BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI - Gaya Bahasa Pada Beberapa Puisi Karya Du Fu

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep

  Konsep adalah gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut. (Kridalaksana, 2001: 117). Konsep yang digunakan di dalam penelitian ini yakni: pengertian gaya bahasa, puisi, penyair Du Fu dan landasan teori.

2.1.1 Pengertian Gaya Bahasa

  Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. (Tarigan, 1985: 5). Gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. ( Keraf, 2007: 113)

  Huang dan Liao (1991: 208), menyatakan bahwa gaya bahasa memiliki

  tiga makna, yakni: (1) Gaya bahasa merupakan teknik, cara, dan aturan dalam menggunakan bahasa; (2) Gaya bahasa pada saat berbicara atau menulis karya sastra berfungsi untuk mengatur tingkah laku bahasa, dikenal sebagai kegiatan retoris; (3) Gaya bahasa merupakan salah satu cara untuk memperkuat ekspresi atau perasaan penulis pada hasil karya sastra.

  Gaya bahasa merupakan salah satu unsur dari sebuah puisi. Gaya bahasa adalah cara khas menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.

  (Moelino, 1989). Dalam puisi, penyair berusaha menyampaikan ide, perasaan dan pikirannya dengan menggunakan bahasa yang dibuat sedemikian rupa sehingga tampak indah dan penuh makna. Oleh karena itu, untuk dapat membaca puisi dengan baik,memahami, memaknai, menganalisis, dan mengajarkan puisi, kita harus memahami gaya bahasa tersebut.

2.1.2.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa

  Huang dan Liao (1991: 240), membagi gaya bahasa menjadi 21 jenis, antara

  lain:

1. Gaya Bahasa

  Bǐyù (比喻) Huang dan Liao (1991:240), menjelaskan Bǐyù adalah

  perumpamaan, yakni menggunakan benda atau hal yang berbeda satu sama lain namun memiliki titik persamaan untuk menggambarkan suatu hal atau benda lain. Benda yang dibandingkan disebut “Benti” dapat diterjemahkan menjadi “noumenon”, dan benda yang digunakan sebagai pembanding disebut “Yuti” dapat diterjemahkan sebagai “pembanding”, kata yang menghubungkan kedua benda disebut dengan “Yuci” yang diterjemahkan sebagai “kata banding”. Noumenon dan pembanding haruslah sesuatu benda atau hal yang sifatnya berbeda, namun menggunakan satu sisi kemiripan untuk melakukan perbandingan.

  Gaya bahasa perumpamaan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni: Míngyù, Ànyù dan Jièyù.

  a.

  Gaya Bahasa Míngyù (明喻)

  

Míngyù sama dengan gaya bahasa simile/perumpamaan pada bahasa

  Indonesia. Menurut Tarigan (1985: 9), perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama.

  Perbandingan ini secara eksplisit ditandai oleh pemakaian kata “seperti” dan sejenisnya (ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, penaka (seolah-olah), serupa, dan lain-lain).

  Menurut Huang dan Liao (1991: 241-242), pada gaya bahasa Míngyù (perumpamaan), noumenon (benda yang dibandingkan), dan Yuti (pembanding) muncul bersamaan diantaranya terdapat kata banding seperti:

  “像xiàng, rú, 似

  shì,仿佛

fǎngfú,犹如yóurú, 有如 yǒurú, 一般yībān” dan lain-lain.

  Contoh: (1)

  叶子出水限高,像亭亭舞女裙。

  Yè zǐ chūshuǐ xiàn gāo, xiàng tíngtíng wǔnǚ qún Daun batasan air tinggi, seperti rok para penari perempuan di paviliun.

  Pada contoh (1) di atas yang menjadi noumenon adalah “daun”, pembandingnya adalah “rok penari”, dan kata bandingnya adalah “seperti”. b.

  Gaya Bahasa Ànyù (暗喻)

  

Ànyù sama dengan gaya bahasa metafora pada bahasa Indonesia. Huang

  dan Liao dalam buku Xiandai Hanyu mengatakan gaya bahasa Ànyù disebut juga sebagai gaya bahasa Yinyu. Pada gaya bahasa ini noumenon dan pembanding muncul, namun kata pembandingnya berupa: “是 shì(adalah), 变 成

  biànchéng (menjadi), 成为chéngwéi (menjadi), 等于 děngyú (sama dengan)”

  dan lain-lain.

  Contoh: (2)

  爱护书籍吧,他是知识的源泉。 Àihù shūjí ba, tā shì zhīshì de yuánquán. Cintailah buku-buku, dia adalahsumber dari pengetahuan.

  Pada contoh (2) di atas noumenon adalah “buku”, pembandingnya adalah “sumber dari pengetahuan”, sementara kata bandingnya “adalah”.

  c.

  Gaya Bahasa Jièyù (借喻) Pada gaya bahasa ini noumenon tidak muncul, tidak terlihat pada kalimat, langsung menggunakan pembanding untuk menggantikan noumenon (Huang,

  1991: 242).

  Contoh: (3)

  鲁迅在一片文章里,主张打落水狗。他说,如果不打落水狗,它一旦 跳起来,就要咬你,最低限度也要溅你一身的污泥。

  

Lǔxùn zài yīpiàn wénzhāng lǐ, zhǔzhāng dǎ luòshuǐgǒu. Tā shuō, rúguǒ bù

dǎ luòshuǐgǒu, tā yīdàn tiào qǐlái, jiù yào yǎo nǐ, zuìdī xiàndù yě yào jiàn

nǐ yīshēn de wū ní

  Luxun (novelis) dalam satu karyanya menganjurkan, pukulah anjing yang jatuh ke parit. Dia mengatakan, jika tidak memukulnya, maka saat ia keluar melompat, pasti berniat mengigitmu, kemungkinan paling kecil juga ingin mencipratmu dengan lumpur kotor.

  Pada contoh (3) di atas perumpamaan menggunakan klausa “anjing yang jatuh ke parit” sebagai pembanding untuk menyatakan “musuh yang terpukul”. Pada contoh tersebut tidak muncul noumenon dan tidak ada kata banding, tetapi langsung menggunakan pembanding sebagai

  noumenon-nya.

2. Gaya Bahasa

  Bǐnǐ (比拟)

  Berdasarkan imajinasi membuat manusia seolah-olah seperti benda maupun sebaliknya, membuat benda seolah-olah memiliki jiwa seperti manusia (Huang, 1991: 246). Dalam bahasa Indonesia disebut juga sebagai gaya bahasa personifikasi. Gaya bahasa ini dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni: personifikasi dan depersonifikasi.

  a.

  Membuat benda seolah-olah menjadi manusia (personifikasi) Gaya bahasa ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia.

  (Rahmad, 1987: 75)

  Contoh: (4)

  春风放胆来流柳,夜雨瞒人去润花。 Chūnfēng fàngdǎn lái liú liǔ, yè yǔ mán rén qù rùn huā.

  

Angin musim semi memberanikan diri untuk menyisir pohon willow,

hujan malam hari diam-diam menyirami bunga.

  Pada contoh (4) di atas “angin musim semi” adalah pelaku dan kata kerja yang mengikuti “yaitu menyisir pohon”. “hujan malam hari” adalah pelaku dan kata kerja yang mengikuti yaitu “menyirami bunga”, contoh (4) merupakan benda namun dibuat seolah-olah menjadi manusia yang dapat bergerak untuk menyisir pohon willow dan memiliki perasaan memberanikan diri.

  b.

  Membuat manusia seolah-olah menjadi benda (depersonifikasi) Gaya Bahasa ini merupakan kebalikan dari gaya bahasa personifikasi,yakni membedakan manusia. Dalam bahasa Mandarin, gaya bahasa ini membuat manusia seolah-olah adalah hewan atau binatang.

  Contoh: (5)

  他骄傲自满,尾巴都翘上来了。 Tā jiāo'ào zìmǎn, wěibā dōu qiào shàngláile. Dia(laki-laki) sombong dan berpuas diri, sampai-sampai ekornya muncul keluar.

  “Ekor” merupakan bagian tubuh yang hanya dimiliki oleh hewan dan tidak terdapat pada manusia. Pada contoh (5) di atas manusia digambarkan seolah-olah memiliki ekor.

  3. Gaya Bahasa Kuāzhāng (夸张) Kuāzhāng sama dengan gaya bahasa hiperbola pada bahasa Indonesia.

  Gaya bahasa ini sengaja membuat pernyataan tentang hal atau sesuatu benda menjadi berlebih-lebihan dari sifat, ukuran, maupun jumlah aslinya.

  Contoh: (6)

  隔壁千家醉,开坛十里香。 Gébì qiānjiā zuì, kāi tán shí lǐxiāng.

  Araktetangga sebelah memabukkan ribuan orang, membuka tutup arak aromanya tercium sampai ribuan meter.

  Pada contoh (6) aroma arak dilebih-lebihkan sehingga membuat mabuk ribuan orang dan tercium sampai ribuan meter, menandakan aromanya yang sangat kental.

  4. Gaya Bahasa Duì’ǒu (对偶)

  Duì’ǒu hampir sama dengan gaya bahasa pararelisme dalam bahasa

  Indonesia. Gaya bahasa ini menggunakan kelompok kata atau kalimat yang memiliki bentuk yang sama atau mirip, jumlah kata yang sama, dan memiliki arti yang berkaitan erat untuk menyatakan maksud yang sama ataupun berlawanan. (Huang, 1991: 264)

  Contoh (7) 风声、雨声、读书声、声声入耳; 家事、国事、天下事、事事关心。

  Fēngshēng,yǔshēng,dúshūshēng,shēngshēngrù'ěr; jiāshì, guóshì, tiānxià shì, shì shì guānxīn.

  Suara angin, suara hujan, suara baca buku, semua didengar jelas oleh telinga; Masalah keluarga, masalah negara, masalah di dunia, semua dicemaskan oleh hati.

  Pada contoh (7) di atas kalimat bagian atas dan kalimat bagian bawah memiliki jumlah karakter yang sama, yakni sebelas karakter per- baris. Bentuk kedua kalimat di atas juga sama, yakni bagian atas merupakan kata benda “suara angin” dan bagian bawah “masalah keluarga”. Makna kalimat di atas adalah selaras yakni suara apapun yang disekitar kita selalu didengar dan begitu juga dengan masalah yang ada akan selalu dicemaskan.

5. Gaya Bahasa Shè wèn (设问)

  Gaya bahasa Shè wèndalam bahasa Indonesia disebut juga dengan erotesis, yang menggunakan pertanyaan namun langsung dijawab dalam kalimat, memiliki fungsi untuk mencuri perhatian pembaca, agar lebih memperhatikan dan memikirkan makna dari pertanyaan. (Huang, 1991:

  280)

  Contoh: (8)

  是谁创造了人类世界?是我们劳动群人。 Shì shuí chuàngzàole rénlèi shìjiè? Shì wǒmen láodòng qún rén.

  Siapakahyang telah menciptakan dunia manusia? Adalah kita para pekerja.

  Pada contoh (8) di atas terdapat pertanyaan pada awalnya, namun langsung dilanjutkan dengan jawaban dari pertanyaan tersebut. Kata “siapakah” menunjukkan pertanyaan kemudian diberi pemerkah “tanda tanya”. Fungsinya agar pembaca memikirkan makna dari pertanyaan tersebut.

2.1.3 Pengertian Puisi

  Pengertian pusis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait”. Puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran penyair yang dirangkai menjadi suatu bentuk tulisan yang mengandung makna.

  Menurut Waluyo dalam Damayanti (2013: 12), puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan penggulangan suara sebagai ciri khasnya. Penggulangan kata tersebut menghasilkan rima, irama atau ritme.Seperti yang diungkapkan Ahmad dalam Pradopo (1999: 3 -4), puisi memiliki tiga unsur pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide atau emosi; kedua, bentuknya; dan ketiga, kesannya. Semua unsur-unsur tersebut diungkapkan dengan menggunakan media bahasa.

2.1.3.1 Puisi China

  Puisi China kuno dibagi menjadi dua jenis, yakni: 1.

  Gǔtǐshī (古体诗)

Gǔtǐshī merupakan pola puisi pra-Dinasti Tang, biasanya setiap baris terdiri

  dari empat, lima, enam atau tujuh kata, kalimatnya tidak terbatas dan jumlah aksaranya boleh tidak sama atau tidak bersajak, susunannya bebas.

2. Jìntǐshī (近体诗)

  

Jìntǐshī disebut juga puisi gaya “modern”, yakni puisi klasik yang mulai

  tumbuh sejak era Dinasti Tang (618-907), yang mempunyai ketentuan yang ketat mengenai kata atau kalimat, nada dan rima.

  Jìntǐshī dibedakan menjadi

  dua jenis yakni: a.

  Sajak delapan baris (Lǜshī 律诗) Merupakan salah satu jenis puisi klasik pada zaman Dinasti Tang, terkenal dengan aturan komposisi yang ketat. Pada umumnya setiap syair terdiri dari delapan kalimat, setiap kalimat terdiri dari lima aksara disebut Wulu dan kalimat yang terdiri dari tujuh aksara disebut Qilu.

  b.

  Puisi empat seuntai (Juégōu 绝句) Puisi empat seuntai telah ada pada zaman Dinasti Han, mengalami pembentukan pada Dinasti WeiJinNanBei dan berjaya pada zaman Dinasti

  

Tang. Dinasti Song dan Tang merupakan era dimana puisi klasik

mengalami masa kejayaan, puisi-puisi banyak ditulis pada zaman ini.

  .

2.1.4 Penyair Du Fu

  Du Fu merupakan seorang

   Ia bernama lengkap

Dùziměi (杜子美). Ia sering kali disebut sebagai penyair terbesar China.

  Walaupun pada awalnya ia tidak terlalu dikenal, namun karya-karyanya membawa pengaruh yang besar bagi budaya China dan Ia disebut sebagai penyair sejarah dan penyair bijak oleh para dan penyair besar lainnya.

  Ia terkenal dengan karyanya “Tiga Pembesar” dan “Tiga Perpisahan”.

  Seperti kebanyakan penyair China lainnya, Du Fu berasal dari keluarga bangsawan yang telah jatuh miskin. Tidak lama setelah ia lahir, ibunya meninggal, Du Fu pun dibesarkan oleh bibinya. Ia mempunyai seorang kakak lelaki yang meninggal dunia ketika masih muda. Ia juga mempunyai 3 saudara tiri laki-laki dan seorang saudara tiri perempuan yang sering disebutkannya dalam puisi-puisi karangannya, meskipun ia tak pernah menyebut ibu tirinya di dalam puisinya.

  Sebagai seorang anak dan pejabat kecil, masa kecilnya dihabiskan dengan pendidikan standar bagi calon pejabat negara, yaitu mempelajari dan menghafalkan Du Fu mengatakan bahwa, ia telah membuat beberapa puisi yang baik pada masa remajanya, namun puisi-puisi tersebut hilang.

  Du Fu meninggal pada tahun 770 M, saat ia berusia 59 tahun di Tanzhou

  dan sekarang Changsha. Karya-karya Du Fu terpusat pada alur sejarah, pengaruh moral dan keahliannya dalan menulis. Sejak zaman Dinasti Song, Du Fu sering disebut sebagai “Penyair Sejarah” (诗史). Puisi-puisinya mengomentari taktik militer atau kesuksesan atau kegaggalan dari pemerintah, juga puisi nasihat yang ditulisnya untuk kaisar. Secara tidak langsung, ia menulis mengenai pengaruh ketidakstabilan politik yang terjadi pada saat itu untuk dirinya dan juga rakyat China lainya.

  Pada masa hidupnya karya-karya Du Fu tidak banyak dikenal dan lebih banyak tidak dihiraukan. Namun karya-karya beliau mulai dinikmati pada abad ke 9 M dan setelah memasuki abad ke 11 yaitu pada masa Dinasti Song Selatan, puisi dan tulisan karya Du Fu mencapai puncaknya.

  Perkembangan neo-Konfusisme pada masa itu juga memengaruhi kepopuleran karya-karya Du Fu. Ia dianggap sebagai contoh puitis dari

  neo-Konfusisme.

  Pada masa negara China sebagai Republik, Du Fu menghasilkan karya-karya tentang penderitaan rakyat dan kesetiaannya kepada negara.

  Puisinya juga menggunakan bahasa rakyat sehingga menjadi salah satu daya tarik masyarakat China.

2.1.4.1 Puisi Karya Du Fu

  Tabel 1. Puisi Karya Du Fu

  759 7. 《蜀相》

  766

  Qiū xìng bā shǒu(Qí yī)

  765 11. 《秋兴八首(其一)》

  Lǚ yè shū huái

  763 10 《旅夜书怀》

  Wén guān jūn shōu hénán běi

  761 9. 《闻官军收河南北》

  Chūn yè xǐyǔ

  760 8. 《春夜喜雨》

  Shǔxiāng

  

Tiān mò huái lǐbái

  No Judul Puisi Tahun 1.

  759 6. 《天末怀李白》

  Du Fu telah banyak menulis puisi pada masa Dinasti Tang, berikut adalah puisi terkenal karya Du Fu.

  756 5. 《春望》

  Bēi chén táo

  《悲陈陶》

  Yuèyè 756 4.

  735 3. 《月夜》

  Huà yīng

  2. 《画鹰》

  Wàng yuè 735

  《望岳》

  Chūn wàng

  12. 《咏怀古迹五首(其三)》

  Yǒnghuái gǔjī wǔ shǒu (qí sān)

  766 13. 《登高》

  Dēnggāo

  767 14. 《登岳阳楼》

  

Dēng yuèyánglóu

  768 15. 《登楼》

  Dēnglóu

  764

2.2 Tinjauan Pustaka

  Yu Nianhu (2009) dalam Jurnal elektronik Akademik Cina menulis artikel yang berjudul “Dù shī xiūcí gé de chāocháng yùnyòng” (Gaya Bahasa pada Puisi Du Fu dalam Keistimewaan Penggunaan) yakni lima jenis gaya bahasa yang ada dalam puisi-puisi karya Du Fu dengan menggunakan bahasa kiasan yang tidak terbatas pada penggunaan tradisionalnya, puisinya dapat memberikan kesan dan pengertian yang lebih daripada orang-orang biasanya. Penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi penulis mengenai keistimewaan dan ciri khas gaya bahasa metafora dan peran penting gaya bahasa hiperbola.

  Han Xiaoguang (2011) dalam Jurnal elektronik Akademik Cina menulis artikel yang berjudul “ Dùfǔ juégōu zhōng chángyòng jù shì qiǎn xī ” (Analisis Penggunaan Kalimat pada Puisi Empat Seuntai Karya Du Fu), menjelaskan karya Du Fu berusaha menunjukkan gaya yang berbeda,

  

diantaranya dengan pemilihan kalimat yang dapat dengan sepenuhnya

mengapresiasikan keindahan yang diinginkan. Penelitian ini memberikan

  kontribusi positif bagi penulis mengenai teknik mengapresiasikan keindahan dalam kalimat.

  Rao Fanli (2013) dalam Jurnal elektronik akademik Cina menulis artikel yang berjudul “ Shì lùn dùfǔ juégōu shī de yìshù tèsè ” (Ciri

  

Kesenian pada Puisi Empat Seuntai Karya Du Fu), serta menjelaskan ciri

khas dari puisi empat seuntai karya Du Fu, dari struktur puisi, perubahan

intonasi, gaya penulisan dan gaya bahasa yang ada pada puisi empat

seuntai karya Du Fu. Penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi

  penulis mengenai ciri khas gaya bahasa, struktur puisi yang terdapat pada puisi empat seuntai karya Du Fu.

  Rudy (2007) dalam skripsi yang berjudul “Analisis Puisi Penyair

Li Bai Berdasarkan Gaya Bahasa” menganalisis empat gaya bahasa pada

12 puisi yang terdapat dalam buku Li Taibai Quanji, dengan

menggunakan teori semantik untuk menguji makna pada puisi Li Bai.

  Keempat gaya bahasa tersebut yaitu Dui’ou, metafora, hiperbola dan

litotes. Penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi penulis mengenai

fungsi dari masing-masing gaya bahasa tersebut.

2.3 Landasan Teori

  Pada penelitian ini penulis menggunakan semantik yaitu semantik leksikal untuk mengupas masalah mengenai makna yang terkandung di dalam karya puisi

  Du Fu.

  

Huang dan Liao (1991: 215) menjelaskan bahwa dengan mempelajari dan

  menggunakan gaya bahasa, dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan dan dapat dengan sempurna menyampaikan sebuah pemikiran.

  Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang (sign). Kata “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filolog

  Perancis bernama Michel Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari empat tataran linguistik: fonologi, sintaksis, morfologi dan semantik. (Chaer, 1990: 2)

  Menurut Tarigan (1985:7), semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.

  Ada beberapa jenis semantik yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa penyelidikannya adalah leksikon (kosakata) dari bahasa itu, maka jenis sematiknya disebut semantik leksikal. Semantik leksikal ini diselidiki makna yang ada pada leksem-leksem dari bahasa tersebut. Oleh karena itu makna yang ada pada leksem-leksem itu disebut leksem leksikal. (Chaer, 1990:7)

  Chaer (2002:60) menyatakan bahwa leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuleri, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh karena itu,dapat dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Misalnya, kata

  ‘tikus’, makna leksikalnya adalah sejenis binatang yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tipes. Makna ini tampak jelas dalam kalimat

  ‘Tikus itu mati diterkam kucing’, kata ‘tikus’ merujuk kepada ‘binatang tikus’, bukan kepada yang lain. Di dalam kalimat, ‘yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam

  ’ bukanlah dalam makna leksikal sehingga kata ‘tikus’ sudah bermakna konotasi. Dengan kata lain, kata tikus tidak merujuk kepada

  ‘binatang tikus’ melainkan kepada ‘seorang manusia’, yang perbuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.

  Gaya bahasa sering dan banyak dibicarakan dalam bidang sastra, tetapi yang dipentingkan bukan gaya bahasanya, melainkan makna kata atau kalimat yang menggunakan gaya bahasa tersebut. Penulis mengaplikasikan kajian semantik khususnya semantik leksikal pada rumusan masalah kedua dengan menjelaskan makna pada puisi sesuai dengan makna leksikalnya atau makna yang sesungguhnya.

Dokumen yang terkait

Evaluasi Literasi Informasi Dengan Menggunakan Empowering 8 Pada Pengguna Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan

1 0 11

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1. Pengertian Literasi Informasi - Evaluasi Literasi Informasi Dengan Menggunakan Empowering 8 Pada Pengguna Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan

0 0 17

Evaluasi Literasi Informasi Dengan Menggunakan Empowering 8 Pada Pengguna Perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan

1 3 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Kajian - Proses Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay (Studi Kasus Tentang Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay Di Kota Medan)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Proses Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay (Studi Kasus Tentang Pengungkapan Diri(Self Disclosure) Kaum Gay Di Kota Medan)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN - Pengaturan Batas Wilayah Laut Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan Relevansinya Dengan United Nations Convention On The Aw Of The Sea 1982

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan Website Perpustakaan - Pengaruh Situs Jejaring Sosial Terhadap Pemanfaatan Website Perpustakaan USU

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Situs Jejaring Sosial Terhadap Pemanfaatan Website Perpustakaan USU

0 0 9

BAB II TINJAUAN UMUMDALAM PENDAFTARANTANAH A. SejarahPendaftaranTanahdi Indonesia - Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang - Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997

0 0 21