Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Mioma Uteri pada Wanita Usia Subur di RS dr. Pirngadi Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi mioma uteri
Mioma uteri merupakan tumor jinak yang paling sering ditemukan di uterus.
Mioma uteri adalah tumor jinak uterus yang berbatas tegas. Neoplasma jinak ini
berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya. Dalam
kepustakaan, mioma uteri dikenal juga dengan istilah fibromioma, leimioma atau
pun fibroid (Prawirohardjo, 2008).
2.2.Klasifikasi mioma uteri
Berdasarkan letaknya mioma uteri diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
2.2.1.

Mioma uteri submukosum

Lokasi tumor ini berada di bawah mukosa uterus (endometrium) dan menonjol
ke dalam rongga uterus (kavum uteri). Mioma submukosum dapat tumbuh
bertangkai menjadi polip, kemudian keluar dari uterus dan masuk ke dalam vagina
yang disebut dengan myomgeburt.
2.2.2. Mioma uteri intramural
Mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Istilah lain

untuk mioma ini jenis ini adalah mioma intraepitalial, biasanya multipel. Apabila
masih kecil, tidak mengubah bentuk uterus, tapi apabila besar, akan menyebabkan
uterus berbenjol-benjol, uterus akan bertambah besar dan merubah bentuknya.
2.2.3. Mioma uteri subserosum
Mioma subserosum tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat tumbuh di antara

Universitas Sumatera Utara

kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intra ligamenter. Mioma
subserosum dapat juga tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga
disebut wandering/parasitic fibroid. (Prawirohardjo, 2008)
2.3. Etiologi dan patogenesis mioma uteri
Etiologi pasti belum diketahui sampai saat ini. Namun, mioma uteri diyakini
sebagai tumor jinak yang bergantung pada esterogen. Dewasa ini, banyak bukti
yang menganggap bahwa ada juga keterlibatan progesteron sebagai penyebabnya.
Berikut adalah beberapa faktor yang berperan menimbulkan mioma uteri.
2.3.1. Esterogen
Sebagian besar studi membuktikan bahwa ada peningkatan reseptor esterogen

pada mioma uteri dibandingkan dengan miometrium normal. Penelitian lain
menyatakan bahwa reseptor esterogen alfa dan beta terdapat pada mioma uteri
dan mengalami peningkatan (up-regulasi) dibandingka n miometrium normal.
Yamoyo et al menunjukkan bahwa adanya penurunan pertukaran estradiol
menjadi estron pada kasus mioma uteri dibandingkan dengan miometrium normal.
Hal ini terjadi akibat

penurunan kerja enzim 17-beta hydroxysteroid

dehydrogenase atau dengan peningkatan enzim aromatase. Tujuannnya adalah
menghasilkan senyawa esterogenik yang berpotensi merangsang sel miometrium
dan meningkatkan sel yang bersifat lemioma. Aktivitas esterogenik juga
ditingkatkan melalui modifikasi molekul estradiol. Leihr et al mendemonstrasikan
bahwa tingginya konsentrasi metabolit C4 hydroxylated estradiol pada mioma
uteri, merupakan hasil dari peningkatan aktivitas enzim estradiol 4-hydroxylase.

Universitas Sumatera Utara

Metabolit yang terbentuk itu mempunyai daya ikat reseptor yang lebih besar
dibandingkan estradiol, yang merupakan sumber lokal pertumbuhan mioma uteri

(Bieber, et al., 2006).
2.3.2. Progesteron
Reseptor progesteron juga ditemukan mengalami peningkatan konsentrasi
pada mioma uteri. Meskipun birsifat kontroversi, reseptor progesteron pada
mioma uteri ditemukan meningkat konsentrasinya di semua siklus menstruasi.
Reseptor progesteron yang didapati pada mioma uteri yaitu reseptor progesteron
A dan B. Jumlah reseptor progesteron A lebih banyak dari reseptor progesteron B
pada mioma uteri dan jaringan miometrium normal. Sifat yang berlawanan dengan
esterogen menyebabkan kadar progesteron tidak meningkat pada mioma uteri jika
dibandingkan

dengan

endometrium

yang

mengelilinginya.

Akan


tetapi,

peningkatan kadar progesteron telah menunjukkan peningkatan aktivitas mitosis
pada mioma uteri, yang berpotensi menumbuhkan mioma uteri baik selama siklus
menstruasi dan jika mendapat pemasukan eksogen. Kawaguchi menganalisa efek
progesteron dan estrogen pada sel otot mioma yang dikultur. Ternyata didapatkan
hasil bahwa sel yang dikultur dengan media progesteron dan estrogen lebih aktif
pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan media estrogen saja.
Kadar serum progesteron tidak meningkat pada wanita mioma uteri. Kecuali jika
mendapat pemasukan dari luar tubuh, dimana pengaruh progesteron terbatas pada
mekanisme autokrin dan parakrin di tingkat molekular mempunyai nilai yang
bermakna atau signifikan dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri
(Bieber, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Faktor hormon pertumbuhan (growth factor)
Baik estrogen maupun progesteron tampak berhubungan dengan berbagai
faktor pertumbuhan lainnya pada mioma uteri untuk memulai dan merangsang

pertumbuhannya. Epidermal growth factor (EGF) dan epidermal grouth factor
receptor (EGF-R) dapat ditemukan pada miometrium normal dan mioma uteri.
Maruo et al menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan produki lokal EGF,
sementara progesteron meningkatkan EGF-R secara sinergis pada sel mioma uteri.
Beberapa ahli juga mengungkapkan bahwa pentingnya faktor-faktor hormon
pertumbuhan ini dalam perkembangan mioma uteri. Jumlah transforming growth
factor ß3 (TGFß3) mRNA mencapai 5 kali lebih tinggi pada mioma uteri
dibandingkan dengan miometrium normal. Faktor ini mempunyai kontribusi
dalam peningkatan potensi mitogenik sel mioma uteri dan juga meningkatkan
deposisi matriks ekstraseluler. Faktor lain yang berpotensi seperti ptatelet-derived
growth factor, vascular endothelial growt factor, insulin like growth factor-I basic
fibroblast growth factor, dan prolaktin belum dapat dijelaskan mekanismenya
terkait pertumbuhan mioma uteri (Bieber, et al., 2006).
Meyer dan De Snoo, mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast.
Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen pada kelinci percobaan ternyata
menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain
pada abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat
progesteron atau testosteron. Puukka et al menyatakan bahwa reseptor estrogen
pada mioma lebih banyak didapati dari pada miometrium normal. Menurut Meyer


Universitas Sumatera Utara

asal mioma adalah sel imatur, bukan sel selaput otot yang matur. (Prawirohardjo,
2009)
2.4. Faktor risiko
Beberapa faktor risiko seorang wanita mengalami mioma uteri antara lain
2.4.1. Umur
Hurlock (2004) mendefinisikan umur sebagai lamanya hidup dalam tahun
yang dihitung sejak dilahirkan. Kasus mioma uteri terbanyak terjadi pada
kelompok umur 40-44 tahun. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan
perkembangan mioma uteri dipengaruhi oleh hasil stimulasi hormon estrogen
yang dieksresikan oleh ovarium. Pada usia reproduksi, sekresi hormon estrogen
oleh ovarium meningkat, berkurang pada usia klimakterium dan pada usia
menopause hormon ini tidak dieksresikan lagi. Mioma uteri belum pernah
dilaporkan sebelum usia menarche dan umumnya pada usia setelah menopause,
tumbuh dengan lambat serta sering dideteksi secara klinis pada usia dekade
keempat. (Marquad, 2008)
Umur memainkan peranan yang signifikan dalam deteksi mioma uteri.
Kejadian mioma uteri mengalami peningkatan pada wanita mendekati usia
perimenopause dan akan mengalami regresi pada usia postmenopause. Marshal et

al mendemonstrasikan bahwa insiden mioma uteri pada wanita dengan kelompok
usia 25 sampai 29 tahun adalah 4,3 per 1000, pada rentang usia 30 sampai 34
tahun adalah 9,0 per 1000, pada kelompok usia 35 sampai 39 tahun adalah 14,7
per 1000, dan pada kelompok usia 40 sampai 44 tahun adalah 22,5 per 1000.
Dengan demikian, pada wanita kelompok usia 40 sampai 44 tahun, kejadian

Universitas Sumatera Utara

mioma uteri meningkat 5,2 kali lipat dibandingkan dengan kelompok wanita
berusia 25 sampai 29 tahun (Bieber, et al., 2006).
2.4.2. Usia menarche
Usia menarche adalah usia saat haid atau menstruasi yang pertama kali datang
pada seorang wanita. Umumnya menarche terjadi pada usia 10 sampai 15 tahun.
(Prawirohardjo, 2007). Peningkatan risiko terjadinya mioma uteri berhubungan
dengan menarche dini. Dari penelitian yang dilakukan oleh Donna (2003),
menstruasi pada usia sebelum 11 tahun dikaitkan dengan peningkatan 25% resiko
dibandingkan dengan menarche pada umur 12 dan 13 tahun. Risiko mioma uteri
terus menurun dengan peningkatan usia menarche. Usia menarche dini menjadi
faktor risiko untuk mioma uteri karena menarche


dini berhubungan dengan

kepekaan jaringan terhadap hormon atau penekanan umpan balik kontrol produksi
steroid. Dengan demikian, semakin dini seseorang mengalami menarche maka
jaringan pada uterus semakin peka terhadap reaksi hormon-hormon reproduksi.
Kepekaan jaringan yang berlebihan terhadap reaksi hormon, mengakibatkan selsel penyusun jaringan tersebut menjadi imatur. Sesuai dengan teori genitoblast
yang menyatakan bahwa mioma berasal dari sel imatur.
2.4.3. Paritas dan gravida
Menurut Prawirohardjo (2008) paritas merupakan banyaknya kelahiran hidup
yang dipunyai oleh seorang wanita. Wanita dengan hamil dan melahirkan
mempunyai penurunan risiko terjadinya mioma uteri. Risiko menurun saat
melahirkan seorang anak sebesar 20% sampai 50% dan penurunun risiko

Universitas Sumatera Utara

terjadinya mioma uteri sebesar 70% sampai 80% bagi perempuan yang telah
melahirkan lebih dari empat kali (Bieber, et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Parker (2007) menyatakan bahwa peningkatan
jumlah paritas akan menurunkan risiko terjadinya mioma uteri. Mioma uteri
memiliki karakteristik yang sesuai dengan miometrium normal selama kehamilan,

termasuk peningkatan produksi matriks ekstraseluler dan peningkatan penyerapan
hormon steroid dan peptida. Miometrium selama postpartum kembali pada
keadaan normal, baik dalam ukuran dan proses aliran darah. Proses remodeling ini
berperan dalam involusi mioma yang responsibel.
Mioma uteri sering terjadi pada wanita nullipara atau wanita yang hanya
mempunyai satu anak. Hal ini disebabkan karena sekresi estrogen wanita hamil
sifatnya sangat berbeda dari sekresi oleh ovarium pada wanita yang tidak hamil
yaitu hampir seluruhya estriol, suatu estrogen yang relatif lemah daripada estriol
yang dihasilkan oleh ovarium. Hal ini berbeda dengan wanita yang tidak pernah
hamil atau melahirkan, estrogen yang ada di tubuhnya adalah murni estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium semuanya digunakan untuk proliferasi jaringan uterus.
2.4.4. Indeks massa tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara
berat badan (BB) dengan tinggi badan (TB). IMT dapat menjadi indikator atau
menggambarkan kadar adipositas (timbunan lemak) dalam tubuh seseorang.
(Grummer-Strawn, 2002).
Mioma uteri juga sering terjadi pada wanita yang kelebihan Indeks Massa
Tubuh. Hal ini terjadi karena wanita dengan kelebihan lemak tubuh menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


peningkatan konversi androgen adrenal kepada estrone dan menurunkan hormone
sex-building globulin. Hasilnya menyebabkan peningkatan estrogen yang
menyebabkan terjadinya mioma uteri. (Parker, 2007).
Faerstein (2004 dalam Bieber, 2006) mendemonstrasikan bahwa peningkatan
IMT secara umum meningkatkan risiko pertumbuhan dan perkembangan mioma
uteri. Peningkatan risiko sebesar 2,3 kali pada perempuan yang memiliki IMT
lebih besar dari 25,4 kg/�2 . Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh
Marshall et al mengemukakan bahwa risiko mioma uteri meningkat sebanding
dengan peningkatan IMT, serta peningkatan risiko berhubungan dengan
penambahan berat badan sejak usia 18 tahun.
Peningkatan IMT berperan dalam terjadinya moma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatase di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh,
dimana hal ini dapat meningkatkan prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.
2.4.5. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang dimaksudkan adalah riwayat penyakit yang pernah
dialami oleh keluarga yang dapat diturunkan secara genetik. Faktor ini pertama
kali dilaporkan oleh Winkler dan Hoffman tahun 1983. Mereka menyatakan
bahwa ada peningkatan sebesar 4,2 kali lipat pada penderita mioma uteri yang

mempunyai riwayat keluarga yang juga mengalami mioma uteri. Schwartz et al
melakukan penilaian pada 638 perempuan yang mengalami mioma uteri. Hasinya
didapati bahwa pasien yang memiliki riwayat keluarga lebih berisiko 2,5 kali
(Bieber, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.4.6. Pola menstruasi
Pola menstruasi meliputi siklus, lama dan volume menstruasi. Menstruasi
dikatakan normal apabila siklusnya antara 24-35 hari, lamanya 2-8 hari dan
volumenya tidak lebih dari 80 ml selama haid. (Prawirohardjo, 2008). Pola
menstruasi juga memiliki efek pada risiko mioma uteri. Perempuan kulit putih
yang mengalami menstruasi berat dan durasi siklus lebih panjang dari 6 hari
memiliki peningkatan risiko mioma uteri yang signifikan sebesr 1,4. Pola
menstruasi yang lebih dari biasanya akan mengakibatkan paparan estrogen lebih
lama yang akan meningkatkan insiden mioma uteri (Bieber, et al., 2006).
2.4.7. Penggunaan kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi adalah penggunaan suatu alat yang bertujuan untuk
mencegah pembuahan sehingga tidak terjadi kehamilan. Suatu penelitian di Afrika
Amerika menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pemakaian kontrasepsi
dengan kejadian mioma uteri. Dinyatakan bahwa pemakaian kontrasepsi telah
meningkatkan risiko pertumbuhan mioma uteri. Efek penggunaan kontrasepsi
mempengaruhi produksi hormon estrogen. Dimana estrogen merupakan hormon
yang juga mempengarui pertumbuhan mioma (Bieber, et al., 2006).
Reed (2004 dalam Bieber 2006) mempelajari efek dari penggunaan
kontrasepsi. Penggunaan alat pencegah pembuahan yang berkaitan dengan
hormon lebih dari 5 tahun berdampak pada peningkatan risiko sebesar 4 kali lipat
dalam insiden mioma uteri.
Ada beberapa jenis metode kontrasepsi yang diduga mempengaruhi kejadian
mioma uteri yaitu

Universitas Sumatera Utara

a) Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral atau biasa dikenal dengan pil KB mengandung hormon, baik
dalam kombinasi progesteron dan estrogen atau hanya progesteron saja. Pil KB
mencegah kehamilan dengan cara menghentikan ovulasi (pelepasan sel telur oleh
ovarium) dan menjaga kekentalan lendir servikal sehingga tidak dapat dilalui oleh
sperma. Efek samping penggunaan dari pil KB adalah berkurangnya kesuburan
secara permanen. Risiko terjadinya kanker leher rahim serta tumor pada area
uterus meningkat, terutama jika pil KB telah digunakan lebih dari 5 tahun.
b) Kontrasepsi implant
Kontrasepsi implant adalah kapsul plastik yang mengandung progesteron yang
bekerja dengan cara mencegah ovulasi dan menghalangi masuknya sperma
melalui lendir serviks yang kental. Kapsul ini dimasukkan ke bawah kulit lengan
atas.
c) Kontrasepsi suntikan
Sepertiga pemakai KB suntik tidak mengalami menstruasi pada 3 bulan
setelah suntikan pertama dan sepertiga lainnya mengalami perdarahan yang tidak
teratur selama lebih dari 11 hari setiap bulannya. Efek penggunaan kontrasepsi ini
berlangsung lama sehingga kesuburan mungkin baru kembali 1 tahun setelah
suntikan dihentikan.
d) IUD ( Intra Uterine Device, Spiral)
Terdapat duaa macam IUD, melepaskan progesteron (harus diganti setiap
tahun) dan melepaskan tembaga (efektif selama 10 tahun). Pemasangan IUD

Universitas Sumatera Utara

dipasang padasaat menstruasi. Jika kemungkinan terjadi iinveksi serviks maka
pemasangan IUD ditunda sampai infeksi mereda.
2.5.

Komplikasi mioma uteri

Berikut adalah komplikasi yang dapat terjadi pada mioma uteri, yaitu:
Degenerasi ganas adalah perubahan mioma uteri yang menjadi leimiosarkoma.
Keganasan umumnya ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah
diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar
dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
Torsi (putaran tangkai) adalah sarang mioma yang bertangkai yang mengalami
putaran, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan
demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan,
gangguan akut tidak tejadi.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena
gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang dilahirkan
hingga perdarahan berupa metroargia atau menoragia disertai leukore dan
gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri (Prawirohardjo, 2008).
2.6.

Pemeriksaan penunjang

2.6.1. Histerosalfingografi (HSG)
Histerosalfingografi (HSG) merupakan alat yang biasa digunakan untuk
melihat penyempitan pada tuba. Alat ini sering digunakan untuk mengevaluasi
kesuburan pada pasien yang memiliki peningkatan risiko mengalami mioma uteri.
Moma uteri dapat dideteksi oleh HSG jika terletak pada kavum uteri. Alat ini juga
memiliki tingkat false positif yang tinggi, misalnya suatu mioma didiagnosa

Universitas Sumatera Utara

mioma submukosa padahal mioma itu adalah intramural yang tumbuh sampai
endometrium. Hal ini terjadi karena alat hanya mampu membedakan perubahan
pada kavum uteri dibandingkan dengan letak mioma yang sesungguhnya.
Pemeriksaan ini sederhana dalam pengoperasiannya, namun pemeriksaan ini
bersifat invasif dan menimbulkan ketidaknyamanan. HSG bukan pemeriksaan
optimal untuk evaluasi uterus yang memiliki mioma karena alat ini tidak dapat
memberikan informasi mengenai mioma yang letaknya di luar kavum uteri
(Bieber, et al., 2006).
2.6.2. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dilakukan secara transabdominal dan transvaginal. Gambaran
transabdominal memberikan lapangan pandang yang lebih luas dan pemeriksaan
ini kurang invasif, tetapi tidak dapat memberikan gambaran mioma yang
berukuran kurang dari 1 cm. Pemeriksaan secara transvaginal memberikan
gambaran dengan resolusi lebih tinggi, informasi lokasi mioma, bahkan dengan
ukuran 4-5 mm. Akan tetapi, pemeriksaan ini mengalami penurunan sensivitas
dalam mendeteksi mioma subserosa yang bertangkai atau yang terletak di sebelah
atas abdomen karena mioma tersebut di luar lapangan pandang dari pemeriksaan
ini. Pemeriksaan ultrasonografi terhadap mioma uteri dapat bervariasi berdasarkan
lokasi, ukuran, rasio, jaringan ikat terhadap jaringan otot polos, dan derajat
kalsifikasi. Mioma uteri yang mengalami perubahan degenerasi bisa mempunyai
gambaran kistik, hipoekoik, atau daerah yang dipenuhi cairan bersama dengan
daerah yang mengalami nekrosis. Secara umum mioma ditandai dengan adanya

Universitas Sumatera Utara

massa yang besar, berbatas tegas, ekogenik, dan melingkar di dalam uterus
(Bieber, et al,. 2006).
2.6.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging merupakan teknik perincian yang paling tepat
dalam menegakkan diagnosa mioma uteri karena akurasinya dalam mendeteksi
dan melokalisasi mioma uteri. Selain itu, MRI dapat membantu dalam mendeteksi
suplai darah kolateral ovarium pada mioma uteri. Hal ini adalah informasi khusus
yang berguna bagi pasien yang menjalankan embolisasi arteri uterus (Bieber, et
al., 2006).
2.6.4. Histeroskopi
Pemeriksaan histeroskopi untuk mioma uteri merupakan pemeriksaan gold
standard. Histeroskopi memberitahukan lokasi akurat mioma submukosa dan
batas yang jelas dari mioma bertangkai dan polip. Pemeriksaan ini juga dapat
melihat distorsi endometrium akibat mioma intramural. Manfaat pemeriksaan ini
meliputi visualisasi langsung, tindakan terapi yang terus menerus dan komplikasi
yang minimal. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah ketidakmampuan dalam
mendeteksi pertumbuhan intramiometrial (Bieber, et al., 2006).
2.7.

Penatalaksanaan mioma uteri

2.7.1. Obat anti-inflamasi nonsteroid
Obat anti-inlamasi non steroid dapat menurunkan perdarahan uterus abnormal,
tetapi tidak dapat menghentikan menorrhagia akibat mioma uteri. Obat ini tidak
dapat menurunkan volume dan pertumbuhan mioma uteri (Bieber, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

2.7.2. Agonis gonadotropin-releasing hormon (GnRH)
Agonis GnRH merupakan bentuk terapi obat-obatan yang biasa digunakan
untuk menurunkan gejala-gejala akibat mioma uteri. Obat ini memberikan
pengaruh dengan menciptakan keadaan hipoestrogen yang menghambat
pertumbuhan mioma uteri (Konvacs, 2010).
2.7.3. Emboloterapi
Emboloterapi merupakan teknik pengobatan mioma uteri dengan cara
melakukan embolisasi atau penyumbatan pembuluh darah yang mendarahi mioma
uteri secara selektif. Tindakan ini dapat menurunkan volume, bahkan menjadikan
mioma uteri nekrosis irreversibel (Bieber, et al., 2006).
2.7.4. Miomektomi vaginal
Miomektom adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus. Biasanya dilakukan pada mioma uteri multipel dan memiliki gejala yang
berat. Ada beberapa kriteria preoperatif yang harus dipenuhi, yaitu ukuran uterus
kurang atau sama dengan ukuran usia 16 minggu, mobilisasi uterus yang bagus,
akses vagina yang adekuat (Breech, 2003).
2.7.5. Histerektomi
Histerektomi merupakan tindakan operatif yang memberikan kesembuhan
total terhadap pasien mioma uteri. Ada beberapa jenis histerektomi yang sering
dilakukan, yaitu histerektomi vaginal, abdominal, dan laparoskopi (Breech, 2003).

Universitas Sumatera Utara