Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hans Kelsen1 menyatakan bahwa sumber hukum (Rechtsbron)2 dengan
sendirinya selalu berupa hukum, dimana norma hukum “yang lebih tinggi” dalam
hubungan dengan norma hukum “yang lebih rendah”, atau metode pembentukan
suatu norma “yang lebih rendah” yang ditentukan oleh norma “yang lebih tinggi”.
Norma dasar adalah sumber hukum, dengan pengertian yang lebih luas, bahwa
setiap norma hukum adalah sumber dari norma hukum lain yang pembentukannya
diatur oleh norma hukum tersebut dalam menentukan prosedur pembentukan dan
isi dari norma yang akan dibentuk.

1

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.
189. Lihat juga dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, 2012, hal. 106.
2

Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai

kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang
tegas dan nyata. CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 19.
Hans Kelsen menyatakan sumber hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu, istilah
tersebut tidak hanya digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan
legislasi, tetapi juga untuk mengkarakteristikkan alasan validitas hukum, khususnya alasan paling
akhir, norma dasar menjadi sumber hukum. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Loc.Cit.

1

2

Sumber hukum pada umumnya dapat ditinjau dari segi material dan segi
formil.3 Menurut Mahadi,4 yang menerangkan bahwa sumber hukum formil,
diantaranya:
Pertama, Undang-Undang dalam arti luas, meliputi: Undang-Undang Dasar
(grondwet, constitution), Undang-Undang biasa, Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan daerah (Perda).
Kedua, Hukum adat.
Ketiga, Hukum kebiasaan.
Keempat, Traktat.

Kelima, Yurisprudensi
Keenam, Doktrina.
Perjalanan ketatanegaraan5 di Republik Indonesia, menempatkan Pancasila
sebagai sumber dari seluruh sumber hukum negara.6 Menempatkan Pancasila

3

Sumber hukum segi materil ialah keyakinan dan perasaan hukum individu dan pendapat
umum (public opinion) yang menentukan isi (materi) dari hukum. Sumber hukum segi formil ialah
penentuan berlakunya hukum itu sendiri. Dari segi materil yang tertonjol ialah isinya, sedangkan dari
segi formil yang menonjol ialah berlakunya. M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju,
Bandung, 2008, hal. 37-38.
Mahadi sebagaimana dimuat dalam M. Solly Lubis, Hukum…, Op.Cit, hal. 38. Lihat juga
dalam CST. Kansil, Loc.Cit.
4

Bandingkan juga dengan pandangan Van Apeldoorn bahwa sumber hukum dalam arti formil
meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan, dan traktat. L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2011, hal. 78.
5


Ketatanegaraan berasal dari istilah Hindu-Jawa yakni tata dan negara, tata (susun) negara
(lingkungan kekuasaan Pemerintahan). Tata negara berarti susunan negara atau susunan Pemerintahan.
Ketatanegaraan berarti segala sesuatu mengenai susunan negara. Hukum ketatanegaraan adalah aturanaturan tentang Pemerintahan negara. Hukum ketatanegaraan dalam arti sempit hanya menguraikan
tentang aturan sesuatu negara tertentu yang dalam bahasa Belanda disebut staatsrecht (hukum negara)
dan dapat dilihat dari konstitusi. Hukum ketatanegaraan dalam arti luas bukan hanya menguraikan
aturan sesuatu negara negara melainkan termasuk hukum tata usaha (administrasi) negara
(administratiefrecht), bahkan termasuk juga hukum internasional. Hilman Hadikusuma, Bahasa
Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2010, hal. 44.

3

sebagai dasar filsafat7 dan ideologi8 negara, sehingga setiap materi muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu:9
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Republik
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
Ketatanegaraan harus ditulis dalam satu rangkaian kata, hal ini tentunya akan berbeda dengan

penulisan Hukum Tata Negara. Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008, hal. 2.
6

Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Lihat juga dalam, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta,
2007, hal. 59. Lihat juga dalam, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan
Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 379.
7

Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia tersimpul
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat,
yang berbunyi: “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. Pengertian kata “… dengan berdasarkan kepada …” hal ini secara yuridis memiliki
makna sebagai dasar negara. Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2013,
hal. 49.
Istilah ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti “gagasan, konsep, pengertian dasar,
cita” dan “logos” yang berarti “ilmu”. Kata “idea” berasal dari bahasa Yunani “eidos” yang artinya

“bentuk”, juga ada kata “idein” yang artinya “melihat”. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Ideologi sebagai suatu
rangkaian kesatuan cita yang mendasar dan menyeluruh yang jalin menjalin, menjadi suatu sistem
pemikiran yang logis, adalah bersumber kepada filsafat. Dengan kata lain ideologi sebagai suatu
system of thought mencari nilai, norma dan cita yang bersumber kepada filsafat, yang bersifat
mendasar dan nyata untuk diaktualisasikan, artinya secara potensial mempunyai kemungkinan
pelaksanaan yang tinggi, sehingga dapat memberi pengaruh positif, karena mampu membangkitkan
dinamika masyarakat tersebut secara nyata ke arah kemajuan. Ibid., hal. 60-65.
8

9

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat pada
pembukaan.

4

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan yang
maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Posisi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, turut
ditegaskan oleh M. Solly Lubis,10 yang menyatakan “Pancasila sebagai landasan
ideal dan sumber hukum materil, menentukan isi (materi) bahkan jiwa (semangat)
peraturan-peraturan hukum mengenai pengelolaan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat (tata laksana Pemerintahan dan tata laksana kemasyarakatan)”.
10

M. Solly Lubis, Hukum…, Op.Cit, hal. 50.

Hal senada juga diutarakan oleh Tan Kamelo, yang menyatakan bahwa “Pancasila harus
diletakkan sebagai basic norm (grundsnorm) dalam arti sesungguhnya bukan hanya (solifsistik) belaka,
proses pembentukan sistem hukum dengan kronologis demikian memperlihatkan adanya karakter
abstraksi dan derivasi hukum sehingga memiliki suatu kekuatan yang tangguh dari ancaman sistem

hukum asing. Dalam hal ini nilai hukum bangsa Indonesia sudah terformulasi dengan sangat indah
dalam filosofi bangsa (Pancasila), bersifat abstrak dan universal, mengandung keluhuran, dan telah
diuji beberapa kali dalam sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia. Nilai hukum yang dibentuk bukan
berasal dari nilai liberalisme, kapitalisme, individualisme, melainkan dibentuk dari nilai yang bersifat
teokratis, humanistik yang beradab, mendahulukan musyawarah, serta berkeadilan sosial”. Tan
Kamelo, Pemikiran Guru Besar Universitas Sumatera Utara Dalam pembangunan Nasional, Dewan
Guru Besar USU, Medan, 2012, hal. 98.
Lihat juga pandangan A Hamid S. Attamimi, yang menyatakan bahwa “Pancasila sebagai cita
hukum (Rechtsidee) lebih tepat mengingat cita ialah gagasan, rasa, cipta, pikiran. Dalam hal ini, bahwa
kelima (5) sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu”
yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan
perundang-undangan”. A. Hamid S. Attamimi, dalam Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan
1, Loc.Cit.

5

Seyogyanya dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
selaras dengan cita hukum (Rechtsidee) Indonesia, yakni Pancasila. Peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Adapun

jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:11
Pertama,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedua, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Ketiga, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Keempat, Peraturan Pemerintah.
Kelima, Peraturan Presiden.
Keenam, Peraturan Daerah Provinsi.
Ketujuh, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

11

Pasal 7 (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Patut juga ditelaah mengenai history lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Undang-Undang ini lahir dalam rangka
menyempurnakan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Adapun kelemahan dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, diantaranya: materinya banyak yang menimbulkan kerancuan atau
multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum, teknik penulisan banyak yang tidak
konsisten, terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun mengenai posisi kembalinya TAP MPR
dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menunjukkan beberapa

kewenangan strategis yang dimiliki oleh MPR, meski terjadi pada waktu-waktu yang ditentukan saja,
sehingga TAP MPR masih diperlukan dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Kedepannya TAP MPR yang akan lahir hanya berupa penetapan Undang-Undang Dasar,
pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi
kekosongan jabatan. Adapun mengenai penetapan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) hal ini bukan
kewenangan MPR, karena hal tersebut sudah dialihkan kepada Presiden. Delfina Gusman, Kedudukan
TAP MPR Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan
Perundang-undangan, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3, September 2012, hal. 445.

6

Peraturan Perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari politik
hukum,12 menurut pandangan Meuwissen13 yang menyebutkan bahwa pada
Peraturan Perundang-undangan dapat dibedakan 2 (dua) momen sentral,
diantaranya:
Pertama, Momen politik-idiil, hal menciptakan perundang-undangan adalah
tindakan politik, perundang-undangan adalah tujuan dan hasil proses-proses
politik.
Kedua, Momen sifat teknikal, dimana perundang-undangan adalah bentuk
yang paling sempurna yang didalamnya tidak hanya paham-paham politik

tetapi juga filsafat hukum dapat menjadi langsung relevan secara praktikal.
Menurut pandangan Mahfud M.D,14 bahwa hukum dan politik akan saling
mempengaruhi, hal ini dapat dilihat melalui 3 (tiga) faktor, diantaranya:

12

M. Solly Lubis menyatakan bahwa politik hukum yang menentukan peraturan hukum apa
yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan
wawasan politik hukum adalah konsep strategis yang memberikan arahan bagi politik hukum itu
sendiri, dan hal ini tercakup dalam wawasan nasional. M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum,
PT. Sofmedia, Medan, 2011, hal. 77.
Mahfud M.D menyatakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Mahfud M.D, Politik Hukum di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 1.
Soehino menyatakan bahwa politik hukum merupakan bagian ilmu pengetahuan hukum yang
membahas, memahami, dan mengkaji perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum dalam
rangka upaya memenuhi kebutuhan rakyat yang selalu mengalami perkembangan. Perkembangan
tersebut meliputi: perubahan dibidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Soehino, Politik Hukum di
Indonesia, BPFE , Yogyakarta, 2010, hal. 3.

13

Meuwissen sebagaimana dimuat dalam B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung,
2009, hal. 10.
14

Mahfud M.D, Politik…, Op.Cit, hal. 16.

Penting untuk ditelaah dalam masa Pemerintahan Orde Baru, dalam melaksanakan kebijakan
politik hukum yang berlandaskan dasar filsafat negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar

7

Pertama, Hukum determinan atas politik, dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan
politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Kedua, Politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan
(bahkan) saling bersaingan.
Ketiga, Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan, berada pada
posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang
lain, karena meskipun hukum produk keputusan politik, tetapi begitu hukum
ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

Perjalanan politik hukum di Indonesia, menempatkan Provinsi Aceh
sebagai salah satu satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus,
terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki
ketahanan dan daya juang tinggi.15 Pasca Proklamasi, Aceh pernah dikenal sebagai
daerah “modal”,16 juga sebagai daerah “konflik”.17

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara terencana ditetapkan setiap 5 (lima) tahun dalam
GBHN (Garis Besar Haluan Negara) oleh MPR, sebagai badan negara yang memegang kedaulatan
rakyat. GBHN 1993 antara lain menegaskan bahwa Penyusunan dan Perencanaan Hukum Nasional
harus dilakukan secara terpadu dalam sistem hukum nasional. Hukum merupakan salah satu sarana
penting untuk menegakkan ketertiban, keadilan, dan rasa tentram. GBHN 1993 juga mengamanatkan
untuk mewujudkan sistem hukum nasional, dan harus meletakkan dasarnya yang bersumber pada
kepribadian bangsa sendiri atau secara filosofis yuridis, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini untuk menghasilkan produk hukum sampai
materi tingkat peraturan pelaksanaannya. Proses pembentukan hukum perlu mengindahkan ketentuan
yang memenuhi beberapa nilai tertentu seperti nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan
kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat, dan nilai
yuridis yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Budiman Ginting, Kenangan Purnabakti Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH – Refleksi Hukum dan
Konstitusi di Era Reformasi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 409-420.
15

Aceh dalam sejarahnya dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang
disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad VI Masehi,
Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses yang
panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad XIII Masehi, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad XIV Masehi. Rakyat Aceh amat tunduk kepada ajaran
Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris
Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya

8

Konflik di Aceh bahkan berlangsung lebih dari 3 (tiga) dasawarsa. Konflik
ini bersifat multidimensi karena juga berakar dari berbagai macam faktor yang
Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian
dipraktikkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom,
hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya "hukum adat
di tangan Pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama". Kata-kata ini merupakan pencerminan
dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari bagi rakyat Aceh. Aceh kemudian
dikenal sebagai Serambi Mekah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah
lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Sebagaimana bunyi penjelasan pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keisitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
16

Aceh sebagai daerah modal diproklamirkan pertama sekali oleh Presiden Republik
Indonesia (Soekarno), hal ini diutarakan Soekarno pada 15 Juni 1948 ketika menghadiri apel militer di
Blang Padang, berikut pernyataan Soekarno: “...Rakyat Aceh dalam sejarah dikenal sebagai pejuang
yang paling gigih menentang penjajahan Belanda. Berpuluh-puluh tahun rakyat Aceh menentang
kolonialisme Belanda. Sekarang saatnya untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi persada tercinta
ini. Dimana-mana Belanda sudah mendirikan negara boneka untuk mengepung Republik Indonesia.
Sudah waktunya sekarang pemuda-pemuda Aceh yang berdarah pahlawan siap melakukan perang
sabil untuk mengusir kaum penjajah dari persada ibu pertiwi tercinta. Aceh adalah daerah modal.
Modal dalam meneruskan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan modal dalam perjuangan
mengusir kaum penjajah dari halaman rumah kita...”. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah Modal, Pelita
Persatuan, Jakarta, 1992, hal. 217-218.
17

Dalam Kamus Ilmiah Populer, konflik diartikan sebagai pertentangan paham, pertikaian,
persengketaan, perselisihan. Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Gitamedia Press, Surabaya,
2006, hal. 259.
Konflik di Aceh paska proklamasi terjadi dengan beberapa tahapan, baik melalui Perang
Cumbok, DI/TII, Negara Republik Islam Aceh, hingga yang terkini Gerakan Aceh Merdeka/GAM
(sampai sebelum ditanda tanganinya MoU Helsinki), hal ini pada dasarnya disebabkan oleh faktor
inkonsistensi Pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan kebijakan bagi Provinsi Aceh. Lihat
dalam Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka – Solusi, Harapan, dan Impian,
PT. Gramedia, Jakarta, 2001, hal. 1-30. Lihat juga dalam Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992, hal. 37-101. Lihat juga dalam M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997 hal. 127-165. Lihat juga dalam Al Chaidar, Gerakan Aceh
Merdeka, Madani Press, Jakarta, 1999, hal. 107-137. Lihat juga dalam Abu Jihad, Hasan Tiro dan
Pergolakan Aceh, Aksara Centra, Jakarta, 2000, hal. 9-10.
Konflik sebagai penghujung dari tidak berfungsinya mekanisme konvensional dalam
penyelesaian masalah sosial. Ketika berbagai masalah tidak dapat terselesaikan secara memuaskan
bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Mekanisme konvensional yang dimaksud dalam hal ini salah
satunya adalah kebijakan publik, baik yang dilakukan oleh negara (Pemerintah) atau stakeholder
lainnya di luar negara. Iqrak Sulhin, “MoU Helsinki dan Masa Depan Aceh”, http ://kriminologi1
.wordpress. com /2007/08/31/mou-helsinki-dan-masa-depan-aceh/, diakses pada tanggal 13 Maret
2012.

9

melatarbelakanginya, mulai dari faktor historis, kultur (identitas), dan politik.
Situasi dan kondisi yang pernah terjadi di Aceh merupakan ekspresi rakyat Aceh
yang

telah

dimarjinalkan

oleh

Pemerintah

Republik

Indonesia

dalam

mengakomodir kepentingan rakyat Aceh.18
Untuk meminimalisir “konflik” yang telah berlangsung lebih dari 3 (tiga)
dasawarsa, Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya,
diantaranya melalui politik hukum dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan,
yakni diantaranya melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keisitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 19 Kekhususan
18

Selama Pemerintahan Orde Baru, Aceh adalah salah satu wilayah kaya sumber daya, namun
miskin dalam pembangunan dan kesejahteraan. Penguasaan minyak dan gas, seperti di bagian utara
Aceh, oleh perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional justru tidak berdampak positif bagi
kesejahteraan rakyat Aceh sendiri. Hasil kekayaan Aceh “melayang” ke Pemerintah Republik
Indonesia. Penelitian LIPI (2001) memperlihatkan, bahwa salah satu akar permasalahan konflik Aceh
adalah problematika pembangunan pada masa Orde Baru yang menimbulkan ketimpangan sosial,
ekonomi, politik sentralisme, eksploitasi sumber kekayaan alam oleh (Pemerintah) pusat Iqrak Sulhin,
“MoU Helsinki dan Masa Depan Aceh”, http ://kriminologi1 .wordpress. com /2007/08/31/mouhelsinki-dan-masa-depan-aceh/, diakses pada tanggal 13 Maret 2012. Lihat juga dalam, Neta S. Pane,
Op.Cit, hal. 30-31.
Pasca Orde Baru, Aceh masih memperlihatkan gejolak. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati dalam menyelesaikan konflik Aceh, upaya yang
dilakukan untuk menyelesaikan konflik Aceh, oleh Pemerintahan Abdurrahman Wahid, maupun
Pemerintahan Megawati, diantaranya dengan menggunakan sistem perundingan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Namun berbagai kebijakan yang diambil tersebut
berakhir dengan terjadinya kembali insiden-insiden oleh kedua pihak, yakni antara Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sehingga konflik yang masih laten berpotensi
menjadi pecah kembali. Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nanggroe Endatu
Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh, Suara Bebas, Jakarta, 2006, hal. 59-79 dan 111-137. Lihat juga
dalam, Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal. 99-103.
19

Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Daerah Provinsi Aceh. Disebutkan keistimewaan yang dimiliki Provinsi Aceh adalah kewenangan
khusus untuk menyelenggarakan:

10

yang diberikan kepada Provinsi Aceh, juga tertuang dalam Undang-Undang No.
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,20 yang mengatur mengenai
Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus.

a. Penyelenggaraan kehidupan beragama.
b. Penyelenggaraan adat.
c. Penyelenggaraan pendidikan.
d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Keistimewaan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh sejatinya telah dimulai ketika Wakil Perdana
Menteri RI (Mr. Hardi) mengeluarkan surat keputusan No. 1/Missi/1959, tertanggal 16 Mei 1959, yang
menyatakan lahirnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang mempunyai otonomi dalam bidang
pendidikan, agama, dan adat istiadat. Lihat dalam, Neta S. Pane, Loc.Cit. Lihat juga dalam Hardi, Api
Nasionalisme Cuplikan Pengalaman, Gunung Agung, Jakarta, 1983, hal. 137.
20

Sebagaimana yang diketahui Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disahkan pada
tanggal 9 Agustus 2001, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah adanya
amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan demikian
Undang-Undang ini merupakan peraturan organik (Organieke Verordening) untuk Pasal 18B (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18B (1), berbunyi “negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan Undang-undang”.
Menarik untuk ditelaah, bahwa jauh sebelum adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya mengenai rumusan Pasal 18B yang berkaitan
dengan suatu Pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Di Aceh telah lebih dulu
lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang ini lahir pada tanggal 4 Oktober 1999.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada umumnya untuk menguatkan perihal
keistimewaan bagi Provinsi Aceh yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada Undang-Undang
No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki Aceh, diantaranya: Pengaturan
dana perimbangan, Pembentukan Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe sebagai penyelenggara adat,
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh Komisi Independen Pemilihan
(KIP), Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan persetujuan
Gubernur, Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian dari sistem
peradilan nasional oleh Mahkamah Syar‟iyah.

11

Adanya

Peraturan

Perundang-undangan

yang

mengatur

mengenai

keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh, tentunya diharapkan mampu untuk
mengakhiri konflik yang telah terjadi lebih dari 3 (tiga) dasawarsa di Provinsi
Aceh, akan tetapi kenyataannya kebijakan tersebut masih belum efektif. Dalam
rangka menyelesaikan konflik di Aceh, berbagai upaya telah ditempuh,
diantaranya pasca reformasi Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM)21 pernah melibatkan beberapa pihak asing,22 untuk membantu
menyelesaikan konflik tersebut.

21

GAM adalah akronim umum Indonesia untuk Gerakan Aceh Merdeka, yang sebelumnya
juga dikenal sebagai Aceh Merdeka (Free Aceh, AM). Nama asli dari gerakah tersebut dalam bahasa
Inggris adalah Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). Antje Missbach, Politik Jarak
Jauh Diaspora Aceh, Ombak, Yogyakarta, 2012, hal. 1.
Tahun 1976 deklarasi GAM berjudul “Declaration of Independence of Acheh-Sumatera”
menggunakan istilah National Liberation Front of Acheh Sumatera, selanjutnya istilah ini kemudian
diubah oleh Hasan Tiro menjadi Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), Neta S. Pane,
Op.Cit, hal. 49.
Terkait dengan perkembangan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). M. Isa Sulaiman membagi
aktifitas GAM menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:
a. Periode pertama, antara Tahun 1976-1982, pada periode ini aktifitas GAM yang ditandai
dengan keberadaan para pucuk pimpinan di Aceh meski pemimpim GAM (Hasan Tiro)
melarikan diri ke Swedia pada Tahun 1979, namun sampai sekitar Tahun 1982 mandat
kepemimpinan masih ditangan kelompok intinya di Aceh.
b. Periode kedua, antara Tahun 1982-1989, pada periode ini aktifitas GAM lebih banyak
diarahkan untuk menerbitkan buku, selebaran, dan menggalang opini internasional.
c. Periode ketiga, setelah Tahun 1989, pada periode ini sangat ditandai oleh pasang surutnya
gerakan perlawanan GAM kepada TNI, dengan beberapa aksi bersenjata maupun dengan
manuver politik di panggung internasional, tingginya tingkat perlawanan GAM ini
menyebabkan Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan status DOM (Daerah Operasi
Militer) di Aceh. M. Isa Sulaiman dalam Neta S. Pane, Op.Cit, hal. 105.
Bandingkan juga dengan pandangan Munawar A. Djalil, yang membagi aktifitas GAM menjadi
3 (tiga) fase, yakni:
a. Fase pertama sebelum pemilu 1977, pada fase ini kekuatan GAM masih terpusat di 3 (tiga)
kabupaten yaitu Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie.

12

Keterlibatan pihak asing untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di
Provinsi Aceh, terlihat sia-sia dan belum membawa dampak positif untuk
mengatasi konflik tersebut, dalam hal ini dikarenakan kedua belah pihak
(Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka), tidak melaksanakan
kesepakatan secara maksimal. Akan tetapi pada tanggal 15 Agustus 2005,

b. Fase kedua pada awal 1989, pada fase ini memajukan susunan organisasi dengan lebih baik
bagi Aceh Merdeka dan banyak dari kalangan pemuda Aceh mengikuti berbagai latihan yang
sangat dibutuhkan oleh suatu gerakan, hal ini dilakukan di Libya.
c. Fase ketiga Juni 1990, pada fase ini kekuatan GAM mengalami penurunan atau berkurang
akibat adanya pengiriman pasukan non organik di Aceh. Munawar A. Djalil, Hasan Tiro
Berontak Antara Alasan Historis-Yuridis-dan Realitas Sosial, Adnin Foundation Publisher,
Banda Aceh, 2009, hal. 50-52.
22

Keterlibatan pihak asing selaku mediator antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka, dimulai oleh HDC. HDC (The Henry Dunant Centre for Humanitarian
Dialogue, lalu berganti nama menjadi The Centre for Humanitarian Dialogue) adalah “a small,
relatively new, private organization based in switzerland”, yang dibiayai antara lain oleh US Agency
for International Development (USAID) dan UN Development Program (UNDP). Pada periode ini,
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menyepakati Jeda Kemanusiaan
(Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 60-62.
HDC merupakan suatu terobosan yang dirintis secara langsung oleh Presiden Abdurrahman
Wahid pada bulan Januari Tahun 2000 yang bertujuan untuk mengurangi akses kemanusiaan dari
konflik Aceh dan memperkecil kemungkinan terjadinya eskalasi politik. Diantara pihak asing tersebut,
adalah HDC adalah salah satu contoh organisasi non Pemerintah internasional (International NonGovernmental Organization) yang bergerak di bidang kemanusiaan. Nama Henry Dunant diambil dari
nama Jean Henry Dunant, seorang banker, penulis dan dermawan dari Swiss yang memprakarsai
pendirian Palang Merah Internasional dan Konvensi Jenewa Tahun 1864 tentang perlakuan terhadap
korban-korban perang. HDC diresmikan pada Januari Tahun 1999 dan terdaftar di bawah payung
Undang-Undang Swiss, dan berpusat di Jenewa, Swiss. Winnie Angie Utami, “Peran Henry Dunant
Centre (HDC) Dalam Upaya Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah RI- GAM”,
http://diplomasisenin1245.blogspot.com/2010/06/henry-dunant-centre-hdc-dan-peranannya.html,
diakses pada tanggal 13 Juli 2012.
Pada Tahun 2002, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),
kembali melanjutkan penandatanganan dari kedua pihak dalam suatu “Persetujuan Penghentian
Permusuhan (Cease of Hostilities Agreement – COHA)”, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember
2002, yang juga difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC). Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus
Hukum Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2007, hal. 129. Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid,
Op.Cit, hal. 118-137.

13

Pemerintah

Republik

Indonesia

dan

Gerakan

Aceh

Merdeka,

kembali

menandatangani Nota Kesepahaman (MoU Helsinki)23 yang dilaksanakan di
Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki yang ditandatangani oleh kedua belah pihak
merupakan upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara permanen yang
telah berlangsung 3 (tiga) dasawarsa ini.
Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani hampir 1 (satu) tahun pasca bencana
Gempa dan Tsunami, bencana masif tersebut seakan memaksa penyelesaian
konflik di Aceh. Pada bagian awal Nota Kesepahaman dicantumkan secara jelas
bahwa MoU Helsinki adalah bagian dari upaya pemulihan Aceh. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam pembukaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang berbunyi: 24
“Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
menegaskan komitmen kedua pihak untuk penyelesaian konflik di Aceh
secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para
pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat
Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam
Negara Kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin
bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan
memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26
23

MoU Helsinki merupakan hasil perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka, yang dimediatori oleh CMI (Crisis Management Initiative) yang di pimpin
oleh Marti Artisaari (selaku mantan Presiden Finlandia), tentunya dipilih CMI selaku mediator
bukanlah suatu kebetulan, tetapi telah dirancang sebelumnya oleh para perancang perundingan RI dan
GAM. Ikrar Nusa Bhakti, Op.Cit, hal. 119. Lihat juga dalam Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 176.
Pada pembukaan, “Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM (MoU Helsinki)”,
Finlandia, 2005.
24

14

Desember 2004 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang
terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya”.
Lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, seyogyanya telah melaksanakan ajaran
agama, khususnya dalam hal ini ajaran Agama Islam25 dimana nilai-nilai tentang
25

Yakni sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Ali Imran: 103:

                 
                  
Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk (Q.S Ali Imran: 103).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S An Nahl: 90:
               
 
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (Q.S An Nahl: 90).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Hujurat:9:
                 
               
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah
yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (Q.S Al Hujurat: 9).

15

perdamaian dijunjung untuk kemaslahatan umat, khususnya bagi rakyat Aceh dan
rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak hanya menitikberatkan pada perdamaian,
melainkan juga mensyariatkan untuk berlaku adil terhadap sesama.
Rakyat Indonesia, khususnya rakyat Aceh berharap agar perdamaian yang
telah terjalin di Aceh melalui Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dapat menjadi
perdamaian yang abadi. Oleh karenanya, segenap rakyat Aceh sangat berharap
point-point yang tertera pada Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara
Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, serta melalui
penjabarannya dapat diimplemantasikan secara keseluruhan, sehingga dapat
menghindari “gesekan” untuk memicu kembali konflik yang pernah terjadi.

Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Hujurat:10:
           
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat (Q.S Al Hujurat:10).
Juga sebagaimana firman Allah SWT, dalam Q.S Al Mumtahanah: 8:
                    
 
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (Q.S Al Mumtahanah: 8). Sumber: Departemen Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, CV. Toha Putra, Semarang, 1996.

16

Pada sisi yang lain, seluruh stakeholder yang berkepentingan di Provinsi
Aceh, juga harus memahami bahwa MoU Helsinki bukan sebagai bentuk
perjanjian

internasional,

sebagaimana

yang

diketahui

bahwa

perjanjian

internasional (traktat) dapat menjadi sumber hukum dalam perkembangan politik
hukum, khususnya di Provinsi Aceh. Untuk hal ini M. Solly Lubis,26 dalam
arahannya menerangkan bahwa MoU Helsinki tidak dapat diklasifikasi sebagai
suatu bentuk perjanjian internasional.27 Dengan argumentasi bahwa untuk dapat
M. Solly Lubis, SH, “diskusi pribadi dengan penulis”, pada tanggal 28 Oktober 2012, dan
pada tanggal 22 Januari 2013.
26

27

Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur
dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum publik, sesuai dengan Pasal 1 point a Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Selanjutnya, Pasal 4 (1) menyatakan bahwa “Pemerintah Republik Indonesia membuat
perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan
perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Sejatinya, konstitusi Indonesia juga mengatur terkait
perjanjian internasional, hal ini tertera pada Pasal 11 (1) yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain”.
Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain: treaty,
convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act,
arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi,
dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang
diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun
demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang
tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi
perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta
dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
Black‟s Law Dictionary mendefinisikan Memorandum of Understanding sebagai Letter of
Intent. Letter of Intent adalah “a written statement detailing the preliminary understanding of parties
who plan to enter into a contract or some other agreement, a noncommittal writting preliminary to a
contract”. (Black‟s Law Dictionary – Ninth Edition).
Sementara Erman Rajagukguk mendefinisikan MoU sebagai Dokumen yang memuat saling
pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari memorandum of understanding
harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat. Sumber: Wikipedia.

17

Namun demikian, terdapat pihak yang pro dan kontra dalam menanggapi posisi MoU Helsinki
sebagai bentuk perjanjian internasional atau tidak, diantaranya:
a. Argumentasi dari pihak yang kontra MoU Helsinki sebagai bahagian perjanjian internasional
diantaranya: Pemerintah RI hanya mengirim pejabat setingkat menteri yang tidak memiliki
'kapasitas' untuk mewakili negara menandatangani suatu perjanjian internasional. Menurut
mereka, Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, yang kemudian diadopsi pada
Pasal 7 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mengatur
bahwa untuk mewakili Indonesia dalam suatu perjanjian internasional diperlukan surat kuasa.
Tentunya, pengecualian dari ketentuan ini adalah Presiden dan Menteri Luar Negeri yang
tidak memerlukan surat kuasa. Pemerintah Republik Indonesia menganggap perundingan
dengan GAM adalah masalah dalam negeri Indonesia, karena Pemerintah Republik Indonesia
tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang bersengketa) sehingga dengan
begitu tidak bisa dianggap sebagai subyek hukum internasional. Holan, “Gerakan Aceh
Merdeka”, http://holan-hukum. blogspot.com /p/gerakan-aceh-merdeka-gam.html, diakses
pada tanggal 11 Juli 2012.
Argumentasi lainnya juga datang dari Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang
Yudhoyono), menyatakan bahwa “tidak ada campur tangan internasional, ... saya pastikan itu.
Memang, bagaimanapun akan diselesaikan dengan kerangka Indonesia sendiri. Tidak ada lain
kecuali otonomi khusus dan tentunya rakyat Aceh bisa membangun masa depannya dalam
kerangka NKRI”, Presiden Republik Indonesia (Susilo Bambang Yudhoyono) juga
menambahkan “bahwa Pemerintah Republik Indonesia meminta dunia juga mendukung
langkah-langkah Indonesia untuk mengatasi konflik di Aceh, itu sebagai penjelasan bahwa
Pemerintah Republik Indonesia ingin menyelesaikan masalah di Aceh sebaik mungkin”.
Presiden Republik Indonesia, “Penyelesaian GAM Tak Akan Diinternasionalkan”, (Kompas,
7 Februari 2005). Lihat juga dalam, Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 216.
Argumentasi lainnya juga diutarakan oleh Hamid Awaluddin (Menkumham), menyatakan
bahwa “dalam dialog perundingan 1-4, sifatnya pertemuan informal, dan adalah urusan
Indonesia dengan Aceh, bukan masalah internasional. Masalah Aceh akan menggunakan
pendekatan domestik, yakni pilar pertamanya adalah konstitusi, pilar keduanya berdasarkan
mozaik besar bangsa Indonesia, oleh karenanya tidak boleh secara subjektif mengklaim
memiliki hak istimewa yang berbeda dengan yang lain, pilar ketiganya adalah dalam
kerangka kekinian bangsa, tidak boleh menutup mata bahwa bangsa ini masih sensitif
terhadap isu perbedaan agama – daerah”. Hamid Awaluddin, “soal perundingan itu: itu urusan
Indonesia dengan Aceh”, (Media Indonesia, 23 Mei 2005). Lihat juga dalam, Ahmad Farhan
Hamid, Op.Cit, hal. 220.
b. Argumentasi dari pihak yang Pro MoU Helsinki sebagai bahagian dari perjanjian
internasional diantaranya: Pasal 7 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional
memang mengatur bahwa seseorang, selain kepala negara, kepala Pemerintahan, menteri luar
negeri & kepala perwakilan diplomatik) hanya dapat dianggap mewakili suatu negara dengan
sah dan demikian dapat mensahkan naskah suatu perjanjian internasional atas nama negara itu
dan atau mengikat negara itu pada perjanjian, apabila ia dapat menunjukkan surat kuasa
penuh (full powers atau credentials) kecuali jika dari semula peserta konferensi sudah
menentukan bahwa surat kuasa penuh tersebut tidak diperlukan. Dalam kasus Nota
Kesepahaman Pemerintah RI dengan GAM, walaupun Pemerintah RI hanya mengirimkan

18

diklasifikasi sebagai suatu perjanjian internasional, hal ini harus ditinjau
diantaranya dari subjek hukum, yang dimaksud dengan subjek hukum
internasional adalah Pemerintah dengan negara, atau dengan organisasi
internasional. Dalam hal ini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak dapat

pejabat setingkat menteri, yakni Hamid Awaludin selaku Menteri Hukum dan HAM yang
katanya tidak memiliki 'kapasitas' untuk mewakili negara untuk menandatangani suatu
perjanjian internasional, kecuali dengan adanya surat kuasa penuh, alasan tersebut terbantah
karena beberapa hal; a. Dalam Nota Kesepahaman tertulis "Signed in triplicate in Helsinki,
Finland on the 15 of August in the year 2005. On behalf of the Government of the Republic of
Indonesia, On behalf of the Free Aceh Movement ". Nota Kesepahaman tersebut dengan
sendirinya telah menjelaskan bahwa keberadaan Hamid Awaludin jelas bukan atas nama
pribadi akan tetapi atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan
diutusnya Hamid Awaludin secara resmi oleh Presiden RI yang kemudian dilanjutkan dengan
pengambilan kebijakan strategis oleh Presiden RI, misalnya dengan melepaskan seluruh
Narapidana dan Tahanan Politik GAM dari seluruh penjara di Indonesia. Langkah tersebutsecara langsung atau pun tidak, sesungguhnya merupakan 'pengesahan oleh pihak yang
berwenang dari suatu negara tertentu'. b. Keberadaan 'surat kuasa penuh' sesungguhnya lebih
merupakan syarat administratif yang tidak mutlak keberadaannya. Mengutip dari Muchtar
Kusumaatmadja, mengatakan bahwa keberadaan surat kuasa penuh tidak lagi diperlukan, jika
(1) dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat kuasa penuh tersebut tidak
diperlukan, (2) tindakan yang dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang
berwenang dari negara yang bersangkutan, (3) hukum internasional dewasa ini juga
memungkinkan seseorang yang tidak memiliki surat kuasa penuh, mewakili suatu negara asal
saja tindakan yang dilakukan orang tersebut kemudian disahkan oleh pihak yang berwenang
dari negara yang bersangkutan. Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional,
Binacipta, 1990, hal. 89-90.
Pemerintah RI memang tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak yang
bersengketa) akan tetapi dengan dilakukannya perjanjian antara Pemerintah RI dan GAM
sesungguhnya merupakan bentuk pengakuan secara tidak langsung kepada keberadaan GAM
dan pengakuan bahwa GAM adalah pihak yang bersengketa yang memiliki kedudukan sejajar
dengan Indonesia. Pakar hukum internasional Huala Adolf juga menyatakan MoU Helsinki
bahagian dari perjanjian internasional, dengan argumentasi bahwa telah diketahui banyak
pihak Presiden GAM Hasan Tiro dan Menlu GAM Zaini Abdullah keduanya
berkewarganegaraan Swedia, sementara penandatangan perjanjian tersebut Perdana Menteri
Malik Mahmud berkewarganegaraan Singapura. Walhasil, dari beberapa argumentasi tersebut
tentunya sulit untuk mengatakan bahwa permasalahan GAM hanya merupakan permasalahan
dalam negeri, sulit juga untuk dibantah bahwa GAM bukanlah subyek hukum internasional
yang tentunya diakui dan sah melakukan perjanjian internasional menurut hukum
internasional. Holan, “Gerakan Aceh Merdeka”, http://holan-hukum. blogspot.com
/p/gerakan-aceh-merdeka-gam.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2012.

19

diposisikan sebagai suatu negara, atau sebagai organisasi internasional, maupun
subjek hukum internasional lainnya (belligerent).28 Oleh karenanya, MoU Helsinki
hanya dikategorikan sebagai suatu kesepakatan biasa, bukan sebagai perjanjian
internasional.

28

Menurut teori tentang subjek hukum internasional, status belligerent sudah bisa dianggap
sebagai subjek hukum internasional, yang bukan saja dapat mempunyai personalitas (legal pers