Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronis pada Pasien yang Menjalani Terapi Haemodialisa di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2013

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ginjal

Ginjal terletak di belakang peritoneum pada bagian belakang rongga abdomen, mulai dari vertebra torakalis ke dua belas sampai vertebra lumbalis ke tiga. Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya hati. Nefron merupakan unit dasar ginjal. Setiap ginjal memiliki 400.000 – 800.000 nefron, jumlah ini berkurang seiring usia. Karena jumlah nefron pada setiap ginjal melebihi jumlah yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, maka kerusakan ginjal secara signifikan dapat terjadi tanpa gejala klinis yang jelas. Ginjal mempertahankan kestabilan lingkungan ekstraseluler yang menunjang fungsi semua sel tubuh. Ginjal mengontrol keseimbangan air dan ion dengan mengatur ekskresi air, natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, fosfat, dan zat-zat lain, serta mengatur status asam-basa. (O’Callaghan, C.,2007)

2.1.1. Anatomi Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap medial. Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang), 6 cm (lebar), 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi sekitar 120-170 gram. Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis, berkilau yang disebut true capsule (kapsul fibrosa) ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. (Cahyaningsih, Niken D, 2009)


(2)

Ginjal terdiri atas tiga area yaitu korteks, medula dan pelvis.(Prasanto Heru, 2008) a. Korteks, merupakan bagian paling luar ginjal, di bawah kapsula fibrosa sampai

dengan lapisan medula, tersusun atas nefron-nefron yang jumlahnya lebih dari 1 juta.

b. Medula, terdiri dari saluran-saluran atau duktus kolekting yang disebut pyramid ginjal yang tersusun atas 8-18 buah.

c. Pelvis, merupakan area yang terdiri dari kalik minor yang kemudian bergabung menjadi kalik mayor. Empat sampai lima kalik minor bergabung menjadi kalik mayor dan dua sampai tiga kalik mayor bergabung menjadi pelvis ginjal yang berhubungan dengan ureter bagian proksimal.

2.1.2. Fungsi Ginjal

Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraseluler. Untuk melaksanakan hal itu, sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsorpsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin. Sedangkan air ditahan sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Fungsi ginjal secara keseluruhan dibagi dalam 2 golongan yaitu :

a. Fungsi Ekskresi

1. Ekskresi sisa metabolisme protein

Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat dikeluarkan melalui ginjal.


(3)

Bila tubuh kelebihan cairan maka terdapat rangsangan melalui arteri karotis interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior kemudian diteruskan ke kelenjar hipofisis posterior sehingga produksi hormon anti-diuretik (ADH) dikurangi dan akibatnya produksi urin menjadi banyak, demikian juga sebaliknya.

3. Menjaga keseimbangan asam basa

Agar sel dapat berfungsi normal, perlu dipertahankan PH plasma 7,35 untuk darah vena dan PH 7,45 untuk darah arteri. Keseimbangan asam dan basa diatur oleh paru dan ginjal.

b. Fungsi Endokrin

1. Partisipasi dalam eritopioesis

Ginjal menghasilkan enzim yang disebut faktor eritropoetin yang mengaktifkan eritropoetin. Eritropoetin berfungsi menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah.

2. Pengaturan tekanan darah

Modifikasi tonus vaskular oleh ginjal dapat mengatur tekanan darah. Hal ini dilakukan oleh sistem renin-angiotensin aldosteron yang dikeluarkan dari nefron.

3. Keseimbangan kalsium dan fosfor

Ginjal memiliki peran untuk mengatur proses metabolisme vitamin D menjadi metabolit yang aktif yaitu 1,25-dihidrovitamin D3. Vitamin D molekul yang


(4)

aktif bersama hormon paratiroid dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor dalam usus.

2.2. GGK

2.2.1. Pengertian GGK

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2006). Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis/ CRF (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). Penyakit ginjal dapat tidak tampak secara klinis sampai terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna, karena alasan inilah penyakit ginjal progresif yang berkembang lambat laun dapat bersifat asimtomatik pada stadium awal. (O’Callaghan, C.,2007).

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urin. Semua


(5)

proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat menyebabkan gagal ginjal kronik.(O’Callaghan, C., 2007)

Gagal ginjal akut (GGA) maupun GGK meningkatkan kalium, ureum, dan kreatinin plasma, serta menyebabkan asidosis metabolik. Pada GGK biasanya terdapat komplikasi kronik yang meliputi anemia akibat eritropoetin yang tidak adekuat serta penyakit tulang, (artinya hormon yang di hasilkan oleh ginjal salah satunya adalah eritropoetin yang merangsang pembentukan sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah, pada GGK eritropoetin yang di hasilkan ginjal tidak mencukupi) biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat tinggi, dan hormon paratiroid tinggi. Hasil temuan kunci pada GGK adalah ginjal yang kecil pada ultrasonografi. Ukuran yang berkurang ini disebabkan oleh atrofi atau fibrosis.(O’Callaghan, C., 2007)

Karena ureum dan kreatinin di ekskresi oleh ginjal maka keduanya terakumulasi di darah jika fungsi ginjal terganggu. Kadar ureum meningkat akibat asupan tinggi protein atau keadaan katabolisme dan menurun pada penyakit hati atau overhidrasi. Ureum difiltrasi secara bebas namun juga di reabsorbsi sebagian oleh tubulus, yang prosesnya meningkat (seiring dengan reabsorbsi natrium) pada dehidrasi atau penurunan perfusi ginjal, menyebabkan peningkatkan ureum lebih besar daripada kreatinin. Kreatinin difiltrasi secara bebas, namun di sekresi sebagian oleh tubulus. Kreatinin diproduksi di otot dan individu dengan massa otot besar dapat memiliki nilai yang lebih tinggi.


(6)

Semua proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara progresif dapat menyebabkan GGK. Seiring dengan berkurangnya jumlah nefron yang berfungsi, nefron yang tersisa melakukan kompensasi dengan meningkatnya filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut. Penyakit ginjal stadium akhir terjadi jika pasien membutuhkan terapi penggantian ginjal dengan dialysis atau transplantasi. Komplikasi GGK disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya di ekskresi oleh ginjal, serta produksi vitamin D dan eritropoetin yang tidak adekuat oleh ginjal. Sindrom uremik mengacu pada komplikasi GGK seperti anemia, kebingungan (confusion), koma, asteriksis, kejang, efusi, perikard, gatal, dan penyakit tulang. Terapi penggantian ginjal memperbaiki masalah ini, namun pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir memiliki morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada populasi lainnya.

Pengobatan konservatif terdiri dari tiga strategi. Pertama adalah usaha-usaha untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Kedua adalah mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. Ketiga adalah pengelolaan berbagai masalah yang terdapat pada pasien dengan GGK dan komplikasinya. Pengobatan konservatif GGK lebih bermanfaat bila penurunan faal ginjal masih ringan.


(7)

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penyakit

Derajat Deskripsi/ Penjelasan Nama lain GFR (mL/mn/1.73m²) 1 Kerusakan ginjal dgn GFR

normal

Risiko ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dgn penurunan GFR ringan

CRI (Chronic Renal Insufisiensi

60 – 89 3 Kerusakan ginjal dgn

penurunan GFR sedang

CRI, Chronic Renal Failure/ CRF

30 – 59 4 Kerusakan ginjal dgn

penurunan GFR berat

CRF 15 – 29

5 Gagal ginjal ESRD (End Stage Renal Disease)

< 15 atau dialisis

Ket : GFR = Glomerulo Filtration Rate (Laju Filtrasi Glomerulus) Sumber : Black & Hawks, 2009; Suwitra dalam Sudoyo, et al, 2006.

2.2.2. Penyebab Gagal Ginjal

Terjadinya gagal ginjal disebabkan oleh beberapa penyakit serius yang diderita oleh tubuh yang mana secara perlahan-lahan berdampak pada kerusakan organ ginjal. Penyebab tersering penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi penggantian ginjal antara lain adalah : (O’Callaghan, C., 2007)

a. Diabetes Melitus (DM)

Sebanyak 25 - 50% penyandang diabetes menderita nefropati. Diabetes merupakan penyebab tunggal tersering dari penyakit ginjal stadium akhir dan meliputi 30 - 40% kasus. (O’Callaghan, C., 2007)

b. Hipertensi

Hipertensi di definisikan sebagai tekanan darah di atas 140/ 90 mmHg. Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung, resistensi vaskular sistemik, dan


(8)

volume sirkulasi. Setiap penyakit ginjal dapat menyebabkan hipertensi. Gangguan ginjal berat mengurangi ekskresi natrium serta menyebabkan hipervolemia dan hipertensi yang bersifat sensitif terhadap garam karena hipertensi meningkat seiring dengan asupan garam. (O’Callaghan, C., 2007)

Tabel 2.2. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Derajat Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal <120 <80

Normal <130 <85

Tingkat 1 (Hipertensi ringan) 140-159 90-99 Tingkat 1 (Hipertensi sedang) 160-179 100-109

Tingkat 1 (Hipertensi berat) ≥180 ≥110

Sumber : Yogiantoro dalam Sudoyo, 2006.

c. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/ atau hematuria, meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi GGK.

Glomerulonefritis dibedakan atas dua yaitu :

(Price, S. A. & Lorraine M, 2005)

1. Glomerulonefritis Akut

Kasus klasik glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme penyebabnya yang lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1. Streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada


(9)

ginjal, melainkan terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal-spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam darah dan bersirkulasi ke dalam glomerulus dan menghasilkan membran dasar yang menebal. Komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimerfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis glomerulus. (Price, S. A. & Lorraine M., 2005)

2. Glomerulonefritis Kronik

Glomerulonefritis kronik ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Pada glomerulonefritis kronik lanjut, ginjal tampak mengkerut, kadang beratnya hanya tinggal 50 gram dan permukaannya bergranula. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan hilangnya nefron.

d. Penyakit Ginjal Polikistik

(Price, S. A. & Lorraine M., 2005)

Merupakan kelainan ginjal turunan yang paling sering terjadi Penyakit ginjal polikistik ini mencakup 4-10% pasien dengan gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi atau dialisis ditandai dengan kista-kista multipel, bilateral dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan. (O’Callaghan, C., 2007). Ginjal dapat membesar dan terisi oleh kelompok kista-kista yang menyerupai anggur. Waktu perjalanan gagal ginjal


(10)

kronik bervariasi, walaupun banyak anak yang dapat mempertahankan fungsi ginjal yang adekuat selama bertahun-tahun. Pada anak dapat bertahan selama bulan pertama kehidupan,78% bertahan hingga melebihi 15 tahun. (Price,S.A. & Lorraine M., 2005) e. Pielonefritis Kronik

Pielonefritis adalah inflamasi infeksius yang mengenai parenkim dan pelvis ginjal. Infeksi ini bermula dari infeksi saluran kemih (ISK) bawah, kemudian naik sampai ginjal. Escherichia coli adalah organisme yang paling lazim menyebabkan pielonefritis. Pielonefritis kronik dapat merusak jaringan ginjal secara permanen karena inflamasi yang berulang dan terbentuknya jaringan parut yang meluas. Proses berkembangnya GGK dari infeksi ginjal yang berulang berlangsung selama beberapa tahun. Pada pielonefritis kronik, tanda yang terus menerus muncul adalah bakteriuria sampai pada saat ketika jaringan ginjal sudah mengalami pemarutan (skar) yang berat dan atrofi sehingga pasien mengalami insufisiensi ginjal yang ditandai dengan hipertensi, BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat dan klirens kreatinin menurun. (Price, S. A. & Lorraine M., 2005)

f. Nefropati Analgetik

Penyalahgunaan analgetik dalam waktu lama dapat menyebabkan cedera ginjal. Beberapa obat menyebabkan gagal ginjal antara lain amonoglikosida, Obat Anti-Inflamasi nonsteroid (OAINS), siklosporin, amfosterisin B, asiklovir, siklosporin. (O’Callaghan, C., 2007). Penyakit lainnya yang juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi ginjal apabila tidak cepat ditangani antara lain adalah kehilangan carian banyak yang mendadak (muntaber, perdarahan, luka bakar), serta penyakit lainnya seperti penyakit Paru (TBC), Sifilis, Malaria, Hepatitis, Pre-eklampsia.


(11)

Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya, dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis serangan gagal ginjal, akut dan kronik. 2.2.3. Tanda dan Gejala Penyakit Gagal Ginjal

Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal yang dialami penderita secara akut antara lain : bengkak mata, kaki, nyeri pinggang hebat (kolik), kencing sakit, demam, kencing sedikit, kencing darah, sering kencing. Kelainan urin protein, darah / eritrosit, sel darah putih / leukosit, bakteri. Sedangkan tanda dan gejala yang mungkin timbul oleh adanya GGK antara lain: lemas, depresi, mual, muntah, bengkak, kencing berkurang, gatal, kram otot, pucat/ anemi. Kelainan urin protein, eritrosit, leukosit. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium lain creatinine darah naik, Hb turun, urin protein selalu positif. (O’Callaghan, C., 2007)

Pada pasien GGK terdapat manifestasi klinis yang bervariasi dan pasien juga memiliki beberapa keluhan berikut ini :

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis pada Pasien GGK Derajat

GGK

Manifestasi Klinis

Derajat I Pasien dengan tekanan darah normal, tanpa abnormalitas hasil tes laboratorium dan tanpa manifestasi klinis

Derajat II Umumnya asimptomatik, berkembang menjadi hipertensi, munculnya nilai laboratorium yang abnormal

Derajat III Asimptomatik nilai laboratorium menandakan adanya abnormalitas pada beberapa sistem organ, terdapat hipertensi

Derajat IV Munculnya manifestasi klinis GGK berupa kelelahan dan penurunan rangsangan

Derajat V Anemia, hipokalsemia, hiponatremia, peningkatan asam urat, proteinuria, edema, hipertensi, peningkatan kreatinin, penurunan sensasi rasa, asidosis metabolik, mudah mengalami perdarahan, hiperkalemia


(12)

2.3. Faktor Risiko GGK

Sumber dari faktor-faktor risiko pada penyakit tidak menular dan penyakit kronis adalah perilaku fisiologis/ genetik, lingkungan dan sosial. Faktor risiko adalah pengalaman, perilaku, tindakan atau aspek-aspek pada gaya hidup yang dapat memperbesar peluang terkena atau terbentuknya suatu penyakit, kondisi, cedera, gangguan, ketidakmampuan atau kematian (Timmreck,T.C., 2004).

Australian Institute of Health and Welfare (AIHW) telah melakukan sistematisasi faktor risiko kejadian penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (ESRD) di Australia. Faktor risiko ESRD di Australia dibagi menjadi empat kelompok yaitu :

1) Faktor lingkungan-sosial yang meliputi status sosial ekonomi, lingkungan fisik dan ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan,

2) Faktor risiko biomedik, meliputi antara lain diabetes, hipertensi, obesitas, sindroma metabolisma, infeksi saluran kencing, batu ginjal dan batu saluran kencing, glomerulonefritis, infeksi streptokokus dan keracunan obat;

3) Faktor risiko perilaku, meliputi antara lain merokok atau pengguna tembakau, kurang gerak dan olah raga serta kekurangan makanan

4) Faktor predisposisi, meliputi antara lain umur, jenis kelamin, ras atau etnis, riwayat keluarga dan genetik.(AIHW). Dari penelitian yang lain juga melaporkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian GGK antara lain adalah jenis kelamin, umur, etnik, berat lahir rendah, berat badan, status sosial ekonomi, merokok, tekanan darah, kadar kholesterol darah, minum alkohol dan obat


(13)

terlarang lainnya, mengonsumsi obat analgetika dan OAINS, dan diabetes mellitus.(Bakri, S., 2005).

2.3.1. Riwayat Penyakit a. DM

DM adalah penyakit yang dapat menyebabkan komplikasi kronik baik mikro dan macroangiophaty, dengan konsekuensi kegagalan organ internal. Salah satu komplikasi kronik DM adalah dari nefropati diabetik dan progresif cronically jika tidak ditangani atau dikendalikan dengan baik akan menjadi tahap akhir gagal ginjal. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa merokok berperan dalam pengembangan dan perkembangan diabetes dan nondiabetes penyakit ginjal. Penelitian Arsono, Soni, 2005 faktor risiko yang dilakukan dalam nefropati diabetik progresif yang menjadi tahap akhir gagal ginjal pada pasien DM bahwa hipertensi diastolik dan kadar kolesterol total adalah faktor risiko tahap akhir gagal ginjal pada pasien DM dengan hasil dari faktor risiko terbukti tahap akhir gagal ginjal pada penderita DM 2 jam pp kadar glukosa darah OR: 3,52 (95% CI: 1,00-12,39). DM pasien hipertensi diastolik > 90 mmHg dengan OR : 15,03 (95% CI: 2,25 - 100,43) dan kadar kolesterol total > 200 mg/d1 dengan OR: 11,61 (95% CI: 1,69 - 79,83).

b. Hipertensi

Hipertensi didefinikan sebagai tekanan darah di atas 140/ 90 mm Hg.(O’Callaghan, C., 2007). Berdasarkan penelitian Herdiani Sialagan dapat dilihat bahwa proporsi riwayat penyakit sebelumnya tercatat 69,2%. Penderita GGK tertinggi adalah Hipertensi 30,2%, kemudian Diabetes Melitus 23,8%, Lebih dari satu


(14)

Riwayat Penyakit Sebelumnya 23,8%, Tidak ada riwayat 15,1%, Batu Ginjal 5,0%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) 1,4% dan terendah penyakit ginjal polikistik. Penelitian Sofyana Nurchayati, (2010) didapatkan bahwa pasien hipertensi dengan OR = 4,51, disimpulkan bahwa hubungan antara anemia dengan kualitas hidup penderita hipertensi memiliki risiko 4,6 kali hidupnya kurang berkualitas dibandingkan dengan yang tidak mengalami hipertensi.

2.3.2. Kadar Ureum dan Kreatinin Darah

Kadar ureum darah adalah konsentrasi nitrogen urea darah setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pada penderita GGK dan bukan GGK sesuai yang tercatat pada rekam medis. Penelitian di RS Martha Friska Medan Tahun 2011 Proporsi kadar ureum darah > 100 mg/100 mL sebesar 68,9% lebih tinggi dibandingkan ≤ 100 mg/100 mL sebesar 31,1 %.

Kadar kreatinin darah adalah konsentrasi kreatinin dalam darah setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pada penderita GGK dan bukan GGK sesuai yang tercatat pada rekam medis. Penelitian di RS Martha Friska Medan Tahun 2011 Proporsi kadar kreatinin penderita GGK yang memiliki kadar kreatinin darah < 2 mg/100 mL sebesar 3,3%, 19,7% pada 2-4 mg/100 mL dan 77,0% pada > 4 mg/100 mL. (Sialagan, H., 2011 ).

2.3.3. Sosiodemografi

Semakin meningkatnya umur dan ditambah dengan penyakit kronis seperti tekanan darah tinggi (hipertensi) atau diabetes, maka ginjal cenderung akan menjadi


(15)

rusak dan tidak dapat dipulihkan kembali.

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perkembangan End-Stage Renal Disease. Secara keseluruhan, insidensi End-Stage

Renal Disease lebih besar pada laki-laki (56,3%) daripada perempuan (43,7%)

walaupun penyakit sistemik tertentu yang menyebabkan End-Stage Renal Disease lebih sering terjadi pada perempuan. End-Stage Renal Disease

Penelitian Hanifa (2010) di RSUP. Adam Malik Medan, penderita GGK terbanyak pada kelompok umur 31-50 tahun.

Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan perkembangan End-Stage Renal Disease. Lingkungan dan agent toksik dapat mempengaruhi GGK yang meliputi timah, kadmium, kromium dan merkuri. Di perairan yang tercemar, merkuri dapat berubah bentuk menjadi senyawa metil merkuri melalui mikroorganisme air dan mempunyai efek toksik tinggi. Dalam bentuk metal merkuri senyawa ini dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tingkat global, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kadar merkuri dalam ikan tuna yang melebihi batas yang diizinkan yaitu 1.223 ppm.(Soeripto, M.,2008)

yang disebabkan oleh nefropati hipertensif 6,2 kali lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika daripada orang kaukasia.(Price, SA & Lorraine M, 2005).

2.3.4. Gaya Hidup / Lifestyle

Sudut ketiga dari segitiga keadaan yang mempengaruhi kesehatan individu adalah pola hidup. Pola hidup merupakan sekumpulan perilaku yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dimana di dalamnya termasuk nutrisi, istirahat, olah


(16)

raga, rekreasi dan kerja. Perilaku tersebut dapat menjadi faktor yang secara signifikan menyebabkan seseorang menjadi sakit atau terluka (Ayers, Bruno dan Langford, 1999). Pola hidup merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Perilaku untuk meningkatkan kesehatan dapat dikontrol dan dipilih. Pilihan seseorang terhadap sehat tidaknya aktivitas yang dilakukan dipengaruhi oleh faktor sosiokultural karakteristik individu. Perilaku yang bersifat negatif terhadap kesehatan dikenal dengan faktor risiko.

Potter dan Perry (2005) mengemukakan bahwa ada kegiatan dan perilaku yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan kegiatan yang berpotensi memberikan efek negatif antara lain makan berlebihan atau nutrisi yang buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan pribadi yang buruk. Kebiasaan lain yang berisiko menyebabkan seseorang menderita penyakit yaitu kebiasaan merokok atau minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat, dan kegiatan berbahaya seperti skydiving serta mendaki gunung. Lebih lanjut Potter dan Perry (2005) mengemukakan berbagai stres akibat krisis kehidupan dan perubahan gaya hidup. Stres emosional dapat menjadi faktor risiko bila bersifat berat, terjadi dalam waktu yang lama atau jika seseorang yang mengalaminya tidak mempunyai koping yang adekuat dapat meningkatkan peluang terjadinya sakit. Stres dapat terjadi karena peristiwa kehidupan seperti perceraian, kehamilan dan pertengkaran. Area kehidupan yang menyebabkan stres emosional jangka panjang menjadi faktor risiko seperti stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat berdampak pada kelemahan kemampuan kognitif serta kemampuan membuat keputusan yang menyebabkan kelebihan beban


(17)

mental atau kematian. Ayers, Bruno dan Langford (1999) menyatakan bahwa pola hidup merupakan wilayah yang paling dapat dikontrol oleh seseorang dan memiliki beberapa aturan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan. Perilaku yang termasuk dalam pola hidup sangat mungkin diubah.

2.3.5. Pola konsumsi

Masukan nutrisi yang adekuat akan menyediakan tenaga untuk menggerakkan tubuh dan mempertahankan berat badan. Seseorang yang tidak memiliki komposisi nutrisi yang baik sehingga mengalami kelebihan berat badan berisiko terhadap penyakit seperti diabetes, gangguan kandung kemih, tekanan darah tinggi dan penyakit pembuluh darah koroner.

Seseorang yang tidak memperhatikan komposisi nutrisi yang terkandung dalam makanan sehari-hari, akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan yang berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Intake makanan yang mengandung kadar karbohidrat tinggi namun minim serat seperti makanan cepat saji, mempercepat penimbunan lemak di dalam tubuh yang memicu obesitas. Individu yang mengalami obesitas rentan terhadap penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Penumpukan lemak di daerah perut merupakan salah satu faktor risiko yang memicu timbulnya DM. Peningkatan penderita diabetes akan meningkatkan jumlah penderita penyakit ginjal akibat komplikasi dari diabetes yaitu nefropati diabetes Pemeriksaan tersebut menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko yang mendukung timbulnya GGK. Konsumsi diet yang berlebihan menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol dimana


(18)

merupakan faktor risiko timbulnya berbagai penyakit. Studi di Jepang menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang diukur dengan Body Mass Index (BMI) merupakan parameter yang signifikan berhubungan dengan kejadian GGK. Hal ini disebabkan setiap kenaikan dari BMI akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta kadar glukosa darah. Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan risiko mengalami GGK. Walaupun mekanisme yang mendasari hubungan peningkatan BMI dengan GGK tidak begitu dimengerti namun diestimasi bahwa kejadian tersebut ada kaitannya dengan aktivasi sistem renin angiotensin, peningkatan aktivitas nervus simpatis, terjadi resistensi insulin atau hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan toleransi glukosa ini yang diduga berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik

Peningkatan berat badan atau obesitas khususnya obesitas abdominal dapat merupakan faktor risiko GGK karena dapat memicu peningkatan tekanan darah. Selain itu penderita obesitas lebih resisten terhadap pengobatan untuk menurunkan tekanan darah. Peningkatan berat badan yang berlebihan telah mendukung peningkatan kadar leptin, volume ekspansi, sesak waktu tidur dan bila peningkatan tekanan darah tidak dikontrol akan mempercepat ginjal kehilangan fungsinya. Peningkatan risiko GGK pada individu obesitas terjadi melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme yang berhubungan adalah peningkatan kadar leptin menyebabkan kerusakan dari sistem kardiovaskuler ginjal yang merupakan kontribusi signifikan dari patogenesis hipertensi dan diabetes karena obesitas. Individu yang memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight karena pola diet yang tidak tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi hemodialisa karena GGK


(19)

dibandingkan pasien yang memiliki berat badan normal atau kurang. Studi yang dilakukan terhadap 1010 pasien memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka 47,9% pasien mempunyai kelebihan berat badan, 40,2% memiliki berat badan normal dan 11,9% memiliki berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya. 2.3.6. Aktivitas Fisik/ Olah Raga

Manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur telah banyak dilaporkan. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur selama 30 menit setiap hari minimal 3 kali dalam seminggu akan membantu memperpanjang umur harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan dan kematian karena penyakit. Olah raga yang teratur akan membantu menjaga tubuh tetap sehat dan bugar karena kalori terbakar setiap hari serta mengendurkan semua otot yang kaku. Olahraga dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang, kekebalan tubuh, menguatkan paru-paru, menurunkan emosi negatif, mempercantik tubuh dan kulit, menambah tenaga, mengurangi dampak proses penuaan, serta membantu tidur nyenyak. Dampak olah raga tersebut akan dirasakan bila olah raga minimal aerobik dilakukan 3 - 5 kali seminggu selama 30 menit dengan pemanasan terlebih dahulu. Sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang cenderung meningkatkan risiko menderita penyakit dilihat dari aktivitas fisik adalah individu yang lebih banyak duduk, tidak berolah raga atau melakukan olah raga tidak teratur atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30 menit dengan aktivitas minimal 3 kali dalam satu minggu. Individu yang memiliki aktivitas fisik rendah berisiko mengalami beragam penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang


(20)

merupakan faktor-faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler, GGK dan GGA. Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap faktor risiko penyakit tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan terhadap individu yang mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan prevalensi penyakit GGK di Jepang. Adanya hubungan antara GGK dan gaya hidup yang berisiko akan membantu dalam meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit GGK dan gagal ginjal terminal (Iseki, 2005).

2.3.7. Penggunaan Zat

Penggunaan zat baik legal maupun ilegal, memiliki risiko serius terhadap kesehatan. Salah satu perilaku yang tergolong penggunaan zat adalah merokok. Beragam penyakit dapat menyerang perokok diantaranya yaitu GGK. Gangguan ini pada perokok, berawal dari gangguan fungsi ginjal karena terjadinya nepfrosklerosis dan glomerulonefritis yang disebabkan kandungan zat dalam rokok. Seorang perokok diperkirakan berisiko mengalami kejadian tersebut 1,2 kali lebih tinggi dari individu yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 20 batang perhari. Individu yang merokok > 20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3 kali lebih mungkin mengalami GGK dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari. Pernyataan Ayers, Bruno dan Langford (1999) bahwa pola hidup yang tidak baik dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku berisiko seperti merokok, menggunakan obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan, penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini bila dilakukan oleh individu


(21)

dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan kerja ginjal yang berakhir dengan GGK.

Merokok juga dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal. Di antara insulin dan non-insulin-dependent pasien dengan diabetes, merokok tampaknya menjadi faktor risiko independen untuk nefropati dan mempercepat laju perkembangan gagal ginjal. Pada pasien hipertensi, merokok secara independen meningkatkan risiko albuminuria dan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Peran merokok pada penyakit ginjal primer kurang dikenal, namun penelitian telah menunjukkan hubungan dengan perkembangan proteinuria pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik dan penurunan fungsi ginjal pada pasien dengan lupus nefritis, penyakit ginjal polikistik, dan glomerulonefritis. Mereka yang merokok selama lebih dari 40 tahun memiliki peningkatan risiko 45%, OR, 1,45, dalam kaitannya dengan pernah-perokok. Demikian pula, dosis kumulatif lebih dari 30 pack/ tahun menghasilkan 52% peningkatan risiko OR, 1,52. (Ejerblad, E, et al, 2004)

Pendapat lain yang juga mengemukakan, individu yang merokok berisiko menderita GGK 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok. Risiko menderita GGK ini tetap lebih tinggi pada perokok, meskipun kemudian memutuskan untuk berhenti merokok. Namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan individu yang memutuskan untuk tetap merokok. Perokok yang telah berhenti berisiko 1,08 kali menderita GGK sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4 kali lebih mungkin mengalami GGK .


(22)

Mekanisme seseorang mengalami GGK yang berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang diinduksi oleh rokok, terjadi melalui tiga cara. Secara sederhana dapat dideskripsikan bahwa zat-zat racun yang terkandung di dalam rokok telah mengakibatkan terjadinya disfungsi endotelial. Nikotin menyebabkan sel manusia mengalami proliferasi di samping meningkatkan fibronectin sampai 50%. Hal ini menginduksi ginjal mengalami fibrosis yang pada akhirnya mengurangi kerja ginjal dalam mengeksresikan urin. Zat lain yang turut merusak ginjal yaitu cadmium (Cd) yang terkandung di dalam rokok dimana penumpukan zat ini di korteks ginjal mengakibatkan kerusakan jaringan karena toksisitas zat tersebut yang akan menimbulkan jaringan parut pada ginjal. Mekanisme selanjutnya yaitu terjadi secara hemodinamik (Hemodynamic mechanisms as potential mediators of smoking-induced

renal damage). Zat-zat berbahaya di dalam rokok selain memicu perubahan secara

langsung pada organ ginjal, berisiko meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah merupakan faktor penting terhadap progresivitas penyakit GGK. Mekanisme kerusakan ginjal terakhir dapat terlihat secara histopatologik (Histopathologic features of smoking-induced renal damage). Gambaran histopalotogik yang ditemukan memperlihatkan progressi kerusakan glomerulus ginjal pada perokok yang berat, hiperplasia arteri intra renal, penebalan dinding arteri yang memicu nefrosklerosis dan kerusakan-kerusakan lainnya (Orth dan Hallan, 2008).

Selain rokok, menurut studi terhadap pasien yang menderita GGK yang kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain yang dapat


(23)

mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya yaitu obat anti nyeri. Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan pasien yang telah mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat (lebih dari satu pil dalam seminggu) sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk menghilangkan rasa sakit berisiko mengalami kerusakan ginjal. Pasien yang bekerja dalam waktu lama pada sektor industri, lebih mungkin mengalami gagal ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor industri tertinggi frekuensi penderitanya automobil (51%), diikuti pekerja konstruksi 17%, pengecoran logam 9% dan pekerja rumah sakit (6%) (O’Callaghan, C., 2007).

2.4. Haemodialisa

2.4.1. Pengertian Haemodialisa

Penggantian ginjal modern menggunakan dialisi untuk mengeluarkan zat terlarut yang tidak diinginkan melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air, yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan (O’Callaghan, C., 2007). Menurut Sudoyo (2009) dialisis adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal kronik. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa.

2.4.2. Prosedur Haemodialisa

Menurut O’Callaghan 2007 hemodialisa bertujuan untuk mengoreksi kelainan metabolisme dan elektrolit akibat dari kegagalan ginjal. Kelainan metabolisme utama yakni tingginya uremia di dalam darah dan hiperkalemi. Terapi dialisa dimaksudkan


(24)

sebagai usaha untuk memisahkan hasil-hasil metabolisme dari darah dengan bantuan proses difusi lewat membran yang semipermeabel (yang dapat menembus bahan-bahan sisa tapi tidak dapat ditembus oleh darah dan plasma). Membran yang semipermeabel ini memisahkan dua kompartemen dialisat yakni cairan yang menghisap hasil metabolisme (ureum). Proses ini merupakan proses difusi maka selain dari pada hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja cairan dialisatnya bebas kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan metabolik maupun cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat dengan cara filtrasi. Lamanya hemodialisa dapat diprediksi dari tekanan yang diberikan oleh mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran dialisa dalam waktu 1 menit.

2.4.3. Komplikasi Haemodialisa

Hemodialisa dapat memperpanjang usia meskipun tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa meliputi ketidakseimbangan cairan, hipervolemia, hipovolemia, hipertensi, hipotensi, ketidak seimbangan elektrolit, infeksi, perdarahan dan heparinisasi dan masalah-masalah peralatan yaitu aliran, konsentrasi, suhu dialisat, aliran kebocoran darah dan udara dalam sikuit dialisa (Hudak & Gallo, 1996).

Tindakan hemodialisa dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi yang berasal dari pemasangan kateter di pembuluh darah, berhubungan dengan air


(25)

yang digunakan, penggantian cairan, komposisi dialisis, membran hemodialisa, dosis yang tidak adekuat, karena antikoagulopati yang diberikan, dan komplikasi dari hemoperfusi. Komplikasi yang berasal dari selang yang dimasukkan ke pembuluh darah untuk tindakan hemodialisa beragam seperti kemampuan mengalirkan darah yang cukup berkurang, pneumotoraks, perdarahan, terbentuknya hematoma, robeknya arteri, hemotorak, embolisme, hemomediastinum, kelumpuhan saraf laring, trombosis, infeksi dan stenosis vena sentral, pseudoneurisma, iskhemia, dan sebagainya. Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas adanya bakteri dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu timbulnya infeksi, hipotensi, kram otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang diberikan rendah sodium), haus dan sindrom kehilangan keseimbangan (bila sodium tinggi), aritmia (rendah dan tinggi potasium), hipotensi ringan, hiperparatiroidisme, petekie (rendah kalsium dan magnesium), osteomalais, nausea, pandangan kabur, kelemahan otot, dan ataksia (tinggi magnesium). (O’Callaghan, C., 2007).

2.5. Landasan Teori

Black dan Hawks (2006) menyatakan bahwa semua jenis hipertensi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat penyakit, Studi case control di Swedia yang melibatkan 926 kasus dan 998 kelompok kontrol yang diamati selama tahun 1996-1998 menemukan bahwa terdapat


(26)

korelasi antara gaya hidup merokok, kelebihan berat badan, intake protein terhadap gagal ginjal kronik. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko mengalami gagal ginjal kronik sampai 52% dibandingkan tidak merokok, meskipun tidak ada hubungan antara banyaknya rokok yang dihisap setiap hari dan lama kebiasaan tersebut telah dilakukan, demikian halnya dengan kelebihan berat badan pada dewasa awal dan obesitas sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko mengalami gagal ginjal kronik, pada BMI (Body Mass Index) lebih dari 30 kg/ m² pada laki-laki dan 35 kg/m² pada wanita meningkatkan risiko 3 sampai 4 kali mengalami kerusakan ginjal. Sedangkan kebiasaan diet tinggi protein, menyebabkan seseorang mudah menderita diabetes yang memicu terjadinya nefropati diabetes yang menyebabkan gagal ginjal kronik (Ejerblad, E, 2004).

Menurut National Institut of Mental Health mengartikan depresi sebagai suatu penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan (mood), dan pikiran. Berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu. Penelitian Ejerblad Elisabeth, et al, 2004 terhadap 56 pasien yang memiliki diagnosis klinis nephrosclerosis hipertensi, hanya 26 pasien dengan penyakit nephrosclerosis hipertensi, 19 pasien memiliki penyakit pembuluh darah ateromatosa. Proses aterosklerosis di ginjal ditingkatkan oleh faktor risiko kardiovaskular yang umum termasuk merokok. Merokok menginduksi baik sistemik dan intrarenal perubahan hemodinamik yang dapat menjadi signifikan bagi perkembangan penyakit


(27)

ginjal. Merokok melukai ginjal dengan merusak microvasculature ginjal melalui stres oksidatif, mengurangi generasi oksida nitrat, dan meningkatkan konsentrasi plasma endotelin. Merokok-induced disfungsi sel tubular lanjut dapat menyebabkan cedera tubulointerstitial dan perkembangan CRF (Ejerblad, et al, 2004).

2.6. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dari teori dan konsep yang telah di paparkan sebelumnya. Kerangka ini berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka teori dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian dan memberikan arahan penelitian.

Kerangka teori dalam penelitian ini di susun berdasarkan rangkuman tinjauan pustaka, khususnya hubungan antara faktor risiko dengan tingkat kejadian GGK. Faktor yang berpengaruh pada angka kejadian GGK diklasifikasikan menjadi dua yaitu : faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat penyakit, dan faktor yang dapat dimodifikasi pekerjaan stress, obesitas, nutrisi, konsumsi zat berbahaya, aktivitas fisik, dan gaya hidup.


(28)

Kerangka teori secara sistematis dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian  Umur

 Jenis Kelamin  Pendidikan  Riwayat Penyakit Faktor yang

tidak dapat di modifikasi

Kejadian GGK dan tidak GGK

Stress Obesitas Nutrisi

Konsumsi zat berbahaya Aktivitas Fisik

Gaya Hidup

Faktor yang dapat di modifikasi


(29)

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Risiko

Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian Status Kesehatan

• Riwayat penyakit sebelumnya • Obesitas

• Stress

Kerentanan

Gagal Ginjal Kronis Gaya Hidup

• Penggunaan zat • Pola Konsumsi • Aktivitas Fisik

Sosiodemografi : • Umur

• Jenis kelamin • Pendidikan • Pekerjaan


(1)

sebagai usaha untuk memisahkan hasil-hasil metabolisme dari darah dengan bantuan proses difusi lewat membran yang semipermeabel (yang dapat menembus bahan-bahan sisa tapi tidak dapat ditembus oleh darah dan plasma). Membran yang semipermeabel ini memisahkan dua kompartemen dialisat yakni cairan yang menghisap hasil metabolisme (ureum). Proses ini merupakan proses difusi maka selain dari pada hasil metabolik dapat pula diatasi hiperkalemi asal saja cairan dialisatnya bebas kalium atau mengandung kalium yang rendah. Pemindahan metabolik maupun cairan atas dasar perbedaan konsentrasi antara plasma dan dialisat dengan cara filtrasi. Lamanya hemodialisa dapat diprediksi dari tekanan yang diberikan oleh mesin dialisa disamping jumlah darah yang melalui membran dialisa dalam waktu 1 menit.

2.4.3. Komplikasi Haemodialisa

Hemodialisa dapat memperpanjang usia meskipun tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa meliputi ketidakseimbangan cairan, hipervolemia, hipovolemia, hipertensi, hipotensi, ketidak seimbangan elektrolit, infeksi, perdarahan dan heparinisasi dan masalah-masalah peralatan yaitu aliran, konsentrasi, suhu dialisat, aliran kebocoran darah dan udara dalam sikuit dialisa (Hudak & Gallo, 1996).

Tindakan hemodialisa dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi yang berasal dari pemasangan kateter di pembuluh darah, berhubungan dengan air


(2)

yang digunakan, penggantian cairan, komposisi dialisis, membran hemodialisa, dosis yang tidak adekuat, karena antikoagulopati yang diberikan, dan komplikasi dari hemoperfusi. Komplikasi yang berasal dari selang yang dimasukkan ke pembuluh darah untuk tindakan hemodialisa beragam seperti kemampuan mengalirkan darah yang cukup berkurang, pneumotoraks, perdarahan, terbentuknya hematoma, robeknya arteri, hemotorak, embolisme, hemomediastinum, kelumpuhan saraf laring, trombosis, infeksi dan stenosis vena sentral, pseudoneurisma, iskhemia, dan sebagainya. Komplikasi terkait dengan air dan cairan yang diberikan terdiri atas adanya bakteri dan pirogen dalam air yang diberikan yang dapat memicu timbulnya infeksi, hipotensi, kram otot, hemolisis (bila komposisi elektrolit yang diberikan rendah sodium), haus dan sindrom kehilangan keseimbangan (bila sodium tinggi), aritmia (rendah dan tinggi potasium), hipotensi ringan, hiperparatiroidisme, petekie (rendah kalsium dan magnesium), osteomalais, nausea, pandangan kabur, kelemahan otot, dan ataksia (tinggi magnesium). (O’Callaghan, C., 2007).

2.5. Landasan Teori

Black dan Hawks (2006) menyatakan bahwa semua jenis hipertensi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor-faktor ini dapat diklasifikasikan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat penyakit, Studi case control di Swedia yang melibatkan 926 kasus dan 998 kelompok kontrol yang diamati selama tahun 1996-1998 menemukan bahwa terdapat


(3)

korelasi antara gaya hidup merokok, kelebihan berat badan, intake protein terhadap gagal ginjal kronik. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko mengalami gagal ginjal kronik sampai 52% dibandingkan tidak merokok, meskipun tidak ada hubungan antara banyaknya rokok yang dihisap setiap hari dan lama kebiasaan tersebut telah dilakukan, demikian halnya dengan kelebihan berat badan pada dewasa awal dan obesitas sangat berhubungan dengan meningkatnya risiko mengalami gagal ginjal kronik, pada BMI (Body Mass Index) lebih dari 30 kg/ m² pada laki-laki dan 35 kg/m² pada wanita meningkatkan risiko 3 sampai 4 kali mengalami kerusakan ginjal. Sedangkan kebiasaan diet tinggi protein, menyebabkan seseorang mudah menderita diabetes yang memicu terjadinya nefropati diabetes yang menyebabkan gagal ginjal kronik (Ejerblad, E, 2004).

Menurut National Institut of Mental Health mengartikan depresi sebagai suatu penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan (mood), dan pikiran. Berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu. Penelitian Ejerblad Elisabeth, et al, 2004 terhadap 56 pasien yang memiliki diagnosis klinis nephrosclerosis hipertensi, hanya 26 pasien dengan penyakit nephrosclerosis hipertensi, 19 pasien memiliki penyakit pembuluh darah ateromatosa. Proses aterosklerosis di ginjal ditingkatkan oleh faktor risiko kardiovaskular yang umum termasuk merokok. Merokok menginduksi baik sistemik dan intrarenal perubahan hemodinamik yang dapat menjadi signifikan bagi perkembangan penyakit


(4)

ginjal. Merokok melukai ginjal dengan merusak microvasculature ginjal melalui stres oksidatif, mengurangi generasi oksida nitrat, dan meningkatkan konsentrasi plasma endotelin. Merokok-induced disfungsi sel tubular lanjut dapat menyebabkan cedera tubulointerstitial dan perkembangan CRF (Ejerblad, et al, 2004).

2.6. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dari teori dan konsep yang telah di paparkan sebelumnya. Kerangka ini berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Kerangka teori dapat membantu menjawab pertanyaan penelitian dan memberikan arahan penelitian.

Kerangka teori dalam penelitian ini di susun berdasarkan rangkuman tinjauan pustaka, khususnya hubungan antara faktor risiko dengan tingkat kejadian GGK. Faktor yang berpengaruh pada angka kejadian GGK diklasifikasikan menjadi dua yaitu : faktor yang tidak dapat dimodifikasi umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat penyakit, dan faktor yang dapat dimodifikasi pekerjaan stress, obesitas, nutrisi, konsumsi zat berbahaya, aktivitas fisik, dan gaya hidup.


(5)

Kerangka teori secara sistematis dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 2.6 Kerangka Teori Penelitian  Umur

 Jenis Kelamin  Pendidikan  Riwayat Penyakit Faktor yang

tidak dapat di modifikasi

Kejadian GGK dan tidak GGK

Stress Obesitas Nutrisi

Konsumsi zat berbahaya Aktivitas Fisik

Gaya Hidup

Faktor yang dapat di modifikasi


(6)

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Risiko

Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian Status Kesehatan

• Riwayat penyakit sebelumnya • Obesitas

• Stress

Kerentanan

Gagal Ginjal Kronis Gaya Hidup

• Penggunaan zat • Pola Konsumsi • Aktivitas Fisik

Sosiodemografi : • Umur

• Jenis kelamin • Pendidikan • Pekerjaan