Intensitas Nyeri Pada Anak Usia Prasekolah Pada Saat Pemasangan Infus yang Dirawat di RSUD dr. Pirngadi Medan

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1. Nyeri
2.1.1. Definisi
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui

bila seseorang pernah mengalaminya

(Tamsuri, 2007).
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar

sensasi

ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi
luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila
yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti
bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui
menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989 dikutip

dari Betz & Sowden, 2002).
Nyeri adalah ketidak nyamanan dan pengalaman seseorang yang
mendalam yang dikatakan oleh orang yang mengalaminya dan tidak dapat
dirasaakan orang lain dan terjadi pada setiap bagian dari kehidupan seseorang
(Berman & Synder, 2012; Hockenberry &Wilson, 2009). Dan nyeri merupakan
suatu kondisi yang lebih dari ekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh
stimulus tertentu dan subjektif individu (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Menurut International Association for Study of Pain (1979), nyeri
merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan.
Sedangkan definisi di bidang keperawatan adalah segala sesuatu yang dikatakan
seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan
merasakan nyeri. Dari definisi diatas menempatkan seorang pasien sebagai
seorang yang ahi di bidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri
adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran objektif padanya, sehingga
hanya orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam

mendefinisikannya (McCaffery, 1980 dikutip dari Prasetyo, 2010).
2.1.2. Teori Nyeri
1.2.1. Teori Specificity
Teori ini mengatakan bahwa ujung syaraf spesifik berkolerasi dengan
sensasi seperti sentuhan, hangat, dingin dan nyeri. Sensasi nyeri berhubungan
dengan pengaktifan ujung-ujung syaraf bebas oleh rangsangan mekanik, kimia
dan temperature yang berlebihan (Kozier, 1996).
1.2.2. Teori Intensity
Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap
rangsangan sensori mempunyai potensi untuk menimbulkan nyeri jika
menggunakan intensitas yang cukup (Kozier, 1996).

Universitas Sumatera Utara

1.2.3. Gate Control Theory (Teori Pintu Gerbang)
Teori yang paling populer dan dipercaya adalah teori pintu gerbang yang
dikenalkan oleh Melzack danWall (1988). Adapun bunyi teori pintu gerbang
adalah: keberadaan (eksistensi) dan intensitas pengalaman nyeri tergantung pada
pengiriman system syaraf yang mengontrol pengiriman rangsang nyeri; jika pintu
terbuka rangsangan yang dihasilkan dari sensori nyeri dapaat dirasakan secara

sadar, jika pintu tertutup, rangsang nyeri tidak dapat mencaapai batas kesadaran
dan sensori yang dialami.
2.1.3. Klasifikasi Nyeri
Kita harus mengetahui tipe-tipe dari nyeri, agar dapat menambah
pengetahuan dan membantu tenaga kesehatan khususnya perawat ketika akan
memberikan tindakan. Untuk menentukan tipe-tipe nyeri, kita dapat melihatnya
dari segi : (1) Durasi nyeri; (2) Tingkat keparahan dan intensitas, seperti nyeri
berat atau ringan; (3) Model transmisi, seperti reffered pain (nyeri yang menjalar);
(4) Lokasi Nyeri, superficial atau dari dalam; (5) Kausatif, dari penyebab nyeri itu
sendiri.
Nyeri akut yaitu nyeri yang terjadi setelah terjadinya cedera akut atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang
bervariatif (ringan-berat) dan berlangsung untuk waktu yang singkat (Meinhart &
McCaffery, 1983; NIH;1986). Berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki
onset tiba-tiba, dan terlokalisir. Dan biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau
inflamasi (Smeltzer, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Nyeri kronik adalah nyeri yang disebabkan oleh penyakit kronik; kanker,

luka bakar. Nyeri kronik berlangsung lebih lama daripada nyeri akut yaitu
berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik apat dirasakan klien hamper setiap
harinya dalam suatu periode yang panjang. Penderita kanker maligna yang tidak
terkontrol, akan merasakan nyeri terus menerus yang dapat berlangsung hingga
kematian (Smeltzer, 2001).
2.1.4. Faktor yang mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri
McCaffery dan pasero (1999) menyatakan bahwa hanya klienlah yang
paling mengerti dan memahami tentang nyeri yang dirasakannya. Tugas sebagai
seorang perawat adalah harus bisa memahami dan mengetahui faktor apa yang
mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri yang dirasakan pasien.
Usia merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu. Anak yang masih kecil belum dapat mengucapkan kata-kata untuk
mengungkapkan nyeri secara verbal. Secara umum pria dan wanita tidak berbeda
secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Tetapi beberapa budaya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh
menangis dibanding anak perempuan.
Menangis dan merintih merupakan suatu ekspresi yang mengindikasikan
ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri. Namun

klien yang berkebangsaan


Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman
nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan
intervensi (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Prasetyo, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (prasetyo, 2010). Cemas
meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri. Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri. Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan

perlindungan.
Dari beberapa faktor di atas, faktor yang sangat penting adalah usia. Karena
respon nyeri setiap usia sangat lah berbeda, dan pengkajian dengan menggunakan
alat ukur intensitas nyeri setiap usia juga berbeda.
2.1.5. Persepsi nyeri
Persepsi nyeri melibatkan proses sensori ketika terdapat rangsang
nyeri.Persepsi meliputi interpretasi seseorang terhadap nyeri. Prosesnya dimulai
ketika seseorang pertama kali menyadari adanya nyeri. Ambang nyeri maupun
intensitas nyeri adalah bagian dari persepsi nyeri. Ambang dari persepsi (nyeri)
adalah intensitas terendah dari stimulus atau rangsang yang menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

seseorang

mengenali

adanya

nyeri.


Intensitas

nyeri

juga

bersifat

subyektif.(McNelly & Marie, 1999). Intensitas nyeri dapat mencerminkan tingkat
kerusakan suatu jaringan tubuh.
2.1.6. Fisiologi Nyeri
Nyeri adalah suatu proses fisiologis kompleks yang dapat dibagi dalam tiga
peristiwa neurokimiawi, yaitu: transduksi, transmisi, dan modulasi.
Transduksi terjadi pada tempat dimulainya nyeri. Reseptor nyeri
(nosiseptor) di perifer dirangsang oleh kejadian mekanik, termal, atau kimiawi.
Rangsang ini menimbulkan pelepasan substansi penghasil nyeri.
Transmisi dari impuls berlanjut saat masuk ke dalam kornu dorsalis medulla
spinalis melalui serat-serat delta A yang besar dan bermielin tipis, serta serat-serta
C kecil tanpa myelin. Dari sini impuls dibawa melalui jalur anterolateral pada

thalamus dan kemudian korteks. Di korteks inilah impuls diterima sebagai nyeri.
Banyak faktor, termasuk budaya, pengalaman masa lalu, arti nyeri, dan masalah
emosional ikut membentuk persepsi seseorang terhadap nyeri. Dan transduksi dan
transmisi terjadi pada jalur aferens.
Modulasi nyeri terjadi pada otak di tingkat substansia grisea periakueduktus
dan medulla oblongata, juga dalam kornu dorsalis, medulla spinalis, saat opioid
endogen dilepaskan dalam jalur posterolateral, yaitu suatu jalur eferen.
Resepsi nyeri adalah unsur neurologia yang terlibat didalam respon nyeri.
Tubuh memiliki banyak receptor nyeri. Receptor nyeri, yang disebut nosiseptor,
terangsang oleh karena rusaknya sel-sel reseptor atau dilepaskannya zat-zat kimia
misalnya bradikinin,serotonin dan lain-lain. Pada dasarnya ada tiga jenis stimulus

Universitas Sumatera Utara

yang dapat mengaktifkan nosiseptornya masing-masing yaitu stimulus yang
bersifat mekanis, suhu dan kimia.Reseptor-reseptor khusus menerima rangsang
nyeri dan kemudian mengahantarkannya ke medulla spinalis melalui serabut
afferent pada susunan saraftepi. Impuls nyeri bergerak dengan cepat menuju otak
tempat stimulus diolah sehingga intensitas dan lokasi dapat dipersepsikan
(McNelly & Marie, 1999).

2.1.7. Sifat Nyeri
Jenis
Akut

Persisten
kronis
kambuhan

neuropatik

psikogenik

Deskripsi
Kuat, berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau inflamasi; intensitass
secara terus-menerus dan berkurang
sampai beberapa hari sampai minggu
Nyeri persisten atau mendekati
persisten selama 3 bulan atau lebih
Episode nyeri berulang dengan interval

nyeri- tidak nyeri secara bergantian

contoh
Nyeri bedah,
bakar, fraktur

luka

Arthritis, krisis sel
sabit
Sakit kepala, nyeri
abdomen, dada, atau
ekstremitas
Sindrom
nyeri
amputasi,
cedera
pleksus,
distrofi
refleks simpatik


Nyeri persisten yang berkaitan dengan
eksitabilitas persisten atau abnormal
pada sistem saraf perifer atau puasat
tanpa berlanjutnya cedera ringan; sering
digambarkan sebagai rasa “terbakar”,
“aneh”, atau “rasa tertusuk”
Nyeri persisten yang merupakan Gangguan somatisasi,
gangguan
nyeri
manifestasi dari penyakit psikiatrik
somatoform,
gangguan konversi
Table 2.1. Sifat Nyeri

Universitas Sumatera Utara

2.2. Respon Perilaku Anak terhadap Nyeri
Pemasangan infus merupakan salah satu intervensi yang diberikan pada bayi
dan anak yang mendapatkan therapi injeksi via infus misalnya post operasi, atau
pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena
diare, demam berdarah, luka bakar dan penyakit lainnya yang membutuhkan
cairan pengganti dari cairan tubuhnya yang hilang. Tindakan ini dapat
menimbulkan rasa nyeri dan ketakutan pada anak.
Megel, Houser & Gleaves(1998) menjelaskan bahwa respon nyeri terdiri
dari tiga elemen yaitu perilaku yang jelas terlihat (overt behaviours), perilaku
yang tersembunyi (covert behaviours) dan responfisiologis. Perilaku yang jelas
terlihat bisa diamati misalnya menangis,menyeringai,menendang, berteriak dan
menarik diri. Perilaku yang tersembunyi diasosiakan dengan pikiran dan sikap
terhadap pengalaman nyeri yang dirasakannya. Sedang respon fisiologis berkaitan
dengan aktivasi sistem saraf simpatik dimana menyebakan pupil dilatasi,
berkeringat, perubahan tanda vital seperti peningkatan denyut nadi, tekanan darah
danpernafasan. Guyton (1999) setuju bahwa perubahan fisiologis dalam tekanan
darah , kecepatan pernafasan, tekanan darah, telapak tangan berkeringat
diobservasi sebagai respon anak terhadap stimulus yang menyakitkan.
Cara terbaik mengkaji nyeri pada neonates adalah dengan penggunaan
indeks perilaku. Mimik wajah, perubahan nada suara dan aktivitas, serta menangis
adalah indikator nyeri yang paling banyak dipakai. Neonatus prematur dan yang
sakit kritis mungkin tidak berespon terhadap nyeri seperti neonatus yang sehat dan
cukup bulan. Indeks perilaku juga merupakan indikator nyeri berguna pada bayi

Universitas Sumatera Utara

setelah masa neonatus. Selain mimik wajah, perubahan nada dan aktivitas, serta
menangis, bayi ini menunjukkan sikap menjauh dari stimulus nyeri dan aneka
vokalisasi.
Anak usia 1 sampai 3 tahun (toddler)

tetap harus diperhatikan respon

perilaku pada saat mengkaji nyeri. Meskipun begitu, macam perilakunya
bertambah, termasuk menggosok tempat nyeri dan perilaku agresif (menggigit,
memukul, menendang). Sebagian toddler bisa mengutarakan bila ia sakit, namun
tidak dapat menggambarkan intensitas nyeri.
Pada anak usia prasekolah (3-6 tahun), psikoseksual anak pada kelompok
usia ini membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cedera tubuh. Prosedur
intrusive, baik yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak, merupakan ancaman
bagi anak usia prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang
baik. Anak prasekolah dapt bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya dengan
nyeri saat jarum dicabut. Mereka takut intrusi atau pungsi tubuh tidak akan
menutup kembali dan “isi tubuh” mereka akan bocor keluar (Wong, 2008).
Reaksi nyeri pada masa prasekolah cenderung sama pada masa toddler,
meskipun beberapa perbedaan menjadi jelas. Agresi fisik dan verbal lebih spesifik
dan mengarah pada tujuan. Bukan menunjukkan resistensi tubuh total, anak
prasekolah malah mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh,
mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang
aman. Ekspresi verbal secara khusus menunjukkan kemajuan perkembangan
mereka dalam berespon terhadap stress. Anak dpat menganiaya perawat secara
verbal dengan menggunakan kata-kata, “pergi dari sini” atau “ saya benci kamu”.

Universitas Sumatera Utara

Mereka juga menggunakan lebih banyak pendekatan yang cerdik untuk
mempengaruhi orang tersebut agar menyerah dalam melakukakan aktivitas yang
dimaksud. Permintaan yang banyak digunakan adalah, “ Tolong saya jangan
disuntik; Saya akan bersikap baik bila tidak disuntik.”
Anak parsekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan menggunakan
skala nyeri dengan tepat. Anak-anak yang berusia 3 tahun dapt menggunakan alat
pengkajian yang menggunakan ekspresi wajah terhadap nyeri.
Karakteristik perkembangan respon anak prasekolah terhadap nyeri yaitu
bisa menangis keras aatau berteriak; ekspresi verbal seperti “aduh”, “auw”,
“sakit”, memukul-mukulkan kaki atau lengan; berusaha mendorong stimulus
menjauh sebelum nyeri terjadi; tidak kooperatif; memerlukan restrain fisik;
meminta agar prosedur dihentikan; bergelayut pada orang tua, perawat, atau orang
bermakna laainnya; memintaa dukungan emosional, seperti pelukan atau bentuk
lain kenyamanan fisik; dpat menjadi gelisah dan peka terhadap nyeri yang
berkelanjutan.
Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka (Marie, 2002).
Metode pelaporan sendiri dengan menggunakan skala tingkatan intensitas nyeri
secara numerik telah terbukti bermanfaat untuk anak usia sekolah (Nelson, 1999).
Pada usia 9 atau 10 tahun, sebagian besar anak usia sekolah menunjukkan
ketakutan yang lebih sedikit atau resitensi yang lebih terbuka terhadap nyeri
dibandingkan anak-anak yang lebih kecil. Secara umum mereka telah
memepelajari metode koping untuk menghadapi rasa tidak nyaman, seperti

Universitas Sumatera Utara

berpegangan dengan erat, mengepalkan tangan atau mengatup gigi, atau mencoba
bertindak berani dengan “meringis”, menarik, mendorong atau tawar menawar.
Anak usia sekolah mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka
alami berkaitan dengan letak, intensitas, dan deskripsinya. Tidak seperti anak
yang lebih kecil, yang mengalami kesulitan memilih kata-kata untuk
menggambarkan nyeri, anak-anak yang berusia 8 tahun atau lebih menggunakan
berbagai kata dan frase, seperti “menyakitkan”, “luka”, “terbakar”, “tersengat”,
“sakit”, “seperti pisau tajam” (Tesler dkk, 1991 dalam Wong, 2008).
Anak usia sekolah juga menggunakan kata-kata yang mengendalikan reaksi
mereka terhadap nyeri. Misalnya anak-anak ini dapat meminta perawat untuk
berbicara dengannya selama prosedur, sedangkan yang lainnya memilih
menjauhkan diri dengan tidak melihat pada apa yang sedang terjadi. Sebagian
besar menghargai penjelasan prosedur yang diberikan dan tampak tidak terlalu
takut jika mereka mengetahuinya. Sebaliknya anak yang lain berusaha untuk
untuk mendapatkan kendali dengan berupaya menunda kejadian tersebut.
Permintaan yang khas adalah, “suntik saya kalau saya sudah selesai melakukan
ini.”. meskipun kemampuan membuat keputusan semakin meningkatkan rasa
kendali mereka, namun penundaan yang tidak terbatas dapat menyebabkan
kecemasan semakin bertambah. Jika diberi pilihan, seperti memilih tempat injeksi,
cara terbaik adalah dengan mengurutkan tempat injeksi yang mungkin dan
membatasi jumlah teknik “penundan”.
Serupa dengan penerimaan pasif mereka terhadap nyeri adalah permintaan
mereka yang tidak terarah akan dukungan atau bantuan. Anak usia sekolah akan

Universitas Sumatera Utara

jarang memulai percakapan tentang perasaan mereka disaat periode kesendirian
atau stres. Penampilan ketenangan, dan penerimaan mereka yang terlihat sering
kali menyamarkan kebutuhan mereka terhadap dukungan. Penting untuk
mewaspadai petunjuk-petunjuk nonverbal, seperti ekspresi wajah yang serius,
menjawab dengan setengah hati seperti “saya baik-baik saja”, diam, kurang
aktivitas, atau isolasi sosial, sebagai tanda membutuhkan bantuan. Biasanya jika
seseorang mengidentifikasi pesan tidak terungkap dan menawarkan bantuan,
maka mereka siap menerimanya (Wong, 2008).
2.3. Alat Ukur Nyeri/ Skala nyeri
Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas
nyeri pada anak menurut Wong (2003) adalah:
Visual Analog Scale (VAS) mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang
10 cm. Biasanya berbentuk horizontal,tetapi mungkin saja ditampilkannya secara
vertical. Garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri, misalnya: “no hurt”,
sampai “worst hurt”. Baik skala vertical maupun horizontal merupakan
pengukuran yang sama valid, tetapi VAS yang vertical lebih sensitive
menghasilkan score yang lebih besar dan lebih mudah digunakan dari pada skala
horizontal. VAS ini dapat digunakan pada anak yang mampu memahami
perbedaan dan mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong,
2003).
Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale,
tetapi memiliki angka-angka sepanjanggarisnya. Angka 0-10 atau 0-100 dan anak

Universitas Sumatera Utara

diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya. Skala Numerik ini
dapat digunakan pada anak yang lebih muda seperti 3 -4 tahun atau lebih.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Tidak
Nyeri

10
sangat
nyeri

Gambar 2.1. Numerical Rating Scale (NRS)
Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Skala 1

: tidak ada nyeri

Skala 2-4

: nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau
masih dapat ditolerir karena masih dibawah ambang
rangsang.

Skala 5-6

: nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh,
ada yang sambil menekan pada bagian yang nyeri

Skala 7-9

: termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali
dan klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa

Skala 10

: termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak
dapat lagi mengenal dirinya.

Instrumen dengan menggunakan Faces Pain Rating Scale terdiri dari 6
gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk “no pain”
sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces Pain Rating Scale yaitu:

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Face Pain Rating Scale

Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak
Nilai 2 : nyeri dirasakan sedikit saja
Nilai 4 : nyeri agak dirasakan oleh anak
Nilai 6 : nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
Nilai 8 : nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
Nilai 10: nyeri sekali dan anak menjadi menangis
Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri rasa
nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada dan skala wajah
ini baik digunakan pada anak usia prasekolah.
Verbal Rating Scale(VRS) merupakan alat untuk menilai intensitas nyeri
yang digunakan dalam praktek klinis. VRS adalah skala ordinal, biasanya
digambarkan menggunakan 4-6 kata sifat untuk menggambarkan peningkatan
tingkat intensitas nyeri. Umumnya menggunakan kata-kata umum seperti tidak
nyeri (no pain) pada ujung kiri akhir skala, kemudian diikuti dengan nyeri ringan,

Universitas Sumatera Utara

nyeri sedang (tidak menyenangkan), nyeri berat (menyedihkan), nyeri sangat berat
(mengerikan), dan nyeri paling berat (menyiksa).
Nyeri yang tak terbayangkan pada ujung kanan akhir skala. Kegunaan skala
ini, pasien diminta untuk memilih kata yang menggambarkan tingkat nyeri yang
dirasakan. VRS terdiri dari empat intensitas nyeri yang menggambarkan nyeri
seperti tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, setiap kata yang terkait
dengan skor jumlah semakin tinggi (0, 1, 2 dan 3).
Pasien diminta untuk menunjuk nomor berapa yang menggambarkan rasa
tidak menyenangkannya. Skala rating verbal dapat dibaca oleh pasien atau
diucapkan keras oleh pemeriksa, diikuti oleh jawaban pasien. Metode ini mudah
dipahami oleh pasien dengan gangguan nonkognitif dan cepat dilakukan, namun
alat ini tidak memiliki akurasi dan sensitivitas (American Medical Association,
2010).

Universitas Sumatera Utara