Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia

KEDUDUKAN NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI)
ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN GERAKAN ACEH MERDEKA DALAM
HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
Cakra Arbas1
Husni Jalil2
Suhaidi3
Faisal Akbar Nasution4
ABSTRAK
Hans Kelsen menyatakan bahwa sumber hukum (Rechtsbron) dengan
sendirinya selalu berupa hukum, dimana norma hukum “yang lebih tinggi” dalam
hubungan dengan norma hukum “yang lebih rendah”, atau metode pembentukan
suatu norma “yang lebih rendah” yang ditentukan oleh norma “yang lebih tinggi”.
Praktik ketatanegaraan di Indonesia, memposisikan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, selanjutnya dijabarkan dalam bentuk jenis dan hierarki yang
berlaku. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menyatakan bahwa jenis dan hierarki terdiri atas UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Aceh sebagai salah satu
daerah otonom dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam praktik
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, secara berulang-ulang tidak hanya

memposisikan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
akan tetapi juga memposisikan MoU Helsinki sebagai salah satu sumber hukum. Hal
inilah yang perlu diteliti, (1) Mengapa Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka menyepakati lahirnya suatu Nota Kesepahaman (MoU Helsinki)
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ? (2) Bagaimana
Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam ranah Hukum Tata Negara Republik
Indonesia ? (3) Mengapa Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dalam implementasinya menjadi cita
hukum (Rechtsidee) dalam perkembangan politik hukum di Provinsi Aceh ?
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif, dan
menerapkan penelitian preskriptif. Menggunakan pendekatan penelitian yuridis
1
2
3
4

Pegawai Negeri Sipil, pada Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang.
Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh.
Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan.

i

normatif, historis, non yuridis (aspek politis), futuristik. Sumber data yaitu data
sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan. Analisis data
dilakukan dengan analisis kualitatif, proses analisa data selain menggunakan data
hukum juga dimungkinkan untuk menggunakan data-data non hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa (1) Pemerintah Republik
Indonesia dan GAM menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki)
Antara Pemerintah Republik Indonesia dan GAM, hal ini memiliki beberapa
landasan, yaitu: a. Landasan Filosofis, yakni Pancasila, b. Landasan Yuridis, yakni
TAP MPR No. VI/MPR/2002, c. Landasan Politis, yakni political will Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, d. Peristiwa Bencana Alam, yakni Gempa dan
Tsunami Tahun 2004. (2) Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) dalam
ranah Hukum Tata Negara, dapat diposisikan sebagai sumber hukum materil, akan
tetapi MoU Helsinki tidak mempunyai bentuk-bentuk dalam sumber hukum formal,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Hukum Internasional,

Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tidak dapat diposisikan sebagai bentuk dari
perjanjian internasional, karena salah satu pihak (GAM) tidak memenuhi unsur-unsur
dalam subjek hukum internasional. (3) Adanya stakeholder yang acapkali
memposisikan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) sebagai rechtsidee, khususnya
dalam perkembangan politik hukum melalui Peraturan Perundang-undangan, hal ini
disebabkan oleh faktor adanya perbedaan interpretasi norma yang tertuang dalam
Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Pada sisi yang lain, adanya ketergoncangan paradigma
(shock of paradigma) diantara stakeholder yang berkepentingan di Aceh, hal ini
dilatarbelakangi akibat adanya keterlambatan dari Pemerintah Republik Indonesia
untuk mengimplementasikan seluruh norma yang telah diamanatkan dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: (1) Pemerintah
Republik Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya segera untuk
mengimplementasikan berbagai peraturan organik dari Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, (2) Stakeholder yang berkepentingan di
Aceh dalam menyelenggarakan Pemerintahan di Aceh, harus bersikap paradigmatic.
Khususnya memposisikan rechtsidee sebagai paradigma filosofis, sistem hukum
nasional sebagai paradigma yuridis, dan self government sebagai paradigma politis,
(3) Stakeholder di Aceh yang memiliki kewenangan secara langsung dalam proses
pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam membentuk berbagai macam

Peraturan Perundang-undangan agar sesuai, taat, dan patuh pada asas dan teori
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik.
Kata Kunci : MoU

Helsinki,

Hukum

Tata

ii

Negara,

Hukum

Internasional

THE POSITION OF THE MEMORANDUM OF UNDERSTANDING
(HELSINKI MoU) BETWEEN THE GOVERNMENT OF

THE REPUBLIC INDONESIA AND THE FREE ACEH MOVEMENT
IN THE INDONESIAN CONSTITUTIONAL LAW
Cakra Arbas1
Husni Jalil2
Suhaidi3
Faisal Akbar Nasution4
ABSTRACT
Hans Kelsen states that legal source (Rechtsbron) is usually a law in which a
legal norm “is higher” than “a low legal norm,” or, a low establishment of a norm is
determined by a “higher norm.” The practice in constitutional in Indonesia positions
Pancasila as the source of all legal sources and is simplified in the form of the
prevailing types and hierarchies. Law No. 12/2011 on the Establishment of Legal
Provisions states that the types and hierarchies consist of the 1945 Constitution of
the Republic of Indonesia, the Ruling of the People’s Consultative Assembly,
Law/Regulation in Lieu of Law, Government Regulations, Presidential Regulations,
and Provincial District/Town Government Regulations. Aceh as one of the regional
Autonomies in the context of the Unitary State of the Republic of Indonesia, in
practicing the organizing of regional government, repeatedly stated that it did not
only position the type and hierarchy of legal provisions according to Law No.
13/2011 on the Establishment of Legal Provisions but also positioned Helsinki MoU

as one of the legal sources. The problems of the research were as follows: 1) why the
Indonesian Government and the Acehnese Freedom Movement agreed on the
Memorandum of Understanding (Helsinki MoU) between the Indonesian Government
and the Acehnese Freedom Movement, 2) how about the position of the Memorandum
of Understanding (Helsinki MoU) between the Indonesian Government and the
Acehnese Freedom Movement in the domain of the Indonesian Constitutional Law,
and 3) why the implementation of the Memorandum of Understanding (Helsinki
MoU) between the Indonesian Government and the Acehnese Freedom Movement
became a Rechtsidee (legal right idea) in the legal political development in Aceh.

1

Civil Servant, District of Aceh Tamiang.

2

Professor of the Faculty of Law, University of Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh .

3


Professor of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara, Medan.

4

Lecturer of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara, Medan.

iii

The research used judicial normative, prescriptive, non-judicial (political
aspect), and futuristic approaches. The secondary data consisted of primary,
secondary, and tertiary legal materials. The data were analyzed qualitatively, using
both judicial and non-judicial data.
The result of the research showed that 1) the Indonesian government and the
Acehnese Freedom Movement agreed on the Memorandum of Understanding
(Helsinki MoU) between the Indonesian Government and the Acehnese Freedom
Movement which were based on some foundations: a. philosophical foundation
(Pancasila), b. judicial foundation (TAP MPR No. VI/MPR/2002, c. political
foundation (the political will of the President Susilo Bambang Yudhoyono and the
Vice President Jusuf Kalla, and d. natural disaster (the earthquake and tsunami in
2004), 2) the position of the Memorandum of Understanding (Helsinki MoU) in the

domain of the Indonesian Constitutional Law could be positioned as the legal
material source, but Helsinki MoU did not have any forms in formal legal source as it
was stipulated in Law No. 12/2011 on the Establishment of legal provisions. Based
on the International Law, the Memorandum of Understanding (Helsinki MoU) could
not be positioned as the form of the International agreement because one of the
parties (the Acehnese Freedom Movement) did not meet the elements of the subject of
the international law, and 3) there were some stakeholders who often positioned the
Memorandum of Understanding (Helsinki MoU) as Rechtsidee, especially in the legal
political development through legal provisions. This was because of the factor of the
difference in interpreting the norms embodied in the Memorandum of Understanding
(Helsinki MoU) and in Law No. 11/2006 on Aceh system of government. Besides that,
there was shock of paradigm among the stockholders in Aceh which was caused by
the slowdown of the Indonesian government in implementing all norms which had
been confided by Law No. 11/2006 on Aceh system of government.
It is recommended that 1) the Indonesian government should implement
various organic regulations in Law No. 11/2006 on Aceh system of government as
soon as possible, 2) all stakeholders in Aceh should be pragmatic in running the
government system, especially in positioning Rechtsidee as philosophical paradigm,
national law as judicial paradigm, and self-government as political paradigm, and 3)
all stakeholders in Aceh who have direct authority in the process of establishing legal

provisions to establish legal provisions should comply with the principles and
theories of the establishment of good legal provisions, laws, and regulations.
Keywords: Helsinki MoU, Constitutional Law, International Law

iiii