Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronis pada Pasien yang Menjalani Terapi Haemodialisa di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Penyakit kronis umumnya terjadi pada mereka yang telah cukup lama untuk
mengalaminya. Akan tetapi usia tidak selalu menjadi faktor penentu dalam perolehan
penyakit kronis. Kenyataannya, sebagian besar penyakit kronis terjadi pada semua
usia, walaupun kebanyakan diantaranya terjadi pada tahap kehidupan lanjut
(Timmreck, T.C., 2004)
Perubahan pola penyakit tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap
terjadinya transisi epidemiologi, dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit
tidak menular. Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 2005
proporsi kesakitan dan kematian di dunia yang disebabkan oleh penyakit tidak
menular sebesar 47% kesakitan dan 54% kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020
proporsi kesakitan ini akan meningkat menjadi 60% dan proporsi kematian menjadi
73%. Menurut WHO, pada tahun 2008 terdapat 57 juta kematian di dunia, dimana
Proportional Mortality Rate (PMR) penyakit tidak menular di dunia adalah sebesar
36 juta (63%). Balitbangkes (2008) melaporkan bahwa PMR penyakit tidak menular
di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 59,5%.(Riskesdas, 2007)
Data yang diperoleh dari penelitian Arlija,L., (2006) yang mengutip berita di
Amerika Serikat jumlah penderita Gagal Ginjal Kronis (GGK) mengalami

peningkatan dari 166.000 penderita pada tahun 1990 menjadi 372.000 penderita tahun

Universitas Sumatera Utara

2000. Diperkirakan pada tahun 2010 angka penderita ini akan menjadi 650.000
penderita. Di Jepang, jumlah penderita GGK dari tahun 1996 sampai tahun 2000
meningkat dari 167.000 penderita GGK menjadi lebih dari 200.000 penderita. Di
Benua Afrika prevalensi diestimasi 3-4 kali lipat dari negara maju. Cause Spesific
Death Rate GGK diperkirakan mencapai 200/ 1.000.000 penduduk Afrika. (Haroun,
M.K.,et al, 2003)
Menurut WHO (2008) dan Global Burden of Disease (GDB) penyakit ginjal
menyebabkan 163.275 kematian setiap tahunnya (WHO, 2008). Jumlah pasien GGK
prevalensinya semakin meningkat, diperkirakan Tahun 2025 di Asia Tenggara,
Mediterania dan Timur Tengah serta Afrika mencapai lebih dari 380 juta orang, hal
tersebut dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan penduduk, peningkatan proses
penuaan, urbanisasi, obesitas, dan gaya hidup tidak sehat (Anonim, 2010)
Pada tahun 1999 di Amerika Serikat prevalensi GGK pada anak yang
mengalami terapi pengganti ginjal sebesar 53/ 1.000.000 anak. Menurut data yang
diperoleh dari United States Renal Data System (USRDS) , dari tahun 1990 sampai
2001 di Amerika Serikat prevalensi GGK yang disebabkan diabetes meningkat dari

171/ 1.000.000 penduduk menjadi 503/ 1.000.000 penduduk.
Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di
Indonesia pada tahun 1984-1988, didapatkan bahwa dari 2.889 anak yang dirawat
dengan penyakit ginjal ada 2% yang menderita GGK. Di RSCM (Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo) Jakarta antara tahun 1991-1995, dari 668 anak penderita penyakit
ginjal yang dirawat inap terdapat 4.9% yang menderita GGK dan dari 865 penderita

Universitas Sumatera Utara

penyakit ginjal yang berobat jalan terdapat 2,6% yang menderita GGK.(Noer, MS,
2006).
Menurut Survei Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia pada tahun 1990 1992 menunjukkan bahwa 13% dari sekitar 50.000 pasien rawat inap di Rumah Sakit
seluruh Indonesia menderita gagal ginjal dan hipertensi.(Noer, MS, 2006)
Di Indonesia, penyakit GGK tahun 1997 berada diperingkat ke delapan. GGK
tidak hanya merupakan masalah medis tetapi juga masalah aspek ekonomi dan
psikologi. Penderita GGK cenderung mengalami perasaan tertekan, rendah diri, dan
stress karena masalah yang lainnya seperti memikirkan biaya untuk pengobatan.
Faktor penyulit di Indonesia bagi pasien ginjal terutama GGK selain aspek ekonomi
dan psikologi yaitu terbatasnya dokter spesialis ginjal.
GGK merupakan penyakit yang jumlahnya sangat meningkat, pada tahun

1995 secara nasional terdapat 2.131 pasien GGK dengan hemodialisis dengan beban
biaya yang ditanggung oleh Askes besarnya adalah Rp 12,6 milyar. Pada tahun 2000
terdapat sebanyak 2.617 pasien dengan hemodialisis dengan beban biaya yang
ditanggung oleh Askes sebesar Rp 32,4 milyar dan pada tahun 2004 menjadi 6.314
kasus dengan biaya Rp 67,2 milyar. (Bakri, S.,2005) dari survei yang dilakukan oleh
Pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009, Prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa
di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik dimana terdapat sekitar 70.000
penderita GGK yang memerlukan cuci darah. Kasus gagal ginjal di Jawa Tengah
yang tertinggi adalah kota Surakarta 1497 kasus dan yang kedua adalah Kabupaten

Universitas Sumatera Utara

Sukoharjo yaitu 742 kasus (Dinkes Jateng, 2008). Pada tahun 2008 di RSUP H.
Adam Malik terdapat sebanyak 87 penderita kasus gagal ginjal, di RSUD Dr.
Pirngadi sebanyak 109 penderita kasus gagal ginjal dan di RS Rasyida sebanyak 78
penderita kasus gagal ginjal. Di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan untuk kasus
GGK pada tahun 2009 sebanyak 139 kasus.
Pada akhirnya untuk melepaskan ketergantungan pasien terhadap terapi
hemodialisa seumur hidup, maka diperlukan tindakan definitif berupa transplantasi

ginjal (pencangkokan ginjal).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi akhir Tahun 2012, didapatkan penderita
GGK sebanyak 60 penderita, dengan peningkatan jumlah setiap tahunnya dengan
uraian Tahun 2008 terdapat sebesar 33 pasien, Tahun 2009 terdapat sebanyak 36
pasien, Tahun 2010 sebanyak 50 pasien, Tahun 2011 terdapat 51 pasien dan akhir
Tahun 2012 terdapat 60 orang pasien.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perlu di lakukan penelitian
tentang ā€¯Faktor Risiko Penderita GGK pada Pasien yang Menjalani Terapi
Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun
2013.

Universitas Sumatera Utara

1.2. Permasalahan
Penderita GGK selain disebabkan oleh penyebab langsung juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor risiko. Pengetahuan terhadap faktor risiko dapat
membantu mencegah peningkatan jumlah penderita GGK. Permasalahan dalam
penelitian ini meningkatnya jumlah penderita GGK dan belum diketahuinya faktor
risiko GGK pada pasien yang menjalani terapi haemodialisa di Rumah Sakit Umum

Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui faktor risiko GGK pada pasien yang menjalani terapi
haemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun
2013.

1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ada pengaruh riwayat penyakit sebelumnya, gaya hidup, tingkat stress, pola
konsumsi/ pola diet/ nutrisi, penggunaan zat, dan aktivitas fisik serta faktor
sosiodemografi penderita GGK.

1.5. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak yaitu keluarga, masyarakat, peneliti
dan institusi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

Universitas Sumatera Utara

kesadaran akan tingkat kejadian GGK, selanjutnya masyarakat sadar dan

termotivasi untuk melakukan tindakan pengendalian faktor risiko GGK.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUD. Raden Mattaher Provinsi Jambi tentang
karakteristik penderita GGK di Instalasi Haemodialisa Rumah Sakit tersebut
sehingga dapat mendukung upaya penatalaksanaan yang lebih baik terhadap
penderita GGK.
c. Sebagai sarana bagi penulis untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan serta
pengalaman dalam melakukan penelitian mengenai penyakit GGK serta dapat
dijadikan dasar dalam melakukan penelitian di masa yang akan datang dan sebagai
salah satu prasyarat menyelesaikan studi di Program Studi Strata 2 IKM-FKM
USU Medan.
c. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi pihak lain yang ingin melakukan
penelitian selanjutnya tentang penyakit GGK.

Universitas Sumatera Utara