BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian Gaya Bahasa Kiasan dalam Kumpulan Sajak Menjadi Tulang Rusukmu Karya Yanwi Mudrikah adalah: 1. Penelitian berjudul Gaya Bahasa Kiasan dalam Novel Di Batas Angin Kar

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian Gaya Bahasa Kiasan dalam Menjadi Tulang Rusukmu Karya Yanwi Mudrikah adalah: Kumpulan Sajak 1. Penelitian berjudul Gaya Bahasa Kiasan dalam Novel Di Batas Angin Karya Yanusa Nugroho dan Saran Penerapannya dalam Pembelajaran Sastra di SMA. Penelitian tersebut dilakukan oleh Baskoro Istiarto mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto tahun 2011. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baskoro Istiarto adalah: a. Gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam novel Di Batas Angin karya Yanusa Nugroho meliputi gaya bahasa kiasan simile, personifikasi, dan metafora.

  b.

  Gaya bahasa kiasan yang terdapat dalam novel Di Batas Angin karya Yanusa Nugroho dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA.

  Perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Baskoro Istiarto terletak pada sumber data dan topik penelitian. Penelitian ini sumber datanya adalah kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah, dan topik penelitiannya hanya tentang gaya bahasa kiasan dalam kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah, sedangkan sumber data pada penelitian yang dilakukan oleh Baskoro Istiarto ialah novel Di Batas Angin karya Yanusa Nugroho, kemudian topik penelitiannya tentang gaya bahasa kiasan dalam

  6 novel Di Batas Angin karya Yanusa Nugroho dan hasil penelitiannya dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra di SMA.

  2. Penelitian berjudul Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Letto dan Alternatif Penerapannya dalam Pembelajaran Gaya Bahasa di SMA Kelas X Semester I.

  Penelitian tersebut dilakukan oleh Aristia Nawangsari mahasiswa Universitas Muhammadiya Purwokerto tahun 2010. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aristia Nawangsari adalah: a.

  Gaya bahasa dalam album lethologica sangat banyak di antaranya: 1)

  Gaya bahasa perbandingan antara lain: personifikasi, metafora, simile, pleonasme, koreksio.

  2) Gaya bahasa perulangan antara lain: aliterasi dan asonansi, simploke, repetisi. 3) Gaya bahasa pertautan yaitu asidenton. 4) Gaya bahasa pertentangan antara lain: hiperbola dan paronomansia.

  b.

  Gaya bahasa yang terdapat dalam album musik lethologica dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran gaya bahasa di SMA kelas X semester 1.

  Dengan demikian, penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian Aristia Nawangsari. Adapun perbedaannya terletak pada data, sumber data, dan topik penelitian. Data penelitian yang dilakukan oleh Aristia Nawangsari adalah lirik lagu yang mengandung gaya bahasa dalam album musik Lethologica Karya Letto, sedangkan sumber datanya adalah album musik Lethologica Karya Letto. Topik penelitian yang dilakukan oleh Aristia Nawangsari ialah gaya bahasa secara keseluruhan, dan hasil penelitiaannya dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran tentang gaya bahasa di SMA kelas X semester 1. Sedangkan dalam penelitian ini, datanya berupa larik atau baris yang mengandung gaya bahasa kiasan dalam kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah, sedangkan sumber datanya adalah kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah. Topik pada penelitian ini mengkhususkan pada gaya bahasa kiasan dalam kumpulan sajak Menjadi Tulang Rusukmu karya Yanwi Mudrikah.

  Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Baskoro Istiarto dan Aristia Nawangsari, membuktikan bahwa penelitian yang dilakukan peneliti belum pernah dilakukan dan berbeda. Maka penelitian ini perlu untuk dilakukan agar ada pembuktian.

B. Hakikat Stilistika

  Stilistika di dalam bahasa Inggris stylistic adalah cabang dari linguistik yang mempelajari ciri-ciri pembeda secara situasional sebagai varietas bahasa. Stilistika mencoba menyusun prinsip-prinsip yang dipertimbangkan untuk pilihan tertentu, disusun oleh individu atau kelompok sosial dalam menggunakan bahasanya (Djadjasudarma, 2009: 22). Menurut Ratna (2013: 3), stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stile (style) adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Ratna (2013: 13) mengemukakan, “Stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai gaya bahasa, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Jadi, meliputi karya sastra dan karya seni pada umumnya, maupun bahasa sehari-hari

  ”. Dalam Nurgiyantoro (2013: 373) Leech dan Short berpendapat bahwa stilistika (stylistics) menunjuk pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam teks-teks kesastraan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari gaya bahasa dengan kajian berwujud performasi kebahasaan khususnya yang terdapat dalam teks- teks kesusastraan.

C. Hakikat Sastra

  Sastra adalah kegiatan kreatif dan imajinatif. Sebagai kegiatan kreatif karya sastra adalah sebuah seni bahasa. Bersifat imajinatif berarti kalaupun realitas yang disajikan sebuah karya sastra adalah sebuah realitas yang sungguh-sungguh ada, seolah-olah dapat dijadikan studi sejarah misalnya, tetapi realitas seperti ini adalah realitas yang sudah dimodifikasi, direkonstruksi si pengarang berdasarkan kehendak hatinya (Brahmana, 2008: 118). Menurut Semi (2012: 64-67), untuk merumuskan pengertian sastra harus memperhatikan beberapa paradigma penting yaitu pertama, sastra merupakan seni kreatif berarti sastra adalah suatu komunikasi yang mengandung unsur seni dan kreativitas. Kedua, bahasa merupakan medium utama sastra, tetapi bahasa yang digunakan dalam sastra bukan bahasa yang digunakan sehari-hari. Bahasa sastra adalah bahasa yang khas. Ketiga, karya sastra adalah fenomena sosial. Mempelajari karya sastra berarti mempelajari suatu kehidupan sosial.

  Jadi, dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan kegiatan kreatif dan imajinatif yang mengutamakan bahasa khas untuk mengungkapkan fenomena sosial.

  Dalam kesusastraan dikenal bermacam-macam jenis sastra (genre). Kosasih (2008: 5) menyebutkan bahwa berdasarkan bentuknya sastra terbagi menjadi tiga jenis, yakni prosa, puisi, dan drama. Di antara jenis sastra yang disebutkan oleh Kosasih, puisi merupakan jenis sastra yang mengutamakan keindahan kata-kata atau bahasanya. Puisi menjadi jenis sastra yang berbeda karena untuk mengungkapkan sebuah makna, sebuah puisi dapat mengungkapkannya dengan kata-kata yang indah atau puitis.

D. Hakikat Puisi (Sajak)

  Djuanda dan Iswara (2006: 2-3) berpendapat bahwa kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan. Puisi dapat didefinisikan sebagai karya sastra yang cenderung pada irama (ritme) yang dibangun dengan rima, bait, dan baris. Sebuah sajak disebut pula sebagai puisi. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 2009: 7). Puisi adalah karya estetis yang memanfaatkan sarana bahasa secara khas. Hal ini sejalan dengan pandangan Sayuti (2010: 24) yang menyatakan bahwa jika suatu ungkapan yang memanfaatkan sarana bahasa itu bersifat luar biasa, ungkapan itu disebut sebagai ungkapan sastra atau bersifat sastrawi. Dalam konteks inilah penyimpangan yang ada dalam puisi menemukan relevansinya, yakni mencapai efek keluarbiasaan ekspresi. Menurut Kosasih (2008: 31), puisi adalah karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah karya sastra berupa interpretasi pengalaman manusia yang penting, yang menggunakan bahasa secara khas atau menggunakan kata-kata indah dan kaya makna.

  Pradopo (2009: 13) menyatakan bahwa puisi sebagai karya seni itu puitis, kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara misalnya dengan bentuk

  

visual : tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan

  bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Dalam pencapaian keindahan bahasa atau puisi sebagai karya seni itu puitis, kepuitisan dapat dicapai dengan penggunaan bahasa kiasan. Bahasa kiasan digunakan untuk menghidupkan lukisan, untuk lebih mengonkretkan dan lebih mengekspresikan perasaan yang diungkapkan oleh penyair.

E. Gaya Bahasa 1. Pengertian Gaya Bahasa

  Stile (style, gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 369). Menurut Ratna ( 2013: 22), gaya bahasa adalah ekspresi linguistik, baik di dalam puisi maupun prosa (cerpen, novel, dan drama). Keraf (2004: 113) menyatakan bahwa style atau gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Dari pengertian gaya bahasa yang sudah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan suatu cara ekspresi linguistik dalam mengungkapkan pikiran seorang penulis baik di dalam puisi maupun prosa melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.

2. Jenis-Jenis Gaya Bahasa

  Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Keraf (2004: 115), menyebutkan bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari segi nonbahasa dan dari segi bahasa. Dalam hal ini, peneliti hanya membatasi pada jenis gaya bahasa dari segi bahasa. Dilihat dari segi bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan menjadi: a.

  Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata b.

  Gaya Bahasa Berdasarkan Nada c. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat d.

  Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna Dari empat macam gaya bahasa menurut Gorys Keraf, peneliti hanya akan meneliti gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Di dalam gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, terbagi menjadi dua kelompok yaitu (1) gaya bahasa retoris dan (2) gaya bahasa kiasan. Karena sumber data pada penelitian ini berupa kumpulan sajak atau puisi, maka peneliti hanya akan meneliti gaya bahasa kiasan saja. Gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang sering digunakan oleh penyair untuk menciptakan makna dan memberikan efek puitis di dalam sebuah puisi.

F. Gaya Bahasa Kiasan 1. Pengertian Gaya Bahasa Kiasan

  Gaya bahasa merupakan suatu cara ekspresi linguistik dalam mengungkapkan pikiran seorang penulis baik di dalam puisi maupun prosa melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Menurut Sayuti (2010: 195), bahasa kiasan (kias) merupakan jenis ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya, yang bisa berupa kata, frase, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas. Menurut Panuti Sujiman (dalam Jabrohim dkk, 2009: 42), bahasa kiasan adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan artinya yang biasa dengan maksud mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Jadi, bahasa kiasan adalah jenis ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya untuk mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian gaya bahasa kiasan adalah cara ekspresi linguistik dalam mengungkapkan pikiran seorang penulis menggunakan ungkapan yang bermakna lain dengan makna harfiahnya untuk mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekpresi yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.

2. Ciri-ciri Gaya Bahasa Kiasan

  Menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 2009: 62), bahasa kiasan mempunyai sesuatu (sifat) yang umum, yaitu bahasa-bahasa kiasan tersebut memperlihatkan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Berikut ciri-ciri gaya bahasakiasan: a.

  Persamaan dengan menggunakan kata pembanding: seperti, sama, sebagai, laksana, serupa, dll.

  b.

  Membandingkan secara langsung c. Cerita singkat yang mengandung kiasan d.

  Mengandung unsur persamaan seperti manusia (penginsanan) e. Mensugestikan kesamaan orang,tempat, atau peristiwa f. Menyamakan nama seseorang dengan sifat tertentu g.

  Menyatakan ciri atau sifat khusus dari seseorang atau sesuatu hal h. Menyatakan hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat i. Menggunakan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, gelar resmi, dan jabatan. j.

  Terdapat kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan k.

  Mengatakan sesuatu dengan makna yang maksudnya berlainan dengan apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. l.

  Mengecilkan kenyataan yang sebenarnya m.

  Terdapat penggunaan kata dengan makna yang sebaliknya n. Terdapat kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan makna

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa Kiasan

  Keraf (2004: 136-145) menyebutkan gaya bahasa kiasan digolongkan menjadi 16 jenis gaya bahasa kiasan yaitu, simile, metafora, alegori, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, satire, inuendo, antifrasis, dan paranomosia.

a. Simile atau Persamaan Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit.

  Perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain, dengan menggunakan kata-kata misalnya seperti, sama,

  

sebagai, bagaikan, laksana (Keraf, 2004: 138). Menurut Pradopo (2009: 62),

  perbandingan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai,

  

sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se , dan kata-

  kata pembanding lain. Jabrohim dkk (2009: 44) berpendapat bahwa simile adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Sebagai sarana dalam menyamakan tersebut, simile menggunakan kata-kata pembanding: bagai, sebagai, bak, seperti, seumpama, laksana, serupa, sepantun, dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa simile merupakan perbandingan atau persamaan yang menggunakan kata-kata pembanding yaitu: seperti, sama, sebagai,

  

bagaikan, laksana, bagai,bak, semisal, seumpama, sepantun, penaka, se, dan serupa.

  Contoh: sedang rasa begini dekat/ seperti langit dan warna biru Pada contoh di atas, kata seperti berfungsi untuk membandingkan frasa rasa begini

  

dekat dengan langit dan warna biru. Penggunaan simile ini berfungsi memberikan kesan puitis untuk menjelaskan bahwa rasa yang sedang dirasakan begitu dekat dan indah seperti kedekatan dan keindahan yang terpancar pada langit dan warna biru..

b. Metafora

  Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2004: 139). Menurut Becker (dalam Pradopo, 2009: 66), metafora merupakan bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dansebagainya. Jabrohim dkk (2009: 45) mengemukakan metafora adalah bentuk bahasa kiasan yang memperbandingkan sesuatu hal lainnya yang pada dasarnya tidak serupa. Oleh karena itu, di dalam metafora ada dua hal yang pokok, yaitu hal-hal yang diperbandingkan dan pembandingnya. Jadi, disimpulkan bahwa metafora merupakan bahasa kiasan yang membandingkan sesuatu hal lainnya yang pada dasarnya berbeda, tanpa menggunakan kata-kata pembanding.

  Menurut Subroto (2011:131-134), ada empat macam mtafora yaitu metafora antropomorfik, metafora kehewanan, metafora pengabstrakan, dan metafora senestesis. Yang pertama, metafora antropomorfik adalah penciptaan metafora yang bertolak dari tubuh atau bagian tubuh manusia atau dari nilai/makna dan nafsu- nafsu/kesenangan yang dimiliki manusia (contoh: cintanya bangkit menggelora). Kedua, metafora kehewanan adalah metafora yang menggunakan binatang atau bagian binatang atau sesuatu yang berkaitan dengan binatang untuk pencitraan sesuatu yang lain (contoh: babi kamu). Ketiga, metafora pengabstrakan (pemindahan benda-benda konkret ke abstrak) adalah metafora yang dapat menyatakan kebalikan dari hal-hal yang abstrak atau samar-samar diperlakukan sebagai sesuatu yang bernyawa sehingga dapat berbuat secara konkret atau bernyawa (contoh: bintang lapangan). Keempat, metafora sinestetik adalah suatu pemindahan atau pengalihan dari pengalaman yang satu ke pengalaman yang lain, atau dari tanggapan yang satu ke tanggapan yang lain (contoh: kulihat suara).

c. Alegori

  Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat (Keraf, 2009: 140). Menurut Pradopo (2009: 71), alegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori sesungguhnya metafora yang dilanjutkan. Jadi, alegori hampir sama dengan metafora namun lebih panjang, lebih pada pendeskripsian dengan menggunakan bahasa yang mengandung kiasan.

  Contoh: matahari yang di atas kepalamu itu Adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu Waktu kau kecil, adalah bola lampu Yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat Yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, Adalah jam weker yang berdering Sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan Yang dituding anak kecil itu sambil berkata: “Ini matahari! Ini matahari!” Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanya kau menghela bayang-bayangmu itu

  Dari puisi tersebut dapat dilihat bahwa penyair menggambarkan matahari dengan menggunakan bahasa yang mengandung kiasan. Penyair menggambarkan matahari seperti balonan gas, seperti bola lampu, seperti jam weker yang berdering, seperti gambar bulan yang dituding anak kecil. Penyair menggambarkan bulan seperti balonan gas yang bulat berisi udara sebagai mainan anak-anak, seperti bola lampu yang bersinar menerangi kegelapan dan panas, seperti jam weker yang berdering sama halnya dengan matahari yang terbit menandakan pagi dan mengisyaratkan kepada orang-orang untuk bangun, seperti gambar bulan yang tidak bisa dibedakan oleh anak kecil karena sama dengan mata hari.

  d. Personifikasi

  Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat- sifat kemanusiaan (Keraf, 2004: 140). Sama dengan Keraf, Pradopo juga menyebutkan bahwa personifikasi ialah bahasa kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa personifikasi merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah memiliki sifat seperti manusia.

  Contoh: pohon yang gemetaran Pada contoh di atas, kata pohon diberikan sifat manusia, sehingga pohon dapat bertingkah laku, dan berbuat seperti manusia yaitu gemetar. Pada contoh tersebut sebenarnya menggambarkan pohon dan daun-daunnya yang terkana angin sehingga terlihat seperti gemetar.

  e. Alusi

  Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu refrensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.

  Contoh: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya Pada contoh di atas, terdapat frasa Kartini kecil. Frasa tersebut mensugestikan bahwa ada gadis kecil seperti sosok pahlawan Kartini yang sedang memperjuangkan haknya.

f. Eponim

  Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu (Keraf, 2004: 141).

  Contoh: (1) Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan (2) Hellen dari Troya untuk menyatakan kecantikan g.

   Epitet

  Epitet adalah semacam gaya acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.

  Contoh: Lonceng pagi untuk ayam jantan

  Raja rimba untuk singa h.

   Sinekdoke

  Sinekdoke adalah semacam bahasa kiasan yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte) (Keraf, 2004:142).

  Contoh: (1) Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- (pars pro

  toto )

  (2) Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Studion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4 (totum

  pro parte ) Pada contoh (1), kata setiap digunakan untuk menunjukan sebagian yaitu setiap

  

kepala , tetapi yang sebenarnya ialah kata setiap bertujuan untuk menyatakan

  keseluruhan bahwa yang dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,- adalah semua kepala. Sedangkan contoh (2), kata Indonesia dan Malaysia digunakan untuk menunjukan keseluruhan warga atau masyarakat Indonesia dan Malaysia, tetapi yang sebenarnya ialah kata Indonesia dan Malaysia bertujuan hanya untuk menyatakan bahwa yang mengalami kekalahan atau kemenangan ialah kesebelasan atau tim sepak bola Indonesia dan Malaysia saja.

i. Metonimia

  Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Metonimia dengan demikian adalah suatu bentuk dari sinekdoke (Keraf, 2004: 142). Menurut Altenbernd dalam Pradopo (2009: 77), metonimia adalah bahasa yang menggunakan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.

  Contoh:Klakson dan lonceng bunyi bergiliran ....

  Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan Di bawah bayangan samar istana kejang O, kota kekasih setelah senja

  Klakson dan lonceng, dapat menggantikan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti Sungai Ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta.

  j. Antonomasia

  Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.

  Contoh: (1) Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini (2) Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu

  Pada contoh (1), frasa Yang Mulia digunakan untuk menggantikan nama diri seseorang karena orang tersebut memiliki kedudukan yang tinggi. Sama halnya contoh (1), contoh (2) juga menggunakan kata Pangeran untuk menggantikan nama diri seseorang karena orang tersebut merupakan anak dari seorang raja.

  k. Hipalase

  Hipalase menurut Keraf (2004: 142) adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain, atau secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan.

  Contoh: Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya, bukan bantalnya). Pada contoh di atas, frasa bantal yang gelisah tidak untuk menunjukan bahwa bantal yang merasa gelisah tetapi, untuk menunjukan bahwa seseorang sedang mengalami gelisah, dapat ditunjukan dengan memanfaatkan kata bantal. Karena, seseorang yang biasa merasa gelisah akan merenung sendiri dan biasanya memeluk erat sebuah bantal.

  l. Ironi, Sinisme, Sarkasme

  Ironi atau sindirian adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 2004: 143).

  Contoh: Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya! Pada contoh ironi tersebut berfungsi untuk menunjukan kesalahan seseorang yaitu penyebab semua kebijaksanaan harus dibatalkan seluruhnya karena dia.

  Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa dalam penggunaan gaya bahasa ironi terdapat juga penggunaan istilah lain, yaitu sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesaingan yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai ironi lebih kasar sifatnya.

  Contoh: Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya, sehingga semua kebijaksanaan akan lenyap bersamamu! Pada contoh sinisme di atas menunjukan bahwa terdapat ejekan yang ditunjukan kepada seseorang bahwa kegagalan atau pembatalan kebijaksanaan akan hilang bersama orang tersebut maksudnya ialah seseorang ini akan dipecat.

  Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir (Keraf, 2004: 143).

  Contoh: Kelakuanmu memuakkan saya Pada contoh sarkasme ini menunjukan celaan atau perasaan seseorang yang sangat benci dan muak terhadap kelakuan orang lain.

  m. Satire

  Menurut Keraf (2004: 144), satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satir mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Dalam buku lain dijelaskan bahwa satire merupakan ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan.

  n. Inuendo

  Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 2004:144).

  Contoh: (1) Setiap kali ada pesta, pasti ia akan sedikit mabuk karena terlalu kebanyakan minum.

  (2) Ia menjadi kaya raya karena sedikit mengadakan komersialisasi jabatannya.

  Pada contoh (1) menggunakan kata sedikit untuk mengecilkan kenyataan bahwa seseorang yang mabuk karena minum terlalu banyak alkohol. Sama halnya contoh (1), contoh (2) menggunakan kata sedikit untuk mengecilkan kenyataan bahwa seseorang kay raya karena dirinya merupakan orang yang memiliki jabatan dan memanfaatkan jabatannya.

  o. Antifrasis

  Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebakilkannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata- kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat (Keraf, 2004: 144-145). Contoh:Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol) Pada contoh tersebut memanfaatkan kata raksasa untuk menunjukan kebalikan dari apa yang dilihat yaitu fisik seseorang yang dimaksud cebol dan kecil, tetapi untuk menunjukkannya menggunakan kata yang berlaina atau kebalikannya yaitu raksasa.

  p. Paranomosia

  Paranomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan maknanya (Keraf, 2004:145).

  Contoh:Tanggal dua gigi saya tanggal dua. Pada contoh tersebut menunukkan bahwa terdapat penggunaan kiasan yang menunjukan kemiripan bunyi yaitu tanggal dua, dan gigi saya tanggal dua. Pada frasa

  

tanggal dua diartikan sebagai bilangan yang menyatakan hari ke dua dalam satu

  bulan, sedangkan gigi saya tanggal dua diartikan bahwa gigi saya terlepas dua. Jadi, penggunaan gaya bahasa kiasan paranomosia ini untuk memperindah bahasa yang sedang digunakan.