotechnology and integrated Pest Management. Cambridge. University Press.

Yuantari, M. G. C. 2009. Studi Ekonomi Lingkungan Penggunaan Pestisida dan Dampaknya pada Kesehatan Petani di Area Pertanian Hortikultura Desa Sumber Rejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Jawa Tengah. [Tesis]. Semarang : Universitas Diponegoro.

Yunita, Y. 2011. Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan Asal Laut Belawan Sumatera Utara dalam Mendegradasi Glifosat. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Yusnaini, Anwar, D. dan Anwar. 2013. Identifikasi residu Pestisida Golongan Organofosfat pada Sayuran Kentang di Swalayan Lottemart dan Pasar Terong Kota Makassar Tahun 2013. Makassar: Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Makassar.

Zajic, J. E. and Akit, J. 1983. Biosurfactant in Bitumen Separation From Tar Sand In : Microbial Enhanced Oil Recovery. USA : Penn Well Publishing. Zajic, J. E. and Panchel, C. J. 1976. Bio-emulsifiers. Crit. Rev. Microbiol. 5:

39-66.

Zhang, Y. and Miller R. M. 1992. Enhanced Octadecane Dispersion and Biodegradation by a Pseudomonas Rhamnolipid Surfactant (Biosurfactant). Appl. Envivanron. Microbiol. 58: 3276-3282.


(47)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Kerja Subkultur Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Laut dalam Mendegradasi Glifosat

ditumbuhkan pada media Bushnell-Haas Agar yang mengandung 2% pestisida Round Up

diinkubasi pada suhu 30oC selama 10-15 hari diamati koloni bakteri yang tumbuh

Isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi

hasil isolasi Laut Belawan


(48)

33

Lampiran 2. Pembuatan Suspensi Isolat Bakteri 108 CFU/ml

diambil 1-2 ose

dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi aquadest steril

dihomogenkan dengan vorteks

dibandingkan kekeruhannya dengan larutan Mc-Farland yang setara dengan 108 CFU/ml

Isolat Bakteri


(49)

34

Lampiran 3. Alur Kerja Perhitungan Pertumbuhan Sel Bakteri Metode Standard Plate Count (SPC)(Lay, 1994)

dibuat dalam bentuk suspensi yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (≈108 CFU/ml)

diinokulasikan sebanyak 2 ml ke dalam 98 media BHB yang mengandung 2% Round Up

diinkubasi pada waterbath shaker dengan kecepatan 110 rpm dengan suhu 30 oC selama 15 hari

diencerkan hingga konsentrasi 10-6

diinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke dalam media PCA dengan metode cawan sebar

disebar dengan hockey stick

diinkubasi selama 24-48 jam

dihitung jumlah koloni bakteri yang tumbuh Isolat Bakteri

Hasil 1 ml Media Biakan


(50)

35

Lampiran 4. Alur Kerja Screening Aktivitas Biosurfaktan Metode Drop Collapsing Test (Jain et al., 1991) yang Dimodifikasi

dibuat dalam bentuk suspensi yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (≈108 CFU/ml)

diinokulasikan sebanyak 2 ml ke dalam 98 ml media BHB yang mengandung 2% dekstros

diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30 oC selama 15 hari

disaring dengan kertas saring

diambil sebanyak 4 ml

dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 4 ml N-heksan

ditambahkan 2 ml akuades divorteks selama 10 detik

diukur ketebalan emulsi yang terbentuk dengan gelas ukur

dihitung nilai persentase Indeks Emulsifikasi (%IE) dari masing-masing isolat

Hasil Isolat Bakteri

Biakan Bakteri

Residu Filtrat


(51)

36

Lampiran 5. Alur Kerja Penentuan Kurva Standar Rhamnosa Metode Least Square

dilarutkan dengan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,05 M dengan konsentrasi 10, 50, 100 dan 200 ppm

dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml ditambahkan 3,6 ml larutan orsinol

dipanaskan hingga mendidih

didinginkan pada suhu kamar selama 15 menit

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 421 nm

ditentukan persamaan garis regresi kurva standar rhamnosa dengan memplot absorbansi dan konsentrasi rhamnosa dengan metode Least Square

Rhamnosa

Absorbansi


(52)

37

Lampiran 6. Alur Kerja Produksi Biosurfaktan Secara Kuantitatif dengan Metode Orsinol (Chandrasekaran & Be Miller, 1980) yang Dimodifikasi

dibuat dalam bentuk suspensi yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (≈108 CFU/ml)

diinokulasikan sebanyak 2 ml ke dalam 98 ml media BHB yang mengandung 2% Round Up

diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30 oC selama 15 hari

disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit

diambil sebanyak 4 ml

dimasukkan ke dalam tabung reaksi

diekstrak dengan 2 ml dietilether selama 5 menit diambil lapisan ether dengan pipet tetes

dikeringkan anginkan

dilarutkan kembali dalam 2 ml larutan NaHCO3 0,05 M dihomogenkan dengan vorteks

ditambahkan 3,6 ml orsinol dipanaskan hingga mendidih

didinginkan pada suhu kamar selama 15 menit

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 421 nm

Isolat Bakteri

Biakan Bakteri

Pellet Supernatan


(53)

38

Lampiran 7. Alur Kerja Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam Mendegradasi Herbisida dan Analisis Residu Glifosat

(Anupama & Paul, 2009)

dibuat dalam bentuk suspensi dengan konsentrasi sampai 107 sel/ml

diambil sebanyak 3 ml

diinokulasikan ke dalam 300 gram tanah yang mengandung 2% Round Up (untuk kontrol tanah dibuat tanpa inokulum)

diinkubasi selama 15 hari

dianalisis konsentrasi glifosat tersisa setiap 5 hari sampai 15 hari dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography

Tanah Perlakuan Biakan Bakteri


(54)

39

Lampiran 8. Komposisi Media Bushnell-Haas,Larutan Standar Mc-Farland, dan Larutan Orsinol

a. Komposisi Media Bushnell-Haas per liter

KH2PO4 = 1 g

K2HPO4 = 1 g

NH4NO3 = 1 g

MgSO4.7H2O = 0,2 g CaCl2 = 0,02 g FeCl = 0,05 g Agar = 20 g

Semua bahan dicampur kedalam 1 liter akuades dan disterilkan dengan autoklaf.

b. Komposisi Larutan Mc-Farland

Sebanyak 0,5 ml BaCl2 0,048 M ditambahkan ke dalam 99,5 ml H2SO4 0,35 N. Kemudian divorteks hingga homogen.

c. Komposisi Larutan Orsinol (Chandrasekaran & Be Miller, 1980 dalam Koch et al., 1991)

Sebanyak 100 mg orsinol dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 53% kemudian didiamkan selama 12 jam hingga berwarna kuning.


(55)

40

Lampiran 10. Penentuan Kurva Standar Rhamnosa

No Konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 10 0.409

2 50 0.603

3 100 0.794

4 200 1.125

Untuk menentukan persamaan garis regresi kurva standar rhamnosa digunakan metode Least Square, nilai konsentrasi rhamnosa dimasukkan sebagai nilai X dan absorbansi sebagai nilai Y.

Tabel Absorbansi Aktivitas Produksi Biosurfaktan No Nama Isolat Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15

1 NF 1 0,335 1,350 1,555

2 NF 2 0,453 0,747 1,530

3 NF 4 0,490 1,052 1,363

4 NF 5 0,600 1,103 1,276

5 NF 6 0,393 1,204 1,441

6 NF 7 0,369 0,627 0,881

7 NF 8 0,362 0,700 0,854

8 NF 9 0,466 0,546 0,842

9 NF 10 0,403 0,684 0,806

10 NF 11 0,395 0,622 0,791

y = 0,233x + 0,148 R² = 0,979

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

10 ppm 50 ppm 100 ppm 200 ppm

Absorban

si

Konsentrasi Rhamnosa (ppm)

Kurva Standar Rhamnosa


(1)

Lampiran 4. Alur Kerja Screening Aktivitas Biosurfaktan Metode Drop Collapsing Test (Jain et al., 1991) yang Dimodifikasi

dibuat dalam bentuk suspensi yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (≈108 CFU/ml)

diinokulasikan sebanyak 2 ml ke dalam 98 ml media BHB yang mengandung 2% dekstros

diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30 oC selama 15 hari

disaring dengan kertas saring

diambil sebanyak 4 ml

dimasukkan ke dalam tabung reaksi ditambahkan 4 ml N-heksan

ditambahkan 2 ml akuades divorteks selama 10 detik

diukur ketebalan emulsi yang terbentuk dengan gelas ukur

dihitung nilai persentase Indeks Emulsifikasi (%IE) dari masing-masing isolat

Hasil Isolat Bakteri

Biakan Bakteri

Residu Filtrat


(2)

Lampiran 5. Alur Kerja Penentuan Kurva Standar Rhamnosa Metode Least Square

dilarutkan dengan larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,05 M dengan konsentrasi 10, 50, 100 dan 200 ppm

dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml ditambahkan 3,6 ml larutan orsinol

dipanaskan hingga mendidih

didinginkan pada suhu kamar selama 15 menit

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 421 nm

ditentukan persamaan garis regresi kurva standar rhamnosa dengan memplot absorbansi dan konsentrasi rhamnosa dengan metode Least Square

Rhamnosa

Absorbansi


(3)

Lampiran 6. Alur Kerja Produksi Biosurfaktan Secara Kuantitatif dengan Metode Orsinol (Chandrasekaran & Be Miller, 1980) yang Dimodifikasi

dibuat dalam bentuk suspensi yang setara dengan kekeruhan larutan Mc-Farland (≈108 CFU/ml)

diinokulasikan sebanyak 2 ml ke dalam 98 ml media BHB yang mengandung 2% Round Up

diinkubasi pada shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 30 oC selama 15 hari

disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 10 menit

diambil sebanyak 4 ml

dimasukkan ke dalam tabung reaksi

diekstrak dengan 2 ml dietilether selama 5 menit diambil lapisan ether dengan pipet tetes

dikeringkan anginkan

dilarutkan kembali dalam 2 ml larutan NaHCO3 0,05 M dihomogenkan dengan vorteks

ditambahkan 3,6 ml orsinol dipanaskan hingga mendidih

didinginkan pada suhu kamar selama 15 menit

diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 421 nm

Isolat Bakteri

Biakan Bakteri

Pellet Supernatan

Hasil


(4)

Lampiran 7. Alur Kerja Uji Potensi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dalam Mendegradasi Herbisida dan Analisis Residu Glifosat

(Anupama & Paul, 2009)

dibuat dalam bentuk suspensi dengan konsentrasi sampai 107 sel/ml

diambil sebanyak 3 ml

diinokulasikan ke dalam 300 gram tanah yang mengandung 2% Round Up (untuk kontrol tanah dibuat tanpa inokulum)

diinkubasi selama 15 hari

dianalisis konsentrasi glifosat tersisa setiap 5 hari sampai 15 hari dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography

Tanah Perlakuan Biakan Bakteri


(5)

Lampiran 8. Komposisi Media Bushnell-Haas,Larutan Standar Mc-Farland, dan Larutan Orsinol

a. Komposisi Media Bushnell-Haas per liter

KH2PO4 = 1 g

K2HPO4 = 1 g

NH4NO3 = 1 g

MgSO4.7H2O = 0,2 g

CaCl2 = 0,02 g

FeCl = 0,05 g

Agar = 20 g

Semua bahan dicampur kedalam 1 liter akuades dan disterilkan dengan autoklaf. b. Komposisi Larutan Mc-Farland

Sebanyak 0,5 ml BaCl2 0,048 M ditambahkan ke dalam 99,5 ml H2SO4 0,35 N. Kemudian divorteks hingga homogen.

c. Komposisi Larutan Orsinol (Chandrasekaran & Be Miller, 1980 dalam Koch et al., 1991)

Sebanyak 100 mg orsinol dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 53% kemudian didiamkan selama 12 jam hingga berwarna kuning.


(6)

Lampiran 10. Penentuan Kurva Standar Rhamnosa

No Konsentrasi (ppm) Absorbansi

1 10 0.409

2 50 0.603

3 100 0.794

4 200 1.125

Untuk menentukan persamaan garis regresi kurva standar rhamnosa digunakan metode Least Square, nilai konsentrasi rhamnosa dimasukkan sebagai nilai X dan absorbansi sebagai nilai Y.

Tabel Absorbansi Aktivitas Produksi Biosurfaktan No Nama Isolat Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15

1 NF 1 0,335 1,350 1,555

2 NF 2 0,453 0,747 1,530

3 NF 4 0,490 1,052 1,363

4 NF 5 0,600 1,103 1,276

5 NF 6 0,393 1,204 1,441

6 NF 7 0,369 0,627 0,881

7 NF 8 0,362 0,700 0,854

8 NF 9 0,466 0,546 0,842

9 NF 10 0,403 0,684 0,806

10 NF 11 0,395 0,622 0,791

y = 0,233x + 0,148 R² = 0,979

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

10 ppm 50 ppm 100 ppm 200 ppm

Absorban

si

Konsentrasi Rhamnosa (ppm)