Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB I

1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Wacana agama sipil (civil religion) sempat mengemuka dan menjadi tema
debat teoritis di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Aktor utamanya adalah
Robert Nheely Bellah, Profesor Sosiologi di Universitas California Berkeley,
Amerika Serikat. Dalam tulisan yang berjudul Civil Religion in America ,1 Bellah
memberikan gambaran mengenai dasar bersama warga Amerika yang sangat
bermanfaat dalam membangun tata kehidupan bersama.
Gagasan Bellah memunculkan polemik. Ada yang mendukung, tak sedikit
pula yang menentang. Kalangan gereja, mempertanyakan gagasan agama sipil
(civil religion) yang diintrodusir oleh Bellah. Namun, para akademisi dan
pemerhati masalah sosial keagamaan, mengapresiasi tawaran Bellah. Tak lama
setelah itu, agama sipil menjadi tema besar yang menjadi lahan perdebatan di
ruang kajian sosiologi agama.2
Watak dasar yang melandasi gagasan ini salah satunya berhubungan
dengan diskursus integrasi sosial. Agama dipahami dalam kerangka bahwa
setiap kelompok masyarakat selalu memiliki kualitas keagamaan. Bukan agama

yang berfungsi menghasilkan integrasi sosial, tetapi justru dalam setiap

1 Tulisan tersebut awalnya oleh Bellah ditulis sebagai bahan untuk dipresentasikan pada
konferensi Daedalus mengenai Agama Amerika pada 1966. Tulisan itu kemudian dmuat di Jurnal
Daedalus, 1-21. Lihat dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a PostTraditional World (University of California Press, 1997), 168-189.
2 Lester Kurtz, Gods in the Global Village: The World’s Religions in Sociological Perspective
(Pine Forge Press, 1995), 186-191. Ronald L. Johnstone, Religion in Society: A Sociology of
Religion (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 153-156. Arthur E. Farnsley et.al., Sacred Circles,
Public Squares: The Multicentering of American Religion, (Indiana University Press, 2003), 46-75.
Michele Dillon (ed), Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003),
348-358.

2

masyarakat ada kadar religiositas. Harus dimengerti pula bahwa pengertian
agama menurut Emile Durkheim sangat besar berpengaruh dalam wacana
agama sipil ini.3
Bellah sesungguhnya bukanlah orang pertama yang secara eksplisit
menulis gagasan agama sipil. Sejauh yang penulis dapatkan dan pahami dari
beberapa literatur, Jean-Jacques Rosseau-lah yang kali pertama mengenalkan

konsep mengenai civil religion. Dalam salah satu karyanya, On Social Contract,
Buku IV, Rosseau menyinggung tentang apa yang ia maksud sebagai agama sipil,
dengan penjabaran yang masih sangat sederhana.4
Bellah menjadikan Rousseau sebagai salah satu rujukannya dalam
mengupas ide agama sipil. Bellah mengatakan, di Amerika ada sebuah agama
sipil yang tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan gereja,
namun juga secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan.
Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai national
self-worship, tetapi sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika pada prinsipprinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu harus dinilai.
Konsepsi agama sipil ini berkaitan dengan sistem yang mengikat, tapi
melampaui dogmatisme agama-agama. Latar belakang sebuah negara yang
plural, baik dari sisi agama maupun budaya, sudah barang pasti tidak mungkin
membangun negara di atas satu sistem keyakinan tertentu.
Agama, dalam diskursus agama sipil digambarkan dalam karakter
sosiologisnya. Agama yang dimaksud tentu saja ia yang bersifat historis dan
subjektif. Meski ia berwatak historis, tetapi pemaknaan terhadap agama sipil
selalu mengandung elemen yang bersifat suprahistoris atau melampau realitas
3

Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995).

Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole, (New York: Dover
Publications, 2003), 93.
4

3

yang bersifat fisik. Agama sipil Amerika yang digambarkan Bellah, misalnya,
dilihat sebagai seperangkat ide-ide transenden yang menunjukan sebuah fungsi
integratif dalam masyarakat.5
Dalam bahasan Rousseau, maksud yang tersirat ketika ia berbicara
tentang agama sipil adalah political religion atau agama politik. Rousseau
memang mengaitkan pembahasan agama sipil ini dengan filsafat politik yang
berupaya mencari legitimasi atas hakikat dari good society.6 Filsafat politik
Rousseau seperti yang tertuang dalam social contract itu, menurut Marcela Cristi
membahas dua hal pokok; menyediakan penjelasan rasional terhadap legitimasi
tertib sosial dan untuk mengindikasikan dasar, pembenaran dan pembatasan
kewajiban dan otoritas politik.7 Agama sipil dalam pemikiran Rousseau
karenanya harus dimengerti dalam pemahaman filsafat politik ini. Bagi
Rousseau, kekuatan sebuah negara itu tidak diderivasikan dari kekuasaan tetapi
dari dasar moral yang melegitimasinya.8 Kata Rousseau, no state has ever been

founded without a religious basis.9 Muncul kemudian apa yang disebut sebagai
religio-political problem.10 Masalah itu hadir karena negara harus memiliki
dasar agama baca: moral . Lalu problem berikutnya adalah karena hukum

Kristen (baca: agama) tidak hanya lemah tapi juga menodai konstitusi negara.11
Persoalan itu yang kemudian ingin dipecahkan oleh Rousseau dengan tidak
menjadikan agama tertentu sebagai basis tetapi ada ikatan seperti agama yang
menjadi alat perekat kelompok-kelompok yang berbeda keyakinannya. Apa yang

5 Niels Reeh, American Civil Religion as State-Mythology , dalam Annika Hvithamar,
Margit Warburg and Brian Arly Jacobsen (eds), Holy Nations and Global Identities Civil Religion,
Nationalism, and Globalisation (Leiden-Boston: Brill, 2009), 85.
6 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and
Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), 17.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract., .
10 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion. . .18.
11 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract…


4

dimaksud Bellah dengan agama sipil itu merupakan gambaran tentang kehendak
bersama dari sebuah masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Kehendak bersama tersebut salah satunya temaktub dalam konstitusi, dasar dari
sebuah negara. Pengalaman agama sipil Amerika yang diintrodusir Bellah itulah
yang menjadi pijakan pembahasan karya ini yang kemudian mengaitkannya
dengan konteks keindonesiaan.
Karena agama sipil sangat terkait erat dengan general will, seharusnya
cita-cita luhur yang disepakati bersama itu harus melampaui identitas-identitas
primordial. Apakah konstitusi kita memuat aspek itu atau tidak? Jika semua
elemen masyarakat dari berbagai agama bisa menerima dasar itu, maka
bagaimana mereka beragama dalam payung bersama tersebut?
Momentum yang erat berkaitan dengan pemantapan dasar bersama
bangsa Indonesia adalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Ketika berpidato pada
sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menjabarkan tentang prinsip-prinsip
dasar bernegara. Dalam pidato yang kemudian diperingati sebagai hari
kelahiran Pancasila itu, presiden pertama republik ini menuturkan soal dasar

negara Indonesia. Lima prinsip dasar itu adalah Kebangsaan Indonesia
(nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan.12
Saat berbicara tentang Ketuhanan, Soekarno menuturkan bahwasanya
segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
egoisme-agama .13 Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno

menekankan pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban,
12

Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
(Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 92-102.
13 Ibid., 101.

5

dimana hormat menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan
satu dengan yang lainnya.
Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara
yang berketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah ketuhanan

yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur serta
ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Dengan menggunakan
azas itulah segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaikbaiknya.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, setidaknya prinsip ketuhanan
tersebut telah menjadi semacam fondasi etika. Dengan menggunakan kata
ketuhanan dan tidak merujuk pada agama tertentu, Soekarno bermaksud untuk
menjadikan Pancasila (terutama Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi
semua warga negara Indonesia tanpa membedakan identitas agamanya.
Ketuhanan menjadi semacam prinsip moral-etis dimana kehidupan bersama
yang

dilandaskan

atas

semangat

kekeluargaan

adalah


merupakan

pengejawantahan dari prinsip pengabdian kepada Tuhan.
Istilah Ketuhanan Yang Maha Esa yang diungkapkan Soekarno, secara
prinsip, bukanlah konsep Ketuhanan yang rumit. Soekarno menyadari bahwa
beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang berbeda-beda adalah
bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah makna terdalam dari
apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ...hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri.”

Meminjam kategorisasinya Bellah di atas, penulis hendak mengaitkan
Pancasila di Indonesia dengan gagasan civil religion. Pancasila merupakan
agama sipil bangsa Indonesia. Kesimpulan itu setidaknya bisa dibaca dalam

6

tulisannya Matti Justus. Schindehütte,14 Susan Selden Purdy,15 atau Karel A.
Steenbrink.16 Sementara meminjam pendekatan Jose Casanova, Benjamin
Fleming Intan17 melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya sebagai


religion.

public

Bellah mengatakan bahwa agama sipil adalah dimensi keagamaan publik
yang terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual. Dimensi
keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya
terhadap pengalaman sejarahnya dalam terang realitas transenden. Makna sila
Ketuhanan dalam Pancasila adalah sebagai penegasan bahwa kehidupan bangsa
Indonesia tidak semata-mata didasarkan humanisme tetapi juga memiliki
kualitas keagamaan atau dibangun di atas prinsip-prinsip moral. Disini,
Pancasila bisa dibedakan dari agama dalam pengertian normatif, tetapi juga bisa
dikatakan memiliki prinsip-prinsip yang ada dalam agama. Salah satunya,
moralitas itu tadi.
Diskursus civil religion yang dikembangkan Bellah bisa cukup menolong
bagaimana Pancasila memiliki makna dalam kehidupan umat beragama.
Pancasila tidak merupakan agama dan tidak menggantikan kedudukan agama.
Pancasila hanya memerankan fungsi-fungsi di level profan, salah satunya
sebagai unit perekat masyarakat atau jembatan untuk integrasi sosial. Meski


14 Matti Justus. Schindeh“tte, Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion
als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila )ndonesiens , Thesis Ph.D,
Hamburg University, 2005.
15 Susan Selden Purdy, Legitimation of power and authority in a pluralistic state :
Pancasila and civil religion in Indonesia , Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).
16 Karel A. Steenbrink, The Pancasila )deology and an )ndonesian Muslim Theology of
Religion dalam Jacques Waardenburg ed , Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical
Survey (New York: Oxford University Press, 1999).
17 Benyamin Fleming Intan,
Public Religion and the Pancasila-based State of
Indonesia: A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1
, Ph.D
Dissertasi, Boston College Department of Theology, 2004).

7

tentu saja harus diuji kembali apakah gagasan agama sipil yang dikembangkan
oleh Bellah memiliki kesesuaian konteks dengan agama sipil di Indonesia.
Tetapi, diskusi tentang Pancasila sebagai agama sipil ini sebenarnya masih

bisa dilanjutkan. Memaknai Pancasila sebagai agama sipil ini memang bisa
diperdebatkan. Salah satu kritik terhadap diskursus itu adalah karena agama
sipil (di Amerika) mengasumsikan untuk dipisahkan secara penuh dari agama
dan negara.
Di Indonesia, agama dan negara tentu saja memainkan peran penting.
Kehadiran Pancasila sebagai etika bersama itu saja tidak lepas dari justifikasi
agama-agama. Dengan begitu, Pancasila penting untuk diteologisasi, yang
menyebabkan gagasan agama sipil tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
keagamaan. Sekali lagi, ini penting untuk dikembangkan agar bisa memberikan
kenyamanan bagi pemeluk agama agar tidak terjadi benturan identitas
primordial (baca: agama) dengan identitas nasional di dalamnya.
Diskusi agama sipil di Indonesia dengan menjadikan Pancasila sebagai
unit analisisnya, karenanya masih bisa dikembangkan. Pancasila merupakan
dasar negara yang telah diteologisasi, dijustifikasi secara keagamaan dan
dijadikan sebagai fundamen kehidupan bangsa yang memeluk beragam agama.
Pancasila merupakan milestone bagi pluralitas bangsa )ndonesia. Pancasila
adalah cerita tentang sebuah bangsa yang bernama Indonesia dengan pluralitas
suku dan agamanya. Mereka yang berbeda itu bersepakat untuk hidup bersama
sebagai sebuah bangsa. Dalam pemahaman seperti inilah transformasi Pancasila
dalam sebuah religiositas sipil akan dikembangkan.
Rumusan Masalah
Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama
sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama

8

dan etnis, juga pastinya memiliki simbol integrasi tersebut. Cita-cita itu sejatinya
termaktub dalam dasar negara konstitusi kita. Dalam diskursus sosiologi agama,
ada yang disebut agama sipil untuk menyebut sebuah dimensi keagamaan
sebuah masyarakat yang terekspresikan dalam konstitusi. Kerangka

civil

religion ini akan menjadi pijakan awal untuk menggali tentang (i) apa yang
dimaksud dengan ide religiositas sipil dan apa yang membedakannya dengan

agama sipil? (ii) bagaimana ekspresi religiositas sipil dijabarkan dalam sebuah
masyarakat yang pluralis dari sudut pandang agama? (iii) sebagai dasar negara,
bagaimana Pancasila dipahami, kaitannya dengan transformasi religiositas sipil
dalam menghadapi kemajemukan identitas primordial bangsa Indonesia?
Tujuan Penulisan
Dengan merujuk pada masalah yang telah dirumuskan, maka penelitian ini
dimaksudkan

untuk

menjawab

beberapa

persoalan

yakni

untuk

menggambarkan apa yang menjadi cita-cita bersama bangsa Indonesia dengan
berbagai macam latar belakang suku dan agamanya seperti yang termaktub
dalam dasar negara konstitusi kita. Dengan menjadikan diskursus agama sipil
sebagai titik keberangkatan awal, karya ini akan membahas isu baru yakni
religiositas sipil. Sehingga penelitian ini hendak mendeskripsikan perbedaan
antara ide agama sipil dan religiositas sipil. Disertasi ini juga bermaksud untuk
mendeskripsikian ekspresi religiositas sipil yang dimanifestasikan dalam sebuah
masyarakat pluralis dari sudut pandang agama . Tujuan dari karya ini juga untuk
bagaimana Pancasila dipahami dalam kaitannya dengan religiositas sipil saat
berhadapan dengan kemajemukan identitas primordial bangsa Indonesia.
Pembatasan Masalah
Pencarian terhadap diskursus agama sipil dalam penelitian ini akan
dibatasi pada aras konstitusi. Dalam konteks ini, konstitusi yang dimaksud
merujuk pada dua dasar yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945

9

sebelum diamandemen. UUD 1945 yang dimaksud di sini adalah menyangkut
apa yang ada baik dalam Pembukaan maupun batang tubuhnya. Sementara
agama sipil sebagai kerangka teoritik yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan gambaran dari yang ditulis oleh Bellah dalam Civil Religion in
America dan The Broken Covenant.

Telaah Pustaka

Gagasan tentang agama sipil yang dihubungkan dengan semangat kolektif
bangsa Indonesia, telah beberapa kali diulas sebagai karya akademik. Penulis
menemukan setidaknya empat tulisan mengenai agama sipil dan gagasan
keindonesiaan yang sudah dieksplorasi.
Matti J. Schindehütte, mahasiswa Hamburg University Jerman menulis
disertasi yang berjudul Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft. Religion

als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens/Civil
religion as a responsibility of the society: Religion as a political factor within the
development of the Pancasila in Indonesia. Menurut Matti, wacana mengenai civil
religion mencari jalan keluar dari dilema kekerasan atas nama agama yang
menggejala. Yang menjadi masalah ialah hubungan yang wajar antara agama dan
masyarakat –sebuah masalah yang serta merta dihadapi baik di dunia barat

maupun di dunia Islam. Disertasi itu hendak mengantar ke dalam wacana itu.
Sebagai contoh telah dipilih Republik Indonesia yang sejak tahun 1945
diasaskan atas Pancasila sebagai semacam civil religion.
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang terbesar jumlah
warganya yang memeluk agama Islam di seluruh dunia, menolak mewajibkan
umat Islam untuk tunduk pada hukum syari'at. Tulisan Matti menjelaskan
bagaimana Pancasila perlu dilihat atas latar belakang prasejarahnya sendiri dan
dengan demikian ia dapat diterima sebagai jawaban masyarakat Indonesia atas
pertanyaan mengenai asal mulanya.

10

Tulisan berikut tentang agama sipil di Indonesia dieksplorasi oleh Elma
Haryani dalam karya yang berjudul Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari
Format Demokratisasi Agama.

18

Tesis pada program Centre for Religion and

Cross Cultural Studies, Universitas Gajah Mada Jogjakarta itu menelaah faktor
yang mendukung gagasan agama sipil di Indonesia. Dalam kesimpulannya, Elma
menuturkan ada beberapa faktor yang mendukung tema agama sipil ini di
Indonesia, yaitu: Pertama, keberadaan ideologi negara Pancasila yang dimulai
dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dimana Tuhan dipahami secara bersama
antar berbagai agama; Kedua, warga negara yang heterogen terdiri dari berbagai
suku, etnis, bahasa dan agama tumbuh berkembang dan berelasi dengan tingkat
toleransi dan empati sosial yang relatif tinggi. Karya serupa ditulis oleh Nafisul
Atho’ dalam

Pancasila sebagai Civil Religion di Indonesia.

19

Karya yang

merupakan tesis pada jurusan Filsafat Islam di Program Pascasarjana IAIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta itu kurang lebih bertutur tentang Pancasila sebagai
agama sipil bangsa Indonesia.
Susan Selden Purdy menulis disertasi yang berjudul Legitimation of power
and authority in a pluralistic state: Pancasila and civil religion in Indonesia.
Disertasi di Columbia University ini ditulis untuk melihat kekuatan legitimasi
dan otoritas dalam masyarakat yang pluralistik seperti halnya Indonesia.20
Menurut Purdy, meskipun klaim fungsional dari agama sipil memiliki
validitas, tentu saja perlu kualifikasi. Walau agama sipil Indonesia yang bekerja
menuju integrasi negara dinyatakan pluralistik, hal itu secara bersamaan
disfungsional, kontribusi perpecahan tinggi, dengan kelompok-kelompok
18

Elma Haryani, Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi
Agama, (Tesis Pascasarjana Ilmu Perbandingan Agama UGM Jogjakarta, 2004).
19 Nafisul Atho’, Pancasila sebagai Civil Religion di )ndonesia , (Tesis Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005).
20 Susan Selden Purdy, Legitimation of power and authority in a pluralistic state :
Pancasila and civil religion in Indonesia , Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).

11

tertentu. Jadilah agama sipil sebagai suatu retorika yang tidak otentik. Lebih
jauh lagi, bukti menunjukkan bahwa munculnya agama sipil sering lebih
menyerupai manuver untuk kontrol sosial oleh elit politik ketimbang gerakan
massa yang mencari instrumen makna dalam hidup mereka. Di Indonesia,
matriks ideologi agama sipil, ritual dan simbol dimobilisasi negara untuk
mewujudkan sasaran nasional, mewujud dalam kenyataan yang paradoks,
dengan gaya konservatif.
Di luar empat karya Pancasila tentang agama sipil, ada juga bahasan
tentang ide Hak Asasi Manusia (HAM) Berdasarkan Ideologi Pancasila21 dan
Konsep Keadilan dalam Pancasila.22 Keduanya berusaha menggali aspek HAM
dan Keadilan Pancasila.
Signifikansi
Merujuk pada karya terdahulu tentang agama sipil di Indonesia, penulis
melihat bahwa kebanyakan tulisan tersebut lebih banyak merujuk pada
Pancasila sebagai manifestasi apa yang disebut sebagai agama sipil. Hemat
penulis, kesimpulan itu memiliki, setidaknya dua kelemahan. Pertama, muatan
sila-sila dalam Pancasila tidak dapat dipisahkan dari pembukaan Undangundang Dasar 1945. Dengan begitu, analisis terhadap Pancasila tanpa
mengaitkannya dengan pembukaan UUD 1945 mengakibatkan hilangnya
signifikansi dalam memahami traktat bersama atau kontrak sosial bangsa
Indonesia. Kedua, UUD 45 (terutama pada pembukaannya), penting untuk
dieksplorasi karena ia tidak hanya sekedar pengantar sebuah Undang-undang.
Pembukaan UUD 1945 merupakan proklamasi diri sebuah bangsa yang baru saja

21

Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila
(Yogyakarta: Kanisius, 1993).
22 Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila (Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007).

12

terbentuk dan sudah barang pasti hakikatnya dalam. Penulis menduga, bahwa
disitulah ada sebentuk dimensi religiositas bangsa Indonesia.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang
disajikan dalam bentuk verbal.23 Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong
mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati.24 Dalam penelitian ini metode
pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran terhadap bahan-bahan
pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang
berkaitan dengan substansi penelitian ini.
Ada dua sumber data dalam penelitian ini, primer dan sekunder. Data
primer meliputi, Pancasila dan UUD 1945. Sementara, sumber sekundernya
adalah dokumen-dokumen seperti P-4, Tap MPR, dan karya yang membahas
tentang Pancasila dan UUD 1945.
Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan peneliti menggunakan metode
library research atau studi kepustakaan yaitu usaha untuk memperoleh data
dengan

cara

mendalami,

mencermati,

menelaah

dan

mengidentifikasi

pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi atau
hasil penelitian lain.25
Kerangka Teori

23

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29.
Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996),
174.
24 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Rosdakarya, 2002), 3.
25 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2003), 45.

13

Sebagai landasan teoritik, penelitian ini mula-mula akan menyandarkan
diri pada diskursus mengenai wacana agama sipil seperti yang dielaborasi oleh
Bellah dalam The Broken Covenant dan Civil Religion in America . Menurut
Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam

seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.26 Dimensi keagamaan itu ada dalam
kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman
sejarahnya dalam terang realitas transenden.27
Sistematika Penulisan
Penulisan karya ini akan dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama
merupakan pendahuluan sebagai pengantar masuk pada kajian pokok. Di
dalamnya akan diuraikan mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori serta Sistematika
Penulisan.
Bab II merupakan landasan teoritik tentang agama sipil dan religiositas
sipil. Pada bagian ini, pembahasan mengenai agama sipil akan dimulai dengan
bahasan ihwal formulasi awal agama sipil yang dikembangkan oleh JJ. Rousseau
dan Durkheim. Setelah itu pembahasan diteruskan dengan menjabarkan
pengalaman agama sipil Amerika dengan bersandar pada karya Robert N. Bellah.
Dua bahasan berikutnya masing-masing; Agama Sipil Pasca Bellah: Shank dan
Coleman serta Agama Sipil Sebagai Kuasi Agama. Di akhir bab, penulis akan
jabarkan tentang pergeseran dari diskursus agama sipil menuju religiositas sipil
dengan menggunakan jembatan transformasi.
Bab III masih merupakan landasan teoritik yang menitikberatkan pada
kajian mengenai agama, negara dan sekularisme. Dalam bab ini akan diawali
Robert N. Bellah, Beyond Belief… 1 1.
Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial
(University of Chicago Press, 1992), 3
26
27

14

dengan bahasan mengenai pengertian agama, kemudian dilanjutkan dengan
memetakan pengertian agama sebagai sebuah fakta sosial seperti yang
dijelaskan oleh Karl Marx, Max Weber dan Emil Durkheim. Bab ini akan
dipungkasi dengan memetakan agama, negara dan sekularisme.
Pembahasan di Bab IV merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi
religius dari Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai
dasar negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.
Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam
bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil
yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan
Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas
keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas
Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea 3.
Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,
bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama
adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai
momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)
dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).
Bab V merupakan pembahasan atau analisis terhadap data yang
terkumpul dalam Bab IV dengan landasan teori yang telah diuraikan
sebelumnya. Setelah menelaah Pancasila sebagai sebentuk agama sipil dan juga
religiositas sipil, bagian ini lebih fokus melihat Pancasila yang dinarasikan oleh
penguasa dari tiga masa, Soekarno di era orde lama (1945-1966), Soeharto pada
masa orde baru (1966-1998) dan KH. Abdurrahman Wahid di era reformasi
(1999-2001).

15

Bab VI merupakan analisis terhadap Pancasila dan Ide Transformasi
Religusitas Sipil. Didalamnya akan dipaparkan mengenai Pancasila sebagai
Milestone

Pluralitas Bangsa )ndonesia, Transformasi Pancasila dalam

Religiositas Sipil: Merawat Pluralisme, Menjamin Kebebasan Beragama,

Transformasi Pancasila dalam Religiositas Sipil: Teori Sekularisasi, Privatisasi
dan Pasar serta Pancasila Sebagai Kekuatan Integratif.
Karya ini akan dipungkasi melalui Bab VII yang berisi penutup. Di
dalamnya akan dibahas mengenai Kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.