Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB VI

BAB VI
PANCASILA DAN TRANSFORMASI RELIGIOSITAS SIPIL: SEBUAH ANALISIS

Sebagai agama sipil, salah satu keunikan Pancasila adalah karena ia tak
hanya berada dalam konteks perbedaan soal agama saja. Pancasila melampaui
gagasan agama sipilnya Bellah yang memang ada dalam konteks keagamaan.
Dalam hal mengakomodir pandangan non believers, ide agama sipil dalam
Pancasila barangkali agak lebih dekat dengan pandangan Andrew Shank. Agama
sipil Pancasila, selain berbicara tentang agama, juga datang dari dua pokok
fondasi lainnya, sosio-demokrasi dan sosio-Nasionalisme. Namun, pembahasan
dalam karya ini hanya akan fokus pada point pertama saja, yakni soal agama.
Pancasila sebagai DzMilestonedz Pluralitas Bangsa Indonesia:
Sebuah Proses Transformasi
Salah satu situasi politik yang menjadi latar lahirnya Pancasila adalah
pertarungan antara Islamisme dengan Nasionalisme. Pidato Soekarno saat ia
menawarkan lima dasar, sangat jelas menunjukkan situasi tersebut. Soekarno
misalnya mengatakan;
Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudarasaudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, kebangsaan
ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudarasaudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya
katakan bahwa pada dasar pertama buat Indonesia adalah dasar
kebangsaan.1

Dalam situasi demikianlah Pancasila lahir. Pancasila berupaya untuk
merengkuh semua golongan agar bisa terakomodir. Soekarno merasa harus

1

Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 92.

menyampaikan sebuah prinsip yang bisa membuat nyaman semua kelompok
yang ada dalam sidang BPUPKI. Dari banyak kelompok yang hadir, perwakilan
Islam memang sangat mendambakan sebuah negara dengan dasar Islam.
Soekarno melihat ada potensi disintegrasi karena ada keberatan dari kelompok
yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. Lalu disepakatilah lima
dasar yang ditawarkannya pada 1 Juni 1945.
Lahir dari situasi dimana penuh ketegangan antar berbagai ideologi,
Pancasila diharapkan menjadi kompromi sekaligus dasar bersama bagi semua
kelompok. Soekarno sering menyebut Pancasila ini sebagai fundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat atau philosofische grondslag .


Dalam kesempatan lain, Soekarno (juga Soeharto) sering menyebut Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun, justru disinilah sesungguhnya ada
masalah dengan menempatkan Pancasila sebagai ideologi.

Jika Pancasila adalah sebuah ideologi, maka Pancasila menjadi sesuatu
yang benar di dalamnya dan tidak mengandung kontradiksi satu dengan lainnya.
Namun, hal itu harus dilakukan oleh Soekarno untuk mengatasi persoalan yang
timbul di Indonesia.
Persoalan yang ada dalam diri Pancasila itu pertama-tama adalah saat
Soekarno berusaha untuk menjadikannya sebagai payung bersama, perekat. Itu
bisa dilihat misalnya dalam Sila Persatuan. Muncul kemudian keinginan untuk
membuatnya kuat, kukuh dan tak tergantikan. Kecenderungan yang sangat
terasa ketika orde baru berkuasa melalui doktrin Pancasila sakti.
Seperti yang digambarkan dalam bab sebelumnya, dengan menggunakan
pendekatan ideologis, Pancasila menyiratkan ada inkompatibilitas intrinsik.
Mencermati tiap-tiap sila dalam Pancasila, serta keterangan Soekarno saat

menjelaskan masing-masingnya akan semakin jelas menunjukkan bagaimana
inkonsistensi itu mengemuka.2
Sila pertama yang disinggung oleh Soekarno merupakan antitesa dari

paham Pan Islamisme.3 Soekarno meminta kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo dan
kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara agar bisa
memahami apa yang ia sampaikan itu. Soekarno melanjutkan bahwa ide tentang
kebangsaan tersebut tidak dimaksudkannya untuk memaknai satu model
kebangsaan sempit, tetapi nasionalestaat. Soekarno kemudian menguraikan
tentang apa yang ia maksud sebagai Persatuan, Musyawarah, Kemanusiaan dan
Ketuhanan.
Persoalan kemudian muncul ketika Soekarno sampai pada pembahasan
tentang permusyawaratan, permufakatan, dasar ketiga yang ia tawarkan.
Soekarno menyadari betul bahwa asas ini menjadi kran untuk beradu pendapat,
menawarkan pandangan dan ideologinya masing-masing. Soekarno ada dalam
situasi dimana tuntutan kelompok Islam untuk menjadikannya sebagai dasar
negara sangatlah kuat. Soekarno membuka kesempatan kepada mereka untuk
berdebat dan memperjuangkannya di badan legislatif. Kehidupan di lembaga
perwakilan haruslah merupakan sebuah kawah candradimuka dimana ada
perjuangan paham di dalamnya. Negara yang sehat adalah negara yang
menyediakan ruang bagi perjuangan paham atau ide dan menjadikan lembaga
perwakilan itu bergolak mendidik. Termasuk jika umat Islam hendak
memperjuangkan idenya, maka bertarunglah di badan perwakilan itu.


2 Penulis berterima kasih kepada Donny Danardono yang memperkenalkan pendekatan
ini dalam memahami Pancasila di berbagai diskusi. Uraian singkatnya tentang hal itu bisa
disimak dalam Donny Danardono, Pancasila dan Hukum Sebagai Diskursus, Makalah
disampaikan Konferensi Nasional Ke-2 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia: Filsafat (ukum dan
Kemajemukan Masyarakat yang diselenggarakan oleh AF(), Epistema )nstitute dan Fakultas
Hukum Universitas Katolik di Teater Thomas Aquinas Unika Seoegijapranata pada 16-17 Juli
2012.
3 Ibid.

Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk
mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan
kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu
bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita
bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar
dari pada kursi-kursi badan perwakilan Rakyat yang kita adakan,
diduduki oleh utusan Islam.
Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik
yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip
nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam

perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada
satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badanperwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah
Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya.
Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen,
perjoangan selamanya ada.4
Imbas dari apa yang disampaikan oleh Soekarno ini kemudian membuat
Pancasila berada dalam posisi yang dilematis. Sebagai dasar negara, Pancasila
akan sangat mungkin digantikan oleh paham lain, selama mereka yang
memperjuangkannya dapat menguasai parlemen. Yang terjadi kemudian,
sebagai dasar negara, philosofische grondslag atau weltanschauung, Pancasila tak
lagi kedap,5 pejal, sudah final dan kekal,6 Sementara, di sisi lain, Soekarno
menghendaki Pancasila itu sebagai suatu fondasi yang kokoh dan tak
tergantikan. Keberhasilan sebuah paham tertentu dalam lembaga perwakilan
akan menggoyahkan Pancasila yang hendak meniadakan egoisme agama serta
prinsip semua buat semua .

Pemahaman terhadap Pancasila dalam kerangka demikian, berpotensi

untuk menggoyahkan kemajemukan, pluralitas agama dan budaya yang sudah
4


Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia . . . 98.
5 Ibid.
6 Goenawan Muhammad, Menggali Pancasila Kembali , Naskah pidato peluncuran
politikana.com di Gedung Teater Komunitas Salihara, Jakarta, Senin 27 April 2009.

terpatri di bumi Indonesia. Bagaimana Pancasila dapat menjadi jaminan agar
prinsip egoisme agama bisa ditanggalkan dengan semangat semua buat
semua .

Dengan menawarkan Pancasila, Soekarno berikhtiar agar bangsa yang

bhineka ini bisa menjadi eka, dan yang eka ini tetap menghargai yang bhineka.7
Menawarkan satu prinsip yang berdiri di atas kemajemukan, sudah pasti akan
mengundang banyak spekulasi. Bisa jadi akan ada titik temu yang mendamaikan,
tetapi bukan tak mungkin akan banyak titik tengkar yang akan memudarkan tali
persatuan. Situasi itulah yang juga dihadapi Soekarno saat menyampaikan
pidato tentang Pancasila. Meminjam bahasa Goenawan Muhammad, Pidato
Bung Karno dengan ekspresif mencerminkan ikhtiar itu; nadanya mengharukan:

penuh semangat tapi juga tak bebas dari rasa cemas .8

Pancasila haruslah dipahami dalam kerangka yang utuh. Sila yang satu

harus dimbangi dengan sila lainnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus
diimbangi dengan Persatuan Indonesia dan begitu seterusnya. Memutlakan satu
sila di atas yang lain, akan berpotensi menghasilkan hegemoni dan dominasi
satu kelompok atas kelompok lainnya. Dengan kata lain, Pancasila yang
meniadakan egoisme agama itu harus dipahami secara utuh dari sila-sila yang
menjadi fondasinya. Merawat kemajemukan hanya mungkin bisa dilakukan jika
Pancasila ditafsirkan dalam kerangka demikian.
Disinilah kita bisa memahami apa yang oleh Gus Dur disebut sebagai esensi
dari Pancasila yang akan terus dipertahankan. Sebagai negara dengan tingkat
kemajemukan yang tinggi, maka disintegrasi adalah masalah yang selalu akan
timbul di Indonesia. Bahkan, sila-sila dalam Pancasila itu sendiri sesungguhnya
bisa menjadi peta masalah di negara yang majemuk seperti Indonesia. Sila
pertama menyiratkan bahwa persoalan hubungan agama dan negara akan selalu

7
8


Ibid.
Ibid., 7.

berkait dan berkelindan. Dasar negara Pancasila yang bukan teokrasi dan bukan
sekuler menyisakan ruang perdebatan tentang identitas bangsa ini. Sila kedua
(kemanusiaan yang adil dan beradab), merupakan peringatan bahwa akan selalu
ada masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak asasi manusia. Masalah
disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang akan dihadapi seperti disiratkan
dalam sila ketiga. Konsolidasi demokrasi yang masih terus berjalan selalu akan
menyisakan residu. Residu demokrasi itu yang akan terus berjalan mengiringi
proses demokratisasi yang sedang berjalan. Sila keempat mengindikasikan
hadirnya masalah tersebut. Sementara sila terakhir, menyiratkan persoalan
pokok dalam bidang ekonomi, yakni munculnya kecemburuan, terutama dalam
relasi pusat dan daerah.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pandang kita terhadap Pancasila
agar ia tetap berfungsi untuk menjadi kekuatan integratif yang menjaga
kemajemukan tersebut?
Penulis menyebut bahwa Pancasila itu sebagai


milestone

bangsa

Indonesia.9 Titik tonggak yang mengawali komitmen akan menjaga keutuhan
bangsa dengan segala kekayaan perbedaan yang terkandung di dalamnya. Titik
inilah yang merupakan

kisah bersama

saat mereka yang berbeda itu

menyepakati satu janji untuk hidup dalam teritori yang disepakati. Kisah ini
yang menjadi rujukan jika pada suatu waktu ada kelompok tertentu yang
hendak keluar dari milestone atau kisah bersama itu. Pancasila menjadi
semacam personal experience, pengalaman intim antar komponen bangsa untuk
tetap menghargai kebhinekaan. Menjaga agar Pancasila tetap semua buat semua.
Dalam kerangka Pancasila, maka kehidupan bangsa Indonesia yang
memiliki keragaman identitas agama dan budaya haruslah tetap dijaga. Dengan
bingkai Pancasila pula, maka tidak ada warna dominan dalam kehidupan bangsa


9

Donny Danardono menyebut Pancasila sebagai Diskursus.

Indonesia. Indonesia tidak menjadi negara Kristen atau negara Islam. Indonesia
juga tidak menjadi negara Jawa, Batak, Sunda, dan lainnya.
Salah satu kekhawatiran Soekarno yang implisit muncul dalam pidato 1
Juni adalah disintegrasi bangsa yang diakibatkan oleh, salah satunya, masalah
agama. Bagaimana jika terjadi satu kelompok yang memperjuangkan golongan
agama tertentu memenangkan pertarungan di parlemen? Bukankah ini buah
dari sebuah proses yang demokratis dengan memenangkan suara terbanyak?
Bagaimana menjawab persoalan ini dalam kerangka Pancasila?
Franklin I. Gamwell menawarkan tentang apa yang disebut sebagai
democratic constitution atau konstitusi demokratis. Ia mencoba menghubungkan
antara ide kebebasan beragama dengan perdebatan di ranah politik.
Menurutnya, kebebasan beragama sebagai sebuah prinsip politik tidak memiliki
makna koheren kecuali sebuah asosiasi politik dapat dibentuk melalui sebuah
diskusi dan debat terbuka, termasuk melibatkan mereka yang berbeda
keyakinan.10

Berbeda dengan pandangan kelompok privatist seperti John Rawls,
Gamwell justru membuka ruang bagi pelbagai keyakinan keagamaan untuk bisa
bertarung di ruang publik, dengan syarat ada debat dan diskusi yang terbuka.11
Keyakinan keagamaan harus direpresentasikan dalam ekspresi politik, yang
dengan begitu maka sejatinya tidak ada larangan bagi keyakinan keagamaan
tertentu untuk ditransformasikan atau bahkan diadopsi menjadi kebijaksanaan
suatu negara. Namun, seperti disinggung dimuka, perlu ada debat yang bebas
dan terbuka untuk menguji keyakinan keagamaan tersebut. Tujuannya adalah
untuk melihat validitas keyakinan keagamaan yang dipegangi oleh kelompok
masyarakat tertentu.
10

Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The
Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 34-35.
11 Tentang pandangan John Rawl yang disebut privatist oleh Gamwell, lihat dalam Ibid.,
47-75.

Kebutuhan dalam diskusi dan debat terbuka ini adalah hadirnya akal

sehat serta pengalaman kemanusiaan . Keduanya akan sangat menentukan

apakah keyakinan keagamaan yang diajukan untuk menjadi kebijakan negara itu
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian atau tidak. Tetapi sebelumnya,
perlu diskusi yang bebas ini hanya mungkin bisa dilakukan ketika agama
sebagai sesuatu yang non-rational

dirubah

agama sebagai sesuatu yang

rational . Atau dengan kata lain, Gamwell ingin mengatakan bahwa melihat
agama sebagai sesuatu yang rasional sebagai prasyarat untuk masuk ke dalam
diskusi terbuka adalah bentuk lain dari the public view of religious freedom.12

Pemecahan terhadap masalah kebebasan dan keragaman beragama secara
demokratis menghendaki suatu konstitusi yang demokratis pula. Konstitusi
demokratis adalah rumusan yang mampu menyelesaikan masalah agama
maupun politik. Ia mampu memastikan bahwa (i) konstitusi yang demokratis
harus konsisten dengan keyakinan keagamaan yang beragam dan (ii) konstitusi
demokratis harus mendapatkan afirmasi oleh para pengikut dari berbagai
keyakinan keagamaan. Dua kerangka itu menjadi prasyarat terlaksananya debat
itu bisa berjalan dengan baik atau tidak. Jika dua hal tersebut tidak terakomodir
dalam konstitusi, maka jaminan kebebasan beragama tidak ada dalam
konstitusi.
Gamwell mengatakan bahwa agama merupakan formasi budaya dimana
pertanyaan komprehensif diajukan dan dijawab. Ini yang membedakannya
dengan politik. Jika politik dibatasi oleh pertanyaan-pertanyaan parsial, maka
agama menjawab semua persoalan. Karena konstitusi bersifat manusiawi, maka
ia tentu tidak dimaksudkan untuk menjawab semua persoalan kehidupan
manusia. Konstitusi adalah pernyataan tentang apa yang harus dilakukan oleh
negara dan aparatusnya. Konsekuensinya, konstitusi ini tidak boleh menunjukan

12

Ibid., 153.

keberpihakan pada salah satu kelompok agama tertentu. Konstitusi harus netral
dari klaim keagamaan.
Produk atau aturan negara bisa saja tidak diterima oleh kelompok
keagamaan tertentu. Setelah melewati sebuah prosedur formal misalnya,
ketentuan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan sebuah kelompok keyakinan
keagamaan. Disinilah terjadi tarik menarik antara keadilan yang bersifat
prosedural dengan keadilan substansial.
Dalam wacana demokrasi, keadilan prosedural memang mendapatkan
tempat yang penting. Perumusan sebuah aturan sangat berkaitan dengan
bagaiman prosedur konstitusional itu telah ditempuh. Meski begitu, bukan
berarti keadilan seperti ini mengenyampingkan keadilan substansial. Ada akal
sehat dan pengalaman kemanusiaan yang mengendalikan keadilan prosedural
itu. Pertimbangan tentang keadilan substansial dan prosedural ini yang bisa
menjadi ukuran dalam menakar segala produk perundangan di sebuah negara.
Kerangka inilah yang bisa digunakan dalam memahami bagaimana
rumusan 5 dasar dalam Pancasila. Pemahaman demikian yang bisa menjawab
kekhawatiran Soekarno ketika berbicara soal kebangsaan, permusyawaratan
dan Ketuhanan. Ada nilai keadilan yang menjadi pertimbangan keterlibatan
semua pihak di area permusyawaratan itu. Katakanlah jika di suatu wilayah di

Indonesia parlemen menghendaki penerapan hukuman potong tangan setelah
mereka memenangkannya dengan suara terbanyak, maka hal itu akan
bertentangan keadilan substansial dan akal sehat.
Pemahaman Pancasila seperti ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar
bagi transformasi religiositas sipil. Mengutip Cobb, prinsip dasar dari
transformasi, adalah dalam komitmennya yang kuat terhadap keberimanannya,
seseorang haruslah terbuka kepada yang lain. Orientasi keberagamaan tidak
hanya sekadar beromantisme pada sejarah kejayaan sebuah agama di masa

silam. Agama harus menjadi living values yang senantiasa berdialektika dengan
realitas, termasuk di dalamnya keyakinan-keyakinan yang berbeda.
Keterbukaan terhadap tradisi lain bukan sekadar membuka diri. Kata Cobb,
umat beragama harus mengakui bahwa ada praktek atau ajaran yang baik dan
penting untuk diderivasi dari tradisi keagamaan yang lain. Itulah yang oleh Cobb
disebut sebagai full openness, keterbukaan penuh. Keterbukaan terhadap
kebenaran secara nyata berisi tentang keterbukaan terhadap kebenaran
partikular yang ada dalam tradisi lain.
Religiositas sipil yang transformatif inilah yang harus dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dengan menjadikan Pancasila sebagai milestone . Prinsip

dasar dari transformasi sangat berharga dalam melakukan transformasi agamaagama dalam kontes keindonesiaan. Dengan transformasi maka Kekristenan
yang dikembangkan bukanlah Kristen Barat. Begitu juga dengan tradisi
keagamaan lainnya. Jadi yang muncul pada nantinya adalah Indonesianized

Christianity , Indonesianized Islam , Indonesianized Buddhism dan lainnya.
Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil:
Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama

Salah satu kehendak luhur Pancasila hadir adalah dalam kerangka menjaga
kemajemukan atau pluralitas. Itulah pengertian Pancasila sebagai milestone
seperti yang penulis singgung dalam sub bab sebelumnya. Pancasila harus bisa
menjadi garansi terjaganya pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu elemen
bangsa Indonesia yang hendak dikawal eksistensinya oleh Pancasila adalah
agama, tepatnya pluralitas agama.
Soekarno, dalam pidato Hari Pancasila mengatakan bahwa bangsa
Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri-sendiri. Kebertuhanan ini
juga

harus

dibarengi

dengan

menanggalkan

egoisme-agama.

Selain

mengimplikasikan adanya keragaman agama yang harus ditoleransi (tiada

egoisme agama), ungkapan Soekarno menyinggung secara langsung tentang
prinsip kebebasan beragama. Bangsa Indonesia dipersilahkan meyakini Tuhan
secara merdeka. Dalam kapasitasnya sebagai individu yang merdeka inilah,
bangsa Indonesia sesungguhnya diberi kesempatan untuk dapat secara terbuka
mengekspresikan

keyakinan

keagamaannya.

Pancasila

secara

tegas

menggariskan hal tersebut.
Kemajemukan agama di Indonesia merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Meski begitu, dalam realitanya kemajemukan selalu memiliki wajah ganda,
menyejukkan sekaligus mengkhawatirkan. Menyejukkan, karena bak bunga di
taman, ia akan terlihat indah karena jenisnya yang bermacam-macam. Itu
kenyataan di satu sisi. Di sisi lain, kemajemukan sangat potensial untuk menjadi
pemicu konflik, jika kenyataan itu tidak dikelola dengan baik.
Sehingga pertanyaannya kemudian, bagaimana membangun dialog
kehidupan dalam masyarakat dengan latar belakang identitas yang beragam?
Itulah persoalan pelik yang kerap menghinggapi dalam masyarakat modern.
Dengan kata lain, problem mengelola kemajemukan sebagai modal sosial itulah
yang seringkali mendapatkan tantangan.
Agama sebagai realitas sosial, didalamnya tak hanya terkandung aspek
ajaran yang bersifat normatif-doktrinal. Tetapi, dalam diri agama terdapat juga
variabel pemeluk, tafsir ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci serta bangunan
ideologi yang dibangun dan dibela mati-matian oleh para pemeluknya.
Semua aktivitas umat beragama yang masuk dalam kategori deviasi, tentu
sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel tersebut, yang satu ikut memperkuat
yang lain dan di saat yang sama muncul juga variabel yang siap mencegahnya,
yakni hakikat ajaran agama yang senantiasa mengajarkan manusia untuk
menebar kasih dan sayang serta misi agama untuk mewujudkan peradaban yang
toleran dan humanis.

Jika tidak dikelola dengan baik, keragaman itu tak jarang berujung pada
sosial catastrophe. Tentu situasi seperti itu yang tidak dikehendaki oleh
semuanya. Maka dari itu, sekali lagi, perlu cara yang bijak dan arif untuk
memantapkan keragaman sebagai panglima untuk mengawal nilai-nilai
demokratisasi, HAM, multikulturalisme dan lainnya.
Agama dengan demikian, harus dipahami tidak sebagai standar,
normatifitas dan sebagai optik kebenaran bagi agama lain. Agama mesti
ditempatkan sebagai proses untuk menuju ultimate reality. Dan karena hidup
berdampingan, maka mau tidak mau pemeluk agama harus bisa menenggang
perbedaan.
Secara sosiologis, keyakinan keagamaan yang dipeluk masyarakat
Indonesia sangatlah banyak.13 Agama-agama dunia seperti Islam, Kristen dan

Katolik ada di Indonesia. Begitu juga keyakinan yang berkembang dari ajaran
nenek moyang mereka.14 Yang menarik adalah munculnya upaya untuk
mendialogkan ajaran agama dengan budaya masyarakat. Ini misalnya bisa
dilihat dalam karya Marx Woodward dalam Islam in Java: Normative Piety and

Mysticism in The Sultanate of Yogyakarta .15 Woodward berusaha untuk

13

Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition
(University of Arizona Press, 1987), 3. Bisa disebutkan di sini beberapa agama suku tersebut
antara lain Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten); agama Sunda
Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain)
di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur;
agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas
Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang dan Alu Todollo di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di
Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan lainnya. Didalam Negara Republik
Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme,
penyembah berhala/batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
14 Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka
Caraka, 1981), Yekti Maunati, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan (Yogyakarta:
LKiS, 2006), Hikmat Budiman (ed), Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia
(Jakarta: The Interseksi Foundation dan TIFA, 2007), Nawari Ismail, Relasi Kuasa dalam
Pengubahan Budaya Komunitas: Negara, Muslim, Wong Sikep (Bandung: Karya Putra Darwati,
2012),
15 Marx Woodward, Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in The Sultanate of
Yogyakarta, terj. (Yogyakarta: LKiS, 1999).

menegaskan bahwa Islam di Jawa juga Islam, buka Hindu atau Hindu-Buddha
seperti yang dituduhkan oleh kelompok muslim puritan dan banyak sejarawanantropolog. Islam Jawa adalah salah satu varian dari Islam. Kelompok Islam
lokal lainnya dipaparkan oleh Erni Budiwanti dalam )slam Sasak: Watu Telu
versus Waktu Lima .16 Erni, dalam karyanya tersebut seperti hendak

memperlihatkan satu model ketegangan antara dua kelompok Islam, adat dan
puritan. Yang terjadi di Lombok, lokasi penelitiannya, adalah menegaskan
bahwa sedang terjadi sebuah konfrontasi antara dua pihak tersebut.
Meski secara sosiologis ada banyak agama yang hidup dan berkembang di
Indonesia, tetapi negara kemudian melakukan politik pembatasan dan politik
pengakuan .17 Kata Adrian Vickers, syarat pengakuan negara ini terdengar

sebagai pengertian yang kontradiktif, karena status agama-agama seharusnya
jelas, tetapi kepercayaan dan ibadah asli berbagai kelompok etnis tidak diakui
menurut konstitusi.18 Kelompok aliran kepercayaan digambarkan sebagai orang
yang belum beragama karena dianggap sebagai praktik masyarakat adat yang
terbelakang.19 Tahun 1952, muncul Peraturan Menteri Agama No. 9/1952/Pasal
yang mengatakan bahwa Aliran kepercayaan ialah suatu faham dogmatis,

terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih
pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja
adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa .20

Pada tahun 1965, muncul Penetapan Presiden (PP) No. 1 (selanjutnya

ditulis PNPS 1965) yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai presiden dan

16

Erni Budiwanti, Islam Sasak: Watu Telu versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000).
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus Agama
Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil (Semarang: Rasail, eLSA dan UKSW, 2009).
18 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, terj. (Yogyakarta: Insan Madani, 2011),
181.
19 Ibid.
20 Dikutip dari Martin Ramstedt, )ntroduction , dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism
in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York:
RoutledgeCurzon, 2004), 9.
17

pemimpin besar revolusi pada tanggal 27 Januari 1965. PP ini berisi tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. PP inilah yang dalam
perkembangannya digunakan sebagai alat untuk membentengi agama-agama
resmi dari

serangan

aliran-aliran sempalan. Status PP ini kemudian

ditingkatkan sebagai UU melalui UU No. 5 tahun 1969 tentang pernyatan
berbagai penetapan Presiden sebagai Undang-undang.

PNPS 1965 hadir dalam situasi munculnya banyak aliran kebatinan. Untuk
mengetahui alasan kemunculan PNPS 1965, maka penjelasan atas aturan
tersebut sangat membantu memahami bagaimana begitu ketatnya pemerintah
membatasi ruang gerak aliran kebatinan.
Secara eksplisit, kekhawatiran itu dijelaskan dalam penjelasan atas PNPS
1965 bagian I point 2. Dituliskan di sana telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir
ini hampir di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau
organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran dan hukum agama .
Dalam

pandangan

pemerintah,

kemunculan

aliran-aliran

tersebut

dipandang telah banyak menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah
persatuan Nasional dan menodai agama. Dan kalimat ini mungkin perlu
diperhatikan, ...dari kenyataan teranglah bahwa aliran-aliran atau organisasiorganisasi

kebathinan/kepercayaan

masyarakat

yang

menyalahgunakan

dan/atau mempergunakan agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini
bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan
agama-agama yang ada. Perhatikan kata-kata agama-agama yang ada dalam
kalimat tersebut.

Dengan munculnya kalimat agama-agama yang ada, fungsi PNPS 1965
semakin menegaskan tentang geliat diskursus agama resmi di )ndonesia.

Tegasnya PNPS 1965 menjadi pertahanan sekaligus perlindungan bagi agamaagama yang ada .

Hal ini semakin jelas ketika kita membaca point 5 penjelasan PNPS 1965
Bagian I (umum). Disitu dijelaskan ...dengan penetapan Presiden ini, tidaklah

sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggugugat hak hidup agama-agama
yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini
diundangkan . Perhatikan pula kata agama-agama yang sudah diakui . Dengan

adanya kalimat tersebut, maka semakin nyatalah tentang eksistensi agama resmi

yang ternyata tak hanya dalam tataran diskursus. Agama-agama tertentu di
Indonesia ada dan juga diakui , untuk menunjukkan bahwa ada agama yang
tidak diakui, ilegal alias tak memiliki dasar konstitusional yang kokoh.

Agama yang diakui, seturut yang muncul dalam PNPS 1965, sesungguhnya
juga masih berada dalam kekaburan makna. Paling tidak, ini bisa dilihat dalam
penjelasan bab I point lima yang menulis bahwa pemerintah tidak akan
mengganggugugat hak hidup agama yang sudah diakui oleh pemerintah sebelum
Penetapan Presiden ini diundangkan.
Kekaburan makna yang penulis maksud berada dalam dua level, yuridis
dan praktis-sosiologis. Dari aspek yuridis, tidak ada regulasi sebelum adanya
PNPS 1965 mengenai dasar hukum yang menunjukkan tentang agama yang
diakui (kecuali UUDS 1950 yang kemudian digugurkan oleh Dekrit Presiden 5
Juli 1959). Sementara dalam ranah praktis, agama yang diakui ini juga tidak jelas
wujudnya. Agama apa saja yang diakui itu (sebelum PNPS 1965).
Terlepas dari kekaburan makna tentang agama yang diakui , ada baiknya

kita menyimak penjelasan dari beberapa pasal dalam PNPS 1965 yang kentara
menegaskan tentang agama resmi ini. Dalam pasal

dikatakan Setiap orang

dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu .

Pasal

menyinggung soal agama yang dianut . Tentang hal ini, dalam

penjelasannya dikatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk

Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha dan Khong Cu (Confusius).
Eksistensi agama-agama tersebut, sesuai dengan penjelasan, karena agamaagama itu bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir
seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mendapat jaminan seperti yang
diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Setelah kalimat itu, penjelasan diteruskan dengan menyebut ...ini tidak

berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasturian, Shinto, Thaoism
dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan
oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan
perundangan lainnya .

Perlakuan berbeda diberikan kepada aliran kebatinan (kepercayaan) yang

dalam kacamata pemerintah dianggap bukan agama. Sehingga bagi mereka,
pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat
dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Analisis terhadap pasal 1 beserta penjelasannya barangkali akan semakin
mempertegas tentang hadirnya kuasa pengetahuan ihwal diskursus agama
resmi ini. Dalam pasal itu muncul kata-kata otoritatif seperti agama yang

dipeluk , agama yang ada dan agama yang diakui . Terhadap kalimat-kalimat

yang otoritatif ini, perlu ada penjelasan lebih lanjut sesuai dengan struktur
kekuasaan pengetahuan yang ada dalam PNPS 1965 tersebut.

Pada dasarnya, semua warga negara yang beragama mendapatkan jaminan.
Tetapi jaminan tersebut, dibelahpilah menjadi jaminan penuh dan jaminan

seadanya . Jaminan penuh dalam pengertian bahwa agama-agama itu selain

dijamin oleh UUD juga mendapat bantuan dan perlindungan hukum dari
serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream. Sementara jaminan
seadanya adalah kosakata untuk menggambarkan model jaminan negara tanpa
adanya pengakuan yang melindunginya.

Dengan penelusuran ini, maka diskursus agama resmi sudah menemukan
bentuknya. Agama resmi dengan demikian mencakup didalamnya Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Cu. Agama-agama ini mendapatkan fasilitas
dari negara untuk mengembangkan institusi agamanya. Sementara yang lain,
keberadaannya tidak diingkari, tetapi tidak dirangkul dalam satu strata
konstitusi yang equal. Kalau diibaratkan, agama yang enam itu adalah anak
kandung negara, sementara di luar itu adalah anak haram negara.
Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar tentang pengakuan enam
agama sebagai agama resmi itu. Atas dasar apakah mereka digolongkan sebagai
agama resmi? Kalau jawaban untuk pertanyaan tersebut kita cari dalam PNPS
1965, maka kita tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan untuk
pertanyaan tersebut. Di sana hanya tergambar dua jawaban yang masih sangat
mengawang-awang. Pertama, agama itu diakui karena ada legitimasi historis
dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir
dipeluk oleh penduduk Indonesia. Pendek kata, pengakuan itu hanya
berdasarkan dua asumsi yang tidak kuat dasarnya. Atau jika hendak dikejar
lebih jauh tentang substansi dari dua alasan itu, bukankah di luar agama resmi
juga telah memenuhi kedua syarat tersebut?

Beralih ke persoalan aliran kepercayaan. Dengan melihat substansi PNPS
1965, posisi aliran kepercayaan menjadi sangat lemah. Eksistensinya sama
sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk keyakinan. Mereka
dianggap sebagai gerakan keagamaan

yang tidak sehat

sehingga harus

disembuhkan oleh negara agar kembali kepada pemahaman
tentang dimensi Ketuhanan Yang Maha Esa.

yang sehat

Pada penjelasan pasal 1 PNPS 1965, ada dua sikap negara yang berbeda
terhadap agama. Pertama, terhadap enam agama, pemerintah memberikan
jaminan dan bantuan. Kedua, terhadap agama di luar enam itu, pemerintah
hanya memberikan jaminan. Sejatinya, pemerintah juga memberikan jaminan
untuk beribadah terhadap penganut aliran kebatinan, meski mereka tidak
mendapatkan fasilitas. Tetapi, yang terjadi adalah aliran tersebut justru
mendapatkan perlakuan berbeda di luar enam agama resmi dan agama yang
dicontohkan dalam penjelasan pasal 1 PNPS 1965.

Catatan berikutnya mengenai PNPS 1965 bisa kita temukan dalam kata
"kegiatan keagamaan seperti yang tertuang pada pasal 1. Dalam penjelasan

disebutkan bahwa kegiatan keagamaan dimaksudkan segala macam kegiatan
yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai agama,
mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran
kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok
ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu
mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya. (Penjelasan Pasal 1).
Penjelasan itu, dengan telanjang memberikan kewenangan kepada
Departemen Agama (Depag) untuk menentukan mana aliran yang layak disebut
agama dan tidak. Atau dengan kata lain, mandat yang diberikan oleh PNPS 1965
kepada Depag adalah bahwa mereka dibebankan untuk mengawasi eksistensi
agama-agama serta menjadi hakim teologis mana agama dan mana yang tidak.
Ajaran seperti apa yang sehat untuk membedakannya dengan yang sakit .
Pelanggaran

terhadap

kebebasan beragama dengan

memunculkan

diskursus agama resmi ini perlu ditelusuri akar masalahnya. (emat penulis
persoalannya adalah karena apa yang dimaksud agama tidaklah terumuskan

dengan baik. Kalau kita mengaitkan tentang klausul agama yang dianut dalam
PNPS 1965 dengan kenyataan yang sekarang kita alami, maka agama yang

dianut itulah yang disebut sebagai agama yang diakui. Alasan yang diajukan

seperti tertuang dalam PNPS adalah karena ada legitimasi historis (ada sejak
dulu) dan sosiologis (dipeluk hampir seluruh penduduk). Pada gilirannya, enam
agama itulah yang sekarang ini menjadi

agama resmi . Penulis hendak

mempertanyakan kembali alasan dibalik penetapan enam agama dengan dua
alasan tersebut. Jikalau yang menjadi alasan adalah fakta historis dan sosiologis,
maka Parmalim, Kaharingan, Aluk Todollo, Sunda Wiwitan, Kejawen juga

dipeluk oleh penduduk Indonesia dan ada sebelum agama-agama yang diakui itu
hadir ke nusantara.
Rita Smith dan Susan Rodgers dalam pengantar buku )ndonesian Religions

in Transition , menguraikan kalau the politics of agama itu memberikan
implikasi pada dua hal. Pertama, munculnya kategori orang yang belum

beragama (people who do not yet have a religion). Kedua, adanya ambiguitas
karena banyak orang yang secara formal dan adminsitratif memeluk salah satu
agama yang diakui

mereka.21

tetapi juga tetap mempraktekan tradisi-tradisi lama

Realitas masyarakat yang plural dari sisi agama itu tentu menyisakan
persoalan jika kemudian negara menetapkan status ada masyarakat yang tak
beragama. Disini prinsip ber-Tuhan secara sendiri-sendiri seperti disinggung

Soekarno, tidaklah terwujud.

Pada akhirnya, negara mengikuti pemikiran Antonio Gramsci, sebagaimana
halnya aparatus pemerintahan menjadi instrumen hegemoni yang bersifat
privat.22 Dalam bagian lain Gramsci mengatakan bahwa negara adalah kompleks
dari aktivitas praktis dan teoritis dimana kelas penguasa tidak hanya menjaga
dan membenarkan dominasinya, tetapi mengolah untuk mendapatkan
persetujuan aktif dari kelompok yang berada di bawah kekuasaannya.23
21

Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers (eds), Indonesian Religions in Transition. . .21
Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks (New York: International
Publishers, 1971), 261.
23 Ibid., 244
22

Jika dilihat dari sisi konstitusi, Indonesia bukanlah negara yang didasarkan
atas satu agama tertentu. Bahkan jaminan konstitusional terhadap hak untuk
bebas memeluk agama ini begitu banyak disinggung dalam UUD 1945. Hal
tersebut misalnya bisa dilihat antara lain dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD
1945 hasil amandemen. Pasal itu menyebutkan:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
Selain dalam pasal 28 E muatan mengenai jaminan konstitusional juga
termaktub dalam pasal 28I yakni
1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
2. Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(...)
3. Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Naskah jaminan kebebasan beragama dalam konstitusi juga bisa dilihat
dalam pasal 28J.
(...)
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan

maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Muatan lain yang ada dalam UUD 1945 soal kebebasan beragama dan
menjalan keyakinan keagamaan adalah pasal 29 yakni
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Dilihat secara normatif, pasal-pasal tersebut menjadi legitimasi yuridis
bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama mendapat jaminan. Dalam UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif
bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu
gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan:
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing

dan

untuk

beribadat

menurut

agamanya

dan

kepercayaannya itu.
Dalam pasal

juga ditegaskan bahwa

Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,
terutama pemerintah .

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun
1999 tentang HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3)
Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,
maka pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan
agama atau kepercayaan melalui Undang-undang. Elemen-elemen yang dapat
dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:24
Pertama, Restriction for the Protection of Publik Safety (Pembatasan untuk
Melindungi Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di
publik dapat dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan,
prosesi keagamaan dan upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan
individu-individu (hidup, integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
Kedua, Restriction for the Protection of Publik Order (Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan
agama dengan maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan
mendaftar badan hukum organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin
untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan
umum. Pembatasan kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
Ketiga, Restriction for the Protection of Publik Health (Pembatasan untuk
Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan
kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah
melakukan intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya.
Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan
petani bekerja secara harian untuk menjadi anggota askes guna mencegah
penularan penyakit TBC. Bagaimana pemerintah harus bersikap seandainya ada
ajaran agama tertentu yang melarang diadakan transfusi darah atau melarang
Lihat Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era
Reformasi , Makalah disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas (AM Penegakan HAM dalam 10
Tahun Reformasi, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 – 11 Juli 2008, 8-10. http://www.icrponline.org/wmprint.php?ArtID=240, diakses pada 2 Juli 2008
24

penggunaan helm pelindung kepala. Contoh yang agak ekstrim adalah praktik
mutilasi terhadap kelamin perempuan dalam adat-istiadat tertentu di Afrika.
Keempat, Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk
Melindungi Moral Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan
agama atau kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan
kontroversi. Konsep moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan,
filsafat, dan sosial. Oleh karena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsipprinsip moral tidak dapat diambil hanya dari tradisi atau agama saja.
Pembatasan dapat dilakukan oleh Undang-undang untuk tidak disembelih guna
kelengkapan ritual aliran agama tertentu.
Kelima, Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and
Freedom of Others. (Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan
Kebebasan Orang Lain)
1.1 Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di
dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas
misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk
tidak dikonversikan.
1.2 Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang
lain, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari
kekerasan, pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan,
persamaan, melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum
minoritas.

Merujuk pada dasar-dasar di atas, dalam perspektif HAM hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan ini dapat disarikan ke dalam delapan komponen,
yaitu:25
1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, secara individu
atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi, untuk
memanifestasikan agama atau kepercayaannya di dalam pengajaran,
pengalamannya dan peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorang pun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi
suatu agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di
dalam wilayah kekuasaan tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli
atau pendatang, asal-usul.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua, dan wali yang sah (jika ada) untuk menjamin
bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan
keyakinannya sendiri.
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek yang vital dari kebebasan
beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan untuk
berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu,
komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau
25

Ibid,, 10-11.

berkeyakinan, termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam
pengaturan organisasinya.
7. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk
memanifestasikan keagamaan atau keyakinan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh undang-undang dan kepentingan melindungi keselamatan
dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak
dasar orang lain.
8. Non-Derogatebility. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkeyakinan dalam keadaan apa pun.
Perlindungan secara legal itu sejatinya tengah mengandaikan peran negara
agar ia senantiasa menjadi payung untuk melindungi hak beragama warganya.
Hal itu dimungkinkan karena hak beragama tidak hanya merupakan hak asasi
manusia tetapi juga hak setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan
hukum.
Secara teoritis, kebebasan beragama memiliki dua pengertian, religious
freedom dan religious liberty. Keduanya biasa digunakan secara bergantian
dengan makna yang tidak berubah. Bedanya, barangkali ada pada konteksnya.
Jika religious freedom merupakan konsep yang luas, sementara religious liberty
digunakan dalam konteks yang spesifik dalam wilayah hak hukum dan politik.26
Karena tidak memiliki signifikansi yang pada akhirnya akan merubah maksud
pengertian, penulis dalam karya ini akan menggunakan dua frase (religious
freedom dan liberty) tersebut dalam satu makna dan secara bergantian
digunakan.
Paul G. Kauper melihat bahwa religious liberty secara umum dipahami
sebagai salah satu aspek paling fundamental dari kebebasan sipil.27 Bagi
26

Ninan Koshy, Religious Freedom in a Changing World (Geneva: WCC Publications,

1992), 23.
Paul G. Kauper, Legal Aspect of Religious Liberty dalam George W. Forell et.al.,
Religious Liberty (New York: Board of Sosial Ministry Lutheran Church in America, 1968), 4.
27

Kekristenan, semua aspek dari kebebasan sipil berakar dalam sebuah fakta
bahwa manusia diciptakan Tuhan untuk mengabdi kepadaNya. Dalam dunia
modern, fondasi keberagaman ini tidak hanya berlaku bagi pemeluk agamaagama dunia tetapi juga dimaksudkan untuk menjaga kebebasan beragama bagi
penganut pseudo agama seperti halnya Marxisme, Biologisme, Rasisme dan
Statisme.28

Ninan Koshy, dengan mengutip pendapat Carillo de Albornoz membagi
kebebasan beragama ke dalam empat aspek.29 Pertama, kebebasan nurani
(liberty

of

conscience).

Kedua,

kebebasan

mengekspresikan

keyakinan

keagamaan (liberty of religious expression). Ketiga, kebebasan melakukan
perkumpulan keagamaan (liberty of religious association). Keempat kebebasan
menginstitusikan keagamaan (liberty of religious institutionalization).30
Aspek pertama dari keempat wilayah tersebut memiliki sifat yang absolut
atau pure religious liberty. Dan ia merupakan bagian dari internal aspect of
religious freedom. Dalam aplikasinya, yang disebut sebagai freedom of conscience
juga sering dimaknai sebagai freedom of religion. Karena kebebasan nurani
adalah aspek internal maka tiga aspek yang lain adalah aspek eksternalnya. Atau
kebebasan nurani adalah sword of the spirit tiga yang lain adalah sword of steel.31
Tentang kebebasan nurani, Michael Novak mengatakan:
This liberty of conscience transcends any and all political orders.
Human freedom rooted in God declares that all states and all
political orders are under God, limited not omnipotent. States can

28

Ibid., 5.
Ninan Koshy, Religious Freedom. . .
30 Empat aspek inilah yang dengan konsisten akan penulis gunakan sebagai parameter
untuk mengukur apakah ada jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan di
Indonesia. Tidak hanya dalam konstitusi dan regulasi, tetapi apakah hal itu juga terwujud dalam
kehidupan nyata masyarakat.
31 Ninan Koshy, Religious Freedom. . .
29

crush or kill human beings, but they cannot alienate them from
their responsibility to God and conscience.32
Sementara Franklin ). Gamwell dalam The Meaning of Religious Freedom

memaparkan bahwa kebebasan nurani inilah yang hanya bisa dipahami secara
jernih jika agama ditempatkan dalam kategori narrowly defined. Menurut
Gamwell,
Religion is the primary form of culture in terms of which the
comprehensive question is explicitly asked and answered and
further, so answered that human authenticity is derived from the
character of reality as such. In saying this I mean that the
distinction between authentic and inauthentic human activity is
identified by the relation of human activity to reality as such or
ultimate reality. Whether that ultimate reality is understood as
Yahweh, Allah, emptiness , or in some other way, it is understood
to be the ground of human authenticity. The point may also be
expressed by saying that religion, narrowly understood, so
addresses the comprehensive question that ultimate reality is said
to authorize human authenticity.33
Dengan mengacu pada pengertian di atas, maka Gamwell menyinggung
mengenai soal autentisitas atau keaslian manusia. Bahwa ia hanyalah bisa
diidentifikasi terkait dengan relasinya terhadap aktifitas manusia untuk
meyakini eksistensi ultimate meaning of life. Meski realitas tertinggi itu bisa
berbentuk ketiadaan .34

Kembali pada keterkaitan antara internal dan eksternal aspek dalam

kebebasan beragama. Inner Freedom dengan demikian memiliki status yang
sama dengan dimensi eksternalnya. Wilayah eksternal adalah manifestasi dari
dimensi internal keberagamaan yang akan bersinggungan dengan wilayah
publik. Dalam konteks ini, aspek eksternal di dalamnya mengandung bentuk
Michael Novak, Religion and Liberty: From Vision to Politics Christian Century, July
6-13, 1988.
33 Franklin I. Gamwell, The Meaning of Religious Freedom: Modern Politics and The
Democratic Resolution (State University of New York Press, 1995), 30.
34 Ibid.
32

ketaatan

untuk

keagamaan

melaksanakan