Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB V

BAB V
NARASI-NARASI TENTANG PANCASILA:
DARI SOEKARNO, SOEHARTO HINGGA GUS DUR

Setelah menelaah Pancasila sebagai sebentuk agama sipil, bagian ini lebih
fokus melihat Pancasila yang dinarasikan oleh penguasa dari tiga masa,
Soekarno di era Orde Lama (1945-1966), Soeharto pada masa Orde Baru (19661998) dan KH. Abdurrahman Wahid di zaman reformasi (1999-2001).
Salah satu yang menjadi perbincangan utama adalah fungsi Pancasila
sebagai ideologi yang sangat gencar digemakan terutama pada masa Orde Baru.
Sebagai alat bantu, apa yang dimaksud dengan ideologi akan terlebih dahulu
digambarkan. Begitu juga penjelasan tentang apa yang disebut sebagai narasi,
juga terlebih dahulu didedah.
Narasi tentang Pancasila ini akan diakhiri dengan mengembalikan
diskursus Pancasila kepada konteks dimana ia kali pertama dilahirkan. Konteks
itu tentu saja adalah menjadikan hari lahirnya Pancasila sebagai milestone bagi
semua warga negara (baca: anggota BPUPKI) untuk menjadikannya satu buat
semua, semua buat satu .
Tentang Ideologi dan Identitas Naratif
Ideologi dan narasi adalah dua tema dari sekian bahasan yang dieksplorasi
oleh Paul Ricoeur. Dua tema tersebut akan dijabarkan secara singkat dalam
bagian ini. Dengan menggunakan kerangka tentang narasi ini, penulis akan

melihat bagaimana Pancasila dinarasikan oleh negara di sub bab berikutnya.
Jika dilihat dalam perkembangan pemikiran tentang Pancasila, maka
konsepsi Pancasila sebagai ideologi merupakan tema utama dan paling sering
dikemukakan. Karena itu apa yang disebut sebagai ideologi akan dijabarkan.

John B. Thompson mengatakan bahwa ideologi adalah berpikir tentang
yang lain, berpikir tentang orang lain selain dirinya (Ideology is the thought of
the other, the thought of someone other than oneself).1 Untuk melihat apakah
sebuah pandangan bersifat ideologis, maka seseorang harus siap mengkritisinya,
karena ideologi bukanlah istilah yang bersifat netral.
Dalam Ideology and Utopia, Paul Ricoeur mengajukan hipotesis bahwa
hakikat dari ideologi (dan juga utopia) adalah imajinasi sosial dan budaya.2
Ricoeur melanjutkan bahwa social imagination is constitutive of social reality .3

Baik ideologi maupun utopia memiliki aspek positif, juga negatif. Ideologi tidak
berdiri sendiri, ia selalu berkaitan dengan yang lain.
Dengan menganalisis karya dari Karl Marx, Louis Althusser, Karl Manheim,

Max Weber, Juergen Habermas dan Clifford Geertz, Ricoeur memetakan tiga
fungsi ideologi. Pertama, ideologi sebagai distorsi. Kedua, ideologi sebagai

legitimasi kekuasaan. Ketiga, ideologi sebagai integrasi. Fungsi distorsi berada di
wilayah permukaan. Sementara fungsi ideologi untuk integrasi berada pada
ranah paling dalam. Diantara dua fungsi itu, terdapat ideologi dalam kerangka
legitimasi.
Fungsi ideologi di level pertama bisa didapati dalam karya-karya, terutama
Karl Marx dan Althusser. Dalam The German Ideology yang ditulis bersama
Friedrich Engels, Marx mengatakan bahwa Manusia, adalah produsen konsepsi,
ide dan lainnya. Manusia yang nyata dan aktif, karena dikondisikan oleh
perkembangan kekuatan-kekuatan produksinya dan hubungannya dengan
kekuatan-kekuatan produksinya dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan

1

John B. Thompson, Studies in the Theory of the Ideology (University of California Press,

1984), 2.
2

Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia (New York: Columbia University Press,
1986), 1. Dalam The )dea of Critical Theory , Raymond Geuss memaparkan ideology dalam tiga

pengertian yakni, deskriptif, pejoratif dan positif. Lihat dalam Raymond Geuss, The Idea of
Critical Theory: Habermas and The Frankfurt School (Cambridge University Press, 1981).
3 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 3

tersebut, sampai menjadi bentuk-bentuk terjauhnya.4 Kesadaran tidak akan
menjadi apapun kecuali makhluk yang sadar, dan eksistensi manusia ada dalam
proses hidup yang aktual. Jika dalam seluruh ideologi manusia dan
lingkungannya tampak terbalik seperti dalam camera obscura, fenomena ini
muncul dari proses hidup yang historis sebagai kebalikan dari objek-objek pada
retina berasal dari proses hidup fisik mereka.
Ideologi, seturut yang dituturkan Marx dalam The German Ideology adalah
cara kerja kamera obscura yang merepresentasikan realitas dengan memakai
bayangan kehidupan yang terbalik.5 Kata Ricoeur, fungsi pertama dari ideologi
adalah memproduksi sebuah bayangan terbalik.6 Gambaran ideologi semacam
ini yang oleh Ricoeur disebut sebagai distortions through reversal.7
Ricoeur kemudian mendapatkan paparan yang lebih mendalam dari
ideologi, melalui tulisannya Clifford Geertz dalam )deology as a Cultural

System . Oleh Geertz, ideologi dipahami dalam konteks sistem kebudayaan.8


Menurut Geertz, analisis kebudayaan merupakan

guessing at meanings,

assessing the guesses, and drawing explanatory conclusions from the better
guesses .9

Menurut Geertz ada dua wilayah utama dalam mendekati ideologi.

Pertama, interest theory. Kedua, strain theory.10 Teori interest membangun
ideologi sebagai topeng dan senjata. Sementara teori strain, melihat ideologi
sebagai gejala dan perbaikan. Tradisi Marxis mengembangkan ideologi dalam
pengertian pertama. Sementara Geertz mengembangkan ideologi dalam

4 Robert C. Tucker (ed), The Marx-Engels Reader, Second Editon, (New York-London:
WW. Norton and Company, 1978), 154.
5 Ibid., 154.
6 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 4.
7 Ibid.
8 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 10-13.

9 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973) 20.
10 Ibid, 201.

pengertian yang kedua. Dasar dari dikembangkannya ideologi menurut Geertz
adalah social malintegration .11

Mengutip Sutton, Geertz menyampaikan bahwa Ideology is patterned

reaction to the patterned strains of a social role .12 Ideologi menyediakan
symbolic

outlet

bagi

gangguan

emosional

yang


disebabkan

oleh

ketidakseimbangan sosial. Geertz mencermati apa yang ia sebut sebagai the
autonomous process of symbolic formulation. Ia mengamati bahwa kegagalan
dalam melihat ideologi sebagai sistem interaksi simbol menjadi alasan kenapa
dalam tradisi Marxis maupun Non Marxis, ideologi tereduksi.
Bagi Geertz, ideologi memiliki fungsi integrasi yang tentu saja berbeda
dengan Marx yang menganggap ideologi sebagai bayangan terbalik dari
kehidupan manusia. Ideologi, menurut Geertz memiliki fungsi mendasar sebagai
alat untuk menyatukan masyarakat melalui tindakan simbolik. Fungsi ideologi di
ranah ini yang sesungguhnya menunjukan dengan jelas peran konstitutif dari
ideologi. Yang dibutuhkan kemudian adalah fungsi yang menghubungkan antara
ideologi sebagai distorsi dan integrasi.
Disinilah kita bisa menemukan peran ideologi sebagai legitimasi. Karya
Max Weber merepresentasikan fungsi ideologi dalam pengertian itu. Kata
Ricoeur, Ideology’s role as a legitimating force persists because, as Weber has
shown, no absolutely rational system of legitimacy exists.13 Ricoeur mengatakan

bahwa apa yang ditulis oleh Weber banyak mendiskusikan konsep yang disebut
Herrschaft atau dominasi dan otoritas.14 Ideologi memasuki ranah ini karena
tidak ada sistem kepemimpinan, bahkan yang brutal sekalipun, yang berkuasa

11

Ibid, 203.
Ibid, 204.
13 Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . . , 13.
14 Ibid.
12

hanya mengandalkan kekuatan atau dominasi. Ideologi kemudian masuk dan
berperan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu.15
Disini ideologi harus bisa menjembatani ketegangan dalam proses
legitimasi, ketegangan yang berlangsung antara klaim legitimasi yang dibuat
oleh penguasa dan keyakinan yang dibangun oleh masyarakat.16
Dalam Time and Narrative, Ricoeur menyinggung tentang apa yang disebut
sebagai narrative identity.17 Identitas yang dimaksud Ricoeur adalah kategori
praktis. Identitas naratif dalam bahasan Ricoeur muncul sebagai penengah

antara idem (identitas yang tetap) dan ipse (identitas yang terus berkembang).
Dalam diri manusia, atau dalam identitas personalnya, idem dan ipse selalu
hadir. Idem atau sameness kata Ricoeur, is a concept of relation and a relation of
relations .18 Idem memberikan porsi yang lebih banyak pada permanensi waktu

dari aspek substansi. Sementara ipse, tidak berbicara dalam konteks substansi
tapi lebih pada karakter dan janji.
Menurut Ricoeur, kehidupan manusia akan bisa dipahami dengan lebih
baik jika dituturkan dalam bentuk kisah. Kisah atau narasi menjadi jembatan
untuk mendamaikan identitas ipse dan idem. Identitas naratif memberikan
gambaran bahwa identitas yang melekat pada diri kita tidak mungkin ada tanpa
orang lain. Identitas kita terbentuk dari sebuah proses dialektika dengan

identitas-identitas yang lainnya.
Dari sini, berbicara tentang kepemilikan atau ketidakpemilikan bukan
menjadi sesuatu yang penting kata Ricoeur. Ia mengatakan
In a philosophy of selfhood like my own, one must be able to say that
ownership is not what matters. What is suggested by the limiting
cases produced by the narrative imagination is a dialectic of


15

Tentang otoritas, lihat Max Weber, The Sociology of Religion (Boston: Beacon, 1963).
Paul Ricoeur, Lectures on Ideology and Utopia. . ..
17 Idem., Time and Narrative, Volume III (University of Chicago, 1984), 247.
18 Idem., Oneself as Another (The University of Chicago Press: 1992), 116.
16

ownership and of dispossession, of care and of carefreeness, of selfaffirmation and of self-effacement.19
Narasi dan ideologi merupakan dua bahasan yang memiliki keterkaitan
yang cukup dekat. Seturut dengan bahasan tentang Pancasila, narasi menjadi
cara bagi penguasa untuk menuturkan apa yang oleh mereka disebut sebagai
Pancasila sebagai ideologi negara. Masing-masing era memiliki karakternya
sendiri dalam menarasikan Pancasila. Imajinasi sosial tentang Pancasila
disalurkan melalui pelbagai sarana, meski sama-sama memiliki fungsi legitimasi.

Narasi Pancasila di Era Soekarno
Pada masa Soekarno, Pancasila dijadikannya sebagai

civil religious


legitimation bagi Demokrasi Terpimpin yang ia jalankan.20 Tapi, sesungguhnya

pada masa itu, Pancasila hanya salah satu dari apa yang oleh Soekarno disebut

sebagai Lima Azimat Revolusi. Dalam pidato Ulang Tahun Kemerdekaan
Indonesia, 17 Agustus 1965, Soekarno memberikan amanat yang ia beri tajuk
Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari) . Soekarno mengatakan
Gagasan-gagasanku itu, Nasakom (1926), Pancasila (1945),
Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964) dan Berdikari
(1965), sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua
pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga yang terakhir dari
revolusi Agustus . . . Baik Nasakom, baik Pancasila, baik
Manipol/Usdek, baik Trisakti, maupun Berdikari, kesemuanya
mengabdi kepada persatuan nasional revolusionar, artinya,
mengabdi kepada kepentingan revolusi . . . Kita tidak cukup hanya
berjiwa Nasakom, kita pun harus berjiwa Pancasila, berjiwa
Manipol/Usdek, berjiwa Trisakti Tavip, berjiwa Berdikari! 21

19


Ibid., 168.
Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State:
Pancasila and Civil Religion in Indonesia, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984), 89.
21 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986), 177.
20

Dari Lima Azimat itu, dua hal sudah dibahas sebelumnya yakni Nasakom

dan Pancasila. Bagian ini akan lebih menitikberatkan pada tiga bagian lainnya,
yakni Manipol/Usdek, Trisakti Tavip dan Berdikari.

Soekarno menarasikan Pancasila dalam kerangka revolusi sebagai
pandangan utama yang saat itu berkembang.22 Hal itu disampaikannya pada
pidato 17 Agustus 1959. Soekarno menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan
Indonesia yang ke empat belas saat itu, harus benar-benar membuka sejarah
baru dalam revolusi perjuangan nasional bangsa Indonesia.
1959 menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah revolusi
kita itu. Tempat yang unik! Ada tahun yang saya namakan tahun
ketentuan , a year of decision. Ada tahun yang saya sebut tahun
tantangan , a year of challenge. Istimewa tahun yang lalu saya
namakan tahun tantangan . Tetapi buat tahun 1959 saya akan
beri sebutan lain. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita,
sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun kembali kepada
Undang-undang Dasar 1945, undang-undang dasar revolusi.
Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali revolusi. Tahun
9 9 adalah tahun Rediscovery of our Revolution .23

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tahun 1959 merupakan masa

dimana Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli. Isi dekrit presiden itu
adalah: membubarkan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945
terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit itu, tidak berlakunya lagi UUD
Sementara 1950, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan dikeluarkannya dekrit, maka UUD 1945 berlaku kembali. Soekarno
kemudian menjelaskan bagaimana hubungan Pancasila, UUD 1945 dan revolusi
dalam pidato 17 Agustus 1959 itu.

22

AMW. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, (Jakarta: Yayasan Proklamasi
dan CSIS, 1985), 180.
23 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, Jilid III, (Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986), 96.

Kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, antara lain oleh
karena Undang-undang Dasar 1945 berdiri di atas unitarisme
negara, dan dus tidak mengizinkan federalisme di Indonesia dalam
bentuk bagaimanapun juga . . . Dengan Undang-undang Dasar
1945 itu kita sekarang dapat bekerja sesuai dengan dasar dan
tujuan revolusi. Landasan idiil dan landasan struktural untuk
bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan revolusi itu, terdapatlah
Undang-undang Dasar 1945 itu. Landasan idiil, yaitu Pancasila dan
landasan struktural, yaitu pemerintahan yang stabil, keduaduanya terdapatlah secara tegas dalam Undang-undang Dasar
1945 itu. Baik mukadimahnya, maupun 37 pasalnya, maupun 4
aturan peralihannya, maupun 2 aturan tambahannya, memberi
landasan yang kuat idiil dan struktural, yaitu Pancasila dan
pemerintahan yang stabil, untuk bekerja setingkat demi setingkat
merealisasikan dasar dan tujuan revolusi.24
Narasi Pancasila dalam kerangka revolusi itu terus dikembangkan oleh
Soekarno dalam pidato tahun 1960. Di tahun ini, ia menyinggung tentang apa
yang disebut Manipol-Usdek yang sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun
1959. Dalam pidato yang berjudul Laksana Malaikat yang Menyerbu dari
Langit: Jalannya Revolusi Kita (Jarek) , Soekarno menyodorkan satu Manifesto
Politik (Manipol).

Dalam pidato Jarek itu Soekarno mengingatkan tentang babakan sejarah
revolusi yang telah dilewati hingga tahun itu. Kata Soekarno, periodisasi revolusi
Indonesia digambarkan sebagai berikut:
1945-1950: periode physical revolution
1950-1955: periode survival
1955-sekarang (baca: 1960): periode investment, investment of human skill,
material investment, mental investment.
Investment itu kata Soekarno merupakan socialist construction, untuk
realisasi amanat penderitaan rakyat. Revolusi adalah menjebol dan membangun,

24

Ibid., 110 dan 119.

membangun dan menjebol, kata Soekarno.25 Revolusi merupakan build
tomorrow and reject yesterday, construct tomorrow, pull down yesterday. 26
Soekarno merasa bahwa untuk menyelamatkan revolusi, harus ada sebuah
ideologi nasional. Ideologi nasional itu ada dalam Manifestasi Politik dengan
USDEKnya.27 Soekarno memaklumi jika ada pertanyaan, kenapa harus ada
manipol padahal Indonesia telah memiliki Pancasila. Seokarno kemudian
menjelaskan.
Manifesto politik adalah pemancaran daripada Pancasila! USDEK
adalah pemancaran daripada Pancasila. Manifesto politik, USDEK
dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain, Manifesto Politik,
USDEK, dan Pancasila tak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika
saya harus mengambil qias agama, sekadar qias!, maka saya
katakan: Pancasila adalah semacam Qur’annya dan Manifesto
Politik dan USDEK adalah semacam Hadits shahihnya (Awas! Saya
tidak mengatakan Pancasila adalah Qur’an, dan bahwa Manifesto
Politik-USDEK adalah (adis! . Qur’an dan (adits Shahih
merupakan satu kesatuan, maka Pancasila dan manifesto Politik
dan USDEK merupakan satu kesatuan!28
Soekarno menandaskan bahwa Manipol-USDEK adalah progresif kiri,
mengabdi

kepada

kepentingan

masyarakat

banyak,

mengabdi

kepada

penyelenggaraan cita-cita kerakyatan, mengabdi kepada panggilan abad XX.
Manipol-USDEK itulah yang dapat menyatukan pikiran rakyat Indonesia
mengenai soal-soal pokok revolusi. Kata Soekarno, Manipol-USDEK harus
memiliki semangat gotong royong sebagai living reality, kenyataan hidup yang
ada di desa-desa di Indonesia.
John R. Bowen membahas tema Gotong Royong ini dalam On the Political

Construction of Tradition yang dimuat di The Journal of Asian Studies Vol. 45, No.

25

Ibid., 139.
Ibid.
27 USDEK merupakan singkatan dari Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
28 Ibid., 145.
26

3., yang terbit bulan Mei 1986.29 Bowen memaparkan tentang perubahan makna
dari gotong royong (mutual assistance), jiwa voluntaristik yang sangat melekat
dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selain gotong royong, kita mengenal
nomenklatur lain dalam budaya yang sangat melekat dengan laku kehidupan
masyarakat, seperti musyawarah, kerja bakti dan kekeluargaan. Kata Bowen,
gotong royong menjadi elemen penting tidak hanya dalam sistem budaya tetapi
juga politik di Indonesia. Dalam kajian masyarakat Indonesia, terutama yang
berhubungan dengan masyarakat pedesaan Jawa, gotong royong selalu menjadi
kata kunci.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Hatta mengatakan bahwa
semangat selfless agrarian cooperation itu ditemukan dalam masyarakat Eropa.
Kata Hatta, petani di Indonesia tahu kalau mereka tidak dapat bekerja sendiri,
sehingga harus saling tolong menolong. Dalam percakapan itu, Hatta
menggunakan tolong menolong bukan gotong royong. Hatta mulai menggunakan
gotong royong pada tahun 1945 ketika menjelaskan dua revolusi, nasional dan
sosial. Revolusi nasional dimaksudkan untuk mendapatkan kemerdekaan penuh
sementara revolusi sosial dilakukan untuk merevitalisasi masyarakat yang
didasarkan atas keadilan dan gotong royong. Singkatnya, oleh Hatta gotong
royong digambarkan sebagai refleksi dari otonomi politik masyarakat pedesaan
dan sebagai bagian dari sifat dasar demokrasi dalam menghadapi kekuatan
negara.
Beda dengan Hatta yang menjadikan gotong royong sebagai sebuah karya
otonomi, Soepomo memiliki pendapat yang berbeda. Baginya, pembicaraan
bukanlah berkutat pada soal independensi desa dari tuan tanah tetapi kesatuan
antara masyarakat dan pemimpinnya serta antara berbagai kelompok
masyarakat yang dicirikan oleh semangat gotong royong dan kekeluargaan.

29

John R. Bowen, On the Political Construction of Tradition, The Journal of Asian Studies
Vol. 45, No. 3. Mei 1986.

Selain karena pengaruh paham integralistik, pernyataan Soepomo dibangun di
atas ide kesatuan kekuasaan dalam politik Jawa. Kesatuan antara makrokosmos
dan mikrokosmos.30 Bagi Hatta, gotong royong itu autonomous village sementara
bagi Soepomo, all-encompassing state.
1 Juni 1945, Soekarno juga menyebut gotong royong, saat pidato yang
kemudian dikenal sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Kala berbicara tentang dasar
negara, Soekarno pertama-tama menawarkan Pancasila, yang kemudian dia
peras menjadi Trisila dan jika harus diperas lagi, maka jadilah Ekasila. Satu sila
itu, kata Soekarno adalah Gotong Royong. Dengan gotong royong, Soekarno
mengatakan, Muslim dan Kristen, kaya dan miskin, warga pribumi dan
keturunan bersama-sama melawan penjajah. Bahkan, Soekarno menjadikan
gotong royong sebagai nama untuk kabinetnya. Tak hanya itu, oleh Soekarno
gotong royong ini menjadi alternatif untuk melawan liberalisme. Akhirnya, pada
tahun 1960an, ide gotong royong digunakan untuk sebagai perjuangan nasional
dengan menjalin kekuatan horisontal antara kelompok Islam, Nasionalis dan
Komunis. Tahun 1960 dalam pidato 17 Agustus Soekarno menuturkan bahwa
gotong royong bukan sekadar kepribadian Indonesia atau Indonesian identity,
tetapi juga keharusan dalam perjuangan melawan imperialisme dan kapitalisme,
baik zaman dulu maupun sekarang.31
Proses pembebasan Irian Barat, kata Soekarno juga merupakan
implementasi dari Pancasila. Soekarno tampak tidak lagi mau berunding soal
Irian Barat dengan Belanda. Ia akan menjalankan apa yang disebutnya sebagai
jalan lain . Man bettelt nicht um ein Recht, um ein Recht kampft Man! (Hak tak

dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan
perjuangan kata Soekarno.32
30

Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia
(Cornell University Press, 1990).
31 Soekarno, Amanat Proklamasi. . . , 156.
32 Ibid., 169.

Setelah membahas soal Irian Barat, Soekarno kemudian menekankan sifat
universal dari Pancasila. Menurutnya, Pancasila lebih memenuhi kebutuhan
manusia dan lebih menyelamatkan manusia, daripada Declaration of
Independence-nya Amerika, atau Manifesto komunis. Bagi Soekarno, Declaration
of Independence itu tidak mengandung keadilan sosial, sementara Manifesto
Komunis itu harus disublimir dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua ideologi
itu, kata Soekarno menjadi sebab manusia dunia terpecah belah dan saling
mengintai.
Disinilah Soekarno melihat kelebihan Pancasila itu.
Karena itulah, maka kita bangsa Indonesia merasa bangga
mempunyai Pancasila dan menganjurkan Pancasila itu pada
semua bangsa. Pancasila adalah satu dasar yang universil, satu
dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa, satu dasar yang
dapat menjamin kesejahteraan dunia, perdamaian dunia,
persaudaraan dunia. Pancasila tidak salah lagi, adalah satu hogere
optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto
Komunis. Dan Manifesto Politik Republik Indonesia dan USDEK
adalah refleksi daripada Pancasila itu, sehingga benarlah konklusi
Dewan Pertimbangan Agung, bahwa revolusi )ndonesia bukanlah
revolusi borjuis model tahun 1789 di Prancis, dan bukan pula
revolusi proletar model tahun 1917 di Rusia. Revolusi Indonesia
adalah satu revolusi yang dasar dan tujuanya kongruen dengan
Social Conscience of Man, kongruen dengan budi nurani manusia,
sebagai kukatakan setahun yang lalu.33
Konsep lain yang menjadi Azimat Revolusi Soekarno adalah Trisakti-

TAVIP. Soekarno menyampaikan hal tersebut pada pidato 1964, yang beri judul

Tahun Vivere Pericoloso atau Tavip. Tahun itu, kata Soekarno merupakan
panca warsanya Manipol atau lima tahun usia Manipol.
Di tahun 1964 itu, Soekarno memformulasikan enam hukum revolusi dan
Trisakti. Tema revolusi tidak pernah lepas dari pidato-pidato Soekarno.
Revolusi, kata Soekarno membutuhkan tiga syarat mutlak, romantik, dinamik
33

Ibid., 177.

dan dialektik. Soekarno tidak pernah menjelaskan secara detail apa yang ia
maksud dengan tiga hal tersebut. Hanya saja ia memberikan peringatan, revolusi
yang tanpa disertai romantik, dinamik dan dialektik hanya merupakan impuls
perseorangan semata, dan akan menjadi revolusi istana yang inkonsisten.
Enam hukum revolusi yang dimaksud Soekarno adalah; revolusi harus
mengambil sikap tepat terhadap lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas
dan dari bawah, bahwa destruksi dan konstruksi harus dijalankan sekaligus,
bahwa tahap pertama harus dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa
harus setia kepada program revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus
punya sokoguru, punya pimpinan yang tepat dan kader-kader yang tepat.
Pada saat itu pula, Soekarno memformulasikan Trisakti; berdaulat dalam
politik, berdikari dalam ekonomi dalam berkepribadian dalam kebudayaan.
Bagian

terakhir

dari

Azimat

Revolusi

adalah

Berdikari

yang

disampaikannya pada tahun 1965. Salah satu situasi yang menjadi konteks
kemunculan salah satu azimat itu adalah keluarnya Indonesia dari keanggotaan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bagi Soekarno, kemerdekaan sebuah bangsa
bukan karena keanggotaannya dalam PBB melainkan Berdikari.
PBB,

kata

Soekarno,

tidak

mungkin

dipertahankan

lagi.

PBB

menguntungkan Taiwan dan merugikan Republik Rakyat Cina (RRC),
menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab, menguntungkan
Afrika Selatan dan merugikan Afrika, menguntungkan Malaysia dan merugikan
Indonesia.
Berdikari menjadi prinsip politik yang dibangun untuk menunjukan
independensi bangsa Indonesia. Menjadi bangsa yang berdaulat, kata Soekarno
adalah kondisi ketika kita tidak bisa didikte oleh siapapun. Nation building dan
character building harus diteruskan untuk memperkuat kedaulatan politik itu.
Di akhir pidato tahun 1964, Soekarno kembali meringkas apa yang ia
rumuskan sebagai Azimat Revolusi itu. Panca Azimat Revolusi merupakan

pengejawantahan daripada seluruh jiwa nasional yang terbentuk sepanjang 40
tahun lamanya.
Azimat Nasakom, lahir tahun 1926. Persatuan Nasakom itulah yang
sesungguhnya senjata paling ampuh untuk mengkonsolidiri kemerdekaan
nasional. Azimat kedua, Pancasila yang lahir pada bulan Juni 1945 merupakan
satu dasar negara. Azimat ketiga, yakni azimat Manipol/Usdek yang merupakan
program umum revolusi. Azimat keempat, Trisakti Tavip, lahir tahun 1964
setelah Indonesia mengalami banyak persoalan dengan kaum imperialis, PBB
dan lain-lain. Azimat yang kelima adalah Berdikari yang tidak hanya asas untuk
saat itu, tetapi asas untuk masa yang panjang, selama Indonesia masih
berhadapan dengan kaum imperialisme.
Jika kita mencermati bagaimana Soekarno menarasikan Pancasila maka hal
yang paling sering dilakukannya adalah memproduksi diskursus Pancasila
sebagai moral code juga sebagai the scripture . Cara Soekarno menghadirkan

Pancasila sebagai teks pembentuk awal itu kemudian menghasilkan pelbagai
hadits , teks-teks yang menjadi penjabaran sekaligus penjelasan dari Pancasila

itu.

Soekarno, di masa ia memimpin banyak memproduksi civil religious
language. Ayat- ayat sipil itu diciptakan Soekarno terutama dalam kaitannya

dengan membangun collective conscience. Selain Panca Azimat Revolusi, kita

mengenal ada banyak gagasan lain yang dikeluarkan oleh Soekarno untuk
mengukuhkan Pancasila.
Salah satu ekspresi dari Indonesian Civil Religion selain Pancasila, menurut
Purdy adalah revolusi. Soekarno memiliki interpretasi simbolik terhadap
revolusi. Misalnya dalam pidato yang ia beri judul Penemuan Kembali Revolusi
Kita

9 9 , Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi

Kita

9

dan Re-So-Pim atau Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan

Nasional (1961).34

Soekarno juga memberikan tafsiran simbolik terhadap revolusi dengan
mengiaskannya pada karya Dante Alighieri, Divine Comedy. Dante melukiskan
perjalannya dari Neraka, melalui Tempat Pesucian, kepada Surga: dari Inferno,
melalui Purgatorio ke Paradiso. Ia mengalami berbagai penderitaan di Neraka
(Inferno). Setelah itu datang disucikan di Tempat Penyucian (Purgatorio), dan
setelah suci, ia mencapai Surga (Paradiso).35
Teks-teks sakral lainnya dituturkan Soekarno seperti halnya ketika Bellah
menjabarkan pidato John F. Kennedy. Selain menyebut Ketuhanan (Yang Maha
Esa), Allahu Akbar, Rahmat Tuhan, Berkat Tuhan, Pertolongan Tuhan dan
kalimat lain yang menjadi pengakuan adanya kekuatan adikodrati dalam setiap
derap perjuangan bangsa Indonesia.
Soekarno dalam Resopim mengatakan, ...dengan doa yang tak putus-putus

ke hadhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, marilah kita jalan terus . Dalam pidato
Tahun Kemenangan (17 Agustus 1962), Soekarno mengatakan, ...Tuhan adalah
besar, dan kepadaNya kita memanjatkan kita punya terima kasih!...Kemenangan
ini adalah karunia Tuhan. Pemberian Tuhan! Belas kasihnya Tuhan! Dialah yang
membuat. Dialah yang memberi. Karena itu janganlah mencongkakkan diri.
Tahun berikutnya (1963) dalam pidato

Genta Suara Republik )ndonesia

Soekarno mengatakan, ...Disinilah letaknya sumber Rida Tuhan kepada kita.
Rida Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak dibinasakan

musuh, Rida Tuhan yang selalu menolong kepada kita kalau kita hendak
ditumpas lawan . Dalam pidato Tavip (1964), Soekarno mengutip ayat al-Qur’an

sebagai perlambang untuk mengukuhkan hakikat revolusi, yakni perjuangan.

...Innallaaha laa yughayyiru maa bikaumin, hatta yughoyyiru maa bianfusihim.
34

Bahasan tentang Sosialisme Indonesia baca dalam Roeslan Abdulgani, Sosialisme
Indonesia (Jakarta: Jajasan Prapantja, 1964).
35 Ibid., 119.

Tuhan tidak mengubah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu mengubah
nasibnya sendiri .

Dengan menggunakan pendekatan ideologis, Pranarka mengatakan bahwa

analisis terhadap Pancasila melalui hal tersebut tidak mempersoalkan
konsistensi yang menyangkut substansil dan tidak memperhitungkan nilai
kebenaran internal dari uraian itu, karena perhatian lebih dititikberatkan pada
kegunaan konkrit sebagai motivasi utamanya.36

Pendekatan seperti ini bisa kita gunakan untuk mencermati uraian
Soekarno tentang Pancasila. Terlihat bahwa paparan Soekarno tentang Pancasila
tidak terlalu mementingkan kebenaran internal dan konsistensi substansialnya.
Itu bisa dimengerti karena motivasi utamanya adalah nation-building, kesatuan
bangsa. Meminjam analisis Ricoeur, inilah fungsi integratif dari Pancasila yang
kemudian dijadikan legitimasi oleh Soekarno. Di dalamnya, Soekarno memberi
nuansa profetik. Inilah strategi Soekarno dalam menarasikan Pancasila.
Dalam menarasikan Pancasila Soekarno banyak menciptakan neologisme.
Pancasila ia katakan sebagai dasar negara dan isi jiwa bangsa Indonesia. Di
tempat lain, ia menyebut bahwa Pancasila adalah hogere opptrekking dari

Declaration of Independence dan Manifesto Komunis . Ia juga menyebut
Pancasila adalah wadah, dan masing-masing dapat memberikan isi kepada

Pancasila tersebut. Pancasila juga disebut Soekarno sebagai kepribadian
Indonesia yang digali dari bumi Indonesia. Soekarno juga pernah menuturkan
bahwa Pancasila dan Islam adalah sama. Nasakom, seperti yang dikatakan oleh
Soekarno juga sesungguhnya mengandung inkompatibilitas intrinsik .37 Tapi
itu tidak kemudian dipersoalkannya, karena yang terpenting adalah bahwa

unsur Komunisme, Nasionalis dan Agama dapat bahu membahu mengerek panji
revolusi.

36
37

AWM. Pranarka, Sejarah Pemikiran tentang. . ., 349.
Ibid.

Narasi Pancasila di Era Soeharto
Setelah Soekarno berkuasa, Soeharto tampil menjadi Presiden Indonesia.
Secara resmi, Soeharto mulai memegang tampuk kekuasaan saat ia dilantik
menjadi presiden pada bulan maret 1967. Namun, faktanya Soeharto memulai
peranannya ketika dia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada
1966 melalui surat perintah sebelas Maret (Supersemar).38 Penyingkiran
Soekarno dan PKI sebagai kekuatan politik ketiga terbesar dari domain politik,
terlihat sangat efektif dengan keterlibatan militer.39
Periode dimana Soeharto berkuasa ini disebut Orde Baru. Pada 16 Agustus
1967, Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan. Dalam pidatonya itu,
Soeharto mengatakan bahwa Orde Baru adalah

…tatanan seluruh peri-

kehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada
pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 .

Ada tiga kekuatan yang menjadi pilar Orde Baru.40 Pertama, Orde Baru

memperluas kekuatan militer untuk melakukan kontrol terhadap kehidupan
politik. Melalui doktrin dwifungsi, militer berperan di ranah politik sekaligus
menjaga keamanan negara. Kedua pemerintah merestrukturisasi pimpinan
institusi politik dan masyarakat sipil. Meski infrastruktur politik seperti partai,
dewan perwakilan dan pemilihan tetap dipertahankan, tetapi perangkat
tersebut sudah ditransformasi melalui kombinasi intervensi, manipulasi dan
pemaksaan. Pemerintah memoles Golkar (Golongan Karya) sebagai kendaraan
38 Semar merupakan salah satu legenda dalam pewayangan. Semar adalah tokoh senior
dan paling memiliki kekuatan untuk mengayomi. Semar terkenal sebagai tokoh yang tenang,
ngayomi, dan mampu menciptakan stabilitas dalam pemerintahan. Nama ini menjadi semacam
legitimasi yang sakral bagi perpindahan kekuasaan. Menurut Purdy, mengutip Alan M. Stevens,
dengan menggunakan nickname, Semar, Soeharto menahbiskan diri dengan tokoh Semar dengan
segala karakter positifnya. Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority . . , 205-206.
39 Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing, 2007).
40 Edward Aspinall, Opposing Soeharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in
Indonesia (Stanford University Press, 2005), 22-23.

elektoralnya.
pemerintah

Pemerintah
berusaha

menekankan

membangun

doktrin

sebuah

monoloyalitas.

justifikasi

ideologi

Ketiga,
yang

komprehensif untuk pemerintahan otoritariannya. Pemerintah memurnikan
ideologi Pancasila yang ditekankan pada harmoni sosial dan kesatuan organis
antara negara dan masyarakat. Merujuk pada asas kekeluargaan
principle),

individu

dan

kelompok

diharapkan

bisa

(family

menomorduakan

kepentingannya atas kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Berbeda halnya dengan Soekarno yang banyak menulis tentang Pancasila
sebagai proyek politiknya, Soeharto tidak memiliki karya yang fokus membahas
Pancasila.41 Pemahaman terhadap Pancasilanya Soeharto hanya bisa kita
cermati, salah satunya, dari pidato-pidato resmi kenegaraan yang ia sampaikan
di berbagai kesempatan.42 Pemahaman terhadap Pancasila seperti yang
direfleksikan Soeharto juga bisa kita sarikan dari berbagai program pada masa
Orde Baru yang memiliki hubungan dengan Pancasila.
Transisi kepemimpinan politik di Indonesia dari Soekarno dan Soeharto
diawali dengan runtuhnya PKI. Ke depan, kehidupan politik Soeharto tidak
memiliki tantangan, karena PKI sudah tidak ada lagi. Soeharto hanya
berhadapan dengan kelompok Islam dan kelompok Sosialis yang tidak terlalu
kuat posisinya. Jelas, bahwa legitimasi pemerintahan Orde Baru diderivasi, salah
satunya dari koalisi anti komunis.
Pancasila menurut Soeharto tidak tiba-tiba datang pada tahun 1945. Ia
adalah buah dari perjuangan bangsa Indonesia dan berurat akar pada
kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri.43 Soeharto kemudian menegaskan lagi
bahwa Pancasila adalah kepribadian kita, adalah pandangan hidup seluruh

John A. Titaley, A Sociohistorical Analysis of the Pancasila as )ndonesia’s State
)deology in the Light of the Royal )deology in the Davidic State , Thesis (Th. D. Graduate
Theological Union, Berkeley, 1991), 153.
42 Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan
Proklamasi, 1976).
43 Ibid, 10.
41

Bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat
menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila
adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat pula mempersatukan kita.
Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh Rakyat Indonesia yang selalu harus
kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya . 44

Kaitannya dengan PKI, Soeharto melihat bahwa ideologi Nasakom seperti

yang digaungkan Soekarno dulu itu adalah kecelakaan. Pancasila menjadi tidak
lagi murni karena ia berubah menjadi Nasakom. Maka dari itu Soeharto
mengajak kepada bangsa Indonesia agar merumuskan Pancasila secara
sederhana dan jelas untuk digunakan sebagai pedoman hidup manusia
Pancasila.
Jangan terulang lagi misalnya, Pancasila lalu berubah menjadi
Nasakom yang membawa bencana itu. Ajakan saya adalah agar
kita bersama-sama memikirkan penghayatan dan pengamalan
Pancasila dalam segala segi kehidupan dan tingkah laku kita
sehari-hari.45
Soeharto melihat bahwa Pancasila telah berhasil melewati masa ujicoba
yang panjang sehingga tetap bertahan. Kekuatannya untuk tetap bertahan itulah
yang menunjukan kalau ia satu-satunya jawaban atas persoalan yang dihadapi
bangsa Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia ditegaskan
Soeharto saat dia mengatakan, Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.
Karena itu, setiap usaha merenggutnya dari bangsa ini pasti akan mendapat
perlawanan yang hebat dan berakibat dengan kegagalan .46 Di kesempatan lain,

Soeharto melihat Pancasila sebagai landasan idiil bagi peri-kehidupan bangsa
kita.47

44

Ibid.
Ibid., 5-6.
46 Ibid., 12.
47 Ibid., 13-14.
45

Tak hanya dilihat sebagai pandangan hidup, Pancasila oleh Soeharto juga
dinilai sekaligus sebagai tujuan hidup bangsa kita.

Kita tidak akan

memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong atau bahan
propaganda murah. Pancasila, karena merupakan pandangan hidup, merupakan
dasar dan tujuan, maka Pancasila itu harus kita laksanakan dalam segala segi
kehidupan dalam tata pergaulan Bangsa Indonesia .48

Penghayatan dan pengamalan Pancasila, menurut Soeharto dilakukan

untuk menciptakan masyarakat Indonesia. Atau dengan kata lain, tujuan
Soeharto adalah menciptakan Masyarakat Pancasila yang dirumuskan sebagai
masyarakat yang berazaskan kekeluargaan dan religius.
…atau kalau meminjam rumusan yang popular: Masyarakat Pancasila

adalah masyarakat yang sosialistis religius dengan ciri-ciri pokok:

Tidak membenarkan adanya: kemelaratan, keterbelakangan, perpecahan,
pemerasan, kapitalisme, feodalisme, kolonialisme dan imperialisme; karenanya
harus

bersama-sama

menghapuskannya.

Menghayati

hidupnya

dengan

berkewajiban: taqwa pada Tuhan Yang Mahaesa, cinta pada Tanah Air, kasih
sayang pada sesama manusia, suka bekerja dan rela berkorban untuk
kepentingan rakyat .49
Saat menjelaskan tentang substansi sila pertama Pancasila, Soeharto
menegaskan tentang sistem kepercayaan bangsa Indonesia. Ia menuturkan
bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pernyataan pengakuan Bangsa
Indonesia terhadap adanya Tuhan. Dengan kata lain, Sila Ketuhanan Yang
Mahaesa mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa ada kehidupan

lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi

48
49

Ibid., 14.
Ibid., 22-23.

dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka
jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti itu .50

Dengan merujuk pada sila pertama, Soeharto menegaskan bahwa dasar

negara Indonesia bukanlah teokrasi, bukan negara yang menyandarkan diri
pada agama tertentu saja. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 merupakan satu pedoman
untuk menunjukan kewajiban Pemerintah dalam memberi kesempatan dan
mendorong tumbuhnya kehidupan keagamaan yang sehat di Indonesia.
Dalam keyakinannya yang tegas, Soeharto berpendapat bahwa tanah air ini
adalah karunia Tuhan.
Kita Bangsa )ndonesia, yakin, bahwa Tuhan telah mengaruniai
kita bersama ber-Tanah Air dan berBangsa Indonesia. Oleh karena
itu kita wajib menjaga keutuhan karunia Tuhan ini.
… Namun justru oleh karena kita telah ditakdirkan oleh Tuhan
Yang Maha Esa untuk hidup sebagai satu Bangsa dan oleh karena
itu pula kita telah bersumpah sebagai Bangsa yang satu itu, maka
perbedaan-perbedaan
bukanlah
untuk
dipertentangkan,
melainkan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama
menuju kebahagiaan bersama pula .51

Dalam melihat keragaman agama, Soeharto menekankan pentingnya

toleransi antara umat beragama. Toleransi itu merupakan

terwujudnya

ketenangan, saling harga-menghargai dan kebebasan yang sepenuh-penuhnya
bagi setiap penduduk dalam menjalankan ibadah agama menurut keyakinannya
masing-masing .52

Nafas strategi pembangunanisme sangat kuat berhembus pada masa

Soeharto. Tak terkecuali dalam soal agama. Menurut Soeharto
…Semua agama yang ada di Indonesia ini, memerintahkan
umatnya agar membangun. Agama akan kehilangan sinarnya
apabila masyarakatnya miskin, melarat dan lemah. Dan agama
menunjukan tujuan yang jelas dari pada pembangunan: ialah
50

Ibid., 26-27.
Ibid., 29-30.
52 Ibid., 30-31.
51

untuk kebahagiaan dan martabat manusia; bukan untuk
kehancurannya. Agama memperhalus budi pekerti manusia. Dan
dengan kehalusan budi pekerti itu pembangunan akan mempunyai
makna yang indah dan dalam. Tidak ada satu agamapun yang
melarang orang bekerjasama dengan orang lain yang berlainan
agama dalam bersama-sama membangun masyarakat .

Dengan kata lain, Soeharto hendak menegaskan

Pembangunan dan agama adalah satu nafas. Pembangunan akan
membawa kita kepada kemajuan dan agama akan mengantarkan
kita kepada kebahagiaan. Dan kemajuan yang penuh kebahagiaan
bagi kita semua itu adalah tujuan pembangunan masyarakat
Indonesia. Agama tanpa pembangunan tidak akan maju.
Sedangkan pembangunan tanpa agama akan salah arah. Apabila
tujuan setiap agama adalah untuk memperbaiki mutu kehidupan
manusia, lahir maupun rokhaninya, maka teranglah bahwa mutu
kehidupan itu tidak akan terwujud dalam masyarakat yang serba
terbelakang dan penuh kemiskinan. Karena itu agamalah
sesungguhnya bersumber dorongan yang tidak habis-habisnya
agar masyarakat membangun dirinya .53

Untuk memperkuat proses pemurnian Pancasila, tahun 1978, MPR

mengeluarkan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) yang juga disebut Ekaprasetia Pancakarsa.54
Dalam Pasal 4 Tap MPR tersebut, P4 merupakan penuntun dan pegangan hidup
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara
Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan
lembaga kemasyarakatan, baik di pusat mapun daerah dan dilaksanakan secara
bulat dan utuh .

Dalam pelaksanaannya, pemerintah membentuk Badan Pembinaan

Pendidikan Pedoman Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila BP . BP berfungsi untuk melakukan …pembinaan pendidikan P
53

Ibid., 35-37.
Eka berarti satu atau tunggal. Prasetia berarti janji/tekad. Panca artinya lima dan
karsa berarti kehendak yang kuat. Dengan demikian Ekaprasetia Pancakarsa berarti tekad yang
tunggal untuk melaksanakan lima kehendak. Bahan Penataran, 27.
54

secara teratur, terarah dan terus menerus berdasarkan kebijaksanaan, program
serta metoda yang setepat-tepatnya . Badan ini berkedudukan langsung di
bawah Presiden, bersifat non-departemental tetapi berada di lingkungan
pemerintahan yang secara khusus bertugas melaksanakan pembinaan
pendidikan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.55
Dalam prakteknya, BP7 ini berkoordinasi dengan Tim Penasihat Presiden
tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang
disingkat P7. Tim ini mengkhususkan pada materi dan pendidikan P4. BP7 dan
P7 inilah yang melaksanakan kerja-kerja ideologis untuk mengamankan tafsir
terhadap Pancasila.56
Dalam Bahan Penataran P4 disebutkan, latar belakang perlunya P4 salah
satunya adalah munculnya berbagai peristiwa dan pergolakan politik sampai
dengan pemberontakan bersenjata, yang menurut pemerintah, memiliki tujuan
akhir merubah Pancasila sebagai dasar negara.57 Situasi politik yang dimaksud
salah satunya adalah macetnya sidang Konstituante yang kemudian harus
diakhiri dengan dikeluarkannya Dekrit pada 5 Juli 1959. Sementara,
pemberontakan yang dimaksud antara lain, PKI di Madiun pada 1948, Darul
Islam, pemberontakan PKI yang kedua pada tahun 1965. Perjalanan Pancasila
kerapkali dihadapkan pada usaha untuk menyusupkan ideologi lain yang
bertentangan dengan nilai Pancasila itu sendiri. Pemerintah Orde Baru
menyebut Nasakom dan sosialisme )ndonesia yang dinilai sebagai Marxisme

yang diterapkan di Indonesia sebagai penyimpangan yang bersifat elementer.58

55 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1979 tentang Badan Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
56 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), 704.
57 Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Undang-undang
Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, digandakan dari Buku Penataran P-4 terbitan BP-7
Pusat tahun 1990, 10.
58 Ibid., 10-11.

Sesuai dengan namanya, maka P4 ini menjadikan bangsa Indonesia tidak
sekadar memiliki Pancasila sebagai kesepakatan nasional dengan rumusannya
yang umum, tetapi juga pedoman untuk menghayati dan mengamalkannya.59
P4 dikeluarkan pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun III
(Repelita) III yang dimulai pada 1978-1983. Pancasila, menurut Michael Morfit,
penyusunan P4 dimaksudkan untuk menunjukan pemahaman mereka yang
objektif dan legitimate tentang Pancasila. Tetapi, lanjut Morfit disini justru
muncul ketidakpuasan intelektual atas karakter samar dan statis Pancasila
sebagai ideologi, yang memunculkan kesan sulitnya strategi pembangunan
pemerintahan Orde Baru.60
Kata kunci yang muncul dalam Repelita III antara lain, pemerataan, trilogi
pembangunan dan delapan jalur pemerataan. Melalui program ini, Pancasila
akhirnya lebih berfungsi sebagai pertahanan, ketimbang mobilisasi.61 Itu
dipahami dalam arti luas bahwa Pancasila dapat merangkul kebudayaan dan
agama yang sangat beragam. Namun, fungsionalisasi sebagai Pancasila sebagai
payung itu tidak kemudian tidak merangsang dan membangkitkan masyarakat
dalam proses pembangunan dan tindakan.
Wacana gotong royong yang sudah dikenal pada masa Orde Lama, juga
dikembangkan pada era Orde Baru. Bedanya, jika pada masa Orde Lama kata
gotong royong digunakan untuk menggambarkan interaksi antar kelompok
masyarakat yang kemudian membangun bangsa, pada era Orde Baru term
tersebut digunakan sebagai alat intervensi negara terhadap kehidupan
masyarakat desa.62

59

Ibid., 20.
Michael Morfit, Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order
Government , Asian Survey, Vol. 21, No. 8 (Aug., 1981), 845.
61 Ibid., 846.
62 John R. Bowen, On the Political Construction of Tradition, The Journal of Asian Studies
Vol. 45, No. 3. Mei 1986.
60

Gotong royong, pada masa Orde Baru ditopang oleh Instruksi Presiden
(Inpres) Desa sebagai

kuasa politis

dan kata-kata lain seperti swadaya,

kesadaran, spontanitas dan ikhlas. Periode Orde Baru, mungkin menjadi masa
dimana produksi kebudayaan banyak diterjemahkan secara politis. Tak hanya
itu, Orde Baru juga berhasil melakukan konstruksi terhadap womanhood atau
keperempuanan yang tercermin misalnya dalam institusi PKK.63
Melanjutkan apa yang dilakukan Soekarno, Soeharto juga memberikan
gelar pahlawan. Ada pahlawan kemerdekaan nasional (PKN), pahlawan nasional
(PN), pahlawan proklamator (PP) atau pahlawan revolusi (PR). Ada juga
pahlawan emansipasi wanita yang secara kultural, dilekatkan pada figur RA.
Kartini.
Ketika nama-nama itu telah dikenalkan, maka bangsa Indonesia
diakrabkan dengan sejarah perjuangannya, kontribusi bagi revolusi, senjata
yang digunakan, balatentara dan strategi perang serta pernak-pernik lainnya.
Terhadap kegigihan mereka, 10 November kemudian dijadikan sebagai hari
untuk memeringati jasa-jasanya. Dibuatlah pula tempat penguburan khusus bagi
para pahlawan di Kalibata, Jakarta.
Perlu juga disebutkan disini ritus-ritus lain untuk menghormati para
pahlawan ini. Sebut saja misalnya apel kehormatan yang dilaksanakan pada
malam hari di taman makam pahlawan. Ritual ini biasanya dilakukan oleh unit
angkatan bersenjata, kelompok pekerja, pegawai atau pramuka. Disamping itu
mengheningkan cipta juga kerapkali menyelimuti dan mewarnai upacara pada
hari pahlawan, hari kemerdekaan 17 Agustus, dan upacara kenegaraan.
Ritus lain bagi para pahlawan juga bisa kita temukan dalam kegiatan ziarah
ke taman makam pahlawan. Dua pemimpin pertama bangsa ini, Soekarno dan
Soeharto tidak pernah melewatkan momen ini, meski ada perbedaan dalam

63

Julia A. Suryakusuma, State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New
Order Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2011).

aksentuasinya.

Pemimpin-pemimpin

negara

tidak

pernah

alpa

untuk

mengunjungi taman makam pahlawan meski sekadar untuk memberi
penghormatan dan menabur bunga. Ritus yang juga tidak boleh kita lewatkan
dalam mengingat pahlawan adalah napak tilas. Akhir tahun 70-an, napak tilas
mulai diperkenalkan untuk menghubungkan dua rute bersejarah.64 Tahun 1977
ada kegiatan napak tilas yang diadakan dengan rute dari makam MH Tamrin
menuju Taman Makam Pahlawan Nasional di Kalibata. Kegiatan napak tilas juga
difungsikan sebagai upaya untuk membangkitkan episode sejarah masa lalu
dalam kehidupan saat ini. Taruhlah misalnya kegiatan napak tilas rute gerilya
Jenderal Sudirman di Jawa Tengah.
Di luar ritus-ritus tersebut, taman makam pahlawan tak dikenal di Kalibata,
tiba-tiba menjadi sentra dari segala bentuk peringatan terhadap jasa pahlawan.
Taman makam pahlawan Kalibata yang diresmikan tanggal 10 November 1974
itu menjadi sentrum dari ritual pada hari pahlawan. Dalam peresmian yang
dihadiri oleh Presiden Soeharto itu juga dilakukan oleh pemakaman kembali
tulang belulang jasad pejuang pemudi dari Surabaya yang terbunuh pada hari
pertama pertempuran dan dimakamkan di Surabaya.
Soeharto menjalankan Pancasila dengan citra Jawa yang sangat kental.65 Ini
terlihat, terutama, pada masa-masa awal kekuasaannya. Ken Ward memang
masih memperdebatkan apakah pengaruh Javanism (Kejawen) yang ada dalam
diri Soeharto memiliki pengaruh dan berdampak pada cara pandangnya
terhadap kekuasaan. Tetapi seperti tergambar dalam cara dia mengontrol
perilakunya, Soeharto sangat menekankan ketenangan batin dalam yang
kemudian terefleksikan dalam ketenangan geraknya.
Klaus H. Schreiner, Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional: Dari Demokrasi
Terpimpin Sampai Orde Baru, 1959- 99 , dalam (enk Schulte Nordholt ed , Outward
Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan (Yogyakarta: LKiS, 2005), 411.
65 Ken Ward, Soeharto’s Javanese Pancasila , dalam Edward Aspinall and Greg Fealy,
Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch (Australian National
University, 2010).
64

Soeharto merupakan sosok yang masuk dalam kategori an act of faith
(perbuatan yang mendasarkan pada keyakinan) bukan tipe manusia model an
act of reason (tindakan berdasar akal).66 Tipe yang kedua itu dimiliki oleh
Soekarno. Saat berhadapan dengan peristiwa 30 September 1965, terlihat sekali
bagaimana perbedaan keduanya. Soekarno begitu sangat penuh pertimbangan
rasional, ketika ada tuntutan membubarkan PKI. PKI memiliki masa yang besar
dengan kompetensi teoritik dan praksis yang teruji sejarah. Islam, meski besar
tapi tak sesistematis PKI dalam gerakannya.67 Pertimbangan yang terlalu banyak
itulah yang membuat Soekarno tampak ragu. Itulah titik perbedaan anta