Hubungan Antara Sense of Humor Dengan Kebahagiaan Pada Lansia

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Humor

1. Definisi Humor

Lippman & Dunn (2000) menyatakan bahwa humor adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan rangsangan dan mengarahkan pada perasaan senang dan nyaman. Humor adalah sesuatu yang sangat berkaitan dengan respon tertawa. Menurut Ross (1999), humor adalah sesuatu yang membuat orang tertawa ataupun tersenyum dan digunakan sebagai alat untuk menarik perhatian. Richman (2000) berpendapat bahwa humor ialah sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan ketertarikan bagi banyak orang.

Taber, dkk (2007) menyatakan bahwa humor dapat dilihat dari beberapa cara, yaitu:

a) Sebagai stimulus, misalnya tayangan humor. b) Sebagai respon, misalnya tersenyum.

c) Sebagai proses kognitif, misalnya pemahaman terhadap humor.

d) Sebagai karakter kepribadian, misalnya afek dan emosi positif yang dihasilkan oleh humor.

e) Sebagai intervensi tarapeutik, misalnya terapi humor.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa humor ialah segala sesuatu (peristiwa, individu, ataupun stimulus-stimulus lainnya) yang dapat


(2)

Humor berbeda dengan komedi. Humor adalah suatu respon untuk tertawa yang sasarannya adalah diri sendiri ataupun kelompoknya sendiri. Seseorang yang membawakan humor disebut sebagai humoris, sedangkan komedi adalah naskah yang dibuat untuk membuat orang lain tertawa. Pelakunya disebut dengan komedian. Komedian merupakan aktor yang dituntut untuk memiliki kemampuan acting dan kemampuan menerjemahkan naskah komedi.

2. Tipe-Tipe Humor

Ross (1999) mengemukakan beberapa tipe humor, yaitu: a) Parodi

Parodi ialah tiruan-tiruan yang bertujuan hanya sebagai hiburan belaka hingga yang bersifat menyindir. Parodi terdiri dari dua rentang, yaitu ironi (bersifat sindiran halus) hingga satire (bersifat sindiran yang lebih kasar).

b) Permainan kata atau makna ambigu

Permainan kata atau makna ambigu terdiri atas:

1) Fonologi, yaitu bunyi yang menyusun bahasa. Fonologi terbagi atas dua, yaitu homofon (kata yang pengucapannya sama namun berbeda dalam hal penulisan) dan homonim (kata yang memiliki pengucapan dan penulisan yang sama namun berbeda makna).

2) Grafologi merujuk pada bagaimana cara suatu bahasa ditampilkan secara visual. Beberapa humor lebih dapat dipahami jika dihadirkan secara visual dibandingkan jika didengar langsung.


(3)

4) Lexis merujuk pada kata-kata dalam bahasa inggris yang diadaptasi dari bahasa lain.

5) Sintaks merujuk pada cara bagaimana suatu kalimat dibentuk sesuai dengan struktur bahasa agar memiliki makna.

c) Melanggar hal-hal yang dianggap tabu (taboo breaking)

Melanggar hal-hal yang dianggap tabu merupakan tipe humor yang terlepas dari hal-hal yang dianggap suci ataupun dilarang. Hal ini tergantung pada budaya masyarakat. Humor ini meliputi seks, kematian, agama, dll.

d) Hal-hal yang dapat diobservasi (obversational)

Tipe humor ini menggunakan hal-hal yang sepele yang mungkin sama sekali tidak menjadi pusat perhatian seseorang dan biasanya dialami oleh semua orang sehingga semua orang tanpa terkecuali menjadi bagian dari humor tersebut.

B. Sense of Humor

1. Definisi Sense of Humor

Sense of humor adalah sesuatu yang bersifat universal yaitu konsep dari berbagai bidang yang mempunyai banyak definisi. The American heritage dictionary mendefinisikan sense of humor sebagai kemampuan untuk mengamati, menikmati, atau mengekspresikan apa yang lucu (Apte, 2002). Selanjutnya Martin (2001) mendefinisikan sense of humor sebagai kebiasaan individu yang berbeda-beda pada setiap perilaku, pengalaman, perasaan, kesenangan, sikap, kemampuan untuk


(4)

Sedangkan Thorson & Powell (1997) mengatakan sense of humor adalah multidimensi dan di dalamnya termasuk kemampuan untuk membuat humor, mengenali humor, mengapresiasikan humor, menggunakan humor sebagai mekanisme coping dan untuk mencapai tujuan sosial.

Jadi berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sense of humor adalah gabungan dari beberapa dimensi yang di dalamnya termasuk kemampuan untuk membuat, mengenali, dan mengapresiasikan humor yang membuat seseorang tertawa ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan sebagai mekanisme coping serta untuk mencapai tujuan sosial.

2. Aspek-Aspek Sense of Humor

Thorson & Powell (1997) menyatakan empat aspek penting sense of humor, yang terdiri dari:

a. Humor Production

Kemampuan untuk menemukan sesuatu yang membuat seseorang tertawa ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan pada setiap peristiwa dan berhubungan dengan perasaan diterima oleh lingkungan.

b. Coping with Humor

Bagaimana individu menggunakan sesuatu yang membuat seseorang tertawa ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan untuk mengatasi emosional dan situasi yang mengandung stressful pada individu.


(5)

c. Humor Appreciation

Kemampuan untuk mengapresiasikan sesuatu yang membuat seseorang tertawa ataupun tersenyum dan menimbulkan kesenangan yang dihubungkan dengan internal locus of control seseorang, sebuah indikasi dari seberapa banyak individu mempersepsikan setiap peristiwa lucu sebagai bagian dari perilaku orang lain.

d. Attitude Toward Humor

Kecenderungan untuk tersenyum atau tertawa pada setiap situasi yang lucu. 3. Teori Humor

Ada beberapa teori humor yang sangat berpengaruh, yaitu: a) Teori ketidaksesuaian (the incongruity theory)

Teori ini fokus pada elemen keterkejutan (surprise). Humor muncul akibat adanya ketidaksesuaian pada apa yang diharapkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. ketidaksesuaian terjadi karena adanya makna ambigu dalam bahasa yang digunakan (Ross, 1999).

b) Teori kekuasaan (the superiority theory)

Hobes (dalam Ross, 1999) menyatakan bahwa tertawa merupakan kesenangan tiba-tiba yang dilakukan oleh orang yang melakukan penghinaan terhadap orang lain. Humor merupakan bentuk penghinaan terhadap orang lain untuk menunjukkan status dan kekuasaan mereka.


(6)

c) Teori pelepasan perasaan batin (the psychic release)

Teori ini menjelaskan bahwa tertawa dipacu oleh rasa ingin melepaskan ancaman-ancaman dalam hidup, seperti ingin mengurangi rasa takut akan kematian (Jacobson dalam Ross, 1999).

4. Dimensi Humor

Menurut Deshefy & Longhi (2004) humor terbagi atas 4 dimensi yaitu : a. Survival Humor

Humor ini digunakan ketika seseorang atau sekelompok orang harus beradaptasi pada kondisi yang jarang dihadapi, ekstrim, atau yang mengandung ancaman. b. Bonding Humor

Humor ini digunakan untuk membentuk ikatan/hubungan diantara individu, atau untuk membangun hubungan.

c. Celebatory Humor

Humor ini digunakan ketika mengalami sukacita atau kesenangan dan ingin membaginya dengan orang lain. Anak-anak yang biasanya mahir pada celebatory humor.

d. Coping Humor.

Humor ini digunakan untuk mengatur situasi atau kejadian mengancam yang menciptakan stres dan ketegangan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dimensi humor terbagi atas survival humor, bonding humor, celebatory humor, dan coping humor.


(7)

5. Fungsi Humor

Humor berperan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari fungsi yang diberikan humor. Nilsen (dalam Munandar, 1996) membagi humor menjadi empat fungsi yaitu :

a. Fungsi Fisiologik

Humor dapat mengalihkan susunan kimia internal seseorang dan mempunyai akibat yang sangat besar terhadap sistem tubuh seseorang, termasuk sistem saraf, peredaran darah, endokrin, dan sistem kekebalan.

b. Fungsi Psikologik

Humor efektif menolong seseorang menghadapi kesukaran. Kemampuan untuk melihat humor dalam suatu situasi merupakan salah satu yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap perubahan. c. Fungsi Pendidikan

Humor menyebabkan seseorang lebih waspada. Oleh karena itu humor merupakan alat belajar yang penting. Selain itu humor merupakan alat yang sangat efektif untuk membawa seseorang agar mendengarkan pembicaraaan dan merupakan alat persuasi yang baik.

d. Fungsi Sosial

Humor tidak saja dapat digunakan untuk mengikat seseorang atau kelompok yang disukai tetapi juga dapat menjauhkan seseorang dari orang atau kelompok yang tidak disukai.


(8)

6. Keuntungan Memiliki Sense of Humor

Menurut Martin (2001) mempunyai sense of humor mengandung banyak keuntungan. Individu dengan sense of humor yang lebih tinggi, lebih termotivasi, lebih ceria, dapat dipercaya dan mempunyai harga diri yang lebih tinggi. Kelly (2002) menyatakan bahwasannya salah satu keuntungan terbesar dengan memiliki sense of humor adalah pengaruhnya pada kesehatan. Pertama, humor bisa meningkatkan hubungan sosial, yang mana ini bisa berdampak meningkatkan kesehatan. Kedua, humor mempunyai efek secara tidak langsung pada tingkat stres. Ketiga, proses fisiologi yang dipengaruhi oleh humor, contohnya tertawa bisa mengurangi ketegangan saraf.

C. Kebahagiaan

1. Definisi Kebahagiaan

Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan orang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friends, good money, and goodness.

Menurut Diener, dkk kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction)


(9)

atau pada aspek-aspek tertentu dari kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, keluarga, keuangan, teman sebaya, waktu luang, dan diri sendiri. Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan (dalam Snyder & Lopez, 2002).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah ketika individu merasa puas terhadap hidup secara keseluruhan dan pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupannya dan individu juga cenderung merasakan emosi positif dibanding emosi negatif.

2. Komponen-Komponen Kebahagiaan

Diener (Eid & Larsen, 2008; Biswas-Diener & Dean, 2007) menyatakan bahwa kebahagiaan memiliki dua komponen yang berbeda yaitu:

a) Komponen kognitif yaitu meliputi life satisfaction dan domain satisfaction, dianggap sebagai komponen kognitif karena keduanya melakukan proses evaluasi terhadap kehidupan. Hal ini terjadi ketika individu berfikir seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction) atau berdasarkan aspek tertentu didalam kehidupannya (domain satisfaction) seperti kesehatan, keluarga, keuangan, pekerjaan, teman sebaya, waktu luang, dan diri sendiri. b) Komponen afektif yaitu meliputi positive affect (PA) dan negative affect (NA),

keduanya dianggap komponen afektif karena mencerminkan sejumlah perasaan senang dan tidak menyenangkan yang dialami individu di dalam kehidupan


(10)

mereka. Orang yang bahagia sering mengalami emosi yang positif, seperti rasa senang dan jarang mengalami emosi yang negatif seperti rasa sedih, marah, dll. 3. Ciri-Ciri Orang yang Bahagia

Berikut ini merupakan ciri-ciri orang yang membedakan antara orang bahagia dengan yang lainnya yang ditemukan oleh para peneliti (Biswas-Diener & dean, 2007):

a) Memiliki kesehatan yang baik

Deborah Danner dan koleganya meneliti para biarawati melalui pernyataan otobiografi pendek yang ditulis oleh biarawati. kemudian Danner menganalisis narasi untuk melihat ada atau tidak adanya kalimat positif dan negatif. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa biarawati yang memiliki nilai yang tinggi dalam mendeskripsikan diri secara positif menunjukkan dapat bertahan hidup dibanding rekan-rekannya.

b) Memiliki hubungan sosial yang bermanfaat

Diener dan Seligman menemukan bahwa orang yang bahagia cenderung memilki hubungan sosial yang bermanfaat. Mereka adalah orang yang memiliki pernikahan yang baik dan memiliki banyak teman yang bisa dipercaya.

c) Menggunakan kebiasaan berpikir positif

Penelitian menemukan perbedaan gaya berfikir antara orang yang bahagia dibanding yang lainnya. Hasilnya yaitu orang yang bahagia kurang rentan terhadap refleksi diri (perenungan), dan lebih kecil kemungkinannya untuk


(11)

terlibat dalam perbandingan dengan teman sebaya dan cenderung untuk menafsirkan peristiwa secara lebih positif.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan menurut Hurlock (1999) yaitu :

a) Kesehatan

Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia.

b) Tingkat Otonomi

Semakin besar tingkat otonomi yang dimiliki individu, maka semakin besar kesempatan individu untuk bahagia. Hal ini ditemukan baik pada masa kanak-kanak maupun masa dewasa.

c) Kesempatan-kesempatan interaksi diluar keluarga

Orang akan merasa bahagia jika memiliki hubungan sosial dengan seseorang di luar lingkungannya, ketimbang apabila hubungan sosial mereka terbatas pada anggota keluarga.

d) Kondisi kehidupan

Kondisi kehidupan akan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan teman-teman dan


(12)

tetangga di dalam masyarakat, sehingga cenderung memperbesar kebahagiaannya.

e) Pemilikan harta benda

Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu yang mempengaruhi kebahagiaan, melainkan cara orang merasakan pemilikan itu.

f) Keseimbangan antara harapan dan pencapaian

Jika harapan yang dimiliki individu tersebut realistis, maka orang tersebut akan puas dan bahagia jika tujuannya tercapai.

g) Penyesuaian emosional

Orang-orang yang bahagia mudah menyesuaikan diri dengan baik dan jarang mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, dan iri hati daripada mereka yang tidak bahagia.

h)Sikap terhadap periode usia tertentu

Pengalaman bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain semasa kanak-kanak pada usia itu dan sebagian oleh stereotip budaya.

i) Realisme dari konsep-diri

Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai. ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti dan diperlakukan kurang adil.


(13)

5. Kondisi Penting yang Menunjang Kebahagiaan pada Lansia

Menurut Hurlock (1999) ada beberapa kondisi penting yang dapat menunjang kebahagiaan pada lansia, yaitu:

a) Sikap yang menyenangkan terhadap usia lanjut berkembang sebagai akibat dari kontak pada usia sebelumnya dengan orang usia lanjut.

b) Kenangan yang menggembirakan sejak masa kanak-kanak sampai masa dewasanya.

c) Bebas untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan tanpa ada intervensi dari luar. d) Sikap yang realistis terhadap kenyataan dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan psikis sebagai akibat dari usia lanjut yang tidak dapat dihindari.

e) Menerima kenyataan diri dan kondisi hidup yang ada sekarang, walaupun kenyataan tersebut berada di bawah kondisi yang diharapkan.

f) Mempunyai kesempatan untuk memantapkan kepuasan dan pola hidup yang diterima oleh kelompok sosial dimana ia sebagai anggotanya.

g) Terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik. h) Diterima oleh dan memperoleh respek dari kelompok sosial.

i) Perasaan puas dengan status yang ada sekarang dan prestasi masa lalu. j) Puas dengan status perkawinannya dan kehidupan seksualnya.

k) Kesehatan cukup bagus tanpa mengalami masalah kesehatan yang kronis.


(14)

m) Menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-teman.

n) Melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara sukarela dilakukan,

o) Situasi keuangannya memadai untuk memenuhi seluruh keinginan dan kebutuhannya.

D. Lansia

1. Definisi Lansia

Lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan. Bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu, ia sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang, mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin (Haas, K. B., dalam Hurlock, 1999).

Papalia, dkk (2011) membagi lansia kedalam tiga kelompok. Pertama, lansia muda (young old) yaitu lansia yang biasanya sehat dan aktif dan secara umum dikatakan usia antara 65 sampai 74 tahun. Kedua, lansia tua (old old) yaitu merujuk kepada kelompok minoritas yang lemah terlepas dari kronologis usia dan berusia antara 75 sampai 84 tahun. Ketiga, Lansia tertua (oldest old) yaitu berusia 85 tahun ke atas, berkecendrungan lebih besar lemah dan tidak bugar serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian. Sedangkan menurut Hurlock (1999) lansia


(15)

dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami berbagai perubahan fisik dan permasalahan psikologis.

2. Ciri-Ciri Usia Lanjut

Hurlock (1999) mendefinisikan ciri-ciri usia lanjut sebagai berikut: a) Usia Lanjut Merupakan Periode Kemunduran

Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari faktor psikologis. Penyebab kemunduran adalah suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua. Sedangkan penyebab kemunduran psikologis adalah sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan, dan kehidupan pada umumnya.

b) Perbedaan Individual Pada Efek Menua

Dewasa ini, menua mempengaruhi orang-orang secara berbeda. Orang menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat bawaan yang berbeda, sosioekonomi dan latar pendidikan yang berbeda, dan pola hidup yang berbeda. c) Usia Tua Dinilai dengan Kriteria yang Berbeda

Pada waktu anak-anak mencapai remaja, mereka menilai usia lanjut dalam cara yang sama dengan cara penilaian orang dewasa, yaitu dalam hal penampilan diri


(16)

tersebut merupakan dua kriteria yang amat umum untuk menilai usia mereka, banyak orang berusia lanjut melakukan segala apa yang dapat mereka sembunyikan atau samarkan yang menyangkut tanda-tanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara mereka untuk menutupi diri dan membuat ilusi bahwa mereka belum lanjut usia.

d) Berbagai Setereotipe Orang Lanjut Usia

Dalam kebudayaan orang Amerika dewasa ini, terdapat banyak stereotipe orang lanjut usia dan banyak kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan mental. Stereotipe dan kepercayaan tradisional ini timbul dari berbagai sumber, 4 yang paling umum dijelaskan berikut ini:

Pertama, cerita rakyat dan dongeng, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, cenderung melukiskan usia lanjut sebagai usia yang tidak menyenangkan.

Kedua, orang yang berusia lanjut sering diberi tanda dan diartikan orang secara tidak menyenangkan oleh berbagai media massa.

Ketiga, berbagai humor dan canda yang berbeda juga menyangkut aspek negatif orang usia lanjut, dengan acara yang tidak menyenangkan dan klise yang sebagian besar lebih menekankan sikap ketololan sebagai orangtua daripada kebijakan.

Keempat, pendapat klise yang telah dikenal masyarakat tentang usia lanjut adalah pria dan wanita yang keadaan fisik dan mentalnya loyo, using, sering pikun,


(17)

jalannya membungkuk, dan sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya yang penuh dengan manfaat telah lewat, sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda.

e) Sikap Sosial Terhadap Usia Lanjut

Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap sosial baik terhadap usia lanjut maupun terhadap orang berusia lanjut. Dan karena kebanyakan pendapat klise tersebut tidak menyenangkan, maka sikap sosial tampaknya cenderung menjadi tidak menyenangkan.

f) Orang Usia Lanjut Mempunyai Status Kelompok-Minoritas

Status kelompok-minoritas ini terutama terjadi sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang usia lanjut dan diperkuat oleh pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka. Oleh karena itu, kelompok orang usia lanjut disebut sebagai warga negara kelas dua yang hidup dengan status bertahan dan mempunyai efek penting terhadap pribadi dan penyesuaian sosial mereka.

g) Menua Membutuhkan Perubahan Peran

Orang usia lanjut diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya dalam urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga halnya dalam dunia usaha dan profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh orang usia lanjut, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih dilakukan. Perubahan peran seperti ini sebaiknya dilakukan atas


(18)

kelompok sosial. Tetapi, pada kenyataan pengurangan dan perubahan peran ini banyak terjadi karena tekanan sosial.

h) Penyesuaian yang Buruk Merupakan Ciri-Ciri Usia Lanjut

Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi orang usia lanjut, yang nampak dalam cara orang memperlakukan mereka, maka tidak heran lagi kalau banyak orang usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk dengan tingkat kekerasan yang berbeda pula. Mereka yang pada masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan menyenangkan.

i) Keinginan Menjadi Muda Kembali Sangat Kuat pada Usia Lanjut

Status kelompok-minoritas yang dikenakan pada orang berusia lanjut secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak.

3. Tugas Perkembangan Lansia

Sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Berikut ini merupakan tugas-tugas perkembangan lansia yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1999):


(19)

a) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

Perubahan kondisi fisik terjadi pada lansia dan sebagian besar perubahan itu terjadi kearah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun usianya sama.

b) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga Kondisi-kondisi tertentu dapat membantu penyesuaian diri terhadap masa pensiun, sedangkan kondisi lain dapat menghambat penyesuaian. Sikap lansia terhadap pensiun pasti mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyesuaian. c) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

Penyesuaian terhadap kematian pasangan sangat sulit bagi pria maupun wanita usia lanjut, karena pada masa ini semua penyesuaian semakin sulit dilakukan. Penyesuaian terhadap kematian pasangan berbeda antara pria dan wanita. Bila pria kehilangan istrinya, segera setelah pensiun kejadian ini akan menambah kesulitannya dalam menyesuaikan diri terhadap masa pensiun. Sedangkan pada wanita, penyesuaian diri seringkali terasa sulit karena berkurangnya pendapatan yang sering diartikan pindah kedalam kehidupan lebih kecil atau lingkungan yang kurang diinginkan, misalnya tinggal dengan anak yang sudah menikah, atau hidup dalam suatu lembaga penyantunan.

d) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh


(20)

e) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua, seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian tersebut.

f) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Perubahan peran seringkali menyulitkan dan membangkitkan emosi. Semakin besar perubahan tersebut dan semakin berkurang prestige yang diperoleh dari peran baru, maka semakin besar penolakan terhadap perubahan peran. Individu akan merasa terganggu jika dipaksa oleh lingkungan untuk melakukan perubahan peran.

4. Perkembangan Psikososial Lansia

Banyak orang di usia lanjut menilai kembali hidup mereka, menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan, dan memutuskan cara terbaik menyalurkan energi mereka dan menghabiskan hari-hari, bulan, dan tahun yang tersisa. Mereka benar-benar menyadari akan berjalannya waktu, dan sebagian dari mereka ingin meninggalkan warisan untuk anak-anak mereka atau kepada dunia, menurunkan buah dari pengalaman mereka, dan memvalidasi makna dari hidup mereka. Namun yang lainnya ingin memanfaatkan kesempatan terakhir ini untuk menikmati masa lalu favorit mereka atau melakukan sesuatu yang tidak pernah sempat mereka lakukan ketika masih muda (Papalia, 2011).

Berlawanan dengan keyakinan umum bahwa lansia cenderung tertekan, mereka tumbuh semakin berisi dan puas dengan kehidupan. Dalam sebuah studi


(21)

longitudinal Charles, Reynolds, & Gatz (dalam Papalia, 2011) yang mengikuti empat generasi selama 33 tahun, emosi negatif yang bersifat self-reporting seperti kelelahan, kejenuhan, kesendirian, tidak bahagia, dan depresi menurun sejalan dengan usia (walaupun tingkatan penurunan tersebut melambat setelah usia 60 tahun). Pada waktu yang sama, emosionalitas positif seperti kegairahan, ketertarikan, rasa bangga, dan perasaan telah menyelesaikan tugas cenderung tetap stabil sampai akhir usia tua dan kemudian sedikit menurun secara gradual.

Ketika orang menjadi semakin tua, mereka mencoba mencari aktivitas dan orang-orang yang memberikan gratifikasi emosional kepada mereka. Selain itu, kemampuan lansia untuk mengatur emosi mereka dapat membantu menjelaskan mengapa mereka cenderung lebih bahagia dan ceria dibandingkan orang dewasa awal (Mroczek & Kolarz, dalam Papalia, 2011) dan semakin jarang mengalami emosi negatif dan lebih tangkas (Carstensen, dalam Papalia, 2011). Orang dengan kepribadian ekstrovert (berorientasi keluar dan sosial) dilaporkan pada awalnya cenderung memiliki tingkat emosi positif yang tinggi dan berkecenderung lebih besar dalam mempertahankan tingkat emosi positif tersebut sepanjang hidup dibandingkan orang lain. Orang-orang dengan kepribadian neurotik (angin-anginan (moody), mudah tersinggung (touchy), cemas, dan kaku cenderung melaporkan energi negatif dan cenderung menjadi semakin kurang positif dari waktu ke waktu (Charles et al dalam Papalia, 2011). Costa & Mc Crae mengatakan neurotisme merupakan prediktor perasaan dan gangguan perasaan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan usia, ras,


(22)

E. Hubungan antara Sense of Humor dengan Kebahagiaan pada Lansia

Menurut Diener, dkk kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu dari kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll. Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan (dalam Snyder & Lopez, 2002).

Lansia dapat menjadi usia yang bahagia jika memiliki kesehatan yang baik, ikatan keluarga, dan lingkungan sosial yang kuat, serta kondisi ekonomi yang memadai disertai hubungan interpersonal yang baik (Pratikwo, dkk, 2006). Lansia sering kehilangan kesempatan partisipasi dan hubungan sosial. Seiring dengan pertambahan usia, lansia akan mengalami proses degeneratif baik dari segi fisik maupun segi mental. Menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan orang lanjut usia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat menyebabkan interaksi sosial menurun (Fitria, dalam Sanjaya dan Rusdi, 2012).

Sebagai fenomena sosial, humor memainkan peranan penting dalam komunikasi interpersonal, sementara sense of humor dapat menjadi komponen penting dalam kompetensi sosial (Martin, 2001). Individu yang memiliki sense of humor yang tinggi diketahui dapat lebih baik menggunakan coping stress, menjalin hubungan dengan orang disekitarnya, dan memiliki mental dan fisik yang lebih sehat (Lefcourt, dalam


(23)

Martin, 2001). Ketika lansia dapat mengatasi perasaan stresnya dengan baik, maka perasaan sedih atau kecewa yang mungkin timbul akan berkurang, sehingga lansia akan memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwasanya sense of humor memiliki hubungan dengan kebahagiaan pada lansia. Lansia sering kali kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dan memiliki hubungan sosial. Padahal keterlibatan sosial mempunyai efek yang positif pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat menurunkan resiko kematian. Sebagai fenomena sosial, sense of humor memainkan peranan penting dalam kompetensi sosial. Dimana humor dapat mengurangi tingkat kecemasan dan stres individu serta meningkatkan kesehatan mental. Untuk itu ketika lansia dapat mengatasi perasaan stresnya dengan baik, maka lansia akan memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwasannya ada kaitan antara sense of humor dengan kebahagiaan pada lansia.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara sense of humor dengan kebahagiaan pada lansia.


(1)

kelompok sosial. Tetapi, pada kenyataan pengurangan dan perubahan peran ini banyak terjadi karena tekanan sosial.

h) Penyesuaian yang Buruk Merupakan Ciri-Ciri Usia Lanjut

Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi orang usia lanjut, yang nampak dalam cara orang memperlakukan mereka, maka tidak heran lagi kalau banyak orang usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk dengan tingkat kekerasan yang berbeda pula. Mereka yang pada masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan menyenangkan.

i) Keinginan Menjadi Muda Kembali Sangat Kuat pada Usia Lanjut

Status kelompok-minoritas yang dikenakan pada orang berusia lanjut secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak.

3. Tugas Perkembangan Lansia

Sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Berikut ini merupakan tugas-tugas perkembangan lansia yang dikemukakan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 1999):


(2)

a) Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan

Perubahan kondisi fisik terjadi pada lansia dan sebagian besar perubahan itu terjadi kearah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun usianya sama.

b) Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga Kondisi-kondisi tertentu dapat membantu penyesuaian diri terhadap masa pensiun, sedangkan kondisi lain dapat menghambat penyesuaian. Sikap lansia terhadap pensiun pasti mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyesuaian. c) Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

Penyesuaian terhadap kematian pasangan sangat sulit bagi pria maupun wanita usia lanjut, karena pada masa ini semua penyesuaian semakin sulit dilakukan. Penyesuaian terhadap kematian pasangan berbeda antara pria dan wanita. Bila pria kehilangan istrinya, segera setelah pensiun kejadian ini akan menambah kesulitannya dalam menyesuaikan diri terhadap masa pensiun. Sedangkan pada wanita, penyesuaian diri seringkali terasa sulit karena berkurangnya pendapatan yang sering diartikan pindah kedalam kehidupan lebih kecil atau lingkungan yang kurang diinginkan, misalnya tinggal dengan anak yang sudah menikah, atau hidup dalam suatu lembaga penyantunan.

d) Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia

Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.


(3)

e) Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua, seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian tersebut.

f) Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Perubahan peran seringkali menyulitkan dan membangkitkan emosi. Semakin besar perubahan tersebut dan semakin berkurang prestige yang diperoleh dari peran baru, maka semakin besar penolakan terhadap perubahan peran. Individu akan merasa terganggu jika dipaksa oleh lingkungan untuk melakukan perubahan peran.

4. Perkembangan Psikososial Lansia

Banyak orang di usia lanjut menilai kembali hidup mereka, menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan, dan memutuskan cara terbaik menyalurkan energi mereka dan menghabiskan hari-hari, bulan, dan tahun yang tersisa. Mereka benar-benar menyadari akan berjalannya waktu, dan sebagian dari mereka ingin meninggalkan warisan untuk anak-anak mereka atau kepada dunia, menurunkan buah dari pengalaman mereka, dan memvalidasi makna dari hidup mereka. Namun yang lainnya ingin memanfaatkan kesempatan terakhir ini untuk menikmati masa lalu favorit mereka atau melakukan sesuatu yang tidak pernah sempat mereka lakukan ketika masih muda (Papalia, 2011).

Berlawanan dengan keyakinan umum bahwa lansia cenderung tertekan, mereka tumbuh semakin berisi dan puas dengan kehidupan. Dalam sebuah studi


(4)

longitudinal Charles, Reynolds, & Gatz (dalam Papalia, 2011) yang mengikuti empat generasi selama 33 tahun, emosi negatif yang bersifat self-reporting seperti kelelahan, kejenuhan, kesendirian, tidak bahagia, dan depresi menurun sejalan dengan usia (walaupun tingkatan penurunan tersebut melambat setelah usia 60 tahun). Pada waktu yang sama, emosionalitas positif seperti kegairahan, ketertarikan, rasa bangga, dan perasaan telah menyelesaikan tugas cenderung tetap stabil sampai akhir usia tua dan kemudian sedikit menurun secara gradual.

Ketika orang menjadi semakin tua, mereka mencoba mencari aktivitas dan orang-orang yang memberikan gratifikasi emosional kepada mereka. Selain itu, kemampuan lansia untuk mengatur emosi mereka dapat membantu menjelaskan mengapa mereka cenderung lebih bahagia dan ceria dibandingkan orang dewasa awal (Mroczek & Kolarz, dalam Papalia, 2011) dan semakin jarang mengalami emosi negatif dan lebih tangkas (Carstensen, dalam Papalia, 2011). Orang dengan kepribadian ekstrovert (berorientasi keluar dan sosial) dilaporkan pada awalnya cenderung memiliki tingkat emosi positif yang tinggi dan berkecenderung lebih besar dalam mempertahankan tingkat emosi positif tersebut sepanjang hidup dibandingkan orang lain. Orang-orang dengan kepribadian neurotik (angin-anginan (moody), mudah tersinggung (touchy), cemas, dan kaku cenderung melaporkan energi negatif dan cenderung menjadi semakin kurang positif dari waktu ke waktu (Charles et al dalam Papalia, 2011). Costa & Mc Crae mengatakan neurotisme merupakan prediktor perasaan dan gangguan perasaan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan usia, ras, gender, pemasukan, pendidikan, dan status perkawinan (dalam Papalia, 2011).


(5)

E. Hubungan antara Sense of Humor dengan Kebahagiaan pada Lansia

Menurut Diener, dkk kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan (life satisfaction) atau pada aspek-aspek tertentu dari kehidupannya (domain satisfaction) seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll. Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan (dalam Snyder & Lopez, 2002).

Lansia dapat menjadi usia yang bahagia jika memiliki kesehatan yang baik, ikatan keluarga, dan lingkungan sosial yang kuat, serta kondisi ekonomi yang memadai disertai hubungan interpersonal yang baik (Pratikwo, dkk, 2006). Lansia sering kehilangan kesempatan partisipasi dan hubungan sosial. Seiring dengan pertambahan usia, lansia akan mengalami proses degeneratif baik dari segi fisik maupun segi mental. Menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan orang lanjut usia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat menyebabkan interaksi sosial menurun (Fitria, dalam Sanjaya dan Rusdi, 2012).

Sebagai fenomena sosial, humor memainkan peranan penting dalam komunikasi interpersonal, sementara sense of humor dapat menjadi komponen penting dalam kompetensi sosial (Martin, 2001). Individu yang memiliki sense of humor yang tinggi diketahui dapat lebih baik menggunakan coping stress, menjalin hubungan dengan orang disekitarnya, dan memiliki mental dan fisik yang lebih sehat (Lefcourt, dalam


(6)

Martin, 2001). Ketika lansia dapat mengatasi perasaan stresnya dengan baik, maka perasaan sedih atau kecewa yang mungkin timbul akan berkurang, sehingga lansia akan memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwasanya sense of humor memiliki hubungan dengan kebahagiaan pada lansia. Lansia sering kali kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dan memiliki hubungan sosial. Padahal keterlibatan sosial mempunyai efek yang positif pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat menurunkan resiko kematian. Sebagai fenomena sosial, sense of humor memainkan peranan penting dalam kompetensi sosial. Dimana humor dapat mengurangi tingkat kecemasan dan stres individu serta meningkatkan kesehatan mental. Untuk itu ketika lansia dapat mengatasi perasaan stresnya dengan baik, maka lansia akan memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwasannya ada kaitan antara sense of humor dengan kebahagiaan pada lansia.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara sense of humor dengan kebahagiaan pada lansia.