Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

(1)

Pelaksanaan

Atraumatic Care

dalam Pemasangan Infus pada

Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Pirngadi Medan

SKRIPSI

Oleh Inggih Maretno

111101042

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

Pelaksanaan

Atraumatic Care

dalam Pemasangan Infus pada

Anak yang Mengalami Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Pirngadi Medan

SKRIPSI

Oleh Inggih Maretno

111101042

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

(4)

(5)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan”. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan mencapai gelar kesarjanaan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu:

1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Erniyati, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Evi Karota Bukit, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ikhsanuddin Ahmad, S.Kp., MNS. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

5. Farida Linda Sari, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku dosen pembimbing dalam pembuatan skripsi ini.


(6)

6. Salbiah, S.Kp., M.Kep. selaku dosen penguji 1.

7. Nur Asnah Sitohang S.Kep., Ns., M.kep. selaku dosen penguji 2.

8. Seluruh staf dan dosen Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara 9. Kedua orang tua yang penulis sayangi Ayahanda Munir Muheru dan

Ibunda Sutiati yang tidak pernah berhenti untuk mendoakan, memberikan motivasi dan semangat. Saudara penulis Adinda Yogi Pangestu yang selalu menemani dan memberikan dukungan.

10.Teman-teman penulis Ana, Astuti, Ayu, Habibul, Ulfah, Nabila dan teman-teman Program Studi Keperawatan Stambuk 2011 serta saudara-saudaraku di Forkis Rufaidah Keperawatan.

11.Direktur RSUD dr. Pirngadi yang telah memberikan izin untuk penulis melakukan penelitian.

12.Direktur RSI Malahayati yang telah memberikan izin untuk melakukan uji reliabilitas.

Penulis menyelesaikan skripsi ini dengan sungguh-sungguh. Penulis juga menerima saran dan kritik serta masukan yang membangun. Penulis berharap skripsi penelitian ini dapat memberikan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya profesi keperawatan.

Medan, Juli 2015

Penulis


(7)

Daftar Isi

Halaman judul ... i

Lembar orisinalitas ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Prakata ... iv

Daftar isi ... vi

Daftar skema ... viii

Daftar tabel ... ix

Abstrak ... x

Bab 1. Pendahuluan 1. Latar belakang ... 1

2. Perumusan masalah ... 5

3. Pertanyaan penelitian ... 6

4. Tujuan penelitian ... 6

5. Manfaat penelitian ... 6

Bab 2. Tinjauan pustaka 1. Anak ... 8

1.1. Definisi anak ... 8

1.2. Pertumbuhan dan perkembangan anak... 8

2. Rawat inap ... 15

2.1. Definisi rawat inap ... 15

2.2. Reaksi terhadap rawat inap ... 15

3. Atraumatic care ... 22

3.1. Definisi atraumatic care ... 22

3.2. Prinsip atraumatic care ... 22

3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus ... 25

Bab 3. Kerangka penelitian 1. Kerangka penelitian ... 29

2. Definisi operasional ... 30

Bab 4. Metodologi penelitian 1. Desain penelitian ... 31

2. Populasi dan sampel ... 31

2.1. Populasi ... 31

2.2. Sampel ... 31

3. Lokasi dan waktu penelitian... 32


(8)

5. Instrument penelitian ... 33

6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen ... 35

6.1. Uji validitas ... 35

6.2.Uji reliabilitas ... 35

7. Pengumpulan data ... 36

8. Analisa data ... 37

Bab 5. Hasil dan Pembahasan ... 39

1. Hasil Penelitian ... 39

2. Pembahasan ... 41

Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 50

1. Kesimpulan ... 50

2. Saran ... 50

Daftar pustaka ... 51

Lampiran-lampiran Lampiran 1. Jadwal penelitian ... 56

Lampiran 2. Inform consent ... 57

Lampiran 3. Lembar observasi ... 58

Lampiran 4. Surat izin uji realibilitas ... 59

Lampiran 5. Surat selesai uji realibilitas ... 61

Lampiran 6. Surat izin pengambilan data ... 62

Lampiran 7. Surat selesai pengambilan data ... 63

Lampiran 8. Surat persetujuan validitas ... 64

Lampiran 9. Komisi etik ... 67

Lampiran 10. Abstrak... 68

Lampiran 11. Hasil uji realibilitas ... 69

Lampiran 12. Tabel frekuensi observasi ... 76

Lampiran 13. Hasil olahan data spss pelaksanaan atraumatic care... 78

Lampiran 14. Lembar bukti bimbingan ... 79

Lampiran 15. Master tabel ... 82

Lampiran 16. Daftar riwayat hidup ... 84


(9)

DAFTAR SKEMA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Defenisi Operasional Penelitian ... 30 Tabel 2. Distribusi hasil lembar obervasi pelaksanan atraumatic care dalam

pemasangan infus ... 40 Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase pelaksanan atraumatic care


(11)

Judul : Pelaksanaan Atraumatic Care dalam Pemasangan Infus pada Anak yang Mengalami Rawat Inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

Nama Mahasiswa : Inggih Maretno

NIM : 111101042

Jurusan : Ilmu Keperawatan

Tahun Akademik : 2014-2015

ABSTRAK

Anak yang mengalami rawat inap akan memperoleh tindakan pengobatan sesuai dengan penyakitnya. Salah satu tindakan yang rutin dilakukan adalah pemasangan infus. pemasangan infus dapat menimbulkan trauma pada anak seperti rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang dirasakan setiap penusukan. Trauma yang disebabkan tindakan pemasangan infus akan berdampak secara fisik dan psikologis. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi trauma tersebut adalah dengan mengembangkan tindakan yang bersifat atraumatic care dalam pemasangan infus. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Teknik pengambilan sampel purposive sampling dengan jumlah sampel 31 tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap mayoritas kurang optimal (93,5%). Mempertimbangkan hasil penelitian, maka disarankan pada peneliti selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak.


(12)

Title of the Thesis : The Implementation of Atraumatic Care in Installing Infusion in Children Treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi Medan

Name of Student : Inggih Maretno

Std. ID Number : 111101042

Department : Nursing Science

Academic Year : 2014-2015

ABSTRACT

A child who is treated in the Inpatient Ward will have an appropriate treatment according to his illness. One of the regular actions is by installing infusion which can cause trauma like apprehensive, scared, and uncomfortable because of pain in each thrust. Trauma caused by installing infusion will get physical and psychological effect on children. To decrease the trauma, atraumatic care is developed during the installment of infusion. The objective of the research was to find out the description of the implementation of atraumatic care during the installment of infusion in children being treated in the Inpatient Wards of RSUD dr. Pirngadi, Medan. The research used descriptive method. The samples consisted of 31 treatments, taken by using purposive sampling technique. The result of the research showed that the implementation of atraumatic care in installing infusion in children being treated in the Inpatient Wards was optimal (93.5%). It is recommended that the next researchers analyze the factors which influence the implementation of atraumatic care in children during the installment of infusion.


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.

Latar belakang

Anak diartikan sebagai seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (Hidayat, 2009). Anak dengan berbagai karakteristiknya memiliki respon imun dan kekuatan pertahanan diri yang belum optimal, sehingga anak memiliki peluang yang lebih besar untuk mengalami sakit (Markum, 2002 dalam Ramdaniati, 2011).

Diperkirakan lebih dari 5 juta anak-anak di Amerika Serikat mengalami rawat inap dan setengah dari jumlah tersebut mengalami kecemasan dan stres (Kain, 2006 dalam Apriliawati, 2011).

Jumlah anak-anak yang mengalami rawat inap di Indonesia diperkirakan 35 per 1000 anak (Sumarko, 2008 dalam Purwandari, 2009). Angka kesakitan anak (Morbidity Rate) di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Nasiolnal (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun sebesar 14,91%, usia 13-15 tahun sebesar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13%.

Anak yang dirawat di rumah sakit akan memperoleh tindakan pengobatan dan perawatan sesuai dengan penyakit dan kebutuhan dasarnya. Salah satu tindakan yang rutin dilakukan adalah prosedur invasif (tindakan pemasangan infus) (Hinchliff, 1999, dalam Bolin, 2013). Hal ini didukung oleh Hindley (2004)


(14)

terapi melalui IV. Diperkirakan menurut Gallant dan Schultz (2006) sekitar 150 juta anak yang dirawat di ruang rawat inap rumah sakit di Amerika Serikat mendapatkan tindakan pemasangan infus. Jumlah pasien yang mendapat terapi infus di Inggris diperkirakan sekitar 25 juta pertahun dan telah terpasang berbagai bentuk alat akses selama perawatan (Hampton, 2008).

Anak-anak sangat rentan terhadap stres yang berhubungan dengan tindakan invasif. Memasang infus pada anak bukan merupakan hal yang mudah karena anak memiliki vena yang kecil dan rapuh, sehingga sering ditemui pemasangan infus yang berulang kali karena gagal memasang kanul intra vena. Pemasangan infus juga biasanya dilakukan berkali-kali pada anak selama anak dalam masa perawatan karena anak cenderung tidak bisa tenang sehingga infus yang sedang terpasang sering macet, aboket bengkok/patah atau bahkan infus terlepas. Akibatnya anak akan dilakukan pemasangan infus berulang kali dan dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan rasa tidak nyaman akibat nyeri yang dirasakan setiap kali penusukan (Wang, Sun & Chen, 2008). Hal ini juga akan menimbulkan trauma pada anak sehingga anak akan mengalami kecemasan dan stress (Nelson, 1999, dalam bolin 2010).

Perbedaan perkembangan diantara kelompok usia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Perry & Potter, 2005). Toleransi terhadap nyeri akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan usia, semakin bertambah usia anak maka makin bertambah pula pemahaman dan usaha untuk pencegahan terhadap nyeri (Wahyuni & Nurhidayat, 2008).


(15)

Anak pra sekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan bahkan mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan rasa nyeri yang nyata, yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan (Hockenberry & Wilson, 2007). Reaksi terhadap nyeri hampir serupa dengan reaksi yang dimunculkan pada anak usia todler, namun anak usia prasekolah bereaksi lebih baik terhadap persiapan tindakan seperti distraksi dan penjelasan perawat dibandingkan pada usia yang lebih muda (Hockenberry & Wilson, 2007). Kondisi tersebut memungkinkan adanya tindakan penurunan nyeri sebelum tindakan invasif dilaksanakan.

Trauma yang disebabkan tindakan invasif berupa pemasangan infus tidak hanya berdampak secara fisik tetapi juga psikologis. Trauma fisik dan psikologis ini akan menimbulkan persepsi negatif pada anak tentang rumah sakit (Kubsch, 2000 dalam Sulistiyani, 2009). Terpaparnya anak pada kejadian traumatik pada masa kecil akan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan atau mengerikan dalam waktu yang lama, tidak hanya anak-anak tetapi lingkungan terutama keluarga juga akan terpengaruh (Fletcher, 2003).

Berbagai upaya dilakukan perawat untuk mengurangi efek trauma pada anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat anak sesuai perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan atraumatic care (Kubsch, 2000, dalam Sulistiyani 2009). Atraumatic care merupakan perawatan yang tidak menimbulkan trauma pada anak. Perawatan tersebut difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak (Hidayat, 2009).


(16)

Atarumatic care dapat dilakukan dengan menyediakan lingkungan yang terapeutik, menggunakan intervensi yang bersifat mengurangi atau memperkecil distres psikologis dan fisik terhadap anak dan keluarga dalam sistem pelayanan kesehatan. Distres psikologis meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik dapat berkisar dari kesulitan tidur dan imobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang mengganggu seperti rasa sakit (Wong, 2009).

Tujuan utama dari pelayanan yang tidak menimbulkan trauma (atraumatic care) pada anak, agar adalah tidak ada yang tersakiti. Prinsip yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut dengan mencegah dan meminimalkan perpisahan anak dengan keluarganya, meningkatkan kontrol diri anak, dan mencegah terjadinya nyeri serta cedera tubuh (Wong, 2003).

Penelitian Mariyam (2011) menyatakan bahwa implementasi atraumatic care untuk mengurangi nyeri pada anak usia 7-13 tahun yang dirawat di ruang parikesit kelas II dan III RSUD Kota Semarang dengan teknik guided imagery saat pemasangan infus, menunjukkan adanya pengaruh pemberian guided imagery terhadap tingkat nyeri pada anak usia 7-13 tahun saat pemasangan infus. Hasilnya tingkat nyeri responden saat dilakukan pemasangan infus pada kelompok kontrol sebagian besar mengalami nyeri hebat (skala 5) yaitu 42,9 % sebanyak 12 anak, sedangkan tingkat nyeri responden pada kelompok intervensi yang sebagian besar mengalami tingkat nyeri skala 2 (sedikit lebih nyeri) yaitu 39,3 %.

Penelitian Lestari (2013) implementasi atraumatic care menyatakan adanya pengaruh dekapan keluarga dan pemberian posisi duduk terhadap distres


(17)

anak usia prasekolah dan sekolah saat dilakukan pemasangan infus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan dekapan keluarga dan posisi duduk saat dilakukan pemasangan infus mempunyai skor distres yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan posisi supinasi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang perawat, 90% pasien anak yang mengalami rawat inap akan mendapatkan tindakan pemasangan infus. Perawat mengatakan rata-rata anak akan menolak dan menangis ketika tindakan pemasangan infus akan dilakukan. Berkaitan dengan prinsip atraumatic care dalam pemasangan infus, perawat mengatakan perawat akan membujuk anak apabila anak menangis saat prosedur akan dilakukan.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa berbagai prosedur invasif yang dilakukan dengan prinsip atraumatic care dapat mengurangi trauma pada anak, baik trauma fisik (nyeri) dan trauma psikologis (cemas). Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran pelaksanaan prinsip perawatan atraumatik khususnya dalam pemasangan infus pada anak di RSUD dr. Pirngadi Medan yang merupakan salah satu rumah sakit rujukan di kota Medan.

2. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan?


(18)

3. Pertanyaan penelitian

a. Bagaimana pelaksanaan pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan?

4. Tujuan penelitian

Untuk mengidentifikasi gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

5. Manfaat penelitian

5.1. Pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumber informasi yang berguna bagi mahasiswa keperawatan terutama pada mahasiswa yang melakukan pembelajaran klinik untuk dapat memberikan perawatan yang tidak menimbulkan trauma pada saat tindakan pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap sehingga diharapkan dapat menurunkan trauma anak terhadap tindakan pemasangan infus.

5.2. Pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada perawat tentang pelaksanakan atraumatic care dalam tindakan pemasangan infus yang sesuai dengan standar pelayanan yang dibutuhkan anak.


(19)

5.3. Penelitian keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi tambahan yang berguna bagi pengembangan penelitian keperawatan berikutnya terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Anak

1.1. Definisi anak

Anak adalah seseorang yang berumur belum 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 pasal 1 tahun 2003), dalam keperawatan anak yang dimaksud anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun, anak berada dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik fisik, psikologis, sosial, dan spiritual.

Hockenberry & Wilson (2007) fase perkembangan anak terdiri dari fase prenatal (masa kehamilan sampai anak dilahirkan), fase neonatal (usia 0-28 hari), fase infant (usia 1-12 bulan), fase todler (usia 1-3 tahun), fase prasekolah (usia 3-6 tahun), fase sekolah (usia 6-12 tahun), dan fase remaja (usia 13-18 tahun).

1.2. Tahapan perkembangan anak 1.2.1. Bayi

a. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson penanaman rasa percaya adalah hal yang sangat mendasar pada fase ini. Terbentuknya kepercayaan diperoleh dari hubungannya dengan orang tua dan asuhan yang diterima anak. Rasa percaya yang diperoleh selama bayi memberi dasar untuk keberhasilan


(21)

fisik, yang membantu mereka mengahadapi situasi tidak dikenal dan tidak diketahui dengan rasa takut yang minimal (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget masa bayi merupakan tahap sensorimotor. Pada tahap ini, anak mengembangkan aktivitasnya dengan menunjukkan perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ualang untuk meniru perilaku tertentu dilingkungannya. Jadi, perkembangan intelektual dipelajari melalui sensasi dan pergerakan (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Perkembangan sosial bayi pada awalnya dipengaruhi oleh perilaku refleksifnya, seperti mengenggam, dan pada akhirnya bergantung pada interaksi anatara bayi dan pemberi asuhan utama. Menangis dan perilaku refleksif adalah metode untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam periode neonatal dan senyum sosial merupakan langkah awal dalam komunikasi sosial. Bermain adalah agen sosialisasi utama dan memberikan stimulasi yang diperlukan untuk belajar dan berinteraksi dengan lingkungan (Wong, 2009).

1.2.2. Toddler

a. Perkembangan psikososial

Menurut Erikson tugas perkembangan pada masa toddler adalah menguasai sensasi autonomi sementara, sensasi ragu, dan malu. Mereka menyadari keinginan dan kontrol mereka terhadap orang lain.


(22)

Perkembangan otonomi berpusat pada kemampuan anak untuk mengontrol tubuh dan lingkungannya. Pada fase ini, anak akan meniru perilaku orang lain disekitarnya dan hal ini merupakan proses belajar. Sebaliknya, perasaan malu dan ragu akan timbul apabila anak dipaksa oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya untuk memilih atau berbuat sesuatu yang dikehendaki mereka (Wong, 2009).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget karakteristik utama perkembangan intelektual pada tahap ini adalah fase sensorimotor dan prakonseptual. Fase sensori motor (13-18 bulan) anak menngunkan percobaan yang aktif untuk mencaai tujuan yang sebelumnya belum tercapai. Fase prakonseptual (usia 2-3 tahun) anak lebih berpikir berdasarkan persepsi mereka terhadap suatu kejadian. Penyelesaian masalah didasarkan pada apa yang mereka lihat atau dengar secara langsung daripada benda atau kejadian yang mereka ingat (Wong, 2009).

c. Perkembangan sosial

Todler memilki pemahaman dan kesadaran tentang sifat permanen benda dan kemampuan untuk menahan kepuasan yang terlambat dan mentoleransi frustasi tingkat sedang. Akibatnya, toddler akan beraksi terhadap orang asing secara berbeda dibandingkan bayi. Orang yang tidak dikenal tidak menimbulkan ancaman yang cukup bermakna terhadap hubungan mereka dengan ibu (Wong, 2009).


(23)

1.2.3. Prasekolah

a. Perkembangan psikososial

Masa prasekolah antara usia 3 sampai 6 tahun merupakan periode perkembangan psikososial sebagai periode inisiatif versus rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada di sekelilingnya. Anak usia prasekolah adalah pelajar yang energik, antusias, dan memiliki imajinasi yang aktif, apabila orang tua tidak dapat menerima imajinasi dan aktifitasnya maka anak akan merasa bersalah. Keluarga merupakan orang terdekat bagi anak usia prasekolah (Muscari, 2005).

b. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif pada anak usia prasekolah (3 sampai 6 tahun) berada pada fase peralihan antara prakonseptual dan intuitif (Muscari, 2005). Pada fase prakonseptual (usia 2 sampai 4 tahun), anak membentuk konsep yang belum matang dan tidak logis dibandingkan

dengan orang dewasa, membuat klasifikasi yang sederhana,

menghubungkan satu kejadian dengan kejadian lain, dan mempunyai pikiran yang berorientasi pada diri sendiri.

Pada fase intuitif (usia 5 sampai 7 tahun), anak menjadi mampu membuat klasifikasi, menjumlahkan, dan menghubungkan objek-objek, tetapi tidak menyadari prinsip-prinsip di balik kegiatan tersebut. Anak menunjukan proses berfikir intuitif (anak menyadari bahwa sesuatu adalah benar, tetapi ia tidak dapat mengatakan alasanya) (Muscari, 2005).


(24)

c. Perkembangan moral

Perkembangan moral anak usia prasekolah adalah adanya kemampuan untuk mengidentifikasi tingkah laku sehingga akan menghasilkan hukuman apabila tindakannya salah dan mendapat hadiah apabila tindakannya benar, serta dapat membedakan antara benar dan salah (Potter & Perry, 2009). Anak usia prasekolah berada pada tahap pra konvensional, yaitu munculnya perasaan bersalah dan menekankan pada pengendalian eksternal. Standar moral anak adalah apa yang ada pada orang lain, dan anak mengamati mereka untuk menghindari hukuman atau mendapatkan penghargaan (Muscari, 2005).

1.2.4. Sekolah

a. Perkembangan psikososial

Perkembangan psikososial anak sebagai periode laten dimana anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis dan memulai ketertarikan pada lawan jenis. Interaksi sosial lebih luas dengan teman dan penerimaan dari kelompok akan membantu anak mempunyai konsep diri yang positif. Kemampuan anak untuk berinteraksi dengan teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan perasaan sukses (sense of industry). Anak usia sekolah mulai mengembangkan keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial (Wong, 2009).


(25)

b. Perkembangan kognitif

Pada usia sekolah anak memiliki kemampuan untuk

menghubungkan serangkaian kejadian untuk menghambatkan mental anak yang dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Piaget menyatakan tahap ini sebagai operasional konkret, ketika anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan. Anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari membuat penilaian berdasarkan apa yang mereka lihat sampai membuat penilaian berdasarkan alasan mereka (pemikiran konseptual) (Wong, 2009).

c. Pekembangan moral

Pada saat pola pikir anak berubah dari egosentrisme ke pola pikir yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar moral. Anak sekolah usia 6-7 tahun mempercayai bahwa apa yang orang lain katakan pada mereka untuk melakukan sesuatu adalah benar dan apa yang mereka pikirkan adalah

salah. Oleh karena itu, anak usia 6-7 tahun kemungkinan

mengintepretasikan kecelakaan dan ketidakberuntungan sebagai hukuman kesalahan atau akibat tindakan “buruk” yang dilakukan anak. Anak usia sekolah yang lebih besar mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dirasakannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi bersifat otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang lain (Wong, 2009).


(26)

d. Perkembangan sosial

Salah satu agen sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia adalah kelompok teman sebaya, selain orang tua dan sekolah. Kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada anggotanya. Melalui kelompok teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan pemegang kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik (Wong, 2009). 1.2.5. Perkembangan remaja (usia 13-18 tahun)

a. Perkembangan psikososial

Anak remaja mulai melihat dirinya sebagai individu yang berbeda, unik dan terpisah dari setiap individu yang lain. Mereka menunjukkan perannya dengan sangat dekat dengan kelompoknya, bergaul dan mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya, untuk dapat mengambil keputusannya sendiri (Wong, 2009).

b. Perkembangan Kognitif

Pada tahap ini remaja berada pada periode operasional formal, yaitu remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual yang merupakan cirri berpikir konkret, mereka juga memperhatikan terhadap kemungkinan peristiwa yang akan terjadi (Wong, 2009).

c. Perkembangan Moral

Anak usia remaja telah mampu membuat pilihan berdasar pada prinsip yang dimiliki dan diyakininya. Apapun tindakan yang diyakininya dipersepsikan suatu kebaikan. Keputusan mereka yang melibatkan dilema


(27)

moral harus berdasarkan pada seperangkat prinsip-prinsip moral yang diyakinidan memberi mereka sumber untuk mengevaluasi tuntutan situasi dan merencanakan serangkaian tindakan yang konsisten dengan ide-ide mereka (Wong, 2009).

d. Perkembangan sosial

Masa remaja adalah masa dengan kemampuan bersosialisasi yang kuat dan sering kali merupakan suatu masa kesepian yang sama-sama kuat. Penerimaan oleh teman sebaya, beberapa teman dekat, dan jaminan rasa cinta dari keluarga yang mendukung merupakan syarat-syarat untuk proses kematangan interpersonal (Wong, 2009).

2. Rawat Inap

2.1. Definisi Rawat Inap

Rawat inap merupakan proses karena alasan berencana, darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Wong, 2009).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak saat rawat inap, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. Stressor utama dari rawat inap meliputi perpisahan, hilang kendali, cidera tubuh dan nyeri (Wong, 2009).

2.2. Reaksi Anak Terhadap Rawat Inap

Reaksi anak terhadap rawat inap dipengaruhi usia, persiapan, pengalaman terhadap penyakit sebelumnya, support keluarga, pemberi


(28)

layanan kesehatan, dan status emosi anak (Price & Gwin, 2008 dalam Lestari, 2013). Reaksi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif, keterampilan terhadap koping, dan pengaruh budaya terhadap reaksi anak sakit (James & Aswill, 2007 dalam Lestari 2013). Reaksi anak terhadap rawat inap menurut Wong (2009) yaitu:

1. Cemas akibat Perpisahan

Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen, 1998). Pada kondisi cemas akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku. Manifestasi kecemasan yang timbul terbagi menjadi tiga fase yaitu:

a. Fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif dengan menangis dan berteriak memanggil orang tua, menarik perhatian agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya serta menolak perhatian orang asing atau orang lain dan sulit ditenangkan.

b. Fase putus asa, dimana tangisan akan berhenti, anak tampak tegang dan muncul depresi yang terlihat yaitu anak kurang begitu aktif, tidak tertarik untuk bermain atau terhadap makanan dan menarik diri dari orang lain.

c. Fase menolak merupakan fase terakhir yaitu fase pelepasan atau penyangkalan, dimana anak tampak mulai mampu menyesuaikan diri terhadap kehilangan, tertarik pada lingkungan sekitar, bermain dengan orang lain dan tampak membentuk hubungan baru, meskipun perilaku


(29)

tersebut dilakukan merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan kesenangan.

2. Kehilangan Kendali

Kurangnya kendali akan mengakibatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali pada anak sangat beragam dan tergantung usia serta tingkat perkembangannya.

a. Bayi

Bayi sedang mengembangkan cirri kepribadian sehat yang paling penting yaitu rasa percaya yang dibangun melalui pemberian kasih sayang secara terus menerus dari orang yang mengasuhnya. Bayi berusaha mengendalikan lingkungannya dengan ungkapan emosional seperti menangis, tersenyum. Asuhan yang tidak konsisten dan penyimpangan dari rutinitas harian bayi dapat menyebabkan rasa tidak percaya dan menurunkan rasa kendali (Wong, 2003 ).

b. Todler

Sakit dan dirawat di rumah sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya. Keterbatasan aktifitas, kurangnya kemampuan untuk memilih dan perubahan rutinitas dan ritual akan menyebabkan anak merasa tidak berdaya. Jika rutinitas tersebut terganggu, maka dapat terjadi kemunduran terhadap kemampuan yang sudah dicapai atau disebut dengan regresi (Wong, 2003).


(30)

c. Prasekolah

Usia prasekolah menerima keadaan masuk rumah sakit dengan rasa ketakutan. Jika anak sangat ketakutan, ia dapat menampilkan perilaku agresif, dari menggigit, menendang-nendang, bahkan berlari keluar ruangan. Selain itu ada sebagian anak yang menganggapnya sebagai hukuman sehingga timbul perasaan malu dan bersalah, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya terhambat (Wong, 2003).

d. Sekolah

Rutinitas di rumah sakit seperti tirah baring yang dipaksakan, penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, kegiatan mandi di tempat tidur, penggunaan kursi roda atau brankar dapat menyebabkan ancaman dan kehilangan kendali pada anak sekolah. Akan tetapi jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali dengan cara melibatkannya dalam setiap prosedur yang memungkinkan, mereka akan berespon dengan sangat baik terhadap prosedur apa pun (Wong, 2003).

e. Remaja

Segala sesuatu yang mempengaruhi kemandirian, pengakuan diri, dan kebebasan dalam pencarian identitas diri pada remaja akan menimbulkan ancaman dan kehilangan kendali. Penyakit yang membatasi kemampuan fisik seseorang dan rawat inap yang memisahkan seseorang dari sistem pendukungnya merupakan krisis situasional yang utama. Remaja bereaksi dengan penolakan, tidak mau bekerjasama atau menarik diri. Mereka berespon


(31)

dengan pengkuan diri, marah atau frustasi sehingga staf rumah sakit sering menganggap remaja sebagai pasien yang sulit dan tidak dapat diatur.

3. Cedera tubuh dan nyeri a. Bayi

Penelitian mengenai perkembangan konsep sakit dan pemahaman anak tentang sakit berkaitan dengan ketakutan terhadap cedera tubuh tidak ada hasil temuannya pada anak-anak yang belum dapat bicara. Indikator distress yang paling konsisten adalah ekspresi wajah terhadap ketidaknyamanan. Gerakan tubuh termasuk menggeliat, menyentak, dan memukul-mukul.sebagian bayi dapat mengangis dengan keras setelah prosedur, sedangkan yang lainnya mudah ditenangkan dengan dipeluk.

b. Todller

Pengalaman seperti pemeriksaan telinga atau mulut atau pemeriksaan suhu rektal merupakan prosedur yang sangat mencemaskan dan todler bereaksi sama kerasnya dengan prosedur yang menyakitkan. Secara umum, anak dalam kelompok usia ini terus bereaksi dengan kemarahan emosional yang kuat dan resistensi fisik terhadap pengalaman nyeri baik yang aktual maupun yang dirasakan.

Perilaku yang mengindikasikan nyeri antara lain, meringis kesakitan, mengatupkan gigi dan atau bibir, membuka mata lebar-lebar, mengguncang-guncang, menggosok-gosok, dan bertindak agresif, seperti menggigit,

menendang, memukul, atau melarikan diri. Todler biasanya mampu


(32)

mereka rasakan, meskipun begitu anak belum mampu menggambarkan jenis dan intensitas nyeri.

c. Prasekolah

Anak prasekolah sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan, dimana mereka percaya bahwa sakit yang alami disebabkan pikiran atau tindakannya sendiri. Prosedur yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang baik. Mereka bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya dengan nyeri saat jarum dicabut dan takut intrusi atau pungsi pada tubuh tidak akan menutup kembali dan "isi tubuh" mereka akan keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan reaksi anak usia todler, akan tetapi anak usia prasekolah memiliki respon yang lebih baik ketika diberikan penjelasan dan distraksi terhadap prosedur yang dilakukan. Pada umumnya anak menggunakan ekspresi verbal dengan mengatakan "Pergi dari sini", mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman untuk mempengaruhi orang agar menyerah dalam melakukan prosedur. Anak prasekolah dapat menunjukkan letak nyeri mereka dan dapat menggunakan skala nyeri dengan yang tepat.

d. Sekolah

Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti atau kematian. Anak usia sekolah mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap kemungkinan


(33)

efek prosedur dan prosedur yang menyakitkan atau tidak. Anak usia sekolah mampu mengkomunikasikan secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letak, intensitas dan deskripsinya.

Secara umum, mereka telah mempelajari koping menghadapi nyeri seperti berpegangan erat, mengepalkan tangan atau mengatupkan gigi atau mencoba bertindak berani dengan meringis atau berteriak. Anak usia sekolah juga menggunakan kata-kata untuk mengendalikan reaksi mereka terhadap nyeri. Sebagian besar anak menghargai penjelasan prosedur yang diberikan dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang akan terjadi dan sebaliknya anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali dengan berupaya menunda kejadian tersebut.

e. Remaja

Citra tubuh remaja yang berubah dengan cepat membuat mereka sangat khawatir terhadap abnormalitas yang dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Mengajukan banyak pertanyaan, menarik diri, menolak orang lain, atau mempertanyakan keadekuatan perawatan merupakan respon terhadap kekhawatiran tersebut. Jika menderita suatu penyakit, mereka takut pertumbuhan mereka akan mengalami kemunduran, sehingga mereka tertinggal dari teman-teman sebayanya.

Remaja sudah memiliki pengendalian diri yang lebih baik ketika berespon terhadap nyeri. Sejalan dengan perkembangan kognitif, remaja sudah mampu menggambarkan pengalaman nyeri yang dirasakan dan menggunakan alat pengkajian nyeri untuk orang dewasa.


(34)

3. Atraumatic care

3.1. Definisi atraumatic care

Atraumatic care adalah bentuk perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak melalui penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun psikologis yang dialami anak maupun orang tua (Wong, 2009).

Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis berupa menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaan sampai pada intervensi fisik terkait menyediakan ruang untuk orang tua dan anak tinggal bersama dalam satu ruangan (rooming in). Distres psikologi meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu atau rasa bersalah. Distres fisik meliputi kesulitan mobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori yang mengganggu seperti rasa sakit, bunyi keras, cahaya yang menyilaukan atau kegelapan (Wong, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan atraumatic care adalah suatu tindakan perawatan terapeutik yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan intervensi melalui cara mengeliminasi atau meminimalisasi stres psikologi dan fisik yang dialami oleh anak dan keluarganya dalam sistem pelayanan kesehatan.

3.2. Prinsip atraumatic care pada anak

Asuhan keperawatan yang berpusat pada keluarga dan atraumatic care menjadi falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Berkaitan dengan upaya mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit. Fokus intervensi


(35)

keperawatan adalah meminimlakan stresor, memaksimalkan manfaat rawat inap, memberi dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Wong, 2009).

Ada tiga prinsip yang mendasari dalam mencapai tujuan tindakan atraumatic care (Wong et. al., 2009) yaitu:

1) mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan orang tua

Dampak perpisahan dari keluarga, anak akan mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, ketakutan, kurangnya kasih sayang, gangguan ini akan mengambat proses penyembuhan anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.

Mencegah atau meminimalkan perpisahan anak dan keluarga dapat dilakukan dengan membangun hubungan yang baik antara anak dan orang tua selama perawatan di rumah sakit, menyiapkan anak sebelum dan setelah prosedur yang tidak dikenalinya, memfasilitasi orang tua berada didekat muka anak dengan memberikan kesempatan untuk bernyanyi dan menyentuh (Hockenberry & Wilson, 2009). Mendampingi anak di ruang persiapan operasi sampai anak tertidur setelah diberikan anestesi (Gauderer, Lorig & Eastwood, 1989; Fina et al 1997).

2) Meningkatkan pengendalian diri pada anak

Mengurangi rasa takut pada anak dengan memberikan informasi yang tidak diketahui terkait lingkungan perawatan, diagnosis dan membuat lingkungan yang nyaman. Memberi kesempatan pada anak untuk kontrol terhadap dirinya dengan berpartisipasi dalam perawatan dengan penggunaan


(36)

jadwal yang konsisten dan memberikan saran secara langsung terhadap proses perawatan yang diberikan.

Memberikan peningkatan pengetahuan keluarga terkait kondisi kesehatan anak, dan keterampilan untuk mengawasi kondisi anak (Wong, 2009).

3) Mencegah atau meminimalkan nyeri dan cedera pada tubuh

Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stress. Mengurangi nyeri merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan anak. Proses pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikurangi melalui teknik farmakologi dan teknik nonfarmakologi (Wong, 2009).

Teknik farmakologi yang dapat dilakukan, misalnya pada anak yang akan dilakukan sirkumsisi maka terlebih dahulu meminta persetujuan dari orang tua dan memberi analgesik (Catudal, 1999). Pemberian sukrosa atau EMLA pada bayi saat dilakukan pengambilan sampel darah (Joseph & Ulrich, 2007).

Teknik nonfarmakologi dengan meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dilakukan dengan cara mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan.

Proses pengurangan rasa nyeri sering tidak bisa dihilangkan secara cepat akan tetapi dapat dikurangi dengan berbagai teknik misalnya distraksi, relaksasi dan imajinasi terbimbing dan meningkatkan daya koping sehingga


(37)

nyeri lebih dapat ditoleransi dan menurunkan kecemasan (Vessey dan Carlson, 1996, dalam Wong, 2009).

Pada pemasangan infus dengan cairan salin diberi kebijakan sampai dua kali penusukan (Catudal, 1999). Pemberian restraint mempertimbangkan sesuai dengan kebutuhan anak seperti memasang spalk tangan, dan mengatur jam tindakan perawatan 60-120 menit sebelum anak tidur (Joseph & Ulrich, 2007).

Tindakan perawatan atraumatic care yang harus dimiliki oleh tim kesehatan dalam merawat pasien anak diantaranya adalah mengorganisir hubungan orang tua dengan anak selama rawat inap, persiapan anak sebelum tindakan atau prosedur yang tidak menyenangkan, mengontrol rasa nyeri, mengijinkan privasi anak, mengalihkan dengan bermain untuk menghilangkan rasa takut, suara bising, bau yang tidak sedap, bersikap empati kepada keluarga dan anak yang sedang dirawat serta memberikan pendidikan kesehatan tentang kondisi sakit yang dialami anak.

3.3. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

Prosedur yang dilakukan pada anak yang dirawat mengalami rawat inap bermacam-macam. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah pemasangan infus. Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif yang sering dilakukan pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur penusukan vena dalam pemasangan infus dapat menimbulkan trauma fisik berupa nyeri dan trauma psikologis seperti rasa cemas, takut, marah, dan menangis (Wang, Sun & Chen, 2008).


(38)

Trauma fisik dan psikologis ini menimbulkan persepsi negatif anak tentang rumah sakit, untuk itu perlu ada cara agar tindakan invasif menimbulkan trauma yang minimal. Berbagai upaya dilakukan oleh perawat untuk mengurangi efek trauma pada anak akibat prosedur invasif. Tindakan yang dilakukan perawat anak sesuai perkembangan saat ini adalah dengan mengembangkan tindakan atraumatic care (Kubsch, 2000 dalam Sulistiyani, 2009).

Menurut Wong (2003) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus sebagai berikut :

1) Jelaskan prosedur pada anak sesuai dengan tingkat perkembangannya; 2) Berikan perawatan atraumatik

Berikan EMLA secara topical diatas area penusukan bila waktunya memungkinkan (sedikitnya 60 menit) atau gunakan lidokain buffer (diinjeksikan secara intradermal dekat vena dengan jarum 30G) untuk mengebaskan kulit. Biarkan persiapan kulit tersebut mengering dengan sempurna sebelum kulit ditusuk.

Gunakan metode nonfarmakologis untuk mengontrol nyeri dan ansietas, seperti distraksi anak dengan percakapan, berikan anak sesuatu untuk berkonsentrasi (misal, memeras tangan, mencubit hidung sendiri, menghitung, dan berteriak).

Metode yang lain misalnya: tempatkan kompres dingin atau es batu yang dibungkus, di area injeksi kira-kira satu menit sebelum injeksi, atau berikan pendinginan pada sisi kontralateral. Mengajarkan anak untuk mengungkapkan sakit dan nyeri apabila anak merasakannya. Dorong keberadaan orang tua atau


(39)

keluarga bila mereka ingin berpartisipasi saat tindakan keperawatan. Restrain anak hanya bilaa diperlukan agar prosedur dapat dilakukan dengan aman.

3) Anjurkan orang tua untuk menyamankan anak dan memuji anak setelah tindakan keperawatan.

Menurut Kyle (2013) perawatan atarumatik dalam pemasangan infus sebagai berikut :

1) Bina hubungan dengan anak dan orang tua. Beri tahu mereka tentang terapi IV dan apa yang diharapkan. Bersikap jujur pada anak.

2) Jelaskan bahwa venapunktur akan menimbulkan sakit, tetapi hanya sebentar. Berikan anak kerangka waktu yang dapat ia pahami, seperti waktu yang diperlukan untuk menggosok giginya atau memakan kudapan.

3) Jika memungkinkan pilih lokasi menggunakan vena tangan dan bukan vena pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi risiko flebitis. Hindari penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi jika memungkinkan karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan komplikasi lainnya.

4) Pastikan pereda nyeri yang adekuat menggunakan metode farmakologi dan non-farmakologi sebelum pemasangan peralatan.

5) Biarkan antiseptik yang digunakan untuk mempersiapkan lokasi mengering secara sempurna sebelum melakukan upaya pemasangan.

6) Gunakan sawar, seperti perban atau waslap atau lengan baju gaun anak dibawah torniket untuk menghindari kulit terjepit atau rusak.


(40)

7) Jika vena sulit ditemukan, gunakan peralatan untuk membuat vena terlihat jelas.

8) Lakukan hanya dua kali upaya untuk mendapatkan akes IV, jika tidak berhasil setelah dua kali upaya, biarkan individu lain melakukan dua kali upaya untuk mengakses lokasi IV. Jika masih tidak berhasil, evaluasi kebutuhan untuk pemasangan alat lain

9) Dorong partisipasi orang tua jika tepat dalam membantu memposisikan anak atau memberikan posisi kenyamanan, seperti pelukan terapeutik.


(41)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka konseptual

Kerangka konsep penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

Skema 1. Kerangka Konseptual Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

- optimal - kurang optimal - tidak optimal Atraumatic care dalam pemasangan infus

1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus 2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan

3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik non-farmakologi

- Menunggu area yang diberi disinfektan sampai kering

- Melakukan upaya untuk mendapatkan akses IV hanya sampai dua kali

- Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam

membantu memposisikan anak.

- Melakukan restrain pada anak apabila

diperlukan

- Memasang alat pengaman infus (spalk)

- Menempatkan balutan yang diberi gambar

senyuman atau simbol penerimaan lain diatas area pungsi


(42)

2. Definisi operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 1. Definisi operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur dan Cara Ukur

Hasil Ukur Skala

Atraumatic care dalam pemasangan infus

Prinsip perawatan yang tidak menimbulkan trauma dimana setiap tindakan pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat yang bekerja di ruang rawat inap Melati III RSUD dr. Pirngadi Medan bertujuan untuk mencegah distres fisik dan psikis pada anak.

Alat Ukur: Lembar observasi

Cara Ukur: Mengisi lembar

observasi yang terdiri dari 9 pernyataan dengan pilihan jawaban Ya dan Tidak.

1.optimal = 6-9 2. kurang

optimal = 3-5 3. tidak optimal

= 0-2


(43)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

2. Populsi dan Sampel 2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang dilakukan pada anak usia prasekolah di ruang rawat inap Melati III RSUD dr. Pirngadi Medan yaitu sebanyak 35 tindakan.

2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2006). Sampel dalam penelitian ini adalah tindakan pemasangan infus yang akan dilakukan pada anak usia pra sekolah. Pada penelitian ini metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

Kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini adalah : a. Anak usia pra sekolah (3-6 tahun)

b. Anak yang akan dilakukan pemasangan infus


(44)

Kriteria eksklusi sampel dalam penelitian ini adalah :

a. Kondisi anak sangat lemah dan mengalami gangguan kesadaran b. Orang tua tidak setuju anaknya menjadi responden penelitian

Penentuan jumlah sampel dilakukan berdasarkan rumus:

n =

Dimana: N = Besar Populasi n = Besar Sampel

d = tingkat signifikan (0,05) (Setiadi, 2007)

n =

=

= 31 tindakan

Berdasarkan rumus diatas didapatlah jumlah sampel sebanyak 31 tindakan.

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Juni 2015. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap Melati RSUD dr. Pirngadi Medan. Rumah sakit ini dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah sakit tipe B rujukan wilayah Sumatera Utara.


(45)

RSUD dr. Pirnagdi Medan merupakan rumah sakit pendidikan dan penelitian, lokasi rumah sakit yang strategis dan pengurusan surat izin penelitian yang mudah sehingga dapat memudahkan peneliti mengambil sampel.

4. Pertimbangan etik

Penelitian ini dilakukan setelah keluarnya keterangan kelayakan etik (ethical clearance) dari komisi etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan keluarnya surat izin penelitian dari pihak RSUD dr. Pirngadi Medan.

Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan terlebih dahulu tentang tujuan, manfaat dari penelitian, kegiatan dalam penelitian, hak-hak responden dalam penelitian dan kerahasiaan terjaga. Jika orang tua anak memberi izin, maka orang tua anak menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Semua data yang dikumpulkan selama penelitian disimpan dan dijaga kerahasiaanya (confidentiality), data hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian saja. Lembar observasi yang telah diisi disimpan oleh peneliti dan tidak diberikan kepada pihak RS.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti sesuai dengan permasalahan dan variabel yang akan diteliti dan mengacu kepada tinjauan pustaka. Instrumen penelitian terdiri dari lembar observasi untuk menilai pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus.


(46)

Lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus ini bertujuan untuk memberikan gambaran pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak. Lembar observasi ini menggunakan skala Guttman dengan jenis pernyataan dikotomi dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Jika perawat melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus diberi nilai 1 dan apabila perawat tidak melaksanakan atraumatic care dalam pemasangan infus diberi nilai 0. Pernyataan terdiri dari 9 pernyataan yang berisi tentang atraumatic care dalam pemasangan infus. Total skor yang didapat adalah 0-9. Perhitungan data hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan rumus statistik menurut (Arikunto 2006 dalam Ainun 2009).

Total skor : 68%-100% = optimal

34%-67% = kurang optimal

0%-33% = tidak optimal

Berdasarkan standar Arikunto (2006 dalam Ainun 2009), maka didapatkan rentang sebagai berikut:

6-9 : optimal

3-5 : kurang optimal 0-2 : tidak optimal


(47)

6. Uji validitas dan reliabilitas instrumen 6.1. Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur. Pengujian validitas terhadap 10 item lembar penerapan atraumatic care dilakukan dengan validitas isi (content validity), yaitu meminta pendapat pakar pada bidang yang sedang diteliti (judgement expert). Uji validitas pada penelitian ini akan dilakukan oleh beberapa ahli yaitu, kepala ruangan Anak RSUD dr. Pirngadi medan, kepala ruangan Anak RS. USU, dan dosen dasar Fakultas Kepereawatan Universitas Sumatera Utara. Jika ada pernyataan dalam instrumen yang tidak relevan dan tidak jelas, maka pernyataan akan diperbaiki, dihapus, dan ditambah sesuai dengan instruksi validator. Pada instrumen ini terdiri dari dari 9 pernyataan yang diperbaiki secara gramatikal, 1 pernyataan yang dihapus karena tidak relevan. Setelah instrumen disetujui oleh ketiga validator, dilakukan penghitungan skor uji validitas. Instrumen dinyatakan valid apabila skor uji validitasnya > 0,70. Skor uji validitas pada instrumen ini sebesar 0,89 dan dinyatakan valid sehingga dapat dijadikan sebgai instumen penelitian.

6.2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah instrumen dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data. Apabila alat ukur yang digunakan sudah benar, maka hasil pengukuran atau pengamatan bila kenyataan


(48)

atau fakta diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainanan tetap memiliki kesamaan (Nursalam, 2008). Sebelum melakukan uji reliabilitas, terlebih dahulu dilakukan tahap uji coba dengan mendiskusikan format observasi, menyamakan persepsi, dan melakukan latihan dengan asisten peneliti. Selanjutnya, peneliti dan asisten peneliti melakukan pengamatan sendiri-sendiri dengan menggunakan lembar observasi dan responden yang sama.

Uji realibilitas ini dilakukan kepada 10 responden tindakan pemasangan infus yang dilakukan pada anak usia pra sekolah di RSI Malahayati Medan pada 15 Maret – 25 Maret 2015. Uji yang digunakan untuk lembar observasi adalah uji interarter reliability, yaitu uji yang digunakan untuk penyamaan persepsi antara peneliti dan asisten peneliti. Alat yang digunakan untuk uji interarter reliability adalah uji indeks kesesuaian kasar (crude index agreement) (Arikunto, 2010). Hasil analisisnya 0,89 sehingga 9 item lembar observasi dinyatakan reliabel dan layak digunakan.

7. Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara :

a. Setelah melakukan ujian proposal, peneliti mengurus surat keterangan kelayakan etik dari tim komite Etik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

b. Mengajukan permohonan ijin pelaksaaan penelitian ke bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU.


(49)

c. Setelah mendapatkan ijin dari Fakultas Keperawatan USU, peneliti mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan.

d. Setelah mendapatkan izin Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, selanjutnya dilakukan pengumpulan data penelitian.

e. Sesudah izin penelitian diberikan, peneliti mendata responden yang akan diobservasi. Peneliti mendata anak yang dirawat inap yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi untuk dijadikan responden, kemudian menunggu responden mana yang akan dilakukan pemasangan infus.

f. Observer (peneliti) menjelaskan tujuan penelitian berdasarkan etika penelitian, dan meminta kesediaan orang tua anak untuk diobservasi oleh peneliti, apabila setuju, maka peneliti memberikan surat persetujuan untuk ditandatangani oleh orang tua anak. Apabila orang tua tidak bersedia maka peneliti tidak boleh memaksanya.

g. Observer melakukan observasi terhadap penerapan atraumatic care dalam

pemasangan infus. Pada saat peneliti berada di ruangan rawat inap Melati III, peneliti mengobservasi setiap tindakan pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat.

8. Analisa data

8.1. Pengolahan data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah menggunakan software statistika komputer melalui beberapa tahapan, yaitu:


(50)

a. pemberian kode (coding)

Data diklasifikasikan menurut masing-masing kategori. Setiap kategori jawaban diberi kode yang berbeda untuk mempermudah pengumpulan data. b. Memasukkan data (entry/ processing)

Data yang sudah diberi kode selanjutnya dimasukkan kedalam komputer menggunakan perangkat program statistik.

c. Pengecekan data (cleaning)

Pengecekan data yang sudah dimasukkan untuk memastikan bahwa data telah bersih dari kesalahan-kesalahan seperti pengkodean atau kesalahan membaca kode.

Analisis data yang sudah diolah dengan menggunakan program komputer, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis univariat.

8.2. Analisis univariat

Analisis univariat yang digunakan adalah analisa deskriptif statistik. Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase untuk mendeskripsikan tentang data pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak di RSUD dr. Pirngadi Medan.


(51)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan setelah dilakukan pengumpulan data pada tanggal 17 April sampai 18 Juni 2015 di RSUD dr. Pirngadi Medan.

1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase dari pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada pasien anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan.

1.1.Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

Berdasarkan hasil observasi, pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus yang paling sering dilakukan yaitu pemilihan lokasi menggunakan vena tangan dan melakukan restrain pada anak apabila diperlukan masing-masing sebanyak 31 tindakan (100%), sedangkan kategori pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus yang paling sering tidak dilakukan yaitu menjelaskan prosedur pemasangan infus, menunggu area yang diberi disinfektan sampai kering, dan menempatkan balutan yang di beri gambar senyuman atau simbol penerimaan lain diatas area pungsi masing-masing sebanyak 31 tindakan (100%).


(52)

Tabel 2. Distribusi hasil lembar observasi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pana anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan (n=31)

No. Kategori pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus

Ya Tidak

f % f %

1. Menjelaskan prosedur pemasangan infus - - 31 100

2. Pemilihan lokasi penusukan pada vena tangan 31 100 - -

3. Mengurangi persepsi nyeri dengan teknik

non-farmakologi

12 38,7 19 61,3

4. Menunggu area yang diberi disinfektan

sampai kering

- - 31 100

5. Melakukan upaya untuk akses IV hanya

sampai dua kali

20 64,5 11 35,5

6. Memfasilitasi keberadaan orang tua dalam membantu memposisikan anak

16 51,6 15 48,4

7. Melakukan restrain pada anak apabila

diperlukan

31 100 - -

8. Memasang alat pemasangan infus (spalk) 28 90,3 3 9,7

9. Menempatkan balutan yang diberi gambar

senyuman atau simbol penerimaan lain diatas area pungsi

- - 31 100

1.2. Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di RSUD dr. Pirngadi Medan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 29 pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus dilaksanakan kurang optimal (96,5%) dan 2 pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus dilaksanakan optimal (6,5%).


(53)

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap di Ruang Melati RSUD dr. Pirngadi Medan (n=31)

Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak yang mengalami rawat inap

frekuensi (f)

Persentase (%)

- Optimal

- Kurang optimal

2 29

6,5% 93,5%

2. Pembahasan

2.1. Pelaksanaan araumatic care dalam pemasangan infus pada anak

Penilaian pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus pada anak usia prasekolah dilakukan melalui hasil observasi peneliti terhadap pelaksanaan pemasangan infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana di ruang rawat inap Melati dr. Pirngadi Medan.

Berdasarkan hasil penelitian, pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus kurang optimal yaitu sebanyak 29 tindakan (93,5%), sedangkan 2 tindakan pemasangan infus (6,5 %) termasuk dalam kategori optimal dalam penerapan atraumatic care. Berdasrkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan atarumatic care dalam pemasangan infus di ruang rawat inap Melati dr. Pirngadi Medan telah menerapkan prinsip atarumatic care dalam pemasangan infus dengan cukup optimal. Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyatakan setiap tindakan yang dilakukan dalam mengatasi masalah pada anak


(54)

harus berlandaskan pada prinsip atraumatic care atau asuhan terapeutik yang bertujuan sebagai terapi bagi anak (Wong, 2009).

Hasil penelitian Amalia (2013) mendapatkan hasil bahwa 45,5% perawat memiliki perilaku yang negatif dalam melakukan atraumatic care pada perawatan anak di RSUD Dr Harjono, hal ini dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja dan pendapatan. Hal ini didukung dengan penelitian Rini (2013) yang manyatakan bahwa penerapan pelayanan atraumatic care bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia, kualitas tenaga, sarana dan prasarana maupun standar pelayanan yang sudah ditetapkan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Anjaswarni (2002 dalam Utami 2013) menyatakan bahwa latarbelakang pendidikan perawat yang rendah, keterbatasan tenaga dan beban kerja yang terlalu tinggi mengakibatkan perawat kurang mampu memenuhi semua harapan dan kebutuhan klien.

Berdasarkan hasil observasi pada aspek menjelaskan prosedur pemasangan infus yang akan dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, didapatkan hasil perawat tidak melakukan aspek ini saat pemasangan infus. Perawat sering kali datang langsung melakukan tindakan pemasangan infus pada anak. Hasil penelitian Lestari (2013) menyatakan bahwa anak dan orang tua penting diberkan informasi tentang kesiapan prosedur tindakan yang akan dilakukan, alasan mengapa prosedur tersebut diberikan dan hasil yang akan dicapai. Ketidakpastian tentang prosedur dapat meningatkan distress, rasa takut, kecemasan dan ketegangan pada anak dan orang tua. Perasaan ini dapat


(55)

Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan sesuai dengan tahap tumbuh kembang sangat diperlukan, sehingga anak mudah menerima dan mengerti prosedur yang akan dilakukan. Hal ini diperkuat oleh Kurniawati (2009) yang menyebutkan bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan melalui tindakan mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua dan anak.

Hasil observasi aspek pemilihan lokasi menggunakan vena tangan bukan vena pergelangan tangan dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi didapatkan hasil semua perawat yang akan melakukan pemasangan infus, pertama akan memilih vena yang ada di tangan dan tidak pernah memilih vena yang ada dipergelangan tangan, apabila vena yang ada di tangan kanan dan tangan kiri tidak bisa dilakukan penusukan, perawat akan memilih vena yang ada di ekstremitas bawah. Hal ini dipertegas oleh Alexander (2010) yang menyatakan bahwa pemilihan lokasi vena menggunakan vena tangan dan bukan vena pergelangan tangan atau lengan atas untuk mengurangi resiko flebitis dan menghindari penggunaan vena ekstremitas bawah dan area fleksi sendi karena area tersebut berkaitan dengan peningkatan resiko tromboflebitis dan komplikasi lainnya (jika memungkinkan). Handiyani (2007) mengatakan bahwa pemasangan kateter intravena tidak jarang menimbulkan masalah atau komplikasi, mayoritas masalah yang berhubungan dengan intravena (IV) terletak pada sistem infus atau tempat penusukan vena. Infeksi atau komplikasi lokal yang bisa terjadi antara lain flebitis. Biasanya disebabkan karena teknik pemasangan, kondisi


(56)

pasien, kondisi vena, jenis pH obat dan cairan, filtrasi, serta ukuran, panjang serta materi (bahan) selang infus.

Hasil observasi aspek mengurangi persepsi nyeri anak dengan teknik non-farmakologi di dapatkan hasil bahwa sebagian perawat melakukan pemasangan infus tanpa melakukan teknik pengurangan rasa sakit/nyeri pada anak, sehingga sering kali anak menangis dan menolak untuk dilakukan pemasangan infus. Sebagian perawat akan mengajak anak bercerita, misalnya bercerita tentang boneka yang dipegang anak, gambar kartun yang ada dibaju anak atau gambar kartun yang ada didinding rawat inap. Hal ini diperkuat oleh Wong (2008) yang menyatakan bahwa proses pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan secara tepat tetapi dapat dikurangi melalui berbagai teknik, misalnya distraksi, relaksasi, imajinasi terbimbing, dan melakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, bercerita yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan pada anak. Mencegah dan mengurangi persepsi nyeri (dampak psikologis) pada anak tidak mudah dan membuat perawat harus meluangkan waktu yang lebih banyak saat akan melakukan tindakan, namun apabila tindakan pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak dan dapat memberikan persepsi negatif terhadap perawat dan rumah sakit (Kubsch, dalam Sulistiyani, 2009).

Berbagai teknik non farmakologi seperti distraksi, relaksasi, guided imagery, stimulasi kulit memberikan strategi koping yang membantu menurunkan


(57)

tingkat nyeri, sehingga nyeri dapat ditolerir, cemas menurun, dan efektifitas pereda nyeri meningkat (Wong, 2003).

Hasil observasi pada aspek menunggu area yang diberi disinfektan mengering dengan sempurna sebelum dilakukan penusukan didapatkan hasil bahwa perawat belum melakukan aspek tersebut, perawat biasanya langsung melakukan penusukan saat area yang diberi disinfektan masih basah dan belum kering secara sempurna. Berdasarkan hasil observasi perawat tidak menunggu area tersebut kering dengan sempurna karena anak biasanya sudah menangis saat perawat menghampiri anak, sehingga perawat ingin melakukan penusukan dengan cepat agar prosedur pemasangan infus dapat dilakukan dengan cepat sehingga anak dapat segera berhenti menangis.

Area yang akan dilakukan penusukan harus di swab dengan kapas alkohol selama 30 detik, kemudian tunggu 30 detik lagi agar kulit menjadi kering. Apabila penusukan dilakukan sebelum kulit kering, masih ada kemungkinan bakteri belum mati dan akan ikut ke lokasi penusukan sehingga meningkatkan resiko infeksi (Dann, 1969 dalam Koivisisto & Felig, 1978).

Hasil observasi pada aspek melakukan upaya untuk mendapatkan akses IV hanya sampai dua kali, jika tidak berhasil setelah dua kali upaya, biarkan perawat yang lain melakukan dua kali upaya untuk mengakses lokasi IV (Jika masih tidak berhasil, evaluasi kebutuhan untuk pemasangan alat lain) sebagian perawat sudah melakukan hal tersebut, dan hanya sebagian perawat yang tidak meminta perawat lain untuk melakukan penusukan apabila perawat pertama tidak berhasil setelah dua kali upaya. Utami (2012) mengatakan bahwa penerapan


(58)

pelayanan atraumatic care oleh perawat sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya manusia, kualitas tenaga, sarana dan prasarana maupun standar pelayanan yang sudah ditetapkan.

Hasil observasi pada aspek memfasilitasi keberadaan orang tua dalam membantu memposisikan anak atau memberikan posisi yang nyaman, didapatkan hasil sebagian perawat memfasilitasi keberadaan orang tua atau keluarga dalam membantu memposisikan anak atau memberikan posisi yang nyaman.

Menurut Kolcaba dan DiMarco (2005), kehadiran orang tua saat anak menjalani tindakan invasif memberikan kenyamanan psikologis dan sosiokultural pada anak. Jika rasa nyaman anak terpenuhi maka anak akan kooperatif, tidak menangis selama tindakan, dan nyeri menurun. Hal ini sejalan dengan Perry & Potter (2005) yang mengatakan bahwa kehadiran orang yang dicintai juga akan meminimalkan kesepian dan ketakutan klien. Hal ini juga dipertegas oleh Hockenberry & Wilson (2009) yang menyatakan bahwa kehadiran orang tua sangat penting bagi anak-anak yang sedang mengalami suatu tindakan yang menimbulkan nyeri.

Hasil observasi aspek melakukan restrain pada anak hanya bila diperlukan agar prosedur dapat dilakukan dengan aman didapatkan hasil bahwa semua perawat akan memegang lengan bawah dan pergelangan tangan anak atau membedong anak dengan kain bila anak menolak dan menarik tangan saat tindakan pemasangan infus akan dilakukan. Beberapa anak yang cenderung tenang saat akan dilakukan pemasangan infus, maka perawat tidak akan


(59)

Jeffery (2002) mengatakan bahwa restraint digunakan untuk membantu dalam melaksanakan prosedur tindakan pada anak. Hal ini didukung oleh Brenner, Parahoo & Taggarat (2007) mengatakan bahwa penelitian di Inggris yang dilakukan pada 346 perawat anak, menunjukkan bahwa perawat melakukan restraint untuk kelancaran prosedur, keamanan, jenis prosedur, tingkat agitasi, umur anak, persepsi orang tua, konsentrasi dan keamanan petugas. Restarint bertujuan untuk mencegah dari bergerak anak dalam jangka waktu tertentu dan untuk melarang campur tangan anak dalam prosedur dan peralatan (Rutledge et al, 2003). Selekman dan Synder (1996) menyampaikan bahwa pengalaman pemberian restraint dapat menimbulkan masalah psikologis, kesulitan membangun hubungan dengan orang lain dan meningkatkan stress anak terhadap proses penyakit. Hockenbery dan Wilson (2009) mengatakan bahwa penggunaan restraint dapat dihindari bila anak dipersiapkan secara adekuat, pengawasan orang tua atau perawat terhadap anak, terdapat proteksi yang kuat pada posisi yang rentan. Perawat harus mempertimbangkan perkembangan anak, status mental, potensial keancaman keamanan pada diri sendiri dan orang lain.

Hasil observasi pada aspek perawat memasang alat pengaman infus pada tempat pemasangan infus (spalk) sebagai fiksasi agar tidak terjadi pemasangan ulang, didapatkan hasil sebagian besar perawat selalu memasang spalk sebagai fiksasi setelah melakukan pemasangan infus. Hal ini diperkuat oleh McCann (2002) yang mengatakan bahwa manfaat pemasangan spalk adalah untuk mencegah deformitas tulang, memberikan posisi yang stabil pada pemasangan infus, dan mencegah pergerakan tulang yang patah. Indikasi pemasangan spalk


(60)

menurut McCann (2002) adalah pasien yang mengalami patah tulang, pasien yang dipasang infus, terutama pada bayi dan anak-anak, pasien yang mengalami dislokasi sendi dan nyeri sendi.

Hasil observasi pada aspek menempatkan balutan kecil di atas area pungsi, gambari balutan tersebut dengan wajah tersenyum atau simbol penerimaan lainnya didapatkan hasil bahwa perawat tidak memberikan anak simbol penerimaan seperti gambar senyuman pada anak. Wong (2003) yang mengatakan bahwa salah satu tindakan atarumatic care dalam pemasangan infus yaitu menempatkan balutan kecil diatas area pungsi dan bersama anak gambari balutan tersebut dengan simbol-simbol penerimaan. Anak-anak sering menuntut tanggung jawab perawat terhadap rasa sakit dan trauma yang mereka rasakan. Hal ini penting bagi perawat untuk kembali membangun kepercayaan dengan anak dengan memuji dan menghibur setelah prosedur yang yang menyakitkan (Subandi, 2012). Memberikan kenyamanan pada anak akan meningkatkan kesembuhan dan mencapai hasil yang positif secara keseluruhan.

Penggunaan prosedur-prosedur yang bersifat atarumatic care perlu diciptakan untuk mengoptimalkan pelayanan yang bersifat atarumatic care dalam pemasangan infus. Lory et al (2009) menyatakan bahwa implementasi atarumatic care pada anak yang dirawat dirumah sakit dapat menurunkan trauma pada anak akibat prosedur invasif. Pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus akan berdampak besar bagi anak dan perawat. Anak akan memandang bahwa perawat baik dalam melakukan tindakan pemasangan infus sehingga anak akan


(61)

akan merasa aman dan mudah dalam melakukan tindakan pemasangan infus pada anak.

Perawat pelaksana sebagian besar telah berupaya untuk memberikan pelayanan perawatan yang tidak menimbulkan trauma saat pemasangan infus pada anak, dukungan dari pihak rumah sakit sangat penting, yaitu dengan memberian kesempatan kepada perawat untuk mengikuti seminar dan pelatihan terkait perkembangan ilmu dalam bidang keperawatan anak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa proses perubahan perilaku membutuhkan latihan yang berulang sehingga dapat menimbulkan kebiasaan yang merupakan perbuatan pokok dalam kegiatan sehari-hari dimana kebiasaan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak di dasari oleh pengetahuan.

2.2. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya menggambarkan bagaimana pelaksanaan

atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak. Jadi peneliti belum mengaitkan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak.


(62)

BAB 6 PENUTUP

1. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus di ruang rawat inap Melati RSUD dr. Pirngadi Medan mayoritas termasuk kategori kurang optimal (93,5%).

2. Saran

2.1. Pendidikan keperawatan

Mengembangkan keilmuan yang berhubungan dengan pelaksanaan tindakan keperawatan yang bersifat atraumatic care pada anak saat hospitalisasi.

2.2. Pelayanan keperawatan

2.2.1. Perawat di ruangan hendaknya memperhatikan dan melaksanakan atraumatic care saat melakukan pemasangan infus pada anak dan melakukan pendekatan pada anak sebelum melakukan tindakan. 2.2.2. Diharapkan kepada pengambil kebijakan rumah sakit agar dapat

menyusun dan menetapkan protap program pelaksanaan tindakan yang bersifat atraumatic care khusunya dalam pemasangan infus sebagai bagian manajemen asuhan keperawatan pada pasien anak di RSUD dr. Pirngadi Medan.


(63)

2.3. Penelitian keperawatan

2.3.1. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk melakukan penelitian sejenis dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care dalam pemasangan infus pada anak.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Apriliawati, A. (2011). Pengaruh biblioterapi terhadap tingkat kecemasan anak usia sekolah yang menjalani hospitalisasi di Rumah Sakit Islam Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia.

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (2000). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Brenner, M., Parahoo, K., & Taggarat, L. (2007). Restraint in children’s nursing: Addressing the distres. Journal of Children’s and Young People’s Nursing, 1(4):159-162

Bolin, N. (2011). Hubungan penerapan atraumatik care dalam pemasangan

infus terhadap respon kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi

di IRNA D Anak Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang. Skripsi Universitas Andalas.

Catudal, J. (1999). Pediatric IV therapy: Actual practice. Journal of Venous Access Devices. 4(1), 27-29. Diambil tanggal 15 oktober 2014 dari www.ivhouse.com/

Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan: Panduan

melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

Fina, D. K., et al. (1997). Parent participation in the postanesthesia care unit: Fourteen years of progress at one hospital. Journal of Peri Anesthesia

Nurs 12(3), 152-162. Diambil tanggal 22 Oktober 2014 dari

www.ipfcc.org/

Fletcher, K. E. (2003). Child psychopathology. 2nd ed. New York: The Guilford Press.

Gallant, P., & Schultz, A. A. (2006). Evaluation of a visual infusion phlebitis scale for determining appropriate discontinuation of peripheral intravenous catheter. Journal of infusion nursing, 29: 338-345. Diambil tanggal 02 November 2014 dari www.nursingtimes.net/journals/


(65)

Hampton, S. (2008). IV therapy. Jurnal of Community Nursing, 22(6), 20-22. Diambil tanggal 02 November 2014 dari www.londonlinks.nhs.uk

Hidayat, A. A. (2009). Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta: Salemba Medika

Hindley, G. (2006). Infection control in peripheral cannulae. Nursing Standart, 18(27). Diambil tanggal 24 oktober 2014 dari www.manaipho.co.nz Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2007). Wong’s nursing care of infants and

children. (8th ed.). St. Louis: Mosby Elsevier.

Jeffery, K. (2002). Therapeutic restrain of children. Paed, 14(9): 20-22

Joseph, A., & Ulrich, R. (2007). Sounth control for improved outcomes in health

care setting. Diambil tanggal 12 Desember 2014 dari

http://www.healthdesign.org;

Kolcaba, K., & Dimerco, M.A. (2005). Comfort theory and aplication to pediatric nursing. Pediatric Nursing, 31.

Kyle, T & Carman, S. (2012). Buku praktik keperawatan pediatri. Jakarta : EGC Lestari, K. B. (2013). Dampak dekapan keluarga dan pemberian posisi duduk

terhadap distres anak saat dilakukan pemasangan infus. Tesis. Universitas Indonesia.

Lory, H et al. 2009. Atraumatic Care: Emla Cream and Application of Heat to Facilitate Pheripheral Venous Cannulation In Children.

http://www.scribd.com/doc/129915463/Atraumatic-Care-EMLA-Cream#download. (diakses pada 5 maret 2015)

Mariyam. (2013). Tingkat nyeri anak usia 7-13 tahun saat dilakukan pemasangan infus di RSUD Kota Semarang. Semarang: Jurnal keperawatan anak Fikkes Unimus.

McCann, J. A. S. (2002). IV theraphy incredibly easy. 2nd ed. USA: Lippincot Williams & Wilkins.

Muscari, M. E. (2005). Keperawatan pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Polit, D. F., & Hungler, B. P. (1997). Nursing research: principles and method (5th Edition). Philadelphia: J.B. Lippincott Company.


(66)

Potter, P. A., & Perry A. G. (2005). Fundamental keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Potter, P. A., & Perry A. G. (2009). Fundamental keperawatan edisi 1 volume 7. Jakarta: Salemba Medika.

Priyatno, D. (2009). Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution) untuk Analisis Data & Uji Statistik. Yogyakarta: MediaKom. Purwandari, H. 2009. Pengaruh terapi seni untuk menurunkan tingkat kecemasan

anak usia sekolah yang menjalani hospitalisasi di wilayah Kabupaten Banyumas. Tesis. Universitas Indonesia.

Ramdaniati, S. 2011. Analisis determinan kejadian takut pada anak pra sekolah dan sekolah yang mengalami hospitalisasi di Ruang Rawat Anak RSU Blud dr. Slamet Garut. Tesis. Universitas Indonesia.

Selekman, J., & Snyder, B. (1996). Uses of and alternatives to restrains in pediatric setting. Ads Pract Acute Crit Care 7(4), 603-100.

Setiadi. (2007). Konsep dan penuisan riset keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Subandi, A. (2012). Pengaruh pemasangan spalk bermotif terhadap tingkat kooperatif anak usia pra sekolah selama prosedur injeksi intra vena di Rumah Sakit Wilayah Cilacap. Tesis. Universitas Indonesia.

Sudjana. (2005). Metode statistika edisi 5. Bandung: Tarsito

Sulistiyani, E. (2009). Pengaruh pemberian kompres es batu terhadap penurunan nyeri anak pra sekolah yang dilakukan prosedur pemasangan infus di

RSPUN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tesis. Universitas Indonesia

Suyanto. (2011). Metodologi dan aplikasi penelitian keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Utami, R. (2013). Hubungan penerapan atraumatic care dengan kecemasan anak prasekolah saat proses hospitalisasi di RSU dr. H. Koesnadi Kabupaten Bondowoso. Skripsi. Universitas Jember.

Wahyuni, A.S. Statistika Kedokteran (disertai aplikasi dengan SPSS). Jakarta: Bamboeda Communication.


(1)

(2)

(3)

observasi Pernyataan

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 total

1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 4

2 0 1 1 0 1 1 1 1 0 6

3 0 1 0 0 0 1 1 1 0 4

4 0 1 0 0 0 0 1 1 0 3

5 0 1 1 0 0 1 1 1 0 5

6 0 1 1 0 0 0 1 1 0 4

7 0 1 1 0 1 0 1 1 0 5

8 0 1 1 0 0 0 1 1 0 4

9 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5

10 0 1 0 0 1 0 1 0 0 3

11 0 1 1 0 1 0 1 1 0 5

12 0 1 0 0 1 0 1 1 0 4

13 0 1 1 0 0 1 1 1 0 5

14 0 1 1 0 1 0 1 1 0 5

15 0 1 1 0 1 1 1 0 0 5

16 0 1 0 0 1 0 1 0 0 3

17 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5

18 0 1 1 0 1 0 1 1 0 5

19 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5

20 0 1 0 0 1 0 1 1 0 4

21 0 1 0 0 1 0 1 1 0 4


(4)

23 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5

24 0 1 0 0 1 0 1 1 0 4

25 0 1 0 0 0 0 1 1 0 3

26 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5

27 0 1 0 0 0 1 1 1 0 4

28 0 1 0 0 0 1 1 1 0 4

29 0 1 1 0 1 1 1 1 0 6

30 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5


(5)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Inggih Maretno

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/tanggal lahir : Ajamu/ 19 Maret 1992

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dr. Soemarsono No. 33/25

No. HP : 085362322294

Nama Ayah : Munir

Nama Ibu : Sutiati

Pendidikan : SD Negeri 112209 Ajamu (1998-2004) SMP Swasta Yapendak Ajamu (2004-2007) SMA Negeri 3 Rantau Utara (2007-2010)


(6)

Lampiran 17

PENGELUARAN DANA PENELITIAN

1. Proposal

Penelurusan literatur dari internet Rp 100.000,-

Pencetakan literatur dari internet Rp 200.000,-

Fotokopi literatur dari buku Rp 70.000,-

Pencetakan proposal Rp 30.000,-

Penggandaan dan penjilidan proposal Rp 50.000,-

Konsumsi Rp 200.000,-

2. Pengumpulan data

Administrasi uji reliabe Rp 100.000,-

Administrasi surat survei awal Rp 200.000,-

Biaya izin penelitian Rp 400.000,-

Transportasi Rp 500.000,-

Penggandaan kuesioner & lembar persetujuan responden Rp 150.000,-

Souvenir penelitian Rp 100.000,-

3. Analisa data dan penyusunan laporan

Pencetakan skripsi Rp 150.000,-

Penggandaan dan penjilidian skripsi Rp 200.000,-

Konsumsi Rp 240.000,-

CD Rp 10.000,-