Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ANEMIA PADA EKS PENDERITA KUSTA DI UPT RUMAH SAKIT KUSTA
HUTASALEM KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS
Oleh
ERNI DIAWANI TAMPUBOLON 127032224/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
(2)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ANEMIA PADA EKS PENDERITA KUSTA DI UPT RUMAH SAKIT KUSTA
HUTASALEM KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
ERNI DIAWANI TAMPUBOLON 127032224/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ANEMIA PADA EKS PENDERITA KUSTA DI UPT RUMAH SAKIT KUSTA HUTASALEM KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
Nama Mahasiswa : Erni Diawani Tampubolon Nomor Induk Mahasiswa : 127032224
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat
Menyetujui Komisi Pembimbing
(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Ketua
) (Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 07 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes
2. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si 3. dr. Mhd. Arifin Siregar, M.S
(5)
PERNYATAAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEJADIAN ANEMIA PADA EKS PENDERITA KUSTA DI UPT RUMAH SAKIT KUSTA
HUTASALEM KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juli 2014
Erni Diawani Tampubolon 127032224/IKM
(6)
ABSTRAK
Anemia merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Eks penderita kusta merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, kecukupan zat gizi, kebiasaan mengonsumsi teh atau kopi, dan penyakit infeksi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Populasi adalah seluruh eks penderita kusta sebanyak 112 orang, dan sampel penelitian adalah total populasi. Data pengetahuan, konsumsi teh atau kopi, dan penyakit infeksi diperoleh dengan menggunakan kuesioner, data konsumsi zat gizi dikumpulkan dengan formulir food recall 24 jam, dan data kejadian anemia dengan pemeriksaan kadar Hb melalui Digital Acute Check. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik regresi logistik.
Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa kejadian anemia pada eks penderita kusta sebesar 76,8%. Tingkat kecukupan gizi berada di bawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, terutama zat besi. Eks penderita kusta juga terbiasa minum teh atau kopi pada saat makan utama (50,9%). Eks penderita kusta juga menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir (54,5%). Berdasarkan hasil analisis statistik, tingkat kecukupan protein (p-value 0,001), tingkat kecukupan zat besi (0,001), konsumsi teh atau kopi (p-value 0,019), serta penyakit infeksi (p-value 0,020) merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya anemia, dimana faktor penyakit infeksi (p-value 0,024; Exp (B) 3,643) merupakan faktor risiko yang paling dominan.
Disarankan bagi UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem agar melakukan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan, karena penyerapan zat besi juga dapat disebabkan oleh penyakit infeksi. Penyuluhan juga perlu dilakukan tentang kebiasaan minum teh atau kopi dan pengaruhnya terhadap terjadinya anemia.
(7)
ABSTRACT
Anemia is one of the nutrition problems in Indonesia. The former leprosy patient is one group that is at risk of anemia. The purpose of this study was to find out the influence of knowledge, nutrient sufficiency, the habit of drinking tea or coffee, and infectious diseases on the incidence of anemia in the former leprosy patients at the the Technical Implementation Unit of Hutasalem Leprosy Hospital, Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District.
The population of this descriptive analytical study with cross-sectional design was all of the 112 former leprosy patients and all of them were selected to be the samples for this study. The data about knowledge, the habit of drinking tea or coffee, and infectious diseases were obtained through questionnaire distribution. The data about nutritient consumption were obtained through the filling out of 24-hour Food Recall forms, and the data about the incidence of anemia were obtained through Hb level examination by using Digital Acute heck. The data obtained were analyzed through logistic regression statistical test.
The result of this study showed that the incident of anemia in the former leprosy patients was 76.8%. The level of nutrient sufficiency, especially iron, was under the rate of the recommended dietary allowance. The former leprosy patients (50.9%) had the habit of drinking tea or coffee, and suffered from infectious disease during the last month (54.5%). Sufficient levels of protein (p = 0.001), sufficient levels of iron (p = 0.001), consumption of tea or coffee (p = 0.019), and infectious diseases (p = 0.020) were the factors influencing the incident of anemia. The most dominant risk-factor was infectious disease (p = 0.024; Exp (B) = 3.643).
The management of the Technical Implementation Unit of Hutasalem Leprosy Hospital is suggested to provide the extension on environmental hygiene and sanitation because the absorption of iron can also be caused by infectious disease.
(8)
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan dan putra-Nya,
Yesus Kristus karena berkat, anugerah, penyertaan, dan bimbingan-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian
Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi
dan Kebijakan Gizi Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
(9)
4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ernawati Nasution, S.K.M., M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan
penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan
waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis
selesai.
5. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si dan dr. Mhd. Arifin Siregar, M.S sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan
demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat, Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu
yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.
7. Pimpinan UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian .
8. Teristimewa kepada suamiku Binsar Gultom, S.E., dan putraku Dicky Gabriel Kristoffer Gultom, serta putriku Audry Felicia Ebiwani Gultom yang telah
memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat angkatan
(10)
penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini.
Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Juli 2014 Penulis
Erni Diawani Tampubolon 127032224/IKM
(11)
RIWAYAT HIDUP
Erni Diawani Tampubolon dilahirkan pada tanggal 20 April 1976 di
Ronggurnihuta Kabupaten Samosir. Anak ke-7 (tujuh) dari 7 (tujuh) bersaudara, dari
pasangan ayahanda Muller Tambubolon dan ibunda Timonggur Nadeak. Menikah
pada tanggal 16 Januari 1999 dengan Binsar Gultom, S.E., dan dikaruniai 2 (dua)
anak, yaitu Dicky Gabriel Kristoffer Gultom dan Audry Felicia Ebiwani Gultom.
Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1982-1988 di SD Negeri 173759
Samosir, pendidikan SMP tahun 1988-1991 di SMP Parulian Medan, pendidikan
SMA tahun 1991-1994 di SMA Negeri 10 Medan, pendidikan S1 tahun 1994-1998 di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan, dan tahun 2012
sampai sekarang pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Administrasi dan Kebijakan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
USU.
Tahun 2005 sampai dengan 2010 bekerja sebagai Tenaga Pengajar di
Akademi Keperawatan (AKPER) HKBP Balige. Pada tahun 2010 sampai dengan
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Umum ... 5
1.3.2. Tujuan Khusus ... 5
1.4. Hipotesis ... 6
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1. Anemia ... 7
2.1.1. Penyebab Anemia ... 9
2.1.2. Dampak Anemia ... 11
2.1.3. Penanggulangan Anemia ... 14
2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Anemia ... 16
2.2.1. Pengetahuan tentang Gizi ... 16
2.2.2. Konsumsi Zat Gizi ... 17
2.2.3. Konsumsi teh dan Kopi ... 23
2.2.4. Penyakit Infeksi ... 24
2.3. Penyakit Kusta ... 24
2.4. Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Faktor Manusia ... 27
2.5. Landasan Teori ... 28
2.6.Kerangka Konsep ... 30
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 31
3.1. Jenis Penelitian ... 31
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 31
3.2.2. Waktu Penelitian ... 31
3.3. Populasi dan Sampel ... 32
3.3.1. Populasi ... 32
(13)
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 32
3.4.1. Data Primer ... 32
3.4.2. Data Sekunder ... 33
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 33
3.5.1. Variabel Penelitian ... 33
3.5.2. Definisi Operasional... 33
3.6. Aspek Pengukuran ... 35
3.6.1. Status Anemia ... 35
3.6.2. Pengetahuan ... 35
3.6.3. Konsumsi Zat Gizi ... 35
3.6.4. Konsumsi teh/kopi ... 36
3.6.5. Penyakit Infeksi ... 36
3.7. Etika Penelitian ... 37
3.8. Metode Analisis Data ... 37
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 39
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 39
4.1.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian ... 39
4.1.2. Jumlah Penduduk ... 40
4.1.3. Karakteristik Eks Penderita Kusta ... 40
4.2. Pengetahuan Eks Penderita Kusta ... 42
4.3. Kecukupan Zat Gizi ... 45
4.4. Kebiasaan Konsumsi Teh atau Kopi ... 46
4.5. Penyakit Infeksi ... 47
4.6. Kejadian Anemia ... 47
4.7. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Anemia ... 48
4.8. Pengaruh Tingkat Kecukupan Gizi terhadap Kejadian Anemia .... 49
4.8.1. Pengaruh Tingkat Kecukupan Energi terhadap Kejadian Anemia ... 49
4.8.2. Pengaruh Tingkat Kecukupan Protein terhadap Kejadian Anemia ... 50
4.8.3. Pengaruh Tingkat Kecukupan Zat Besi terhadap Kejadian Anemia ... 51
4.8.4. Pengaruh Tingkat Kecukupan Vitamin C terhadap Kejadian Anemia ... 52
4.9. Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Teh atau Kopi terhadap Kejadian Anemia ... 53
4.10. Pengaruh Penyakit Infeksi terhadap Kejadian Anemia ... 53
(14)
BAB 5. PEMBAHASAN ... 55
5.1. Pengetahuan dan Kejadian Anemia ... 55
5.2. Tingkat Kecukupan Gizi dan Kejadian Anemia ... 57
5.2.1. Tingkat Kecukupan Energi dan Kejadian Anemia ... 58
5.2.2. Tingkat Kecukupan Protein dan Kejadian Anemia ... 59
5.2.3. Tingkat Kecukupan Zat Besi dan Kejadian Anemia ... 60
5.2.4. Tingkat Kecukupan Vitamin C dan Kejadian Anemia ... 63
5.3. Kebiasaan Mengkonsumsi Teh atau Kopi dan Kejadian Anemia .. 64
5.4. Penyakit Infeksi dan Kejadian Anemia ... 65
5.5. Faktor Dominan yang Memengaruhi Kejadian Anemia ... 67
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
6.1. Kesimpulan ... 69
6.2. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Batas Normal Kadar Hemoglobin ... 8
4.1. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Kecacatan di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem... 41
4.2. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Suku di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem ... 42
4.3. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Pendidikan di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem... 42
4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Gizi dan Anemia di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 43
4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jawaban terhadap Setiap Indikator Pertanyaan tentang Pengetahuan Gizi dan Anemia di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 44
4.6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Gizi di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 46
4.7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Teh atau Kopi di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 47
4.8. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyakit Infeksi di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 47
4.9. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Anemia di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 ... 48
(16)
4.10. Pengaruh Pengetahuan terhadap Kejadian Anemia Pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 48
4.11. Pengaruh Tingkat Kecukupan Energi terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 50
4.12. Pengaruh Tingkat Kecukupan Protein terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 51
4.13. Pengaruh Tingkat Kecukupan Zat Besi terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 51
4.14. Pengaruh Tingkat Kecukupan Vitamin C terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir... 52
4.15. Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Teh atau Kopi terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir... 53
4.16. Pengaruh Penyakit Infeksi terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 53
4.17. Hasil Uji Regresi Logistik Berganda terhadap Kejadian Anemia pada Eks Penderita Kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir ... 54
(17)
ABSTRAK
Anemia merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Eks penderita kusta merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, kecukupan zat gizi, kebiasaan mengonsumsi teh atau kopi, dan penyakit infeksi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Populasi adalah seluruh eks penderita kusta sebanyak 112 orang, dan sampel penelitian adalah total populasi. Data pengetahuan, konsumsi teh atau kopi, dan penyakit infeksi diperoleh dengan menggunakan kuesioner, data konsumsi zat gizi dikumpulkan dengan formulir food recall 24 jam, dan data kejadian anemia dengan pemeriksaan kadar Hb melalui Digital Acute Check. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik regresi logistik.
Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa kejadian anemia pada eks penderita kusta sebesar 76,8%. Tingkat kecukupan gizi berada di bawah Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, terutama zat besi. Eks penderita kusta juga terbiasa minum teh atau kopi pada saat makan utama (50,9%). Eks penderita kusta juga menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terakhir (54,5%). Berdasarkan hasil analisis statistik, tingkat kecukupan protein (p-value 0,001), tingkat kecukupan zat besi (0,001), konsumsi teh atau kopi (p-value 0,019), serta penyakit infeksi (p-value 0,020) merupakan faktor yang memengaruhi terjadinya anemia, dimana faktor penyakit infeksi (p-value 0,024; Exp (B) 3,643) merupakan faktor risiko yang paling dominan.
Disarankan bagi UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem agar melakukan penyuluhan tentang hygiene dan sanitasi lingkungan, karena penyerapan zat besi juga dapat disebabkan oleh penyakit infeksi. Penyuluhan juga perlu dilakukan tentang kebiasaan minum teh atau kopi dan pengaruhnya terhadap terjadinya anemia.
(18)
ABSTRACT
Anemia is one of the nutrition problems in Indonesia. The former leprosy patient is one group that is at risk of anemia. The purpose of this study was to find out the influence of knowledge, nutrient sufficiency, the habit of drinking tea or coffee, and infectious diseases on the incidence of anemia in the former leprosy patients at the the Technical Implementation Unit of Hutasalem Leprosy Hospital, Laguboti Subdistrict, Toba Samosir District.
The population of this descriptive analytical study with cross-sectional design was all of the 112 former leprosy patients and all of them were selected to be the samples for this study. The data about knowledge, the habit of drinking tea or coffee, and infectious diseases were obtained through questionnaire distribution. The data about nutritient consumption were obtained through the filling out of 24-hour Food Recall forms, and the data about the incidence of anemia were obtained through Hb level examination by using Digital Acute heck. The data obtained were analyzed through logistic regression statistical test.
The result of this study showed that the incident of anemia in the former leprosy patients was 76.8%. The level of nutrient sufficiency, especially iron, was under the rate of the recommended dietary allowance. The former leprosy patients (50.9%) had the habit of drinking tea or coffee, and suffered from infectious disease during the last month (54.5%). Sufficient levels of protein (p = 0.001), sufficient levels of iron (p = 0.001), consumption of tea or coffee (p = 0.019), and infectious diseases (p = 0.020) were the factors influencing the incident of anemia. The most dominant risk-factor was infectious disease (p = 0.024; Exp (B) = 3.643).
The management of the Technical Implementation Unit of Hutasalem Leprosy Hospital is suggested to provide the extension on environmental hygiene and sanitation because the absorption of iron can also be caused by infectious disease.
(19)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah medik yang sering dijumpai terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab penyakit kronis yang mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.
Secara fungsional anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan
kadar hemoglobin, hematokrit atau hitungan eritrosit. Anemia merupakan istilah yang
menunjukkan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan
hematokrit dibawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara
fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan (Smeltzer, 2002).
Anemia merupakan masalah gizi yang paling lazim dan dialami lebih dari 600
juta orang di dunia. Perkiraan prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51 %.
Bandingkan dengan prevalensi untuk balita yang sekitar 43%, anak usia sekolah 37%,
(20)
Akibat nyata dari anemia gizi terhadap kualitas sumber daya manusia
tergambar pada angka kematian ibu dan bayi, menurunkan prestasi belajar anak
sekolah dan produktifitas pekerja. Dari aspek konsumsi masalah yang belum
terselesaikan adalah rendahnya konsumsi oleh masyarakat kelompok ekonomi rendah
(Aguilar dkk, 2012). Sama dengan pernyataan Arsiman (2004), bahwa pada dasarnya,
anemia dipengaruhi secara langsung oleh konsumsi makanan sehari-hari yang kurang
mengandung zat besi, selain faktor infeksi sebagai pemicunya. Secara umum,
konsumsi makanan berkaitan erat dengan status gizi. Bila makanan yang dikonsumsi
mempunyai nilai gizi yang baik, maka status gizi juga baik, sebaliknya bila makanan
yang dikonsumsi kurang nilai gizinya, maka akan menyebabkan kekurangan gizi dan
dapat menimbulkan anemia.
Yip & Mehra (1995), menyebutkan bahwa pola konsumsi pada umumnya
merupakan pola menu dengan bioavailabilitas zat besi yang rendah, karena hanya
terdiri dari nasi atau umbi-umbian dengan kacang-kacangan dan sedikit (jarang
sekali) daging, ayam atau ikan, serta sedikit makanan yang mengandung vitamin A
dan Vitamin C. Sesuai dengan analisa yang dilakukan oleh Mitrache et al. (2001),
pada penelitiannya, bahwa albumin darah berhubungan dengan terjadinya anemia
pada pasien di rumah sakit. Anemia sebagai komplikasi yang terdapat pada pasien
yang dirawat rumah sakit dapat disebabkan oleh beberapa faktor, dan salah satunya
(21)
Menurut Rea (1999), penderita kusta merupakan salah satu kelompok yang
berisiko mengalami anemia. Salah satu penyebabnya dikarenakan konsumsi
obat-obatan selama mereka menderita penyakit kusta. Obat yang umumnya dikonsumsi
bagi penderita kusta adalah dapson. Hal tersebut senada dengan pernyataan Jacbson
(1989), penyebab anemia bagi penderita kusta adalah disebabkan pemberian dapson,
yang menimbulkan anemia hemolitik. Dapson merupakan preparat sulfon, yang
dipergunakan untuk pertama kalinya untuk pengobatan kusta pada tahun 1941 dan
diberikan secara monoterapi.
Pada tahun 1965 ditemukan kuman kusta yang resisten terhadap dapson,
sehingga WHO merekomendasikan penggunaan obat secara kombinasi untuk semua
kasus kusta pada tahun 1977 dan pada tahun 1982 pengobatan kusta di Indonesia
mengikuti keputusan WHO Expert Committee Meeting (Oktober 1981) di Geneva,
menggunakan MDT (Multi Drug Therapy) terdiri atas rifampisin, clofazimin
(lampren) dan dapson (Jacbson (1989).
Unit pelaksana teknis (UPT) Rumah Sakit Kusta Hutasalem adalah rumah
sakit kusta yang berada di Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir. Para eks
penderita kusta yang tinggal di pemondokan UPT RS Kusta Hutasalem pada
umumnya pekerjaannya bertani dan boleh dikatakan tingkat ekonominya cukup
rendah sehingga sulit untuk memenuhi gizi seimbang. Data yang diperoleh peneliti
(22)
Samosir terdapat 112 orang eks penderita kusta dan kurang lebih 85 orang (76%)
menderita anemia.
Kejadian anemia pada eks penderita kusta di pemondokan UPT RS Kusta
Hutasalem dapat disebabkan kondisi malnutrisi yang seringkali kurang diperhatikan.
Berdasarkan hasil survei awal terlihat bahwa keadaan konsumsi makanan eks
penderita kusta sehari-hari kurang menunjukkan kuantitas yang baik. Sebab keadaan
ekonomi eks penderita kusta yang tinggal di pemondokan UPT RS Kusta Hutasalem
pada umumnya juga rendah, sehingga mereka hanya memilih makanan yang murah
setiap hari. Ikan dan sumber hewani lainnya sangat jarang dimakan, mereka hanya
mengonsumsi nasi dan lauk pauk seadanya. Konsumsi energi lebih banyak didapat
dari sumber makanan pokok.
Jenis makanan yang dimakan eks penderita kusta digolongkan ke dalam bahan
makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, kacang-kacangan, sayuran, dan buah.
Keragaman dari jenis makanan yang dimakan harian masih kurang beragam.
Berdasarkan situasi dan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk
meneliti faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kejadian anemia pada eks
penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti
(23)
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini
adalah faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kejadian anemia pada eks penderita
kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba
Samosir.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, kecukupan zat gizi (tingkat
cukupan energi, protein, zat besi, dan Vitamin C), kebiasaan mengonsumsi teh atau
kopi, dan penyakit infeksi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT
Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir.
2. Untuk mengetahui pengaruh kecukupan zat gizi (tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C) terhadap kejadian anemia pada eks penderita
kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten
(24)
3. Untuk mengetahui pengaruh kebiasaan mengonsumsi teh atau kopi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem
Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
4. Untuk mengetahui pengaruh penyakit infeksi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh faktor pengetahuan, kecukupan zat gizi (tingkat cukupan
energi, protein, zat besi, dan vitamin C), kebiasaan mengonsumsi teh atau kopi, dan
penyakit infeksi terhadap kejadian anemia pada eks penderita kusta di UPT Rumah
Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
1.5. Manfaat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir tentang faktor-faktor yang memengaruhi kejadian
anemia pada eks penderita kusta. Sehingga dapat digunakan untuk merancang
program intervensi Program Pendidikan dan Pemulihan Gizi (P3G) untuk dapat
diadopsi atau diterapkan oleh eks penderita kusta agar dapat keluar dari permasalahan
(25)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anemia
Kejadian anemia menyebar hampir merata diberbagai wilayah di dunia.
Berdasarkan wilayah regional, dilaporkan prevalensi anemia pada ibu hamil yang
tertinggi adalah Asia Tenggara (75%), kemudian Mediterania Timur (55%), Afrika
(50%), serta wilayah Pasifik Barat, Amerika dan Karibia (40%). Meskipun anemia
sudah dikenal sebagai masalah gizi masyarakat selama bertahun-tahun, namun
kemajuan didalam penurunan prevalensinya masih dinilai sangat rendah. Bahkan
dibeberapa negara ditemukan terjadi peningkatan prevalensi anemia pada wanita
dewasa. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat, prevalensi anemia
termasuk berat jika prevalensinya ≥40%, sedang 20 -39%, ringan 15-19,9% dan normal <5% (USAID Micronutrient Program, 2004).
Anemia defisiensi besi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia
karena masih di atas angka cut of point prevalensi anemia (>15%). Data Departemen
Kesehatan RI Tahun 2008, menunjukan prevalensi anemia pada anak mengalami
penurunan, yakni menjadi 17,6% dibandingkan sebelumnya 51,5% (1995) dan 25,0%
(2006). Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan komplikasi berupa gangguan
fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat,
penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. BKKBN (2013), melaporkan bahwa
(26)
Medik FKUI/RSCM tahun 2012, menemukan bahwa perempuan usia 26-40 tahun
mengalami anemia. Yang juga harus dicatat adalah bahwa perempuan cenderung
lebih berisiko terkena anemia ketika sedang hamil, menyusui, haid maupun
melakukan diet makanan yang mengandung zat besi.
Terdapat beberapa parameter untuk mengukur proses terjadinya pentahapan
dari kurang gizi besi ke anemia gizi besi. Untuk mengetahui adanya penurunan atau
deplesi cadangan besi tingkat ringan diukur dengan kadar feritin dalam serum darah
yang menurun. Pada tahap berikutnya dapat terjadi deplesi besi yang lebih parah
sehingga dapat mengganggu pembentukan hemoglobin baru, tetapi kadar hemoglobin
masih normal, dimana pada tahap ini diukur dengan menurunnya transferin
saturation dan meningkatnya erythrocyte protoporphyrin. Tahap berikutnya terjadi
anemia gizi besi yang diukur dengan kadar hemoglobin atau hematokrit yang lebih
rendah dari standar normal WHO (Soekirman, 2000). Kelompok ditentukan menurut
umur dan jenis kelamin seperti terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Batas Normal Kadar Hemoglobin
Kelompok Umur Hb (gr/dl)
Anak 6-59 bulan 11,0
5-11 tahun 11,5
12-14 tahun 12,0
Dewasa Laki-laki ≥ 15 tahun 13,0
Wanita ≥ 15 tahun 12,0
Wanita hamil 11,0
Sumber: Soekirman, 2000
Batasan hemoglobin untuk menentukan apakah seseorang terkena anemia gizi
(27)
dapat dikatakan menderita anemia gizi besi apabila kadar hemoglobinnya kurang dari
11 g/dl, umur 6-14 tahun kurang dari 12 g/dl, dewasa laki-laki kurang dari 13 g/dl,
dewasa perempuan tidak hamil kurang dari 12 g/dl, dan dewasa perempuan hamil
kurang dari 11 g/dl (Soekirman, 2000).
2.1.1. Penyebab Anemia
Menurut Komite Nasional PBB Bidang Pangan dan Pertanian (1992), anemia
gizi besi dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor penyebab langsung dan faktor
penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung meliputi jumlah Fe dalam
makanan tidak cukup, absorbsi Fe rendah, kebutuhan naik serta kehilangan darah,
sehingga keadaan ini menyebabkan jumlah Fe dalam tubuh menurun. Menurunnya Fe
(zat besi) dalam tubuh akan memberikan dampak yang negatif bagi fungsi tubuh. Hal
ini dikarenakan zat besi merupakan salah satu zat gizi penting yang terdapat pada
setiap sel hidup, baik sel tumbuh-tumbuhan, maupun sel hewan. Di dalam tubuh, zat
besi sebagian besar terdapat dalam darah yang merupakan bagian dari protein yang
disebut hemoglobin di dalam sel-sel darah merah, dan disebut mioglobin di dalam
sel-sel otot.
Hemoglobin berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh sel
tubuh, sedangkan mioglobin mengangkut dan menyimpan oksigen untuk sel-sel otot.
Besi yang ada di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu besi yang diperoleh dari
hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), besi yang diambil dari penyimpanan
dalam tubuh, dan besi yang diserap dari saluran pencernaan. Dari ketiga sumber
(28)
kira-kira 20-25 mg besi per hari berasal dari besi hemolisis, dan hanya sekitar 1 mg
berasal dari makanan (Soekirman, 2000).
Di dalam tubuh manusia, jumlah zat besi sangat bervariasi tergantung pada
umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tubuh. Pada orang dewasa sehat, jumlah
zat besi diperkirakan lebih dari 4000 mg dengan sekitar 2500 mg ada dalam
hemoglobin. Sebagian zat besi dalam tubuh (sekitar 1000 mg) disimpan di dalam hati
dengan bentuk ferritin. Pada saat konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup, zat
besi ferritin dikeluarkan untuk memproduksi hemoglobin (Winarno, 2002).
Ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola konsumsi
makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber zat besi yang
sulit diserap, sedangkan daging dan bahan pangan hewani sebagai sumber zat besi
yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh masyarakat pedesaan (Hulu,
2004). Menurut Almatsier (2002), pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan
ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi, besi di dalam serealia dan
kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik yang sedang, dan besi yang
terdapat pada sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat
tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.
Faktor lain yang merupakan penyebab anemia gizi besi adalah faktor
penyebab tidak langsung, yang meliputi komposisi makanan kurang beragam,
pertumbuhan fisik, kehamilan dan menyusui, pendarahan kronis, parasit, infeksi,
(29)
keadaan sosial ekonomi masyarakat rendah (Komite Nasional PBB Bidang Pangan
dan Pertanian, 1992).
Keadaan sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
besar keluarga, pekerjaan, pendapatan, dan lain-lain. Menurut Winarno (1993),
tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pada
tingkat pendapatan yang rendah, sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal
ini disebabkan makanan yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah
dibandingkan dengan makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan
sulit terpenuhi, dan dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Seperti yang telah disebutkan bahwa salah satu penyebab anemia gizi besi
adalah adanya zat penghambat absorbsi. Menurut Almatsier (2002), terdapat beberapa
makanan yang mengandung zat penghambat absorbsi besi diantaranya adalah
beberapa jenis sayuran yang mengandung asam oksalat, beberapa jenis serealia dan
protein kedelai yang mengandung asam fitat, serta teh dan kopi yang mengandung
tanin. Bila besi tubuh tidak terlalu tinggi, sebaiknya tidak minum teh atau kopi pada
waktu makan. Selain itu, kalsium dosis tinggi berupa suplemen juga dapat
menghambat absorbsi besi.
2.1.2. Dampak Anemia
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia sangat kompleks. Menurut Ros &
Horton (1998), Anemia berdampak pada menurunnya kemampuan motorik anak,
(30)
mental anak, menurunnya produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnya
berdampak pada keadaan ekonomi, dan pada wanita hamil akan menyebabkan
buruknya persalinan, berat bayi lahir rendah, bayi lahir premature, serta dampak
negatif lainnya seperti komplikasi kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari
anemia gizi besi adalah gangguan pertumbuhan, gangguan imunitas serta rentan
terhadap pengaruh racun dari logam-logam berat.
Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. Respon kekebalan sel
oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut, yang
kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis
DNA ini disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotide yang
membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu, sel darah putih yang
menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh
kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh yaitu
mieloperoksidase juga akan terganggu fungsinya akibat defisiensi besi (Almatsier,
2002).
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa anemia gizi besi erat kaitannya
dengan penurunan kemampuan motorik (dampak fisik). Dilihat dari dampak fisik,
anemia gizi besi dapat menyebabkan rasa cepat lelah. Rasa cepat lelah terjadi karena
pada penderita anemia gizi besi pengolahan (metabolisme) energi oleh otot tidak
berjalan sempurna karena otot kekurangan oksigen, dimana oksigen yang dibutuhkan
oleh sel-sel otot ini diangkut oleh zat besi dalam darah (hemoglobin). Untuk
(31)
energi. Akibatnya, mereka yang menderita anemia gizi besi akan cepat lelah bila
bekerja karena cepat kehabisan energi (Soekirman, 2000).
Cepatnya rasa lelah yang dialami oleh para pekerja yang menderita anemia
gizi besi akan menurunkan produktivitas kerja. Menurunnya produktivitas kerja,
selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin darah, juga disebabkan oleh
berkurangnya enzim mengandung besi, dimana besi sebagai kofaktor
enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energi tersebut (Almatsier, 2002).
Studi mengenai anemia pada pekerja wanita yang dilakukan di Jakarta,
Tangerang, Jambi dan Kudus, membuktikan bahwa anemia dapat menurunkan
produktivitas kerja. Dilaporkan bahwa anemia menurunkan produktivitas 5-10 persen
dan kapasitas kerjanya 6.5 jam per minggu. Padahal, produktivitas kerja ini sangat
penting peranannya dalam menentukan nilai pendapatan per kapita (Ravianto, 2005).
Selain menurunkan produktivitas kerja yang umumnya terjadi pada penderita
usia dewasa, anemia gizi besi juga mengakibatkan dampak negatif terhadap anak usia
sekolah. Anak usia sekolah yang menderita anemia gizi besi akan mengalami
penurunan kemampuan kognitif, penurunan kemampuan belajar, dan pada akhirnya
akan menurunkan prestasi belajar. Menurut Lozzoff dan Youdim dalam Almatsier
(2002), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara defisiensi besi dengan fungsi
otak.
Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap
fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor
(32)
Daya konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa
sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh juga
menurun (Lozzoff & Youdim dalam Almatsier, 2002).
Dampak lebih lanjut akibat anemia gizi besi adalah menurunnya status gizi
seseorang. Status gizi dapat mempengaruhi kualitas manusia, produktivitas kerja, dan
menurunnya pendapatan (Hardinsah & Suhardjo, 1997). Menurut Djojosoebagio dkk.
(1996), keadaan ini akan menimbulkan akibat yang lebih luas baik pada aspek fisik,
mental, kemampuan berfikir maupun aspek sosial ekonomi dan sumberdaya manusia
pada umumnya.
2.1.3. Penanggulangan Anemia
Penanggulangan Anemia yang telah dilakukan meliputi suplementasi besi dan
fortifikasi besi pada beberapa bahan makanan, serta upaya lain yang dilakukan adalah
peningkatan konsumsi makanan sumber zat besi. Program pemberian suplemen zat
besi telah dilakukan sejak tahun 1974, terhadap wanita hamil. Program ini meliputi
seluruh wanita hamil yang tersebar di beberapa puskesmas dan posyandu. Tablet
suplemen ini sebagian besar berasal dari UNICEF. Selain pada wanita hamil,
suplemen besi juga diberikan pada anak dengan usia dibawah lima tahun, yaitu
berupa sirup besi (Soekirman, 2000).
Upaya penanggulangan anemia gizi besi dengan fortifikasi zat besi dilakukan
terhadap beberapa jenis bahan pangan. Fortifikasi besi lebih sulit dilakukan daripada
fortifikasi vitamin A dan zat iodium, karena sifat kimiawi zat besi yang beragam dan
(33)
akan difortifikasi harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya dihasilkan oleh
pabrik tertentu, dikonsumsi oleh banyak orang termasuk kelompok sasaran, harga
setelah difortifikasi terjangkau, rupa dan rasa tidak berubah, serta sesuai dengan sifat
kimiawi zat fortifikan. Beberapa bahan pangan yang telah difortifikasi adalah tepung
terigu dan garam (Soekirman, 2000).
Menurut Soekirman (2000), pelaksanaan fortifikasi tingkat nasional harus
melibatkan banyak departemen dalam pemerintahan, antara lain Departemen
Kesehatan yang menentukan kadarnya, Departemen Perindustrian yang menangani
proses fortifikasi, serta Departemen Perdagangan yang menangani penyalurannya.
Keuntungan fortifikasi besi adalah bahwa zat besi dapat mencapai sasaran untuk
semua golongan umur.
Menurut Khomsan (2004), terdapat beberapa hal yang dapat mendukung
kebijakan fortifikasi. Dari pihak pemerintah, perlu adanya subsidi pada tahap awal
penerapan teknologi fortifikasi. Departemen Kesehatan yang juga merupakan
lembaga pemerintah harus terus-menerus melakukan pemasaran sosial mengenai
bahan-bahan yang telah mengalami fortifikasi. Disamping lembaga-lembaga yang ada
di dalam negeri, lembaga-lembaga Internasional juga harus melakukan dukungan
yaitu dengan melakukan studi efikasi untuk mengetahui keefektifan dari suatu bahan
yang telah difortifikasi.
Selain dengan suplementasi dan fortifikasi, penanggulangan anemia gizi besi
yang terpenting adalah dengan memperhatikan pola makan, yaitu menerapkan pola
(34)
selain memperhatikan jumlahnya yang terdapat dalam makanan, juga memperhatikan
daya serap dan nilai biologisnya. Daya serap dan nilai biologis makanan dipengaruhi
oleh empat hal, yaitu jumlah kandungan zat besi, bentuk kimia fisik zat besi, adanya
makanan lain yang memacu atau menghambat absorbsi zat besi serta cara pengolahan
makanan (Soekirman, 2000).
2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Anemia 2.2.1. Pengetahuan tentang Gizi
Sediaoetama (2008), mengatakan bahwa pola konsumsi pangan sangat
dipengaruhi oleh adat istiadat setempat, termasuk didalamnya pengetahuan mengenai
pangan, sikap terhadap pangan dan kebiasaan makan. Semakin sering suatu bahan
pangan dikonsumsi dan semakin berat pangan tersebut dimakan, maka semakin besar
peluang pangan tersebut tergolong dalam pola konsumsi pangan individu atau
masyarakat.
Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap perilaku dalam
memilih makanan yang akan berdampak pada asupan gizinya. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan sangat penting peranannya dalam menentukan asupan makanan.
Dengan adanya pengetahuan tentang gizi, masyarakat akan tahu bagaimana
menyimpan dan menggunakan pangan. Memperbaiki konsumsi pangan merupakan
salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu
(35)
Pengetahuan tentang gizi yang kurang bagus tentunya akan berdampak pada
perilaku konsumsi makan, dengan demikian juga akan berakibat terhadap
kondisi/status gizi. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap anemia
menyebabkan sekitar 4,5 milyar orang diseluruh dunia mengalami kekurangan zat
besi. Satu dari 3 orang tersebut mengalami anemia, yang merupakan kondisi parah
dari kekurangan zat besi (BKKBN, 2013). Purbadewi dan Ulvie (2007) ada hubungan
tingkat pengetahuan tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil di
Puskesmas Moyudan Sleman Yogyakarta.
2.2.2. Tingkat Konsumsi Zat Gizi
Briawan et al. (2012), mengatakan bahwa asupan zat gizi merupakan hasil
konversi konsumsi pangan yang terdiri dari energi, protein, zat besi, vitamin A, dan
vitamin C. Rata-rata asupan energi dan zat gizi per hari adalah 1008±446 kkal,
protein 38,3± 19,8 g, zat besi 10,8±6,3 mg, vitamin C 25± 16 mg dan vitamin A
448±410 RE. Rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi adalah defisit tingkat
berat (45,8%), sedangkan TKG protein defisit tingkat sedang (76,6%) dan TKG
vitamin A tergolong kategori cukup (89,7%). Studi sebelumnya yang dilakukan oleh
Briawan et al. (2012), pada mahasiswi IPB juga menunjukkan defisiensi asupan zat
gizi mikro. Proporsi subjek yang mengalami defisit asupan vitamin dan zat besi
(36)
1. Konsumsi Energi
Arisman, (2004) menyatakan bahwa energi merupakan kebutuhan gizi utama
manusia, karena jika kebutuhan energi tidak terpenuhi sesuai yang dibutuhkan tubuh,
maka kebutuhan zat gizi lain juga tidak terpenuhi seperti protein dan mineral
termasuk diantaranya adalah zat besi sebagai pembentuk sel darah merah akan
menurun, yang pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya kadar hemoglobin
darah.
Zat gizi yang dapat menghasilkan energi diperoleh dari karbohidrat, lemak
dan protein. Fungsi utama karbohidrat adalah sebagai sumber energi, disamping
membantu pengaturan metabolisme protein. Kecukupan karbohidrat di dalam diet
akan mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sehingga fungsi protein
dalam proses pengangkutan zat gizi termasuk besi ke dalam sel-sel tidak terganggu
(Arisman, 2004). Angka kecukupan gizi (energi, protein, besi) berdasarkan kelompok
umur dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi (Energi, Protein, Besi, Vitamin C) Berdasarkan Kelompok Umur
Kelompok Umur
Zat Gizi Energi
(kkal)
Protein (g)
Besi (mg)
Vitamin C (mg)
Laki-Laki 19-29 tahun 2725 62 13 90
30-49 tahun 2625 65 13 90
50-64 tahun 2325 65 13 90
Perempuan 19-29 tahun 2250 56 26 75
30-49 tahun 2150 57 26 75
50-64 tahun 1900 57 12 75
(37)
2. Konsumsi Protein
Tingkat konsumsi protein perlu diperhatikan karena semakin rendah tingkat
konsumsi protein maka semakin cenderung untuk menderita anemia. Protein
berfungsi dalam pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh. Hemoglobin, pigmen
darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbon
dioksida adalah ikatan protein. Protein juga berperan dalam proses pengangkutan
zat-zat gizi termasuk besi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke
jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Sehingga apabila kekurangan
protein akan menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi
(Almatsier, 2002).
Kekurangan asupan protein dari makanan juga dapat menyebabkan sintesa
protein di dalam darah akan terganggu. Dalam darah atau cairan tubuh lain zat besi
ditransportasikan oleh protein yang disebut transferrin. Transferrin akan membawa
zat besi dalam darah yang akan digunakan pada sintesa hemoglobin. Apabila kadar
transferrin dalam darah menurun maka transportasi zat besi tidak dapat berjalan
dengan baik dan pada akhirnya kadar hemoglobin dalam darah juga menurun
(Arisman, 2004).
3. Konsumsi Zat Besi
Zat besi merupakan unsur utama dalam pembentuk Hb, yang seharusnya
hubungan antara kebiasaan makan sumber heme dengan kejadian anemia memiliki
hubungan yang signifikan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi ketersedian zat besi
(38)
pengolahan bahan makan dapat mempengaruhi bioavabilitas zat besi dalam bahan
makanan, cara pencucian misalnya dapat melarutkan zat besi dalam air. Selain itu
proses pemanasan bahan makanan juga dapat mempengaruhi kandungan zat besi
didalam bahan makanan (Almatsier, 2002).
Dengan memperhatikan pola makan, diharapkan kebutuhan zat besi pada
masing-masing individu dapat terpenuhi sebagaimana yang dibutuhkan. Menurut
Kartono dan Soekatri (2004) kebutuhan besi per orang per hari untuk bayi (0-11
bulan) adalah 0.5-7 mg, anak usia 1-9 tahun adalah 8-10 mg, pria 10-12 tahun adalah
13 mg, pria usia 13-15 tahun adalah 19 mg, pria usia 16-18 tahun adalah 15 mg, pria
usia 19-65 tahun keatas adalah 13 mg, wanita usia 10-12 tahun adalah 20 mg, wanita
usia 13-49 tahun adalah 26 mg, wanita usia 50-65 tahun keatas adalah 12 mg, untuk
wanita hamil ditambah 9-13 mg dari kebutuhan normal, sedangkan untuk wanita
menyusui ditambah 6 mg dari kebutuhan normal.
Dalam pola makan dianjurkan mengonsumsi makanan yang mengandung
heme iron yang terdapat pada protein hewani seperti daging, ikan, karena makanan
tersebut mempunyai kemampuan menyerap heme iron yang lebih optimal. Selain itu
juga dianjurkan untuk mengonsumsi sayuran berwarna hijau tua dan buah-buahan.
Makanan yang mengandung vitamin C sangat dibutuhkan untuk membantu absorbsi
zat besi. Petugas gizi dapat membantu untuk merencanakan bahan makanan dan
upaya memperolehan makanan yang begizi. Petugas gizi perlu memberikan informasi
tentang diet yang dibutuhkan sesuai dengan kecukupan gizi dan pola makan
(39)
Sumber zat besi lainnya adalah makanan yang mengandung non heme,
biasanya berasal dari nabati, seperti sayuran hijau. Jumlah zat besi yang dapat diserap
dari bahan makanan tumbuh-tumbuhan sebesar 1-5%. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Siska (1998) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
kebiasaan makan sumber zat besi termasuk sayuran dengan risiko anemia (p=0,000).
Protein kedelai pada umumnya dapat menghambat penyerapan zat besi karena adanya
kandungan fitat serta karena memiliki bobot molekul yang lebih tinggi. Namun
produk fermentasi kedelai seperti tempe dan kecap dapat meningkatkan penyerapan
zat besi (Lynch dalam Sumarni, 1998).
4. Konsumsi Vitamin C
Vitamin C sangat berperan dalam meningkatkan absorbsi zat besi. Vitamin C
meningkatkan absorbsi zat besi non heme sampai empat kali lipat. Diketahui bahwa
vitamin C dengan zat besi membentuk senyawa askorbat besi komplek yang larut
sehigga lebih mudah untuk diabsorbsi dalam usus. Karena itu sayuran dan
buah-buahan yang mengandung vitamin C sangat baik dimakan untuk mencegah anemia.
Vitamin C merupakan faktor untuk mengkonversi Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga mudah
diserap tubuh. Konsumsi vitamin C dianjurkan untuk anak 6-9 tahun sebesar 45
mg/hari dan untuk anak 10-12 Tahun sebesar 50 mg/hari. Pada masyarakat di negara
berkembang yang sedikit memakan daging, vitamin C merupakan satu-satunya
pemacu penyerapan zat besi yang penting (Almatsier, 2002).
Efek absorbs vitamin C (asam askorbat) berbanding lurus dengan kadar asam
(40)
makanan sehari-hari maka semakin tinggi bioavalabilitas zat besi. Sebagai contoh,
penambahan 100 mg asam askorbat per 100 gr susu formula produk kedelai dapat
meningkatkan absorbs sebanyak 4,14 kali (Naufal dan Mulatsih, 2004). Peningkatan
konsumsi Vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat memperbesar
penyerapan zat besi sebesar 2,3,4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran
merupakan sumber utama vitamin C namun perlu diingat, proses pemasakan akan
merusak 50-80% vitamin C dalam makanan (Wirakusumah, 1998).
Menurut Husaini dan Karyadi (1980), kadar Hb darah umumnya berhubungan
dengan konsumsi protein, Fe dan vitamin C. Tetapi yang paling berpengaruh adalah
Fe sebab Fe merupakan faktor utama pembentuk hemoglobin (Hb). Sedangkan peran
vitamin C dan protein adalah membantu penyerapan dan pengangkutan besi di dalam
usus.
Anemia gizi di Indonesia disebabkan oleh konsumsi energi, besi dan vitamin
C rendah. Pola konsumsi masyarakat pada umumnya merupakan pola menu dengan
bioavailabilitas besi yang rendah, karena hanya terdiri dari nasi atau umbi-umbian
dengan kacang- kacangan dan sedikit (jarang sekali) daging, ayam atau ikan, serta
sedikit makanan yang mengandung vitamin C (Yip dan Mehra, 1995). Penelitian
yang dilakukan oleh Mulyawati (2003) menunjukkan pemberian Tablet Tambah
Darah (TTD) ditambah 100 mg vitamin C dapat meningkatkan kadar Hb lebih tinggi
(41)
2.2.3. Konsumsi Teh dan Kopi
Hasil studi Briawan et al. (2012), menunjukkan bahwa sebanyak 49,2%
responden mempunyai kebiasaan minum teh setiap hari. Dan 81,3% responden yang
mempunyai kebiasaan minum teh setiap hari mengalami anemia. Sedangkan 63,5%
responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi mengalami anemia. Hasil analisis
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan minum teh dan kopi
dengan kejadian anemia. Responden yang minum teh setiap hari mempunyai peluang
31,64 kali mengalami anemia dibandingkan dengan responden yang tidak minum teh
setiap hari atau tidak minum teh. Responden minum kopi mempunyai peluang 3,478
kali mengalami anemia dibandingkan responden yang tidak minum kopi. Teh dan
kopi banyak mengandung tanin sehingga menghambat penyerapan zat besi. Namun
belum ada penjelasan secara spesifik tentang banyaknya teh dan kopi yang dapat
mengganggu penyerapan zat besi. Tanin pada kopi dapat menurunkan penyerapan zat
besi sampai 40% sedangkan tannin pada teh dapat menurunkan penyerapan zat besi
80% (Sumarni, 1998). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Muhilal dan
Saidin (1993), penyerapan zat besi tanpa teh sekitar 12%, dengan adanya teh
penyerapan zat besi turun sampai 2%.
Almatsier (2002), mengatakan bahwa tanin merupakan polifenol yang
terdapat di dalam teh, kopi dan beberapa jenis sayuran serta buah, juga dapat
menghambat absorbsi besi dengan cara mengikat besi. Bila besi tubuh tidak telalu
(42)
2.2.4. Kejadian Infeksi
Briawan et al. (2012), dalam studinya menemukan bahwa kejadian anemia
pada remaja putri yang menderita infeksi dalam satu bulan terakhir jauh lebih besar
dibanding dengan remaja putri yang tidak menderita infeksi. Hasil uji Chi-Square
menunjukkan ada hubungan kejadian infeksi dengan kejadian anemia. Hasil
penelitian tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tatala et al.
(1998) yang menyatakan ada hubungan infeksi dengan kejadian anemia. Kehilangan
besi dapat disebabkan oleh penyakit kronis seperti tuberkulosis (TBC). Infeksi ini
dapat menyebabkan pembentukan Hb darah terlalu lambat. Penyakit diare dan ISPA
dapat mengganggu nafsu makan yang akhirnya dapat menurunkan tingkat konsumsi
gizi.
2.3. Penyakit Kusta
Penyakit kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat
karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada anggota tubuh terutama bagian kaki.
Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
termasuk bakteri gram negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak
terlalu banyak penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae
masih bisa ditemukan (Mulyati, dkk. 2008).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya
terutama di negara berkembang, merupakan penyakit bersifat endemk di seluruh
(43)
ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit
kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik,
seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta
(Djuanda, dkk. 2008).
Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun
waktu 20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan
ada 220.000 kasus pada tahun 2006. WHO memiliki target untuk menghilangkan M.
leprae di dekade berikutnya, meskipun saat ini masih ada banyak penderita penyakit
kusta (Siregar, 2005).
Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal
bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau
perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta.
Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium
leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosy
(Mulyati, dkk. 2008; Dacre, dkk. 2005; Djuanda, dkk. 2008).
Penularan kusta masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam
droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40
tahun, umumnya 3-5 tahun (Mulyati, dkk. 2008).
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,
(44)
dapat banyak mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan
di atas penyakit kusta dapat menyerang semua umur baik anak-anak maupun dewasa.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39%
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita
dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya
kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35
tahun (Mulyati, dkk. 2008).
Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah,
dari data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat
penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan
akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan
reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis diberbagai suku bangsa.
Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda (Mulyati, dkk. 2008).
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat
terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena
penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini
akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan
sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai paralisis dan atrofi otot (Mulyati, dkk.
(45)
2.4. Distribusi Penderita Kusta Berdasarkan Faktor Manusia
Distribusi penderita kusta berdasarkan faktor manusia dapat dijelaskan
sebagai berikut (Depkes RI, 2008):
a. Etnik atau Suku
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengidentifikasikan
hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih bnayak pada etnik Cina dibandingkan
etnik Melayu atau India. Demikian pula kejadiannya di Indonesia etnik Madura
dan Bugis lebih banyak menderita kusta di bandingkan etnik Jawa dan Melayu.
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada
negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang.Penderita kusta impor pada
negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya
tinggi.
c. Distribusi menurut Umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit di ketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya
penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data
(46)
menggambarkan resiko spesifik umur. Namun yang terbanyak adalah pada umur
muda dan produktif.
d. Distribusi menurut jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan, sebagian
besar negara di dunia kecuali beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa
laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan. Rendahnya kejadian kusta
pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.
2.5. Landasan Teori
Menurut Santosh & Sheila (2001), penyebab anemia secara langsung adalah
kurang konsumsi zat besi (besi, vitamin C, protein), adanya faktor penghambat
(phitat, teh, kopi), adanya penyakit (diare, infeksi saluran pernafasan), dan kehilangan
darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup. Sedangkan penyebab tidak
langsung adalah kuantitas dan kualitas makanan tidak cukup, keadaan lingkungan
kurang baik (air bersih kurang, sanitasi kurang dan higienis makanan kurang),
pelayanan kesehatan kurang serta infeksi parasit. Lebih jelas dapat dilihat pada
(47)
Gambar 2.1. Penyebab-Penyebab Anemia
Sumber: UNICEF – WHO Joint Commitee on Health Policy dalam Santosh & Sheila (2001) ANEMIA
Kurang Konsumsi Zat Gizi:
• Zat Besi
• Folat
• Vit B Kompleks
• Vit C
• Protein Faktor Penghambat: • Phitat • Teh • Kopi Penyakit: • Diare • ISPA Kehilangan darah meningkat sedangkan asupan zat besi tidak cukup
Kuatitas dan kualitas makanan tidak cukup
Lingkungan:
• Air bersih
kurang
• Sanitasi
Pelayanan Kesehatan Kurang
Infeksi dan Parasit (cacing, malaria)
Kesadaran nilai
pangan kurang pangan kurang Ketahanan angkutan kurang Kapasitas Kemiskinan
Program kesehatan yang tidak mendukung
(48)
2.6. Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka konsep penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
Pengetahuan tentang gizi, konsumsi zat gizi, kebiasaan konsumsi teh/kopi,
serta adanya penyakit infeksi merupakan faktor yang dapat menyebabkan kejadian
anemia.
Pengetahuan
Kejadian Anemia Kecukupan Zat Gizi:
− Tingkat Kecukupan Energi − Tingkat Kecukupan Protein − Tingkat Kecukupan Zat Besi − Tingkat Kecukupan Vitamin C
Konsumsi Teh atau Kopi
(49)
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional
yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadian anemia pada eks
penderita kusta di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti
Kabupaten Toba Samosir.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir. Pemilihan lokasi penelitian dikarenakan UPT
Rumah Sakit Kusta Hutasalem merupakan pemondokan terbesar bagi penderita eks
kusta dan rumah sakit yang pertama melayani penderita kusta di Provinsi Sumatera
Utara.
3.2.2. Waktu
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Desember 2013 sampai dengan Juni
(50)
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh eks penderita kusta di UPT
Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir, yaitu
sebanyak 112 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah total populasi, yaitu seluruh populasi dijadikan
sebagai sampel penelitian. Sehingga sampel penelitian ini sebanyak 112 orang.
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah eks penderita kusta yang tidak sedang hamil.
3.4.Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini meliputi: pengetahuan tentang gizi, konsumsi
zat gizi (tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi teh
atau kopi, dan penyakit infeksi, serta kejadian anemia. Metode pengumpulan data
primer yaitu:
a. Pengetahuan tentang gizi diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.
b. Konsumsi zat gizi (tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C) dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan formulir food recall 24
(51)
c. Konsumsi teh atau kopi dan penyakit infeksi diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.
d. Kejadian anemia dilakukan dengan pemeriksaan kadar Hb. Pemeriksaan kadar Hb dilakukan dengan menggunakan Digital Acute Check untuk menentukan status
anemia dimana pengambilan darah dilakukan oleh seorang tenaga analis yang
didampingi oleh peneliti. Darah yang diambil adalah dari arteri yang selanjutnya
diukur kadar Hb-nya.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari gambaran demografi dan letak geografis Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir yang diperoleh dari Kantor Camat Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir. Data sosio demografi pasien eks penderita kusta
yang meliputi: jumlah eks penderita kusta, jenis kelamin, umur, suku, agama, dan
status perkawinan diperoleh dari UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir.
3.5.Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi: pengetahuan tentang gizi,
konsumsi zat gizi (tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C),
(52)
2. Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian anemia pada eks
penderita kusta.
3.5.2. Definisi Operasional
1. Eks penderita kusta adalah orang yang merupakan mantan penderita kusta.
2. Pengetahuan gizi dalam hal ini mencakup pengetahuan tentang macam zat gizi sumber protein nabati dan hewani, gejala anemia, zat gizi yang berpengaruh
terhadap anemia, dan cara pengobatan anemia.
3. Konsumsi zat gizi adalah jumlah energi, protein, zat besi, dan vitamin C yang dikonsumsi dalam sehari, dan dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang
dianjurkan.
4. Konsumsi teh atau kopi adalah kebiasaan minum teh atau kopi dalam setiap hari. 5. Penyakit infeksi adalah kejadian penyakit infeksi, seperti diare, dan ISPA pada
eks penderita kusta dalam satu bulan terakhir.
6. Kejadian anemia adalah keadaan kadar hemoglobin darah eks penderita kusta dibawah batas normal, yaitu 12 gr/dl untuk perempuan, dan 13 gr/dl untuk
(53)
3.6. Aspek Pengukuran 3.6.1. Status Anemia
Kejadian anemia dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu:
− Tidak Anemia, bila kadar Hb dalam darah ≥12 gr/dl (wanita), dan ≥13 gr/dl (laki -laki)
− Anemia, bila kadar Hb dalam darah < 12 gr/dl (wanita), dan <13 gr/dl (laki-laki).
3.6.2. Pengetahuan
Pengetahuan responden diukur melalui 10 pertanyaan. Bila responden dapat
menjawab dengan benar diberi nilai 1, tetapi jika salah atau jawaban tidak tahu diberi
nilai 0. Berdasarkan jumlah nilai yang ada dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori,
dengan mengacu kepada Arikunto (2009), yaitu:
− Baik : Jika skor total jawaban > 50 %, atau dalam interval 6-10 − Tidak Baik : Jika skor total jawaban ≤ 50 %, atau dalam interval 0-5.
3.6.3. Konsumsi Zat Gizi
Dari hasil food recall 24 jam, dihitung jumlah konsumsi energi, protein, besi,
dan vitamin C kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi. Berdasarkan
Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes, RI., (1990) dalam Supariasa, dkk,
(2002), maka pengkategorian konsumsi energi, protein, zat besi, dan vitamin C dibagi
menjadi empat, yaitu:
− Baik : ≥ 100% AKG − Sedang : 80% - 99% AKG
(54)
− Kurang : 70% - 80% AKG − Defisit : < 70% AKG
Penghitungan tingkat kecukupan zat gizi adalah sebagai berikut:
Tingkat kecukupan zat gizi = x 100% AKG
Jumlah
Konsumsi Jumlah
Untuk kepentingan analisis data yaitu dengan melakukan crosstab, maka
tingkat kecukupan gizi dibagi menjadi 2 kategori:
− Cukup : ≥ 80% AKG
− Tidak Cukup : < 80% AKG
3.6.4. Kebiasan Minum Teh atau Kopi
Konsumsi minum teh atau kopi dikategorikan berdasarkan kebiasaannya
mengkonsumsi teh atau kopi setiap hari:
− Setiap hari − Tidak setiap hari
3.6.5. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi dikategorikan berdasarkan pernah atau tidak pernah
responden mengalami kejadian penyakit infeksi, seperti diare dan ISPA dalam satu
bulan terakhir:
− Infeksi − Tidak Infeksi
(55)
3.7. Etika Penelitian
Sebelum penelitian ini dilakukan responden diberi informasi tentang tujuan
penelitian dan prosedur yang akan dilakukan dalam penelitian, yaitu wawancara
dalam menjawab kuesioner, dan food recall 24 jam, serta pemeriksaan kadar Hb
dengan menggunakan Digital Acute Check. Setiap responden diberi hak penuh untuk
bersedia/tidak menjadi responden. Responden yang bersedia membubuhkan tanda
tangan pada lembar persetujuan (informed concent). Peneliti menjamin kerahasiaan
identitas dan informasi yang diberikan oleh responden selama dan sesudah penelitian.
Selama kegiatan penelitian, responden diberikan kenyamanan dan keamanan
serta diberlakukan sama. Untuk meminimalkan efek samping dari proses
pengambilan darah untuk pemeriksaan Hb, maka pengambilan darah dilakukan secara
steril. Namun bila terjadi kelainan luka pada area pengambilan darah, maka akan
dilakukan perawatan luka atau dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit dengan biaya
ditanggung oleh peneliti.
3.8. Metode Analisis Data
1. Analisis Univariat
Tujuan analisis univariat adalah untuk menjelaskan distribusi frekuensi dari
masing-masing variabel independen (pengetahuan, tingkat kecukupan gizi yang
meliputi tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi teh
(56)
2. Analisis Bivariat : Tujuan analisis ini untuk menjelaskan pengaruh antara variabel independen yang diduga kuat mempunyai pengaruh yang bermakna dengan
variabel dependen, dengan menggunakan uji Chi-Square. Uji chi-square dapat
digunakan untuk mengestimasi atau mengevaluasi frekuensi yang diselidiki atau
hasil observasi untuk dianalisis apakah terdapat pengaruh atau perbedaan yang
signifikan atau tidak, yang menggunakan data nominal (Riduwan, 2008).
3. Analisis multivariat: Tujuannya untuk mencari faktor yang paling dominan (variabel bebas) memengaruhi dengan variabel terikat yang ditunjukkan dari nilai
koefisien regresi. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi
(57)
BAB 4
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Kusta Hutasalem berada di Desa Sintongmarnipi Kecamatan
Laguboti mulai berdiri tahun 1900 yang dirintis oleh Pendeta Steinssig dengan
bantuan Reinische Zending berkebangsaan Jerman.
Rumah Sakit Kusta Hutasalem merupakan Rumah Sakit Kusta Rujukan di
Wilayah Indonesia Bagian Barat, dan merupakan salah satu Rumah Sakit Kusta
Binaan yang ada di Propinsi Sumatera Utara.
Batas wilayah UPT Rumah Sakit Hutasalem adalah:
a. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Ujung Tanduk b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sidulang c. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Haunatas II d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Simatibung
Rumah Sakit Kusta Hutasalem digunakan sebagai tempat pengobatan
penderita kusta dan tempat penampungan pada penderita eks kusta dengan luas 60
Ha. Rumah Sakit Kusta Hutasalem mempunyai tugas melaksanakan usaha-usaha
perawatan, pengobatan dan rehabilitasi penderita kusta. Instalasi Rumah Sakit Kusta
Hutasalem terdiri dari instalasi laboratorium, instalasi farmasi, instalasi radiologi, dan
(58)
Keperawatan 2 orang, D-III Gizi 1 orang, SPK 5 orang, LCPK (Latihan Cepat
Pekarya Kesehatan) 2 orang, dan bagian tatausaha 2 orang.
4.1.2. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Desa Sintongmarnipi berdasarkan data statistik pada
Kecamatan Laguboti sebesar 1.213 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak
632 jiwa, dan perempuan sebanyak 591 jiwa yang tediri dari 319 kepala keluarga.
4.1.3. Karakteristik Eks Penderita Kusta
4.1.3.1. Karakteristik Eks Penderita Kusta Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa semua eks penderita kusta
yang tinggal di pemondokan UPT RS Kusta Hutasalem Kabupaten Toba Samosir
memiliki pekerjaan bertani. UPT RS Kusta Hutasalem selain tempat pemondokan
untuk eks penderita kusta, disini juga diberikan seluas tanah untuk diolah sebagai
mata pencaharian sehari-hari. Luas tanah di Hutasalem ± 60 Ha, sebagian besar eks
penderita kusta mengelola lahan tanah RS/Pemerintah dengan bertani dan berternak.
Luas pembagian tanah untuk diolah perorangan tidak ditentukan tergantung keinginan
dan kemampuan eks penderita kusta seluas apa tanah bisa diolah. Hasil tanaman
tersebut menjadi milik eks penderita kusta sendiri dengan tujuan mencukupi
(59)
4.1.3.2. Karakteristik Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Kecacatan
Dari data sekunder UPT RS Kusta Hutasalem tahun 2013, diperoleh data
tentang tingkat kecacatan, yaitu dari 112 eks penderita kusta terdapat 49 orang
mengalami tingkat cacat 0, 18 orang mengalami tingkat cacat I, dan 45 orang
mengalami tingkat cacat II.
Tabel 4.1. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Kecacatan di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem
Tingkat Kecacatan Frekuensi Persentase
Tingkat cacat 0 49 43,8
Tingkat cacat I 18 16,1
Tingkat cacat II 45 40,2
Total 112 100
Pengkategorian tingkat cacat berdasarkan laporan UPT RS Kusta Hutasalem
adalah sebagai berikut: cacat tingkat 0 berarti tidak ada cacat. Cacat tingkat I adalah
cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat, seperti
hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki. Cacat tingkat
II berarti cacat atau kerusakan yang terlihat seperti mata tidak dapat menutup dengan
rapat (lagophthalmos), dan gangguan penglihatan berat, serta tangan dan kaki
mengalami kelumpuhan otot (kaki samper atau jari kontraktur) atau hilangnya
jaringan (atropi) atau reabsorbsi parsial dan jari-jari.
4.1.3.2. Karakterisitik Eks Penderita Kusta Berdasarkan Suku
Sebagian besar eks penderita kusta yang ada di UPT Rumah Sakit Kusta
Hutasalem berasa dari Suku Alas Propinsi Aceh (7,9%), Batak (31,2%), dan Suku
(60)
Tabel 4.2. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Suku di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem
Suku Frekuensi Persentase
Alas Aceh 76 67,9
Batak 35 31,2
Padang 1 0,9
Total 112 100
4.1.3.3. Karakterisitik Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas eks penderita kusta memiliki
tingkat pendidikan dasar, yaitu tidak tamat SD/tamat SD (83,0%), dan hanya sebagian
kecil yang memiliki tingkat pendidikan menengah (SMA).
Tabel 4.3. Distibusi Eks Penderita Kusta Berdasarkan Tingkat Pendidikan di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem
Pendidikan Frekuensi Persentase
Tidak tamat SD/tamat SD 93 83,0
SMP 14 12,5
SMA 5 4,5
Total 112 100
4.2. Pengetahuan Eks Penderita Kusta
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya (52,7%) responden
memiliki pengetahuan tidak baik tentang gizi dan anemia. Dimana responden yang
memiliki pengetahuan baik sebesar 47,3%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada
(61)
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Gizi dan Anemia di UPT Rumah Sakit Kusta Hutasalem Kecamatan
Laguboti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2014 Pengetahuan tentang
Gizi dan Anemia Frekuensi Persentase
Baik 53 47,3
Tidak Baik 59 52,7
Total 112 100
Gambaran pengetahuan responden juga dapat dijelaskan berdasarkan setiap
indikator pertanyaan. Hasil penelitian terlihat bahwa meskipun sebanyak 57,1%
mengatakan bahwa makanan bergizi adalah makanan yang mengandung sumber
energi, protein, vitamin dan mineral. Namun dari hasil juga diketahui bahwa masih
banyak juga yang mengatakan bahwa makanan bergizi adalah makanan yang rasanya
enak dan gurih (39,3%), dan sebagian kecil (3,6%) mengatakan makanan yang bersih
dan menarik.
Dari hasil juga diketahui bahwa pertanyaan tentang sumber protein makanan
nabati, dimana sebagian besar (68,8%) menjawab tahu/tempe. Namun masih banyak
juga responden yang menjawab daun singkong (17,9), dan bahkan ada yang
menjawab ikan (13,4%). Demikian juga untuk pertanyaan-pertanyaan lainnya,
meskipun responden dapat menjawab dengan benar pada setiap pertanyaan, namun
masih banyak juga responden yang menjawab salah.
Gambaran pengetahuan responden berdasarkan setiap indikator pertanyaan
(62)
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jawaban terhadap Setiap Indikator Pertanyaan tentang Pengetahuan Gizi dan Anemia
Pertanyaan tentang
Gizi dan Anemia Frekuensi Persentase
Makanan bergizi
Makanan yang rasanya enak dan gurih Makanan yang bersih dan menarik
Makanan yang mengandung sumber energi, protein, vitamin dan mineral
44 4 64 39,3 3,6 57,1 Sumber protein dari makanan nabati:
Tahu/tempe Ikan Daun singkong 77 15 20 68,8 13,4 17,9 Sumber protein dari makanan hewani:
Tahu/tempe Ikan Daun singkong 9 67 36 8,0 59,8 32,2 Makanan lengkap:
Nasi, sayur, lauk, pauk Nasi, sayur dan buah Nasi dan ikan
80 5 27 71,4 4,5 24,1 Pengertian anemia: Darah rendah Darah tinggi Penyakit menular 64 29 19 57,1 25,9 17,0 Penyebab anemia:
Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi atau Fe
Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung vitamin Terlalu banyak makanan berlemak
11 57 44 9,8 50,9 39,3 Cara mengetahui anemia:
Lesu, Lemah, Letih, dan Lelah Sering merasa mual
Penglihatan kabur 59 0 53 52,7 0,0 47,3 Dampak anemia terhadap produktivitas kerja:
Tidak pengaruh Menurun Meningkat 30 71 11 26,8 63,4 9,8 Caranya mencegah anemia:
Minum TTD
Berolah raga secara teratur Mengurangi makanan berlemak Tidak dapat dicegah
48 8 28 28 42,9 7,1 25,0 25,0 Cara mengobati anemia:
Meningkatkan Konsumsi Makanan zat besi Olahraga secara teratur
Istirahat yang cukup Tidak dapat diobati
52 24 20 16 46,4 21,4 17,9 14,3
(1)
Tingkat Kecukupan zat besi * Kejadian Anemia
Crosstab
Kejadian Anemia
Total Anemia Tidak Anemia
Tingkat Kecukupan zat besi Defisit Count 43 6 49
% within Tingkat Kecukupan zat
besi 87.8% 12.2% 100.0%
% of Total 38.4% 5.4% 43.8%
Kurang Count 37 10 47
% within Tingkat Kecukupan zat
besi 78.7% 21.3% 100.0%
% of Total 33.0% 8.9% 42.0%
Sedang Count 6 10 16
% within Tingkat Kecukupan zat
besi 37.5% 62.5% 100.0%
% of Total 5.4% 8.9% 14.3%
Total Count 86 26 112
% within Tingkat Kecukupan zat
besi 76.8% 23.2% 100.0%
% of Total 76.8% 23.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 17.260a 2 .000
Likelihood Ratio 15.117 2 .001
Linear-by-Linear Association 13.677 1 .000
N of Valid Cases 112
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.71.
(2)
Tingkat Kecukupan vitamin A * Kejadian Anemia
Crosstab
Kejadian Anemia
Total Anemia Tidak Anemia
Tingkat Kecukupan vitamin A Defisit Count 54 10 64
% within Tingkat Kecukupan
vitamin A 84.4% 15.6% 100.0%
% of Total 48.2% 8.9% 57.1%
Kurang Count 21 6 27
% within Tingkat Kecukupan
vitamin A 77.8% 22.2% 100.0%
% of Total 18.8% 5.4% 24.1%
Sedang Count 11 10 21
% within Tingkat Kecukupan
vitamin A 52.4% 47.6% 100.0%
% of Total 9.8% 8.9% 18.8%
Total Count 86 26 112
% within Tingkat Kecukupan
vitamin A 76.8% 23.2% 100.0%
% of Total 76.8% 23.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 9.100a 2 .011
Likelihood Ratio 8.231 2 .016
Linear-by-Linear Association 8.089 1 .004
N of Valid Cases 112
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.88.
(3)
Tingkat Kecukupan vitamin C * Kejadian Anemia
Crosstab
Kejadian Anemia
Total Anemia Tidak Anemia
Tingkat Kecukupan vitamin C Defisit Count 23 2 25
% within Tingkat Kecukupan
vitamin C 92.0% 8.0% 100.0%
% of Total 20.5% 1.8% 22.3%
Kurang Count 36 13 49
% within Tingkat Kecukupan
vitamin C 73.5% 26.5% 100.0%
% of Total 32.1% 11.6% 43.8%
Sedang Count 26 9 35
% within Tingkat Kecukupan
vitamin C 74.3% 25.7% 100.0%
% of Total 23.2% 8.0% 31.2%
Baik Count 1 2 3
% within Tingkat Kecukupan
vitamin C 33.3% 66.7% 100.0%
% of Total .9% 1.8% 2.7%
Total Count 86 26 112
% within Tingkat Kecukupan
vitamin C 76.8% 23.2% 100.0%
% of Total 76.8% 23.2% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 6.849a 3 .077
Likelihood Ratio 7.018 3 .071
Linear-by-Linear Association 4.233 1 .040
N of Valid Cases 112
a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .70.
(4)
Logistic Regression
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases Included in Analysis 112 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 112 100.0
Unselected Cases 0 .0
Total 112 100.0
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Anemia 0
Tidak Anemia 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed
Predicted Kejadian Anemia
Percentage Correct Anemia Tidak Anemia
Step 0 Kejadian Anemia Anemia 86 0 100.0
Tidak Anemia 26 0 .0
Overall Percentage 76.8
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
(5)
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0 Variables Kons_Teh 5.487 1 .019
Peny_Infeksi 5.379 1 .020
TK_Protein 10.957 1 .001
TK_ZatBesi 13.800 1 .000
TK_VitA 8.162 1 .004
Overall Statistics 31.053 5 .000
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 35.784 5 .000
Block 35.784 5 .000
Model 35.784 5 .000
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 85.591a .273 .413
a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed
Predicted Kejadian Anemia
Percentage Correct Anemia Tidak Anemia
Step 1 Kejadian Anemia Anemia 82 4 95.3
Tidak Anemia 16 10 38.5
Overall Percentage 82.1
(6)
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Kons_Teh 1.233 .581 4.494 1 .034 3.430
Peny_Infeksi 1.293 .574 5.066 1 .024 3.643
TK_Protein .916 .470 3.796 1 .051 2.499
TK_ZatBesi 1.196 .397 9.090 1 .003 3.308
TK_VitA .683 .386 3.129 1 .077 1.980
Constant -10.886 2.305 22.306 1 .000 .000