Gambaran Status Gizi Lansia di Desa Suka Makmur Kecamatan sungai Bahar Kabupaen Muaro Jambi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lanjut Usia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut undang-undang
nomor 4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun,
namun tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya
sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).
Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan lanjut
usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli,2009).
Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (Budi,1999). Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4), undangundangnomor 13 tahun 1998 tentang kesehatan pendidikan dikatakan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai
dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2004).Batasanbatasan pada lansia menurut WHO adalah middle age (usia pertengahan)
yaitu kelompok usia 45-59 tahun, elderly yaitu antara 60-74 tahun, old yaitu
antara 75-90 tahun, very old yaitu lebih dari 90 tahun.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia
membuat
pengelompokkan lansia menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertengahan
umur adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan lansia
yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54
7
Universitas Sumatera Utara
8
tahun).Kelompok usia dini adalah kelompok dalam masa prasenium,
yaitukelompok yang mulai memasuki lansia (55-64 tahun) dan kelompok
lansia dengan risiko tinggi ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun
atau kelompok lansia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita
penyakit berat atau cacat.
2.2. Perubahan-perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial
dan psikologis. Perubahan fisik yang terjadi pada sel adalah jumlah sel
berkurang, ukuran membesar, cairan intraseluler menurun. Pada sistem
kardiovaskular katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh
darah menurun serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat. Pada sistem respirasi otot-otot
pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,
kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, kemampuan
batuk menurun.
Sistem persarafan pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun
serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang
berhubungan dengan stress. Pada sistem muskuloskeletal cairan tulang
menurun/mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis) dan atrofi otot.
Sistem gastrointestinal esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar
menurun dan peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun
Universitas Sumatera Utara
9
serta berkurangnya produksi hormon dan enzim. Pada sistem pendengaran
membran timfani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran.
Pada sistem penglihatan, respon terhadap sinar menurun, akomodasi
menurun dan lapangan pandang menurun. Mengalami penurunan elastisitas
pada kulit serta mengalami penurunan memori. Perubahan sosial yang
terjadi pada lansia beberapa diantaranya adalah perubahan peran dimana
lansia mengalami kesepian ketika ditinggal pasangannya, berada di rumah
terus-menerus akan membuat lansia cepat pikun, berkurang aktivitas
sosialnya akibat penurunan aktivitas. Perubahan psikologis pada lansia
meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan,
takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan.
2.3.Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pada Lansia
Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi lansia dalam
pemenuhan gizi adalah :
1. Usia
Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan
lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral
meningkat. Hal ini dikarenakan ketiganya berfungsi sebagai antioksidan
untuk
melindungi
sel-sel
tubuh
dari
radikal
bebas
(Fatmah,2010).Semakin tinggi usia lansia maka akan semakin rentan
mengalami masalah kesehatan karena
adanya faktor-faktor penuaan.
Beberapa penurunan fungsi yang terkait dengan proses pencernaan lansia
Universitas Sumatera Utara
10
adalah menurunnya indra pengecap dan penciuman, tanggalnya gigi,
kesulitan mengunyah dan menelan, dan penurunan asam lambung
(Fatmah, 2010).
2. Jenis kelamin
Fatmah (2010) menjelaskan bahwa laki-laki lebih banyak
memerlukan kalori, protein, dan lemak. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik pada laki-laki dan perempuan.
3. Perawatan Mulut Yang Tidak Adekuat
Perawatan mulut yang tidak adekuat dapat mempengaruhi lansia
dalam
memenuhi
kebutuhan
gizinya.
Ketidakbersihan
mulut
menyebabkan gigi dan gusi kerap terinfeksi, yang akan mempengaruhi
lansia dalam merasakan cita rasa makanan. Faktor yang menyebabkan
tidak adekuatnya perawatan gigi adalah tingkat ekonomi yang rendah,
tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya transportasi, kurangnya
perawatan gigi dan mahalnya pelayanan perawatan gigi (Miller, 2004).
4. Gangguan fungsional dan proses penyakit
Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan
terserang penyakit. Penyakit-penyakit tertentu sering menyebabkan
keadaan gizi menjadi buruk. Misalnya penyakit diabetes melitus
umumnya mempunyai berat badan dibawah batas normal, diakibatkan
oleh defisiensi zat besi.Penyakit lain yang diderita lansia adalah
osteoporosis yang mengalami defisiensi kalsium yang berlangsung secara
perlahan-lahan, penyakit hipertensi yang cenderung mengalami defisiensi
Universitas Sumatera Utara
11
vitamin c, penyakit artritis yang paling umum dialami oleh lansia
selanjutnya diikuti gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan.Hal
ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita seorang lansia sangat
berpengaruh terhadap ketersediaan dan kebutuhan zat gizi di dalam
tubuhnya (Wirakusumah, 2001).
5. Efek pengobatan
Bertambahnya usia identik dengan ketergantungan obat. Pada
dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki kondisi kesehatan dan
meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak pengobatan pun dapat
mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek ini timbul karena
obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi proses penyerapan zat gizi
(Wirakusumah, 2001). Selain itu, obat yang dikonsumsi dapat mengubah
nafsu makan, rasa atau bau yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi
ataupun memiliki efek samping seperti mual, muntah, atau diare
(Heimburger, 2006).
6. Gaya hidup
Kepercayaan terhadap obat-obat terlarang dapat dilhat dari 11%
populasi usia dewasa termasuk beberapa diantaranya adalah lansia,
dimana jumlahnya sebanyak 25% sampai 50% seluruhnya adalah
pengguna obat-obatan. Lansia yang mengkonsumsi obat-obat terlarang
memiliki efek terhadap status nutrisi lansia. Efek yang terjadi
yaitu
menurunkan selera makan lansia, terganggunya kemampuan indra perasa
Universitas Sumatera Utara
12
dan pembau, terganggunya proses pencernaan, absorbsi. Metabolisme,
dan eksresi nutrisi.
Kebiasaan selanjutnya adalah penyalahgunaan alkohol. Beberapa
lansia menggunakan alkohol akibat merasa bosan, kesepian, dan
depresi.Penyalahgunaan
alkohol
menyebabkan
defisiensi
nutrisi,
terutama asam folat dan thiamin mengalami perubahan (Dudek, 1997).
Tidak hanya mengkonsumsi obat-batan dan alkohol, merokok, tidak
berolahraga, pola makan yang tidak baik juga sangat mempengaruhi
status gizi pada lansia.
7. Faktor psikososial
Faktor psikososial dapat mempengaruhi selera dan pola makan
pada lansia. Stress dan cemas dapat mempengaruhi proses sistem
pencernaan melalui sistem saraf autonomi. Depresi, masalah memori
dan penurunan kognitif lainnya juga dapat mempengaruhi pola makan
dan kemampuan dalam menyiapkan makanan (Miller, 2004).Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Elva Simanjuntak pada lansia yang
berada di pedesaan di daerah porsea menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara gangguan suasana hati dengan status
gizi. Analisis statistik diperoleh dua nilai OR yaitu nilai OR untuk
status gizi kurang sebesar 5,412 (95% CI: 1,765-16,595) artinya lansia
yang mengalami gangguan suasana hati berisiko status gizi kurang
sebesar 5,412 kali lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak
mengalami gangguan suasana hati. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
13
Angraini (2013) juga
mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
antara depresi dengan status gizi dengan nilai p= 0,023.
8. Faktor sosial Ekonomi dan Budaya
Latar belakang suku, kepercayaan religius dan faktor budaya
yang kuat dapat mempengaruhi seseorang dalam mendefinisikan,
memilih, menyiapkan dan memakan makanan serta minuman. Faktor
budaya juga dapat mempengaruhi pola makan seseorang sehingga hal
ini memiliki hubungan dengan status kesehatan seseorang (Miller,
2004).Status ekonomi yang rendah juga akan mempengaruhi lansia
dalam memilih asupan dan jenis makanan yang akan dikonsumsi
bahkan lansia akan memilih satu kali makan dalam sehari.Latar
belakang pendidikan juga mempengaruhi lansia dalam memilih
makanan yang tepat untuk dikonsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Retno (2009) pada lansia yang
berada di Kelurahan Krobokan Kecamatan Sumatra Barat, Kotamadya
Semarang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh signifikan (p=0,000)
tingkat sosial ekonomi terhadap status gizi dengan rata-rata skor tingkat
sosial ekonomi sebesar 69,3% kontribusi tingkat sosial ekonomi
terhadap status gizi sebesar 32,2%. Hal ini menunjukkan bahwa status
sosial ekonomi mempengaruhi gizi lansia.
Universitas Sumatera Utara
14
9. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi seseorang dalam menikmati
makanan dan kemampuan untuk memperoleh dan mempersiapkan
makanannya. Banyak hambatan diidentifikasi dalam lingkungan
perawatan lansia seperti panti werdha, pelayanan sosial dan rumah
sakit. Lansia yang berada di ekonomi rendah cenderung berada di
rumah yang di bawah standar yang mungkin tidak memiliki perawatan
untuk menyimpan dan memasak makanan. Lansia yang dirawat di
rumah sakit juga akan mempengaruhi status nutrisinya. Hal ini
diakibatkan karena dibatasinya asupan diet serta fasilitas dan waktu
yang kurang mendukung.
2.4.Kebutuhan zat gizi pada Lansia
2.4.1. Kalori
Pada lansia kebutuhan kalori menurun sehubungan dengan
menurunnya BMR, penurunan aktivitas fisik, dan perubahan komposisi
tubuh. RDA menyatakan penurunan kalori pada usia 51 tahun sampai
75 tahun sebesar 10% , dan pada usia 75 tahun ke atas sebesar 20-25%
(Dedek, 1997).
2.4.2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia.
Setiap 1 gram karbohidrat yang dikonsumsi menghasilkan energi
sebesar 4 kkal dan hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini
Universitas Sumatera Utara
15
kemudian akan digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai
fungsi-fungsinya seperti bernapas, kontraksi jantung dan otot, serta
untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik (Fatmah, 2010).Kebanyakan
lansia mengkonsumsi zat karbohidrat hanya 45-50% dari seharusnya
55-50% kalori total. Sebagian lansia menderita kekurangan laktase,
enzim yang berfungsi menghidrolisis laktosa. Ketiadaan proses
hidrolisis berakibat laktosa tidak bisa diserap. Laktosa dalam usus
kemudian dimetabolisasi oleh bakteri dan menghasilkan gas. Gas ini
berpotensi menimbulkan diare, kram, dan flatulens. Salah satu
gangguan yang sering kali dikeluhkan oleh lansia ialah sembelit.
Gangguan ini akan timbul manakala frekuensi pergerakan usus
berkurang yang akhirnya memperpanjang masa transit tinja. Semakin
lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras, dan
akhirnya membatu sehingga sulit dikeluarkan. Kejadian ini berpangkal
pada kelemahan tonus otot dinding saluran cerna akibat penuaan
(kegiatan fisik berkurang), serta reduksi asupan cairan dan serat
(Arisman,2010).
2.4.3. Protein
Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun dan
pemelihara sel. Pemeliharaan protein yang baik untuk lansia sangat
penting mengingat sintesis protein dalam tubuh tidak sebaik saat masih
muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti.
Dengan bertambahnya usia, perlu pemilihan makanan yang kandungan
Universitas Sumatera Utara
16
proteinnya bermutu tinggi dan mudah dicerna. Pakar gizi menganjurkan
kebutuhan protein lansia dipenuhi dari nilai biologis tinggi seperti telur,
ikan dan protein hewani lainnya dikarenakan kebutuhan asam amino
esensial meningkat pada usia lanjut.
2.4.4. Lemak
Lemak dalam tubuh berfungsi membantu dalam pengaturan
suhu, memberikan sumber energi cadangan, memudahkan penyerapan
vitamin yang larut dan mengurangi sekresi asam dan aktivitas otot
perut (Miller, 2004). Asupan lemak dibatasi sampai sebesar 30% dari
total energi, sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. RDA
untuk asam lemak esensial minimal sebanyak 2-3%. Pembatasan
lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan karena
kandungan asam lemak esensial berkurang.
Kelebihan dan kekurangan lemak yang diwujudkan dalam
bentuk kadar kolestrol darah, berdampak sama buruknya dengan
angka kematian tertinggi. Peningkatan kadar kolestrol dapat
mempertinggi risiko terkena penyakit jantung koroner (Arisman,
2010). Untuk menurunkan kadar kolestrol dalam darah dapat
diturunkan dengan mengkonsumsi jenis lemak tak jenuh. Beberapa
makanan yang mengandung lemak tak jenuh adalah bawang putih,
tempe, anggur, apel, alpukat dan ikan.
Universitas Sumatera Utara
17
2.5. Masalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansia merupakan rangkaian proses masalah gizi
sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Selain itu ada pula
masalah gizi yang terjadi pada lansia akibat terjadinya proses penuaan
(Depkes RI, 2001).
Banyak hal yang mempengaruhi masalah gizi pada
lansia. Beberapa diantaranya yaitu penurunan fungsi fisik yang dialami lansia,
asupan gizi yang salah, dan ketidakmampuan tubuh memanfaatkan asupan
gizi.Bentuk masalah gizi yang sering dijumpai pada lansia, adalah sebagai
berikut :
2.5.1. Obesitas
Berbagai penelitian yang dilakukan para pakar menunjukkan
bahwa maalah gizi pada lansia sebagian besar merupakan masalah gizi
berlebih dan kegemukan/obesitas. Keadaan ini disebabkan karena pola
konsumsi yang berlebihan, terutaa makanan yang banyak mengandung
lemak, protein, dan karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Kegemukan biasanya terjadi sejak usia muda, bahkan sejak anak-anak.
Proses metabolisme yang menurun pada lansia bila tidak diimbangi
dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah makanan,
maka kalori yang berlebihan akan diubah menjadi lemak yang
mengakibatkan kegemukan.
Banyak faktor penyebab terjadinya kegemukan baik dari faktor
dalam maupun dari faktor luar. Prevalensi gizi lebih pada lansia di
Indonesia adalah sebesar 20,6% (Depkes RI, 1997). Hasil survey Indeks
Universitas Sumatera Utara
18
Massa Tubuh orang dewasa yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan di kota besar di Indonesia pada tahun 1997 menunjukkan
bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas di kalangan penduduk > 55
tahun sebesar 15,3% pada laki-laki dan 25,9% pada wanita. Penelitian
yang dilakukan oleh aryana et al, 2011 menyatakan prevalensi obesitas
sentral pada subjek dengan PJK usia lanjut didapatkan sangat tinggi
yaitu 51,1%. Masalah gizi lebih lebih atau kegemukan akan memacu
timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus, gout (rematik), gijal, sirosis hati
dan kanker.
2.5.2. Malnutrisi
Prevalensi gizi kurang di kalangan lansia cukup tinggi, yaitu
sebesar 10-50%. Kekurangan gizi pada lansia ditandai dengan
penurunan berat badan akibat
kurangnya nafsu makan sehingga
pemenuhan kalori yang dibutuhkan tidak tercukupi. Bila konsumsi
kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, hal tersebut menyebabkan
berat badan berkurang dari normal. Apabila kondisi ini disertai
kekurangan protein, kerusakan sel dapat terjadi dan tidak dapat
diperbaiki.
Akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit
menurun, atau mudah terkena infeksi pada organ tubuh yang vital.
Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya gizi pada lansia adalah
keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-penyakit kronis, pengaruh
Universitas Sumatera Utara
19
psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya
energi.Banyak penelitian yang dilakukan terkait masalah status gizi
yang dialami lansia. Penelitian yang dilakukan oleh situmorang et al,
2014 menunjukkan bahwa presentasi lansia yang mengalami gizi
kurang adalah sebesar 12%.
penelitian yang dilakukan oleh kaisare at al, (2010) yang
menyatakan bahwa prevalensi malnutrisi di dunia adalah 22,8%.
Penelitian ini dilakukan pada 4 tempat yang berbeda, yaitu rumah
sakit dengan kejadian malnutrisi sebesar 39%, panti jompo sebesar
14%, masyarakat 6%, dan tempat rehabilitasi 50%. Penelitian yang
dilakukan di panti-panti werdha di Amerika menemukan lebih dari
sepertiga lansia menderita gizi kurang. Hasil penelitian yang
dilakukan Enny et al (2006) di Kota Padang menunjukkan status gizi
kurang pada lansia > 60 tahun sekitar 25,9%. Penelitian Formayoza,
(2006) menunjukkan status gizi kurang sebanyak 12,5%.
2.6. Status gizi
Menurut Supariasa dan kawan-kawan (2002), status gizi adalah keadaan
dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi merupakan keadaan
kesehatan yang dihubungkan dengan penggunaan makanan di dalam tubuh.
Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat
Universitas Sumatera Utara
20
metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik dan
faktor yang
bersifat relatif yaitu, gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serat
(absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran dan
penghancuran (excretion dan destruction dari zat gizi tersebut dalam
tubuh).Penilaian gizi didefinisikan sebagai interprestasi informasi yang
diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi makanan, biokimia, antropometri
dan klinis pada seseorang atau sekelompok manusia.
Dalam penilian gizi ada dua
kegiatan yang dilakukan yaitu
pengukuran atau pengumpulan data dan interpretasi data. Sistem-sistem
dalam penilaian gizi dapat mengambil salah satu sistem dari tiga sistem
berikut, yaitu : survey, surveilence, dan screning (Riyadi, 2003). Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung dan pengukuran
tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan untuk
penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi 3 yaitu: survey
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002).
Fatmah (2010) menjelaskan penentuan status gizi pada lansia
berdasarkan World Health Organization(1999) dapat dikategorikan menjadi
gizi kurang (underweight), norml, gizi lebih, dan obesitas, sedangkan menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2005) status gizi lansia
dikategorikan mejadi gizi kurang, giz normal, dan gizi lebih. Status gizi
normal adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan antara asupan gizi dan
energi yang dikeluarkan oleh seseorang, status gizi kurang adalah keadaan
Universitas Sumatera Utara
21
dimana asupan gizi yang dikonsumsi seseorang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan sedangkan status gizi lebih
adalah keadaan terbalik dari status gizi kurang dimana asupan gizi yang
dikonsumsi lebih banyak dan energi yang dikeluarkan sedikit.
2.6.1. Pengukuran status gizi lansia
Pengukuran status gizi digunakan untuk menentukan status gizi,
mengidentifikasikan malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan
menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada
seseorang. Untuk mengukur status gizi lansia sebaiknya menggunakan
lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2003). Pengukuran status
gizi dapat melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan biokimia,
pemeriksaan biofisik, dan antropometri. Alat pengkajian lain yang dapat
digunakan untuk menentukan status gizi adalah MNA (The Mini
Nutritional Assesment).
2.6.1.1. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
atas perubahan-perubahan yang yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (Supervicial ephithelial tissue) seperti kulit,
mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Universitas Sumatera Utara
22
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis secara
cepat (rapid clinical surveys). Survey ini dirancang untuk
mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari
kekurangan salah satu atau lebih gizi.
Pemeriksaan klinis digunakan untuk mengetahui tingkat status
gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu
tanda (Sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
Pemeriksaan klinis (assesment clinic) secara umum terdiri dari
dua bagian,yaitu :
1. Medical History (Riwayat medis) yaitu catatan megenai
perkembangan penyakit
2. Pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala
gangguan gizi baik sign (gejala yang dapat diamati) dan
symptom (gejala yang tidak dapat diamati, tetapi dirasakan
oleh penderita gangguan gizi) (Supariasa, 2002).
2.6.1.2. Pemeriksaan Biokimia
Penilaian
status
gizi
dengan
biokimia
adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
23
biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang
lebih tepat dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan
pemeriksaan
lain.
Pemeriksaan
biokimia
yanga
sering
digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai zat
gizi dan substansi kimia lain dalam darah dan urine. Hasil
pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar normal yang
telah ditetapkan (Supariasa, 2002).
2.6.1.3. Pemeriksaan Biofisik
Penilaian status gizi dengan biofisik termasuk penilaian
status gizi secara langsung. Penilaian stayus gizi dengan
biofisik adalah melihat dari kemampuan fungsi jaringan dan
perubahan struktur. Tes kemampuan jaringan meliputi
kemampuan kerja dan energi expenditure sert adaptasi sikap.
Tes perubahan struktur dapat dilihat secara klinis seperti
pengeran kuku, pertumbuhan rambut tidak normal dan
menurunnya elastisitas kartilago. Penilaian status gizi secara
biofisik sangat mahal, memerluan tenaga yang profesional dan
dapat diterapkan dalam keadaan tertentu saja. Penilaian secara
biofisik dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu uji radiologi,
tes fungsi fisik, dan sitologi.
2.6.1.4. Antropometri
Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan
dalam masyarakat adalah antopometri. Antropometri berasal
Universitas Sumatera Utara
24
dari kata antrhopos dan metros. Antrhopos artinya tubuh dan
metros artinya ukuran. Antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi
lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu
Tinggi Badan (TB), Berat Badan (BB), Lingkar Lengan Atas
(LLA), dan ketebalan kulit trisep/skinfold.
1. Berat Badan
Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh.
Berat badan
merupakan pengukuran kasar terhadap berat jaringan
tubuh dan cairan tubuh (Fatmah, 2010). Pengukuran berat
badan sangat menentukan dalam menilai status gizi
seseorang. Dalam keadaan normal, dimana keadaan
kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang
mengikuti
umur.
Sebaliknya
dalam
keadaan
yang
abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat
badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat
dari keadaan normal (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
25
2. Tinggi Badan
Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada
keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Namun, pada lansia akan mengalami
penurunan tinggi badan seiring dengan pertambahan usia.
Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya
komponen cairan tubuh sehingga duskus invertebralis
relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih
pipih. Lansia mengalami kifosis, sehingga tinggi dan tegak
lurusnya tulang punggung berkurang, lansia mengalami
osteoporosis sehingga akan mudah mengalami fraktur
vertebra yang mengakibatkan tinggi badan berkurang
(Nugroho, 2008).
Meiner (2006) juga menjelaskan bahwa tinggi
badan lansia yang tidak dapat berdiri tanpa bantuan dapat
diperkirakan dengan mengukur tinggi lutut. Oleh sebab
itu, dianjurkan menggunakan ukuran tinggi lutut (knee
height) untuk menentukan secara pasti tinggi badan
seseorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang, kecuali jika
terdapat
fraktur
tungkai
bawah
(Nugroho,
2008).
Nomogram atau konversi tinggi badan dari tinggi lutut
untuk prediksi tinggi badan pria adalah 56,343 + 2,102 ×
Universitas Sumatera Utara
26
tinggi lutut sedangkan untuk prediksi tinggi badan wanita
adalah 62,682 + 1,889 × tinggi lutut (Fatmah,2010).
3. Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang
keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit.
Lingkar lengan atas merupkan parameter antropometri
yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga
yang bukan profesional. Pengukuran LLA adalah suatu
cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein.
LLA banyak digunakan untuk pengukuran status gizi
(Supariasa, 2002).
Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk
memantau perubahan status gizi dala jangka pendek.
Pengukuran LLA dilakukan untuk menilai apakah
seseorang mengalami kekurangan energi kronik atau tidak.
Ambang batas LLA dengan risiko kekurangan energi
kronik di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LLA
kurang dari 23,5 cm artinya orang tersebut beresiko
mengalami kekurangan energo kronik (Supariasa, 2002).
4. Tebal Lipatan Kulit/Pengukuran skinfold
Pengukuran lemak tubuh melalui pengukran lemak
bawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian
tubuh.Bagian tersebut terdapat pada bagian atas (triceps
Universitas Sumatera Utara
27
dan biceps), lengan bawah (forearm), tulang belikat
(subscapular), di tengah garis ketiak (midaxillary), sisi
dada (pectoral), perut (abdominal), suprailiaka, paha, dan
tempurung lutut (suprapatelar).Lemak tubuh dapat diukur
secara absolut dinyatakan dalam kilogram maupun secara
relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total.
Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi tergantung dari jenis
kelamin dan umur. Umumnya lemak bawah kuliat ntuk
pria 3,1 kg dan pada wanita 5,1 kg.
2.6.2. Penentuan Status Gizi
Status
gizi
seseorang
dapat
ditentukan
dengan
membandingkan hasil yang di dapat dari pemeriksaan dengan nilai
standar yang ada. Selain itu untuk penentuan status gizi dapat juga
menggunakan hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Khusus
untuk lansia dalam menentukan tatus malnutrisi dapat ditentukan
dengan form skrining yang disebut dengan The Mini Nutritional
Assesment (IMT).
2.6.2.1. Indeks Massa Tubuh
Indeks kekurangan dan kelebihan gizi pada orang
dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting,
karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu,
juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Salah satu cara
adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau
Universitas Sumatera Utara
28
normal. Pada usia dewasa, penilaian status gizi ditentukan
melalui indeks BB dan TB yang disebut sebagai IMT.
IMT adalah indeks yang diperoleh dari perhitungan BB
dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat dari TB dalam
meter (Supariasa dkk, 2002) :
IMT =
����� ����� (��)
������ ����� (�)� ������ ����� (�)
IMT merupakan salah satu alat untuk memantau status gizi
orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan
dan kelebihan berat badan.Kategori ambang batas IMT untuk
indonesia menurut Depkes, 1994 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks massa tubuh
menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005
Status Gizi
IMT
Gizi kurang
Gizi normal
< 18,5 ��/�2
Gizi lebih
>25 kg/�2
18,5-25 kg/�2
(Sumber: Fatimah, (2010). Gizi usia lanjut. Jakarta: penerbit Erlangga)
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh
menurut WHO
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat < 17,0
berat
Gizi kurang
Kekurangan berat badan tingkat 17,0 – 18,5
ringan
> 18,5 – 25,0
Gizi normal
Kelebihan
Gizi lebih
berat
badan
tingkat > 25,0 – 27,0
ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
> 27,0
(Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2005)
2.6.2.2. The Mini Nutritional Assesment (MNA)
The Mini Nutritional Assesment (MNA) adalah alat
pengkajan skrining nutrisi yang paling cocok untuk lansia
karena dapat cepat dan mudah untuk digunakan dan secara
efektif dapat merefleksikan keadaan status gizi pada lansia.
MNA secara luas digunakan dalam berbagai pengaturan
sebagai alat penilaian yang dapat dipercaya dan divalidasi
untuk mengidentifikasi kekurangan gizi atau berisiko gizi
buruk pada lansia (Miller,2004).
Universitas Sumatera Utara
30
MNA merupakan alat skrining yang telah divalidasi secara
khusus untuk lansia, memiliki sensitifitas yang tinggi,
spesifik, dan dapat diandalkan, secara luas dapat digunakan
sebagai metode skrining dan telah direkomendasikan oleh
organisasi ilmiah dan klinis baik nasional maupun
internasional. MNA juga mudah dan cepat untuk digunakan,
tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan
yang ada, tidak membutuhkan pelatihan khusus, tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium (Mini Nutritional
Assesment, 2011).
MNA memiliki dua bentuk yaitu full MNA dan
Short form MNA.Full MNA mencakup 18 item pertanyaan
yang dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pengkajian
antropometri,
pengkajian
umum,
pengkajian
pola
makan/diet, pengkajian subjektif. Pengkajian antropometri
meliputi IMT yang dihitung dari berat badan dan tinggi
badan, kehilangan berat badan, lingkar lengan atas dan
lingkar betis.
Pengkajian
antropometri
berhubungan
dengan
berbagai macam pengukuran yang digunakan untuk
mengukur status gizi dan berbagai ketidakseimbangan
antara asupan protein dan energi. Penelitian yang dilakukan
oleh Fatmah (2005) pada 6 panti di Jakarta memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
31
hasil antropometri yaitu sebanyak 43% lansia mengalami
gizi kurang. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat
bahwa pengukuran antropometri
dapat digunakan untuk
melihat status gizi pada lansia. Pengkajian umum meliputi
gaya hidup, obat-obataan, mobilisasi dan adanya tanda dari
depresi atau demensia.
Melihat
kondisi
umum
tersebut
kita
dapat
mengetahui faktor-faktor penyebab yang membuat lansia
mengalami masalah gizi, misalnya efek samping dari obatobatan yang dikonsumsi lansia dapat mempengaruhi lansia
dalam memenuhi asupan gizi nya. Pengkajian pola
makan/diet meliputi jumlah makanan, asupan makanan dan
cairan serta kemandirian dalam makan. Pengkajian pola
makan pada lansia penting untuk dilakukan. Seperti
penelitian yang dilakukan Maulinda menunjukkan bahwa
apabila pola makan berada dalam kategori baik maka pada
umunya status gizi juga berada dalam kategori normal.
Pengkajian terakhir adalah pengkajian subjektif
yang meliputi persepsi individu dari kesehatan dan status
gizinya. pengkajian subjektif dilakukan untuk melihat
persepsi lansia mengenai status gizi nya, karena dengan
mengetahui
persepsi
lansia,
kita
dapat
mengetahui
Universitas Sumatera Utara
32
bagaimana pengetahuan lansia terhadap status gizi dan
masalah-masalah gizi yang dialami. (Guigoz 2006).
Full MNA ini dapat dilengkapi dalam waktu kurang
dari 15 menit dan masing-masing jawaban memilki nilai
yang akan mempengaruhi nilai akhir, dimana nilai
maksimum akhir adalah 30. Batas nilai ambang dari full
MNA ini adalah nilai ≥ 24 mengindikasikan nutrisi baik,
nilai 17-23,5 mengidikasikan risiko malnutrisi dan ≤17
mengidikasikan malnutrisi (Guigoz 2006).Bentuk ke dua
dari The Mini Nutritional Assesment adalah Short form
MNA. Short form MNA telah dikembangkan dan divalidasi
untuk memungkinkan
2 proses skrining pada populasi
berisiko rendah yang mempertahankan validitas dan akurasi
full MNA (Guigoz, 2006).
Short form MNA terdiri dari 6 pertanyaan berupa
skrining dimana masing-masing pertanyaan memiliki nilai
yang berbeda-beda untuk setiap jawabannya. Setelah
mendapatkan nilai dari setiap pertanyaan maka nilai
tersebut dijumlahkan. Nilai maksimal dari Short form MNA
adalah 14. Jika total nilai yang didapat ≥ 12 menunjukkan
bahwa status gizi orang tersebut normal atau tidak berisiko
dan tidak membutuhkan pengkajian lebih lanjut.Namun,
jika nilai yang diperoleh ≤ 11 menunjukkan bahwa kondisi
Universitas Sumatera Utara
33
orang tersebut mungkin malnutrisi sehingga membutuhkan
pengkajian lebih lanjut dengan melengkapi full form MNA
(MNA Mini Nutritional Assesment, 2011).Dari beberapa
bentuk pengukuran gizi, peneliti menggunakan MNA
sebagai alat untuk mengetahui gambaran status gizi
khususnya lansia.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lanjut Usia
Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah
seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut undang-undang
nomor 4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun,
namun tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya
sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).
Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan lanjut
usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli,2009).
Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (Budi,1999). Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4), undangundangnomor 13 tahun 1998 tentang kesehatan pendidikan dikatakan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai
dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2004).Batasanbatasan pada lansia menurut WHO adalah middle age (usia pertengahan)
yaitu kelompok usia 45-59 tahun, elderly yaitu antara 60-74 tahun, old yaitu
antara 75-90 tahun, very old yaitu lebih dari 90 tahun.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia
membuat
pengelompokkan lansia menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertengahan
umur adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan lansia
yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54
7
Universitas Sumatera Utara
8
tahun).Kelompok usia dini adalah kelompok dalam masa prasenium,
yaitukelompok yang mulai memasuki lansia (55-64 tahun) dan kelompok
lansia dengan risiko tinggi ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun
atau kelompok lansia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita
penyakit berat atau cacat.
2.2. Perubahan-perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial
dan psikologis. Perubahan fisik yang terjadi pada sel adalah jumlah sel
berkurang, ukuran membesar, cairan intraseluler menurun. Pada sistem
kardiovaskular katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa
darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh
darah menurun serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat. Pada sistem respirasi otot-otot
pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun,
kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, kemampuan
batuk menurun.
Sistem persarafan pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun
serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang
berhubungan dengan stress. Pada sistem muskuloskeletal cairan tulang
menurun/mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis) dan atrofi otot.
Sistem gastrointestinal esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar
menurun dan peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun
Universitas Sumatera Utara
9
serta berkurangnya produksi hormon dan enzim. Pada sistem pendengaran
membran timfani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran.
Pada sistem penglihatan, respon terhadap sinar menurun, akomodasi
menurun dan lapangan pandang menurun. Mengalami penurunan elastisitas
pada kulit serta mengalami penurunan memori. Perubahan sosial yang
terjadi pada lansia beberapa diantaranya adalah perubahan peran dimana
lansia mengalami kesepian ketika ditinggal pasangannya, berada di rumah
terus-menerus akan membuat lansia cepat pikun, berkurang aktivitas
sosialnya akibat penurunan aktivitas. Perubahan psikologis pada lansia
meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan,
takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan.
2.3.Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pada Lansia
Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi lansia dalam
pemenuhan gizi adalah :
1. Usia
Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan
lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral
meningkat. Hal ini dikarenakan ketiganya berfungsi sebagai antioksidan
untuk
melindungi
sel-sel
tubuh
dari
radikal
bebas
(Fatmah,2010).Semakin tinggi usia lansia maka akan semakin rentan
mengalami masalah kesehatan karena
adanya faktor-faktor penuaan.
Beberapa penurunan fungsi yang terkait dengan proses pencernaan lansia
Universitas Sumatera Utara
10
adalah menurunnya indra pengecap dan penciuman, tanggalnya gigi,
kesulitan mengunyah dan menelan, dan penurunan asam lambung
(Fatmah, 2010).
2. Jenis kelamin
Fatmah (2010) menjelaskan bahwa laki-laki lebih banyak
memerlukan kalori, protein, dan lemak. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik pada laki-laki dan perempuan.
3. Perawatan Mulut Yang Tidak Adekuat
Perawatan mulut yang tidak adekuat dapat mempengaruhi lansia
dalam
memenuhi
kebutuhan
gizinya.
Ketidakbersihan
mulut
menyebabkan gigi dan gusi kerap terinfeksi, yang akan mempengaruhi
lansia dalam merasakan cita rasa makanan. Faktor yang menyebabkan
tidak adekuatnya perawatan gigi adalah tingkat ekonomi yang rendah,
tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya transportasi, kurangnya
perawatan gigi dan mahalnya pelayanan perawatan gigi (Miller, 2004).
4. Gangguan fungsional dan proses penyakit
Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan
terserang penyakit. Penyakit-penyakit tertentu sering menyebabkan
keadaan gizi menjadi buruk. Misalnya penyakit diabetes melitus
umumnya mempunyai berat badan dibawah batas normal, diakibatkan
oleh defisiensi zat besi.Penyakit lain yang diderita lansia adalah
osteoporosis yang mengalami defisiensi kalsium yang berlangsung secara
perlahan-lahan, penyakit hipertensi yang cenderung mengalami defisiensi
Universitas Sumatera Utara
11
vitamin c, penyakit artritis yang paling umum dialami oleh lansia
selanjutnya diikuti gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan.Hal
ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita seorang lansia sangat
berpengaruh terhadap ketersediaan dan kebutuhan zat gizi di dalam
tubuhnya (Wirakusumah, 2001).
5. Efek pengobatan
Bertambahnya usia identik dengan ketergantungan obat. Pada
dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki kondisi kesehatan dan
meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak pengobatan pun dapat
mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek ini timbul karena
obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi proses penyerapan zat gizi
(Wirakusumah, 2001). Selain itu, obat yang dikonsumsi dapat mengubah
nafsu makan, rasa atau bau yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi
ataupun memiliki efek samping seperti mual, muntah, atau diare
(Heimburger, 2006).
6. Gaya hidup
Kepercayaan terhadap obat-obat terlarang dapat dilhat dari 11%
populasi usia dewasa termasuk beberapa diantaranya adalah lansia,
dimana jumlahnya sebanyak 25% sampai 50% seluruhnya adalah
pengguna obat-obatan. Lansia yang mengkonsumsi obat-obat terlarang
memiliki efek terhadap status nutrisi lansia. Efek yang terjadi
yaitu
menurunkan selera makan lansia, terganggunya kemampuan indra perasa
Universitas Sumatera Utara
12
dan pembau, terganggunya proses pencernaan, absorbsi. Metabolisme,
dan eksresi nutrisi.
Kebiasaan selanjutnya adalah penyalahgunaan alkohol. Beberapa
lansia menggunakan alkohol akibat merasa bosan, kesepian, dan
depresi.Penyalahgunaan
alkohol
menyebabkan
defisiensi
nutrisi,
terutama asam folat dan thiamin mengalami perubahan (Dudek, 1997).
Tidak hanya mengkonsumsi obat-batan dan alkohol, merokok, tidak
berolahraga, pola makan yang tidak baik juga sangat mempengaruhi
status gizi pada lansia.
7. Faktor psikososial
Faktor psikososial dapat mempengaruhi selera dan pola makan
pada lansia. Stress dan cemas dapat mempengaruhi proses sistem
pencernaan melalui sistem saraf autonomi. Depresi, masalah memori
dan penurunan kognitif lainnya juga dapat mempengaruhi pola makan
dan kemampuan dalam menyiapkan makanan (Miller, 2004).Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Elva Simanjuntak pada lansia yang
berada di pedesaan di daerah porsea menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara gangguan suasana hati dengan status
gizi. Analisis statistik diperoleh dua nilai OR yaitu nilai OR untuk
status gizi kurang sebesar 5,412 (95% CI: 1,765-16,595) artinya lansia
yang mengalami gangguan suasana hati berisiko status gizi kurang
sebesar 5,412 kali lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak
mengalami gangguan suasana hati. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
13
Angraini (2013) juga
mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
antara depresi dengan status gizi dengan nilai p= 0,023.
8. Faktor sosial Ekonomi dan Budaya
Latar belakang suku, kepercayaan religius dan faktor budaya
yang kuat dapat mempengaruhi seseorang dalam mendefinisikan,
memilih, menyiapkan dan memakan makanan serta minuman. Faktor
budaya juga dapat mempengaruhi pola makan seseorang sehingga hal
ini memiliki hubungan dengan status kesehatan seseorang (Miller,
2004).Status ekonomi yang rendah juga akan mempengaruhi lansia
dalam memilih asupan dan jenis makanan yang akan dikonsumsi
bahkan lansia akan memilih satu kali makan dalam sehari.Latar
belakang pendidikan juga mempengaruhi lansia dalam memilih
makanan yang tepat untuk dikonsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Retno (2009) pada lansia yang
berada di Kelurahan Krobokan Kecamatan Sumatra Barat, Kotamadya
Semarang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh signifikan (p=0,000)
tingkat sosial ekonomi terhadap status gizi dengan rata-rata skor tingkat
sosial ekonomi sebesar 69,3% kontribusi tingkat sosial ekonomi
terhadap status gizi sebesar 32,2%. Hal ini menunjukkan bahwa status
sosial ekonomi mempengaruhi gizi lansia.
Universitas Sumatera Utara
14
9. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi seseorang dalam menikmati
makanan dan kemampuan untuk memperoleh dan mempersiapkan
makanannya. Banyak hambatan diidentifikasi dalam lingkungan
perawatan lansia seperti panti werdha, pelayanan sosial dan rumah
sakit. Lansia yang berada di ekonomi rendah cenderung berada di
rumah yang di bawah standar yang mungkin tidak memiliki perawatan
untuk menyimpan dan memasak makanan. Lansia yang dirawat di
rumah sakit juga akan mempengaruhi status nutrisinya. Hal ini
diakibatkan karena dibatasinya asupan diet serta fasilitas dan waktu
yang kurang mendukung.
2.4.Kebutuhan zat gizi pada Lansia
2.4.1. Kalori
Pada lansia kebutuhan kalori menurun sehubungan dengan
menurunnya BMR, penurunan aktivitas fisik, dan perubahan komposisi
tubuh. RDA menyatakan penurunan kalori pada usia 51 tahun sampai
75 tahun sebesar 10% , dan pada usia 75 tahun ke atas sebesar 20-25%
(Dedek, 1997).
2.4.2. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia.
Setiap 1 gram karbohidrat yang dikonsumsi menghasilkan energi
sebesar 4 kkal dan hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini
Universitas Sumatera Utara
15
kemudian akan digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai
fungsi-fungsinya seperti bernapas, kontraksi jantung dan otot, serta
untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik (Fatmah, 2010).Kebanyakan
lansia mengkonsumsi zat karbohidrat hanya 45-50% dari seharusnya
55-50% kalori total. Sebagian lansia menderita kekurangan laktase,
enzim yang berfungsi menghidrolisis laktosa. Ketiadaan proses
hidrolisis berakibat laktosa tidak bisa diserap. Laktosa dalam usus
kemudian dimetabolisasi oleh bakteri dan menghasilkan gas. Gas ini
berpotensi menimbulkan diare, kram, dan flatulens. Salah satu
gangguan yang sering kali dikeluhkan oleh lansia ialah sembelit.
Gangguan ini akan timbul manakala frekuensi pergerakan usus
berkurang yang akhirnya memperpanjang masa transit tinja. Semakin
lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras, dan
akhirnya membatu sehingga sulit dikeluarkan. Kejadian ini berpangkal
pada kelemahan tonus otot dinding saluran cerna akibat penuaan
(kegiatan fisik berkurang), serta reduksi asupan cairan dan serat
(Arisman,2010).
2.4.3. Protein
Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun dan
pemelihara sel. Pemeliharaan protein yang baik untuk lansia sangat
penting mengingat sintesis protein dalam tubuh tidak sebaik saat masih
muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti.
Dengan bertambahnya usia, perlu pemilihan makanan yang kandungan
Universitas Sumatera Utara
16
proteinnya bermutu tinggi dan mudah dicerna. Pakar gizi menganjurkan
kebutuhan protein lansia dipenuhi dari nilai biologis tinggi seperti telur,
ikan dan protein hewani lainnya dikarenakan kebutuhan asam amino
esensial meningkat pada usia lanjut.
2.4.4. Lemak
Lemak dalam tubuh berfungsi membantu dalam pengaturan
suhu, memberikan sumber energi cadangan, memudahkan penyerapan
vitamin yang larut dan mengurangi sekresi asam dan aktivitas otot
perut (Miller, 2004). Asupan lemak dibatasi sampai sebesar 30% dari
total energi, sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. RDA
untuk asam lemak esensial minimal sebanyak 2-3%. Pembatasan
lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan karena
kandungan asam lemak esensial berkurang.
Kelebihan dan kekurangan lemak yang diwujudkan dalam
bentuk kadar kolestrol darah, berdampak sama buruknya dengan
angka kematian tertinggi. Peningkatan kadar kolestrol dapat
mempertinggi risiko terkena penyakit jantung koroner (Arisman,
2010). Untuk menurunkan kadar kolestrol dalam darah dapat
diturunkan dengan mengkonsumsi jenis lemak tak jenuh. Beberapa
makanan yang mengandung lemak tak jenuh adalah bawang putih,
tempe, anggur, apel, alpukat dan ikan.
Universitas Sumatera Utara
17
2.5. Masalah gizi pada lansia
Masalah gizi pada lansia merupakan rangkaian proses masalah gizi
sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Selain itu ada pula
masalah gizi yang terjadi pada lansia akibat terjadinya proses penuaan
(Depkes RI, 2001).
Banyak hal yang mempengaruhi masalah gizi pada
lansia. Beberapa diantaranya yaitu penurunan fungsi fisik yang dialami lansia,
asupan gizi yang salah, dan ketidakmampuan tubuh memanfaatkan asupan
gizi.Bentuk masalah gizi yang sering dijumpai pada lansia, adalah sebagai
berikut :
2.5.1. Obesitas
Berbagai penelitian yang dilakukan para pakar menunjukkan
bahwa maalah gizi pada lansia sebagian besar merupakan masalah gizi
berlebih dan kegemukan/obesitas. Keadaan ini disebabkan karena pola
konsumsi yang berlebihan, terutaa makanan yang banyak mengandung
lemak, protein, dan karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Kegemukan biasanya terjadi sejak usia muda, bahkan sejak anak-anak.
Proses metabolisme yang menurun pada lansia bila tidak diimbangi
dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah makanan,
maka kalori yang berlebihan akan diubah menjadi lemak yang
mengakibatkan kegemukan.
Banyak faktor penyebab terjadinya kegemukan baik dari faktor
dalam maupun dari faktor luar. Prevalensi gizi lebih pada lansia di
Indonesia adalah sebesar 20,6% (Depkes RI, 1997). Hasil survey Indeks
Universitas Sumatera Utara
18
Massa Tubuh orang dewasa yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan di kota besar di Indonesia pada tahun 1997 menunjukkan
bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas di kalangan penduduk > 55
tahun sebesar 15,3% pada laki-laki dan 25,9% pada wanita. Penelitian
yang dilakukan oleh aryana et al, 2011 menyatakan prevalensi obesitas
sentral pada subjek dengan PJK usia lanjut didapatkan sangat tinggi
yaitu 51,1%. Masalah gizi lebih lebih atau kegemukan akan memacu
timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus, gout (rematik), gijal, sirosis hati
dan kanker.
2.5.2. Malnutrisi
Prevalensi gizi kurang di kalangan lansia cukup tinggi, yaitu
sebesar 10-50%. Kekurangan gizi pada lansia ditandai dengan
penurunan berat badan akibat
kurangnya nafsu makan sehingga
pemenuhan kalori yang dibutuhkan tidak tercukupi. Bila konsumsi
kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, hal tersebut menyebabkan
berat badan berkurang dari normal. Apabila kondisi ini disertai
kekurangan protein, kerusakan sel dapat terjadi dan tidak dapat
diperbaiki.
Akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit
menurun, atau mudah terkena infeksi pada organ tubuh yang vital.
Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya gizi pada lansia adalah
keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-penyakit kronis, pengaruh
Universitas Sumatera Utara
19
psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya
pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya
energi.Banyak penelitian yang dilakukan terkait masalah status gizi
yang dialami lansia. Penelitian yang dilakukan oleh situmorang et al,
2014 menunjukkan bahwa presentasi lansia yang mengalami gizi
kurang adalah sebesar 12%.
penelitian yang dilakukan oleh kaisare at al, (2010) yang
menyatakan bahwa prevalensi malnutrisi di dunia adalah 22,8%.
Penelitian ini dilakukan pada 4 tempat yang berbeda, yaitu rumah
sakit dengan kejadian malnutrisi sebesar 39%, panti jompo sebesar
14%, masyarakat 6%, dan tempat rehabilitasi 50%. Penelitian yang
dilakukan di panti-panti werdha di Amerika menemukan lebih dari
sepertiga lansia menderita gizi kurang. Hasil penelitian yang
dilakukan Enny et al (2006) di Kota Padang menunjukkan status gizi
kurang pada lansia > 60 tahun sekitar 25,9%. Penelitian Formayoza,
(2006) menunjukkan status gizi kurang sebanyak 12,5%.
2.6. Status gizi
Menurut Supariasa dan kawan-kawan (2002), status gizi adalah keadaan
dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi merupakan keadaan
kesehatan yang dihubungkan dengan penggunaan makanan di dalam tubuh.
Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat
Universitas Sumatera Utara
20
metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik dan
faktor yang
bersifat relatif yaitu, gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serat
(absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran dan
penghancuran (excretion dan destruction dari zat gizi tersebut dalam
tubuh).Penilaian gizi didefinisikan sebagai interprestasi informasi yang
diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi makanan, biokimia, antropometri
dan klinis pada seseorang atau sekelompok manusia.
Dalam penilian gizi ada dua
kegiatan yang dilakukan yaitu
pengukuran atau pengumpulan data dan interpretasi data. Sistem-sistem
dalam penilaian gizi dapat mengambil salah satu sistem dari tiga sistem
berikut, yaitu : survey, surveilence, dan screning (Riyadi, 2003). Penilaian
status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung dan pengukuran
tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4
penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan untuk
penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi 3 yaitu: survey
konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002).
Fatmah (2010) menjelaskan penentuan status gizi pada lansia
berdasarkan World Health Organization(1999) dapat dikategorikan menjadi
gizi kurang (underweight), norml, gizi lebih, dan obesitas, sedangkan menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2005) status gizi lansia
dikategorikan mejadi gizi kurang, giz normal, dan gizi lebih. Status gizi
normal adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan antara asupan gizi dan
energi yang dikeluarkan oleh seseorang, status gizi kurang adalah keadaan
Universitas Sumatera Utara
21
dimana asupan gizi yang dikonsumsi seseorang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan sedangkan status gizi lebih
adalah keadaan terbalik dari status gizi kurang dimana asupan gizi yang
dikonsumsi lebih banyak dan energi yang dikeluarkan sedikit.
2.6.1. Pengukuran status gizi lansia
Pengukuran status gizi digunakan untuk menentukan status gizi,
mengidentifikasikan malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan
menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada
seseorang. Untuk mengukur status gizi lansia sebaiknya menggunakan
lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2003). Pengukuran status
gizi dapat melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan biokimia,
pemeriksaan biofisik, dan antropometri. Alat pengkajian lain yang dapat
digunakan untuk menentukan status gizi adalah MNA (The Mini
Nutritional Assesment).
2.6.1.1. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting
untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan
atas perubahan-perubahan yang yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada
jaringan epitel (Supervicial ephithelial tissue) seperti kulit,
mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang
dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Universitas Sumatera Utara
22
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis secara
cepat (rapid clinical surveys). Survey ini dirancang untuk
mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari
kekurangan salah satu atau lebih gizi.
Pemeriksaan klinis digunakan untuk mengetahui tingkat status
gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu
tanda (Sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
Pemeriksaan klinis (assesment clinic) secara umum terdiri dari
dua bagian,yaitu :
1. Medical History (Riwayat medis) yaitu catatan megenai
perkembangan penyakit
2. Pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala
gangguan gizi baik sign (gejala yang dapat diamati) dan
symptom (gejala yang tidak dapat diamati, tetapi dirasakan
oleh penderita gangguan gizi) (Supariasa, 2002).
2.6.1.2. Pemeriksaan Biokimia
Penilaian
status
gizi
dengan
biokimia
adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh
yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini
digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
23
biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang
lebih tepat dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan
pemeriksaan
lain.
Pemeriksaan
biokimia
yanga
sering
digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai zat
gizi dan substansi kimia lain dalam darah dan urine. Hasil
pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar normal yang
telah ditetapkan (Supariasa, 2002).
2.6.1.3. Pemeriksaan Biofisik
Penilaian status gizi dengan biofisik termasuk penilaian
status gizi secara langsung. Penilaian stayus gizi dengan
biofisik adalah melihat dari kemampuan fungsi jaringan dan
perubahan struktur. Tes kemampuan jaringan meliputi
kemampuan kerja dan energi expenditure sert adaptasi sikap.
Tes perubahan struktur dapat dilihat secara klinis seperti
pengeran kuku, pertumbuhan rambut tidak normal dan
menurunnya elastisitas kartilago. Penilaian status gizi secara
biofisik sangat mahal, memerluan tenaga yang profesional dan
dapat diterapkan dalam keadaan tertentu saja. Penilaian secara
biofisik dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu uji radiologi,
tes fungsi fisik, dan sitologi.
2.6.1.4. Antropometri
Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan
dalam masyarakat adalah antopometri. Antropometri berasal
Universitas Sumatera Utara
24
dari kata antrhopos dan metros. Antrhopos artinya tubuh dan
metros artinya ukuran. Antropometri adalah ukuran dari tubuh.
Antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi
lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu
Tinggi Badan (TB), Berat Badan (BB), Lingkar Lengan Atas
(LLA), dan ketebalan kulit trisep/skinfold.
1. Berat Badan
Berat badan adalah salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh.
Berat badan
merupakan pengukuran kasar terhadap berat jaringan
tubuh dan cairan tubuh (Fatmah, 2010). Pengukuran berat
badan sangat menentukan dalam menilai status gizi
seseorang. Dalam keadaan normal, dimana keadaan
kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang
mengikuti
umur.
Sebaliknya
dalam
keadaan
yang
abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat
badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat
dari keadaan normal (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
25
2. Tinggi Badan
Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada
keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur. Namun, pada lansia akan mengalami
penurunan tinggi badan seiring dengan pertambahan usia.
Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya
komponen cairan tubuh sehingga duskus invertebralis
relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih
pipih. Lansia mengalami kifosis, sehingga tinggi dan tegak
lurusnya tulang punggung berkurang, lansia mengalami
osteoporosis sehingga akan mudah mengalami fraktur
vertebra yang mengakibatkan tinggi badan berkurang
(Nugroho, 2008).
Meiner (2006) juga menjelaskan bahwa tinggi
badan lansia yang tidak dapat berdiri tanpa bantuan dapat
diperkirakan dengan mengukur tinggi lutut. Oleh sebab
itu, dianjurkan menggunakan ukuran tinggi lutut (knee
height) untuk menentukan secara pasti tinggi badan
seseorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang, kecuali jika
terdapat
fraktur
tungkai
bawah
(Nugroho,
2008).
Nomogram atau konversi tinggi badan dari tinggi lutut
untuk prediksi tinggi badan pria adalah 56,343 + 2,102 ×
Universitas Sumatera Utara
26
tinggi lutut sedangkan untuk prediksi tinggi badan wanita
adalah 62,682 + 1,889 × tinggi lutut (Fatmah,2010).
3. Lingkar Lengan Atas (LLA)
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang
keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit.
Lingkar lengan atas merupkan parameter antropometri
yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga
yang bukan profesional. Pengukuran LLA adalah suatu
cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein.
LLA banyak digunakan untuk pengukuran status gizi
(Supariasa, 2002).
Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk
memantau perubahan status gizi dala jangka pendek.
Pengukuran LLA dilakukan untuk menilai apakah
seseorang mengalami kekurangan energi kronik atau tidak.
Ambang batas LLA dengan risiko kekurangan energi
kronik di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LLA
kurang dari 23,5 cm artinya orang tersebut beresiko
mengalami kekurangan energo kronik (Supariasa, 2002).
4. Tebal Lipatan Kulit/Pengukuran skinfold
Pengukuran lemak tubuh melalui pengukran lemak
bawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian
tubuh.Bagian tersebut terdapat pada bagian atas (triceps
Universitas Sumatera Utara
27
dan biceps), lengan bawah (forearm), tulang belikat
(subscapular), di tengah garis ketiak (midaxillary), sisi
dada (pectoral), perut (abdominal), suprailiaka, paha, dan
tempurung lutut (suprapatelar).Lemak tubuh dapat diukur
secara absolut dinyatakan dalam kilogram maupun secara
relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total.
Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi tergantung dari jenis
kelamin dan umur. Umumnya lemak bawah kuliat ntuk
pria 3,1 kg dan pada wanita 5,1 kg.
2.6.2. Penentuan Status Gizi
Status
gizi
seseorang
dapat
ditentukan
dengan
membandingkan hasil yang di dapat dari pemeriksaan dengan nilai
standar yang ada. Selain itu untuk penentuan status gizi dapat juga
menggunakan hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Khusus
untuk lansia dalam menentukan tatus malnutrisi dapat ditentukan
dengan form skrining yang disebut dengan The Mini Nutritional
Assesment (IMT).
2.6.2.1. Indeks Massa Tubuh
Indeks kekurangan dan kelebihan gizi pada orang
dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting,
karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu,
juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Salah satu cara
adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau
Universitas Sumatera Utara
28
normal. Pada usia dewasa, penilaian status gizi ditentukan
melalui indeks BB dan TB yang disebut sebagai IMT.
IMT adalah indeks yang diperoleh dari perhitungan BB
dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat dari TB dalam
meter (Supariasa dkk, 2002) :
IMT =
����� ����� (��)
������ ����� (�)� ������ ����� (�)
IMT merupakan salah satu alat untuk memantau status gizi
orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan
dan kelebihan berat badan.Kategori ambang batas IMT untuk
indonesia menurut Depkes, 1994 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks massa tubuh
menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005
Status Gizi
IMT
Gizi kurang
Gizi normal
< 18,5 ��/�2
Gizi lebih
>25 kg/�2
18,5-25 kg/�2
(Sumber: Fatimah, (2010). Gizi usia lanjut. Jakarta: penerbit Erlangga)
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh
menurut WHO
Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat < 17,0
berat
Gizi kurang
Kekurangan berat badan tingkat 17,0 – 18,5
ringan
> 18,5 – 25,0
Gizi normal
Kelebihan
Gizi lebih
berat
badan
tingkat > 25,0 – 27,0
ringan
Kelebihan berat badan tingkat berat
> 27,0
(Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2005)
2.6.2.2. The Mini Nutritional Assesment (MNA)
The Mini Nutritional Assesment (MNA) adalah alat
pengkajan skrining nutrisi yang paling cocok untuk lansia
karena dapat cepat dan mudah untuk digunakan dan secara
efektif dapat merefleksikan keadaan status gizi pada lansia.
MNA secara luas digunakan dalam berbagai pengaturan
sebagai alat penilaian yang dapat dipercaya dan divalidasi
untuk mengidentifikasi kekurangan gizi atau berisiko gizi
buruk pada lansia (Miller,2004).
Universitas Sumatera Utara
30
MNA merupakan alat skrining yang telah divalidasi secara
khusus untuk lansia, memiliki sensitifitas yang tinggi,
spesifik, dan dapat diandalkan, secara luas dapat digunakan
sebagai metode skrining dan telah direkomendasikan oleh
organisasi ilmiah dan klinis baik nasional maupun
internasional. MNA juga mudah dan cepat untuk digunakan,
tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan
yang ada, tidak membutuhkan pelatihan khusus, tidak
membutuhkan pemeriksaan laboratorium (Mini Nutritional
Assesment, 2011).
MNA memiliki dua bentuk yaitu full MNA dan
Short form MNA.Full MNA mencakup 18 item pertanyaan
yang dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pengkajian
antropometri,
pengkajian
umum,
pengkajian
pola
makan/diet, pengkajian subjektif. Pengkajian antropometri
meliputi IMT yang dihitung dari berat badan dan tinggi
badan, kehilangan berat badan, lingkar lengan atas dan
lingkar betis.
Pengkajian
antropometri
berhubungan
dengan
berbagai macam pengukuran yang digunakan untuk
mengukur status gizi dan berbagai ketidakseimbangan
antara asupan protein dan energi. Penelitian yang dilakukan
oleh Fatmah (2005) pada 6 panti di Jakarta memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
31
hasil antropometri yaitu sebanyak 43% lansia mengalami
gizi kurang. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat
bahwa pengukuran antropometri
dapat digunakan untuk
melihat status gizi pada lansia. Pengkajian umum meliputi
gaya hidup, obat-obataan, mobilisasi dan adanya tanda dari
depresi atau demensia.
Melihat
kondisi
umum
tersebut
kita
dapat
mengetahui faktor-faktor penyebab yang membuat lansia
mengalami masalah gizi, misalnya efek samping dari obatobatan yang dikonsumsi lansia dapat mempengaruhi lansia
dalam memenuhi asupan gizi nya. Pengkajian pola
makan/diet meliputi jumlah makanan, asupan makanan dan
cairan serta kemandirian dalam makan. Pengkajian pola
makan pada lansia penting untuk dilakukan. Seperti
penelitian yang dilakukan Maulinda menunjukkan bahwa
apabila pola makan berada dalam kategori baik maka pada
umunya status gizi juga berada dalam kategori normal.
Pengkajian terakhir adalah pengkajian subjektif
yang meliputi persepsi individu dari kesehatan dan status
gizinya. pengkajian subjektif dilakukan untuk melihat
persepsi lansia mengenai status gizi nya, karena dengan
mengetahui
persepsi
lansia,
kita
dapat
mengetahui
Universitas Sumatera Utara
32
bagaimana pengetahuan lansia terhadap status gizi dan
masalah-masalah gizi yang dialami. (Guigoz 2006).
Full MNA ini dapat dilengkapi dalam waktu kurang
dari 15 menit dan masing-masing jawaban memilki nilai
yang akan mempengaruhi nilai akhir, dimana nilai
maksimum akhir adalah 30. Batas nilai ambang dari full
MNA ini adalah nilai ≥ 24 mengindikasikan nutrisi baik,
nilai 17-23,5 mengidikasikan risiko malnutrisi dan ≤17
mengidikasikan malnutrisi (Guigoz 2006).Bentuk ke dua
dari The Mini Nutritional Assesment adalah Short form
MNA. Short form MNA telah dikembangkan dan divalidasi
untuk memungkinkan
2 proses skrining pada populasi
berisiko rendah yang mempertahankan validitas dan akurasi
full MNA (Guigoz, 2006).
Short form MNA terdiri dari 6 pertanyaan berupa
skrining dimana masing-masing pertanyaan memiliki nilai
yang berbeda-beda untuk setiap jawabannya. Setelah
mendapatkan nilai dari setiap pertanyaan maka nilai
tersebut dijumlahkan. Nilai maksimal dari Short form MNA
adalah 14. Jika total nilai yang didapat ≥ 12 menunjukkan
bahwa status gizi orang tersebut normal atau tidak berisiko
dan tidak membutuhkan pengkajian lebih lanjut.Namun,
jika nilai yang diperoleh ≤ 11 menunjukkan bahwa kondisi
Universitas Sumatera Utara
33
orang tersebut mungkin malnutrisi sehingga membutuhkan
pengkajian lebih lanjut dengan melengkapi full form MNA
(MNA Mini Nutritional Assesment, 2011).Dari beberapa
bentuk pengukuran gizi, peneliti menggunakan MNA
sebagai alat untuk mengetahui gambaran status gizi
khususnya lansia.
Universitas Sumatera Utara