Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus di Kantor Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah Indonesia.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan
yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak
adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan
pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga,
menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan
menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan
secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan
apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk
memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak
sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja
sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Sahdan, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan
yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan
hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang
terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;
(6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat

untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk

8
Universitas Sumatera Utara

berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan;
dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola
pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain,
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Kemiskinan
merupakan

persoalan


yang

maha

kompleks

dan

kronis,

maka

cara

penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan
semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat,
berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Di Kabupaten Deli Serdang sendiri terdapat 14.673 keluarga pra-sejahtera
(keluarga sangat miskin), 54.522 keluarga sejahtera I, dan 215.210 keluarga

sejahtera II (sumber: BPS Deli Serdang tahun 2016). Jumlah kemiskinan di Deli
Serdang tergolong banyak melihat melimpahnya sumber daya yang ada di Deli
Serdang dan banyaknya program pembangunan secara nasional yang telah
dijalankan di Deli Serdang.

9
Universitas Sumatera Utara

Demi mengatasi permasalahan kemiskinan ini, maka pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir
Miskin yang kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui
Pendekatan Wilayah.
Di dalam PP Nomor 63 Tahun 2013 ini memuat tentang pembagian
wilayah penanganan fakir miskin dan masing-masing rencana program yang tidak
sama. Adapun pembagiannya antara lain penanganan fakir miskin wilayah
perdesaan, penanganan fakir miskin wilayah perkotaan, penanganan fakir miskin
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, penanganan fakir miskin wilayah
tertinggal/terpencil dan penanganan fakir miskin wilayah perbatasan antar negara.
Secara garis besar, poin-poin utama dalam PP ini adalah penyediaan

sumber mata pencaharian, bantuan permodalan dan akses pemasaran, peningkatan
pembangunan sarana dan prasarana, penguatan kelembagaan masyarakat dan
peerintahan, pemeliharaan dan pendayagunaan sumber daya, pengembangan
lingkungan permukiman yang sehat, peningkatan rasa aman dari tindak kekerasan
dan kejahatan, menjamin keamanan wilayah perbatasan serta pengamanan sumber
daya local, dan peningkatan daya tahan budaya local dari pengaruh negative
budaya asing.
Di dalam pasal 15 ayat e PP Nomor 63 Tahun 2013 ini dijelaskan bahwa
pemerintah memberikan bantuan stimulan untuk rehabilitasi rumah tidak layak
huni dalam bentuk uang dan/atau barang. Pasal inilah yang kemudian menjadi
dasar bagi pemerintah melalui Kementerian Sosial untuk menciptakan sebuah

10
Universitas Sumatera Utara

program rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni. Program ini ditujukan bagi
masyarakat miskin yang tinggal di rumah yang tidak layak serta masyarakat
miskin yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan kementerian sosial. Pasal ini
juga yang membuat penulis tertarik meneliti bagaimana bantuan stimulan untuk
rehabilitasi rumah tidak layak huni dari Kementerian Sosial, terlebih Kabupaten

Deli Serdang baru menerima bantuan ini sejak tahun 2015.
Namun dalam implementasi program, pasti ada hambatan yang dihadapi,
terlebih karena program ini baru berjalan selama dua tahun. Oleh karena itu
berpijak dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas mengenai kebijakan
program rehabilitasi rumah tidak layak huni tersebut, menjadi dasar peneliti perlu
untuk dilakukan penelitian tentang Implementasi Program Rehabilitasi Rumah
Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
“Bagaimana Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak
Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang ?”

1.3 Tujuan Penelitian
Menurut pendapat Sutrisno Hadi tujuan dari penelitian adalah :
menentukan pengembangan dan menguji kebenaran suatu kebenaranya suatu
pengetahuan ,usaha mana yang dilakukan dengan metode ilmiah.


11
Universitas Sumatera Utara

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis
Proses Implementasi Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di
Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun penelitian tentang

Implementasi Program Rehabilitasi Rumah

Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang,
sesungguhnya dapat memberikan berbagai manfaat antara lain :
1.

Manfaat Teoritis

Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan

kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan memberikan
informasi dalam membuat suatu kebijakan yang tepat dengan menerapkan
teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama perkuliahan di
Departeman Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.

2.

Manfaat Praktis

Bagi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang penelitian ini menjadi sumbangsih
pemikiran kepada SKPD terkait, dengan adanya analisis implementasi
program tersebut sehingga memberi gambaran serta masukan dalam
menjalankan program-program pemerintah dalam menurunkan angka
kemiskinan di Kabupaten Deli Serdang

12
Universitas Sumatera Utara

1.5 Kerangka Teori

Singarimbun (1995:18) menyebutkan bahwa teori merupakan serangkaian
asumsi,konsep dan konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep. Untuk memudahkan penulis dalam menyusun suatu pemikiran yang dapat
dijadikanfundamen dalam meneliti hal tersebut di atas, maka disusunlah beberapa
kerangka pemikiran sebagai berikut:
1.5.1

Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris yaitu

Public Policy, kata policy ada yang menerjemahkan menjadi kebijakan (Wibawa,
1994) dan ada juga yang menerjemahkan menjadi kebijaksanaan (Islamy, 2001).
Meskipun belum ada kesepakatan apakah policy diterjemahkan menjadi
Kebijakan ataukah kebijaksanaan akan tetapi tampaknya kecenderungan yang
akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan maka dalam modul ini,
untuk public policy diterjemahkan menjadi kebijakan publik.
A. Thomas R. Dye
Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: Public
Policy is whatever the government choose to do or not to do (Kebijakan publik

adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu). Menurut Dye, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu,
maka tentunya ada tujuannya, karena kebijakan publik merupakan tindakan
pemerintah. Apabila pemerintah memilih untuk tidak melakukan sesuatu, inipun
merupakan kebijakan publik, yang tentunya ada tujuannya. Sebagai contoh: becak

13
Universitas Sumatera Utara

dilarang beroperasi di wilayah DKI Jakarta, bertujuan untuk kelancaran lalulintas, karena becak dianggap mengganggu kelancaran lalulintas, di samping
dianggap kurang manusiawi. Akan tetapi, dengan dihapuskannya becak, kemudian
muncul ojek sepeda motor. Meskipun ojek sepeda motor ini bukan termasuk
kendaraan angkutan umum, tetapi Pemerintah DKI Jakarta tidak melakukan
tindakan untuk melarangnya. Tidak adanya tindakan untuk melarang ojek ini
dapat dikatakan belum adanya kebijakan publik yang dapat dikategorikan sebagai
tidak melakukan sesuatu.
B. James E. Anderson
Anderson mengatakan: Public Policies are those policies developed by
governmental bodies and officials. (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan
yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).

Menurut William Dunn (2008:23), tahap – tahap kebijakan publik adalah
sebagai berikut :
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Kelompok masyarakat seperti partai politik, organisasi masyarakat, serikat,
atau kelompok lainnya akan menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu
yang disampaikan akan

bersaing untuk dapat masuk ke dalam agenda

kebijakan.
b. Formulasi kebijakan (Policy Formulation)
Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para
pembuat kebijakan

akan didefenisikan untuk dicari pemecahan masalah

terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada.

14
Universitas Sumatera Utara


Dalam tahap perumusan kebijakan masing – masing alternatif bersaing untuk
memecahkan masalah.
c.Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga
atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program–
program yang harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan
administrasi maupun agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah
diambil akan dilaksanakan oleh unit – unit administrasi yang memobilisasikan
sumber daya finansial dan sumber daya manusia.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi
untuk melihat sejauhmana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah.
Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat.
Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran – ukuran atau kriteria – kriteria yang
menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak
yang diinginkan.

15
Universitas Sumatera Utara

1.5.2

Implementasi Kebijakan
Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata implementation,

berasal dari kata kerja to implement. Menurut Webster’s Dictionary (2008), kata
to implement berasal dari bahasa Latin implementum dari asal kata impere dan
plere. Kata implore dimaksudkan to fill up, to fill in, yang artinya mengisi penuh;
melengkapi, sedangkan plere maksudnya to fill, yaitu mengisi. Dalam
Webster’sDictionary (2008) selanjutnya kata to implement dimaksudkan sebagai:
(1) to carry into effect; accomplish.
(2)to provide with the means for carrying out into effect or fulfilling; to give
practical effect to.
(3)to provide or equip with implements.
Pertama, to implement dimaksudkan membawa ke suatu hasil (akibat);
melengkapi dan menyelesaikan. Kedua, to implement dimaksudkan menyediakan
sarana (alat) untukmelaksanakan sesuatu. Ketiga, to implement dimaksudkan
menyediakan

atau

melengkapi

dengan

alat.

Sehubungan

dengan

kata

implementasi di atas, Pressman dan Wildavsky mengemukakan bahwa,
ímplementation as to carry out, accomplish fulfill produce, complete. Maksudnya:
membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, melengkapi.
Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkasn sebagai suatu
aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan
sarana (alat) untuk memperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi di atas
dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik
dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan

16
Universitas Sumatera Utara

publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Implementasi atau pelaksanaan menurut Van Meter dan Van Horn
(Tangkilisan.2003:10) adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individuindividu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan digariskan
dalam keputusan kebijaksanaan.Mengkaji masalah kebijakan berarti berusaha
memahami apa yang nyata terjadi sesudah program diberlakukan atau
dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah
proses

pengesahan

kebijakan

baik

yang

menyangkut

usaha

-

usaha

mengadministrasikannya maupun yang menimbulkan dampak nyata atau
kejadian-kejadian

pada

masyrakat

atau

pada kejadian-kejadian

tertentu.

Sedangkan menurut Grindle (1980;7) Implementasi merupakan proses umum
tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.
Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara
pembentukan sebuah kebijakan seperti halnya pasal – pasal sebuah undang –
undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan
pengadilan, keluarnya standar peraturan, dan konsekuensi dari kebijakan bagi
masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupan.
Menurut Zainal Abidin (2012) terdapat pendekatan dalam implementasi
kebijakan publik antara lain :

17
Universitas Sumatera Utara

1.

Pendekatan strutural
Pendekatan ini melihat peran institusi atau organisasi sebagai sesuatu yang
sangat menetukan. Jika organisasi dianggap tidak sesuai dengan wujud
perubahan yang muncul dari kebijakan, maka perlu dilakukan :

a.

Planning of change yaitu perencanaan yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan untuk melakukan perubahan yang bersifat internal organisasi.

b.

Planning for change yaitu perencanaan tentang perubahan organisasi untuk
menghadapi perubahan dari luar.

2.

Pendekatan prosedural / manajerial
pendekatan ini melihat implementasi dalam bentuk langkah-langkah yang
ditempuh

dalam

pelaksanaan

(planning,programming,

budgeting,

supervision, atau evaluation, review technique)
3.

Pendekatan kewajiban / behavior
pendekatan ini berhubungan

dengan penerimaan atau

penolakan

masyarakat terhadap suatu kebijakan. penerimaan masyarakat terhadap
kebijakan tidak hanya ditentukan oleh isi atau substansi kebijakan, tetapi
juga

oleh

pendekatan

dalam

penyampaian

dan

cara

mengimplementasikannya.
4.

Pendekatan Publik
keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh kemauan dan kemampuan
dari kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat atau dalam organisasi.
Dari pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa program
merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan

18
Universitas Sumatera Utara

implementasi. Setelah sebuah kebijakan dibuat atau dirumuskan, baik
menyangkut

program

maupun

kegiatan-kegiatan,

maka

tahapan

selanjutnya adalah tindakanpelaksanaan atau implementasi. Dalam rangka
mencapai tujuan implementasi program yang efektif pemerintah dituntut
untuk melakukan aksi berupa membuat peraturan perundang-undangan
sebagai acuan, penghimpunan sumber daya yaitu sumber daya manusia
sebagai pelaksana dan sumber daya keuangan (finansial).

Model-Model Implementsi Kebijakan antara lain :
I.

Model George C Edwads III
Faktor – faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

George C. Edwards III yaitu :
a. Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga
akan mengurangi distorsi implementasi.
b. Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementator dan sumberdaya keuangan
(finansial).

19
Universitas Sumatera Utara

c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator,
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementator memiliki
disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementator
memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka
proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang
standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi
setiap implementator dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan redtape, yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan
aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Dengan demikian, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari terjadinya
kesesuaian antara pelaksanaan atau penerapan kebijakan dengan desain, tujuan,
sasaran, dan kebijakan itu sendiri dapat memberikan dampak dan hasil yang baik
bagi pemecahan permasalahan yang dihadapi, serta dalam implementasinya
mampu menyentuh kepentingan publik.

20
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1.

Model George C Edwads III
Sumber

: Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

II. Model Van Meter dan Van Horn
Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa ada enam variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi yakni :
1. Standard dan Sasaran Kebijakan
Standard dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisasikan. Apabila standard dan sasaran kebijakan kabur, maka akan
terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen
implementasi.
2. Sumber Daya

21
Universitas Sumatera Utara

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya
manusia yaitu kompetensi implementator maupun sumber daya non manusia
yaitu sumber daya keuangan (finansial)
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi
lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi
keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana
Agar pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma - norma, dan polapola
hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung

keberhasilan

kelompokkelompok

implementasi

kepentingan

dapat

kebijakan,

memberikan

sejauhmana

dukungan

bagi

implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni mendukung atau
menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit
politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yaitu :
a. Respon

implementor

terhadap

kebijakan

yang

akan

dipengaruhi

kemauannya untuk melaksanakan kebijakan
b. Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan

22
Universitas Sumatera Utara

c. Intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.

Gambar 2.2.
Model Van Meter dan Van Horn

Sumber

: Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

III. Model Grindle
Grindel menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan
kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang
dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari:
1) Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi

23
Universitas Sumatera Utara

2) Tipe-tipe manfaat
3) Derajat perubahan yang diharapkan
4) Letak pengambilan keputusan
5) Pelaksanaan program
6) Sumber daya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan
oleh sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu
yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil unit pengambil kebijakan.
Selanjutnya pengaruh dalam konteks lingkungan yang teridiri dari:
1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2) Karakteristik lembaga penguasa
3) Kepatuhan dan daya tanggap

24
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3.
Model Grindle

Sumber

: Mulyadi (2015), Studi Kebijakan Publik

IV. Model Elmore, dkk
Lalu model yang disusun richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971),
Benny Hjern & David O’Porter (1981). Pada pemerataan di atas model ini di
berikan labe “RE, dkk” yang terletak do kaudran “bawah ke puncak” dan lebih
berada di “mekanisme pasar”. Model ini di mulai dari mengindentifikasi jaringan
actor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka :
tujuan, Strategi, Aktivitas, dan kontak – kontak yang mereka miliki. Model

25
Universitas Sumatera Utara

implementasi ini di dasarkan pada jenis kebijkan publik yang mendorong
masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap
melibatkan pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu,
kebijakan yang di buat harus sesuai dengan harapan, keinginan, publik yang
menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon rendah yang
menjadi pelaksanaannya. Kebijakan model ini biasanya di prakarasai oleh
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba
kemasyarakatan (LSM).
Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan,
keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan
pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksanannya. Kebijakan Model ini biasanya
diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

V. Model Briant W. Hogwood dan Gunn (1978) The Top down Aproach
Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan
terletak di kuadran “puncak ke bawah” dan berada di mekanisme paksa dan
mekanisme pasar. Menurut Hogwood danGunn terdapat beberapa syarat yang
diperlukan dalam melakukan implementasi kebijakan, yakni:
1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan atau instansi pelaksana tidak akan
menimbulkan gangguan atau kendala serius. Beberapa kendala pada
implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para

saat

administrator,

26
Universitas Sumatera Utara

sebab hambatan-hambatan itu memang berada di luar

jangkauan wewenang

kebijakan dan badan pelaksana.
2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai. Syarat kedua ini kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang
bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memilki tingkat kelayakanfisik dan
politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yangdiinginkan karena
alasan terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalupendek, khususnya
persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasanlainnya adalah bahwa
para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang
peduli dengan penyediaan sarana yang digunakan untuk mencapainya,
sehingga tindakan-tindakan pembatasan/ pemotongan terhadap pembiayaan
program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program
karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain yang biasa terjadi
ialah apabila dana khususuntuk membiayai pelaksanaan program sudah
tersedia harus dapat dihabiskan dalam tempo yang sangat singkat, kadang lebih
cepat dari kemampuan program/proyek untuk secara efektif menyerapnya.
Salah satu hal yang perlupula ditegaskan disini, bahwa dana/uang itu pada
dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri, sebab ia tidak lebih sekedar
penghubung untuk memperoleh sumber-sumber yang sebenarnya. Oleh karena
itu, kemungkinan masih timbul beberapa persoalan berupa kelambanan atau
hambatan-hambatan dalam proses konversinya, yaitu proses mengubah uang
itu menjadi sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan program atau proyek. Kekhawatiran mengenai keharusan

27
Universitas Sumatera Utara

untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir
tahunanggaran

seringkali

menjadi

penyebab

kenapa

instansi-instansi

pemerintah(baik pusat maupun daerah) selalu berada pada situasi kebingungan,
sehinggakarena takut dana itu menjadi hangus, tidak jarang pula terbeli atau
dilakukanhal-hal yang seharusnya tidak perlu.
3. Perpaduan

sumber-sumber

yang

diperlukan

benar

-benar

tersedia.

Persyaratanketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua, artinya disatu
pihak harusdijamin tidak terdapat kendala-kendala pada semua sumber-sumber
yangdiperlukan, dan dilain pihak, pada setiap tahapan proses impelementasinya
perpaduan diantara sumber-sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan
kausalitas yang handal. Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan
secara

efektif

bukan

lantaran

karena

kebijakan

tersebut

telah

diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan
itu sendiri memang buruk. Penyebab dari kemauan ini, kalau mau dicari,
tidaklain karena kebijakannya itu telah disadari oleh tingkat pemahaman yang
tidakmemadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi. Sebab-sebab
timbulnya masalah dan cara pemecahannya, atau peluang-peluang yang
tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan apa yang
diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang itu. Dalam kaitan ini
Pressman dan Wildavsky(1973), menyatakan secara tegas bahwa setiap
kebijakan pemerintah padahakikatnya memuat hipotesis (sekalipun tidak secara
eksplisit) mengenai kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang diramalkan

28
Universitas Sumatera Utara

bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu
gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori
yang menjadilandasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang
keliru.
5. Hubungan

kausalitas

bersifat

langsung

dan

hanya

sedikit

mata

rantaipenghubungnya. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavsky (1973)
jugamemperingatkan bahwa kebijakan-kebiajakan yang hubungan sebab
akibatnyatergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah
sekalimengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas,
semakinbesar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan
semakinmenjadi kompleks implementasinya. Semakin banyak hubungan dalam
matarantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak
terbuktiamat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6. Hubungan ketergantungan harus kecil.

Implementasi

yang sempurna

menuntutadanya persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal,
yanguntuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada
badanbadanlain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkanbadanbadan/

instansi-instansi

lainnya,

maka

hubungan

ketergantungan

denganorganisasi-organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik
artianjumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu
programternyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan
hubungantertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap setiap
tahapandiantara sejumlah besar aktor/ pelaku yang terlibat, maka peluang

29
Universitas Sumatera Utara

bagikeberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang dihar
apkankemungkinan akan semakin berkurang.
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan Persyaratan
inimengharuskan

adanya

pemahaman

yang

menyeluruh

mengenai,

dankesepakatan terhadap, tujuann atau sasaran yang akan dicapai, dan
yangpenting,

keadaan

ini

harus

dapat

dipertahankan

selama

proses

implementasi.Tujuan tesebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik,
danlebih baik lagi apabila dapat dikualifikasikan, dipahami, serta disepakati
olehseluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi
danmendukung, serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana
pelaksanan program dapat dimonitor.
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat Persyaratanini
mengandung

makna

bahwa

dalam

mengayun

langkah

menuju

tercapainnyatujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk
merinci danmenyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang
harusdilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.

1.5.3 Model yang digunakan dalam Penelitian Implementasi Program
Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu
Dalam mengkaji suatu proses kebijakan yang di Implementasikan dapat
dilakukan dengan model pendekatan Grindle. Sehingga dapat dilihat pelaksanaan
suatu kebijakan dengan variabel-variabel dalam model pendekatan tersebut.Oleh
karenannya, model yang dipakai dalam penelitian Implementasi Program

30
Universitas Sumatera Utara

Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Pantai Labu, adalah dengan
melihat indikator:

1) Isi Kebijakan Mencakup
a) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
Suatu kebijakan sebaiknya mampu secara optimal menampung kepentingan
pihak-pihak yang terkena dampak dari suatu kebijakan tersebut. Semakin
optimal suatu kebijakan dalam menampung kepentingan banyak pihak
maka semakin sedikit pihak yang menentang kebijakan tersebut untuk
diimplementasikan.

b) Jenis manfaat yang dihasilkan
Suatu kebijakan haruslah mampu menghasilkan manfaat yang besar dan
jelas manfaat yang dihasilkan kebijakan tersebut maka semakin besar
dukungan terhadap kebijakan tersebut untuk segera diimplementasikan.
c) Derajat perubahan yang diinginkan
Suatu kebijakan haruslah mampu menghasilkan perubahan kearah
kemajuan secara nyata dan rasional. Suatu kebijakan yang terlalu menuntut
perubahan perilaku dari kelompok sasaran akan lebih sulit untuk
diimplementasikan.
d) Kedudukan pembuat kebijakan
Pembuat kebijakan yang mempunyai wewenang (otoritas) yang tinggi dapat
dengan mudah mengkoordinasikan bawahannya didukung oleh komunikasi

31
Universitas Sumatera Utara

yang baik sehingga keduduka pembuat kebijakan dapat mempengaruhi
proses implementasinya.
e) Pelaksanaan program
Pelaksana program harus mempunyai kualitas pemahaman yang baik
mengenai kondisi lapangan dan tugas yang harus dijalaninya. Koordinasi
haruslah baik supaya program berjalan efektif dan lancer.
f) Sumber daya yang dilibatkan
Sumber daya yang dimaksud adalah semua komponen yang diperlukan
dalam pelaksanaan program seperti keuangan, administrasi dan sebagainya.

2) Konteks Kebijakan mencakup
a) Kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat
Banyaknya actor dari berbagai tingkat pemerintahan maupun non
pemerintahan yang memiliki kepentingan serta strategi yang mungkin saja
berbeda berpengaruh terhadap pengimplementasian suatu kebijakan.
b) Karakteristik lembaga dan penguasa

Apa yang diimplementasikan sebenarnya adalah hasil dari perhitungan
berbagai kelompok yang berkompetisi memperebutkan sumber daya yang
terbatas, yang semua interaksi tersebut terjadi dalam konteks suatu
lembaga.
c) Kepatuhan serta daya tanggap kelompok sasaran

32
Universitas Sumatera Utara

Pelaksana kebijakn yang baik tentu mempunyai tingkat kepatuhan serta
pemahaman (daya tanggap) yang tinggi terhadap kebijakan yang harus
mereka implementasikan. Adanya sikap pelaksana yang baik menimbulkan
tanggapan baik pula dari kelompok sasaran
1.5.4 Kemiskinan
Kuncoro (2006:103) mendefinisikan kemiskinan sebagai seseorang atau
sekelompok orang yang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi
yang dianggap sebagai kebutuhan minimal standar hidup tertentu. Beberapa ahli
lain mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan yang serba kekurangan dalam
mendapatkan sumber pendapatan untuk hidup minimum dan kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar (Tumanggor, Suparlan dalam
Misbach, 2004:4). Kemiskinan dapat dikatakan sebagai suatu hambatan dalam
pembangunan, karena kemiskinan merupakan maslah keterbelakangan ekonomi
suatu negara (M.L Jhingan, 1996:42).
Menurut PBB kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan kondisi
dimana seseorang tidak dapat menikmati segala macam pilihan dan kesempatan
dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, seperti tidak dapat memenuhi kesehatan,
standar hidup, kebebasan, harga diri dan rasa dihormati seperti orang lain.
Menurut Sumitro Djojohadikusumo (1995:307) pola kemiskinan ada
empat yaitu, pertama adalah persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah
kronis atau turun temurun. Pola kedua adalah cyclical poverty, yaitu kemiskinan
yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. Pola ketiga adalah
seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti dijumpai pada kasus nelayan

33
Universitas Sumatera Utara

dan petanitanaman pangan. Pola keempat adalah accidental poverty, yaitu
kemiskinan terjadi karena bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu
yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
Kemiskinan dapat mengakibatkan masyarakat di suatu negara terutama di
negara sedang berkembang tidak mempunyai akses yang cukup untuk memasuki
sector riil, baik sebagai pekerja maupun sebagai pelaku bisnis lainnya. Karena itu
sangat diperlukan suatu upaya penanggulangan agar seluruh masyarakat dapat
memasuki pasar kerja. Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan
yang konkrit yang dibuat oleh Bappenas berikut ini;
a. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status
gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan
tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari.
Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih
dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
b. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan
oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu
layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku
hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak
fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan
yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh
golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan
pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga

34
Universitas Sumatera Utara

kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding
82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu
bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001)
penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang
disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan
yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh
pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya
langsung maupun tidak langsung;
d. Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan
kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh
migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
e. Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin
yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan
kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman
yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari
satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
f. Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air
bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan
menurunnya mutu sumber air;
g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat
miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan

35
Universitas Sumatera Utara

pemilikan tanah,serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan
lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi
oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota
keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
h. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat
miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah
pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada
sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
i. Lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun INDEF (Institute
for Development of Economics and Finance, 2004) menggambarkan
bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik
dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi
pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi
pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi
di berbagai daerah konflik;
j. Lemahnya

partisipasi.

Berbagai

kasus

penggusuran

perkotaan,

pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari
wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya
pertisipasi

mereka

dalam

pengambilan

keputusan.

Rendahnya

partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga
disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang

36
Universitas Sumatera Utara

akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan
keterlibatan mereka;
k. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai
rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak
miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota
5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di
perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan
adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses
layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8)
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat
terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya
partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang
menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya
korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

37
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan
berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya
kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional. Dalam konteks
tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2 per orang
per hari. Ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pilihan pada norma
pilihan di mana norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran
didasarkan konsumsi (consumption based poverty line). Oleh sebab itu, menurut
Kuncoro (2006:123) garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi terdiri dari
dua elemen, yaitu:
1.

Pengeluaran yang diperlukan untuk memberi standar gizi minimum dan
kebutuhan mendasar lainnya.

2.

Jumlah kebutuhan yang sangat bervariasi yang mencerminkan biaya
partisipasi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Paul Spicker (dalam Andika Azzi, 2011) penyebab kemiskinan

dapat dibagi dalam empat, antara lain:
1.

Individual explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik
orang miskin itu sendiri: malas, pilihn yang salah, gagal dalam bekerja,
cacat bawaan, belum siap memiliki anak dan sebgainya.

2.

Familial explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor keturunan,
di mana antar generasi terjadi ketidakberuntungan yang berulang, terutama
akibat pendidikan.

3.

Subcultural explanation, kemiskinan yang diakibatkan oleh karakteristik
perilaku suatu lingkungan yang berakibat pada moral dari masyarakat.

38
Universitas Sumatera Utara

4.

Structural explanation, menganggap kemiskinan sebagai produk dari
masyarakat yang menciptakan ketidakseimbangan dengan pembedaan
status atau hak.
Badan Pusat Statistik mengukur kemiskinan berdasarkan beberapa

karakteristik besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan,
yaitu:
1.

Tidak miskin, mereka yang pengeluaran per orang per bulan lebih dari
Rp 350.610.

2.

Hampir Tidak Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara
Rp 280.488. s/d. Rp 350.610.- atau sekitar antara Rp 9.350 s/d.
Rp11.687.- per orang per hari.

3.

Hampir Miskin, dengan pengeluaran per bulan per kepala antara Rp
233.740.- s/d Rp 280.488.- atau sekitar antara Rp 7.780.- s/d Rp
9.350.- per orang perhari.

4.

Miskin, dengan pengeluaran per orang perbulan per kepala Rp
233.740.- kebawah atau sekitar Rp 7.780.- kebawah per orang per hari

5.

Sangat Miskin (kronis), tidak ada kriteria berapa pengeluaran per
orang perhari.

Kemudian jika dilihat dari karakteristik tempat tinggal (perumahan)
kriteriakemiskinan menurut standar Badan Pusat Statistik, yaitu :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

39
Universitas Sumatera Utara

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/
air hujan.
7.

Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/
minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan
500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/
tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal
motor, atau barang modal lainnya

Sedangkan menurut Todaro (2000:225), salah satu generalisasi (anggapan
sederhana) yang terbilang paling sahih (valid) mengenai penduduk miskin adalah
40
Universitas Sumatera Utara

bahwasanya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah
pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan
kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.
Pengertian kemiskinan itu sangat luas, dimana mengelompokkan ukuran
kemiskinan menjadi 5 macam, yaitu :
a. Kemiskinan Absolut, yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat
pendapatan dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan dan pendidikan.
Ukuran ini dikaitkan dengan batasan pada kebutuhan pokok atas
kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup
secara layak. Seseorang yang mempunyai pendapatan dibawah kebutuhan
minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin;
b. Kemiskinan Relatif, yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang
mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan relatif ini, seseorang yang
telah mampu memenuhi kebutuhan minimumnya belum tentu disebut tidak
miskin. Kondisi seseorang atau keluarga apabila dibandingkan dengan
masyarakat sekitarnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah, maka
orang atau keluarga tersebut berada dalam keadaan miskin;
c. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang
miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak
memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya
manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut

41
Universitas Sumatera Utara

serta dalam

pembangunan,

mereka hanya

mendapatkan

imbalan

pendapatan yang rendah;
d. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok
masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya
dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan.
Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi
dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah
tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah
menurut ukuran yang dipakai secara umum;
e. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil,
distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan
ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat
tertentu.
Sharp (dalam Mudrajad, 2006:120) mengidentifikasikan penyebab
kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, yaitu:
1. Kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya
manusia (SDM).
3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

42
Universitas Sumatera Utara

P Todaro (2000: 200-206) mengemukakan dua anggapan dasar yang
kiranya cukup relevan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli di atas
mengenai kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan identik dengan penduduk miskin yang tinggal di daerah
pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan
kegiatan lain yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.
2. Kaum wanita dan anak-anak merupakan kaum yang paling menderita,
yang disebabkan oleh rendahnya kapasitas mereka dalam mencetak
pendapatan sendiri, terbatasnya kesempatan menikmati pendidikan dan
pekerjaan yang layak di sektor formal.
Menurut Atmawikarta (2007) kemiskinan dari segi non pendapatan adalah
masalah yang lebih serius dibandingkan dari kemiskinan dari segi pendapatan.
Apabila kita memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan-konsumsi yang
memadai, kerentanan yang berkurang, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap
infrastruktur dasar maka hampir separuh rakyat Indonesia dapat dianggap telah
mengalami paling sedikit satu jenis kemiskinan. Dalam beberapa tahun terakhir,
Indonesia memang telah mencapai beberapa kemajuan di bidang pengembangan
manusia. Telah terjadi perbaikan nyata pencapaian pendidikan pada tingkat
sekolah dasar; perbaikan dalam cakupan pelayanan kesehatan dasar (khususnya
dalam hal bantuan persalinan dan imunisasi); dan pengurangan sangat besar dalam
angka kematian anak.
Setelah mengetahui sebab-sebab kemiskinan, selanjutnya diuraikan model
untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dimensi kemiskinan yang begitu luas

43
Universitas Sumatera Utara

mengharuskan setiap upaya penanggulangan kemiskinan dalam tatanan makro
perlu dilakukan secara terpadu, yang meliputi berbagai program pembangunan
terpadu baik sektoral maupun regional. Dalam hal ini yang diperlukan adalah
penajaman program dan kegiatan sehingga hasilnya lebih optimal dan berdampak
langsung terhadap kelompok sasaran.
Kebijaksanan penanggulangan kemiskinan secara umum dapat dibagi atas 3
kelompok (Edwina dalam Palupi, 2001:37)
1. Kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran, tetapi
memberikan dasar tercapainya upaya penanggulangan kemiskinan. Berbagai
program dan kebijaksanaan tidak terbatas pada penduduk miskin tetapi
program-program tersebut cukup berperan dalam mengatasi kemiskinan.
2. Kebijaksanaan yang langsung diarahkan pada peningkatan akses terhadap
sarana dan prasarana yang mendukung penyediaan kebutuhan dasar berupa
pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan, peningkatan
produktifitas dan pendapatan, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.
3. Kebijaksanaan khusus, keseluruhan rencana dan kegiatannya tertuju pada
kelompok masyarakat miskin dan diberi nama yang mencerminkan kegiatan
tersebut. Program khusus ini berupaya untuk memberdayakan masyarakat
miskin agar mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Keberhasilan
suatu program dipengaruhi oleh tersedianya dana, daya dan sarana, intensitas
dan kualitas berbagai kegiatan pelaksanaannya, kualitas hasil langsung dari
kegiatan tersebut dan efek serta dampak yang diperoleh.

44
Universitas Sumatera Utara

Untuk

lebih

meningkatkan

efektivitas

program

penanggulangan

kemiskinan maka penduduk miskin dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kategori,
yaitu:
a. Usia lebih dari 55 tahun, yaitu kelompok masyarakat yang tidak lagi
produktif (usia sudah lanjut, miskin dan tidak produktif), untuk kelompok
ini program pemerintah yang dilaksanakan bersifat pelayanan sosial;
b. Usia di bawah 15 tahun, yaitu kelompok