Kedudukan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia

BAB II
NOTA KESEPAHAMAN (MoU HELSINKI) ANTARA PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA

A. Dinamika Peraturan Perundang-undangan tentang Aceh
Indonesia

melalui

Peraturan

Perundang-undangan

mengakui

dan

menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa, hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18B UndangUndang

Dasar


ketatanegaraan

Negara
Republik

Republik

Indonesia

Indonesia

Tahun

menempatkan

1945.132

Aceh


Perjalanan

sebagai

satuan

Pemerintahan Daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan rakyat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi.
Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh turut mengalami dinamika
sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, khususnya mengenai
substantif terkait kewenangan Aceh. Adapun dinamika Peraturan Perundangundangan tersebut dapat digambarkan melalui skema 2.1 berikut ini:

132

Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan
bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”.
79


80

Skema 2.1133
Konstitusi dan dinamika peraturan perundang-undangan tentang Aceh

X

X

X

X

X

X

X

X


133

xxx

81

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) telah menetapkan terkait wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu:134
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.


Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Timur
Provinsi Sumatera
Provinsi Borneo
Provinsi Sulawesi
Provinsi Maluku
Provinsi Sunda Kecil

Menelaah Ketetapan yang ditetapkan PPKI, dan berdasarkan demografi
Aceh secara otomatis berada dalam lingkup Provinsi Sumatera yang
berkedudukan di Medan. Selanjutnya Mr T. M. Hasan diangkat sebagai
Gubernur Provinsi Sumatera. Pada periode ini Aceh hanya sebagai salah satu
keresidenan yang ada dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang
pertama yakni T. Nyak Arif dan Wakil Residennya T. M. Ali Panglima
Polim.135

134


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh ,
Depdikbud, Jakarta, 1977, hal. 180. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,
Pemerintahan Daerah di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 22.
135

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Loc.Cit.

82

Pada perkembangannya kegiatan Pemerintahan di daerah Aceh baru
berjalan pada awal bulan Oktober 1945, setelah keluarnya penetapan dari
Gubernur Negara Republik Indonesia Provinsi Sumatera, tepatnya pada tanggal
3 Oktober 1945, tentang pengangkatan pejabat Pemerintah Negara Republik
Indonesia di seluruh Sumatera. Dalam melaksanakan Pemerintahan di daerah
Aceh, T. Nyak Arif dibantu oleh Komite Nasional Daerah yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang ditetapkan pada tanggal 23
November 1945.136
Perkembangan Residen Aceh, sejak pertengahan bulan Januari 1946,
diangkat T. Daud Syah, yang juga merangkap sebagai Ketua Komite Nasional

Daerah. Selanjutnya pada 26 Agustus 1947 ditetapkan daerah-daerah
Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Tanah Karo menjadi
suatu Daerah Militer Istimewa, serta mengangkat Tgk M. Daud Beureueh
sebagai Gubernur Militer di daerah tersebut dengan pangkat Jenderal Mayor
Tituler.137

136

Ibid .

137

Perubahan bentuk di Aceh ini adalah sejalan dengan usaha untuk menyusun pertahanan
yang kokoh dalam usaha mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I
dan II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 182.
Adapun latar belakang lahirnya posisi Gubernur Militer diantaranya pada masa Agresi Militer
Belanda, terjadi pergolakan pada sistem Pemerintahan di Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan adanya PDRI, Belanda tidak dapat berkata
lagi bahwa Republik Indonesia sudah hancur lebur berhubung Presiden dan Wakil Presiden berada


83

2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam
Tiga Provinsi
Lahirnya Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian
Sumatera Dalam Tiga Provinsi, yang pada intinya menetapkan bahwa daerah
Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu:138
a. Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera
timur, dan Tapanuli.
b. Provinsi Sumatera Tengah, yang meliputi Keresidenan Sumatera Barat,
Riau, dan Jambi.
dalam tahanan mereka. Untuk perjuangan selanjutnya Sumatera dijadikan Daerah Militer yang
dipimpin oleh Gubernur Militer, hal ini ditujukan untuk memperlancar roda Pemerintahan baik sipil
maupun militer. Oleh karena keadaan di Sumatera berlainan dengan di Jawa dan residen-residen
Sumatera berpendidikan cukup dan berpengalaman selama 3 (tiga) tahun berevolusi serta cukup
berwibawa menghadapi rakyat dan tentara, maka diangkatlah Gubernur Militer yang semuanya adalah
terdiri dari orang-orang sipil, sehingga susunan Gubernur Militernya adalah:
a. Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo adalah Tgk M. Daud
Beureueh.
b. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera timur dan Tapanuli adalah Dr. Ferdinand Lumban

Tobing.
c. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Barat adalah Mr. St Moh. Rasyid.
d. Gubernur Militer untuk daerah Riau adalah R.M. Oetoyo.
e. Gubernur Militer untuk daerah Sumatera Selatan dan Jambi adalah Dr. Adnan Kapau Gani.
Teuku Moehammad Hasan, Gubernur Sumatera Dari Aceh Ke Pemersatu Bangsa , Papas
Sinar Sinanti, Jakarta, 1999, hal. 490-491. Lihat juga dalam Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam
Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 , Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1998, hal. 400.
Patut juga untuk ditelaah bahwa paska terjadinya konflik horizontal di Aceh (periode tahun
1946) yakni peristiwa Cumbok. Gubernur Sumatera mengeluarkan Ketetapan No. 204 bertanggal 11
Agustus 1946, bahwa kondisi Pemerintahan di Aceh pada waktu itu dipimpin oleh 2 (dua)
Pemerintahan, yaitu sipil dan militer. Adapun Pemerintahan sipil dipimpin oleh Mr. S. M. Amin yang
menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara yang berkedudukan di Banda Aceh. Sedangkan
Pemerintahan militer dipimpin oleh Tgk M. Daud Beureueh yang menjabat Gubernur militer Aceh,
Langkat, dan Tanah Karo. Abdullah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik Dalam Sejarah
Pemerintahan di Aceh , Puslitbang Lektur Keagamaan, Jakarta, hal. 181.
138

Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatera Dalam Tiga
Provinsi. Provinsi Sumatera Utara dengan Gubernurnya Mr S. M. Amin, Provinsi Sumatera Tengah

dengan Gubernurnya Mr M. Nasrun, Provinsi Sumatera Selatan dengan Gubernurnya Dr. Isa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184.

84

c. Provinsi Sumatera Selatan, yang meliputi Keresidenan Bengkulen,
Palembang, Lampung, dan Bangka Belitong.

Provinsi Sumatera Utara meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur
dan Tapanuli. Akan tetapi karena suasana/keadaan yang masih belum terjamin
keamanannya,

berbagai

ketetapan-ketetapan

tersebut

tidak


dapat

berjalan/dilaksanakan sehingga Daerah Militer Istimewa bagi Aceh –
Kabupaten Langkat – Kabupaten Tanah Karo masih tetap berjalan. Adapun
segala pertanggung jawaban Pemerintah Sipil dan Militer tetap dibebankan
kepada Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh. Posisi Gubernur
Sumatera hanya merupakan Komisaris Daerah yang bertugas untuk
mengadakan pengawasan dan memberikan tuntutan terhadap jalannya
Pemerintahan. Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Militer ini
diperkuat lagi berdasarkan Keputusan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta Keputusan No.
22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, yang melimpahkan kekuasaan sipil dan
militer berada pada tangan Gubernur Militer, yakni Tgk M. Daud Beureueh.139
Pada periode Tahun 1948, dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, turut dilahirkan juga Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, kehadiran Undang-Undang tersebut juga
139

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Keputusan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949, serta
Keputusan No. 22/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949.

85

berimplikasi terkait Pemerintahan Daerah di Sumatera yang sebelumnya telah
lebih dahulu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 tentang
Pembagian Sumatera Dalam Tiga Provinsi.
Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, pada dasarnya membawa implikasi yang positif dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sebagaimana yang
ditegaskan dalam Pasal 1140 bahwa daerah-daerah yang dapat mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Daerah Otonom (biasa).
b. Daerah Istimewa.141
Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, substansi lainnya juga membagi daerah Indonesia
menjadi 3 (tiga) daerah otonom yang selanjutnya menjadi cikal bakal sampai
dengan dewasa ini, yaitu Provinsi, Kabupaten, Desa. Sedangkan Keresidenan
meskipun mempunyai lembaga DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini tentunya berbeda dengan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 1
140
141

Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Adapun yang dimaksud dengan daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hal asalusul dan di zaman Republik Indonesia mempunyai Pemerintahan yang bersifat istimewa
(zelfbesturende landschappen). Keistimewaan daerah adalah bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah
istimewa diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah
itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya. C.S.T. Kansil dan
Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia , Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 25.

86

Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, yang telah menetapkan
Keresidenan sebagai daerah otonom.142

3. Peraturan

Wakil-Wakil

Perdana

Menteri

Pengganti

Peraturan

Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi
Aceh
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan
dan Kekuasaan Wakil Perdana Menteri di Sumatera,143 yakni pada tanggal 30
September 1949 diangkat Mr Syafruddin Prawiranegara sebagai Wakil Perdana
Menteri yang berkedudukan di Sumatera, untuk melancarkan jalannya roda
Pemerintahan. Adapun pusat Pemerintahan di Sumatera ini dipindahkan ke
Kutaraja, sejak Bukit Tinggi jatuh ke tangan Belanda pada masa Agresi
Belanda II.144

142

Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah , Laksbang Mediatama, Surabaya,
2008, hal. 37.
143

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1949 tentang Kedudukan dan Kekuasaan
Wakil Perdana Menteri di Sumatera, disebutkan bahwa “di daerah Sumatera dapat ditempatkan
seorang Wakil Perdana Menteri”. Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa “Kepada Wakil Perdana
Menteri tersebut dalam Pasal 1 diberi kekuasaan, dalam keadaan yang memaksa, untuk daerah
Sumatera atau sebagian dari daerah Sumatera, atas nama Presiden menetapkan peraturan :”
a. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Undang-Undang, Peraturan ini dinamakan
Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Undang-Undang.
b. Yang masalahnya seharusnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan ini dinamakan
Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah.
144

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Tgk. A.K.
Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.

87

Pada masa Pemerintahan Wakil Perdana Menteri Mr Syafruddin
Prawiranegara, bentuk Pemerintahan di Sumatera Utara dan Aceh mengalami
perubahan lagi. Dalam hal ini berdasarkan Peraturan Wakil-Wakil Perdana
Menteri pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, yang
selanjutnya Provinsi Sumatera Utara dipecah menjadi 2 (dua) Provinsi, yaitu:145
a. Provinsi Aceh, untuk Gubernurnya diangkat Tgk M. Daud Beureueh.
b. Provinsi Tapanuli Sumatera Timur, yang mulai berlaku sejak tanggal 1
Januari 1950.
Perkembangan yang terjadi paska pembagian Provinsi Sumatera Utara,
atas Provinsi Aceh, dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur telah menimbulkan
friksi dari berbagai pihak, baik dari masyarakat, maupun dari Pemerintah
Republik Indonesia. Bagi yang kontra akan hal ini, menilai pembentukan
Provinsi Aceh ini jelas sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 22
Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, sekaligus mempersulit
Pemerintah Republik Indonesia dalam usaha untuk merealisasikan semua hasil
yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Di sisi lain, bagi pihak
yang pro akan hal ini tetap berusaha untuk mempertahankan agar status otonom

145

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 184. Lihat juga dalam Peraturan
Wakil-Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949 tentang
Pembentukan Provinsi Aceh.

88

bagi Aceh tetap berjalan, sekaligus menyatakan bahwa pembentukan Provinsi
Aceh adalah merupakan keinginan dari rakyat Aceh.146

4. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Provinsi
Pada periode ini, Pemerintah Republik Indonesia telah menghadapi
suatu masalah yang rumit, yang mana pada tanggal 19 Agustus 1950 adanya
persetujuan RIS (Republik Indonesia Serikat) – RI (Republik Indonesia), serta
berdasarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri tanggal 8 Agustus 1950
melahirkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah Provinsi, yang menetapkan pembagian wilayah Republik Indonesia atas
10 Provinsi, yaitu:147

146

Adanya perbedaan pendapat terkait status Provinsi Aceh, yang terjadi dalam rakyat Aceh,
maka Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Maret 1950, mengirimkan suatu panitia penyelidik
mengenai pembentukan Provinsi Aceh yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri (Mr Susanto
Tirtoprojo). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.
147

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi.

Patut untuk ditelaah, bahwa pada periode ini telah lahirnya Konferensi Meja Bundar (KMB).
Oleh karenanya, beberapa hari sebelum tercapainya persetujuan antara Negara Bagian Republik
Indonesia dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat (yang bertindak atas nama Negara Indonesia
Timur) untuk membentuk Negara Kesatuan, dan untuk menyesuaikan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dengan keadaan yang akan datang pada tanggal 15 Mei 1950 ditetapkan Undang-Undang
Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 yang disebut dengan nama Undang-Undang Pemerintahan
Daerah-Daerah Indonesia Timur. Hal ini menurut Bagir Manan, Undang-Undang Negara Indonesia
Timur No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah sengaja dipersiapkan dan ditetapkan untuk
menyongsong pembentukan atau reintegrasi Negara Kesatuan, terutama penyesuaian bentuk
ketatanegaraan wilayah Negara Indonesia Timur terhadap bentuk Negara Kesatuan. Juanda, Op.Cit,
hal. 157.

89

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumatera Utara
Sumatera Tengah
Sumatera Selatan
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Sunda Kecil

Dalam rangka meleburkan status Provinsi Aceh yang kembali
bergabung dengan Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun
1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera,
tertanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya diamandemen menjadi UndangUndang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera, yang pada intinya
memutuskan “mencabut Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan
Pemerintah No. 8/Des/WKPM tahun 1949 tentang Pembentukan Provinsi

Patut untuk ditelaah pandangan Fachry Ali yang menyatakan bahwa ketika struktur negara
mulai mapan pasca KMB, sebagai organisasi kekuasaan yang absah, negara mulai meretas landasan
obyektif untuk mempertahankan eksistensi dan otoritasnya atas daerah yang menjadi konstitutennya.
Karena itu betapapun Aceh telah telah berfungsi sebagai “benteng terakhir Indonesia” pada periode
1949 dan mendapat gelar “daerah modal”, demi tertib administrasi dan kalkulasi ekonomi, status
Provinsi Aceh yang pernah diberikan Wakil Perdana Menteri (Syafruddin Prawiranegara) tersebut
tetap harus ditanggalkan, demi efisiensi dalam kebijakan fiskal. Fachry Ali, Kalla dan Perdamaian
Aceh , LSPEU Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 9.

90

Aceh”, dan sekaligus menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang
meliputi Keresidenan Aceh, Tapanuli dan Sumatera Timur.148

5. Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera
Utara
Paska dileburnya Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara melalui
Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tertanggal 14 Agustus 1950 jo UndangUndang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang Pengubahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Dalam perkembangannya
berbagai konflik telah tercipta di Aceh, khususnya konflik secara vertikal antara
rakyat Aceh dan Pemerintah Republik Indonesia.
Untuk mengatasi berbagai konflik vertikal yang terjadi di Aceh, DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) melalui sidangnya mengeluarkan usul mosi supaya
Pemerintah Republik Indonesia menunjuk Aceh sebagai daerah otonom. Usulan
tersebut direspon Pemerintah Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 29
Desember 1956, dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956

148

Pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 16 Tahun 1955 tentang
Pengubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Otonom Provinsi di Sumatera. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Op.Cit, hal. 185.

91

tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Provinsi Sumatera Utara,149 yang menetapkan Aceh sebagai
Provinsi otonom. Hal ini merupakan salah satu upaya dari Pemerintah Republik
Indonesia untuk meredam berbagai macam konflik vertikal yang sedang
berlangsung di Aceh.
Berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk
meminimalisir konflik yang terjadi di Aceh, diantaranya Pemerintah Republik
Indonesia juga mengangkat Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh, berdasarkan
Ketetapan Presiden No 615/M/1957, tanggal 5 Januari 1957. Adapun pelantikan
Ali Hasymi sebagai Gubernur Aceh dilaksanakan pada tanggal 27 Januari
1957.150
Menyikapi dinamika yang terjadi di Aceh, khususnya mengenai
penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh. Sekaligus dalam rangka untuk
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun

1950,

tidak

lama

berselang

lahir

Undang-Undang

tentang

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berlaku secara nasional, yaitu
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.
149

Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi
Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
150

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 188. Lihat juga dalam Ketetapan
Presiden No 615/M/1957.

92

Adapun

karakteristik

penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yaitu:151
a. Otonomi yang diberikan bersifat otonomi riil. Artinya, banyak
sedikitnya fungsi atau urusan yang diserahkan kepada daerah otonom
didasarkan pada kepentingan dan kemampuan daerah bersangkutan.
b. Pembagian daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I setingkat Provinsi
termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II setingkat
Kabupaten termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat III.
c. Negara dapat melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan oleh Pemerintahan Daerah baik secara preventif maupun
represif.

Berdasarkan

uraian

mengenai

karakteristik

penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dapat ditelaah bahwa adanya
tindakan hukum agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan Pemerintahannya dapat menciptakan kondisi yang harmonis,
sekaligus mereduksi berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya di
Aceh.

6. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang
Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa
Aceh.
151

Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 41-43. Lihat juga dalam C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,
Op.Cit, hal. 30-33.

93

Pemerintah Republik Indonesia kembali mengakomodir aspirasi dari
rakyat Aceh untuk mencapai kata sepakat mengenai pemulihan keamanan,
dengan mengutus suatu missi di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri I (Mr
Hardi). Missi ini dikenal dengan “Missi Hardi”, pada tanggal 26 Mei 1959
menghasilkan suatu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.
1/Missi/1959 tentang Penetapan Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai
Daerah Istimewa Aceh, dengan otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam
bidang:152 Keagamaan, Peradatan, Pendidikan.
Lahirnya “Misi Hardi” tersebut merupakan aspirasi-aspirasi yang selama
ini telah dikemukakan oleh rakyat Aceh, khususnya terkait dalam bidang
keagamaan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tgk M. Daud Beureueh
kepada

Soekarno

(Selaku

Presiden

Republik

Indonesia),

pada

saat

kunjungannya di Aceh.
Realitanya Pemerintah Republik Indonesia masih terlihat setengah hati
dalam mengakomodir aspirasi dari rakyat Aceh. Hal ini dapat ditelaah, bahwa
paska lahirnya “Misi Hardi” Pemerintah Republik Indonesia tidak serta merta
merevisi Peraturan Perundang-undangan mengenai Aceh, dan juga tidak
melahirkan Undang-Undang baru yang bersifat mengakomodir “Misi Hardi”

152

Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tentang Penetapan
Daerah Swatantra Tingkat I Aceh Sebagai Daerah Istimewa Aceh, pada Point “a”. Lihat juga dalam
Hardi, Op.Cit, hal. 137-139. Lihat juga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal.
189. Lihat juga dalam M. Nur El Ibrahimy, Op.Cit, hal. 175.

94

tersebut. Sehingga dalam perkembangan di Aceh, konflik vertikal masih laten
terjadi di Aceh.

7. Undang-Undang

No.

44

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam konteks
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nasional, telah mengalami
berbagai dinamika, khususnya dalam bentuk peraturan Perundang-undangan,
diantaranya:
a. Undang-Undang

No.

18

Tahun

1965

tentang

Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah.153
b. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah.154

153

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, masih
menganut unsur-unsur yang terkandung di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah. Oleh karenanya Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah masih menganut asas otonomi seluas-luasnya, menganut sistem rumah
tangga riil/nyata, dan susunan daerah otonomi terdiri atas 3 (tiga) tingkatan yaitu Dati I, Dati II, Dati
III. Dengan catatan daerah swapraja sudah tidak dianut lagi. Juanda, Op.Cit, hal. 175. Lihat juga dalam
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hal. 39-41.
Sudono Syueb mencatat bahwa pada Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, telah direduksinya kekuasaan DPRD karena kekuasan DPRD diatur sangat
minim. Kekuasaan DPRD hanya sebatas pada pembuatan Peraturan Daerah dan mencalonkan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 49-50.
154

Patut untuk ditelaah bahwa lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah, dilatar belakangi karena adanya gejolak politik yang terjadi di tanah air.

95

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.155

Bahwa pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang terkenal dengan peristiwa G.30.S.PKI, yang berujung pada runtuhnya kekuasaan
rezim Orde Lama setelah dilengserkan oleh MPRS akibat Pidato Pertanggungjawaban Presiden
Soekarno ditolak MPRS. Selanjutnya lahirlah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Pada awal masa kekuasaan (Presiden Soeharto), salah satu kebijakan yang diterbitkan adalah mencabut
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang didasari atas
Undang-Undang No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 50.
Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak
lagi menggunakan prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya, tetapi diubah menjadi prinsip
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, yang dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan daerah, yang dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi
bukan sekedar pelengkap terhadap asas desentralisasi, tetapi sama pentingnya dalam peneyelenggaraan
Pemerintahan di daerah. Juanda, Op.Cit, hal. 180.
155

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat dipisahkan
dari gejolak politik yang terjadi di tanah air. Diantaranya pada tanggal 21 Mei 1998 mengambil
keputusan untuk mundur dari jabatan Presiden, hal ini dilandasi dengan keadaan politik di Indonesia
yang sedemikian genting, dikarenakan ada beberapa menteri membuat pernyataan tidak bersedia
bergabung dengan kabinet reformasi yang dirancang oleh Presiden Soeharto. Serta adanya peningkatan
instabilitas keamanan dalam negeri, yang dipicu oleh maraknya aksi demo yang menuntut reformasi.
Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 64.
Keberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan
upaya terus menerus untuk menata sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia yang sebelumnya masih
mengalami kekurangan, kelemahan, dan menghambat demokratisasi di Daerah. Oleh sebab itu, di
dalam Undang-Undang ini terdapat beberapa perbaikan, antara lain: menguatnya peran dan fungsi
DPRD, termasuk adanya pertanggung jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD dan dihilangkannya
beberapa ketentuan-ketentuan yang memandulkan prinsip demokrasi di Daerah. Sehingga, dengan
semangat proporsionalitas yang dilandasi dengan semangat keseimbangan, kesetaraan dan kemitraan
setidaknya secara teoretik akan membuka peluang terwujudnya otonomi daerah sekaligus memperkuat
pelaksanaan desentralisasi, demokrasi dan pembagian kekuasaan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sejahtera, adil, dan teratur. Juanda, Op.Cit, hal. 192 dan 196.
Patut juga untuk ditelaah bahwa Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, juga didasari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politik hukum, diantaranya:
a. TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
b. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
c. TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pemgaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

96

Patut untuk ditelaah bahwa dinamika peraturan Perundang-undangan
tentang Pemerintahan Daerah tersebut lahir dalam periode kembalinya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi
Republik Indonesia. Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari berbagai
gejolak politik yang terjadi di tanah air, sehingga di dalam penyelenggaraan
Pemerintahannya turut mempengaruhi penyelenggaraan Pemerintahan di
daerah.
Dalam konteks penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, pada tanggal 4
Oktober

1999

lahir

Undang-Undang

No.

44

Tahun

1999

tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Lahirnya
Undang-Undang ini, pada dasarnya untuk mengakomodir hal-hal yang telah
disepakati pada “Misi Hardi”, baik mengenai keagamaan, peradatan dan
pendidikan.
Pada periode ini Pemerintah Republik Indonesia mulai menyadari
bahwa untuk menghentikan konflik vertikal yang masih terus berlangsung di
Aceh, yakni dengan cara mengakomodir aspirasi-aspirasi yang berkembang
luas dalam rakyat Aceh. Oleh karenannya, Undang-Undang ini diharapkan
dapat diterima oleh segenap lapisan rakyat Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, lebih menekankan mengenai

97

keistimewaan156 Aceh. Adapun keitimewaan Aceh berdasarkan UndangUndang ini yaitu:157
a. Penyelenggaraan kehidupan beragama.
b. Penyelenggaraan kehidupan adat.
c. Penyelenggaraan pendidikan.
d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
Patut untuk ditelaah bahwa kewenangan Aceh yang bersifat istimewa,
pada prinsipnya telah disepakati oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui
“Missi Hardi”, akan tetapi baru dapat direalisasikan sekitar 40 (empat puluh)
tahun kemudian melalui

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Hal ini
sebenarnya dapat menentukan perkembangan politik hukum di Aceh, dan akan
berbeda hasilnya jika dapat direalisasikan lebih awal.
Pada sisi lain, adanya metamorfosa Peraturan Perundang-undangan
tentang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh, tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional, yang mana

156

Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah
karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun
sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 3 (1) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
157

Pasal 3 (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

98

hal ini merupakan output dari gejolak politik dalam melahirkan tuntutan
reformasi yang berlangsung pada periode Tahun 1998.

8. Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Perjalanan penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, dipandang masih kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan, atau
keadilan di dalam kehidupan. Dalam perkembangannya kondisi tersebut masih
belum dapat mengakhiri konflik vertikal di Aceh sehingga pada tanggal 9
Agustus 2001 lahir Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, hal ini berarti Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 lahir setelah
adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dengan demikian Undang-Undang ini merupakan peraturan
organik (Organieke Verordening) untuk Pasal 18B (1)158 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

158

Pasal 18B (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan
bahwa: “Negara mengakui dan menghorma ti satuan-satuan Pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang”. Menarik untuk ditelaah, bahwa
jauh sebelum adanya amandemen ke-II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, khususnya mengenai rumusan Pasal 18B yang berkaitan dengan suatu Pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa. Telah lebih dahulu lahir daerah-daerah otonom yang bersifat
istimewa dan khusus. Sebagaimana daerah otonom Yogyakarta, yang bersifat istimewa melalui

99

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
pada umumnya untuk menguatkan perihal keistimewaan bagi Provinsi Aceh
yang ada pada Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tapi disisi lain, pada UndangUndang No. 18 Tahun 2001 menambahkan beberapa kewenangan yang dimiliki
Aceh, diantaranya:
a.

Pengaturan dana perimbangan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Daerah, kecuali ketentuan
mengenai “Bagi Hasil” antara Pusat dan Aceh. Undang-Undang No. 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, Pasal 4 (3). Seperti Pajak penghasilan orang pribadi = 20%
(Daerah lain = 0), Hasil Pertambangan Minyak Bumi = 70% (Daerah
lain = 15%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%, Hasil Pertambangan Gas
Alam = 70% (Daerah lain = 30%) selama 8 tahun, sesudahnya 50%.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo UndangUndang No. 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya di Aceh
telah lebih dulu lahir Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang ini lahir pada tanggal 4 Oktober 1999.

100

b.

Pembentukan

Wali

Nanggroe

dan

Tuha

Nanggroe

sebagai

penyelenggara adat, budaya dan pemersatu masyarakat (hanya sebagai
simbol, bukan lembaga politik dan Pemerintahan).159
c.

Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah oleh
Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang terdiri atas anggota KPU dan
anggota masyarakat.160

d.

Pengangkatan Kepala Kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dengan persetujuan Gubernur.161

e.

Peradilan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai
bagian dari sistem peradilan nasional oleh Mahkamah Syar‟iyah,
diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.162
Menarik

untuk

ditelaah

bahwa

dalam

rangka

penyelenggaran

Pemerintahan Daerah pada konteks nasional, lahir Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan hak yang sangat besar kepada
daerah untuk mengurus rumah tangga dan Pemerintahan Daerah sesuai prakarsa
159

Pasal 10 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
160

Pasal 13 (2) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
161

Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
162

Pasal 25 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.

101

sendiri guna mewujudkan kesejahteraan rakyat daerah bersangkutan. Adapun
prinsip otonomi daerahnya yaitu otonomi daerah secara luas dan nyata, dengan
demikian diharapkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dapat berlangsung
sesuai prinsip demokrasi, baik dalam pemilihan Kepala Daerah dan wakil
rakyat di daerah.163

9. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia
untuk meminimalisir konflik vertikal yang berkesinambungan, baik melalui
pendekatan militer, maupun pendekatan Peraturan Perundang-undangan, serta
pada era Reformasi tidak luput juga dilakukannya perundingan-perundingan
diantara para pihak.
Puncaknya pada tanggal 15 Agustus 2005 kedua belah pihak
menyepakati lahirnya Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) antara Pemerintah
163

Sudono Syueb, Op.Cit, hal. 94.

Adapun perihal yang paling esensi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diantaranya
pelaksanaan proses demokrasi, yang mengamanatkan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung
oleh rakyatnya (pilkada langsung). Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 25 (e) Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berbunyi “ Kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan ”. Patut
untuk ditelaah bahwa esensinya mengenai pelaksanaan pilkada langsung telah lebih dahulu diatur dan
diamanatkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Khususnya pada Pasal 14 (3) point a, yang berbunyi “pemilihan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat pemilih
serentak pada hari yang sama di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Hal ini dapat
ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Aceh telah menjadi lokomotif dalam
perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam konteks
nasional.

102

Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan MoU
Helsinki dalam perkembangannya menjadi kilas baru sejarah perjalanan
Provinsi Aceh, serta kehidupan masyarakat menuju keadaan yang damai, adil,
makmur, sejahtera, dan bermartabat. Dalam hal ini para pihak bertekad untuk
menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan
melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) tersebut, Pemerintah
Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, menyepakati hal-hal yang
diantaranya “Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di
Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006”.164

Adanya amanat dari Nota Kesepahaman (MoU Helsinki) untuk
melahirkan Undang-Undang yang baru tentang Aceh, hal ini direspon
Pemerintah Republik Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada tanggal 1 Agustus 2006. Aspirasi yang
dinamis dari rakyat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan
politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan

164

Point 1.1.1 Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka. Amanat tersebut semestinya sudah direalisasikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret
2006, tetapi amanat tersebut baru dapat direalisasikan pada tanggal 1 Agustus 2006, dengan lahirnya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

103

kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan rakyat Aceh
yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam
yang kuat.165
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada
prinsipnya mengatur kewenangan yang bersifat khusus kepada Pemerintah
Aceh. Adapun kewenangan daerah dalam melaksanakan otonomi khusus yaitu
menyelenggarakan

wewenang

yang

masih

menjadi

kewenangan

dari

Pemerintah Republik Indonesia.166
Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah
menjadi esensi dalam menyelenggarakan Pemerintahan Aceh yang lebih baru,

165

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Penjelasan Umum.

166

Husni Jalil dalam M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi , PT.
Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 120.
Adapun kewenangan yang berifat khusus dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, sesuai dengan Pasal 7, yaitu: (1) Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota
berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) kewenangan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan Pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
(3) dalam menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. Melaksanakan sendiri.
b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi
Pemerintah.
d. Menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan
gampong berdasarkan tugas pembantuan.

104

sebagaimana diutarakan Ahmad Farhan Hamid167 bahwa Undang-Undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah jembatan emas menuju Aceh
baru, yang bukan saja damai, tapi juga berkeadilan dan makmur sejahtera,
selanjutnya

adalah

keikhlasan

dan

komitmen

para

pihak

untuk

mengimplementasikannya.
Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, ternyata juga berimplikasi bagi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dalam konteks nasional. Hal ini dapat ditelaah bahwa tidak lama berselang lahir
juga Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah pada

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan, Pemerintah Aceh memiliki beberapa
kewenangan yang bersifat istimewa dan khusus, diantaranya:
a. Penyelenggara pemilihan, sesuai dengan amanat Pasal 56 (1), yang berbunyi “ KIP Aceh
menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA, DPRK, dan pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota ”.
b. Partai politik lokal, sesuai dengan amanat Pasal 75 (1), yang berbunyi “Penduduk di Aceh
dapat membentuk partai politik lokal”.
c. Lembaga wali nanggroe, sesuai dengan amanat Pasal 96 (1), yang berbunyi “ Lembaga Wali
Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen,
berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembagalembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara -upacara adat
lainnya ”.
d. Syariat Islam, sesuai dengan amanat Pasal 126 (1), yang berbunyi “ setiap pemeluk agama
Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam”.
e. Bendera dan lambang Aceh, sesuai dengan amanat Pasal 246 (2), yang berbunyi “ selain
Bendera Merah Putih, Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah
Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan ”.
167

Ahmad Farhan Hamid, Op.Cit, hal. 476.

105

dasarnya untuk menyempurnakan regulasi pemilukada168 secara langsung.169
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, pada
awalnya dipersiapkan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi No.
5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007.170

168

Terminologi pemilukada, pada awalnya adalah pilkada. Pemilukada dimaksudkan sebagai
suatu bentuk rezim dari pemilu, yang mana hal ini ditegaskan oleh Undang-undang No. 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jo Undang-undang No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 1 (4), yang berbunyi “pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ”.
169

Adapun pertimbangan dilahirkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah, diantaranya:
a. Bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintahan daerah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah terjadi
perubahan, terutama setelah Putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan
(independen).
b. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur
mengenai kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang
meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6
(enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
c. Bahwa dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah belum diatur
mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti
atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam
masa jabatannya. Pada huruf (c), (d), (e) pada konsiderans Undang-Undang No. 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
170

Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan adanya pertentangan hukum antara Pasal 56,
Pasal 59, dan Pasal 60 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan Pasal
18 (4), Pasal 27 (1), Pasal 28D (1 dan 3), serta Pasal 28I (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, proses pencalonan Kepala
Daerah lewat jalur perseorangan (independen) sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dimana Pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjamin hak-hak konstitusional politik setiap warga negara dalam berpolitik.
Patut untuk ditelah bahwa mengenai calon independen, pada dasarnya telah lebih dahulu diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sebagaimana yang ditegaskan
pada Pasal 67 (1), yang berbunyi “pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati,
Walikota/Wakil Walikota, dapat diajukan oleh: (a) partai politik atau gabungan partai politik, (b)
partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, (c) gabungan partai politik dan partai p olitik
lokal, serta (d) perseorangan/independen ”. Berdasarkan ketentuan tersebut, secara normatif dalam
pemilukada Aceh mengenal adanya calon Kepala Daerah yang maju dari calon independen. Artinya

106

B. Interaksi Antara Republik Indonesia dan Aceh
Pasca Proklamasi, Belanda melancarkan 2 (dua) kali Agresi Militer
terhadap Republik Indonesia.171 Agresi Militer Belanda I dilakukan pada tanggal
21 Juli 1947, diiringi dengan pembentukan negara boneka oleh Van Mook di
wilayah Indonesia Timur. Agresi Militer Belanda II terjadi pada tanggal 19
Desember 1948, diiringi pembentukan negara boneka oleh Van Mook dikawasan
Pulau Jawa dan Sumatera sebagai basis terakhir Republik Indonesia. Selama
revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki
oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan
bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama
sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela

bahwa setiap rakyat Aceh dapat mengikuti proses pesta demokrasi lokal atau pemilukada, walaupun
tanpa adanya dukungan legal-formal dari partai politik, baik dari partai politik nasional, maupun dari
partai politik lokal. Sekali lagi, hal ini dapat ditelaah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di
Aceh telah menjadi lokomotif dalam perkembangan politik hukum, khususnya bagi penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dalam konteks nasional.
171

Belanda memakai taktik perang kolonial yang licik dengan cara lama mempertentangkan
satu suku dengan suku lain, sekaligus memecah belah persatuan dengan mendirikan negara-negara
“boneka” yang menjamur. Tgk. A.K. Jakobi, Aceh Dalam…, Op.Cit, hal. 285.
Dalam konsolidasi politiknya setelah Pemerintahan Republik Indonesia dan TNI (Tentara
Nasional Indonesia) hijrah meninggalkan kantong-kantong gerilya, mulailah Van Mook
menggerayangi daerah tersebut dengan mengadakan kegiatan politik berupa lahirnya konferensikonferensi di daerah yang dikosongkan TNI itu. Sasaran antaranya untuk membentuk Negara “boneka”
ala Van Mook dan pada gilirannya bermuara kepada pembentukan suatu Negara Indonesia Serikat
(NIS). Sasaran akhirnya jelas mengeliminir Republik Indonesia dari muka bumi. Guna merealisir citacita NIS ala Van Mook, mereka mengadakan konferensi antara negara “boneka”, yang kemudian
dikenal bernama BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg ). BFO inilah nantinya menjelma jadi suatu
Negara Federal (selanjutnya dikenal sebagai Republik Indonesia Serikat) untuk menyaingi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tgk A.K. Jakobi, Aceh Daerah …, Op.Cit, hal. 216.

107

berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945.172

172

Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, pada Penjelasan Umum.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Paul Van „T Veer, bahwa Aceh adalah satu-satunya bagian
dari hindia belanda yang pada bulan-bulan sebelum Jepang mendarat, telah melakukan pemberontakan
teratur terhadap kekuasaan Belanda. Perang Aceh tidaklah berakhir pada Tahun 1913 atau Tahun 1914,
dari Tahun 1914 terentang benang merah sampai Tahun 1942, alur pembunuhan dan pembantaian,
perlawanan di bawah tanah dan yang terbuka, yang sejak Tahun 1925 sampai Tahun 1927 dan pada
Tahun 1933 mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang luas. Dengan demikian menganggap
jangka waktu dari Tahun 1873 sampai Tahun 1942 sebagai satu perang besar Aceh, atau sebagai
kesinambungan empat atau lima perang Aceh yang berbeda-beda sifatnya. Paul Van „T Veer, Perang
Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje , Grafiti Press, Jakarta, 1985, hal. 246.
Ada berbagai pandangan mengenai perang Aceh melawan Belanda, yang pada intinya
menyatakan bahwa Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, argumentasi tersebut
diantaranya:
a. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 30 (tiga puluh) Tahun, dari Tahun 1873Tahun 1903 (dengan menyerahnya sultan Aceh).
b. Perang Aceh melawan Belanda berlangsung selama 40 (empat puluh) Tahun, dari Tahun
1873-Tahun 1913 (dengan tertangkapnya dan tewasnya keturunan Tgk Tjik di Tiro), bahwa
sebelum sultan Aceh menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, terlebih
dahulu mengirim surat kepada Panglima Polim dan Ulama di Tiro, dengan menyerahkan
pimpinan perjuangan tertinggi.
c. Perang Aceh melawan Belanda tidak pernah habis dan Aceh belum pernah menyerah kepada
Belanda, sampai Belanda keluar dari bumi Aceh pada Tahun 1942. Hal ini dibuktikan, bahwa
selalu saja ada perlawanan dan pertempuran di Aceh de