Tingkat Kecemasan Orang Tua Terhadap Pemasangan Infus Pada Anak Usia Prasekolah Di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan

(1)

TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA TERHADAP

PEMASANGAN INFUS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH

DI RUANG III RSUD DR. PIRNGADI MEDAN

SKRIPSI

Oleh Melinda Agnesha

071101061

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PARENTS’ ANXIETY LEVELS TO THE IV THERAPY

ANY THEIR PRESCHOOL CHILDREN

AT ROOM 3

rd

PIRNGADI; HOSPITAL

SKRIPSI

By

Melinda Agnesha 071101061

NURSING FACULTY

UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA

2011


(3)

(4)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillah, puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahuwata’ala atas rahmat, karunia dan hidayah-Nya yang tiada terhitung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Tingkat Kecemasan Orang Tua terhadap Pemasangan Infus pada Anak Usia Prasekolah di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan”, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam penulis hadiahkan kepada Uswatun Hasanah, Rasulullah Muhammad Salallahu’alaihiwassalam, semoga mendapat syafaat beliau di yaumul akhir kelak.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu penulis rindukan, yang telah memberikan kasih sayang yang tulus, yang menjadi penyemangat dikala penulis merasa lelah dan selalu mengirimkan beribu doa disetiap sujud malamnya. Berkat merekalah penulis mendapat kekuatan, semangat dan motivasi untuk terus berjuang pantang menyerah dan berkat mereka pula penulis menyadari bahwa kegagalan dan kehilangan adalah wujud sayangnya Allah Subhanahuwata’ala pada hamba-Nya. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada abang yaitu Muhammad Helmi Agung, dan adik sepupu Riska Harnita Aulia, serta nenek Hj. Mastuti yang selalu mendoakan dan memberikan semangat dan dukungan moril serta material kepada penulis, dan untuk keponakan yang selalu penulis rindukan, Abdul Fattah, yang selalu memberikan hiburan di kala penulis merasa lelah dan jenuh melalui keluguan dan tawanya. Kepada semua keluarga besar penulis ucapkan terima kasih, tanpa kalian keberhasilan ini tidak akan pernah tercapai.


(5)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Reni Asmara Ariga, S.Kp, MARS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, bimbingan, dorongan secara moral, masukan dan arahan yang sangat membantu sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak dr. Dedi Ardinata M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes dan Ibu Rika Endah Nurhidayah S.Kp. MPd selaku dosen penguji atas masukan yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen, staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

6. Teristimewa dan terkhusus kepada ukhtifillah yang kucintai karena Allah Yuyun, Dira dan Ami. Jazakillah khoiran atas kebersamaan, ukhuwah, dorongan serta semangat yang selalu kalian berikan, semoga kita tetap istiqomah dijalan-Nya.

7. Teman-temanku stambuk 2007, Aidar, Meli, Dira, Riskina, Dewi, Yuli, Fitri, , Fizah, Egy, Ruth, Lelo, Kelompok D dan juga yang lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu atas kebersamaan selama empat tahun ini. 8. Pihak Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan yang telah memberi

izin survei pendahuluan dan izin pengambilan data untuk penelitian skripsi serta memberikan informasi kepada penulis.

9. Pihak Rumah Sakit Umum Santa Elisabeth Medan yang telah memberi izin pengambilan data untuk reliabilitas dan memberikan informasi kepada penulis.

10.Kepada seluruh responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesempatan untuk partisipasinya dalam penelitian ini .


(6)

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2011


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan proposal ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... vii

Daftar Tabel ... viii

Bab 1. Pendahuluan ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 4

3. Pertanyaan Penelitian ... 4

4. Tujuan Penelitian ... 4

5. Manfaat Penelitian ... 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka ... 6

1. Konsep Kecemasan ... 6

1.1 Pengertian Kecemasan ... 6

1.2 Tanda dan Gejala Kecemasan ... 7

1.3 Tingkat Kecemasan ... 9

1.4 Rentang Respon Kecemasan ... 12

1.5 Faktor Predisposisi ... 13

1.6 Faktor Presipitasi ... 15

2. Konsep Orang Tua ... 16

2.1 Reaksi Orang Tua selama Perawatan Anak ... 17

3. Konsep Infus ... 19

4. Reaksi Anak Prasekolah terhadap Hospitalisasi ... 21

Bab 3 Kerangka Penelitian ... 24

1. Kerangka Konseptual ... 24

3. Defenisi Operasional ... 25

Bab 4 Metodologi Penelitian ... 27

1. Desain Penelitian ... 27

2. Populasi dan Sampel ... 27

2.1 Populasi ... 27

2.2 Sampel ... 27

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4. Pertimbangan Etik ... 29

5. Instrumen Penelitian ... 29

6. Pengukuran Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 31

7. Rencana Pengumpulan Data ... 32


(8)

Bab 5 Hasil dan Pembahasan ... 34

1.Hasil Penelitian ... 34

1.1 Data Demografi ... 34

1.2 Tingkat Kecemasan ... 36

2. Pembahasan ... 41

Bab 6 Kesimpulan dan Saran ... 51

1.Kesimpulan ... 51

2.Saran... 51

Daftar Pustaka ... 53

Lampiran ... 54

1. Lembar Persetujuan Responden ... 55

2. Instrumen Penelitian ... 56

3. Jadwal Penelitian... 61

4. Surat Izin Penelitian ... 62

5. Reliabilitas ... 67

6. Analisa Data ... 68

7. Taksasi Dana ... 72


(9)

DAFTAR SKEMA

Skema 1.1 Kerangka konsep Tingkat Kecemasan Orang Tua Terhadap Pemasangan Infus pada Anak Usia Prasekolah ... 24


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Defenisi Operasional ... 25 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Karakteristik

Responden ... 35 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Kuesioner Kecemasan

di RSUD DR. Pirngadi Medan ... 38 Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Berdasarkan Tingkat Kecemasan


(11)

Judul : Tingkat Kecemasan Orang Tua terhadap Pemasangan Infus pada Anak Usia Prasekolah di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan

Nama : Melinda Agnesha NIM : 071101061 Jurusan : S-1 Keperawatan Tahun : 2011

Abstrak

Kecemasan merupakan suatu hal yang tidak jelas, adanya perasaan gelisah dan tidak tenang dengan sumber yang tidak spesifik dan tidak diketahui oleh seseorang. Tindakan pemasangan infus merupakan prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan. Orang tua juga akan merasa begitu cemas dan takut terhadap kondisi anaknya dan jenis prosedur medis yang dilakukan. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD dr. Pirngadi Medan. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan pemilihan sample adalah orang tua yang merawat anaknya di rumah sakit dengan anak berusia 3-6 tahun (prasekolah) yang dipasang infus dengan menggunakan teknik purposive sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 46 orang. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa sebagian kecil (15,2%) responden mengalami cemas ringan, sebagian besar (28,3%) responden mengalami cemas sedang, hampir setengahnya (39,1%) responden mengalami cemas berat dan sebagian kecil (17,4%) responden mengalami panik. Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan perawat dapat menerapkan asuhan keperawatan terkait dengan kecemasan, persiapan psikis keluarga dan penjelasan tentang prosedur invasif yang akan dilakukan pada anaknya serta bersikap empati dalam menghadapi orang tua yang mengalami kecemasan, sehingga dapat meminimalkan tingkat kecemasan orang tua terkait pemasangan infus pada anak. Saran untuk peneliti selanjutnya adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak.


(12)

Title : Parents’ Anxiety Levels to the IV Therapy any Their Preschool Children at Room 3rd Pirngadi; Hospital

Name : Melinda Agnesha NIM : 071101061 Faculty : Nursing Year : 2011

Abstract

Anxiety was something unclear, feeling of anxious and uneasy with non-specific source wasn’t known by anyone. Actions infusion was a procedure that causes anxiety and fear and discomfort for the child due to pain that was felt when the procedure was carried out. Parents will also feel so anxious and fearful of his condition and type of medical procedure performed. Parents were anxious and afraid when invasive procedures were performed infusion would give the effect. This research aims to determine the anxiety level of parents to IV therapy any Their Preschool Children at Room 3rd Pirngadi; Hospital. The research design used is descriptive, with sample selection was the parents who care for their children at hospitals with children aged 3-6 years (preschool) IV therapy using a purposive sampling technique. Respondents in this research amounted to 46 people. From the analysis of data showed that a little part (15.2%) of respondents having light worried, the majority (28.3%) of respondents having worried, almost half (39.1%) of respondents experienced severe anxiety and a small portion (17, 4%) of respondents experienced panic. Based on this research, nurses were expected to implement the nursing care associated with anxiety, psychological preparation for the family and an explanation of invasive procedures to be performed on children as well as being empathetic in dealing with parents who are having anxiety, so as to minimize the level of parents anxiety related to infusion in children. Suggestions for further research is to identify factors that influence the anxiety levels of parents to IV therapy any their children.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kecemasan adalah suatu keadaan perasaan kepribadian, rasa gelisah, ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Laraia & Stuart, 1998). Taylor (1997) mengatakan bahwa kecemasan merupakan suatu hal yang tidak jelas, adanya perasaan gelisah dan tidak tenang dengan sumber yang tidak spesifik dan tidak diketahui oleh seseorang.

Respon kecemasan merupakan perasaan yang paling umum yang dialami orang tua ketika ada masalah kesehatan pada anaknya. Kondisi yang menegangkan bagi orang tua dapat dilihat dari respon fisik dan psikologis yang terlihat pada orang tua. Respon fisik dan psikologis yang muncul merupakan tanda dan gejala adanya kecemasan orang tua terhadap anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit (Sukoco, 2002). Kecemasan yang bervariasi dari ringan sampai panik, ekspresi cemas orang tua berupa berjalan mondar-mandir, sering bertanya pada petugas kesehatan, bicara cepat, gelisah, ekspresi wajah sedih, murung, dan lain-lain. Pada kondisi ini, perawat atau petugas kesehatan harus bersikap bijaksana pada anak dan orang tuanya (Supartini, 2004).

Tindakan invasif yang didapat anak selama hospitalisasi sering menimbulkan trauma berkepanjangan. Salah satu prosedur invasif yang dilakukan pada anak adalah terapi melalui intravena (infus intravena). Tindakan pemasangan infus merupakan prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa


(14)

tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan (Howel & Webster, 2002). Anak prasekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa nyeri yang nyata yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan. Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan menangis keras atau berteriak; mengungkapkan secara verbal ”aaow” ”uh”, ”sakit”; memukul tangan atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif; membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang menyebabkan nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang lain; membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan; melemah; antisipasi terhadap nyeri aktual (Hockenberry & Wilson, 2007).

Orang tua akan merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena anaknya menjadi sakit. Rasa bersalah orang tua semakin menguat karena orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi nyeri fisik dan emosional anak. Orang tua juga akan merasa begitu cemas dan takut terhadap kondisi anaknya dan jenis prosedur medis yang dilakukan; sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan tersebut muncul pada saat orang tua melihat anaknya mendapat prosedur tindakan yang menyakitkan seperti pembedahan, pengambilan darah, injeksi, infus, dilakukan fungsi lumbal dan prosedur invasif lainnya. Seringkali pada saat anak harus dilakukan prosedur tersebut, orang tua bahkan menangis karena tidak tega melihat anaknya (Supartini, 2001 dalam Supartini, 2004).


(15)

Orang tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang membuat anak bertambah sakit atau nyeri. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani, 2009).

Menurut hasil data penelitian yang dilakukan oleh Christine (2010) di Rumah Sakit Advent Medan, tentang hubungan dukungan keluarga dengan respon cemas anak usia sekolah terhadap pemasangan intravena, menunjukkan bahwasannya ada hubungan antara dukungan keluarga dengan respon cemas anak usia sekolah terhadap pemasangan intravena di Rumah Sakit Advent Medan. Penelitian ini membuktikan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga yang diberikan maka semakin rendah respon cemas anak usia sekolah terhadap pemasangan intravena dan sebaliknya semakin rendah dukungan yang diberikan keluarga maka semakin tinggi respon cemas anak usia sekolah terhadap pemasangan intravena. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dari responden anak yang mendapat terapi pemasangan intravena di Rumah Sakit Advent Medan didapat 18 orang (56,3%) berada pada tingkat respon cemas ringan, 12 orang ( 37,5%) pada tingkat respon cemas sedang, dan 2 orang (6,3%) berada pada tingkat respon cemas berat.

Berdasarkan penjelasan di atas, hampir semua orang tua yang merawat anaknya di rumah sakit mengalami kecemasan ketika melihat anaknya mendapatkan tindakan terapi infus intravena, namun kecemasan yang dirasakan setiap orang tua tersebut berbeda-beda tingkatannya Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan yang dialami orang tua


(16)

terhadap anak yang dilakukan tindakan pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

2. Perumusan Masalah

Sejauh mana tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan ?

4. Tujuan Penelitian

Mengetahui tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan

5. Manfaat Penelitian 5.1 Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau pertimbangan bagi perawat dalam hal menerapkan asuhan keperawatan terkait dengan kecemasan, persiapan psikis keluarga dan penjelasan tentang prosedur invasif yang akan dilakukan pada anaknya, bersikap empati dalam menghadapi orang tua yang mengalami kecemasan serta perawat juga diharapkan lebih terampil ketika melakukan tindakan keperawatan khususnya tindakan pemasangan infus pada anak, sehingga dapat meminimalkan tingkat kecemasan


(17)

orang tua dalam menghadapi tindakan atau prosedur invasif yang dilakukan pada anaknya.

5.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang berguna bagi para pembaca untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan juga sebagai acuan pembelajaran tentang penerapan asuhan keperawatan terkait dengan kecemasan, khususnya kecemasan orang tua dalam menghadapi tindakan atau prosedur invasif yang dilakukan pada anaknya.

.

5.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau informasi tambahan tentang pentingnya penjelasan kepada orang tua dalam setiap intervensi keperawatan yang dilakukan pada anak khususnya tindakan invasive pemasangan infuse pada anak dan dapat mengurangi kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Kecemasan 1.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan tidak dapat dibenarkan yang sering disertai dengan gejala fisiologis (Tomb, 2000). Stuart (2001) mengatakan kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak memiliki objek yang spesifik dan kondisi ini dialami secara subjektif. Cemas berbeda dengan rasa takut. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap sesuatu yang berbahaya. Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut. Menurut Wignyosoebroto, 1981 dikutip oleh Purba, dkk. (2009), takut mempunyai sumber penyebab yang spesifik atau objektif yang dapat diidentifikasi secara nyata, sedangkan cemas sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk secara nyata dan jelas.

Cemas merupakan suatu keadaan yang wajar, karena seseorang pasti menginginkan segala sesuatu dalam kehidupannya dapat berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala marabahaya atau kegagalan serta sesuai dengan harapannya. Banyak hal yang harus dicemaskan, salah satunya adalah kesehatan, yaitu pada saat dirawat di rumah sakit. Misalnya pada saat anak sakit dan harus dirawat di rumah sakit akan menimbulkan dampak bagi orang tua maupun anak tersebut. Hal yang paling umum yang dirasakan orang tua adalah kecemasan. Suatu hal yang normal, bahkan adaptif untuk sedikit cemas mengenai aspek-aspek kehidupan tersebut. Kecemasan merupakan suatu respons yang tepat terhadap


(19)

ancaman, tetapi kecemasan dapat menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman (Nevid, et al., 2005).

1.2 Tanda dan Gejala Kecemasan

Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh idividu tersebut (Hawari, 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Gejala psikologis : pernyataan cemas/ khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.

2. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan. 3. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.

4. Gejala somatic : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya.

Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan timbulnya kecemasan (Kaplan & Sadock, 1998). Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul beberapa respon yang meliputi :


(20)

1. Respon fisiologis

a. Kardiovasklar : palpitasi, tekanan darah meningkat, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.

b. Pernafasan : nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan terengah-engah c. Gastrointestinal : nafsu makan menurun, tidak nyaman pada perut, mual

dan diare.

d. Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan pusing. e. Traktus urinarius : sering berkemih.

f. Kulit : keringat dingin, gatal, wajah kemerahan. 2. Respon perilaku

Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor, ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat, menghindar, kurang kooordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal dan melarikan diri dari masalah. 3. Respon kognitif

Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan takut cedera atau kematian.

4. Respon afektif

Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati rasa, rasa bersalah dan malu.


(21)

1.3 Tingkat Kecemasan

Peplau (1963) dikutip oleh Stuart (2001), mengidentifikasi kecemasan dalam empat tingkatan dan menggambarkan efek dari tiap tingkatan.

1. Cemas Ringan

Cemas ringan merupakan cemas yang normal yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya, seperti melihat, mendengar dan gerakan menggenggam lebih kuat. Kecemasan tingkat ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.

2. Cemas Sedang

Cemas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Kecemasan ini mempersempit lapang presepsi individu, seperti penglihatan, pendengaran, dan gerakan menggenggam berkurang.

3. Cemas Berat

Cemas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.


(22)

4. Panik

Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. Individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan hal itu dikarenakan individu tersebut mengalami kehilangan kendali, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Individu yang mengalami panik juga tidak dapat berkomunikasi secara efektif. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus menerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.

Menurut Hawari (2004), tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung.

2. Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.

3. Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak. 4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak

nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk dan mimpi yang menakutkan.


(23)

5. Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk.

6. Perasaan depresi (murung) : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

7. Gejala somatik/ fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.

8. Gejala somatik/ fisik (sensorik) : tinnitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk. 9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi (denyut

jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu/ lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti sekejap.

10.Gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sepit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas dan nafas pendek/ sesak.

11.Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan berat badan.

12.Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa


(24)

haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin (frigid, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan impotensi.

13.Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri.

14.Tingkah laku/ sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kening/ dahi berkerut, wajah tegang, otot tegang/ mengeras, nafas pendek dan cepar serta wajah merah.

Masing-masing kelompok gejala diberi peilaian angka (score) antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut :

Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan) Nilai 1 =gejala ringan

Nilai 2 = gejala sedang Nilai 3 = gejala berat

Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik

1.4 Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart (2001), rentang respon induvidu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami ganguan fisik dan psikososial.


(25)

Rentang Respon Kecemasan

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

1.5 Faktor Predisposisi

Penyebab kecemasan dapat dipahami melalui beberapa teori seperti yang dikemukakan oleh Laraia dan Stuart (1998).

1. Teori Psikoanalitik

Pandangan psikoanalitik menyatakan kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Individu dengan harga diri rendah mudah mengalami perkembangan kecemasan yang berat.

Kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan ini dapat terjadi pada orag tua atau dapat juga pada anak itu sendiri yang mengalami tindakan pemasangan infus. Tindakan pemasangan infus akan menimbulkan kecemasan


(26)

dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi anak akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut dilaksanakan. Keadaan tersebut dapat membuat orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani, 2009).

3. Teori Perilaku

Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor tersebut bekerja menghambat usaha seseorang untuk memperoleh kepuasan dan kenyamanan.

Kecemasan dapat terjadi pada anak yang dirawat di rumah sakit dan dipasang infus akibat adanya hambatan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya, seperti bermain dan berkumpul bersama keluarganya (Supartini, 2004).

4. Teori Keluarga

Teori keluarga menunjukkan bahwa kecemasan merupakan hal yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Kecemasan ini terkait dengan tugas perkembangan individu dalam keluarga. Anak yang akan dirawat di rumah sakit merasa tugas perkembangannya dalam keluarga akan terganggu sehingga dapat menimbulkan kecemasan.

5. Teori Biologis

Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan. Penghambat asam aminobutirik-gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin


(27)

memainkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan kecemasan. Selain itu, telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat nyata sebagai predisposisi terhadap kecemasan. Kecemasan mungkin disertai gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stressor.

1.6 Faktor Presipitasi

Stuart (2001) mengatakan bahwa faktor presipitasi/ stressor pencetus dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :

1. Ancaman Terhadap Integritas Fisik

Ancaman terhadap integritas fisik seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Kejadian ini menyebabkan kecemasan dimana timbul akibat kekhawatiran terhadap tindakan pemasangan infus yang mempengaruhi integritas tubuh secara keseluruhan. Pada anak yang dirawat di rumah sakit timbul kecemasan karena ketidakmampuan fisiologis dan menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bermain, belajar bagi anak usia sekolah, dan lain sebagainya.

2. Ancaman terhadap Rasa Aman

Ancaman ini terkait terhadap rasa aman yang dapat menyebabkan terjadinya kecemasan, seperti ancaman terhadap sistem diri seseorang yang dapat membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial seseorang. Ancaman ini dapat terjadi pada anak yang akan yang akan dilakukan tindakan pemasangan infus dan bisa juga terjadi pada orang tua. Ancaman yang terjadi pada orang tua dapat disebabkan karena orang tua merasa bahwa anak mereka akan menerima


(28)

pengobatan yang membuat anak bertambah sakit atau nyeri. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani, 2009). Sedangkan pada anak, tindakan pemasangan infus mengakibatkan nyeri yang dirasakan anak tersebut.

2. Konsep Orangtua

Orang tua adalah orang yang berperan dalam peran pengasuh anak dalam meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial anak. Orang tua memberikan perawatan fisik dan perhatian emosional serta mengarahkan perkembangan kepribadian anak (Duvall, 1997).

Pada dasarnya tujuan utama pengasuhan anak adalah mempertahankan perkembangan fisik anak dan meningkatkan kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuannya sejalan dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama dan budaya yang diyakininya (Supartini, 2004). Kemampuan orang tua dalam menjalankan peran pengasuhan ini tidak dipelajari melalui pendidikan formal, melainkan berdasarkan pengalaman dalam menjalankan peran tersebut dan mempelajarinya melalui pengalaman orang tua yang lain dan terdahulu.

Orang tua merupakan guru yang utama karena orang tua menginterpretasikan dunia masyarakat bagi anak-anak. Lingkungan seperti kekuatan-kekuatan dari luar merupakan hal yang penting semata-mata karena lingkungan mempengaruhi orang tua. Orang tua adalah orang yang


(29)

menerjemahkan arti-arti penting yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan luar kepada anak (Friedman, 1998).

2.1 Reaksi Orang Tua selama Perawatan Anak

Reaksi orang tua terhadap perawatan anak yang dikemukakan oleh Supartini (2004) dan Thompson (1995) adalah sebagai berikut :

1. Perasaan bersalah, cemas, dan takut

Orang tua akan merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena anaknya menjadi sakit. Rasa bersalah orang tua semakin menguat karena orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi nyeri fisik dan emosional anak. Orang tua juga akan merasa begitu cemas dan takut terhadap kondisi anaknya dan jenis prosedur medis yang dilakukan; sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan tersebut muncul pada saat orang tua melihat anaknya mendapat prosedur tindakan yang menyakitkan seperti pembedahan, pengambilan darah, injeksi, infus dilakukan fungsi lumbal dan prosedur invasif lainnya. Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001 dalam Supartini, 2004).


(30)

2. Perasaan sedih

Perasaaan ini sering muncul pada orang tua ketika orang tua mengetahui diagnosa dari penyakit anaknya dan ketika melihat tindakan invasif yang dilakukan pada anaknya yang menimbulkan nyeri, seperti tindakan pemasangan infus; apalagi jika anaknya merasakan nyeri dan menangis ketika dipasang infus.

3. Takut mendapat perawatan yang tidak pantas

Orang tua sering mempunyai perasaan takut dan cemas ketika anaknya harus mendapatkan suatu perawatan. Ketakutan orang tua timbul dikarenakan takut jika anaknya mendapat perawatan yang tidak pantas, seperti perawat melakukan pemasangan infus pada anak dengan cara yang kasar dan harus ditusuk secara berulang-ulang, sehingga membuat anak menderita.

4. Takut terbeban biaya

Orang tua sering merasa takut dan cemas akan biaya perawatan anak. Pembiayaan yang harus dikeluarkan membuat orang tua dituntut untuk bekerja agar dapat memenuhi dana yang diperlukan dalam perawatan anak.

5. Takut bahwa anak akan semakin menderita

Orang tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang membuat anak bertambah sakit atau nyeri. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri.


(31)

3. Konsep Infus

Infus adalah memasukkan cairan dalam jumlah tertentu melalui vena penderita secara terus menerus dalam jangka waktu yang agak lama. Penggunaan infus cairan intravena (intravenous fluid infusion) membutuhkan peresepan yang tepat dan pengawasan (monitoring) ketat. (Weistein, 2001).

Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus yang dikemukakan oleh Arifianto (2008) adalah:

a. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

b. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

c. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

d. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi). e. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi).

f. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh).

g. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).

Indikasi pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena (peripheral venous cannulation) yang dikemukakan oleh Arifianto (2008), adalah sebagai berikut :

a. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).

b. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.


(32)

c. Pemberian kantong darah dan produk darah. d. Pemberian obat yang terus-menerus.

e. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat).

f. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

Tujuan pemberian infus menurut Weistein (2001) adalah :

a. Mencukupi kebutuhan cairan ke dalam tubuh pada penderita yang mengalami kekurangan cairan.

b. Memberi zat makan pada penderita yang tidak dapat atau tidak boleh makan dan minum melalui mulut.

c. Memberi pengobatan yang terus menerus. d. Memulai dan mempertahankan terapi cairan IV.

Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus yang dikemukakan oleh Priska (2009) adalah :

a. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan ”berulang” pada pembuluh darah.


(33)

b. Infiltrasi, yaitu masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

c. Trombofeblitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

d. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

4. Reaksi Anak Pra-Sekolah terhadap Hospitalisasi

Usia prasekolah merupakan kelompok usia tiga sampai enam tahun. Penyakit yang sering ditemukan pada anak usia prasekolah yaitu penyakit menular atau infeksi seperti cacar (varicella), parotitis (mumps), konjungtivitis, stomatitis, dan penyakit parasit pada usus. Beberapa kondisi penyakit menyebabkan anak harus dirawat di rumah sakit dan mendapatkan prosedur invasif (Hockenberry & Wilson, 2007).

Anak usia prasekolah juga mengalami stres apabila mendapatkan perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) sebagaimana kelompok anak usia lain. Perawatan anak prasekolah di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini, 2004). Anak usia prasekolah menganggap hospitalisasi merupakan pengalaman baru dan sering membingungkan yang dapat membawa dampak negatif terhadap perkembangan normal. Hospitalisasi membuat anak masuk dalam lingkungan


(34)

yang asing, dimana mereka biasanya dipaksa untuk menerima prosedur yang menakutkan, nyeri tubuh dan ketidaknyamanan (Wong, 2009). Perawatan di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit juga mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut (Supartini, 2004).

Respon anak untuk memahami nyeri yang diakibatkan oleh prosedur invasif yang menyakitkan bagi anak tergantung pada usia anak, tingkat perkembangan anak, dan faktor situasi lainnya (Hockenberry & Wilson, 2007). Sebagai contoh adalah bayi tidak mampu mengantisipasi nyeri sehingga memungkinkan tidak menunjukkan perilaku yang spesifik terkait dengan respon terhadap nyeri. Anak yang lebih kecil tidak mampu menggambarkan dengan spesifik nyeri yang mereka rasakan karena keterbatasan kosakata dan pengalaman nyeri. Tergantung usia perkembangan, anak menggunakan strategi koping seperti melarikan diri, menghindar, penangguhan tindakan, imagery, dan lain-lain. (Ball & Blinder, 2003 dalam Sulistiyani, 2009).

Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan menangis keras atau berteriak; mengungkapkan secara verbal ”aaow” ”uh”, ”sakit”; memukul tangan atau kaki; mendorong hal yang menyebabkan nyeri; kurang kooperatif; membutuhkan restrain; meminta untuk mengakhiri tindakan yang menyebabkan nyeri; menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang lain; membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan; melemah; antisipasi terhadap nyeri aktual (Hockenberry & Wilson, 2007).


(35)

Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada orangtua (Supartini, 2004). Anak prasekolah akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur yang menyakitkan agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan, atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. (Wong. 2009). Terkait prosedur yang menyakitkan, proses pemasangan infus merupakan salah satu prosedur yang menyakitkan bagi anak.


(36)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep penelitian ini disusun untuk mendeskripsikan tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Adapun kerangka konsep dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

Skema 1.1 Kerangka konsep Tingkat Kecemasan Orang Tua Terhadap Pemasangan Infus pada Anak Usia Prasekolah

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti Prosedur invasif

pemasangan infus pada anak prasekolah

Kecemasan orang tua, menimbulkan respon/ gejala :

1. Fisiologis 2. Perilaku 3. Kognitif 4. Afektif

Tingkat kecemasan orang tua : 1. Cemas ringan (skor 28-34) 2. Cemas sedang (skor 35-41) 3. Cemas berat (skor 42-48) 4. Panik (skor 49-56)


(37)

2. Defenisi Operasional Tabel 1.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur

1. Tingkat kecemasan orang tua yang anaknya dipasang infus

Kondisi kecemasan yang dialami orang tua ketika anaknya dilakukan prosedur invasif pemasangan infus.

Tingkat kecemasan orang tua terdiri dari :

1.Cemas ringan :

Orang tua yang mengalami cemas ringan akan menjadi tegang dan lebih waspada terhadap pemasangan infus pada anaknya, tingkat kesadaran yang tinggi dan tingkah laku sesuai dengan situasi. Cemas ini merupakan cemas yang normal yang dialami orang tua terhadap pemasangan infus pada anaknya.

2.Cemas sedang :

Orang tua yang mengalami cemas sedang mengalami perhatian yang selektif yaitu memusatkan perhatiannya pada pemasangan infus terhadap anaknya namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

3. Cemas berat :

Orang tua yang mengalami cemas berat cenderung untuk memusatkan perhatiannya pada tindakan pemasangan infus terhadap anaknya dan tidak dapat berpikir tentang hal lain.

Kuesioner terdiri dari 28 pernyataan dikotomi, dengan pilihan jawaban yaitu :“ya” atau “tidak”

ordinal Total skor : 28–56,

dengan perincian sebagai berikut =

1. skor 28-34 : cemas ringan 2.skor 35-41 : cemas sedang 3.skor 42-48 : cemas berat 4.skor 49-56 : panik


(38)

4. Panik :

Orang tua yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Orang tua yang panik, kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain menurun dan tidak dapat berpikir secara rasional.


(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah.

2. Populasi dan Sampel 2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua dari anak yang sedang dirawat inap di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan yaitu sebanyak 625 orang (Rekam Medik, 2009). Adapun rata-rata perbulannya menjadi sekitar 52 orang.

2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Pada penelitian ini metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

Penentuan jumlah sampel dilakukan berdasarkan rumus:

Dimana: N = Besar Populasi n = Besar Sampel

d = tingkat signifikan (0,05) (Setiadi, 2007) n = N 1 + N (d 2)


(40)

Berdasarkan rumus diatas didapatlah jumlah sampel sebanyak 46 orang. Yaitu: n = N

1 + N (d 2) = 52

1 + 52 (0,052) = 46 orang

Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Orang tua yang merawat anaknya di rumah sakit dengan anak berusia 3–6 tahun (prasekolah) yang dipasang infus.

2. Dapat berbahasa Indonesia dengan baik 3. Bersedia menjadi responden penelitian.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang III Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selain itu, rumah sakit ini juga memiliki jumlah sampel yang memadai sehingga mudah untuk mendapatkan sampel yang diinginkan untuk dapat mengetahui tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan, yaitu tanggal 8 Februari-8 Maret 2011.


(41)

4. Pertimbangan Etik

Etika penelitian ini didasarkan atas tiga aspek, yaitu informed consent, anonimity, dan confidentiality. Informed consent adalah lembar persetujuan yang diberikan kepada calon responden yang diteliti yang memenuhi kriteria penelitian (Dempsey & Dempsey, 2002). Peneliti memberi penjelasan kepada calon responden penelitian tentang tujuan penelitian dan prosedur pelaksanaan penelitian. Apabila calon responden bersedia, maka responden dipersilahkan untuk menandatangani informed consent. Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama proses pengumpulan data berlangsung. Penelitian ini tidak menimbulkan risiko bagi orang tua yang menjadi responden, baik risiko fisik maupun psikis. Berkaitan dengan kerahasiaan (Confidentiality), untuk menjaga kerahasiaan mengenai data responden maka peneliti tidak akan mencantumkan nama responden (anonimity) pada lembar pengumpulan data atau kuesioner, tetapi dengan memberi kode pada masing-masing lembaran tersebut yang hanya diketahui oleh peneliti. Begitu juga dengan kerahasiaan informasi, informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaannya. Data-data yang diperoleh dari responden juga hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner. Kuesioner ini disusun sendiri oleh peneliti. Kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu kuesioner pertama mengenai data demografi, kuesioner kedua mengenai tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah. Kuesioner data demografi terdiri dari: no. responden, umur, jenis


(42)

kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anak dan anak keberapa yang sedang dirawat di rumah sakit.

Kuesioner yang kedua adalah kuesioner tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah. Kuesioner ini diadopsi dari Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS – A) dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian; yang terdiri dari 28 pernyataan atau gejala kecemasan. Kuesioner ini menggunakan skala guttman dengan masing-masing pernyataan diberi pilihan jawaban “tidak” atau “ya”. Jika responden menjawab “tidak”, maka responden tidak mengalami/ merasakan pernyataan/ gejala tersebut dan diberi nilai 1. Jika responden menjawab “ya”, maka responden mengalami/ merasakan pernyataan/ gejala tersebut dan diberi nilai 2. Sehingga skor tertinggi untuk tiap pernyataan adalah 2 dan skor terendah adalah 1.

Menurut Sudjana (1992) untuk menghitung jumlah total skor digunakan rumus statistik :

rentang 56-28 28 p = = --- = --- = 7 banyak kelas 4 4

Dimana P merupakan panjang kelas dengan rentang (nilai tertinggi dikurang nilai terendah) sebesar 28 dan banyak kelas adalah 4. Dari hasil perhitungan, maka diperoleh panjang kelas sebesar 7. Rentang tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah menurut skala ordinal untuk kategori : cemas ringan nilainya 28–34, cemas sedang nilainya 35–41, cemas berat nilainya 42–48, dan cemas berat sekali/ panik nilainya 49–56.


(43)

6. Pengukuran Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Kuesioner tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen (kuesioner) yang digunakan mampu mengukur apa-apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni sejauh mana instrumen penelitian memuat isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Isi kuesioner, diuji validitasnya oleh orang yang ahli di bidang keperawatan jiwa, yaitu Ibu Wardiyah Daulay S.Kep. M.Kep.

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukanlah uji reliabilitas. Uji reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti sejauh mana alat tersebut tetap konsisten bila dilakukan beberapa kali dengan menggunakan alat ukur yang sama. Kuesioner penelitian ini diuji dengan reliabilitas internal yang dipoeroleh dengan cara menganalisa data dari satu kali pengetesan (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas dilakukan sebelum mengumpulkan data kepada 30 orang yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian, di RS. St. Elisabeth Medan, kemudian peneliti menilai responnya. Alasan mengambil 30 responden karena jumlah responden 30 adalah batas jumlah antara sedikit dan banyak, dengan pengertian bahwa data 30 kurvanya akan mendekati kurva normal adalah merupakan suatu fenomena ciri/ sifat alami yang normal (Machfoedz, et al., 2005) Uji reliabilitas yang digunakan adalah K-R 20 karena jenis pernyataan pada kuesioner ini adalah pernyataan dikotomi. Instrumen yang baru, dikatakan


(44)

reliabel jika memiliki reliabilitas lebih dari 0,632 (Azwar, 2003). Nilai reliabilitas pada kuesioner ini adalah 0,84, maka kuesioner ini dinyatakan reliabel.

7. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengisi kuesioner. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat surat izin pelaksanaan penelitian dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan USU dan surat izin dari lokasi penelitian yaitu di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.

Sebelum membagikan kuesioner, peneliti terlebih dahulu menyeleksi responden yang sesuai dengan kriteria penelitian. Pada saat pengumpulan data peneliti menjelaskan tentang tujuan, manfaat dan prosedur pelaksanaan penelitian kepada calon responden dan yang bersedia berpartisipasi diminta untuk menandatangani informed consent. Responden yang sesuai dengan kriteria penelitian dan bersedia menjadi responden, diberi lembar kuesioner lalu peneliti menanyakan apakah dalam mengisi jawaban kuesioner reponden mau dibacakan oleh peneliti atau membaca sendiri dan responden diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada pernyataan yang tidak dipahami. Selesai pengisian peneliti mengambil kuesioner yang telah diisi responden, kemudian memeriksa kelengkapan data. Jika ada data yang kurang, dapat langsung dilengkapi. Selanjutnya data yang telah terkumpul dianalisis.


(45)

8. Analisa Data

Setelah data terkumpul, data dianalisa dengan cara diperiksa terlebih dahulu atau editing, yaitu dengan memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi, setelah itu skoring, data yang telah terkumpul dihitung jumlahnya dengan memberikan skor yang telah ditentukan. Kemudian dilanjutkan dengan coding, memberi kode pada kuesioner untuk memudahkan penelitian dalam melakukan tabulasi data. Setelah itu tabulating, data yang telah diperiksa dimasukkan ke dalam bentuk tabel distribusi selanjutnya dilakukan persentase dari setiap kategori penilaian.

Pengolahan data dilakukan dengan analisis univariat (deskriptif), melalui penggunaan sistem komputerisasi. Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk memberikan gambaran tentang karakteristik masing-masing varibel yang diteliti (Hastono. 2001). Bentuk data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sebagai acuan yang menjelaskan karakteristik data demografi dan tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah. Bardasarkan hasil dari pengolahan data analisis univariat (statistik deskriptif), didapatkan frekuensi dan persentase untuk mendeskriptifkan data demografi, tingkat kecemasan serta memperlihatkan kategori tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah.


(46)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan mulai dari tanggal 8 Februari-8 Maret 2011 di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan. Responden pada penelitian ini adalah orang tua yang merawat anaknya di rumah sakit dengan anak berusia 3–6 tahun (prasekolah) yang dipasang infus, yang berjumlah 46 responden. Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik demografi dan tingkat kecemasan orangtua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1.1 Data Demografi

Deskripsi karakteristik demografi orang tua yang merawat anaknya di rumah sakit dengan anak berusia 3–6 tahun (prasekolah) yang dipasang infus di ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2011 didapat dari 46 responden. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan mayoritas responden berusia 20-40 tahun (83%, 38 orang), 33 orang responden berjenis kelamin perempuan (72%), 28 orang bersuku Batak (61%), 29 orang responden beragama Islam (63%), pendidikan SMA 22 orang (48%), 15 orang responden bekerja sebagai ibu rumah tangga (33%), 21 keluarga berpenghasilan 965.000-1.500.000/ bulan (46%) dan posisi anak dalam keluarga sebagian besar adalah anak bungsu (41,3%, 19 orang). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1.


(47)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentasi berdasarkan data demografi responden (n = 46 orang) di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

Karakteristik responden Frekuensi (n) Persentase (%) Usia : <20 20-40 41-60 3 38 5 6% 83% 11% Jenis Kelamin :

Laki-laki Perempuan 13 33 28% 72% Suku : Batak Minang Melayu Aceh Jawa 28 2 7 1 8 61% 4% 15% 2% 18% Agama : Islam Kristen 29 17 63% 37% Penddidikan Terakhir :

SMP SMA Perguruan tinggi 4 22 20 9% 48% 43% Pekerjaan : PNS Wiraswasta Pegawai swasta

Lain-lain (ibu rumah tangga)

6 13 12 15 13% 28% 26% 33% Penghasilan Keluarga perbulan : <965.000 965.000-1.500.000 1.500.000-3000.000 >3.000.000

Posisi anak dalam keluarga Anak tunggal Anak sulung Anak tengah Anak bungsu 7 21 10 8 9 9 9 19 15% 46% 22% 17% 19,6% 19,6% 19,6% 41,3%


(48)

1.2 Tingkat Kecemasan

Hasil penelitian tentang gejala kecemasan orang tua dalam menghadapi pemasangan infus pada anaknya. Berdasarkan kondisi/ situasi yang orang tua alami ketika anaknya dilakukan pemasangan infus intravena, yaitu : respon afektif : 15 orang tua mempunyai firasat buruk ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya (33%), sebanyak 37 orang tua takut jika anaknya mendapatkan tindakan perawatan (pemasangan infus) yang tidak pantas (dilakukan tusukan berulang dan dengan cara yang kasar) (80%), sebagian besar orang tua (39 orang) takut jika pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anaknya merasa semakin sakit atau nyeri (85%), sebanyak 22 orang tua merasa tegang saat melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya (48%), sebanyak 34 orang tua merasa gelisah ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya (74%), 22 orang tua merasa lemas dan tidak berdaya ketika melihat anaknya dipasang infus (48%), hampir semua orang tua (41 orang) merasa sedih ketika melihat anaknya dipasang infus (89%). Gangguan kecerdasan (respon kognitif) yang dialami orang tua : sebanyak 24 orang tua sulit berkonsentrasi ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (52%), 16 orang tua merasa kehilangan kontrol/ kendali pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya (35%), 21 orang tua tidak mampu melakukan hal apapun ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (46%) dan 22 orang tua yang menjadi kurang perhatian pada dirinya, keluarga dan anak-anaknya yang lain ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anaknya (48%). Gejala fisiologis = kardiovaskuler : sebanyak 24 orang tua yang merasa jantungnya berdebar-debar saat melihat anakya dipasang infus (52%) dan 18 orang tua yang merasa denyut


(49)

nadinya semakin meningkat ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (39%); respiratori (pernafasan) : 20 orang tua yang merasa dadanya terasa sempit pada saat melihat pemasangan infus pada (44%) dan sebanyak 34 orang tua sering menarik nafas panjang ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (74%); gejala somatic yang dirasakan orang tua : 12 orang tua merasa tangannya terasa dingin dan lembab saat melihat pemasangan infus pada anak saya (26%); gastrointestinal : 27 orang tua menjadi tidak selera makan atau selera makannya menurun ketika melihat anaknya dipasang infus (59%); autonom : 10 orang tua merasa pusing/ sakit kepala pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya (22%) dan hanya 8 orang tua yang merasa wajahnya terlihat pucat ketika melihat prosedur pemasangan infus pada anaknya (17%). Respon perilaku yang terjadi adalah : 18 orang tua ikut menangis ketika mendengar anaknya menangis pada saat dipasang infus (39%), hanya 8 orang tua yang tangannya gemetar pada saat melihat anaknya dipasang infus (17%), sebanyak 35 orang tua tidak tenang ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anaknya (76%), hanya 10 orang tua keluar/ tidak mau melihat ketika anaknya dipasang infus (22%), 17 orang tua suka meremas-remas jari ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (37%), hampir semua orang tua (45 orang) lebih banyak berdo’a pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya (98%) dan sebanyak 34 orang tua merasa bersalah ketika anaknya merasakan sakit/ nyeri pada saat dilakukan pemasangan infus (74%), hanya 10 orang tua merasa banyak bicara dari biasanya dengan suara yang keras ketika melihat pemasangan infus pada anaknya (22%) dan 15 orang tua menjadi lebih gugup pada saat melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya (33%). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.2.


(50)

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentasi berdasarkan kuesioner kecemasan responden (n = 46 orang) di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan.

No. Pernyataan

Jawaban

Ya Tidak

1. Saya mempunyai firasat buruk ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anak saya

33% (15 orang) 67% (31 orang)

2. Saya takut jika anak saya mendapatkan tindakan perawatan (pemasangan infus) yang tidak pantas (dilakukan tusukan berulang dan dengan cara yang kasar)

80% (37 orang) 20% (9 orang)

3. Saya takut jika pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak saya merasa semakin sakit atau nyeri.

85% (39 orang) 15% (7 orang)

4. Saya merasa tegang saat melihat tindakan pemasangan infus pada anak saya

48% (22 orang) 52% (24 orang)

5. Saya merasa gelisah ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anak saya

74% (34 orang) 26% (12 orang)

6. Saya merasa lemas dan tidak berdaya ketika melihat anak saya dipasang infus

48% (22 orang) 52% (24 orang)

7. Saya merasa sedih ketika melihat anak saya dipasang infus

89% (41 orang) 11% (5 orang)

8. Saya ikut menangis ketika mendengar anak saya menangis pada saat dipasang infus

39% (18 orang), 61% (28 orang)

9. Tangan saya gemetar pada saat melihat anak saya dipasang infus

17% (8 orang) 83% (38 orang)

10. Saya sulit berkonsentrasi ketika melihat pemasangan infus pada anak saya

52% (24 orang) 48% (22 orang)

11. Jantung saya berdebar-debar saat melihat anak saya dipasang infus

52% (24 orang) 48% (22 orang)

12. Denyut nadi saya semakin meningkat ketika melihat pemasangan infus pada anak saya


(51)

No. Pernyataan

Jawaban

Ya Tidak

13. Dada saya terasa sempit pada saat melihat pemasangan infus pada anak saya

44% (20 orang) 56% (26 orang)

14. Saya sering menarik nafas panjang ketika melihat pemasangan infus pada anak saya

74% (34 orang) 26% (12 orang)

15. Tangan saya terasa dingin dan lembab saat melihat pemasangan infus pada anak saya

26% (12 orang) 74% (34 orang)

16. Saya tidak tenang ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anak saya

76% (35 orang) 24% (11 orang)

17. Saya keluar/ tidak mau melihat ketika anak saya dipasang infus

22% (10 orang) 78% (36 orang)

18. Saya merasa banyak bicara dari biasanya dengan suara yang keras ketika melihat pemasangan infus pada anak saya

22% (10 orang) 78% (36 orang)

19. Saya merasa kehilangan kontrol/ kendali pada saat melihat pemasangan infus pada anak saya

35% (16 orang) 65% (30 orang)

20. Saya menjadi tidak selera makan atau selera makan saya menurun ketika melihat anak saya dipasang infus

59% (27 orang) 41% (19 orang)

21. Saya menjadi kurang perhatian pada diri saya, keluarga dan anak-anak saya yang lain ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anak saya

48% (22 orang) 52% (24 orang)

22. Saya merasa pusing/ sakit kepala pada saat melihat pemasangan infus pada anak saya

22% (10 orang) 78% (36 orang)

23. Wajah saya terlihat pucat ketika melihat prosedur pemasangan infus pada anak saya

17% (8 orang) 83% (38 orang)

24. Saya merasa bersalah ketika anak saya merasakan sakit/ nyeri pada saat dilakukan pemasangan infus

74% (34 orang) 26% (12 orang)

25. Saya suka meremas-remas jari ketika melihat pemasangan infus pada anak saya


(52)

No. Pernyataan

Jawaban

Ya Tidak

26. Saya lebih banyak berdo’a pada saat melihat pemasangan infus pada anak saya

98% (45 orang) 2% (1 orang)

27. Saya tidak mampu melakukan hal apapun ketika melihat pemasangan infus pada anak saya

46% (21 orang) 54% (25 orang)

28. Saya menjadi lebih gugup pada saat melihat tindakan pemasangan infus pada anak saya

33% (15 orang) 67% (31 orang)

Berdasarkan hasil jawaban, maka dapat dilihat tingkat kecemasan orang tua yaitu : 7 orang (15,2%) berada pada tingkat cemas ringan, 13 orang (28,3%) berada pada tingkat cemas sedang, 18 orang (39,1%) berada pada tingkat cemas berat dan 8 orang (17,4%) berada pada tingkat panik. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah di Ruang III RSU. Dr. Pirngadi Medan (n = 46).

Tingkat Kecemasan Frekuensi Persentase (%)

Cemas ringan (28-34) 7 orang 15,2%

Cemas sedang (35-41) 13 orang 28,3%

Cemas berat (42-48) 18 orang 39,1%


(53)

2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai tingkat kecemasan orang tua terhadap pemasangan infus pada anak yang dilakukan terhadap 46 orang tua yang anaknya dipasang infus di Ruang III Rumah Sakit Umum Daerah Pirngadi Medan, maka dapat dilihat hasilnya sebagian besar orang tua mengalami cemas berat (18 orang, 39,1%) dan cemas sedang (13 orang, 28,3%).

Usia orang tua berdasarkan karakteristik responden sebagian besar adalah berumur 20-40 tahun (83%, 38 orang). Dilihat dari tugas perkembangannya maka kategori usia ini masuk dalam tahap dewasa awal, yang merupakan masa transisi dari masa remaja yang bebas kepada masa dewasa yang dipenuhi dengan tuntutan tanggung jawab yang lebih besar (Stuart & Llaraia, 2001). Sehingga pada usia dewasa awal, stressor yang dialami oleh seseorang dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya cenderung lebih banyak (Helena, 2002). Sholeh (2005) juga berpendapat bahwasannya faktor kecemasan dapat dipengaruhi oleh usia.

Berdasarkan karakteristik responden dari penelitian ini, tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA 48% (22 orang). Notoatmodjo (2000) berpendapat, bahwa pendidikan seseorang berperan dalam membentuk sikap dan perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan. Karena hasil pendidikan ikut membentuk pola berpikir, pola persepsi dan sikap pengambilan keputusan seseorang. Pendidikan seseorang yang meningkat mengajarkan individu mengambil sikap keputusan yang terbaik untuk dirinya. Masalah yang muncul dalam dirinya mampu dikelola dengan pemikiran yang lebih rasional. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lutfa (2008) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dalam tidakan kemoterapi di RS. DR. Moewardi Surakarta,


(54)

dapat diketahui bahwa pasien yang pendidikan lebih tinggi, tingkat kecemasannya relatif lebih rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh laharti (2009) di RS. Prikasih Jakarta mengenai hubungan tingkat pengetahuan orang tua tentang persiapan operasi pada anak usia 0-12 tahun dengan tingkat kecemasan orang tua, dapat disimpulkan bahwa responden yang memiliki pendidikan yang tinggi memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah dibanding dengan responden yang memiliki pendidikan yang rendah.

Menurut Trismiati (2004), jenis kelamin merupakan identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan responden laki-laki atau perempuan. Berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak pada penelitian ini adalah perempuan 72% (33 orang). Dari penelitian yang dilakukan oleh laharti (2009), dapat disimpulkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat kecemasan lebih rendah dibanding dengan responden berjens kelamin perempuan. Laki-laki dan perempuan sudah pasti berbeda. Berbeda dalam cara berespon, bertindak, dan bekerja di dalam situasi yang mempengaruhi setiap segi kehidupannya (Kurniawan, 2008). Kaaplan & Saddock (1998), mengemukakan bahwa diperkirakan jumlah mereka yang menderita kecemasa baik aku maupun kronis dengan perbandingan wanita dan laki-laki 2:1. Selain itu umumnya perempuan dalam merespon stimulus atau rangsangan yang berasal dari luar lebih kuat dan lebih intensif daripada laki-laki. Laki-laki lebih rileks dibanding perempuan (Rhamdani, 2008). Pada penelitian ini sebagian besar responden adalah perempuan dan umumnya bekerja sebagai ibu rumah tangga (15 orang, 33%). Ibu rumah tangga lebih memiliki cukup waktu untuk menjaga anaknya yang sedang dirawat di rumah sakit (Rhamdani, 2008).


(55)

Berdasarkan posisi anak didalam keluarga dari penelitian ini, sebagian besar adalah anak bungsu 41,3% (19 orang). Sujanto, dkk (2001) berpendapat bahwa posisi anak dalam keluarga mempunyai karakteristik masing-masing. Menurutnya anak terakhir (anak bungsu) adalah anak yang termuda usianya dalam keluarga dan biasanya mendapat perhatian penuh dari semua anggota keluarga. Anak ini terlalu disayang oleh orang tua dan kakak-kakaknya, sehingga anak akan berada dalam kehidupan yang serba berkecukupan, serba menyenangkan dan serba tersedia. Semuanya ini akan memberi kesempatan pada anak untuk berlaku manja. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Budianto (2009) mengenai pengaruh terapi religius doa kesembuhan terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien preoperasi di ruang rawat inap RS Mardi Rahayu Kudus, yang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara posisi anak dalam keluarga dengan kecemasan anak prasekolah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi anak dalam keluarga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kecemasan yang dialami oleh anak selama dirawat di rumah sakit, karena kecemasan merupakan fenomena psikofisik yang bersifat manusiawi dan dapat dialami siapapun, termasuk bayi, anak-anak, remaja, dewasa, maupun orang tua (Sujanto, dkk, 2001).

Berdasarkan hasil penelitian, orang tua yang merasa bersalah ketika anaknya merasakan sakit/nyeri pada saat dilakukan pemasangan infus sebanyak 34 orang (74%). Hal ini sesuai dengan pendapat Supartini (2001 dalam Supartini, 2004), orang tua akan merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan karena anaknya menjadi sakit. Rasa bersalah orang tua semakin menguat karena orang tua merasa tidak berdaya dalam mengurangi nyeri fisik dan emosional anak.


(56)

Pada penelitian ini, sebanyak 39 orang tua (85%) merasa takut jika pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anaknya merasa semakin sakit atau nyeri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Supartini (2004) dan Thompson (1995), orang tua merasa bahwa anak mereka akan menerima pengobatan yang membuat anak bertambah sakit atau nyeri. Orang tua cemas dan takut jika prosedur invasif pemasangan infus yang dilakukan akan memberikan efek yang membuat anak merasa semakin sakit atau nyeri (Sulistiyani, 2009). Supartini (2001 dalam Supartini, 2004), juga berpendapat bahwa orang tua akan merasa begitu cemas dan takut terhadap kondisi anaknya dan jenis prosedur medis yang dilakukan; sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan trauma dan nyeri yang terjadi pada anak. Perasaan tersebut muncul pada saat orang tua melihat anaknya mendapat prosedur tindakan yang menyakitkan seperti pembedahan, pengambilan darah, injeksi, infus, dilakukan fungsi lumbal dan prosedur invasif lainnya. Seringkali pada saat anak harus dilakukan prosedur tersebut, orang tua bahkan menangis karena tidak tega melihat anaknya, seperti yang dirasakan oleh 18 orang tua (39%) yang ikut menangis ketika mendengar anaknya menangis pada saat dipasang infus.

Berdasarkan pendapat Supartini (2004) dan Thompson (1995), orang tua sering mempunyai perasaan takut dan cemas ketika anaknya harus mendapatkan suatu perawatan. Ketakutan orang tua timbul dikarenakan takut jika anaknya mendapat perawatan yang tidak pantas, seperti perawat melakukan pemasangan infus pada anak dengan cara yang kasar dan harus ditusuk secara berulang-ulang, sehingga membuat anak menderita. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian, yaitu sebanyak 37 orang tua (80%) merasa takut jika anaknya mendapatkan


(57)

tindakan perawatan (pemasangan infus) yang tidak pantas (dilakukan tusukan berulang dan dengan cara yang kasar).

Pada penelitian ini, sebanyak 41 orang tua (89%) merasa sedih ketika melihat anaknya dipasang infus. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Supartini (2004) dan Thompson (1995), bahwasannya perasaaan sedih tersebut sering muncul pada orang tua ketika orang tua mengetahui diagnosa dari penyakit anaknya dan ketika melihat tindakan invasif yang dilakukan pada anaknya yang menimbulkan nyeri, seperti tindakan pemasangan infus; apalagi jika anaknya merasakan nyeri dan menangis ketika dipasang infus.

Perilaku yang sering ditunjukkan orang tua berkaitan dengan adanya perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang hal yang sama secara berulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi wajah tegang, dan bahkan marah (Supartini, 2001 dalam Supartini, 2004). Seperti yang dirasakan oleh 34 orang tua (74%) yang merasa gelisah ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya.

Menurut Stuart (2001) pada orang yang cemas akan muncul respon perilaku berupa bicara cepat, menghindar dan melarikan diri dari masalah. Respon perilaku tersebut dialami oleh 10 orang tua (22%) yang merasa banyak bicara dari biasanya dengan suara yang keras ketika melihat pemasangan infus pada anaknya dan 10 orang tua (22%) yang keluar/tidak mau melihat ketika anaknya dipasang infus. Petugas kesehatan dapat memberikan informasi mengenai tindakan pemasangan infus yang dilakukan terhadap anaknya yang sakit, dapat meningkatkan pengetahuan orang tua dan dapat mengurangi kecemasan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan pemasangan infus, seshingga orang tua tidak


(58)

keluar/ melihat pemasangan infus pada anaknya dan orang tua dapat memberikan motivasi dan kasih sayang kepada anaknya.

Hawari (2004) berpendapat orang tua yang mengalami kecemasan dapat mengalami tanda-tanda seperti adanya rasa cemas/ khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri dan mudah tersinggung. Hal tersebut dialami oleh 15 orang tua (33%) yang mempunyai firasat buruk ketika melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya.

Pada penelitian ini, sebanyak 22 orang tua (48%) merasa tegang saat melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya. Hawari (2004) berpendapat keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum salah satunya adalah gejala psikologis yaitu merasa tegang. Stuart (2001) juga berpendapat, pada orang yang cemas akan muncul beberapa respon, saah satu responnya adalah ketegangan fisik.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diantara orang tua yang anaknya dilakukan tindakan pemasangan infus mengatakan tangannya gemetar pada saat melihat anaknya dipasang infus, yaitu sekitar 8 orang tua (17%). Hal ini sesuai dengan pendapat Hawari (2004), yang mengatakan bahwa tangan gemetar merupakan salah satu tanda dari gejala kecemasan.

Gejala kecemasan atau respon yang akan muncul pada orang yang mengalami cemas menurut Hawari (2004) dan Stuart (2001) adalah sukar atau tidak mampu berkonsentrasi. Hal tersebut dialami oleh 24 orang tua (52%) yang anaknya mendapatkan tindakan invasif pemasangan infus. Sebagian orang tua sulit untuk berkonsentrasi ketika melihat pemasangan infus pada anaknya.


(59)

Hawari (2004) berpendapat terdapat 14 gejala yang ditunjukkan oleh seseorang yang mengalami kecemasan, salah satunya adalah gejala somatik/fisik (sensorik) yang diantaranya ditandai oleh muka merah atau pucat dan merasa lemas. Hal tersebut dirasakan oleh 8 orang tua (17%) yang wajahnya terlihat pucat ketika melihat prosedur pemasangan infus pada anaknya dan 22 orang tua (48%) yang merasa lemas dan tidak berdaya ketika melihat anaknya dipasang infus.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diantara 46 responden terdapat 24 orang tua (52%) yang merasa jantungnya berdebar-debar saat melihat anaknya dipasang infus dan 18 orang tua (39%) yang merasakan denyut nadinya semakin meningkat ketika melihat pemasangan infus pada anaknya. Gejala tersebut sesuai dengan gejala yang dikemukakan oleh hawari (2004), gejala yang dirasakan oleh seseorang yang mengalami kecemasan adalah Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) : takikardi (denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada dan denyut nadi mengeras.

Hawari (2004) juga berpendapat gejala yang ditimbulkan oleh seseorang yang mengalami kecemasan adalah gejala respiratori (pernafasan) : rasa tertekan atau sempit di dada dan sering menarik nafas. Dari hasil penelitian gejala tersebut juga dirasakan oleh 20 orang tua (44%) yang merasakan dadanya terasa sempit pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya dan 34 orang tua (74%) yang sering menarik nafas panjang ketika melihat pemasangan infus pada anaknya.


(60)

Selain gejala-gejala di atas, Hawari (2004) juga mengemukakan gejala yang sering terjadi pada seseorang yang mengalami kecemasan adalah Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing kepala terasa berat, kepala terasa sakit. Gejala tersebut juga dirasakan oleh 10 orang tua (22%) yang merasa pusing/ sakit kepala pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya. Tingkah laku/sikap yang sering dirasakan oleh orang yang mengalami kecemasan adalah gelisah, tidak tenang (Hawari 2004). Sikap tersebut juga dirasakan oleh 35 orang tua (76%) yang tidak tenang ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anaknya.

Pada penelitian ini, sebanyak 27 orang tua (59%) tidak selera makan atau selera makannya menurun ketika melihat anaknya dipasang infus. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Stuart (2001) bahwasannya pada orang yang cemas akan muncul beberapa respon yang meliputi nafsu makannya akan menurun.

Stuart (2001) juga mengemukakan respon perilaku yang muncul pada orang yang mengalami kecemasan adalah gugup. Seperti yang dialami oleh 15 orang tua (33%) yang menjadi lebih gugup pada saat melihat tindakan pemasangan infus pada anaknya. Respon kognitif yang juga muncul adalah perhatian terganggu, tidak mampu mengambil keputusan, menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung, takut dan kehilangan kontrol (Stuart, 2001). Hal tersebut dirasakan oleh 22 orang tua (48%) yang menjadi kurang perhatian pada dirinya, keluarga dan anak-anaknya yang lain ketika menghadapi prosedur pemasangan infus pada anaknya dan 16 orang tua (35%) yang merasa kehilangan kontrol/ kendali pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya.


(61)

Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain adalah gejala somatic : berdebar-debar, sesak nafas, sakit kepala, tangan terasa dingin dan lembab. Dari hasil penelitian terdapat 12 orang tua (26%) yang merasa tangannya terasa dingin dan lembab saat melihat pemasangan infus pada anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar orang tua (98%, 45 orang) lebih banyak berdo’a pada saat melihat pemasangan infus pada anaknya. Doa merupakan autosugesti yang dapat mendorong seorang berbuat sesuai dengan yang didoakan dan bila dipanjatkan dengan sungguh-sungguh berpengaruh pada perubahan jiwa dan badan (Sholeh, 2005). Ketika berdoa akan menimbulkan rasa percaya diri, rasa optimisme (harapan kesembuhan), mendatangkan ketenangan, damai, dan merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa sehingga mengakibatkan rangsangan ke hipotalamus untuk menurunkan produksi CRF (Cortictropin Releasing Factor) . CRF ini selanjutnya akan merangsang kelenjar pituitary anterior untuk menurunkan produksi ACTH (Adreno Cortico Tropin Hormon). Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk menurunkan sekresi kortisol. Kortisol ini yang akan menekan sistem imun tubuh sehingga mengurangi tingkat kecemasan (Rinker, 2001). Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Budianto (2009) mengenai pengaruh terapi religius doa kesembuhan terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien preoperasi di ruang rawat inap RS Mardi Rahayu Kudus, yang menyimpulkan bahwasannya terapi religius doa kesembuhan efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien preoperasi di ruang rawat inap RS.Mardi Rahayu Kudus. Hawari (2006), psikiater yang mengembangkan psikoterapi holistik, berpendapat bahwa doa menimbulkan


(62)

ketenangan. Sebagai contoh misalnya orang yang menderita kecemasan, kemudian diberi obat anti cemas, maka yang bersangkutan akan menjadi tenang. Namun orang yang sama bila memanjatkan doa juga akan memperoleh ketenangan.

Dari hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan orang tua dalam mengahadapi tindakan pemasangan infus pada anak usia prasekolah di Ruang III RSUD. Dr. Pirngadi Medan adalah pada tingkat cemas berat (39,1%, 18 orang) dan cemas sedang (28,3%, 13 orang). Dari 46 orang tua yang menjadi responden, kecemasan yang dihadapi berbeda-beda atau bervariasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hawari (2004), yang mengatakan bahwa kecemasan yang dirasakan oleh setiap individu itu berbeda-beda atau bervariasi tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh idividu tersebut.


(63)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB 5 dapat disimpulkan bahwa umur responden terbanyak adalah 20-40 tahun (83%), jenis kelamin responden yang terbanyak adalah perempuan (72%), latar belakang budaya dari reponden mayoritas bersuku Batak (61%) agama mayoritas Islam (63%), tingkat pendidikan sebagian besar adalah SMA (48%), umumnya pekerjaan responden adalah lain-lain (33%); dalam hal ini lain-lain adalah ibu rumah tangga, dengan penghasilan keluarga per bulan adalah 965.000-1.500.000 46% (21 orang) dan posisi anak dalam keluarga sebagian besar adalah anak bungsu 41,3% (19 orang). Tingkat kecemasan yang dialami orang tua terhadap pemasangan infus pada anak usia prasekolah termasuk dalam kategori cemas berat (39,1%) dan cemas sedang (28,3%).

2. Saran

2.1 Saran untuk Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini merupakan evidence based bagi perawat ruangan anak agar dapat bertindak atau bersikap empati dalam menghadapi orang tua yang mengalami kecemasan sehingga kecemasan orang tua tidak semakin bertambah dan memiliki pemahaman pentingnya menerapkan asuhan keperawatan terkait dengan kecemasan, persiapan psikis keluarga serta penjelasan tentang prosedur invasif yang akan dilakukan pada anaknya seperti tindakan pemasangan infus. Perawat juga diharapkan lebih terampil


(64)

ketika melakukan tindakan keperawatan khususnya tindakan pemasangan infus pada anak, sehingga dapat meminimalkan tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi tindakan atau prosedur invasif yang dilakukan pada anaknya

2.2 Saran untuk Pendidikan Keperawatan

Dalam pendidikan keperawatan perlu menekankan pemahaman pada peserta didik bahwa pentingnya penerapan asuhan keperawatan terkait dengan kecemasan, khususnya kecemasan orang tua dalam menghadapi tindakan atau prosedur invasif yang dilakukan pada anaknya dan bukan hanya gejala fisik saja yang perlu mendapat perhatian khusus, tetapi juga harus memperhatikan gejala psikologis yang timbul, seperti kecemasan.

2.3 Saran untuk Penelitian Keperawatan

Bagi peneliti selanjutnya diharapakan agar lebih menggali lagi faktor-faktor yang mampu mempengaruhi respon cemas orang tua terhadap pemasangan infus pada anakya. Karena penelitian ini juga hanya dilakukan pada satu rumah sakit sehingga metode penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan untuk semua orang tua yang melihat pemasangan infus pada anaknya. Sehingga peneliti menyarankan agar dilakukan penelitian yang lebih luas.


(1)

Lampiran 6

Tabel Analisa Data

Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki-laki 13 28.3 28.3 28.3

perempuan 33 71.7 71.7 100.0 Total 46 100.0 100.0

Statistics

umur

responden jenis kelamin suku responden agama responden pendidikan terakhir pekerjaan reponden penghasilan keluarga

NValid 46 46 46 46 46 46 46

Missing 0 0 0 0 0 0 0

Mean 2.04 1.72 2.11 1.37 4.35 3.65 2.41

Median 2.00 2.00 1.00 1.00 4.00 4.00 2.00

Std. Deviation .419 .455 1.567 .488 .640 1.303 .956

Minimum 1 1 1 1 3 1 1

Maximum 3 2 5 2 5 5 4

umur responden

Frequency Percent

Valid Percent Cumulative Percent V a l i d

<20 3 6.5 6.5 6.5

20-40 38 82.6 82.6 89.1 41-60 5 10.9 10.9 100.0 Total 46 100.0 100.0


(2)

suku responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid batak 28 60.9 60.9 60.9

minang 2 4.3 4.3 65.2

melayu 7 15.2 15.2 80.4

Aceh 1 2.2 2.2 82.6

jawa 8 17.4 17.4 100.0

Total 46 100.0 100.0

agama responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid islam 29 63.0 63.0 63.0

kristen 17 37.0 37.0 100.0 Total 46 100.0 100.0

pendidikan terakhir

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid smp 4 8.7 8.7 8.7

sma 22 47.8 47.8 56.5

perguruan tinggi

20 43.5 43.5 100.0


(3)

pekerjaan reponden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid pns 6 13.0 13.0 13.0

wiraswasta 13 28.3 28.3 41.3

pegawai swasta 12 26.1 26.1 67.4

lain-lain 15 32.6 32.6 100.0

Total 46 100.0 100.0

penghasilan keluarga

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid <965000 7 15.2 15.2 15.2

965000-1500000 21 45.7 45.7 60.9 1500000-3000000 10 21.7 21.7 82.6

>3000000 8 17.4 17.4 100.0


(4)

Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan

Statistics

tingkat kecemasan

N Valid 46

Missing 0

Mean 2.59

Median 3.00

Mode 3

Std. Deviation .956

Variance .914

Skewness -.180

Std. Error of Skewness .350

Kurtosis -.832

Std. Error of Kurtosis .688

Minimum 1

Maximum 4

tingkat kecemasan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 28-34 7 15.2 15.2 15.2

35-41 13 28.3 28.3 43.5 42-48 18 39.1 39.1 82.6

49-56 8 17.4 17.4 100.0


(5)

Lampiran 7

TAKSASI DANA Pengeluaran :

1. Penyusunan Proposal dan Revisi

a. Tinta Print : 3 botol x @ Rp. 15.000 =Rp. 45.000 b. Kertas : 3 rim x @ Rp. 32.000 =Rp. 96.000 c. Penggandaan Proposal : 4 x @ Rp. 10.000 =Rp. 40.000 d. Penjilidan Proposal : 4 x @ Rp. 2.500 =Rp. 10.000 e. Konsumsi Sidang Proposal =Rp. 60.000

f. Izin survey awal =Rp. 75.000

2. Pengumpulan Data

a. Transportasi =Rp. 100.000

b. Penggandaan kuesioner : 46 x @ Rp. 600 =Rp. 27.600 c. Bingkisan Responden =Rp. 50.000

d. Biaya izin penelitian = Rp. 375.000

3. Analisa Data, Penyusunan Laporan Skripsi dan Revisi

a. Tinta Print : 3 botol x @ Rp. 15.000 =Rp. 45.000 b. Kertas : 3 rim x @ Rp. 32.000 =Rp. 96.000 c. Penggandaan Laporan Skripsi : 4 x @ Rp. 15.000 =Rp. 60.000 d. Penjilidan Laporan Skripsi : 4 x @ Rp. 2.500 =Rp. 10.000 e. Konsumsi Sidang Skripsi =Rp. 60.000

f. Biaya Sidang =Rp. 150.000

g. Penggandaan Revisi Skripsi : 3 x @ Rp. 25.000 =Rp. 75.000 h. Jilid Lux Skripsi : 3 x @ Rp. 15.000 =Rp. 45.000 ____________________________________________________________


(6)

Lampiran 8

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Melinda Agnesha

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 30 September 1989 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jl. Menteng 3 No. 11 A Medan Riwayat Pendidikan :

1. 1995-2001 : SD Negeri 07 Pekayon Jakarta Timur 2. 2001-2004 : SLTP N 4 Medan

3. 2004-2007 : SMA N 5 Medan