Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia

Kejadian anemia menyebar hampir merata diberbagai wilayah di dunia. Berdasarkan wilayah regional, dilaporkan prevalensi anemia pada ibu hamil yang tertinggi adalah Asia Tenggara (75%), kemudian Mediterania Timur (55%), Afrika (50%), serta wilayah Pasifik Barat, Amerika dan Karibia (40%). Meskipun anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama bertahun-tahun, namun kemajuan didalam penurunan prevalensinya masih dinilai sangat rendah. Bahkan dibeberapa negara ditemukan terjadi peningkatan prevalensi anemia pada wanita dewasa. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat, prevalensi anemia termasuk berat jika prevalensinya ≥40%, sedang 20 -39%, ringan 15-19,9% dan normal <5% (USAID Micronutrient Program, 2004).

Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia karena masih di atas angka cut of point prevalensi anemia (>15%). Data Departemen Kesehatan RI Tahun 2008, menunjukan prevalensi anemia pada anak mengalami penurunan, yakni menjadi 17,6% dibandingkan sebelumnya 51,5% (1995) dan 25,0% (2006). Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. BKKBN (2013), melaporkan bahwa di Indonesia, 40% wanita usia subur mengalami anemia. Data Poliklinik Hematologi


(2)

Medik FKUI/RSCM tahun 2012, menemukan bahwa perempuan usia 26-40 tahun mengalami anemia. Yang juga harus dicatat adalah bahwa perempuan cenderung lebih berisiko terkena anemia ketika sedang hamil, menyusui, haid maupun melakukan diet makanan yang mengandung zat besi.

Terdapat beberapa parameter untuk mengukur proses terjadinya pentahapan dari kurang gizi besi ke anemia gizi besi. Untuk mengetahui adanya penurunan atau deplesi cadangan besi tingkat ringan diukur dengan kadar feritin dalam serum darah yang menurun. Pada tahap berikutnya dapat terjadi deplesi besi yang lebih parah sehingga dapat mengganggu pembentukan hemoglobin baru, tetapi kadar hemoglobin masih normal, dimana pada tahap ini diukur dengan menurunnya transferin saturation dan meningkatnya erythrocyte protoporphyrin. Tahap berikutnya terjadi anemia gizi besi yang diukur dengan kadar hemoglobin atau hematokrit yang lebih rendah dari standar normal WHO (Soekirman, 2000). Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Batas Normal Kadar Hemoglobin

Kelompok Umur Hb (gr/dl)

Anak 6-59 bulan 11,0

5-11 tahun 11,5

12-14 tahun 12,0

Dewasa Laki-laki ≥ 15 tahun 13,0

Wanita ≥ 15 tahun 12,0

Wanita hamil 11,0

Sumber: Soekirman, 2000

Batasan hemoglobin untuk menentukan apakah seseorang terkena anemia gizi besi atau tidak sangat dipengaruhi oleh umur. Untuk anak-anak umur 6 bulan-5 tahun,


(3)

dapat dikatakan menderita anemia gizi besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari 11 g/dl, umur 6-14 tahun kurang dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl, dewasa perempuan tidak hamil kurang dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan hamil kurang dari 11 g/dl (Soekirman, 2000).

2.1.1. Penyebab Anemia

Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), anemia gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah, sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe (zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh, zat besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam sel-sel otot.

Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot. Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Dari ketiga sumber tersebut, besi hasil hemolisis merupakan sumber utama. Pada manusia yang normal,


(4)

kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg berasal dari makanan (Soekirman, 2000).

Di dalam tubuh manusia, jumlah zat besi sangat bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada dalam hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh (sekitar 1000 mg) disimpan di dalam hati dengan bentuk ferritin. Pada saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat besi ferritin dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin (Winarno, 2002).

Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Hulu, 2004). Menurut Almatsier (2002), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.

Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor penyebab tidak langsung, yang meliputi komposisi makanan kurang beragam, pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi, pelayanan kesehatan yang rendah, terdapatnya zat penghambat absorbsi, serta


(5)

keadaan sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian, 1992).

Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain. Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.

Seperti yang telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi adalah adanya zat penghambat absorbsi. Menurut Almatsier (2002), terdapat beberapa makanan yang mengandung zat penghambat absorbsi besi diantaranya adalah beberapa jenis sayuran yang mengandung asam oksalat, beberapa jenis serealia dan protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan kopi yang mengandung tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat menghambat absorbsi besi.

2.1.2. Dampak Anemia

Dampak yang ditimbulkan akibat anemia sangat kompleks. Menurut Ros & Horton (1998), Anemia berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak, menurunnya skor IQ, menurunnya kemampuan kognitif, menurunnya kemampuan


(6)

mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.

Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotide yang membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu, sel darah putih yang menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier, 2002).

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik). Dilihat dari dampak fisik, anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena pada penderita anemia gizi besi pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak berjalan sempurna karena otot kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk menyesuaikan dengan berkurangnya jatah oksigen, maka otot membatasi produksi


(7)

energi. Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila bekerja karena cepat kehabisan energi (Soekirman, 2000).

Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh berkurangnya enzim mengandung besi, dimana besi sebagai kofaktor enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energi tersebut (Almatsier, 2002).

Studi mengenai anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta, Tangerang, Jambi dan Kudus, membuktikan bahwa anemia dapat menurunkan produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10 persen dan kapasitas kerjanya 6.5 jam per minggu. Padahal, produktivitas kerja ini sangat penting peranannya dalam menentukan nilai pendapatan per kapita (Ravianto, 2005).

Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar. Menurut Lozzoff dan Youdim dalam Almatsier (2002), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi otak.

Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor syaraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut.


(8)

Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga menurun (Lozzoff & Youdim dalam Almatsier, 2002).

Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi adalah menurunnya status gizi seseorang. Status gizi dapat mempengaruhi kualitas manusia, produktivitas kerja, dan menurunnya pendapatan (Hardinsah & Suhardjo, 1997). Menurut Djojosoebagio dkk. (1996), keadaan ini akan menimbulkan akibat yang lebih luas baik pada aspek fisik, mental, kemampuan berfikir maupun aspek sosial ekonomi dan sumberdaya manusia pada umumnya.

2.1.3. Penanggulangan Anemia

Penanggulangan Anemia yang telah dilakukan meliputi suplementasi besi dan fortifikasi besi pada beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang dilakukan adalah peningkatan konsumsi makanan sumber zat besi. Program pemberian suplemen zat besi telah dilakukan sejak tahun 1974, terhadap wanita hamil. Program ini meliputi seluruh wanita hamil yang tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet suplemen ini sebagian besar berasal dari UNICEF. Selain pada wanita hamil, suplemen besi juga diberikan pada anak dengan usia dibawah lima tahun, yaitu berupa sirup besi (Soekirman, 2000).

Upaya penanggulangan anemia gizi besi dengan fortifikasi zat besi dilakukan terhadap beberapa jenis bahan pangan. Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada fortifikasi vitamin A dan zat iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan memerlukan penyesuaian dengan pangan yang akan difortifikasi. Bahan pangan yang


(9)

akan difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh pabrik tertentu, dikonsumsi oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga setelah difortifikasi terjangkau, rupa dan rasa tidak berubah, serta sesuai dengan sifat kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang telah difortifikasi adalah tepung terigu dan garam (Soekirman, 2000).

Menurut Soekirman (2000), pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional harus melibatkan banyak departemen dalam pemerintahan, antara lain Departemen Kesehatan yang menentukan kadarnya, Departemen Perindustrian yang menangani proses fortifikasi, serta Departemen Perdagangan yang menangani penyalurannya. Keuntungan fortifikasi besi adalah bahwa zat besi dapat mencapai sasaran untuk semua golongan umur.

Menurut Khomsan (2004), terdapat beberapa hal yang dapat mendukung kebijakan fortifikasi. Dari pihak pemerintah, perlu adanya subsidi pada tahap awal penerapan teknologi fortifikasi. Departemen Kesehatan yang juga merupakan lembaga pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran sosial mengenai bahan-bahan yang telah mengalami fortifikasi. Disamping lembaga-lembaga yang ada di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga harus melakukan dukungan yaitu dengan melakukan studi efikasi untuk mengetahui keefektifan dari suatu bahan yang telah difortifikasi.

Selain dengan suplementasi dan fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi yang terpenting adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola makan yang baik dan bergizi seimbang. Dalam memilih makanan sumber zat besi,


(10)

selain memperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, juga memperhatikan daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap dan nilai biologis makanan dipengaruhi oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya makanan lain yang memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta cara pengolahan makanan (Soekirman, 2000).

2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Anemia 2.2.1. Pengetahuan tentang Gizi

Sediaoetama (2008), mengatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan makan. Semakin sering suatu bahan pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan tersebut dimakan, maka semakin besar peluang pangan tersebut tergolong dalam pola konsumsi pangan individu atau masyarakat.

Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam menentukan asupan makanan. Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahu bagaimana menyimpan dan menggunakan pangan. Memperbaiki konsumsi pangan merupakan salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu penghidupan (Sediaoetama, 2008).


(11)

Pengetahuan tentang gizi yang kurang bagus tentunya akan berdampak pada perilaku konsumsi makan, dengan demikian juga akan berakibat terhadap kondisi/status gizi. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap anemia menyebabkan sekitar 4,5 milyar orang diseluruh dunia mengalami kekurangan zat besi. Satu dari 3 orang tersebut mengalami anemia, yang merupakan kondisi parah dari kekurangan zat besi (BKKBN, 2013). Purbadewi dan Ulvie (2007) ada hubungan tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil di Puskesmas Moyudan Sleman Yogyakarta.

2.2.2. Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Briawan et al. (2012), mengatakan bahwa asupan zat gizi merupakan hasil konversi konsumsi pangan yang terdiri dari energi, protein, zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Rata-rata asupan energi dan zat gizi per hari adalah 1008±446 kkal, protein 38,3± 19,8 g, zat besi 10,8±6,3 mg, vitamin C 25± 16 mg dan vitamin A 448±410 RE. Rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi adalah defisit tingkat berat (45,8%), sedangkan TKG protein defisit tingkat sedang (76,6%) dan TKG vitamin A tergolong kategori cukup (89,7%). Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Briawan et al. (2012), pada mahasiswi IPB juga menunjukkan defisiensi asupan zat gizi mikro. Proporsi subjek yang mengalami defisit asupan vitamin dan zat besi cukup tinggi, yaitu untuk vitamin A dan C (40-70%) dan zat besi 85%.


(12)

1. Konsumsi Energi

Arisman, (2004) menyatakan bahwa energi merupakan kebutuhan gizi utama manusia, karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh, maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein dan mineral termasuk diantaranya adalah zat besi sebagai pembentuk sel darah merah akan menurun, yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya kadar hemoglobin darah.

Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping membantu pengaturan metabolisme protein. Kecukupan karbohidrat di dalam diet akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sehingga fungsi protein dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk besi ke dalam sel-sel tidak terganggu (Arisman, 2004). Angka kecukupan gizi (energi, protein, besi) berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi (Energi, Protein, Besi, Vitamin C) Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur

Zat Gizi Energi

(kkal)

Protein (g)

Besi (mg)

Vitamin C (mg)

Laki-Laki 19-29 tahun 2725 62 13 90

30-49 tahun 2625 65 13 90

50-64 tahun 2325 65 13 90

Perempuan 19-29 tahun 2250 56 26 75

30-49 tahun 2150 57 26 75

50-64 tahun 1900 57 12 75


(13)

2. Konsumsi Protein

Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah tingkat konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia. Protein berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh. Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan zat-zat gizi termasuk besi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan protein akan menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier, 2002).

Kekurangan asupan protein dari makanan juga dapat menyebabkan sintesa protein di dalam darah akan terganggu. Dalam darah atau cairan tubuh lain zat besi ditransportasikan oleh protein yang disebut transferrin. Transferrin akan membawa zat besi dalam darah yang akan digunakan pada sintesa hemoglobin. Apabila kadar

transferrin dalam darah menurun maka transportasi zat besi tidak dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya kadar hemoglobin dalam darah juga menurun (Arisman, 2004).

3. Konsumsi Zat Besi

Zat besi merupakan unsur utama dalam pembentuk Hb, yang seharusnya hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia memiliki hubungan yang signifikan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi ketersedian zat besi dalam bahan makan salah satunya yaitu cara pengolahan bahan pangan. Cara


(14)

pengolahan bahan makan dapat mempengaruhi bioavabilitas zat besi dalam bahan makanan, cara pencucian misalnya dapat melarutkan zat besi dalam air. Selain itu proses pemanasan bahan makanan juga dapat mempengaruhi kandungan zat besi didalam bahan makanan (Almatsier, 2002).

Dengan memperhatikan pola makan, diharapkan kebutuhan zat besi pada masing-masing individu dapat terpenuhi sebagaimana yang dibutuhkan. Menurut Kartono dan Soekatri (2004) kebutuhan besi per orang per hari untuk bayi (0-11 bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun adalah 8-10 mg, pria 10-12 tahun adalah 13 mg, pria usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria usia 16-18 tahun adalah 15 mg, pria usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg, wanita usia 10-12 tahun adalah 20 mg, wanita usia 13-49 tahun adalah 26 mg, wanita usia 50-65 tahun keatas adalah 12 mg, untuk wanita hamil ditambah 9-13 mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita menyusui ditambah 6 mg dari kebutuhan normal.

Dalam pola makan dianjurkan mengonsumsi makanan yang mengandung

heme iron yang terdapat pada protein hewani seperti daging, ikan, karena makanan tersebut mempunyai kemampuan menyerap heme iron yang lebih optimal. Selain itu juga dianjurkan untuk mengonsumsi sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan. Makanan yang mengandung vitamin C sangat dibutuhkan untuk membantu absorbsi zat besi. Petugas gizi dapat membantu untuk merencanakan bahan makanan dan upaya memperolehan makanan yang begizi. Petugas gizi perlu memberikan informasi tentang diet yang dibutuhkan sesuai dengan kecukupan gizi dan pola makan sehari-hari (Ramakrishan, 2001).


(15)

Sumber zat besi lainnya adalah makanan yang mengandung non heme, biasanya berasal dari nabati, seperti sayuran hijau. Jumlah zat besi yang dapat diserap dari bahan makanan tumbuh-tumbuhan sebesar 1-5%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siska (1998) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan makan sumber zat besi termasuk sayuran dengan risiko anemia (p=0,000). Protein kedelai pada umumnya dapat menghambat penyerapan zat besi karena adanya kandungan fitat serta karena memiliki bobot molekul yang lebih tinggi. Namun produk fermentasi kedelai seperti tempe dan kecap dapat meningkatkan penyerapan zat besi (Lynch dalam Sumarni, 1998).

4. Konsumsi Vitamin C

Vitamin C sangat berperan dalam meningkatkan absorbsi zat besi. Vitamin C meningkatkan absorbsi zat besi non heme sampai empat kali lipat. Diketahui bahwa vitamin C dengan zat besi membentuk senyawa askorbat besi komplek yang larut sehigga lebih mudah untuk diabsorbsi dalam usus. Karena itu sayuran dan buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat baik dimakan untuk mencegah anemia. Vitamin C merupakan faktor untuk mengkonversi Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga mudah

diserap tubuh. Konsumsi vitamin C dianjurkan untuk anak 6-9 tahun sebesar 45 mg/hari dan untuk anak 10-12 Tahun sebesar 50 mg/hari. Pada masyarakat di negara berkembang yang sedikit memakan daging, vitamin C merupakan satu-satunya pemacu penyerapan zat besi yang penting (Almatsier, 2002).

Efek absorbs vitamin C (asam askorbat) berbanding lurus dengan kadar asam askorbat dalam makanan. Semakin tinggi asam askorbat yang dikonsumsi dalam


(16)

makanan sehari-hari maka semakin tinggi bioavalabilitas zat besi. Sebagai contoh, penambahan 100 mg asam askorbat per 100 gr susu formula produk kedelai dapat meningkatkan absorbs sebanyak 4,14 kali (Naufal dan Mulatsih, 2004). Peningkatan konsumsi Vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat memperbesar penyerapan zat besi sebesar 2,3,4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran merupakan sumber utama vitamin C namun perlu diingat, proses pemasakan akan merusak 50-80% vitamin C dalam makanan (Wirakusumah, 1998).

Menurut Husaini dan Karyadi (1980), kadar Hb darah umumnya berhubungan dengan konsumsi protein, Fe dan vitamin C. Tetapi yang paling berpengaruh adalah Fe sebab Fe merupakan faktor utama pembentuk hemoglobin (Hb). Sedangkan peran vitamin C dan protein adalah membantu penyerapan dan pengangkutan besi di dalam usus.

Anemia gizi di Indonesia disebabkan oleh konsumsi energi, besi dan vitamin C rendah. Pola konsumsi masyarakat pada umumnya merupakan pola menu dengan bioavailabilitas besi yang rendah, karena hanya terdiri dari nasi atau umbi-umbian dengan kacang- kacangan dan sedikit (jarang sekali) daging, ayam atau ikan, serta sedikit makanan yang mengandung vitamin C (Yip dan Mehra, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menunjukkan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) ditambah 100 mg vitamin C dapat meningkatkan kadar Hb lebih tinggi dibandingkan dengan hanya pemberian TTD saja.


(17)

2.2.3. Konsumsi Teh dan Kopi

Hasil studi Briawan et al. (2012), menunjukkan bahwa sebanyak 49,2% responden mempunyai kebiasaan minum teh setiap hari. Dan 81,3% responden yang mempunyai kebiasaan minum teh setiap hari mengalami anemia. Sedangkan 63,5% responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi mengalami anemia. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dan kopi dengan kejadian anemia. Responden yang minum teh setiap hari mempunyai peluang 31,64 kali mengalami anemia dibandingkan dengan responden yang tidak minum teh setiap hari atau tidak minum teh. Responden minum kopi mempunyai peluang 3,478 kali mengalami anemia dibandingkan responden yang tidak minum kopi. Teh dan kopi banyak mengandung tanin sehingga menghambat penyerapan zat besi. Namun belum ada penjelasan secara spesifik tentang banyaknya teh dan kopi yang dapat mengganggu penyerapan zat besi. Tanin pada kopi dapat menurunkan penyerapan zat besi sampai 40% sedangkan tannin pada teh dapat menurunkan penyerapan zat besi 80% (Sumarni, 1998). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Muhilal dan Saidin (1993), penyerapan zat besi tanpa teh sekitar 12%, dengan adanya teh penyerapan zat besi turun sampai 2%.

Almatsier (2002), mengatakan bahwa tanin merupakan polifenol yang terdapat di dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran serta buah, juga dapat menghambat absorbsi besi dengan cara mengikat besi. Bila besi tubuh tidak telalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada waktu makan.


(18)

2.2.4. Kejadian Infeksi

Briawan et al. (2012), dalam studinya menemukan bahwa kejadian anemia pada remaja putri yang menderita infeksi dalam satu bulan terakhir jauh lebih besar dibanding dengan remaja putri yang tidak menderita infeksi. Hasil uji Chi-Square

menunjukkan ada hubungan kejadian infeksi dengan kejadian anemia. Hasil penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tatala et al.

(1998) yang menyatakan ada hubungan infeksi dengan kejadian anemia. Kehilangan besi dapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti tuberkulosis (TBC). Infeksi ini dapat menyebabkan pembentukan Hb darah terlalu lambat. Penyakit diare dan ISPA dapat mengganggu nafsu makan yang akhirnya dapat menurunkan tingkat konsumsi gizi.

2.3. Penyakit Kusta

Penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggota tubuh terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa ditemukan (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di negara berkembang, merupakan penyakit bersifat endemk di seluruh dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah


(19)

ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta (Djuanda, dkk. 2008).

Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun 2006. WHO memiliki target untuk menghilangkan M. leprae di dekade berikutnya, meskipun saat ini masih ada banyak penderita penyakit kusta (Siregar, 2005).

Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosy (Mulyati, dkk. 2008; Dacre, dkk. 2005; Djuanda, dkk. 2008).

Penularan kusta masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum


(20)

dapat banyak mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis diberbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai paralisis dan atrofi otot (Mulyati, dkk. 2008).


(21)

2.4. Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Faktor Manusia

Distribusi penderita kusta berdasarkan faktor manusia dapat dijelaskan sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

a. Etnik atau Suku

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengidentifikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih bnayak pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula kejadiannya di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta di bandingkan etnik Jawa dan Melayu. b. Faktor sosial ekonomi

Faktor ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang.Penderita kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.

c. Distribusi menurut Umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit di ketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak


(22)

menggambarkan resiko spesifik umur. Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.

2.5. Landasan Teori

Menurut Santosh & Sheila (2001), penyebab anemia secara langsung adalah kurang konsumsi zat besi (besi, vitamin C, protein), adanya faktor penghambat (phitat, teh, kopi), adanya penyakit (diare, infeksi saluran pernafasan), dan kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup. Sedangkan penyebab tidak langsung adalah kuantitas dan kualitas makanan tidak cukup, keadaan lingkungan kurang baik (air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang), pelayanan kesehatan kurang serta infeksi parasit. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(23)

Gambar 2.1. Penyebab-Penyebab Anemia

Sumber: UNICEF – WHO Joint Commitee on Health Policy dalam Santosh & Sheila (2001) ANEMIA

Kurang Konsumsi Zat Gizi:

• Zat Besi • Folat

• Vit B Kompleks • Vit C

• Protein Faktor Penghambat: • Phitat • Teh • Kopi Penyakit: • Diare • ISPA Kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup

Kuatitas dan kualitas makanan tidak cukup

Lingkungan: • Air bersih

kurang • Sanitasi

Pelayanan Kesehatan Kurang

Infeksi dan Parasit (cacing, malaria)

Kesadaran nilai

pangan kurang pangan kurang Ketahanan angkutan kurang Kapasitas Kemiskinan

Program kesehatan yang tidak mendukung


(24)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :

Pengetahuan tentang gizi, konsumsi zat gizi, kebiasaan konsumsi teh/kopi, serta adanya penyakit infeksi merupakan faktor yang dapat menyebabkan kejadian anemia.

Pengetahuan

Kejadian Anemia Kecukupan Zat Gizi:

− Tingkat Kecukupan Energi

− Tingkat Kecukupan Protein

− Tingkat Kecukupan Zat Besi

− Tingkat Kecukupan Vitamin C

Konsumsi Teh atau Kopi


(1)

ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta (Djuanda, dkk. 2008).

Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun 2006. WHO memiliki target untuk menghilangkan M. leprae di dekade berikutnya, meskipun saat ini masih ada banyak penderita penyakit kusta (Siregar, 2005).

Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosy (Mulyati, dkk. 2008; Dacre, dkk. 2005; Djuanda, dkk. 2008).

Penularan kusta masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun (Mulyati, dkk. 2008).


(2)

dapat banyak mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis diberbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda (Mulyati, dkk. 2008).

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai paralisis dan atrofi otot (Mulyati, dkk. 2008).


(3)

2.4. Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Faktor Manusia

Distribusi penderita kusta berdasarkan faktor manusia dapat dijelaskan sebagai berikut (Depkes RI, 2008):

a. Etnik atau Suku

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengidentifikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih bnayak pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula kejadiannya di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta di bandingkan etnik Jawa dan Melayu. b. Faktor sosial ekonomi

Faktor ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang.Penderita kusta impor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.

c. Distribusi menurut Umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit di ketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya


(4)

menggambarkan resiko spesifik umur. Namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan. Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.

2.5. Landasan Teori

Menurut Santosh & Sheila (2001), penyebab anemia secara langsung adalah kurang konsumsi zat besi (besi, vitamin C, protein), adanya faktor penghambat (phitat, teh, kopi), adanya penyakit (diare, infeksi saluran pernafasan), dan kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup. Sedangkan penyebab tidak langsung adalah kuantitas dan kualitas makanan tidak cukup, keadaan lingkungan kurang baik (air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang), pelayanan kesehatan kurang serta infeksi parasit. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1.


(5)

Gambar 2.1. Penyebab-Penyebab Anemia

Sumber: UNICEF – WHO Joint Commitee on Health Policy dalam Santosh & Sheila (2001) ANEMIA

Kurang Konsumsi Zat Gizi:

• Zat Besi

• Folat

• Vit B Kompleks

• Vit C

• Protein Faktor Penghambat: • Phitat • Teh • Kopi Penyakit: • Diare • ISPA Kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup

Kuatitas dan kualitas makanan tidak cukup

Lingkungan:

• Air bersih

kurang

• Sanitasi

Pelayanan Kesehatan Kurang

Infeksi dan Parasit (cacing, malaria)

Kesadaran nilai

pangan kurang pangan kurang Ketahanan angkutan kurang Kapasitas Kemiskinan

Program kesehatan yang tidak mendukung


(6)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :

Pengetahuan tentang gizi, konsumsi zat gizi, kebiasaan konsumsi teh/kopi, serta adanya penyakit infeksi merupakan faktor yang dapat menyebabkan kejadian anemia.

Pengetahuan

Kejadian Anemia Kecukupan Zat Gizi:

− Tingkat Kecukupan Energi − Tingkat Kecukupan Protein − Tingkat Kecukupan Zat Besi − Tingkat Kecukupan Vitamin C

Konsumsi Teh atau Kopi