Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB II

BAB II
AGAMA SIPIL DAN RELIGIOSITAS SIPIL: KAJIAN TEORITIK

Formulasi Awal Agama Sipil: Rousseau dan Durkheim
A. Agama Sipil dalam Pandangan Rousseau
Jean-Jacques Rousseau merupakan pemikir pertama yang mengenalkan
gagasan agama sipil. Konsep agama sipil dalam pemikiran Rousseau memiliki
keterkaitan yang sangat erat dengan sejarah kontrak politik dalam sebuah
masyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil berhubungan dengan
upaya membangun kesepakatan bersama dalam masyarakat yang kerap
dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Dalam kajian filsafat politik, ada tiga
pemikir yang mengelaborasi teori kontrak sosial ini, yakni Thomas Hobbes, John
Locke dan JJ. Rousseau.
Ketiganya merupakan pemikir yang hidup pada abad XVIII tetapi
pemikirannya pada sisi tertentu merupakan antitesis dari pemikiran yang
berkembang pada abad itu. Dan hal tersebut ditengarai sebagai pembangkangan
intelektual pada zamannya. Menurut sejarah, abad inilah yang menjadi pabrik
penghasil ilmuwan besar seperti Rene Descartes, David Hume, Voltaire, Galileo
Galilei dan lain-lain.
Di abad ini, terjadi perkembangan sains yang pesat. Manusia pencerahan
berjuang gigih menaklukan alam semesta dengan akal dan rasio. Segala

kebenaran diukur dengan parameter sains dan teknologi. Diatas semuanya,
terdapat sisi yang memprihatinkan. Perkembangan sains dan teknologi
pencerahan telah menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Manusia yang
sedemikian kompleks kemudian mengalami reduksi. Ia tak lebih dilihat sebagai
mesin-mesin. Manusia cenderung dituntun oleh akal semata. Faktor emosi sama
sekali tidak dilihat sebagai sesuatu yang integral dengan kehidupan manusia.

Dalam situasi seperti ini, Rousseau hadir dengan memberikan kerangka
filosofis ihwal kebebasan manusia yang kemudian dikaitkan dengan prosesproses politik. Pemikiran Rousseau, seperti yang disitir Henry J. Schmandt,
sangat mengagungkan satu proses demokrasi langsung, dimana semua orang,
bukan kelas istimewa atau beberapa orang yang terpilih, ikut serta.1
Periode kehidupan Rousseau adalah momen dimana fondasi revolusi
industri diletakan, mesin uap diciptakan, dan orang-orang Eropa melakukan
penjelajahan hingga Asia, Amerika Utara dan Pasifik.

2

Rousseau berkontribusi

tidak hanya pada satu bidang saja. Semasa hidupnya, ia terkenal sebagai seorang

novelis, komposer dan juga seorang pemikir politik. Situasi pencerahan serta
pencapaian tekhnologi yang sangat maju berjasa untuk mempertanyakan
kemapanan politik dan agama.3 Penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh
gereja mulai dikritik oleh para pemikir yang meski tidak banyak tapi cukup
berpengaruh. Mereka yang tidak merasa takut dengan hukuman dunia atau
akhirat.
Rousseau memaparkan filsafat politiknya dalam karya yang kerapkali
menjadi bahan rujukan dalam bidang politik, On Social Contract. Menurut
Rousseau, keluarga adalah masyarakat politik pertama.4 Penguasanya adalah
sang ayah dan anak-anak adalah rakyatnya.5 Mereka semua dilahirkan sama
dalam kebebasan dan kesetaraan.
Dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan pentingnya
menghancurkan

pemberhalaan

terhadap

akal


tersebut.

Manusia

yang

dikondisikan demikian itulah yang dikritik oleh Rousseau. Bagi Rousseau,
1 Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), 409-410.
2 Christopher D. Wraight, Rousseau’s The Social Contract: A Readers Guide, (New York
and London: Continuum International Publishing Group, 2008), 1.
3 Ibid., 2
4 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole (New York: Dover
Publications, 2003), 2.
5 Ibid.

perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang
rakus dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran. Pengagungan terhadap
rasio hidup dalam memori kolektif pemikir abad pencerahan. Wajar jika
kemudian Rousseau mengajak pentingnya untuk memahami keadaan alamiah

(state of nature). Manusia sebagai makhluk yang mementingkan emosi, perasaan
dan tidak mendewakan rasio serta tidak menganggap manusia sekadar jasad
tanpa ruh.
Manusia harus kembali ke alam, jika ia ingin menjadi dirinya dan terhindar
dari kehancuran total. Dalam keadaan alamiah, ia pada dasarnya manusia yang
baik. Ia tidak menghendaki perang dan konflik. Sebab manusia bukanlah
manusia yang suka berperang. Karenanya, perang bukanlah fenomena alamiah
(natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social phenomenon). Perang
terjadi jika ada pergeseran dari yang alamiah ke yang sosial.
Dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan
merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah.
Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu
mementingkan keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno. Ia tidak
baik dan buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis, hidup polos dan mencintai
diri secara spontan.
Manusia yang alamiah adalah manusia dalam keadaan bebas sejak
dilahirkan. Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan
karena ia bersentuhan dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang
melibatkan lembaga ekonomi dan politik. Rousseau mengatakan, man, is born
free and everywhere he is in chains .6


Kebebasan menurut Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan

manusia untuk menaklukkan sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa
ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya secara
6

Ibid., 1.

persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan sebagai hak untuk
melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya. Di sisi
lain istilah yang sama bisa dipahami sebagai keadaan dimana keadilan
sepenuhnya ditegakkan. Jika diterapkan dalam kehidupan sosial, kebebasan
dalam pengertian itu dapat membuat manusia merdeka, tidak terbelenggu.
Terkait dengan makna kebebasan ini, Rousseau dalam Bab Civil State,
memetakan tentang dua kebebasan, alamiah dan sipil. Apa yang hilang dari
manusia karena kontrak sosial adalah kebebasan alamiahnya dan hak yang tidak
terbatas untuk melakukan sesuatu. Yang ia dapatkan kemudian adalah
kebebasan sipil. Kebebasan alami diikat oleh kekuatan individu. Sementara
kebebasan sipil dibatasi oleh general will dan kepemilikan. Kata Rousseau,

kebebasan sipil yang demikian hanya bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut
sebagai a positive title.7
Menurut Rousseau, negara merupakan produk perjanjian sosial. Individu
dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu
kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara,
kedaulatan rakyat, kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan
makna dengannya. Dengan menyerahkan hak itu, individu itu tidak kehilangan
kebebasan atau kekuasaannya.
Negara menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat.
Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga
keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah
selama negara menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat.
Negara harus selalu berusaha mewujudkan kehendak umum.
Bila menyimpang dari kehendak atau kemauan rakyat, keabsahan
kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara berdasarkan
kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori
7

Ibid., 12.


sosialnya, Rousseau membalikan sumber kekuasaan dari legitimasi Tuhan ke
manusia.
Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa komunitas orangorang kecil dalam negara kota yang kecil, mempunyai tanggung jawab bersama
bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga untuk kebaikan kolektif. 8
Konsepsi semacam ini hanya bisa diwujudkan dalam sebuah model demokrasi
modern.
Konstruksi dasar pemikiran Rousseau semacam inilah yang mengilhami
gagasannya tentang agama sipil. Dalam Buku IV, Rousseau membagi
pembahasan menjadi tiga bagian. Pertama, Rousseau membahas mengenai
sejarah agama dan relasinya dengan kekuatan negara dari masa kuno hingga
sekarang. Kedua, Rousseau memberikan gambaran mengenai klasifikasi umum
tentang agama; agama manusia (the religion of man), agama masyarakat (the
religion of the citizen) dan agama para imam (the religion of the priests). Dan
bagian ketiga, Rousseau memberikan solusi, semacam possitive programme
seperti yang pernah ia tulis dalam Letter to Voltaire.9
Bentuk awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.10 Teokrasi
mengarah pada politeisme; dalam setiap kelompok masyarakat ada Tuhan.
Keadaan ini dijelaskan oleh Rousseau bahwa politeisme hadir karena
kemunculan bangsa. Bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak
mungkin akan tunduk pada satu kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya

Rousseau,

Dua rakyat yang asing satu sama lain, dan hampir selalu

bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikan yang sama dalam waktu lama:

8

Ibid.
Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract, (London and New York:
Routledge, 2004), 179.
10 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 89.
9

dua angkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat mematuhi
pemimpin yang sama .11

Dalam masyarakat pagan, setiap bangsa atau negara memiliki kepercayaan

terhadap dewa.12 Mestinya, dalam keadaan seperti ini tidak ada perang agama.

Mereka sudah berada dalam keyakinannya masing-masing. Menyembah
terhadap Dewa yang diyakini dalam lingkaran masyarakatnya. Namun penting
untuk dicermati bahwa setiap kelompok itu tidak membedakan antara
kekuasaan politis dan teologis, karena bersifat teokratis. Dalam masyarakat
seperti itu, kejahatan terhadap negara juga merupakan kejahatan terhadap
agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.
Kekristenan kemudian merubah pola ini. Mereka melakukan pemisahan
urusan agama dan negara. Para penganut pagan melihat penganut Kristen ini
sebagai pemberontak yang sesungguhnya.13 Mereka mematuhi secara munafik,
dan berusaha untuk memerdekakan diri serta menjadi majikan. Orang Kristen
itu kemudian berganti wajah dan berganti bahasa. Dalam sebuah kerajaan
duniawi, apa yang kemudian disebut sebagai kerajaan akhirat itu menjadi
despotisme yang paling bengis.14 Kekuasaan ganda (agama dan negara) ini
menjadikan konflik yurisdiksi. Sehingga tidak mungkin diciptakan suatu
pemerintahan yang baik di negara Kristen. Kata Rousseau, orang tidak pernah
berhasil mengetahui, siapa di antara majikan dan pstor yang wajib mereka
patuhi.

15


Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes yang telah
berhasil mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan
negara dan agama yang dikenalkan semasa Kekristenan.16 Hobbes mengusulkan
11

Ibid.
Ibid., 90.
13 Ibid., 91.
14 Ibid.
15 Ibid.
16 Ibid., 92.
12

untuk mengembalikannya kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah
tidak akan mungkin dibentuk dengan baik. Meski tidak mudah untuk
merealisasikannya karena kepentingan pastor selalu akan lebih kuat daripada
kepentingan negara.17
Rousseau kemudian menjelaskan tentang tiga kategori agama, yakni agama
manusia dan agama masyarakat.18 Rousseau juga menyinggung tentang agama
yang ketiga, the religion of priest. Tentang model ketiga itu, Rousseau tidak

memaparkannya dengan detail, tapi ia melihat bahwa tiga agama yang ia ulas
hampir semuanya tidak bisa dijalankan secara baik dalam sebuah komunitas
masyarakat.19
Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada
aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan.20 Rousseau menyebut juga
agama ini sebagai the religion of Gospel.

21

Agama manusia semata-mata

merupakan pemujaan terhadap Tuhan dalam hati masing-masing dan pada
kewajiban moral yang abadi. Pengabdian penganut agama ini terhadap
Tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama ini murni sematamata keyakinan privat atau individual.
Sementara, agama masyarakat adalah agama sebuah masyarakat yang
dipeluk suatu bangsa.22 Agama ini berlaku di suatu negeri, memberikan
dewanya, pengayom masing-masing atau pelindung. Agama ini terorganisir dan
hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta
tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Selain bangsa yang
menganutnya, dianggap kafir, asing dan biadab.

17

Ibid.
Ibid., 93.
19 Ibid.
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.
18

Di luar agama manusia dan agama masyarakat, ada jenis agama yang
ketiga. Agama ini memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua
pemimpin, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan
yang menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara
sekaligus. Ketiga agama ini buruk.
Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menjabarkan
membedakan tiga aspek dalam agama; keyakinan pribadi, doktrin dan
perilaku.23 Yang pertama, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi
fokus dari otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang berkaitan
relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau
mulai mengenalkan civil profession of faith dimana seseorang harus mengakui
kaidah atau kode moral. Sementara fanatisme harus ditolak, bukan karena tak
tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga negara bebas untuk
memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral bahan
seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya.
Tulisan Rousseau di Social Contract menyinggung kembali soal civil
profession of faith.24 Ini bukanlah dogma agama, tetapi sentimen sosial atau
kebersamaan sosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara. Kata
Rousseau, absennya kebersamaan sosial itu sulit untuk menciptakan warga
negara yang baik dan setia. Pemerintah boleh mengusir warga negara yang tidak
bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama ini. Rousseau kembali
menegaskan apa yang ia tulis di Letter, bahwa itu dilakukan bukan karena warga
itu kafir, tetapi karena mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak
mampu menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam undang-undang.
Dengan agama sipil Rousseau hendak membangun kesatuan masyarakat
afektif dimana pluralisme dan toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan
23

Jean-Jacques
Rousseau,
Letter
to
Voltaire
1756,
http://www.indiana.edu/~enltnmt/texts/JJR%20letter.html. Diakses pada 7 Agustus 2014.
24 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract... 96.

dengan masyarakat yang bebas.25 Setidaknya ada dua hal pokok mengapa agama
sipil ini merasa perlu untuk diwacanakan. Pertama, agama sipil perlu
dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka
yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan.
Kedua, selain itu agama sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari
kesinambungan antara agama dan politik.
Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk
menentukan batas-batas yurisdiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan
transendental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan
gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber
otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena
dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.26
Bagi Rousseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma
yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai
eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik,
hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum. 27 Hal
tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara dogma negatif, kata
Rousseau adalah menolak intoleransi.28
Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang politik dan agama
tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang
dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya,

sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan , kata Rousseau.29 Sikap
seperti ini tentu memiliki dampak sosial. Rousseau seperti hendak menekankan

bahwa ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Dalam
sebuah negara, tidak boleh ada agama nasional yang eksklusif. Sepanjang
25

Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract ... 188.
Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract..., 93-95.
27 Ibid., 95.
28 Ibid.
29 Ibid., 97.
26

dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka
agama apapun harus diterima.
Sebagai kesimpulan dari apa yang disampaikan Rousseau, agama sipil
berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh
sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka
untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni
keadilan dan kesejahteraan bersama.30 Jika kehendak umum tersebut dipahami
secara seksama dan dianggap memiliki nilai transendental, maka adalah tugas
setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat
sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah
pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma,
tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi
warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu
tidak sama dengan agama seseorang.31
Sebagai teoritikus agama sipil, Rousseau mengandaikan negara yang
menjadi lokus dari otoritas politik harus memperhatikan klaim otoritas yang
berasal dari agama.32 Ada dua jalan menafsirkan gagasan agama sipil di sini.
Pertama, ini yang oleh disebut oleh Ronald Beiner sebagai pembacaan
konvensional terhadap ide Rousseau. Membiarkan agama dan politik sebagai
dua urusan yang terpisah satu dengan lainnnya. Tidak ada dialog karena dua hal
itu sesuatu yang terpisah secara ketat. Sementara tafsir yang kedua adalah
menjadikan agama serviceable terhadap politik dan kewarganegaraan.33 Poin
yang kedua itu, kata Beiner membangun semacam domestikasi agama, dan ini
30 John A. Titaley, Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang
Eksklusivisme Agama , Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya X)V
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1
Desember 2004, 4.
31 Ibid.
32 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy,
(Cambridge University Press, 2011), 413.
33 Ibid., 415-416.

adalah titik tekan dari liberalisme. Ada pemisahan (segregasi) terhadap agama
dan politik, bukan subordinasi.
Rousseau mendeskripsikan gagasan agama sipil sebagai respon dari
sebuah konteks. Maka dari itu ide Rousseau juga harus dipahami sesuai
konteksnya. Jika kita mencermati pemikiran yang berkembang sebelum era
Pencerahan, maka identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas
primordialnya; gereja, ras dan suku. Tetapi setelah pencerahan, mereka seperti
kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan
primordial tercerabut. Dalam konteks inilah ide social contract serta agama sipil
Rousseau dipahami. Ia seperti hendak menyambungkan ikatan primordial yang
pudar akibat Pencerahan. Rousseau menyadari pentingnya membangun kohesi
sosial tersebut. Karena manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan
kehidupannya secara eksklusif. Bahkan ketika seseorang harus untuk
kepentingan dirinya sendiri pun mereka harus berjejaring. Disini kita bisa
memahami ide Rousseau soal penyerahan sebagian dari hak warganya kepada
kolektifitas atau negara.
Kemunculan wacana civil religion pada masa Rousseau terjadi ketika
negara kehilangan fondasi moral (bisa dikatakan juga basis agama) akibat
proses individualisasi akibat pencerahan itu. Makanya ada kuasi agama yang

menggantikan semen agama itu. Sebuah basis moral agama yang dihancurkan
oleh pencerahan.
Dari komentar Rousseau, ada beberapa catatan yang bisa dipetik tentang
diskursus agama sipil ini. Pertama, agama adalah kebutuhan manusia. Kita
memerlukan sesuatu untuk dipercayai, yang menginspirasi iman dan devosi.
Kedua, agama menyediakan rasa untuk bersatu, memiliki dan persaudaraan.
Ketiga, agama dapat memastikan ketaatan atau kepatuhan terhadap kode
perilaku atau moral. Keempat, pada kondisi dimana hadir pluralisme agama,
maka disana muncul bahaya terpecahnya masyarakat. Kelima, agama sipil

merupakan seperangkat kepercayaan dimana semua masyarakat merasa
memerlukan dan memegangnya tanpa bertentangan dengan keyakinannya.
Keenam, pengakuan publik oleh seluruh masyarakat terhadap agama sipil
menciptakan dasar bagi kesatuan masyarakat. Ketujuh, partisipasi bersama oleh
semua masyarakat dalam bangunan agama sipil akan menyebabkan masyarakat
saling mengakui satu dengan yang lain sebagai warga dari sebuah negara
negara, bukan sebagai pengkhianat negara atau orang luar yang kebetulan
bertetangga. Kedelapan, agama sipil didasarkan pada ajaran yang sedikit dan
dapat diterima dengan alasan.

B. Teori Agama sipil Durkheim
Ivan Varga menulis, bahasan mengenai moralitas menempati posisi sentral
dalam pemikiran sosiologi Durkheim.34 Varga menambahkan kalau gagasan
mengenai moralitas itu tercermin dalam apa yang oleh Durkheim disebut
sebagai kesadaran kolektif.35 Karenanya, konstruksi agama sipil dalam
pemikiran Durkheim sangat erat kaitannya dengan apa yang oleh Durkheim
disebut collective consciousness ini.
Tidak seperti Rousseau, Durkheim dalam karyanya tidak menyebut
langsung tentang apa yang dimaksud dari civil religion atau agama sipil. Robert
N. Bellah dalam kata pengantar untuk kumpulan tulisan Durkheim On Morality

and Society , yang menyebut Durkheim sebagai teolog agama sipil. Bellah
mengatakan, He was a high priest and theologian of civil religion in the Third

Republic and a prophet calling not only modern France but modern Western
generally to mend its ways in the face of a great social and moral crisis.36

)van Varga, Social Morals, the Sacred and State: Regulation in Durkheim s Sociology ,
Social Compass 53(4), 2006, 457
35 Ibid.
36 Emile Durkheim, On Morality and Society: Selected Writings, Robert Bellah (ed),
(University of Chicago Press, 1973), x.
34

Beberapa penulis agama sipil mengaitkan bentuk-bentuk dasar keyakinan
keagamaan seperti yang didedah Durkheim dengan format dasar agama sipil.37
Gagasan Durkheim tentang moralitas, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang
menjadi basis dari teori agama sipil itu tercermin dalam beberapa karyanya
seperti Division of Labour in Society, The Elementary Forms of Religious Life serta
On Morality and Society. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama
sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut.38
Terkait dengan masyarakat, agama, kata Durkheim sebagaimana dikutip
oleh Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam
masyarakat.

Kita

dapat

memantapkan

fakta

bahwa

kategori-kategori

fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengetahuan adalah asal-usul
agama. Dalam perkembangannya, banyak institusi sosial yang besar, lahir dalam
agama.39
Pertama-tama, Durkheim dengan tegas mematahkan argumen dari E.B
Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat primitif sepenuhnya
memahami hal yang tertinggi dari kehidupan keberagamaan sebagai sesuatu
yang supernatural.40 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada
supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Dikotomi ini hanya ada pada
37

Lihat dalam Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture,
Religion and Politics Wilfrid Laurier University Press,
, Sergej Flere, The Broken Covenant
of Tito s People: The Problem of Civil Religion in Communist Yugoslavia , East European Politics
and Societies 2007; 21, Seong Hwan C(A, Korean Civil Religion and Modernity , Social Compass
; , John A. Coleman, Civil Religion dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970 dan NJ
Demerath ))), Civil Society and Civil Religion as Mutually Dependent , dalam Michele Dillon ed ,
Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003).
38 Dalam buku ini ditegaskan oleh Durkheim bahwa format dasar dari agama adalah
totemisme. Tentang hal tersebut Durkheim mengatakan, what is fundamental to totemism is
that the people of the clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents,
are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms
were bridged . Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press,
1995), 238.
39 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue
(Philadelpia: Temple University Press, 2000), 1.
40 Daniel L. Pas, Eight Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 2006)
Second Edition, 88-90.

masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat
primitif.
Dalam Elementary Form, karya yang berusaha untuk melihat bentukbentuk awal dari kepercayaan ini, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat
memiliki

keunikannya

tersendiri

dalam

soal

keyakinan.

Durkheim

mendefinisikan agama dari sudut pandang yang sakral. )ni berarti agama
adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan

dengan suatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinankeyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral
yang disebut Gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai
tempat masyarakat memberikan kesetiaannya .

Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling

mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemenelemen supernatural seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan

terletak pada konsep tentang yang sakral dimana keduanya yaitu supernatural
dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,
seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara
yang sakral

sacred dan yang profan (profane), yang selama ini dikenal

dengan natural dan supernatural. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal
yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,

yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu
dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari
hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

Durkheim menuturkan, konsentrasi utama agama terletak pada yang

sakral,

karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan

kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh
yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu.

Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang yang sakral dan yang
profan hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral,

bahwa yang sakral sebagai ”kebaikan” dan yang profan sebagai ”keburukan”.
Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang
sakral ataupun yang profan . (anya saja yang sakral tidak dapat berubah

menjadi profan dan begitupula sebaliknya, yang profan tidak dapat menjadi yang
sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang
sakral.
Yang sakral, kata Durkheim, adalah tidak lain dari masyarakat itu sendiri.
Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan terkait dengan
kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang profan adalah
masalah-masalah kecil yang mencerminkan kegiatan individu sehari-hari.
Mereka, lanjut Durkheim, memiliki kesadaran bersama (collective consciousness)
dalam sebuah ritual.41 Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral
dari yang profan.
Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai
agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari
kepercayaan itu berasal dari kolektifitas individu yang menyatukan asas
moralnya. Agama disini berperan lebih sebagai ekspresi masyarakat yang
terintegrasi bukan sebagai sumber integrasi masyarakat.
Asosiasi manusia didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan
tujuan ataupun kesamaan tradisi yang melakukan penyatuan berdasarkan
substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai
sebuah collective consciousness. Durkheim menyebut kesadaran kolektif itu
hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam collective effervescent

dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah

41

Ibid., 218.

kolektifitas masyarakat.42 Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan.
Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota
kelompok.
Penulis

melihat

bahwa

dengan

model

ini,

Durkheim

hendak

menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas
agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada
bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang
pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, secara otomatis akan
melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya
itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat
tanpa agama. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai fakta unitas, tidak
semata-mata kenyataan keagamaan.
Jika dikaitkan dengan tesis agama sipil, maka gagasan Durkheim tentang
agama, bukan tidak mungkin akan menemukan pelbagai kerumitan. Ketika
berbicara soal integrasi, pengalaman unitas serta praktek ritus yang
diekspresikan, maka yang kita baca dari gagasan Durkheim itu adalah praktek
totemik dari masyarakat Arunta. Pengalaman semacam ini, rentan ketika
dihadapkan pada klaim generalisasi. Apakah gagasan agama Durkheim seperti
yang muncul dalam Elementary Form itu merupakan suatu yang universal atau
tidak.
Menurut Hammond, interpretasi umum terhadap tesis Durkheim bahwa
sebuah masyarakat akan terintegrasi sebanding dengan tingkat sejauhmana ia
memiliki sebuah agama umum, didasarkan pada dua kekuatan.43 Pertama, istilah
utama dalam tesis itu dibalik, sehingga suatu masyarakat terintegrasi, ekspresi
integrasinya akan berlangsung sedemikian rupa sehingga bisa kita sebut agama.
Kedua, karena konflik jelas membahayakan integrasi sosial, maka resolusi

42
43

Ibid., 238.
Phillip Hammond, Varieties of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row, 1980).

konflik

berlangsung

kemungkinan

merupakan

sebuah

peristiwa

yang

mengekspresikan agama ini.
Dalam diskursus agama sipil, ketika konflik terjadi, maka gereja tidak dapat
menyelesaikan konflik antar gereja misalnya. Disini, diperlukan institusi hukum
untuk menyelesaikannya. Institusi hukum memiliki peran dalam perkembangan
agama sipil.

C. Perbandingan Rousseau dan Durkheim
Konstruksi awal dari agama sipil baik Rousseau maupun Durkheim
sesungguhnya

merupakan

jawaban

dari

pertanyaan-pertanyaan

kemasyarakatan. Rousseau mencoba mengajukan agama sipil sebagai cara untuk
membangun masyarakat ideal sementara Durkheim melihat kualitas keagamaan
dalam satu masyarakat.
Bagi Rousseau, agama sipil dikonstruksi secara top-down sebagai sumber
artifisial dari civic virtue.44 Durkheim, berbeda dari Rousseau melihat agama
sipil sebagai gerak sebaliknya yakni suatu pengalaman sosial yang dalam.45
Perbedaan kesimpulan yang dihasilkan oleh keduanya bisa dimengerti karena
Rousseau dan Durkheim berangkat dari dua latar belakang keilmuan yang
berbeda. Dalam Social Contract, Rousseau mengelaborasi banyak tema terkait
dengan struktur dan infrastruktur sebuah negara. Sebagai seorang yang bergelut
dengan tradisi filsafat politik abad pencerahan, Rousseau mengetengahkan tema
agama sipil dalam relasinya dengan struktur negara dan pemerintahan.
Kegelisahan Rousseau ketika mengkritik tiga model agama yang disinggungnya
dalam Social Contract adalah karena ketiganya tidak mampu memberikan solusi
kepada rakyat di sebuah negara untuk menjadi warga negara dan warga agama
yang baik.
N.J. Demerath ))) dan Rhys (. Williams, Civil Religion in Uncivil Society , ANNALS,
AAPSS, 480, July 1985, 156.
45 Ibid.
44

Bagi Durkheim, dasar yang paling hakiki dari agama sipil bukanlah dalam
kaitannya dengan negara.46 Sebagai sosiolog fungsionalis, Durkheim mengamati
momentum yang jauh lebih mengakar dari masyarakat yakni soal kesadaran
kolektif. Setelah melakukan studi terhadap bentuk-bentuk dasar dari kehidupan
keagamaan dengan mengambil sampel Suku Aborigin di Australia, Durkheim
sampai pada satu konklusi; jika agama diberikan kepada semua sebagai suatu
yang esensial dalam masyarakat, maka itu karena ide masyarakat adalah jiwa
dari agama.47 Kohesi sosial merupakan tema utama dalam perbincangan itu.
Meski Durkheim tidak berbicara dalam konteks yang luas dalam menelaah dasar
dari agama, namun Durkheim tentu saja tidak menegasikan kemungkinan
hadirnya masyarakat yang lebih luas dari Suku Aborigin. Penekanannya
terhadap komponen sebuah masyarakat yang percaya terhadap afeksi dari
kolektifitas yang dikembangkan melalui sentimen dan ritual keagamaan. Bagi
Durkheim, setiap kelompok, atau lebih tepatnya setiap masyarakat memliki
dimensi keagamaan.48
Rousseau membangun teori agama sipil sebagai bagian dari momen
politik-kenegaraan, sementara Durkheim (dalam Elementary Form) menimbang
gagasan elementer dari agama sipil sebagai suatu kesadaran bersama dalam
masyarakat. Jika kesadaran masyarakat menjadi sentrum, maka berdasarkan
dua konstruksi awal agama sipil, penulis menyimpulkan ada dua bangunan teori
mengenai agama sipil.
Pertama adalah teori sentrifugal dimana konstruksi agama sipil bergerak
menuju pusat, dari masyarakat menuju idealitas bernegara seperti yang
digambarkan Rousseau. Kedua, teori sentripetal yakni kesadaran kolektif, civic
morals, sebagai poros dari pandangan tersebut dengan merujuk pada pandangan

Bandingkan dengan )van Varga, Social Morals, the Sacred and State…
Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .419.
48 John A. Coleman, Civil Religion . . .
.

46

47

Durkheim. Gambaran tentang bagaimana gabungan dari dua konsepsi teoritik ini
bisa kita dapati dalam paparan Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Agama Sipil Amerika: Robert N. Bellah
Tak dapat disangkal, diskursus agama sipil menemukan momentumnya
ketika Robert N. Bellah menulis risalah yang berjudul Civil Religion in America.49
Bellah menelaah dasar kehidupan masyarakat Amerika dimana perkembangan
kehidupannya tidak lepas dari hadirnya momen bersama yang olehnya dikenal
sebagai agama sipil. Dilihat dari waktu keluarnya gagasan tersebut, bisa
ditegaskan di sini, kalau tema itu lahir tidak lama setelah pembunuhan Presiden
John F. Kennedy.
Menurut Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang
terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.50 Dimensi
keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya
terhadap pengalaman sejarahnya dalam pancaran realitas transenden.51
Dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang cukup
penting. Orang Amerika mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi
keagamaan.52 Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan
ibadah setiap minggu dan 60 persen dari mereka merupakan anggota dari

Robert N. Bellah, Civil Religion in America , Daedalus ,
, -22. Reprinted in
Robert Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of
California Press, 1980), 168-189.
50 Robert N. Bellah, Beyond Belief…
.
51 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial
(University of Chicago Press, 1992), 3. Bandingkan dengan definisi John A. Coleman tentang
agama sipil. Menurut Coleman, civil religion is the mystic chord of communal memory which ties
together both a nation’s citizenry and the episodes of its history into a meaningful identity by using
significant national beliefs, events, persons, places, or documents to serve as symbolic repositories of
the special vocational significance of the nation-state in the light of a more ultimate or
transcendent bar of judgment: ethical ideals, humanity, world history, being, the universe or God.
John Coleman, An American Strategic Theology (New York: Paulist Press, 1982), 109.
52 Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American
Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 219, 63.
49

perkumpulan keagamaan.53 David Leege menulis bahwa sekitar tiga per lima
atau tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari gereja-gereja,
sinagog-sinagog atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan
jika 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk
menggunakan identitas agama mereka.
Tak hanya berfungsi sebagai afinitas, agama merupakan sesuatu yang
dijalankan baik secara privat maupun publik. Mereka yang hadir dalam pelbagai
kegiatan keagamaan seperti menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih
banyak dibanding dengan warga Amerika yang menonton program keagamaan
di televisi dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.
Dalam situasi keduniawian, gereja menanamkan berbagai keyakinan dan
membentuk

pandangan

dunia.

Gereja

membangun

struktur-struktur

pemahaman, yakni pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta
menawarkan berbagai norma-norma sosial. Gereja juga membangun asumsi
yang berbeda menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang melekat pada diri
manusia, merumuskan pemikiran-pemikiran bagi desain dan tujuan sistemsistem politik, serta membangkitkan harapan akhir zaman.
Kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan, kasus di Amerika
kerapkali menunjukkan fakta kalau institusi keagamaan seringkali menutupi
latar belakang etnis atau kedaerahan. Bagi sebagian besar warga Amerika
Serikat, secara historis, politik mendahului agama. Sebagai contoh, mereka yang
berasal dari Irlandia, Italia atau Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari
Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka beragama Lutheran. Jika mereka
tumbuh di Utah atau Great Basin, mereka beragama Mormon, atau jika mereka
tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis Southern. Prinsipnya, segala

53

Ibid.

sesuatu di sekitar, tertata dan dengan serasi tersimpulkan oleh suatu afiliasi
keagamaan.54
Disinilah pentingnya memahami agama dalam politik Amerika. Jika semua
politik bersifat lokal, jelas banyak agama bersifat lokal. Kekhawatiran sempat
muncul pada awal tahun 1980-an ketika para pemuka agama melihat
perkembangan gereja elektronik yang bukan mustahil akan menggantikan

perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.55 Tetapi ternyata kekhawatiran itu
tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak
bersifat substitusi, tetapi kumulatif.
Budaya keagamaan Amerika bisa dilihat laiknya sebuah pasar. Di tempat
mana pun, seseorang yang merasa terpanggil oleh Roh Kudus bisa mendirikan
sebuah rumah untuk kebaktian dan layanan-layanan lainnya. Konsensus agama
yang menggerakan lembaga akademis besar sampai akhir abad ke-19 mencair
dari pemaknaan ulang mereka sendiri yang sekuler, dipengaruhi oleh
munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru dan hadirnya lebih banyak
lagi kaum Katolik, Yahudi dan Non Katolik atau Kristen di kalangan guru besar
dan mahasiswa.56 Agama kemudian menjadi tema yang sangat membosankan

yang ditelaah sebagai sebentuk keingintahuan akan masa silam yang
tersingkirkan. Berakar pada takhayul dan tribalisme, agama diperkirakan akan
tergerus oleh dahsyatnya sekularisasi.
Tetapi, sekularisasi ternyata tidak membuat agama benar-benar hilang dari
peredaran. Minat yang terhadap studi agama dan politik justru semakin
menunjukkan gejala yang masif. Kebangkitan minat tersebut muncul melalui (1)
kesadaran bahwa zaman keemasan tidak datang melalui kolaborasi negara dan
universitas (2) kekecewaan terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi berkembang
54

David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American
Politics, terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, Agama dalam Politik Amerika Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute, 2006), 5.
55 Ibid., 5.
56 Ibid., 7.

dalam berbagai perang imperialistis dan program sosial yang bermaksud baik.
(3) pengakuan bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan
sekularisasi. (4) pelembagaan kembali program-program studi agama di
kampus-kampus negeri dan swasta (5) pengakuan bahwa dalam masyarakat
dengan budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan
dan memecah belah dan karena itu orang ingin tahu hal tersebut.57
Bagi generasi awal intelektual politik Amerika, mempelajari agama
merupakan suatu yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, keyakinan
Protestan arus utama sangat tertanam dalam budaya yang mendalam dari ilmu
sosial pada zaman itu. Selain itu, memberikan banyak kepercayaan pada agama
dalam interpretasi-interpretasi politik dianggap membahayakan struktur
masyarakat. Agama kemudian menjadi faktor pembela manusia. Politisi-politisi
memiliki andil atas kebodohan rakyat dengan menggunakan metafor-metafor
keagamaan dalam kampanye mereka. Sebuah bangsa yang sangat beragam,
sangat heterogen, dapat dipecah belah dengan sangat mendalam oleh agama.
Singkatnya, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara
para elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga
menyangkut isu-isu yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia
keagamaan dan mobilisasi gereja.
Kata Leege, seharusnya ilmuwan sosial tidak perlu terkejut bahwa agama
seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang penting.58
Para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama sebagai lem perekat yang
menyatukan masyarakat, memberikan legitimasi atas perubahan sosial dan
mendefinisikan banyak harapan dasar kita menyangkut tatanan politik.
Dalam konteks budaya, agama memenuhi semua fungsi dasar sebuah
budaya dari perspektif kelompok-kelompok dan individu-individu. (1) identitas,

57
58

Ibid.
Ibid., 10

ia mengatakan pada kita siapa kita dan siapa saya. (2) norma-norma, ia
mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku (3) pemeliharaan tapalbatas, ia mengatakan kepada kita siapa dan perilaku apa yang bukan bagian
kita.59 Namun sangat mungkin agama memiliki arti penting yang lebih besar bagi
pemeluk agama dari sekadar identitas, norma atau batas sosial lainnya karena
dalam agama ada klaim mengenai yang sakral, abadi, penuh dengan makna
puncak dari hidup.
Begitu pentingnya peran agama dalam masyarakat Amerika menghadirkan
pelbagai bentuk pemikiran tentang posisi agama itu sendiri, apakah ia bersifat
privat ataukah publik. Dalam buku Habits of the Heart ditunjukkan beberapa
pandangan umum yang mengemuka dalam menanggapi persoalan ini.60 Ada
sebagian masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan
privat yang harus dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara
yang lain ada yang memahami bahwa agama itu privat di satu sisi, tetapi juga
menjadi sebuah kendaraan utama bagi ekspresi nasional bahkan urusan yang
bersifat global. Meski orang Amerika secara umum menerima doktrin
pemisahan Gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, sebagaimana
mereka selalu miliki bahwa agama memiliki peranan penting untuk bermain di
aras publik.
Fenomena bagaimana agama direspon secara beragam oleh masyarakat
Amerika tercermin dalam penegasan hasil penelitian Bellah dan kawan-kawan.
Ia menemukan fakta tentang mereka yang menisbatkan agama dari apa yang ia
pikirkan sendiri tentang agama. Salah satunya adalah Sheila Larson seorang
perawat yang menyebut agamanya sebagai Sheilaism . Itulah salah satu respon

masyarakat Amerika terhadap keyakinan yang dipeluknya.

59
60

Ibid., 15-16.
Ibid.

Dalam sejarah Amerika sendiri, relasi antara bangsa dan agama selalu
berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat itu.
Menurut Bellah, dua cara pandang itu masing-masing, Pertama, ide yang berasal
dari gagasan keagamaan: satu masyarakat, satu iman. Kedua, gagasan yang tidak
dikaitkan sama sekali dengan organisasi keagamaan; satu individu, satu iman.61
Fenomena Sheilaisme seperti yang disitir Bellah di atas merupakan salah satu
ekspresi dari fenomena satu individu, satu iman.
Dalam sejarah perkembangan Kekristenan, ketegangan antara agama dan
negara selalu menjadi warna dari rona kesejarahan Kristen itu sendiri. Ide
mengenai pemisahan agama dan negara atau negara yang tidak memberikan
kesempatan pada agama untuk terlibat di dalamnya adalah suatu hal yang
modern dan meragukan.62 Kekristenan sendiri telah dicandra sebagai religious
legitimation bagi kebijakan negara-negara di Barat. Di Amerika, pemisahan
antara agama dan negara tidak memiliki dasar konstitusi.63 Meski begitu,
Kekristenan atau agama lain juga tidak menjadi agama negara.64
Tentang agama sipil, Bellah sendiri menyandarkan paparannya mengenai
hal tersebut pada uraian Rousseau dan Durkheim. Dalam Beyond Belief, Bellah
mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika.65 Dengan sendirinya,
konsep agama sipil Amerika ini, sesungguhnya racikan yang bermula dari para
pemikir Perancis. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang
tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga
secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan. Artinya, agama
sipil Amerika bisa dibedakan dari institusi agama sipil di pelbagai belahan

61 Robert N. Bellah and Frederick E. Grenspahn (eds), Uncivil Religion: Interreligious
Hostility in America (New York: Crossroad, 1987), 221
62 Robert N. Bellah, Religion and the Legitimation of the American Republic , Society, no.
4, 1978, 16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: American Civil
Religion in Time of Trial (The University of Chicago Press, 1975), 169.
63 Ibid., 169.
64 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…,
.
65 Idem., Beyond Belief. . . .

negara lainnya karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun
negara.66
Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai
national self-worship, melainkan sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika
pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu
harus dinilai.67 Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap
pemikiran

Bellah,

sebenarnya

justru

muncul

dari

pelbagai

ekspresi

keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian
dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah
menemukan fenomena yang unik dalam dua momen, state funeral dan pidatopidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah misalnya
mencoba menarasikan pidato pengangkatan John F. Kennedy saat menjadi
presiden Amerika tahun

. Kennedy mengucapkan tiga kali kata Tuhan .

Pertama ia mengatakan, ...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan

Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ...keyakinan bahwa hak-hak

manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan . Ketiga,
...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita .68

Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang

dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini.
Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus
Kristus atau Musa, atau Gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu
kepada Gereja Katolik.69 Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang
bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.70

John A Coleman, Civil Religion . . . -77.
Robert N. Bellah, Beyond Belief. . . .170
68 Ibid., 170-171.
69 Ibid.
70 Ibid.

66

67

Lalu bagaimana memahami konsep Tuhan yang diekspresikan dalam
sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama
dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu
tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik.71 Meski agama
adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi
keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi
dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol
dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai American Civil Religion .72

Bellah juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga

masa percobaan. Pertama, masa kemerdekaan. Kedua, masa perbudakaan.
Ketiga, situasi yang saat ini tengah dihadapi, dimana Amerika secara militer,
ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di dunia.73
Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Baginya, agama sipil
Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis yang
transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.74
Pemikiran seperti ini bisa berimbas pada sikap eksklusif bangsa Amerika.
Makanya, Bellah mengupayakan agar pemikirannya tentang agama sipil ini
dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikat yang baru saja keluar sebagai
pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme
atau sikap patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika
ke suatu kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya,
dia mengatakan bahwa agama sipil Amerika tersebut haruslah ditempatkan
dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan maknanya.75
Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya
tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari
71

Ibid.
Ibid.
73 Ibid., 176-179.
74 Ibid., 171.
75 Ibid.
72

lembaga-lembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak
mengembangkan gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari
pandangan keagamaan gereja-gereja di Amerika yang eksklusif.76
Melihat paparan Bellah atas agama sipil, maka gagasan tersebut tidak
hanya perlu dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga
harus dilihat dari konteks Amerika sebagai salah satu peradaban yang
memberikan pengaruh cukup luas terhadap masyarakat dunia. Americanism
ditambah dengan wawasan teologi yang triumfalistik, sangat potensial
menciptakan kekuatan primordial Amerika yang bukan tidak mungkin
dijustifikasi secara teologis, karena mereka menganggap Amerika sebagai New
Jerusalem. Disitulah Bellah bermaksud untuk menyerukan agar agama sipil
Amerika harus ditempatkan dalam konstelasi ideologi dunia.
Salah satu teoritikus politik yang mencoba mengingatkan bahaya dari ide
agama sipil ini adalah David C. Leege. Pertama-tama, Leege mengidentifikasi
agama sipil atau civil religion di Amerika sebagai percampuran nilai-nilai agama
dan anti agama dari konflik yang inheren diantara keduanya.77 Karena budaya
harus menawarkan das