Verba ‛Potong’ Dalam Bahasa Batak Toba

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba, verba POTONG, komponen semantis, kategorisasi, dan makna. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir bagi pembaca.

Konsep verba pada penelitian ini mengacu kepada pendapat Frawley (1992: 140-144) yang menyatakan bahwa verba mengacu pada peristiwa. Verba sebagai peristiwa mengimplikasikan perubahan waktu. Dengan demikian, ada keterkaitan peristiwa dengan perubahan dan temporalitas. Sebagai suatu peristiwa verba digolongkan atas verba keadaan, proses, dan tindakan (Givon, 1984 dalam Frawley, 1992: 140). Verba POTONG adalah subkelas verba tindakan yang secara khusus mengacu pada peristiwa memotong yang dibentuk oleh interaksi sebab akibat dari dua subperistiwa bdk. (Mulyadi, 2000: 50, 2009: 62).

Komponen semantis adalah perangkat makna yang dimiliki oleh sebuah butir leksikon (Frawley, 1992: 71). Mulyadi (2000: 40) mengatakan bahwa komponen semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti ‛seseorang’, ‛sesuatu’, ‛mengatakan’, ‛melakukan’, ‛terjadi’, ‛ini’, dan ‛baik’.

Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan komponen semantisnya (Mulyadi, 2010: 169). Misalnya, ‛ komponen X melakukan sesuatu dengan sesuatu’ memuat anggota verba manjaljali


(2)

‛mencincang’, managil ‛memarang’, dan mangarambas‛membabat’ yang terdapat dalam satu ranah semantis yang sama.

Makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna asali untuk setiap kata (Wierzbicka, 1996: 170). Konfigurasi yang dimaksud adalah kombinasi antara satu makna asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna universal. Makna yang dikaji dalam penelitian ini adalah makna denotasi.

2.2Landasan Teori

Ada dua alasan peneliti memilih teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Pertama, teori MSA dapat menetapkan kategorisasi dan mengeksplikasi semua makna leksikal, gramatikal, ilokusi, dan pragmatik, termasuk aspek tata bahasa dan tipologi universal melalui seperangkat elemen sederhana. Sebagai bagian dari kategori leksikal, verba POTONG dapat dieksplikasi dengan teori MSA. Kedua, parafrase makna yang dihasilkan mudah dipahami oleh banyak orang, khususnya penuturjati bahasa yang dibicarakan sebab parafrasenya dibingkai dalam sebuah metabahasa yang bersumber dari bahasa alamiah (Mulyadi, 2012: 34).

Asumsi dasar teori MSA berhubungan dengan Prinsip Semiotik. Prinsip ini dikemukakan sebagai berikut.

‛‛A sign cannot be reduced to or analyzed in to any combination of

things which are not themselves signs, consequently, it is impossible to reduce meanings to any combination of things which

are not themselves meanings’’ (Wierzbicka, 1996: 10).

Prinsip di atas menyatakan bahwa makna tidak dapat dideskripsikan tanpa perangkat makna asali. Artinya, makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna


(3)

asali. Dengan pernyataan ini, analisis makna sekompleks apa pun dapat dijelaskan tanpa harus berputar-putar (Wierzbicka, 1996: 10). Terkait dengan hal itu, MSA tidak terlepas dari sejumlah konsep teoretis penting seperti makna asali (semantic

primitive/semantic prime), polisemi takkomposisi (non-compositional polysemy),

dan sintaksis makna universal (universal syntax).

Makna asali adalah seperangkat makna yang tidak berubah yang telah diwarisi oleh manusia sejak lahir. Dengan kata lain, makna asali merupakan makna pertama dari sebuah kata yang tidak mudah berubah walaupun ada perubahan kebudayaan (perubahan zaman). Makna asali merupakan refleksi dari pembentukan pikiran (Goddard, 1994: 2 dalam Mulyadi, 2000: 41). Makna asali dapat diuraikan dengan tuntas dari bahasa alamiah (ordinary language) yang merupakan satu-satunya cara menyajikan makna (Wierzbicka, 1996: 31). Uraian makna tersebut harus meliputi makna kata yang secara intuitif memiliki medan makna yang sama.

Berdasarkan hasil penelitian Wierzbicka (1996) ditemukan makna asali sejumlah bahasa di dunia, seperti bahasa Cina, Jepang, Aceh, Inggris, dan bahasa Aborigin di Australia. Pada tahun 1972, dia menemukan 14 buah makna asali, kemudian pada tahun 1980 menjadi 15 buah makna asali. Terakhir, Wierzbicka (1996) dan Goddard (2006) mengusulkan 63 buah makna asali seperti di bawah ini:

Tabel 2.1

Perangkat Makna Asali Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

KOMPONEN ELEMEN MAKNA ASALI

Substantif I AKU, YOU KAMU, SOME ONE


(4)

ORANG, SOMETHING/THING

SESUATU/HAL, BODY TUBUH

Substantif Relasional KIND JENIS, PART BAGIAN

Pewatas THIS INI, THE SAME SAMA,

OTHER/ELSE LAIN

Penjumlah ONE SATU, TWO DUA, MUCH/MANY

BANYAK, SOME BEBERAPA, ALL

SEMUA

Evaluator GOOD BAIK, BAD BURUK

Deskriptor BIG BESAR, SMALL KECIL

Predikat Mental THINK PIKIR, KNOW TAHU, WANT

INGIN, FEEL RASA, SEE LIHAT,HEAR

DENGAR

Ujaran SAY UJAR, WORDS KATA, TRUE

BENAR

Tindakan,peristiwa, gerakan, perkenaan DO LAKU, HAPPEN TERJADI, MOVE

GERAK, TOUCH SENTUH

Tempat, keberadaan, milik, dan spesifikasi

BE (SOME WHERE), THERE IS/EXIST

ADA, HAVE PUNYA, BE

(SOMEONE/SOMETHING) ADALAH (SESEORANG/SESUATU)

Hidup dan Mati LIVE HIDUP, DEAD MATI

Waktu WHEN/TIME BILA/WAKTU, NOW

SEKARANG, BEFORE SEBELUM,

AFTER SETELAH, A LONG TIME

LAMA, A SHORT TIME SINGKAT, FOR SOME TIME SEBENTAR, MOMENT

SAAT

Ruang WHERE/PLACE (DI) MANA/TEMPAT,

HERE (DI) SINI, ABOVE (DI) ATAS, BELOW (DI) BAWAH, FAR JAUH, NEAR DEKAT, SIDE SISI, INSIDE (DI) DALAM

Konsep logis NOT TIDAK, MAYBE MUNGKIN, CAN

DAPAT, BECAUSE KARENA,IF JIKA

Augmentor intensifier VERY SANGAT, MORE LEBIH

Kesamaan LIKE/AS SEPERTI

Sumber : Mulyadi (2012: 38)

Konsep dasar kedua, yaitu polisemi, merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan dua buah makna asali yang berbeda dan bahkan tidak memiliki hubungan komposisi (nonkomposisi) sebab masing-masing mempunyai kerangka gramatikal yang berbeda (Wierzbicka, 1996: 27-29).


(5)

Misalnya, dalam bahasa Yakunytjatjara konsep BERPIKIR dan MENDENGAR diwujudkan pada verba kulini (Wierzbicka, 1996: 25-26).

Menurut Wierzbicka (1996: 25-26 dalam Mulyadi, 2006: 71), ada dua hubungan nonkomposisi yang paling kuat, yakni hubungan pengartian

(entailment-like relationship) dan hubungan implikasi (implikasional). Hubungan

pengartian diilustrasikan pada MELAKUKAN/TERJADI dan MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU PADA Y, SESUATU TERJADI PADA Y. Hubungan implikasi terdapat pada eksponen TERJADI dan MERASAKAN. Contoh: jika X MERASAKAN SESUATU, SESUATU TERJADI PADA X.

Konsep dasar yang ketiga, yaitu sintaksis makna universal, dikembangkan oleh Anna Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an sebagai perluasan dari sistem makna asali (Goddard, 1998: 24). Dalam teori MSA, makna memiliki struktur yang sangat kompleks, terdiri atas komponen yang berstruktur seperti ‛aku menginginkan sesuatu’, ‛ini baik’, atau ‛ kau melakukan sesuatu yang buruk’. Kalimat seperti ini disebut sintaksis makna universal. Jadi, sintaksis makna universal adalah kombinasi dari butir-butir leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksisnya (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71).

Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan ‛ klausa’, yang dibentuk oleh substantif dan predikat serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan ciri predikatnya (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71). Contoh pola sintaksis makna universal dapat ditunjukkan seperti di bawah ini:


(6)

Makna asali Makna k

(8) Aku memikirkan sesuatu yang baik. (9) Sesuatu yang buruk terjadi padamu.

(10) Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang baik tentang aku.

(11) Aku tahu bahwa kamu orang baik. (12) Aku melihat sesuatu terjadi di sana. (13) Aku mendengar sesuatu yang baik.

Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis makna universal mengimplikasikan gagasan valensi. Contohnya, elemen MELAKUKAN, selain memerlukan ‛‛subjek” dan ‛‛komplemen” wajib (seperti ‛ seseorang melakukan sesuatu’), juga memerlukan ‛‛pasien” (seperti ‛seseorang melakukan sesuatu kepada seseorang’. Begitu pula, MENGATAKAN, di samping memerlukan ‛‛subjek” dan ‛‛komplemen” wajib (seperti ‛seseorang mengatakan sesuatu’), juga memerlukan ‛‛pesapa” (seperti ‛ seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi dan Siregar, 2006: 71). Hubungan ketiga konsep dasar tersebut dapat diringkas dalam gambar di bawah ini:

Makna asali

Polisemi Sintaksis Makna Universal

Gambar 2.1

Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan Makna (Sumber: Mulyadi dan Siregar, 2006: 71)


(7)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa gabungan dari dua makna asali berkombinasi untuk membentuk polisemi. Polisemi merupakan kunci untuk mengetahui makna dan dasar pembentukan sintaksis makna universal yang melalui skenario pada sintaksis makna universal persamaan dan perbedaan makna dapat diungkapkan dengan tuntas dan tidak berputar-putar.

2.3Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap verba sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli. Berikut akan dijelaskan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

Budiasa (2011) dalam artikelnya meneliti verba yang bermakna POTONG

dalam bahasa Bali. Ia membahas jumlah verba yang bermakna POTONG dalam bahasa bali, tipe-tipe, dan strukturnya. Teori yang digunakan adalah Teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori ini dipakai untuk menentukan tipe-tipe makna verba POTONG dan struktur semantis verba tersebut. Untuk memperoleh data digunakan metode simak dan didukung oleh teknik catat. Data verba

POTONG dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih, sedangkan untuk penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dan formal. Hasil kajian Budiasa menunjukkan bahwa verba yang bermakna POTONG

dalam bahasa Bali berjumlah 29 butir leksikal, memiliki satu tipe makna asali, yaitu melakukan: terpotong. Dalam struktur semantis MSA, tipe ini memiliki pola sintaksis ‛X melakukan sesuatu pada Y’ dan ‛Y terpotong oleh X’.


(8)

Penelitian Budiasa mempunyai kelemahan karena elemen sintaksis yang digunakan tidak sesuai dengan perangkat makna asali. Jelasnya, tidak ada elemen

TERPOTONG pada makna asali yang diusulkan dalam Teori MSA. Pada verba POTONG kemungkinan yang terjadi ialah kombinasi antara elemen

MELAKUKAN dan elemen TERJADI dan kombinasi ini dalam Teori MSA disebut hubungan pengartian. Walapun demikian, penelitiannya banyak memberikan kontribusi berupa metode analisis, teori, dan data.

Selanjutnya, Gande (2012) menerapkan teori MSA dalam artikelnya yang berjudul ‛‛Tipologi Leksikal Verba ‛‛POTONG” dalam bahasa Manggarai : A

Natural Semantic Metalanguage (MSA)”. Gande membahas realisasi leksikal

verba ‛‛ memotong”, struktur semantik verba ‛‛memotong”, dan fitur-fitur pembeda struktur semantis verba ‛‛memotong” dalam bahasa Manggarai. Data dikumpulkannya dengan cara observasi lapangan, metode wawancara, metode eksploratif, metode introspeksi, dan metode deskripsi. Data dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah berikut: kualifikasi data, klasifikasi data, menganalisis struktur semantik verba ‛‛memotong”, formulasi verba ‛‛memotong”, melalui pemetaan eksponen, dan subeksponen berdasarkan kategori leksiko-sintaksis, motivasi prototipikal, alat yang digunakan, cara memotong, dan hasil yang diinginkan.

Hasil kajiannya menunjukkan bahwa realisasi leksikal verba POTONG

dalam bahasa Manggarai terdiri atas 86 leksikon yang diklasifikasikan atas beberapa bagian, yaitu (1) memotong pada manusia (mis., longke, poro, dan kuir) (2) memotong pada hewan (mis., mbele, paki, lecap, ndota, ca’e, dawo, ciang,


(9)

ropo, dan kuntir) (3) memotong pohon (mis., poka, keto, campi, wancing,

we’ang, rucik, dan coco) (4) memotong rumput (mis., ako, arep, peketo, babar,

dan sasap) (5) memotong daun (mis., ciak, sarit, lata, koer, dan rekut) (6)

memotong buah (mis., pu’a, lesep, kasi, pu’ik, kengket, ro’e, dan wegek) (7) memotong tali (mis., wingke, wicok, wete, kere, kandit) dan (8) memotong kain (mis., wirot, rotas, kerek, gunting). Gande mengusulkan struktur semantis verba

POTONG dalam bahasa Manggarai adalah ‛X melakukan sesuatu pada Y’, ‛sesuatu terjadi pada Y’. Kemudian, fitur pembeda untuk verba POTONG

bergantung pada usia, motivasi, objek, alat, cara, dan hasil yang diinginkan. Penelitian Gande memberi banyak masukan dari segi teori dan cara menganalisis verba POTONG. Masukan dari segi teori terlihat pada fitur-fitur pembeda dan pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut. Kemudian, masukan dari segi cara menganalisis verba POTONG tampak pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali. Kontribusi Gande ini akan dikembangkan pada penelitian verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Subiyanto (2008) mengkaji verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa. Ia membahas komponen semantis dan struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa. Dalam hal ini, teori MSA digunakan untuk menjelaskan komponen semantis dan struktur semantik. Data yang digunakan adalah data lisan dan data tulisan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi terhadap informan kunci dengan teknik elisitasi dan teknik catat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih.


(10)

Berdasarkan hasil penelitiannya, komponen semantis verba bukan agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+dinamis], [-kesengajaan], [+/- kepungtualan], [+/- telik], dan [- kinesis]. Di samping itu, verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa memiliki komponen semantis [kesengajaan], artinya verba tidak dikontrol oleh agen. Selanjutnya, struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa ada dua, yaitu (1) berdasarkan arah gerakan, struktur semantisnya ialah BERGERAK dan MELAKUKAN dan (2) berdasarkan kualitas gerakan struktur semantisnya MELAKUKAN dan TERJADI.

Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi pada komponen semantis arah gerakan (mis. ‛X bergerak horizontal’ dan ‛ X melakukan beberapa kali’). Komponen semantis yang diusulkannya diterapkan dan dikembangkan dalam penelitian ini untuk menganalisis komponen makna verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Selanjutnya, Mulyadi (2000) dalam artikelnya yang berjudul ‛‛Struktur Semantis Verba dalam bahasa Indonesia”, membahas masalah klasifikasi verba bahasa Indonesia, formulasi struktur semantis verba bahasa Indonesia, dan persamaan dan perbedaan struktur semantis verba bahasa Indonesia. Dia menggunakan metode simak yang didukung dengan teknik catat. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih dan teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa verba bahasa Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu verba keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi. Verba proses mempunyai kelas kejadian, proses badaniah, dan gerakan bukan


(11)

agentif. Verba tindakan mempunyai kelas gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Kemudian, struktur semantis verba bahasa Indonesia diformulasikan dari sejumlah polisemi dan dari kombinasi makna asali ini terlihat persamaan dan perbedaan struktur semantisnya.

Cara kerja teori MSA dalam penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA pada verba POTONG bahasa Batak Toba. Pembagian verba berdasarkan property temporal memberi inspirasi dalam mengategorisasikan verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Sidabutar (2007) dalam skripsinya yang berjudul ‛‛Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba” membahas kategorisasi warna dan makna warna dalam bahasa Batak Toba. Dalam pengumpulan data digunakan metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisis dengan metode padan dengan teknik pilah unsur penentu dan metode distribusional. Teori MSA digunakan untuk megetahui kategorisasi dan makna warna dalam bahasa Batak Toba.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kategori warna dalam bahasa Batak Toba ada dua, yaitu (1) warna dasar yang terdiri atas hitam, putih, dan merah (2) warna turunan yang terdiri atas hijau, kuning, biru, dan coklat. Makna warna dapat berupa objek (benda), perasaan, sifat objek. Makna warna dasar dalam Bahasa Batak Toba adalah warna birong ‛hitam’ yang bermakna ‛arang’, ‛kebijaksanaan’, dan ‛neraka’; warna bontar ‛putih’ yang bermakna ‛kapas’, ‛kesucian’, dan ‛surga’; warna rara ‛merah’ yang bermakna ‛darah’, ‛semangat’, dan ‛bumi’. Warna turunan adalah sebagai berikut: warna rata ‛hijau’ yang bermakna ‛rumput’ dan ‛sayuran hijau’; warna hunik ‛kuning’ yang bermakna


(12)

kunyit; warna balau ‛biru’ yang bermakna ‛belau’ (pewarna pakaian); dan warna gara‛coklat’ yang bermakna ‛tanah’.

Penelitian Sidabutar memperluas wawasan peneliti tentang penerapan teori MSA dalam bahasa Batak Toba dengan menggunakan teori MSA. Penelitian ini juga mendorong peneliti untuk meneliti verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.


(1)

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa gabungan dari dua makna asali berkombinasi untuk membentuk polisemi. Polisemi merupakan kunci untuk mengetahui makna dan dasar pembentukan sintaksis makna universal yang melalui skenario pada sintaksis makna universal persamaan dan perbedaan makna dapat diungkapkan dengan tuntas dan tidak berputar-putar.

2.3Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap verba sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli. Berikut akan dijelaskan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.

Budiasa (2011) dalam artikelnya meneliti verba yang bermakna POTONG dalam bahasa Bali. Ia membahas jumlah verba yang bermakna POTONG dalam bahasa bali, tipe-tipe, dan strukturnya. Teori yang digunakan adalah Teori MSA (Metabahasa Semantik Alami). Teori ini dipakai untuk menentukan tipe-tipe makna verba POTONG dan struktur semantis verba tersebut. Untuk memperoleh data digunakan metode simak dan didukung oleh teknik catat. Data verba POTONG dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih, sedangkan untuk penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dan formal. Hasil kajian Budiasa menunjukkan bahwa verba yang bermakna POTONG dalam bahasa Bali berjumlah 29 butir leksikal, memiliki satu tipe makna asali, yaitu melakukan: terpotong. Dalam struktur semantis MSA, tipe ini memiliki pola sintaksis ‛X melakukan sesuatu pada Y’ dan ‛Y terpotong oleh X’.


(2)

Penelitian Budiasa mempunyai kelemahan karena elemen sintaksis yang digunakan tidak sesuai dengan perangkat makna asali. Jelasnya, tidak ada elemen TERPOTONG pada makna asali yang diusulkan dalam Teori MSA. Pada verba POTONG kemungkinan yang terjadi ialah kombinasi antara elemen MELAKUKAN dan elemen TERJADI dan kombinasi ini dalam Teori MSA disebut hubungan pengartian. Walapun demikian, penelitiannya banyak memberikan kontribusi berupa metode analisis, teori, dan data.

Selanjutnya, Gande (2012) menerapkan teori MSA dalam artikelnya yang berjudul ‛‛Tipologi Leksikal Verba ‛‛POTONG” dalam bahasa Manggarai : A Natural Semantic Metalanguage (MSA)”. Gande membahas realisasi leksikal verba ‛‛ memotong”, struktur semantik verba ‛‛memotong”, dan fitur-fitur pembeda struktur semantis verba ‛‛memotong” dalam bahasa Manggarai. Data dikumpulkannya dengan cara observasi lapangan, metode wawancara, metode eksploratif, metode introspeksi, dan metode deskripsi. Data dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah berikut: kualifikasi data, klasifikasi data, menganalisis struktur semantik verba ‛‛memotong”, formulasi verba ‛‛memotong”, melalui pemetaan eksponen, dan subeksponen berdasarkan kategori leksiko-sintaksis, motivasi prototipikal, alat yang digunakan, cara memotong, dan hasil yang diinginkan.

Hasil kajiannya menunjukkan bahwa realisasi leksikal verba POTONG dalam bahasa Manggarai terdiri atas 86 leksikon yang diklasifikasikan atas beberapa bagian, yaitu (1) memotong pada manusia (mis., longke, poro, dan kuir) (2) memotong pada hewan (mis., mbele, paki, lecap, ndota, ca’e, dawo, ciang,


(3)

ropo, dan kuntir) (3) memotong pohon (mis., poka, keto, campi, wancing, we’ang, rucik, dan coco) (4) memotong rumput (mis., ako, arep, peketo, babar, dan sasap) (5) memotong daun (mis., ciak, sarit, lata, koer, dan rekut) (6) memotong buah (mis., pu’a, lesep, kasi, pu’ik, kengket, ro’e, dan wegek) (7) memotong tali (mis., wingke, wicok, wete, kere, kandit) dan (8) memotong kain (mis., wirot, rotas, kerek, gunting). Gande mengusulkan struktur semantis verba POTONG dalam bahasa Manggarai adalah ‛X melakukan sesuatu pada Y’, ‛sesuatu terjadi pada Y’. Kemudian, fitur pembeda untuk verba POTONG bergantung pada usia, motivasi, objek, alat, cara, dan hasil yang diinginkan.

Penelitian Gande memberi banyak masukan dari segi teori dan cara menganalisis verba POTONG. Masukan dari segi teori terlihat pada fitur-fitur pembeda dan pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut. Kemudian, masukan dari segi cara menganalisis verba POTONG tampak pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali. Kontribusi Gande ini akan dikembangkan pada penelitian verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Subiyanto (2008) mengkaji verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa. Ia membahas komponen semantis dan struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa. Dalam hal ini, teori MSA digunakan untuk menjelaskan komponen semantis dan struktur semantik. Data yang digunakan adalah data lisan dan data tulisan yang diperoleh melalui wawancara dan observasi terhadap informan kunci dengan teknik elisitasi dan teknik catat. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih.


(4)

Berdasarkan hasil penelitiannya, komponen semantis verba bukan agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+dinamis], [-kesengajaan], [+/- kepungtualan], [+/- telik], dan [- kinesis]. Di samping itu, verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa memiliki komponen semantis [kesengajaan], artinya verba tidak dikontrol oleh agen. Selanjutnya, struktur semantis verba gerakan bukan agentif bahasa Jawa ada dua, yaitu (1) berdasarkan arah gerakan, struktur semantisnya ialah BERGERAK dan MELAKUKAN dan (2) berdasarkan kualitas gerakan struktur semantisnya MELAKUKAN dan TERJADI.

Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi pada komponen semantis arah gerakan (mis. ‛X bergerak horizontal’ dan ‛ X melakukan beberapa kali’). Komponen semantis yang diusulkannya diterapkan dan dikembangkan dalam penelitian ini untuk menganalisis komponen makna verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Selanjutnya, Mulyadi (2000) dalam artikelnya yang berjudul ‛‛Struktur Semantis Verba dalam bahasa Indonesia”, membahas masalah klasifikasi verba bahasa Indonesia, formulasi struktur semantis verba bahasa Indonesia, dan persamaan dan perbedaan struktur semantis verba bahasa Indonesia. Dia menggunakan metode simak yang didukung dengan teknik catat. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih dan teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa verba bahasa Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu verba keadaan, proses, dan tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan, emosi, dan persepsi. Verba proses mempunyai kelas kejadian, proses badaniah, dan gerakan bukan


(5)

agentif. Verba tindakan mempunyai kelas gerakan agentif, ujaran, dan perpindahan. Kemudian, struktur semantis verba bahasa Indonesia diformulasikan dari sejumlah polisemi dan dari kombinasi makna asali ini terlihat persamaan dan perbedaan struktur semantisnya.

Cara kerja teori MSA dalam penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA pada verba POTONG bahasa Batak Toba. Pembagian verba berdasarkan property temporal memberi inspirasi dalam mengategorisasikan verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.

Sidabutar (2007) dalam skripsinya yang berjudul ‛‛Konsep Warna dalam Bahasa Batak Toba” membahas kategorisasi warna dan makna warna dalam bahasa Batak Toba. Dalam pengumpulan data digunakan metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Data dianalisis dengan metode padan dengan teknik pilah unsur penentu dan metode distribusional. Teori MSA digunakan untuk megetahui kategorisasi dan makna warna dalam bahasa Batak Toba.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kategori warna dalam bahasa Batak Toba ada dua, yaitu (1) warna dasar yang terdiri atas hitam, putih, dan merah (2) warna turunan yang terdiri atas hijau, kuning, biru, dan coklat. Makna warna dapat berupa objek (benda), perasaan, sifat objek. Makna warna dasar dalam Bahasa Batak Toba adalah warna birong ‛hitam’ yang bermakna ‛arang’,

‛kebijaksanaan’, dan ‛neraka’; warna bontar ‛putih’ yang bermakna ‛kapas’,

‛kesucian’, dan ‛surga’; warna rara ‛merah’ yang bermakna ‛darah’, ‛semangat’,

dan ‛bumi’. Warna turunan adalah sebagai berikut: warna rata ‛hijau’ yang bermakna ‛rumput’ dan ‛sayuran hijau’; warna hunik ‛kuning’ yang bermakna


(6)

kunyit; warna balau ‛biru’ yang bermakna ‛belau’ (pewarna pakaian); dan warna gara ‛coklat’ yang bermakna ‛tanah’.

Penelitian Sidabutar memperluas wawasan peneliti tentang penerapan teori MSA dalam bahasa Batak Toba dengan menggunakan teori MSA. Penelitian ini juga mendorong peneliti untuk meneliti verba POTONG dalam bahasa Batak Toba.