T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembatasan Periodisasi Anggota Lembaga Perwakilan Rakyat T1 BAB II

1

BAB II
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAN
PEMBATASAN KEKUASAAN
Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi dari rakyat memiliki
tugas dan wewenang yang melekat pada dirinya. Anggota lembaga
perwakilan rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan
umum, baik melalui partai politik maupun perseorangan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat
mencalonkan diri dan menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat.
HAM melekat pada setiap individu dan meliputi segala macam jenis hak
yang telah tertuang dalam berbagai macam deklarasi maupun konvenan. Hak
atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu dari
sekian hak yang dijamin. Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum
tidak terlepas dari konsep dasar dari HAM itu sendiri yakni martabat
manusia. Martabat manusia sebagai konsep dimana manusia memiliki
martabat yang tidak boleh dibatasi atau dikurangi.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai anggota lembaga
perwakilan rakyat, ada pembatasan kewenangan yang diberikan oleh undangundang. Hal ini untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dan
praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sehingga tujuan penulisan

dalam bab ini yaitu menjelaskan pembatasan periodisasi angggota lembaga
perwakilan rakyat sejalan atau sesuai dengan kerangka hukum HAM.

2

Untuk mencapai tujuan penulisan di atas maka sistematika penulisan bab
terdiri dari beberapa bagian yaitu sebagai berikut: Pertama , membahas teori
lembaga perwakilan rakyat dan periodisasi; Kedua , membahas mengenai hak
atas perlakuan yang sama di hadapan hukum; Ketiga , membahas konsep
pembatasan/pembagian kekuasaan.

A. Teori Lembaga Perwakilan Rakyat
Lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai lembaga
perwakilan rakyat, anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Masing-masing
lembaga perwakilan rakyat memiliki kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang
yang berbeda. Dalam sub bab ini akan dijabarkan perlunya lembaga

perwakilan rakyat, teori struktur lembaga perwakilan rakyat serta cara
pengisian jabatan dan periodisasi lembaga perwakilan rakyat.

1. Dasar Pemikiran Perlunya Lembaga Perwakilan Rakyat
Umumnya sebuah negara demokrasi modern dicirikan dengan adanya
organisasi politik yaitu partai politik. Anggota dari partai politik ini yang
setelah melalui prosedur dan mekanisme pemilihan duduk di lembaga
perwakilan. Partai politik secara teoritis memiliki beberapa fungsi yang
diantaranya adalah untuk merumuskan kebijakan umum setelah mengikuti
Pemilu dan mendapatkan suara untuk mewakili di lembaga perwakilan
maupun lembaga pemerintahan. Pada suatu Pemilu, partai politik akan

3

mengkampanyekan program partai sesuai dengan ideologi dan platformnya
yang konsekuensinya nanti bila partai itu menang akan menempatkan
pemimpinnya dan akan merumuskan kebijakan dalam bentuk undangundang.
Semenjak demokrasi menjadi atribut utama negara modern, maka
perwakilan merupakan mekanisme untuk mewujudkan gagasan normatif
bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat (will of the

people). Legitimasi pemerintahan akan tergantung pada kemampuannya

untuk mentransformasikan kehendak rakyat ini sebagai nilai tertinggi di atas
nilai kehendak negara (will of the state). Berdasarkan prinsip normatif seperti
itu, dalam praktek kehidupan demokrasi yang awal, lembaga legislasi
memiliki posisi sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin tentang
kedaulatan rakyat. Hal tersebut didasarkan pada satu pandangan bahwa hanya
DPR saja yang mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk
mengungkapkan kehendak rakyat dalam suatu bentuk undang-undang. Di
pihak

lain,

eksekutif

atau

pemerintah

hanya


mengikuti

atau

mengimplementasikan hukum dan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan
DPR.
Supremasi parlemen atau DPR seperti di atas di banyak negara
demokrasi konstitusional mencapai puncaknya pada abad XIX, yang dikenal
dengan abad parlementarisme. Ichlasul Amal dengan menguti pendapat
Walter Bagchot, menggambarkan supremasi tersebut dengan menyatakan
bahwa lembaga perwakilan rakyat menjalankan berbagai fungsi penting
negara, seperti menominasikan orang yang akan duduk di lembaga eksekutif,

4

menetapkan undang-undang, menyiapkan dan menetapkan anggaran negara,
mengawasi

kabinet,


menyampaikan

keluhan

masyarakat

dan

memasyarakatkan berbagai isu yang dihadapi negara.1
AH Birch mengemukakan bahwa pada umumnya terdapat lima konsep
pengertian tentang perwakilan atau wakil, yaitu:2
a.

Delegated Representation . Menurut konsep ini, seorang wakil adalah

agen/perantara atau juru bicara yang bertindak atas nama yang diwakilinya.
Menurut pengertian ini, wakil tersebut tidak diperkenankan melampaui kuasa
yang diberikan kepadanya.
b.


Microcosmic Representation . Konsep ini hanya menunjukkan bahwa

sifat-sifat wakil itu memiliki kesamaan dengan sifat-sifat golongan atau kelas
orang-orang tertentu yang diwakilinya. Konsep ini mempunyai hubungan
dengan masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya.
c.

Simbolic Representation . Konsep ini hanya menunjukkan bahwa wakil

melambangkan identitas atau kualitas golongan/kelas orang-orang tertentu
yang diwakilinya. Hal tersebut juga tidak bersangkut paut dengan masalah
kuasa atau hal-hal yang harus dilakukannya.
d.

Elective Representation . Konsep ini dianggap belum menggambarkan

kuasa/hal-hal yang harus dilakukan wakil tersebut sehingga belum
menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya.
e.


Party Representation. Semakin meningkatnya organisasi dan disiplin

partai mendorong lahirnya party bosses dan party caucauses. Para wakil

1

Jamal Wiwoho, Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD 1945 ,
UNS Press, Surakarta, 2006, h. 116-117.
2
Ibid. h. 108-109.

5

dalam lembaga perwakilan menjadi wakil dari organisasi/partai politik
bersangkutan.
Pada perkembangannya, konsep lembaga perwakilan menjadi beragam
sesuai dengan perkembangan sosial politik yang terjadi di masyarakat.
Namun demikian, tugas dan wewenang dari lembaga perwakilan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sebagai lembaga perwakilan rakyat

yang mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang
kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat
sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang dan sebagai
pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat. Dan
diinterpretasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat UndangUndang Dasar (supreme legislative body of some nations).3
Ada dua hal yang penting untuk dipahami dalam kerangka sistem
perwakilan yang terwujud dalam MPR. Pertama, adanya perbedaan antara
pengertian perwakilan pemikiran atau keterwakilan aspirasi (representation
in ideas) dan perwakilan fisik atau keterwakilan fisik (representation in
presence). Kedua, utusan golongan dalam keanggotaan MPR setelah

dilakukannya restrukturisasi menjadi dua kamar yakni DPR dan DPD.
MPR diharapkan menjadi forum atau lembaga penjelmaan seluruh
rakyat, tetapi mekanisme keterwakilan rakyat melalui fungsi MPR tidak perlu
dan bahkan tidak boleh dipahami secara mutlak, seolah-olah menjadi satusatunya saluran kedaulatan rakyat yang sah. Meskipun rakyat telah
menyalurkan aspirasinya melalui pemilihan umum dan wakil-wakil rakyat
3

Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, Princeton University Press,
New Jersey, 1976, h. 16.


6

yang terpilih telah duduk dalam keanggotaan MPR, rakyat secara sendirisendiri masih tetap memiliki hak untuk menyalurkan aspirasi lewat media
lain yang dijamin dalam konstitusi.4

2. Teori Struktur Lembaga Perwakilan Rakyat
Dalam sistem pemerintaha demokratis yang dilaksanakan dengan sistem
perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu
keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga
negara ini merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan
negara dalam hal menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh
rakyat.
Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya
dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan
bikameral.Sistem unikameral terdiri dari satu kamar, sedangkan sistem
bikameral mempunyai dua kamar yang masing-masing memiliki fungsi
tersendiri.5

2.1.Unikameral

Dalam struktur parlemen, tipe unikameral/satu kamar ini, tidak dikenal
adanya dua badan yang terpisah seperti adanya DPR dan Senat, ataupun
Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Tetapi justru sistem unikameral inilah
yang sesungguhnya lebih populer karena sebagian besar negara dunia
sekarang ini menganut sistem ini. Negara-negara yang berukuran kecil lebih
menyukai untuk memilih satu kamar daripada dua kamar, seperti masalah
4

Jimly Asshidique, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, (selanjutnya disingkat Jimly Asshidique III), h. 145-146.
5
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 10-11.

7

keseimbangan kekuatan politik adalah sangat kecil kesulitannya untuk
memecahkannya daripada dalam suatu negara besar.
Di negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang
membawa kepada komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan dan biayabiaya dengan sedikit kompensasi yang menguntungkan. Selama abad ke-20,

negara-negara Scandinavia mengganti sistem bikameral dengan unikameral,
misalnya: Konstitusi Norway, pada awalnya disusun pada tahun 1814,
terdapat contoh tentang parlemen yang mempunyai karakteristik yang jelas
dari parlemen dua kamar. Parlemen-parlemen unikameral mendominasi
sejumlah negara-negara yang memperoleh kemerdekaannya baru-baru ini,
dan dengan perkembangan politik dalam lingkungan yang sangat berbeda
dengan yang ada di Eropa pada saat pemeritahan parlemen dilahirkan.
Dalam pandangan Dahlan Thaib, beberapa keuntungan yang diperoleh
jika menggunakan model atau sistem legislatif unikameral, meliputi: 6
a.

Kemungkinan untuk dapat cepat meloloskan undang-undang (karena

hanya satu badan yang diperlukan untuk mengadopsi rancangan undangundang sehingga tidak perlu lagi menyesuaikan dengan usulan yang berbedabeda);
b.

Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat

menyalahkan majelis lainnya apabila suatu undang-undang tidak lolos, atau
bila kepentingan warga negara terabaikan);
c.

Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat

untuk memantau kepentingan mereka; dan
6

King Faisal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen
Indonesia , UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 37.

8

d.

Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.
Secara teoritik, penganut kuat doktrin sistem kamar tunggal merasa

bahwa hakikatnya kamar kedua yang diidealkan sebagai pengimbang tidaklah
dibutuhkan karena seringkali kerja-kerja legislasi redundant dilakukan oleh
kedua kamar. Meskipun mampu menjalankan fungsi legislasi, model
unikameral ini kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen.
Tanpa kamar kedua, sama sekali tidak ada kontrol bagi kamar tunggal,
sehingga satu-satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa
mekanisme kontrol internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal
legislasi, representasi, kontrol, anggaran maupun pengisian jabatan publik
menjadi berkurang.7
Dengan membandingkan konstitusi-konstitusi yang ada di Asia, sistem
unikameral yang dianut oleh Vietnam, Singapura, Laos, Lebanon, Syria,
Kuwait, dan lain-lain, fungsi Dewan atau Majelis Legislatif dalam sistem
unikameral itu terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur
negara. Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unikameral ini
beragam dan bervariasi dari satu negara dengan negara lain, tetapi pada
pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi legislatif tertinggi
diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh
rakyat.8

2.2.Bikameral
Parlemen bikameral adalah parlemen yang mempunyai dua kamar atau
majelis, yaitu kamar pertama atau Majelis Rendah dan kamar kedua atau
7
8

Saldi Isra, Op. Cit., h. 233-234
Reni Dwi Purnomowati, Op. Cit., h. 12-13.

9

Majelis Tinggi. Majelis Rendah merupakan kamar perwakilan rakyat yang
dipilih secara langsung, dan diwakilkan melalui partai politik dalam
parlemen, sedangkan majelis tinggi merupakan perwakilan tertentu atau
khusus, yang biasanya digunakan untuk perwakilan teritorial, fungsional,
kelas sosial, etnis dan sebagainya sesuai dengan kehendak konstitusi, tetapi
majelis tinggi ini biasanya dan paling banyak di dunia difungsikan dalam
konstitusi mereka sebagai suatu kamar perwakilan wilayah dan banyak
negara yang menanamkan majelis tinggi dalam parlemen bikameral ini
dengan nama senat.9
Ada bermacam-macam nama untuk beberapa tipe Kamar Kedua modern,
misalnya House of the Lords di Inggris, Dewan Negara Bagian (Council of
States) (Standerat) di Swiss, Dewan Federal (Federal Council) (Bundesrat)

di Republik Jerman Federal dan Senat di kebanyakan negara lain, termasuk
Australia, Kanada, Irlandia, Prancis, Italia, Afrika Selatan dan Amerika
Serikat. Bagaimanapun, klasifikasi Kamar Kedua bukanlah berdasarkan
pemberian namanya, tetapi lebih pada sifat dasarnya, dipilih (sebagaian atau
seluruhnya) atau tidak dipilih (turun temurun atau diangkat). 10
Dahlan Thaib menguraikan beberapa kelebihan dalam sistem bikameral
yaitu kemampuan anggota untuk:11
a.

Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian,

wilayah, etnik atau golongan);

9

Ibid., h. 127.
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusa Media, Bandung, 2010, h.

10

265-268.
11

King Faisal Sulaiman, Op. Cit., h. 39-40.

10

b.

Memfasilitasi

pendekatan

yang

bersifat

musyawarah

terhadap

penyusunan perundang-undangan;
c.

Mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan

d.

Pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem

bikameral.

Pertama

adalah

untuk

membangun

sebuah

mekanisme

pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk
pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Kedua adalah untuk
membentuk perwakilan yang menampung kepentingan tertentu yang
biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus,
bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai
untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan
representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di
dunia.12
Sementara itu, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua
dewan dalam suatu negara, tetapi dapat pula dilihat dari proses pembuatan
undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis
Tinggi dan Majelis Rendah. Bagaimanapun, dengan adanya dua majelis akan
sangat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislasi dan
tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa secara ganda (double check).
Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi

12

Andrew S. Ellis, Lembaga Legislatif Bikameral? Sebuah Agenda dan Beberapa
Pertanyaan, NDI for International Affairs dan Forum Rektor Indonesia YSPDM, Jakarta, 2001,
h.61.

11

yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan undang-undang memiliki
anggota yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.13
Sistem bikameral menurut Andrew S. Ellis dapat digolongkan menjadi
dua yakni kuat dan lunak. Dalam sistem yang kuat, pembuatan undangundang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus dipertimbangkan
oleh kedua majelis dalam forum yang sama sebelum bisa disahkan. Dalam
sistem lunak, majelis yang satu memiliki status yang lebih tinggi dari yang
lain. Misalnya, majelis pertama mungkin dapat mengesampingkan penolakan
atau amandemen RUU yang diajukan oleh majelis kedua. Hal ini
mensyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi seperti mayoritas absolut
dari anggota-anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota yang hadir
yang memberikan.
Majelis kedua, juga bisa dilarang atau dibatasi secara ketat dalam
menolak atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money bills). Bila
majelis kedua merupakan perwakilan dari daerah-daerah, kekuatan dari
majelis kedua bisa saja bervariasi tergantung dari apakah RUU yang
diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-daerah tersebut. Sebuah sesi
bersama (joint session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai
mekanisme untuk meyelesaikan konflik, sehingga sebagian besar anggota
dari majelis kedua memiliki timbangan/porsi yang lebih besar dalam
pengambilan keputusan akhir. Sistem-sistem bikameral yang ada di dunia
terbagi secara merata antara yang kuat dan lunak. Banyak sistem yang kuat

13

Saldi Isra, Op. Cit., h. 238.

12

ditemukan dalam sistem presidensiil. Tidak ada sistem presidensiil yang juga
memakai sistem bikameral lunak.14

3. Cara Pengisian Jabatan
Payung hukum dalam melaksanakan pemilihan umum yang pertama sejak
Indonesia kembali kepada UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 16
Tahun 1969 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1975 dan selanjutnya diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1985 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 menyatakan, “Jumlah
anggota DPR ditetapkan sebanyak 500 (lima ratus) orang, terdiri atas 400
(empat ratus) orang dipilih dalam pemilihan umum dan 100 (seratus) orang
diangkat.”
Cara pengisian jabatan anggota DPR dengan cara diangkat dikarenakan
anggota-anggota ABRI tidak menggunakan hak memilih dan hak dipilih, tetapi
mempunyai

wakil-wakilnya

dalam

lembaga-lembaga

permusyawaratan/perwakilan rakyat melalui pengangkatan. Duduknya ABRI
dalam lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan melalui pengangkatan
dimungkinkan oleh Demokrasi Pancasila yang menghendaki ikut sertanya
segala kekuatan dalam masyarakat representatif dalam lembaga-lembaga
tersebut. Dengan kata lain, ABRI mendapat “jatah” baik dalam DPR maupun

14

King Faisal Sulaiman, Op. Cit., h. 44-45.

13

MPR sebagai imbangan atas tidak dimilikinya hak pilih aktif dan hak pilih
pasif dalam pemilihan umum.15
Saat ini, pengisian jabatan sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat
hanya melalui pemilihan umum. Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

4. Periodisasi
Masa jabatan anggota lembaga perwakilan rakyat tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3) yakni selama lima tahun. Namun tidak ada
ketentuan dalam konstitusi maupun UU MD3 yang menyebutkan bahwa
anggota lembaga perwakilan rakyat sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini berarti tidak ada
pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat dalam hukum
positif Indonesia. Berbeda halnya dengan jabatan presiden dan wakil presiden,
kepala daerah, hakim konstitusi, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), dan anggota Komisi Yudisial (KY) yang memiliki batasan periodisasi
yang diatur dalam UU.

Penulis berpendapat harus adanya pembatasan periodisasi anggota
lembaga perwakilan rakyat karena menjamin dan melindungi HAM warga
15

Max Boboy, DPR RI dalam Perspektif Sejarah dan Tata Negara , Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994, h. 64-68.

14

negara lain; mencegah penyalahgunaan wewenang; mengoptimalkan fungsi
partai politik; dan menciptakan inovasi pemikiran di lembaga perwakilan
rakyat. Pembatasan periodisasi anggota lembaga perwakilan rakyat merupakan
bentuk perlindungan negara terhadap HAM khususnya hak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum, yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Perwujudan dari hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum adalah setiap
orang berhak memiliki kesempatan yang sama sebagai anggota lembaga
perwakilan rakyat. Tidak adanya pembatasan periodisasi anggota lembaga
perwakilan rakyat maka tidak dapat mewujudkan hak bagi setiap orang untuk
memiliki kesempatan yang sama sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat.

B. Hak Atas Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum dan
HAM
Sub-bab ini akan membahas HAM secara umum dan hak atas perlakuan
yang sama di hadapan hukum secara khusus. Pengakuan terhadap HAM telah
dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan serta
konvensi internasional. Sehingga penjelasan dalam sub-bab ini akan menjadi
pintu masuk mengapa harus ada pembatasan periodisasi anggota lembaga
perwakilan rakyat.

1. HAM
Pengertian HAM menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak
yang dilindungi secara internasional (yaitu deklarasi PBB, Declaration of

15

Human Rights). 16 Menurut Black’s Law Dictionary definisi HAM adalah

“The freedoms, immunities, and benefits that, according to modern values
(esp. at an international level), all human beings should be able to claims as

a matter of right in the society in which they live”.17
The United Nations mendeskripsikan HAM sebagai berikut :
Human rights could be generally defined as those rights
which are inherent in our nature and without which we
cannot live as human beings.
Human rights and fundamental freedom allow us to fully
develop and use our human qualities, our intelligence, our
talents and our conscience and to satisty our spiritual and
other needs. They are based on mankind’s incre asing
demand for a life in which the inherent dignity and worth
of each human being will receive respect and protection.18

Pengertian HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal
1 angka 1 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Louis Henkin dalam bukunya The Right of Man Today mendefinisikan
HAM sebagai :
Claims asserted and recognized “as of right,” not claims
upon love, or grace, or brotherhood, or charity: one does
not have to earn or deserve them. They are not merely
16

Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Departemen Pendidikan
Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h. 474.
17
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West a Thomson Business,
United States of America, 2004, h. 809.
18
Centre For Human Rights, Professional Training Series No. 1 Human Rights and
Social Work A Manual for Schools of Social Work and the Social Work Profession , United Nations
Publication, Geneva, 1994, h. 4.

16

aspirations or moral assertions but, increasingly, legal
claims under some applicable law.
Human rights; I stress, are rights against society as
represented by government and its officials.19

Jack Donnely berpendapat “human rights are literally the rights that one
has simply because one is a human being”.20

HAM menurut Mahfud MD diartikan sebagai hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa
manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri
(kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.21 Karena HAM
melekat pada setiap diri manusia (individu) maka timbul hubungan hukum
dimana Negara berkewajiban untuk menegakkan HAM. Dijaminnya HAM
dalam Undang-undang menjadi landasan hubungan hukum antara individu
sebagai right holder dengan Negara sebagai obligation holder . Kewajiban
Negara sendiri terdiri dari dua bentuk yaitu: Pertama, primary obligation
berupa kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.
Kedua, secondary obligation apabila Negara gagal melaksanakan primary
obligation, Negara berkewajiban untuk memberikan reparasi ( reparation)

dan upaya hukum (effective remedies) kepada korban pelanggaran HAM.22

19

Irwin P. Stotsky, The Right of Man Today. By Louis Henkin, University of Miami
Inter-American Law Review Vol. 11 No. 1, 1979, h. 3, dikutip dari L. Henkin, The Rights of Man
Today XIV (1978).
20
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice Third Edition , Cornell
Universty Press, New York, 2013, h. 110.
21
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi Revisi, Aneka
Cipta, Jakarta, 2001, h. 127.
22
Titon Slamet Kurnia,”Parties and Legal Relationship” (Kuliah), Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga, 18 Juni 2013.

17

2. Hak Atas Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum
Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan salah satu
bagian dari hak asasi manusia di bidang sipil dan politik. Pasal 7 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan “Semua orang sama di
depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap
bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap
segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini ” serta Pasal 26

Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik “Semua orang berkedudukan sama di
hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi
apapun. Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan
menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status lain.” Ketentuan tersebut paralel dengan Pasal

28 D ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999. Perlindungan dan pemenuhan hak atas perlakuan yang sama di hadapan
hukum memberikan arti penting bagi keadilan di tengah masyarakat.
Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, secara konstitusional
merupakan sumber hukum bagi hak untuk bebas dari diskriminasi. Secara
fungsional, non-diskriminasi pada hakikatnya adalah asas dalam rangka
implementasi perlindungan HAM terkait dengan kewajiban negara terhadap
semua jenis HAM. Sifat perlindungannya adalah accessory, yaitu: “it can only

18

be applied when any of those rights or freedoms has been violated ”.23 Secara

substantif, ketentuan non-diskriminasi pada hakikatnya paralel dengan
ketentuan yang maknanya positif yaitu hak atas persamaan (the right to
equality). Jayawickrama berpendapat bahwa hak atas persamaan pada

hakikatnya adalah hak yang mandiri (autonomous rights), berbeda dengan
ketentuan non-diskriminasi karena keberlakuannya tidak musti dikaitkan
dengan atau bergantung pada jenis-jenis HAM yang lain. Hak atas persamaan
menuntut negara untuk mengambil langkah-langkah tertentu, kewajiban positif,
guna memastikan terwujudnya persamaan. Dalam kasus tertentu, asas
persamaan menuntut negara agar melakukan affirmative action untuk
mengurangi

atau

menghapuskan

kondisi-kondisi

yang

menyebabkan

diskriminasi atau membantu melanggengkan praktik diskriminasi.24
Aristoteles menyatakan di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan
pada cita-cita yang mulia, yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat
keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori
keadilan Aristoteles dapat dilihat dari apa yang dikatakannya bahwa kesamaan
hak itu haruslah sama di antara orang-orang yang sama. Maksudnya pada satu
sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak,
namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti
ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip
persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan bahwa

23

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia melalui Pengujian Undang-Undang The Jimly Court 2003-2008, FH UKSW,
Salatiga, 2015, h. 163.
24
Ibid, hlm. 166-167.

19

keadilan terlaksana jika terhadap hal-hal yang sama diperlakukan secara sama
dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.25
Aristoteles dan Thomas Aquinas mengatakan, “justice forms the substance
of the law, but his heterogeneous substance is composed of three elements: an
individual element: the suum cuiquire tribuere (individual justice); a social
element: the changing fundation of prejudgments upon which civilization
reposes at any given moment (social justice), and a political element, which is
based upon the reason of the strongest, represented in the particular case by
the state (justice o f the state).” Hal ini menunjukkan ada pengaruh timbal balik

antara hukum dan keadilan, yaitu bahwa hukum diciptakan berdasarkan nilainilai atau kaidah-kaidah moral yang adil, yang sudah ada terlebih dahulu dan
yang telah hidup dalam masyarakat, jadi tugas pembentuk undang-undang
hanya merumuskan apa yang sudah ada.26 Penulis berpendapat, tidak adanya
hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan ketidakadilan
karena hak ini melekat pada manusia bukan karena diberikan oleh negara,
melainkan karena martabatnya sebagai manusia.

C. Konsep Pembatasan/Pembagian Kekuasaan
Sub-bab ini akan membahas tentang pembatasan/pembagian kekuasaan,
kedaulatan rakyat, dan pelembagaan kedaulatan rakyat. Akan dijabarkan
pembatasan kekuasaan baik secara teoritis maupun yang terdapat dalam
hukum positif Indonesia serta mengenai pandangan Rousseau, John Locke,
dan Montesquiue terkait pelembagaan kedaulatan rakyat.
25

Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia , Mandar Maju,
Bandung, 2014, h.101.
26
Ibid, h. 118.

20

1. Pembatasan/Pembagian Kekuasaan
Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles,
konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan
(contrast) dengan konsep rule of man. Dalam modern constitutional state ,

salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechstaat) ditandai dengan
pembatasan

kekuasaan

dalam

penyelenggaraan

kekuasaan

negara.

Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar
paham konstitusionalisme modern. Sebagaimana Julius Stahl, pembagian
atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara
hukum Eropa Kontinental.27
Adnan Buyung Nasution memiliki pemikiran tentang Negara Demokrasi
Konstitusional. Menurutnya, ada tiga karakteristik penting Negara Demokrasi
Konstitusional, yakni: Pertama, ada kemerdekaan politik dari rakyatnya yang
meliputi kemerdekaan berpikir, berpendapat, berkumpul dan berorganisasi.
Kedua, ada pembatasan kekuasaan. Artinya, kekuasaan penyelenggara negara

(penguasa) itu harus dibatasi dengan berbagai cara dan mekanisme
pembatasan kekuasaan berupa pemisahan kekuasaan, check and balances dan
kontrol. Sehingga kekuasaan dapat diawasi setiap saat dan dapat dimintai
pertanggungjawabannya apabila terjadi penyelewengan kekuasaan oleh
penguasa. Ketiga, ada jaminan HAM. Suatu negara yang rakyatnya merdeka,
rakyatnya

mempunyai

kontrol

terhadap

kekuasaan

negara,

masih

memerlukan adanya jaminan HAM di dalam UUD. Dengan adanya jaminan
HAM, maka ada kriteria obyektif penyelenggaraan kekuasaan dan penguasa

27

Saldi Isra, Op. Cit. h. 73.

21

tidak dapat bertindak sewenang-wenang menindas rakyatnya.

28

Dalam

pemikiran tentang sistem pemerintahan konstitusional, Adnan Buyung
mengatakan perlunya pembatasan kekuasaan negara dan jaminan serta
perlindungan terhadap HAM di dalam konstitusi.29
Agar dapat melakukan pembatasan kekuasaan, perlu dipahami konsep
dasar mengenai wewenang. Menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung
arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara
yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undnag
yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang
pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain: express implied; jelas maksud
dan tujuannya; terikat pada waktu tertentu; tunduk pada batasan-batasan
hukum tertulis dan tidak tertulis; dan isi wewenang dapat bersifat umum
(abstrak) dan konkrit.30
Berdasarkan jenisnya, wewenang dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu:31
a.

Wewenang yang diberikan dengan atribusi, artinya wewenang yang

langsung diberikan atau langsung ditentukan oleh peraturan perundangundangan kepada badan atau pejabat tata usaha negara, misalnya wewenang
yang diberikan kepada Presiden RI untuk mengangkat dan memberhentikan
Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004;
28

Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi Manusia
dan Demokrasi, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, 2007, h. 146.
29
Ibid. h. 120.
30
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara , Jala Permata Aksara, Jakarta, 2015,
h. 97-98.
31
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Sinar Grafika, Jakarta,
2015, h. 68-69.

22

b.

Wewenang yang diberikan dengan mandat, artinya wewenang yang

diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari mandans (pemberi
mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans32;
c.

Wewenang yang diberikan dengan delegasi, artinya wewenang yang

diberikan dengan penyerahan dari delegans (pemberi delegasi) kepada
delegetaris (penerima delegasi).
Berangkat dari konsep dasar wewenang, dapat dirumuskan tiga
pembatasan kekuasaan. Pertama, dilakukan dengan memberikan masa jabatan
bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merupakan wujud dari
pembatasan kekuasaan melalui masa atau tenggang waktu wewenang. Kedua,
pembatasan kekuasaan dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke
dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan demikian,
kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu
tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan. Adanya
wilayah administratif yang merupakan wilayah kerja perangkat pemerintah
pusat

termasuk

gubernur

sebagai

wakil

pemerintah

pusat

untuk

menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat di daerah dan wilayah kerja gubernur dan bupati/wali kota dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum di daerah33 adalah wujud membatasi
wewenang melalui wilayah atau daerah berlakunya wewenang.

32

Hal ini menjadi perdebatan di kalangan akademisi karena ada yang menganggap tidak
ada peralihan wewenang dari mandans kepada mandataris sehingga mandataris hanya menjalankan
tugas tanpa wewenang, namun ada pula yang beranggapan terjadi peralihan wewenang dari
mandans kepada mandataris.
33
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587).

23

Ketiga, pembagian kekuasaan ke dalam lembaga-lembaga negara
merupakan upaya untuk membatasi wewenang melalui cakupan bidang atau
materi wewenang. Teori pembagian kekuasaan terbagi menjadi lima, yaitu: 34
a.

Eka Praja
Eka Praja adalah kekuasaan pada tangan satu orang atau sekelompok

orang yang mengepalai secara tirani (L’etat c’est moi) karena tidak ada
lembaga khusus yang dipilih dari wakil rakyat untuk membuatnya. Jadi
pemegang jalannya pemerintahan hanya pihak eksekutif sendiri, contohnya
pemerintahan Firaun, Facisme, Absolutisme (Ramses II dan Louis XIII), dan
Hitler;
b.

Dwi Praja
Dwi Praja adalah kekuasaan di tangan dua kelompok yang saling

mengawasi yaitu Eksekutif dan Legislatif, hal ini dikemukakan oleh Frank J.
Goodnow dan Woodrow Wilson;
c.

Tri Praja
Tri Praja adalah kekuasaan di tangan tiga kelompok lembaga tinggi

negara yang dikemukakan oleh beberapa pakar dalam bentuk yang berbedabeda yaitu antara lain35:
1) John Locke
Melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government” John
Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagibagikan kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut John
Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan
34

http://kliksma.com/2016/06/pembagian-kekuasaan.html dikunjungi pada tanggal 11
November 2016 pukul 13.05.
35
Moh. Mahfud MD, Op. Cit., h. 73.

24

pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam
kekuasaan, yaitu; kekuasaan legislatif yakni kekuasaan membuat
undang-undang, kekuasaan eksekutif yakni kekuasaan melaksanakan
undang-undang dan kekuasaan federatif yakni kekuasaan melakukan
hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.
2) Montesquieu
Melalui bukunya “L’esprit des Lois” Montesquieu pada tahun 1748
menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John
Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu
diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam organ-organ
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif
adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
3) Gabriel Almond
Konsep yang ditawarkan Gabriel Almond hampir sama dengan yang
ditawarkan oleh Montesquieu yakni membagi kekuasaan-kekuasaan
dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, hanya saja
menggunakan istilah yang berbeda. rule making function adalah
kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang, rule
application function adalah kekuasaan eksekutif atau kekuasaan

melaksanakan undang-undang, dan rule adjuctication function adalah
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran
undang-undang.

25

d.

Catur Praja
Catur Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan

lembaga tinggi negara yang dikemukakan antara lain Van Vollen Hoven
(regelling, bestuur, politie, dan rechtsspraak) munculnya kekuasaan

kepolisian oleh pakar ini adalah karena menjaga kemungkinan pihak ini
berada di bawah kekuasaan eksekutif yang mengakibatkan pemerintah main
tangkap rakyatnya.
Dalam perkembangan selanjutnya Van Vallenhoven telah mendapat
tetangan prinsipiil dari berbagai pihak antara lain Kranenburg, Van Poelje,
Roemyn, namun setelah tahun 1951 teori Van Vallenhoven ditegaskan
kembali oleh Stellinga dalam bukunya “Grondtrekken van het Nederlands
Administratiefrecht”. Bahkan oleh Stellinga bidang-bidang itu ditambah lagi
dengan satu bidang baru yang disebutnya “ Administratiefrecht voor de
burgers”. Sehingga Stellinga telah mengembangkan teori catur praja menjadi
panca praja;36
e.

Panca Praja
Panca Praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima lembaga tinggi

negara yaitu dikemukakan oleh Stellinga dan Lemaire (wetgeving, bestuur,
politie, rechtsspraak, dan bestuur zorg). Munculnya lembaga pemerintahan

eksekutif dalam arti sempit pada pendapat ini adalah agar menyeimbangkan
(evenwichtigheid) antara pemerintah yang menegakkan kekuasaan dengan

pemerintah yang melayani masyarakat, sehingga dengan demikian terwujud
kesejahteraan masyarakat.
36

Koentjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara , Alumni, Bandung, 1985, h. 27-28.

26

Menurut Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemeritahan, wewenang Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dibatasi oleh: masa atau tenggang waktu wewenang; wilayah
atau daerah berlakunya wewenang; dan cakupan bidang atau materi
wewenang. Pelanggaran terhadap pembatasan masa atau tenggang waktu
wewenang dan wilayah atau daerah berlakunya wewenang dikategorikan
melampui wewenang.37 Sedangkan pelanggaran terhadap pembatasan akupan
bidang

atau

wewenang.

38

materi

wewenang

dikategorikan

mencampuradukkan

Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan.
Seperti kata Lord Acton, “power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely”, inilah hukum besi kekuasaan yang jika tidak
dikendalikan dan dibatasi menurut prosedur konstitusional, dapat menjadi
sumber malapetaka. Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat,
ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya.
Betapapun baiknya seseorang, yang namanya kekuasaan tetaplah harus diatur
dan dibatasi, sehingga kebaikan orang tidak larut ditelan oleh hukum besi
kekuasaan itu.39

37

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5601).
38
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5601).
39

Jimly Asshidique IV, Op. Cit, h. 37.

27

2. Kedaulatan Rakyat
Dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal adanya lima ajaran atau
teori tentang kedaulatan, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignity of God),
kedaulatan raja (Sovereignity of King), kedaulatan hukum (Sovereignity of
Law), kedaulatan rakyat (People’s Sovereignity) dan kedaulatan negara

(State’s Sovereignity). Ajaran kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan
kedaulatan rakyat berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa kita
tentang kekuasaan.40
Menurut Harold J. Laski, kedaulatan merupakan suatu keharusan yang
dimiliki oleh negara yang ingin independen atau merdeka dalam menjalankan
kehendak rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal
yang mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara. Kata Laski:41
The modern state is a sovereign state. It is, therefore,
independent in the face of other communities. It may
infuse its will towards them with a substance which need
to be affected by the will of any external power. It is,
moreover, internally supreme over the territory that it
control.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan Jean Bodin, bahwa:42
Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana
kedaulatan dimiliki oleh negara dan merupakan ciri
utama yang membedakan organisasi negara dari
organisasi yang lain di dalam negara. karena kedaulatan
adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh
hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan
orang-orang lain dalam wilayahnya.

40

Jimly Asshidique, Format Kelembagaan Negara dan Pergesaran Kekuasaan dalam
UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005 (selanjutnya disingkat Jimly Asshidique IV), h. 3334.
41
King Faisal Sulaiman, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen
Indonesia , UII Press, Yogyakarta, 2013, h. 17.
42
Padmo Wahjono, Ilmu Negara , Ind Hill Co., Jakarta, 1996, h. 153.

28

Seyogyanya kekuasaan harus ada di tangan rakyat, bukan di tangan
negara. Pentingnya kedaulatan rakyat juga berdampak pada bagaimana
melembagakan kedaulatan ini. Thomas Hobbes dan Hugo de Groot
berpendapat bahwa kekuasaan harus berada di tangan negara, karena bila
kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara, masyarakat akan kacau.
Bertentangan dengan hal itu, John Locke berpendapat bahwa demi lebih
mendayagunakan kekuatan masyarakat, memang rakyat menyerahkan
kekuasaannya kepada negara. Dengan demikian negara memiliki kekuasaan
yang besar tetapi kekuasaan ini ada batasnya. Batas itu adalah hak alamiah
dari manusia yang melekat padanya ketika manusia itu lahir.43
Bagi John Locke, negara didirikan justru untuk melindungi hak-hak
alamiah. Kata Locke:44
Negara
diciptakan
karena
suatu
perjanjian
kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah
melindungi hak milik, hidup dan kebebasan, baik terhadap
bahaya-bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya dari
luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada
masyarakat, tetapi tidak semuanya.

3. Pelembagaan Kedaulatan Rakyat
Anak sub-bab ini akan membahas pandangan Rousseau, John Locke, dan
Montesquiue terkait pelembagaan kedaulatan rakyat.

43

Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, h. 25-29.
44
J.J. von Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka
Sardjana, Jakarta, 1965, h. 202.

29

3.1. Rousseau
Pandangan Rousseau berkeinginan untuk tetap berlanjutnya demokrasi
langsung (direct democracy) sebagaimana pelaksanaannya yang berlaku pada
zaman Yunani Kuno, pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan.
Faktor-faktor seperti luasnya wilayah suatu negara, populasi penduduk,
makin sulit dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan
kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi adalah persoalan yang
menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era
globalisasi sekarang ini. Kemudian lahirlah gagasan demokrasi tidak
langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui lembaga perwakilan
atau parlemen. Di Indonesia lembaga perwakilan ini disebut Dewan
Perwakilan Rakyat.45

3.2. John Locke
Locke memisahkan aspek legislatif (pembuatan undang-undang dan
hukum) dan aspek eksekutif dan aspek yudikatif (pelaksanaan dari undangundang dan hukum) dalam sebuah sistem politik. Kedua aspek ini tidak boleh
ada dalam satu tangan, harus dipisahkan. Locke mengatakan:46
Akan menjadi cobaan yang sangat berat bagi kelemahan
manusia untuk memegang kekuasaan, kalau orang-orang
yang memiliki kekuasaan untuk membuat hukum, juga
memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya, karena
mereka akan mengecualikan diri mereka dari ketaatan
mematuhi hukum yang mereka buat sendiri, dan mereka
akan mencoba membuat dan melaksanakan hukum yang
melayani kepentingan pribadi mereka dan melawan
kepentingan masyarakat pada umumnya, sehingga

45
46

Max Boboy, Op. Cit., h. 17.
David Held, States and Societies, Basil Blackwell Ltd., Oxford, 1986, h. 12.

30

bertentangan dengan
pemerintah itu sendiri.

tujuan

dari

masyarakat

dan

Menurut Locke, sistem kenegaraan yang paling baik terdiri dari seorang
raja yang memiliki kekuasaan eksekutif dan sebuah parlemen yang memiliki
kekuasaan untuk membuat hukum dan undang-undang. Kekuasaan eksekutif
(dan yudikatif) dipisahkan dari kekuasaan legislatif. Sistem ini dinamakan
monarki konstitusional atau monarki parlementer.47

3.3. Montesquieu
Montesquieu memisahkan tiga aspek kekuasaan yakni kekuasaan
legislatif, kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Ajaran ini kemudian
dikenal dengan nama Trias Politica . Dengan adanya pemisahan kekuasaan
ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen,
pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan
pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah. Kalau ketiga kekuasaan ini ada
dalam satu tangan, dia “akan memusnahkan kemerdekaan rakyat. 48 ” Kata
Montesquieu:49
Kekuasaan perundang-undangan harus terletak pada
badan perwakilan rakyat; kekuasaan untuk menjalankan
undang-undang pada raja, kekuasaan pengadilan pada
para hakim yang sama sekali bebas dari kekuasaan
pelaksanaan.

47

Arief Budiman, Op. Cit., h. 34-35.
Ibid. h. 35-36.
49
L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnja Paramita, Jakarta, 1968, h. 248.
48