Analisis Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Pada Penanganan Korban Erupsi Gunung Sinabung Tahun 2014

12

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Safe Community
Bencana merupakan peristiwa yang biasanya mendadak (bisa perlahan)
disertai jatuhnya banyak korban dan bila tidak ditangani dengan tepat akan
menghambat, mengganggu dan merugikan masyarakat, pelaksanaan dan hasil
pembangunan. Indonesia merupakan super market bencana. Bencana pada dasarnya
karena gejala alam dan akibat ulah manusia. Untuk mencegah terjadinya akibat dari
bencana, khususnya untuk mengurangi dan menyelamatkan korban bencana,
diperlukan suatu cara penanganan yang jelas (efektif, efisien dan terstruktur) untuk
mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan penanggulangan
bencana. Ditingkat nasional ditetapkan

BNPB, BPBD Propinsi dan BPBD

dikabupaten kota. Unsur kesehatan tergabung didalamnya.
Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana, penanganan pasien gadar
melibatkan pelayanan pra RS, di RS maupun antar RS. Memerlukan penanganan

terpadu dan pengaturan dalam sistem. Ditetapkan SPGDT-S dan SPGDT-B (seharihari dan bencana) dalam Kepres dan ketentuan pemerintah lainnya. Disadari untuk
peran jajaran kesehatan mulai tingkat pusat hingga desa memerlukan kesiapsiagaan
dan berperan penting dalam penanggulangan bencana, mengingat dampak yang
sangat merugikan masyarakat. Untuk itu seluruh jajaran kesehatan perlu mengetahui

12

Universitas Sumatera Utara

13

tujuan dan langlah-langkah kegiatan kesehatan yang perlu ditempuh dalam upaya
kesiapsiagaan dan penanggulangan secara menyeluruh.
Hamurwono(2002) menyatakan bahwa Safe Community, (SC) adalah keadaan
sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat. Pemerintah dan
teknokrat merupakan fasilitator dan pembina. Pelayanan kasehatan di Indonesia
beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat. Untuk mencapai hal tsb.
dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada HKN 36 ( Hari Kesehatan
Nasional ) di Makasar adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan
sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi

maupun masyarakat. Gerakan ini juga terkandung dalam konstitusi WHO.
Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas
sektoral terutama jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di
masyarakat untuk mempersiapkan, mencagah dan melakukan mitigasi dalam
menghadapi berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan dan
kesejahteraan. Cure adalah peran utama sektor kesehatan dibantu sektor lain terkait
dalam upaya melakukan penanganan keadaan dan kasus-kasus gadar. Kemampuan
masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat dan tepat pra RS merupakan
awal kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam perjalanan ke RS untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih efektif di RS.
Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk
mengubah perilaku mulai dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih
tinggi hingga mencapai seluruh masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus

Universitas Sumatera Utara

14

dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan dengan mengikutsertakan
berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang komponen dasar : Subsistem komunikasi,

transportasi, yankes maupun non kesehatan termasuk biaya yang bersinergi.
Syaiful (2002) menjelaskan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kepedulian masyarakat dan profesi
kese
hatan dalam kewaspadaan dini kegadaran.
2. Terlaksananya koordinasi lintas sektor terkait dalam SPGDT, baik untuk
keamanan dan ketertiban (kepolisian), unsur penyelamatan (PMK) dan unsur
kesehatan (RS, Puskesmas, ambulans dll) yang tergabung dalam satu kesatuan
dengan mewujudkan PSC.
3. Terwujudnya subsistem komunikasi dan transportasi sebagai pendukung dalam
satu sistem, SPGDT.
Fasilitas dan Peralatan yang diperlukan adalah:
1. Fasilitas yang disediakan harus dapat menjamin efektifitas bagi pelayanan kepada
masyarakat termasuk pelayanan UGD di RS dengan waktu pelayanan 24 jam.
2. Sarana dan prasarana, peralatan dan obat yang disiapkan sesuai dengan standard
yang ditetapkan Depkes.
3. Adanya subsistem pendukung baik komunikasi, transportasi termasuk ambulans
dan keselamatan kerja.
Kebijakan dan prosedur Safe community yaitu:
1. Tertulis agar dapat dievaluasi dan disempurnakan.


Universitas Sumatera Utara

15

2. Ditetapkan kebijakan pelayanan kasus gadar pra RS, RS dan rujukannya termasuk
adanya perencanaan RS dalam penanganan bencana (Hospital disaster plan).
3. Ditetapkan adanya PSC ditiap daerah dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan
dengan keselamatan kerja dan kegadaran sehari-hari.

2.2 Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
Menurut Depkes tahun 2006 dalam buku pedoman PPGD menyatakan sistem
Penanggulangan Gawat Terpadu adalah sistem yang merupakan koordinasi berbagai
unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai kegiatan profesi (multi disiplin dan
multi profesi) untuk menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi penderita gadar baik
dalam keadaan bencana maupun sehari-hari. pelayanan medis sistem ini terdiri 3
subsistem yaitu pelayanan pra RS, RS dan antar RS dan memiliki 8 komponen yaitu
(Wirjoatmodjo, 2002):
1. Komponen/ Fase Deteksi
2. Komponen/ Fase Supresi

3. Komponen/ Fase Pra Rumah Sakit
4. Komponen / Fase Rumah Sakit
5. Komponen/Fase Rehabilitasi
6. Komponen Penanggulangan Bencana
7. Komponen Evaluasi/”Quality Control”
8. Komponen Dana

Universitas Sumatera Utara

16

SPGDT bertujuan untuk tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal,
terarah dan terpadu bagi setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat
darurat. Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya
mencakup suatu rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa
sehingga mampu mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi (Depkes,
2006)..
Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi :
a. Penanggulangan penderita ditempat kejadian;
b. Transportasi penderita gawat darurat dari tempat kejadian ke sarana kesehatan

yang lebih memadai;
c. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan penanggulangan
penderita gawat darurat;
d. Upaya rujukan ilmu pengetahuan, pasien dan tenaga ahli.
e. Upaya penanggulangan penderita gawat darurat ditempat rujukan (unit gawat
darurat dan ICU).
f. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
2.2.1

Fase Deteksi
Fase ini dapat dideteksi dimana sering terjadi kecelakaan seperti Kecelakaan

Lalu Lintas (KLL), derah bekerja di pabrik yang berbahaya, tempat olahraga/main
anak sekolah yang tidak memenuhi syarat, di daerah mana sering terjadi tindak
criminal, gedung umum mana rawan terjadi rubuh/konstruksi tidak sesuai dengan
kondisi tanah, daerah mana rawan terjadi gempa.

Universitas Sumatera Utara

17


2.2.2 Fase Supresi
Kalau kita dapat mendeteksi apa yang menyebabkan kecelakaan atau diaman
dapat terjadi bencana/korban missal mak kita dapat melakukan supresi :


Perbaikan konstruksi jalan (Engineering)



Pengetahuan peraturan lalu lintas (Enforcement)



Perbaikan kualitas helm



Pengetahuan undang-undang lalu lintas




Pengetahuan peraturan keselamatan kerja



Pengetatan peraturan keselamatan kerja



Peningkatan patrol keamanan



Membuat “Disaster Mapping”



Dll


2.2.3 Sistem Pelayanan Medik Pra Rumah Sakit
Rosita,(2002) menjelaskan komponen Pra Rumah Sakit ( Luar Rumah Sakit )
meliputi:
1) Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Orang Awam dan Petugas
Kesehatan (Sub-Sistem Ketenagaan)
Pada umumnya yang pertama menemukan penderita gawat darurat ditempat
musibah adalah masyarakat yang dikenal dengan istilah orang awam. Oleh karena itu,
sangatlah bermanfaat sekali bila orang awam diberi dan dilatih pengetahuan dan
keterampilan dalam penanggulangan penderita gawat darurat.

Universitas Sumatera Utara

18

a. Klasifikasi orang awam
Ditinjau dari segi peranan dalam masyarakat orang awam dibagi 2 (dua)
golongan :
1. Golongan awam

biasa antara lain seperti, guru, pelajar, ibu rumah tangga,


petugas hotel dan lain-lain.
2. Golongan awam khusus antara lain :
a). Anggota polisi
b). Petugas Dinas Pemadam Kebakaran
c). Satpam/hansip
d). Petugas DLLAJR
e). Petugas SAR (Search and Rescue)
f). Anggota pramuka (PMR)
Kemampuan penanggulangan penderita gawat darurat (Basic LifeSupport)
yang harus dimiliki oleh orang awam adalah:
a). Cara meminta pertolongan
b). Resusitasi kardiopulmoner sederhana
c). Cara menghentikan perdarahan
d). Cara memasang balut/bidai
e). Cara transportasi penderita gawat darurat
b). Tenaga perawat/ paramedis

Universitas Sumatera Utara


19

Di samping pengetahuan dasar keperawatan yang telah dimiliki oleh prawat,
mereka memperoleh tambahan pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat
(Advance Life Suport) untuk melanjutkan pertolongan yang sudah diberikan.
b. Tenaga Medis (Dokter Umum)
Disamping pengetahuan medis yang telah dikuasai, dokter umum perlu
mendapat

pengetahuan dan keterampilan tambahan agar mampu menanggulangi

penderita gawat darurat.
Dalam memasyarakatkan penanggulangan penderita gawat darurat yang
penting adalah :
a. Semua pusat pendidikan penanggulangan penderita gawat darurat mempunyai
kurikulum yang sama
b. Mempunyai sertifikat dan lencana tanda lulus yang sama
Dengan demikian instansi manapun yang menyelenggarakan pendidikan
penanggulangan penderita gawat darurat, para siswa akan mempunyai kemampuan
yang sama. Lencana akan memudahkan mereka memberikan pertolongan dalam
keadaan sehari-hari maupun bila ada bencana.
2)

Upaya

Pelayaan

Transportasi

Penderita

Gawat

Darurat

(Sub-Sistem

Transportasi)
AGD 118, Basic Trauma And Cardiac Life Support menguraikan bahwa tujuan
transportasi adalah memindahkan menderita gawat darurat dengan aman tanpa
memperberat keadaan penderita ke sarana kesehatan yang memadai. Persyaratan yang
harus dipenuhi untuk transportasi penderita gawat darurat adalah:

Universitas Sumatera Utara

20

1. Sebelum diangkat
a) Gangguan pernapasan dan kardiovaskuler telah ditanggulangi
b) Perdarahan telah dihentikan
c) Luka-luka telah ditutup
d) Patah tulang telah difiksasi
2. Selama perjalanan, harus dimonitor kesadaran, pernapasan, tekanan darah, denyut
nadi dan keadaan luka
c. Ambulans
Ambulans gawat darurat harus mencapai tempat kejadian 6-8 menit supaya
dapat mencegah kematian karena sumbatan jalan napas, henti napas, henti jantung,
dan perdarahan massif.
3)

Upaya Pelayanan Komunikasi Medik untuk Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat (Sub-Sistem Komunikasi)
Pada dasarnya pelayanan komunikasi di sektor kesehatan terdiri dari:

a.

Komunikasi Kesehatan
Sistim komunikasi ini digunakan untuk menunjang pelayanan kesehatan di
bidang administratif.

b.

Komunikasi Medis
Sistim komunikasi ini digunakan untuk menunjang pelayanan kesehatan di
bidang teknis-medis.
1. Tujuan : untuk mempermudah dan mempercepat penyampaian dan
penerimaan informasi dalam menanggulangi penderita gawat darurat.

Universitas Sumatera Utara

21

2. Fungsi komunikasi medis dalam penanggulangan penderita gawat darurat
a)

Untuk memudahkan masyarakat dalam meminta pertolongan ke sarana
kesehatan (akses kedalam sistem gawat darurat).

b) Untuk mengatur dan membimbing pertolongan medis yang diberikan di
tempat kejadian dan selama perjaanan ke sarana kesehatan yang lebih
memadai.
c)

Untuk mengatur dan memonitor rujukan penderita gawat darurat dari
puskesmas ke rumah sakit atau antar rumah sakit.

d) Untuk mengkoordinir penanggulangan medis korban bencana.
Jenis Komunikasi yang digunakan adalah:
1. Komunikasi tradisionil, seperti kentongan, beduk, trompet dll
2. Komunikasi modern, seperti telepon/ telepon genggam, radio, computer dll
Sarana komunikasi yang digunakan adalah berupa Sentral komunikasi (pusat
komunikasi). Fungsi Pusat komunikasi adalah untuk mengkoordinir penanggulangan
penderita gawat darurat mulai dari tempat kejadian sampai ke sarana kesehatan yang
sesuai yaitu dengan:
(1)

Menerima dan menganalisa permintaan pertolongan

(2)

Mengatur ambulans terdekat ke tempat kejadian

(3)

Menghubungi rumah sakit terdekat untuk mengetahui fasilitas yang tersedia
(tempat tidur kosong) pada saat itu

(4)

Mengatur / memonitor rujukan penderita gawat darurat

Universitas Sumatera Utara

22

b) Menjadi pusat komando dan mengkoordinir penanggulangan medis korban
bencana
Syarat-syarat sentral komunikasi antara lain :

harus mempunyai nomor

telepon khusus (sebaiknya 3 digit), mudah dihubungi dan memberikan pelayanan 24
jam sehari, dilayani oleh tnaga medis yang trampil dan berpengalaman. Syarat alat
sentral komunikasi, yaitu telepon, radio komunikasi, faksimile, komputer (bila
diperlukan), tenaga yang trampil dan komunikatif, dan konsulen medis yang
menguasai masalah kedaruratan medis.
Sistem pelayanan medic pra Rumah Sakit dengan mendirikan PSC, BSB dan
pelayanan ambulans dan komunikasi dan dilakukan pada pelayanan sehari-hari.
- PSC (Public Safety Care)
Didirikan masyarakat untuk kepentingan masyarakat. Pengorganisasian
dibawah Pemda. SDM berbagai unsur tsb. ditambah masyarakat yang bergiat dalam
upaya pertolongan bagi masyarakat. Biaya dari masyarakat. Kegiatan menggunakan
perkembangan teknologi, pembinaan untuk memberdayakan potensi masyarakat,
komunikasi untuk keterpaduan kegiatan. Kegiatan lintas sektor. PSC berfungsi
sebagai respons cepat penangggulangan gadar.
- BSB (Barisan Siaga Bencana)
Unit khusus untuk penanganan pra RS, khususnya kesehatan dalam bencana.
Pengorganisasian dijajaran kesehatan (Depkes, DInkes, RS), petugas medis (perawat,
dokter), non medis (sanitarian, gizi, farmasi dll). Pembiayaan dari instansi yang
ditunjuk dan dimasukkan APBN/APBD.

Universitas Sumatera Utara

23

- Pelayanan Ambulans Terpadu
Dalam koordinasi dengan memanfaatkan ambulans Puskesmas, klinik, RB,
RS, non kesehatan. Koordinasi melalui pusat pelayanan yang disepakati bersama
untuk mobilisasi ambulans terutama dalam bencana.
- Komunikasi.
Terdiri dari jejaring informasi, koordinasi dan pelayanan gadar hingga seluruh
kegiatan berlangsung dalam sistem terpadu.
- Pembinaan
Berbagai pelatihan untuk meningkatan kemampuan dan keterampilan bagi
dokter, perawat, awam khusus. Penyuluhan bagi awam. Pelayanan pada bencana,
terutama pada korban massal.
- Koordinasi dan komando
Melibatkan unit lintas sektor. Kegiatan akan efektif dan efisien bila dalam
koordinasi dan komando yang disepakati bersama.
- Eskalasi dan mobilisasi sumber daya
Dilakukan dengan mobilisasi SDM, fasilitas dan sumber daya lain sebagai
pendukung pelayanan kesehatan bagi korban.
- Simulasi
Diperlukan protap, juklak, juknis yang perlu diuji melalui simulasi apakah
dapat diimplementasikan pada keadaan sebenarnya.

Universitas Sumatera Utara

24

- Pelaporan, monitoring, evaluasi.
Penanganan bencana didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan
sistematika yang disepakati. Data digunakan untuk monitoring dan evaluasi
keberhasilan atau kegagalan, hingga kegiatan selanjutnya lebih baik.
Sistem Pelayanan Medik di RS perlu sarana, prasarana, BSB, UGD, HCU,
ICU, penunjang dll. Selain itu diperlukan Hospital Disaster Plan untuk akibat bencana
dari dalam dan luar RS, transport intra RS. Selain itu dibutuhkan kegiatan pelatihan,
simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin peningkatan ke
mampuan SDM, kontinuitas dan peningkatan pelayan medis. Pembiayaan diperlukan
dalam jumlah cukup.
Sistem Pelayanan Medik Antar RS terdiri dari:
1. Jejaring rujukan dibuat berdasar kemampuan RS dalam kualitas dan kuantitas.
2. Evakuasi. Antar RS dan dari pra RS ke RS.
3. Sistem

Informasi

Manajemen,

SIM.

Untuk

menghadapi

kompleksitas

permasalahan dalam pelayanan. Perlu juga dalam audit pelayanan dan
hubungannya dengan penunjang termasuk keuangan.
4. Koordinasi dalam pelayanan terutama rujukan, diperlukan pemberian informasi
keadaan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien ditranportasi ke
RS tujuan.
Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Petunjuk Pelaksanaan Permintaan dan Pengiriman bantuan medik dari RS rujukan.
2. Protap pelayanan Gadar di tempat umum.

Universitas Sumatera Utara

25

3. Pedoman pelaporan Penilaian Awal/Cepat.
Keberhasilan PPGD pada fase ini bergantung pada beberapa komponen :


Akses dari masyarakat ke dalam SPGDT



Komunikasi



Orang Awam



Orang awam khusus



Ambulan gawat darurat 118 (AGD 118)

2.2.4

Fase Rumah Sakit
Di Indonesia terdapat sekitar 982 Rumah Sakit dengan UGD nya dengan

kualitas

yang

bebeda-beda

dan

tidak

ada

kerjasama/koordinasi

dalam

penanggulanagn pendderita gawat darurat maupun penanggulangan bencana. Di suatu
daerah sebaiknya kerja sama antar rumah sakit dilakukan dengan “”Regionalisasi”,
seperti urban, Trauma Center Level I sebaiknya hanya satu dan biasanya adalah
“Teaching Hospital” dimana ada pendidikan specialis yang merupakan Recidency
Service dan juga mempunyai tanggung jawab melakukan (PPKK, 2003) :








“Quality Assurance/Control
Penelitian dalam bidang trauma maupun gawat darurat
Melaksanakan Pelatihan ACLS dan ATLS
Memonitor/mengatur rujukan penderita gawat darurat dll.

Universitas Sumatera Utara

26

Sedangkan untuk daerah rural maka yang berperan sebagai Level I dapat juga
“Trauma Center Level III atau IV dengan “Transfer Agreement” dengan “Trauma
Center Level II atau I” yang terdekat.
1)

Upaya Pelayanan Penderita Gawat Darurat di Unit Gawat Darurat Rumah
Sakit (Sub-Sistem Pelayanan Gawat Darurat)
Seringkali Puskesmas berperan sebagai pos terdepan dalam menanggulangi

penderita sebelum memperoleh penanganan yang memadai di rumah sakit. Oleh
karena itu Puskesmas dalam wilayah tertentu harus buka selama 24 jam dan mampu
dalam melakukan hal-hal dibawah ini :
a. Melakukan resusitasi dan “life support”
b. Melakukan rujukan penderita-penderita gawat darurat sesuai dengan kemampuan
c. Menampung dan menanggulangi korban bencana
d. Melakukan komunikasi dengan pusat komunikasi dan rumah sakit rujukan
e. Menanggulangi “false emergency” baik medical dan surgical (bedah minor)
Puskesmas tersebut harus dilengkapi dengan laboratorium untuk menunjang
diagnostic.
Seperti : Hb, Ht, leukosit, urine dan gula darah. Tenaga yang harus dimiliki adalah :
1 dokter umum dan paramedis (2-3 orang paramedis yang sudah mendapatkan
pendidikan tertentu dalam PPGD).
Rumah sakit merupakan terminal terakhir dalam menanggulangi penderita
gawat darurat. Oleh karena itu fasilitas rumah sakit, khususnya gawat darurat harus

Universitas Sumatera Utara

27

dilengkapi sedemikian rupa sehingga mampu menanggulangi penderita gawat darurat
(“to save life and limd”).
Unit gawat darurat merupakan salah satu unit di rumah sakit yang
memberikan pelayanan kepada penderita gawat darurat dan merupakan bagian dari
rangkaian upaya penanggulangan penderita gawat darurat yang perlu diorganisir.
Tidak semua rumah sakit harus mempunyai bagian gawat darurat yang lengkap
dengan tenaga memadai san peralatan canggih, karena dengan demikian akan terjadi
peghamburan dana dan sarana.
Oleh karena itu pengembangan unit gawat darurat harus memperhatikan 2
(dua) aspek yaitu:
a. Sistem rujukan penderita gawat darurat.
b. Beban kerja rumah sakit dalam menanggulangi penderita gawat darurat
Dengan memperhatikan kedua aspek tersebut, maka kategorisasi (akreditasi)
unit gawat darurat tidak selalu sesuai dengan kelas rumah sakit yang bersasngkutan.
Rumah sakit tertentu dapat mengembangkan unit gawat darurat dengan kategorisasi
yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kelas rumah sakit tersebut.
2) Unit Pelayanan Intensif / ICU
ICU adalah ruang rawat rumah sakit dengan staf dan perlengkapan khusus
ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma atau komplikasi yang
mengancam jiwa.

Universitas Sumatera Utara

28

2.2.5

Fase Rehabilitasi
Semua penderita yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus

dilakukan rehabilitasi secara mental maupun fisik sehingga mereka dapat kemabli
berfungsi di dalam kehidupan masyarakat.
2.2.6

SPGDT dalam Penanggulangan Bencana
Dalam penanggulangan bencana ada beberapa prinsip yang harus disepakati

(Sudrajat, 2006):


Penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat darurat
sehari-hari



Penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalau penanggulanagn gawat
darurat sehari-hari buruk



Bencana dapat terjadi di daerah “Urban” atau daerah “Rural”

Bencana dapat terjadi :


Di rumah sakitnya sendiri



Korban bencana di bawa ke UGD/RS



Bencana dalam kota (Urban)



Bencana di luar (Rural)



Bencana di luar pulau (Regional)



Bencana Nasional



Bencana Huru-hara/Perang

Maka semua RS harus mempunyai “disaster plan” sesuai dengan keadaan di atas.

Universitas Sumatera Utara

29

Untuk daerah “Rural” tau diluar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari
daerah “Urban” jika :


Tingkat Penanggulangan gawat darurat sehari-hari di bawah standar nasional
(Ada/tidaknya spesialis Empat Besar/Ahli Bedah)



Jumlah korban melebihi kemampuan petugas/ahli bedah



Bnatuan yang didatangkan adalah dengan memindahkan sarana:
-

PRA RS (AGD 118)
 AGD 188 dalam keadaan bencana dapat berfungsi sebagai :
- Pengganti Puskesmas
- Kamar operasi bedah minor

-

Unit AGD 118 dapat berfungsi sebagi RS lapangan
 RS (UGD, Kamar Operasi, ICU, Farmasi, Rontgen, Laboratorium,
Dapaur, Satpam, dll)



Masalah yang dapat dihadapi di tempat bencana tergantung pada kapan kita
tiba.
Sistem SPGDT Pra Rumah Sakit ( Pre Hospital Emergency Medical Servise)

merupakan suatu pendekatan yang sistematik untuk membawa penderita GD ke suatu
tempat penanganan yang definitf. Konsep AGD 118 adalah mendekatkan sarana GD
ke penderita dan bukan penderita ke sarana GD.
Termasuk dalam system ini adalah : Pemberitahuan/mewaspadakan staff
UGD Rumah Sakit, mengenai keadaan GD, resusitasi dan stabilitasi penderita,
komunikasi dengan dokter, penanggulangan di lokasi dan mengangkat penderita.

Universitas Sumatera Utara

30

Dalam SPGDT pada fase pra rumash sakit ini juga termasuk pendiidkan,
pelatihan dan pemberian sertifikat bagi personil yang terlibat dalam sistem.
Konsep utama SPGDT pra RS difokuskan pada kerangka waktu
penanggulangan pra RS yang dikenal sebagai “RESPONSE TIME” (waktu tanggap).
SPGDT Pra RS dibagi dalam beberapa sub-sistem:
1.

Akses

2.

Komunikasi

3.

Penanggulangan di temapt kejadian
a.

Ekstrikasi

b.

Resusitasi

c.

Stabilitasi

4.

Transportasi yang cepat ke Rumah Sakit yang sesuai

5.

Pembentukan triase dan RS lapangan bila terjadi “Mass Casualties:, bencana atau
peperangan

6.

Pengaturan Personil

7.

Pendidikan dan “Quality Improvement” (Gugus Kendali Mutu, GKM)

8.

Orgasnisasi dan Kelembagaan

Universitas Sumatera Utara

31

2.3 Pedoman Pengembangan Pelayanan Gawat Darurat di Rumah Sakit
2.3.1 Tujuan
Tujuan suatu unit gawat darurat (UGD) harus mampu memberikan pelayanan
dengan kualitas tinggi pada masyarakat dengan problem medis akut. Interpretasi nya
adalah harus mampu:
a. Mencegah kematian dan cacat
b. Melakukan rujukan
c. Menanggulangi korban bencana
Kriteria :
a.

Unit Gawat Darurat harus buka 24 jam

b.

Unit Gawat Darurat juga harus melayani penderita-penderita “false emergency”
tetapi tidak boleh mengganggu/ mengurangi mutu pelayanan penderita-penderita
gawat darurat.

c.

Unit Gawat Darurat sebaiknya hanya melakukan “primary care”.
Sedangkan “definitive care” dilakukan di tempat lain dengan kerjasama yang
baik.

d.

Unit Gawat Darurat harus meningkatkan mutu personalia maupun masyarakat
sekitarnya dalam penanggulangan penderita gawat darurat. Interpretasi nya,
mengadakan kursus-kursus untuk personalianya sendiri maupun penyuluhan
kepada masyarakat dalam penanggulangan penderita gawat darurat (PPGD).

e.

Unit Gawat Darurat harus melakukan riset guna meningkatkan mutu/kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat sekitarnya.

Universitas Sumatera Utara

32

2.3.2

Faktor yang Memengaruhi SPGDT
Ada beberapa hal yang mempengaruhi SPGDT pada penanggulangan bencana

di Rumah Sakit, yaitu:
1. Akses




Telepon 118 untuk pertolongan GD Medik .
Telepon 110 dan 113 untuk pertolongan kepolisian dan kebakaran.
Ketiga akses ini merupakan panduan yang dapat memberikan respons

bersama, baik untuk sehari-hari maupun bila terjadi bencana karena itu akses ketiga
nomor ini harus ditempatkan di dalam suatu ruangan. Adapun tempatnya dapat dipilih
di suatu RS, Polda/Polres, Pemda, dll. Sedangkan untuk daerah rurai di Puskesmas,
Polsek dll.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah saran hubungan antara :
1. Masyarakat (minta tolong) ke system/akses
2. Komunikasi antar lembaga/unit dalam SPGDT
• “Alarm Center” yang bertugas sebagai pusat komunikasi operasional SPGDT

• Mempunyai kemampuan secara local, nasional maupun internasional
• Design dari alarm center

• Jenis alat komunikasi berupa radio, telpon, internet, dll
• Bahasa menggunakan “Ten Code”
• Bila terjadi bencana dibentuk :

Universitas Sumatera Utara

33

“Outside Command:”
“Onsite Command”
Kedua sistem komando ini mempunyai komunikasi dengan frekuensi yang
berbeda tetapi terkoordinasi.
Secara nasional dikenal Crisis Center yang berada di DEPKES dapat
mempunyai fungsi di bawah koordinasi “Outside Command” .
3. Penaggulangan di Tempat Kejadian
1. Awam/Awam Khusus
Penderita umumnya ditemukan oleh orang terdekat dapat dikategorikan
sebagai awam (guru sekolah, orang tua, supir sekretaris dll) atau awam khusus
(petugas pemadam kebakaran, pramuka, polisi, satpam dll)
Kemampuan awam dan awam khusus dalam hal :
 Cara meminta tolong
 Bantuan Hidup Dasar (BLS)
 Mengkontrol pendarahan
 Memasang pembalut dan bidai
 Transportasi
2. Paramedik I, II, III
Keberhasilan Paramedik AGD 118 sangat ditentukan oleh waktu tanggap
(Response Time). Penanggulangan terdiri atas assessment, resusitasi, ekstrikasi,
stabilisasi. Keempat komponen penanggulangan ini dilakukan secara simultan dengan
prioritas ABCDE dengan selalu memperhatikan tulang belakang.

Universitas Sumatera Utara

34

Pengamanan “Airway” dan “C-Spine” serta memberikan “High Flow” 02,
mengatur posisi kepala penderita, penggunaan “Oropharyngeal Tube”, “Endotraceal
Tube”, serta tindakan “Cricothyroidotomy” sambil tetap menjaga “C-Spine”. Pada
kasus cedera toraks, paramedic dapat melakukan :Needlethoracocenthesis: sampai
pemasangan “Chest Tube”. Mengontrol pendarahan, mengatasi syok hipovolemik
dengan pemasangan jalur intravena, pemasangan PASG pada frkatur pelvis, pembalut
tekan, stabilisasi frkatur dengan traction splint, air splint.
Terhadap gangguan neurologis, paramedic dapat menilai pupil, tingkat
kesadaran dengan AVPU/Glasgow Coma Scale dan Revised Trauma Score.
Penggunaan obat-obatan sesuai dengan protocol tetap. Stabilisasi penderita sampai
siap untuk di transportasi dengan prissip kerja “Do Not Further Harm”.
4. Transportasi


Prinsip transportasi pra RS ialah untuk mengangkut penderita GD dengan
cepat dan aman ke RS/sarana yang sesuai, tercepat dan terdekat.



Sarana angkutan umum ialah kedaraan darat:
-

Tradisional

-

Modern

-

Khusus/medic disebut sebagi ambulan darat, terdiri atas ambulan gawat
darurat, ambulan transportasi dan ambulan mobile unit (pelayanan medik
bergerak).



Kendaraan laut/air
-

Tradisional

Universitas Sumatera Utara

35





-

Modern

-

Khusus/medic disebut sebagai ambulan laut sungai

Kendaraan udara
-

“Fixed Wing”

-

Helikopter (“Rotary Wing”)

Kendaraan ambulan darat/khusus dapat difungsikan sebagia ambulan RS
lapangan dan triase lapangan pada keadaan korban masal atau bencana.



Ambulan sepeda motor:
Merupakan kedaran khusus bagi paramedic penolong yang menuju ke lokasi
penderita GD mendahului roda empat. Ambulan sepeda motor ini harus
dilengkapi perlatan resusitasi dan stabilisasi yang “Portable” sesuia
kemampuan/daya angkut sepeda motor. Peralatan tersebut terutama ialah
“Airway” dan :Breathing” box, tabung oksigen kecil, bidai pneumatic atau
vakum, :Neck Collar”, peralatan bedah minor, kotak obat-obatan dan infuse,
EKG, peralatan “DC Shock” dengan batr ringan.



Puskesmas keliling dapat ditingkatkan menjadi ambulan untuk pelayanan
“Rural” AGD 188.
Dalam menjalankan tugas fungsi transportasi, ambulan harus memenuhi
persyaratan :
-

Kelayakan jalan kendaraan

-

Kelengkapan, peralatan non medik

-

Kelengkapan peralatan non medik

Universitas Sumatera Utara

36

-

Personal Paramedik yang mempunyai SIM dan mentaati tata tertib
operasionla yang dibuat oleh lembaga AGD 118. Dalam keadaan tertentu
dimana terjadi bencana atau korban massal, diperlukan pembentukan RS
lapangan darurat yang dapat dibuat dengan menggabung-gabungkan
beberapa ambulan sejenis ataupun berbeda jenis. RS lapangan ini dapat
berfungsi untuk Triase lapangan dan unit gawat darurat sementara. RS
lapangan yang lebih ideal adalah yang terbuat dari tenda/”Bivouac
Pneumatic” yang dapat digunakan sebagai karma operasi atau tindakan
lainnya; dengan demikian berlakulah prisnsip “Sarana kesehatan ke
tempat bencana dan bukan korban bencana ke sarana kesehatan”.

Ambulan juga berfungsi sebagi alat transfer antar-RS, biasanya dari fasilitas
kesehatan yang lebih rendah kemampuannya ke RS yang lebih tinggi kemampuannya
(misalnya dari Trauma Cente Level III ke Trauma Center Level I)
Sistem rujukan/transfer ini dipandu oleh protocol yang berlaku. Dibutuhkan
satu buah ambulan siap jalan untuk setiap 50.000 penduduk, sehingga dapat
memenuhi waktu tanggap kurang dari 10 menit.
Dalam keadaan luar biasa atau gawat maka jumlah ini sebaiknya ditambah
menjadi kira-kira 1 ½ kali (150%).
5. Personil
Jenis personil yang diikutsertakan adalah:
Dokter
Paramedik Tingkat I, II, III

Universitas Sumatera Utara

37

Perawat
Non Medik: Administrator, mekanik, pekarya dll.
Paramedik
Merupakan

personil

mutlak

harus

mempunyai

keterampilan

dalam

penanggulangan penderita GD pra RS (dan kadang-kadang di UGD).
Sesuai dengan keterampilannya di bagi menjadi :
a. Paramedik
Paramedik Tingkat I mempunyai keterampilan “Basic Life Support” (BLS)
paramedic tingkat II mempunyai keterampilan : BLS dan “Advanced Life Support”
(ALS), baik dalam bentuk PHTLS maupun PHCLS, namun non-invasif. Paramedik
tingkat III mempunyai keterampilan : BLS dan ALS yang invasif.
Secara ideal ambulan yang berfungsi memerlukan 7-10 paramedik yang
bekerja sama secara “shift”, 40-50 jam/minggu. Untuk “Alarm Center” (Pusat
Komunikasi) diperlukan satu paramedic sebagai “Dispatch Officer” untuk setiap
200.000-250.000 penduduk. Dalma keadaan luar biasa/gawat jumlah ini sebaiknya
ditambah menajadi 1 ½ kalinya (150%).
Di luar kota ratio personil dan waktu tanggap, mungkin berbeda tergantung
dari kepadatan penduduk, sarana dan prasaran serta jarak. Telaj menjadi
kesepakatan/IKABI, bahwa hanya perawat yang dapat mengikuti pendidikan
paramedic II dan III. Dokter/ahli bedah terlibat dalam kegiatan pra rumah sakit sebagi
motivator/inisiator, supervisor/pimpinan, pendidik, pembina, penanggung jawab

Universitas Sumatera Utara

38

“Medico Legal” dan sebagai tenaga tambahan/pimpinan dalam keadaan luar biasa
(Bencana).
b. Tenaga Administrasi
“Alarm Center” dari suatu SPGDT merupakan lembaga yang dijalankan
suatu sistem administrasi oleh tenaga-tenaga administrasi, dibawah pimpinan sirektur
administrasi.
c. Tenaga Lain-lain
Markas besar ambulan harus dilengkapi dengan bengkel (“Service Station”)
dengan personil beberapa orang mekanik sesuai dengan kebutuhan. Bengkel
pemeliharaan adalah untuk sarana non medic dan medic serta juga untuk melayani
pemeliharaan markas AGD 118 (Bagian Maintenance).
6. Organisasi
Keberhasilan penanggulangan penderita dengan keadaan yang berat sangat
bergantung pada pengembalian dan mempertahankan oksigenisasi jaringan tubuh,
sehingga dapat dipengaruhi oleh kecepatan memulai resusitasi.
Biasanya diperlukan waktu lebih dari 30 menit pada fase pra RS sebelum tiba
di UGD untuk tindakan pertolongan selanjutnya. Karena itu dibuthkan organisasi
yang baik di semua tingkat. Organsasi harus menjamin kesiapan pelayanan 24 jam
per hari secra terus-menerus. Penilaian orgasnisasi yang baik dilihat dari waktu
tanggap yang baik. AGD 118 di beberapa daerah mempunyai orgasnisasi yang
bervariasi misalnya :

Universitas Sumatera Utara

39

Yogyakarta

: Dikoordinasi oleh PERSI cabang Yogyakarta dengan “Alarm
Center” berpusat di PMI cabang Yogyakarta.

Ujung Pandang

: Dikoordinasi oleh RS Islam

Surabaya

: Dikoordinasi oleh RS Dr. Soetomo

Jakarta

: merupakan yayasan AGD 118 langsung di bawahkoordinasi
IKABI Pusat Yayasan AGD 118 merupakan organisasi Tingkat
Nasional yang mempunyai fungsi standard yang harus diikuti
oleh daerah namun diadaptasi sesuai dengan kondisi setempat.
Standard ini juga mencakup struktur organisasi penataan
personil, kurikulum pendidikan, standarisasi peralatan (medic
dan non-medik), logo, seragam, “badge” dll.
DEPKES RI mempunyai bagian yang disebut “Crisis Center” yang pada

dasarnya berfungsi pada kejadian-kejadian luar biasa terutama pada keadaan siaga
satu untuk bencana.
Jajaran kelembagaan AGD 118 ialah kepolisian dan pemadam kebakaran pada
SPGDT untuk akses dan komuniaksi, serta berada pada suatu ruangan operasional
(telepon 110, 113, dan 118)
Dalam kelembagaan AGD 118 disusun organisasi struktural yang terdiri atas :
-

Administrasi

-

Operasional : Komunikasi/armada ambulan/logistic

-

Pendidikan dan “Quality Improvement” (Kendali mutu)

Universitas Sumatera Utara

40

7. Pendidikan dan Quality Improvement
Lembaga dari Pendidikan AGD adalah untuk:


Mendidik petugas paramedic dari lulusan SPK/AKPER untuk menjadi paramedic.
Lama pendidikan 2-3 tahun (120-300 jam ditambah magang).



Mendidik perawat di bidang P3K, resusitasi, stabilisasi, evakuasi darat, laut,
udara, dan mengemudi.



Mendidik awam/awam khusus dalam bidang P3K dan cara meminta tolong.



Menjalin hubungan dan “Fellowship” dengan luar negeri untuk pendidikan
“Paramedik”, kursus-kursus dll.



Membantu pelaksanaan pendidikan ATLS/ACLS bagi dokter-dokter yang bekerja
di UGD atau lembaga-lembaga GD lainnya di seluruh Indonesia.



Menyediakan sarana pendidikan dan perawatnya.



“Quality Improvement” (Gugus Kendali Mutu), merupakan bagian yang khusus
mengikuti perkembangan SPGDT dengan memantau:
-

Kesulitan-kesulitan

-

Kesalahan-kesalahan

-

Kegagalan-kegagalan

-

Survey dan Registrasi (Trauma Registry and Morbidity Registry)
Bagian ini ditunjang oleh perpustakaan/Literatur dan group diskusi.

Universitas Sumatera Utara

41

2.4 Tanggap Darurat Bencana
Tanggap darurat adalah upaya yang di lakukan segera pada saat kejadian
bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian (Masyarakat
Penanggulangan Bencana Indonesia, 2006). Penyelenggaraan penanggulangan
bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya;
2. Penentuan status keadaan darurat bencana;
3. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4. Pemenuhan kebutuhan dasar;
5. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi, (Operational Plan)
yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana
Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
1. Korban massal. Korban relatif banyak akibat penyebab yang sama dan perlu
pertolongan segera dengan kebutuhan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari
yang tersedia. Tanpa kerusakan infra struktur.
2. Bencana. Mendadak / tidak terencana atau perlahan tapi berlanjut, berdampak
pada pola kehidupan normal atau ekosistem, hingga diperlukan tindakan darurat

Universitas Sumatera Utara

42

dan luar biasa untuk menolong dan menyelamatkan korban dan lingkungannya.
Korban banyak, dengan kerusakan infra struktur.
3. Bencana kompleks. Bencana disertai permusuhan yang luas, disertai ancaman kea
manan serta arus pengungsian luas. Korban banyak, kerusakan infra struktur,
disertai ancaman keamanan.
Fase pada Disaster Cycle kegawatdaruratan bencana (Wittiri, 2007):
1. Fase Impact / bencana. Korban jiwa, kerusakan sarana-prasarana, infra struktur,
tata- nan sosial sehari-hari.
2. Fase Acute Response / tanggap segera :
a. Acute emergency response. Rescue, triase, resusitasi, stabilisasi, diagnosis,
terapi definitif.
b. Emergency relief. Mamin, tenda untuk korban sehat.
c. Emergency rehabilitation. Perbaikan jalan, jembatan dan sarana dasar lain
untuk pertolongan korban.
3. Recovery. Pemulihan.
4. Development. Pembangunan.
5. Prevention. Pencegahan.
6. Mitigation. Pelunakan efek bencana.
7. Preparedness. Kesiapan menghadapi bencana.
Perlindungan diri bagi petugas Prinsip Safety.
a. Do no further harm.

Universitas Sumatera Utara

43

b. Safety diri saat respons kelokasi. Alat pengaman, rotator selalu hidup, sirine
hanya saat mengambil korban, persiapan pada kendaraan, parkir 15 m dari lokasi
(ke bakaran : 30 m, perhatikan arah angin).
c. Safety diri ditempat kejadian. Minimal berdua. Koordinasi dengan fihak terkait,
cara mengangkat pasien, proteksi diri.
d. Safety lingkungan. Waspada bahaya yang mengancam.
- Protokol Safety
1. Khusus. Atribut, tanda pengenal posko-ambulans, perangkat komunikasi khusus
tim, jaring kerjasama dengan keamanan, hanya masuk daerah yang dinyatakan
aman. Pada daerah konflik hindari menggunakan kendaraan keamanan, ambil
jarak dengan petugas keamanan. Utamakan pakai kendaraan kesehatan / PMI.
2. Umum. Koordinasi dengan instansi setempat, KIE netralitas, siapkan jalur
penyela matan diri yang hanya diketahui tim, logistik cukup, kriteria kapan harus
lari.
Posko Pelayanan Gadar Bencana
1. Penyediaan posko yankes oleh petugas yang berhadapan langsung dengan
masyarakat. Perhatikan sarat-sarat mendirikan posko.
2. Penyediaan dan pengelolaan obat.
3. Penyediaan dan pengawasan makanan dan minuman.
Rapid Health Assessment (RHA) adalah penilaian kesehatan cepat melalui
pengumpulan informasi cepat dan analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil
keputusan akan kebutuhan untuk tindakan penanggulangan segera. Tujuan RHA yaitu

Universitas Sumatera Utara

44

penilaian cepat sesaat setelah kejadian untuk mengukur besaran masalah kesehatan
akibat bencana atau pengungsian, hasilnya berbentuk rekomendasi untuk digunakan
dalam

pengambilan

keputusan

penanggulangan

kesehatan

selanjutnya.

Secara khusus menilai jenis bencana, lokasi, penduduk terkena, dampak yang telah /
akan terjadi, kerusakan sarana yang menimbulkan masalah, kemampuan sumberdaya
untuk mengatasi masalah, kemampuan respons setempat.

2.5 Landasan Teori
Safe Community, (SC) adalah keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh
dan untuk masyarakat. Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina.
Pelayanan kasehatan di Indonesia beralih ke dan berorientasi pada paradigma sehat.
Untuk mencapai hal tsb. dicanangkan program Safe Community oleh Depkes pada
HKN 36 di Makassar adalah gerakan agar masyarakat merasa sehat, aman dan
sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan profesi
maupun masyarakat. Gerakan ini juga terkandung dalam konstitusi WHO.
Mempunyai dua aspek, care dan cure, Care adalah adanya kerja-sama lintas
sektoral terutama jajaran non kesehatan untuk menata perilaku dan lingkungan di
masyarakat untuk mempersiapkan, mencagah dan melakukan mitigasi dalam
menghadapi berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan, keamanan dan
kesejahteraan. Cure adalah peran utama sektor kesehatan dibantu sektor lain terkait
dalam upaya melakukan penanganan keadaan dan kasus-kasus gadar. Kemampuan
masyarakat melakukan pertolongan pertama yang cepat dan tepat pra RS merupakan

Universitas Sumatera Utara

45

awal kegiatan penanganan dari tempat kejadian dan dalam perjalanan ke RS untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih efektif di RS.
Melalui gerakan SC diharapkan dapat diwujudkan upaya-upaya untuk
mengubah perilaku mulai dari kelompok keluarga, kelompok masyarakat dan lebih
tinggi hingga mencapai seluruh masyarakat Indonesia. Gerakan ini harus
dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan dengan mengikutsertakan
berbagai potensi. Gerakan ini ditunjang komponen dasar : Subsistem komunikasi,
transportasi, yankes maupun non kesehatan termasuk biaya yang bersinergi.

2.6 Kerangka Berpikir

Input
Fase:
Sumber Daya Manusia
Pendanaan
Jejaring/Komponen
Alat Komunikasi dan
Transportasi
- Koordinasi
- Target Operasional

-

Proses

Out Put

- Pelatihan
- Komunikasi
- Penanggulangan
di tempat
kejadian
- Transportasi
- Personil

-Pra Rumah
Sakit: Safe
Community

Rumah Sakit

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

Universitas Sumatera Utara