Gaya Bahasa Retoris Dan Kiasan Dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari

(1)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN

DALAM

RECTOVERSO

KARYA DEWI LESTARI

SKRIPSI

NURUL FITRIAH

050701026

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM

RECTOVERSO

KARYA DEWI LESTARI

Nurul Fitriah

050701026

Proposal ini diajukan untuk melengkapi persyaratan skripsi dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum. Dra. Sugihana, M. Hum. NIP : 19610721 198803 1 001 NIP : 19600307 198601 2 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP. 19620419 198703 2 001


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Maret 2010


(4)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI

NURUL FITRIAH

ABSTRAK

Penelitian mengenai gaya bahasa dalam Rectoverso ini sangat menarik untuk ditelaah. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik cakap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap (SLBC) sebagai teknik lanjutan dan kemudian dilanjutkan dengan pencataan dan klasifikasi. Metode agih dan teknik baca markah (BM) dipilih untuk menganalisis data. Data dianalisis dengan menerapkan teori stilistika seperti yang digunakan oleh Gorys Keraf. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam Rectoverso dan mengungkapkan gaya bahasa yang dominan dalam Rectoverso tersebut. Dari hasil penelitian, terdapat sebelas macam gaya bahasa yang termasuk kedalam gaya bahasa retoris, yaitu aliterasi, asonansi, anastrof, apostrof, asindeton, elipsis, eufemismus, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, koreksio dan epanortosis, dan terakhir hiperbol. Sedangkan gaya bahasa kiasan hanya sekitar enam gaya bahasa saja yaitu persamaan atau simile, metafora, alegori, personifikasi, sinekdoke pars pro toto, dan antonomasia. Kemudian gaya bahasa yang dominan digunakan adalah gaya bahasa persamaan atau simile.


(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Gaya Bahasa Retoris dan Kiasan dalam Rectoverso.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan baik secara materi maupun cara penyajiannya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis banyak menghadapi hambatan baik dari segi pendanaan maupun waktu. Namun penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A,Ph.D. sebagai Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. sebagai Ketua Departeman Sastra Indonesia yang telah memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis. 3. Ibu Dra. Mascahaya, M.Hum. sebagai Sekretaris Departeman Sastra Indonesia

yang telah memberikan dorongan dan bimbingan kepada penulis.

4. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. sebagai Pembantu Dekan III dan pembimbing I yang telah memberikan semangat dan meluangkan waktu untuk memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Ibu dra. Sugihana, M. Hum. sebagai pembimbing II yang telah memberikan dorongan dan bimbingan demi kesempurnaan skripsi ini.


(6)

5. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman sebagai Pembimbing Akademik (PA) yang telah mendidik dan menasehati penulis selama menjadi mahasiswa.

6. Bapak / Ibu staf pengajar Departeman Sastra Indonesia yang telah mendidik penulis selama menjadi mahasiswa.

7. Ayahanda A. Musannif (alm) dan ibunda Nursiah, Amd. tercinta yang selalu memberikan kasih sayang yang tidak terhingga, doa, materi, dorongan, semangat dan perhatian kepada penulis.

8. Kakak dan adik penulis yang selalu memberi semangat dan motifasi kepada penulis.

9. Semua teman di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra Stambuk 2005 khususnya Sandra, Lia dan Wika terima kasih sudah menjadi sahabat yang baik buat penulis.

Akhirnya, harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, Maret 2010

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... i

PRAKATA ... ... ii

DAFTAR ISI ... ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

1.1 Latar Belakang Dan Masalah ... ... 1

1.1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.1.2 Rumusan Masalah ... ... 4

1.2 Batasan Masalah ... ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 4

1.3.1 Tujuan penelitian ... ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA.. ... 6

2.1 Konsep dan Landasan Teori ... ... 6

2.1.1 Konsep ... ... 6

2.1.1.1 Gaya Bahasa ... ... 6

2.1.1.2 Retoris ... ... 6

2.1.1.3 Kiasan ... ... 7

2.1.1.4 Rectoverso ... ... 7

2.2 Landasan Teori ... ... 7

2.3 Tinjauan Pustaka ... ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... ... 23


(8)

3.1.2 Sampel ... ... 23

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... ... 24

3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... ... 24

BAB IV GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI ... ... 27

4.1 Jenis-Jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari ... 27

1. Aliterasi ... ... 27

2. Asonansi ... ... 28

3. Anastrof ... ... 30

4. Apofasis atau preterisio ... ... 30

5. Apostrof ... ... 30

6. Asindeton ... ... 31

7. Polisindeton ... ... 33

8. Kiasmus ... ... 33

9. Elipsis ... ... 34

10. Eufemismus ... ... 34

11. Litotes ... ... 34

12. Histeron proteron ... ... 35

!3. Pleonasme dan Tautologi... ... 35

14. Perifrasis ... ... 35

15. Prolepsis atau Antisipasi ... ... 36

16. Erotesis atau Pertanyaan Retoris ... ... 36


(9)

18. Koreksio atau Epanortosis ... ... 38

19. Hiperbol ... ... 38

20. Paradoks ... ... 41

21. Oksimoron ... ... 41

4.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa Kiasan dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari ... 41

1. Persamaan atau Simile ... ... 42

2. Metafora ... ... 48

3. Alegori, Parabel, dan Fabel ... ... 49

4. Personifikasi ... ... 50

5. Alusi ... ... 53

6. Eponim ... ... 53

7. Epitet ... ... 53

8. Sinekdoke ... ... 54

9. Metonimia ... ... 55

10. Antonomasia ... ... 55

11. Hipalase... ... 55

12. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme ... ... 56

13. Satire ... ... 56

14. Inuendo ... ... 56

15. Antifrasis ... ... 56

16. Pun atau Paronomasia ... ... 57


(10)

5.1 Simpulan ... ... 58 5.2 Saran ... ... 59

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI

NURUL FITRIAH

ABSTRAK

Penelitian mengenai gaya bahasa dalam Rectoverso ini sangat menarik untuk ditelaah. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak dengan teknik cakap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap (SLBC) sebagai teknik lanjutan dan kemudian dilanjutkan dengan pencataan dan klasifikasi. Metode agih dan teknik baca markah (BM) dipilih untuk menganalisis data. Data dianalisis dengan menerapkan teori stilistika seperti yang digunakan oleh Gorys Keraf. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam Rectoverso dan mengungkapkan gaya bahasa yang dominan dalam Rectoverso tersebut. Dari hasil penelitian, terdapat sebelas macam gaya bahasa yang termasuk kedalam gaya bahasa retoris, yaitu aliterasi, asonansi, anastrof, apostrof, asindeton, elipsis, eufemismus, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, koreksio dan epanortosis, dan terakhir hiperbol. Sedangkan gaya bahasa kiasan hanya sekitar enam gaya bahasa saja yaitu persamaan atau simile, metafora, alegori, personifikasi, sinekdoke pars pro toto, dan antonomasia. Kemudian gaya bahasa yang dominan digunakan adalah gaya bahasa persamaan atau simile.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1Latar Belakang

Dalam mencapai kehidupan yang lebih sempurna, manusia selalu berusaha mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Salah satu kebutuhan rohani manusia adalah keindahan atau seni. Keindahan atau seni dapat diperoleh dari karya sastra yang dapat diungkapkan melalui pikiran dan perasaan. Seseorang dapat mengungkapkan atau melukiskan sesuatu hal yang berbeda-beda. Demikian juga dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, seseorang dapat melakukannya dengan cara yang berbeda pula. Dalam menyampaikan pikiran dan perasan tersebut, keindahan atau seni dapat dilihat dari gaya bahasa yang digunakan, penggunaan kata dalam kalimat, mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang indah, dan masih banyak lagi.

Gaya bahasa sesungguhnya terdapat pada seluruh ragam bahasa, baik ragam bahasa lisan maupun ragam bahasa tulisan. Ragam bahasa lisan dinyatakan dengan mimik, tekanan suara, gerak tubuh, dan lain-lain. Sementara ragam bahasa tulisan dapat dinyatakan dengan pikiran dan perasaan melalui karya yang dihasilkan.

Menurut Aminudin (1995), “gaya merupakan perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya”. Gaya bahasa memberikan ciri khas pada sebuah teks dan yang


(13)

menjadikan teks itu seperti individu jika dibandingkan dengan teks lain. Gaya bahasa yang dimiliki setiap individu dapat dituangkan melalui karya yang dihasilkannya seperti cerpen, novel, esei, prosa, drama, puisi, lagu, ataupun ceramah.

Penelitian mengenai gaya bahasa ini merupakan penelitian dengan mengambil ragam bahasa tulisan dan lisan yang terdapat pada Rectoverso karya Dewi Lestari. Kumpulan fiksi dan lagu yang terhimpun dalam Rectoverso karya Dewi Lestari merupakan mahakarya unik dan yang pertama di Indonesia.

Dewi Lestari Simangunsong yang akrab dipanggil Dee lahir d

awalnya dikenal sebagai anggota trio vokal Sejak menerbitkan novel novelis.

Novel pertamanya yang sensasional, Supernova Satu : Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul Akar pada 16 Oktober 2002. Pada bulan Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova episode Petir.

Lama tidak menghasilkan karya, pada bulan Agustus 2008, Dee merilis karya terbarunya yaitu Rectoverso yang merupakan paduan fiksi dan musik. Tema yang diusung adalah Sentuh Hati dari Dua Sisi. Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tetapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling


(14)

melengkapi. Buku Rectoverso terdiri dari sebelas fiksi dan sebelas lagu yang saling berhubungan.

Karyanya ini walaupun terasa ringan, namun gaya bahasa yang cerdas khas Dee, masih terasa kental di novel ini, gaya bahasa yang lebih puitis dibanding dengan karya Dee yang lain. Karya yang berisi sebelas kisah, dengan dua judul berbahasa Inggris, ditambah dengan ilustrasi gambar dan foto, makin membuat sempurna karyanya ini. Nilai lebih novel ini, seperti yang menjadi daya tarik utama promosinya, karena ada juga versi CD-nya. CD dan novelnya dijual terpisah. Lebih istimewa lagi, karena memang Dee adalah seorang penyanyi asli.

Rectoverso seperti puisi dalam sebelas bagian, ketika bukan alur maupun cerita yang penting melainkan nuansa bahasa dan suasana hati penuturnya berbicara. Menurut pengamatan sekilas, Dewi Lestari yang menciptakan maha karya yang begitu indah. Seakan kita hanyut dalam buaian kata yang seolah kita sendiri yang mengalami lembar demi lembar, apalagi Dewi Lestari tidak berhenti sampai di sana. Ia menginspirasikannya lagi dengan lagu-lagu bersyair dan bermelodi yang indah. Dengan alasan tersebut, penulis merasa penelitian tentang gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan sangat layak dan menarik untuk dibahas, apalagi pada karya Dewi Lestari yang sangat berbakat sebagai pengarang suatu karya sastra.


(15)

1.1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka pokok permasalahan yang akan dibicarakan adalah gaya bahasa apa sajakah yang digunakan Dewi Lestari dalam karyanya yang berjudul Rectoverso.

1.2 Batasan Masalah

Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada gaya bahasa retoris dan kiasan yang terangkum dalam Rectoverso. Buku Rectoverso ini terdiri dari sebelas cerpen dan sebelas lagu, dan dua di antaranya merupakan cerpen dan lagu yang menggunakan bahasa Inggris. Dalam hal ini, penulis hanya meneliti cerpen dan lagu yang menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini hanya meneliti sembilan cerpen dan lagu yang terdapat dalam buku tersebut.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dibicarakan, penelitian ini bertujuan untuk menguraikan atau mendeskripsikan gaya bahasa yang dipergunakan Dewi Lestari dalam karyanya yang berjudul Rectoverso.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang gaya bahasa retoris dan kiasan dalam Rectoverso karya Dewi Lestari diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Menambah pengetahuan pada bidang ilmu stilistika yang secara umum memberikan manfaat bagi para pemerhati karya sastra.


(16)

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain yang ingin membicarakan gaya bahasa pada jenis karya sastra lainnya.

3. Menambah wawasan dan khasanah bagi para pembaca dan penikmat karya sastra tentang gaya bahasa pada cerpen dan lagu.


(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan Landasan Teori

2.1.1Konsep

Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada di luar bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal yang lain (KBBI, 2003: 588). Jadi, konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.1.1.1Gaya bahasa

Bila kita lihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Menurut Keraf (2006:113), “gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Dalam Tarigan (1985:5) dinyatakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum.

2.1.1.2Retoris

Gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak atau


(18)

orator atau ahli pidato. Dalam Keraf (2006:1) dijelaskan bahwa “retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan kepada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik”.

2.1.1.3Kiasan

Kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Dalam yang berbunga-bunga, bukan dalam arti kata yang sebenarnya. Kata kiasan dipakai untuk memberi rasa keindahan dan penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan”.

2.1.1.4Rectoverso

Rectoverso merupakan karya hibrida Dewi Lestari. Jika menurut istilah biologi hibrida adalah turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan (tentang hewan atau tumbuhan), maka karya ini merupakan perkawinan silang antara buku dan musiknya. Rectoverso yang berasal dari bahasa Latin ini merupakan pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi (Lestari : iv). Dee menyuguhkan sebelas fiksi dan sebelas lirik lagu yang dikemas dalam buku beserta CD. Kedua karya ini saling bercermin, tetapi pada saat bersamaan bisa dinikmati sebagai dua karya yang terpisah.

2.1.2 Landasan Teori

Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teori stilistika. Istilah stilistika berasal dari bahasa Latin yaitu style


(19)

performasi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 1995: 279). Tuner dalam Pradopo (1999) “stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, seringkali tetap tidak secara eksklusif, memberikan perhatian khusus kepada penggunaan bahasa yang paling sadar dan paling kompleks dalam kesusastraan”.

Kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra saja, namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Stilistika dapat dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik di pihak lain, karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika merupakan suatu ilmu yang di dalamnya juga dipelajari tentang kata-kata berjiwa, gaya bahasa, maupun unsur-unsur lain yang terdapat dalam suatu karya sastra.

Beberapa pakar linguistik telah mencoba memberikan batasan mengenai gaya bahasa. Menurut Ahmadi (1990: 170) “gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa yang istimewa, dan tidak dapat dipisahkan dari cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan (memantulkan, mencerminkan) pengalaman, nilai-nilai kualitas kesadaran pikiran dan pandangan yang istimewa atau khusus”. Ahmadi membagi gaya bahasa menjadi dua, yaitu gaya bahasa penekanan yang terdiri dari 25 jenis gaya bahasa dan gaya bahasa perbandingan yang terdiri dari empat belas jenis.

Lain halnya menurut Keraf (2006:113) “gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Berdasarkan langsung tidaknya makna, Keraf membagi gaya bahasa menjadi dua macam, yaitu gaya bahasa retoris yang


(20)

terdiri atas 21 jenis dan gaya bahasa kiasan yang terdiri atas enam belas jenis gaya bahasa.

Sedangkan dalam Tarigan (1985:5) dinyatakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Tarigan membagi gaya bahasa menjadi empat varian, yaitu gaya bahasa perbandingan yang terdiri atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdiri atas 21 macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan kemampuan dari seorang pengarang dalam mempergunakan ragam bahasa tertentu dalam menulis sebuah karya sastra, dan ragam bahasa tersebut sudah mempunyai pola-pola tertentu dan akan memberi kesan pada pembaca atau pendengar karya itu.

Dalam hal ini, penulis memilih teori Gorys Keraf untuk menganalisis pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam Rectoverso.

Menurut Keraf (2006:130), berdasarkan langsung tidaknya, makna gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:

1. gaya bahasa retoris, dan 2. gaya bahasa kiasan.

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006: 130). Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan,


(21)

memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Sedangkan gaya bahasa kiasan membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba untuk menemukan ciri yang menunjukka n kesamaan antara dua hal tersebut (Keraf, 2006:136). Gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks dan oksimoron. Sedangkan gaya bahasa kiasan terdiri atas persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, inuendo, satire, antifrasis, pun atau paronomasia.

(1) Gaya bahasa retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006:130). Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan.

Gaya bahasa retoris dapat dibedakan seperti berikut.

1. Aliterasi

Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama, baik di awal, di tengah, maupun di akhir kata, frase atau kalimat.


(22)

Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk hiasan atau untuk penekanan.

Misalnya : Takut titik lalu tumpah.

Keras-keras kerak kena air lembut juga.

2. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan vocal yang sama, baik di awal, di tengah, maupun di akhir kata, frase atau kalimat. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan.

Misalnya: aku adalah wanitamu, aku adalah kekasihmu, dan aku adalah kamu.

3. Anastrof

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.

Misalnya: Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya.

4. Apofasis atau preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi nampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.

Misalnya : Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

5. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dilakukan oleh orator


(23)

klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, si orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraan langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin.

Misalnya : Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.

6. Asindeton

Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.

Misalnya : Kesesakan, kepedihan, kesakitan. Seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.

7. Polisindeton

Poliosindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung.

Misalnya: Dan ke manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan pada dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?

8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus juga merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Misalnya: Dia menyalahkan yang benar, dan membenarkan yang salah.


(24)

9. Elipsis

Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.

Misalnya : Orang itu memukul dengan sekuat daya. (penghilangan objek: saya, istrinya, ular, dan lain-lain).

10.Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik”. Secara gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.

Misalnya : Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini ( =gila).

11.Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya.

Misalnya : Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan satu milyar rupiah.


(25)

12.Histeron proteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini juga disebut hiperbaton.

Misalnya : Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.

13.Pleonasme dan tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh.

Misalnya : Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lainnya.

Misalnya : Ia tiba pukul 20.00 malam waktu setempat.

14.Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak daripada yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal kata-kata yang berlebihan itu dan sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.

Misalnya : Jawaban bagi permintaan Saudara adalah tidak. (= ditolak).

15.Prolepsis atau antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.


(26)

Misalnya : Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.

16.Erotesis atau pertanyaan retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya jawaban.

Misalnya: Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah Saudara kalau harga-harga itu terlalu tinggi?

17.Silepsis dan zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satu yang mempunyai hubungan dengan kata pertama.

Dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar.

Misalnya: Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.

Dalam zeugma, yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu kata itu (baik secara logis maupun secara gramatikal).

Misalnya : Ia menundukkan kepala dan badannya untuk memberi hormat kepada kami.

18.Koreksio dan epanortosis

Koreksio dan epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.


(27)

Misalnya: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.

19.Hiperbol

Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal (jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya).

Misalnya : Kemarahanku sudah menjadi-jadi, hingga hampir-hampir meledak aku.

20.Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya.

Misalnya : Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.

21.Oksimoron

Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan, namun sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.

Misalnya : Keramah-tamahan yang bengis.

(2) Gaya bahasa kiasan

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang manunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut


(28)

(Keraf, 2006:136). Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

a. Dia sama pintar dengan kakaknya. Kerbau itu sama kuat dengan sapi. b. Matanya seperti bintang timur.

Bibirnya seperti delima merekah.

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan pertama mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan.

Gaya bahasa kiasan dapat dibedakan atas :

1. Persamaanatau simile

Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu gaya bahasa yang langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal lain.

Misalnya : Kikirnya seperti kepiting batu. Alisnya bagai semut beriring.

2. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat dengan kias perwujudan.


(29)

3. Alegori, parabel, dan fabel

Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kisahan. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat.

Misalnya : Cerita tentang putri salju.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama.

Misalnya : Cerita tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya.

Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia.

Misalnya : Cerita dongeng SangKancil.

4. Personifikasi

Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati atau barang yang tak bernyawa seolah-olah dapat bertingkah laku seperti manusia.

Misalnya : Angin malam meraung seolah mengerti kegalauan hatiku.

5. Alusi

Alusi adalah semacam acuan yang menyugesti kesamaan antara orang, tempat, dan peristiwa.

Misalnya : Bandung adalah Paris Jawa kebanggaan Indonesia

6. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu.


(30)

Misalnya : Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.

7. Epitet

Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal.

Misalnya : Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya (=bulan).

8. Sinekdoke

Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan bagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totem pro parte).

Misalnya : Setiap kepala dikenai iuran Rp 1000,00 (pars pro toto).

Indonesia memenangkan medali di kejuaraan bulu tangkis dunia (totem pro parte).

9. Metonimia

Metonimia adalah gaya bahasa kiasan yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal yang lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat, atau dengan kata lain metonimia menyatakan sesuatu yang menyebutkan namanya secara langsung untuk memahami hal yang dimaksud.

Misalnya : Ia membeli sebuah chevrolet.

10.Antonomasia

Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri.


(31)

11.Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu digunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain.

Misalnya : Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah. (yang gelisah adalah manusianya bukan kasurnya).

12.Ironi, sinisme, dan sarkasme

Ironi adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal lain yang berlawanan dengan tujuan agar orang yang dituju tersindir secara halus.

Misalnya : Untuk apa susah-susah belajar, kau kan sudah pintar!

Sinisme adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan menggunakan hal yang berlawanan dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan.

Misalnya : Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti aku ini!

Sarkasme adalah gaya bahasa yang melontarkan tanggapan secara pedas dan kasar tanpa menghiraukan perasaan orang lain.

Misalnya : Sikapmu seperti anjing dan sifatmu seperti babi!

13.Satire

Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia.


(32)

Misalnya : Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan.

14.Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.

Misalnya : Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum.

15.Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri.

Misalnya : Lihatlah sang raksasa telah datang (maksudnya si cebol).

16.Pun atau paronamasia

Pun atau paronamasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi yang berupa permainan kata, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya.

Misalnya : “Engkau orang kaya!” “Ya, kaya monyet!”.

Uraian di atas memuat tentang gaya bahasa retoris dan kiasan yang akan dipergunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. Gaya bahasa ini memiliki fungsi yang berbeda pada setiap kalimat. Ada yang berfungsi sebagai penambah nilai estetik atau keindahan dan ada pula yang memperjelas dan memperkuat makna, atau hanya sekedar hiasan. Keseluruhan jenis gaya bahasa inilah yang akan diterapkan penggunaannya dalam penelitian ini selanjutnya.


(33)

2.2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah diselidiki atau mempelajari (KBBI, 2003:sebelas98). Pustaka adalah kitab-kitab; buku; buku primbon, (KBBI, 2003:912).

Tinjauan pustaka adalah hal-hal atau pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian itu sebagai bahan referensi yang mendukung penelitian tersebut. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa buku sebagai referensi, seperti buku karangan Gorys Keraf yang berjudul “Diksi dan Gaya Bahasa”. Dalam bukunya, dinyatakan bahwa berdasarkan langsung tidaknya makna yang biasanya disebut figure of speech gaya bahasa digolongkan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.

Selain itu, penulis juga menggunakan buku karangan Tarigan yang berjudul “Pengajaran Gaya Bahasa”. Dalam bukunya, beliau membagi gaya bahasa menjadi empat varian, yaitu gaya bahasa perbandingan yang terdiri atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdiri atas 21 macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam.

Penelitian mengenai gaya bahasa sudah pernah dilakukan oleh Enda Adelina (2006) yang mengkaji masalah gaya bahasa perbandingan dan penekanan pada kumpulan lagu Iwan Fals.

Selain itu, penelitian mengenai gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan juga sudah pernah dianalisis oleh Imran (2008). Dalam penelitiannya, Imran menganalisis gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan dalam kumpulan puisi Cinta Setahun Penuh karya Tri Utami.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Populasi dan Sampel 3.1.1 Populasi

Populasi berarti sekumpulan unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian (Malo, 1985: 149). Populasi dalam penelitian ini adalah semua kalimat yang terdapat dalam Rectoverso karya Dewi Lestari yang menunjukkan adanya gaya bahasa.

3.1.2 Sampel

Setelah populasi dirumuskan dengan jelas, barulah kita dapat menetapkan apakah mungkin untuk meneliti seluruh elemen populasi ataukah perlu mengambil sebagian saja dari populasi yang sering disebut sebagai sampel. (Malo, 1985:151).

Karena jumlah data yang banyak, maka penulis mengambil sampel dari beberapa yang tersedia. Dalam memilih sampel, penulis menggunakan penarikan sampel secara random sederhana (simple random sampling). Dengan cara mengundi elemen atau anggota populasi. Dalam Malo (1985:154) dijelaskan bahwa ”penarikan random sederhana dengan cara mengundi yaitu sebuah sampel diambil sedemikian rupa sehingga anggota populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk dipilih menjadi sampel”. Pengundian sampel tersebut dilakukan dengan cara menggulung-gulung tiap nomor populasi kemudian dilakukan pengocokan dan pengundian dengan mengambil sejumlah kertas sesuai dengan jumlah yang diinginkan.


(35)

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan kajian mengenai gaya bahasa retoris dan kiasan yang terangkum dalam Rectoverso karya Dewi Lestari. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Rectoverso karya Dewi Lestari ini adalah satu-satunya sumber data dan dari mana penelitian ini yang diperlukan itu diambil. Jadi, buku karya Dewi Lestari ini merupakan sasaran atau objek penelitian, terutama mengenai gaya bahasa yang ada di dalamnya. Data buku yang menjadi objek kajian penelitian, yaitu:

Judul : Rectoverso

No. ISBN : 978-979-96257-4-8 Penulis : Dewi Lestari Tanggal terbit : Oktober 2008 Cetakan : Kedua

Jumlah halaman : 148 Kategori : Sastra

Metode penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan : dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Dalam hal ini tentunya adalah menyimak bahasa (kata) yang dipergunakan pengarang dalam Rectoverso karya Dewi Lestari.

Selanjutnya, untuk mengembangkan metode simak, penulis menggunakan teknik sadap sebagai teknik dasar dalam penelitian ini. Teknik sadap dilakukan dengan cara menyadap atau mengambil suatu kata yang menunjukkan adanya gaya bahasa dalam kalimat tersebut. Dikatakan teknik sadap karena penulis secara


(36)

langsung membaca serta mendengarkan kalimat yang terdapat dalam Rectoverso untuk memahami, meninjau, dan mempelajari pemakaian bahasa lalu menentukan gaya bahasa yang terbentuk. Pengumpulan data pada lirik lagu, selain menggunakan teknik sadap, penulis juga menggunakan teknik simak bebas libat cakap atau (SLBC) sebagai teknik lanjutan dari teknik sadap. Teknik simak bebas libat cakap atau (SLBC) yaitu peneliti sebagai pemerhati dengan penuh minat, tekun memperhatikan calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang ada di luar darinya (Sudaryanto, 1993:136).

Setelah dilakukan teknik-teknik di atas secara cermat dan teliti, kemudian dilakukan pencatatan data pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan pengklasifikasian. Pencatatan dilakukan langsung ketika teknik pertama digunakan.

3.3 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Metode dalam analisis gaya bahasa retoris dan kiasan dalam Rectoverso karya Dewi Lestari adalah metode agih. Disebut metode agih karena metode ini beranggapan bahwa alat penentunya adalah bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 15).

Teknik dasar yang digunakan adalah Teknik Baca Markah atau BM. Disebut Teknik Baca Markah karena cara yang digunakan dari awal kerja analisis ini adalah dengan membaca markah. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pemarkah (baik secara sintaksis, morfologis, ataupun dengan cara yang lain lagi) menunjukkan suatu kejatian satuan lingual atau identitas konstituen tertentu. Kemampuan pembaca membaca peranan markah itu (marker) berarti kemampuan


(37)

menentukan kejatian yang dimaksud (Sudaryanto, 1993 : 95). Kejatian yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu komponen kata yang menunjukkan keaslian atau identitas sehingga kita sebagai pembaca dapat melihat secara jelas pemarkah yang menandai suatu kalimat.

Contoh 1:

Aku memandangimu tanpa perlu menatap. Aku mendengarmu tanpa perlu alat. Aku menemuimu tanpa perlu hadir. Aku mencintaimu tanpa perlu apa-apa. Karena kini kumiliki sagalanya, (Rectoverso, 2008: 32).

Kalimat di atas merupakan jenis gaya bahasa asonansi. Kalimat tersebut ditandai dengan pemarkah “aku, mu, perlu” secara berulang-ulang.

Contoh 2:

“Ada yang mau berbagi lagi sebelum kita akhiri sesi malam ini?” ia bertanya pada semua. Dan terakhir matanya mendarat padaku yang meringkuk di sudut seperti binatang terluka. (Rectoverso, 2008:102).

Contoh di atas adalah kalimat yang mengandung unsur gaya bahasa personifikasi. Kalimat itu ditandai dengan pemarkah matanya mendarat padaku. Kalimat “dan terakhir matanya mendarat padaku yang meringkuk di sudut seperti binatang terluka” mengandung perilaku.


(38)

BAB IV

GAYA BAHASA RETORIS DAN KIASAN DALAM RECTOVERSO KARYA DEWI LESTARI

4.1 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2006: 130). Gaya bahasa ini memiliki berbagai fungsi antara lain menjelaskan, memperkuat, menghidupkan objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Jenis-jenis gaya bahasa retoris dalam Rectoverso karya Dewi Lestari adalah sebagai berikut ini.

1. Aliterasi

Contoh 1. Data 83

“Siapa yang mengatur itu? Akupun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa” (hal. 57)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliterasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di awal kata yakni pada kata sendiri, sehingga, sia-sia, dan siapa-siapa. Jadi dengan menggunakan pengulangan konsonan pada kata tersebut, maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa aliterasi.

Contoh 2. Data 95

“Lalu nafas hangat itu hilang, lengan itu merenggang, dan tak lama kemudian ruangan itu kembali benderang…” (hal. 88)


(39)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa aliterasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan konsonan yang sama di akhir kata yakni pada kata hilang, merenggang, dan benderang. Jadi dengan menggunakan pengulangan konsonan pada kata tersebut, maka kalimat tersebut membentuk gaya bahasa aliterasi.

2. Asonansi Contoh 3. Data 6

“Ceritamu keraf berganti selama lima tahun terakhir. Semenjak kamu resmi tergila-gila padanya. Kadang kamu bahagia, kadang kamu biasa-biasa, kadang kamu nelangsa…” (hal. 6)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di tengah dan akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase kadang kamu yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

Contoh 4. Data 62

“Cinta adalah aku, cinta adalah engkau. cinta adalah dia dan cinta tak pernah mati, sekalipun jasadku sudah...” (hal. 36)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah, dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Kata cinta dan adalah yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi


(40)

dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

Contoh 5. Data 65

“Sejenak aku teringat botol air yang berembun tadi, aku teringat trotoar tempat kami berjalan dan kakinya yang kubiarkan melangkah beberapa meter di depan, aku teringat siluet punggungnya yang menghadap panggung di bar yang kami kunjungi sebelum ini, aku teringat kehidupanku beberapa hari yang lalu sebelum bertemu dengannya, aku teringat ke mana aku harus kembali setelah malam ini, dan ke mana ia pergi nanti…” (hal. 47)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase aku teringat yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa asonansi.

Contoh 6. Data 79

“Aku tak tahu jawabannya. Aku tidak tahu sesudah ini lantas terjadi apa. Aku tidak tahu kenapa dua manusia yang saling sayang harus kembali berjalan sendiri-sendiri...” (hal. 56)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asonansi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya pengulangan vokal yang sama di awal, di tengah dan di akhir kata untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Frase aku tidak tahu yang digunakan berulang-ulang menunjukkan adanya gaya bahasa asonansi. Jadi dengan menggunakan suatu frase atau kata secara berulang-ulang, kalimat


(41)

3. Anastrof

Contoh 7. Data 155

“Lepaskanku segenap jiwamu Tanpa harus kuberdusta

Karena kaulah satu yang kusayang Dan tak layak kau didera…” (Peluk)

Kalimat di atas merupakan gaya bahasa anastrof. Kalimat ini ditandai dengan adanya pembalikan susunan kata lepaskanku yang dibuat agar memperoleh efek keindahan. Kalimat tersebut merupakan pembalikan dari susunan kata pada kalimat “kulepaskan segenap jiwamu”. Jadi kalimat tersebut membentuk gaya bahasa anastrof.

4. Apofasis atau preterisio

Apofasis atau disebut juga dengan preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi nampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa apofasis atau preterisio tersebut.

5. Apostrof

Contoh 8. Data 139

“Aku telah lumpuh, wahai butir kelapa mudah-mudahan engkau mengerti...” (hal. 130).

Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa apostrof. Kalimat ditandai dengan adanya gaya penulis yang mengalihkan amanat kepada sesuatu benda. Frase wahai butir kelapa merupakan pengalihan amanat dari lawan bicara kepada benda lain. Sehingga tampak berbicara kepada hadirin atau lawan bicara. Dengan adanya


(42)

pengalihan amanat tersebut, maka kalimat di atas membentuk gaya bahasa apostrof.

Contoh 9. Data 146

“Tahanlah, wahai waktu Ada “selamat ulang tahun” Yang harus tiba tepat waktunya Untuk dia yang terjaga

Menantiku…” (Selamat Ulang Tahun)

Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa apostrof. Kalimat ditandai dengan adanya gaya penulis yang mengalihkan amanat kepada sesuatu benda. Frase wahai waktu merupakan pengalihan amanat dari lawan bicara kepada benda lain. Sehinnga tampak berbicara kepada hadirin atau lawan bicara. Dengan adanya pengalihan amanat tersebut, maka kalimat di atas membentuk gaya bahasa apostrof.

6. Asindeton Contoh 10. Data 63

“Andai ada pintu masuk di situ, akan kuselundupkan setengah bahkan tiga perempat jiwaku untuk merasukinya, untuk membaca pikirannya, memata-matai perasaannya…” (hal. 44)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata, frase, atau klausa sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase untuk merasukinya, untuk membaca pikirannya, memata-matai perasaanny, menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.


(43)

Contoh sebelas. Data 72

“Aku hanya ingin kembali ke tempatku, di belakang sana. Menikmati apa yang kusanggup. Bukan di meja ini, bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya..”. (hal. 48)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata, frase, atau klausa sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase bukan di meja ini, bukan di sebelahnya, bukan bersentuhan dengan kakinya menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.

Contoh 12. Data 122

“Bahkan firasat ini tak sanggup menyelamatkannya, tak juga firasatnya, mata ketiganya, ari-ari dua lapisnya…” (hal. 108)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa frase sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Frase tak juga firasatnya, mata ketiganya, ari-ari dua lapisnya menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.

Contoh 13. Data 152

“Rasakanlah

Isyarat yang mampu kau tangkap Tanpa perlu kuucap

Rasakanlah air, udara, Bulan, bintang,


(44)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Kata air, udara, bulan, bintang, angin, malam, ruang, waktu, puisi menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.

Contoh 14. Data 164

“Aku kan temani engkau selalu Pagi, siang, sore, malam

Kapanpun engkau mau...” (Tidur)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa asindeton. Kalimat ini ditandai dengan adanya beberapa kata sederajat tidak dihubungkan dengan kata hubung. Kata pagi, siang, sore, malam menunjukkan adanya gaya bahasa asindeton karena kalimat tersebut terdiri dari beberapa kata, frase, atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata sambung atau kata hubung.

7. Polisindeton

Poliosindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa polisindeton tersebut.

8. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus juga merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya


(45)

9. Elipsis

Contoh 15. Data 125

“Sore ini aku akan naik taksi. Aku akan ke bandara, menghabiskan malam di angkasa…” (hal. 122)

Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa elipsis. Kalimat tersebut ditandai dengan menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Dalam kalimat Aku akan ke bandara terdapat penghilangan unsur kalimat yaitu penghilangan predikat : pergi pada kalimat aku akan ke bandara. Dengan demikian, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa elipsis.

10.Eufemismus Contoh 16. Data 16

“Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun…” (hal. 16)

Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa eufemisme. Kalimat tersebut ditandai dengan adanya penggunaan ungkapan atau acuan yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina atau menyinggung perasaan orang lain. Kalimat Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun merupakan ungkapan halus yang digunakan pengarang untuk menyatakan bahwa pria umur 38 tahun itu gila. Dengan demikian kalimat tersebut membentuk gaya bahasa eufemisme.

11.Litotes

Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari


(46)

keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa litotes tersebut.

12.Histeronproteron

Histeron proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Gaya bahasa ini juga disebut hiperbaton. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa histeron proteron tersebut.

13.Pleonasme dan tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lainnya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa pleonasme dan tautologi tersebut.

14.Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaan terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa perifrasis tersebut.


(47)

15.Prolepsis atau Antisipasi Contoh 17. Data 134

“Suasana bandara yang hiruk pikuk membuat sore ini semakin pengap. Nyaris kulupa betapa lembapnya udara di sini. Betapa banyaknya manusia berseliweran dengan aturan geraknya masing-masing. Betapa banyaknya bebunyian, kendaraan, dan tawaran-tawaran lisan dari mulai jasa transportasi sampai akomodasi. Namun kekacauan inilah gerbang yang selangkah lagi membawaku pulang”. (hal. 126)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa prolepsis atau antisipasi. Kalimat di atas ditandai dengan adanya gaya penulis yang mempergunakan lebih dahulu kata-kata sebelum gagasan atau peristiwa sebenarnya terjadi. Kalimat Suasana bandara yang hiruk pikuk membuat sore ini semakin pengap. Nyaris kulupa betapa lembapnya udara di sini. Betapa banyaknya manusia berseliweran dengan aturan geraknya masing-masing. Betapa banyaknya bebunyian, kendaraan, dan tawaran-tawaran lisan dari mulai jasa transportasi sampaio akomodasi. Namun kekacauan inilah gerbang yang selangkah lagi membawaku pulang menunjukkan adanya gaya bahasa prolepsis atau antisipasi. Jadi dengan menggunakan kata-kata sebelum gagasan sebenarnya terjadi, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa prolepsis atau antisipasi.

16.Erotesis atau pertanyaan retoris Contoh 18. Data 76

“Itukah yang dinamakan firasat? Menahun aku sudah tahu, hari ini akan tiba. Tapi bagaimana bisa kujelaskan? Aku menyayangimu seperti menyayangi diriku sendiri. Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri?...” (hal. 54)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris. Kalimat ini ditandai dengan adanya pertanyaan yang digunakan dalam suatu tulisan


(48)

menghendaki jawaban. Kalimat Tapi bagaimana bisa kujelaskan? dan Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri? menunjukkan adanya gaya bahasa erotesis. Jadi, dengan menggunakan suatu pertanyaan dalam suatu tulisan untuk memperoleh efek mendalam dan penekanan yang wajar tanpa memerlukan jawaban, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris.

Contoh 19. Data 163

“Firasat ini…

Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli

Dan terus berlari…” (Firasat)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris. Kalimat ini ditandai dengan adanya pertanyaan yang digunakan dalam suatu tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan sama sekali tidak menghendaki jawaban. Kalimat Firasat ini…Rasa ridukah ataukah tanda bahaya? menunjukkan adanya gaya bahasa erotesis. Jadi, dengan menggunakan suatu pertanyaan dalam suatu tulisan untuk memperoleh efek mendalam dan penekanan yang wajar tanpa memerlukan jawaban, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa erotesis atau pertanyaan retoris.

17.Silepsis dan zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi ratapan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Gaya bahasa silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi


(49)

secara semantik tidak benar. Sedangkan gaya bahasa zeugma, yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal). Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa silepsis dan zeugma tersebut.

18.Koreksio dan epanortosis Contoh 20. Data 128

“Bosku tiba-tiba muncul di belakang, menepuk bahuku pelan. Mantan bos, tepatnya”. (hal. 123)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa koreksio atau epanortosis. Kalimat tersebut ditandai dengan adanya gaya yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Kalimat Mantan bos, tepatnya menunjukkan adanya gaya bahasa koreksio atau epanortosis. Jadi, dengan menggunakan suatu penegasan kemudian memperbaikinya, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa koreksio atau epanortosis.

19.Hiperbol

Contoh 21. Data 12

“Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping..”. (hal. 8)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Suara piano yang mengiris-iris kuping menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu


(50)

pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol.

Contoh 22. Data 69

“Aku menghela nafas. Kisah ini semakin berat membebani lidah. Aku sampai pada bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja…” (hal. 47)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Kisah ini semakin berat membebani lidah menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol.

Contoh 23. Data 71

“Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir bagai sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus kubiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa…” (hal. 47)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol.


(51)

Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol.

Contoh 24. Data 90

“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, kedua, dan seterusnya sampai mati”. (hal. 86)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Aku jatuh cinta pada pandangan pertama,kedua, dan seterusnya sampai mati menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol.

Contoh 25. Data 132

Lewat dari lima jam, udara di pesawat berubah menjadi pisau-pisau halus yang mencacah hidung setiap kali bernapas. Kunikmati setiap sayatan pisau yang kutarik sampai ke paru-paru… (hal. 125)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa hiperbol. Kalimat di atas ditandai dengan adanya suatu gaya yang memiliki pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal. Kalimat Udara di pesawat berubah menjadi pisau-pisau halus yang mencacah hidung setiap kali bernapas. Kunikmati setiap sayatan pisau yang kutarik sampai ke paru-paru menunjukkan adanya gaya bahasa hiperbol. Jadi, dengan menggunakan suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa hiperbol.


(52)

20.Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa paradoks tersebut.

21.Oksimoron

Oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan, namun sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa oksimoron tersebut.

5.2Jenis-jenis Gaya Bahasa Kiasan dalam Rectoverso Karya Dewi Lestari

Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang manunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut (Keraf, 2006:136). Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Kelompok pertama termasuk gaya bahasa langsung dan kelompok kedua termasuk gaya bahasa kiasan.

a. Dia sama pintar dengan kakaknya. Kerbau itu sama kuat dengan sapi. b. Matanya seperti bintang timur.


(53)

Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan.

Jenis-jenis gaya bahasa kiasan dalam Rectoverso karya Dewi Lestari adalah sebagai berikut ini.

1. Persamaan atau simile Contoh 26. Data 5

“Dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu…” (hal. 6)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seolah. Kata seolah merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 27. Data 9

“Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam…” (hal 7)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk


(54)

bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 28. Data 26

“Kamu membuatku percaya ada poin tambahan jika memperlakukan hidup seperti arena balap lari. Namun imanku pada arena itu luruh dalam satu malam karena kegagalanmu mencapai garis finis...” (hal. 26)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 29. Data 56

“Setengah mati telah kaulawan lautan untuk mencari jawab atas amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang meraung murka agar tenang kembali, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya…” (hal. 35)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata bagai. Kata bagai merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.


(55)

Contoh 30. Data 86

“Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu...” (hal. 57)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 31. Data 88

“Pernyataan temannya menghantam bagai empasan benda raksasa di tangah aula besar kesendiriannya...” (hal. 84)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata bagai. Kata bagai merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 32. Data 91

“Pengumuman itu seperti tombol set ulang yang menggagalkan seluruh rangkaian kejadian sebelumnya…” (hal. 86)


(56)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 33. Data 92

“Mengendap-endap, perempuan itu membuka pintu studionya sendiri seperti seorang pencuri yang takut tertangkap...” (hal. 87)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 34. Data 96

“Tangan yang sama terasa halus saat menyapu pipinya, gemetar saat menyibak anak rambutnya seperti pencuri yang takut tertangkap…” (hal. 88)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata


(57)

bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 35. Data sebelas1

“Sesuatu dalam matanya seperti memancing keluar monster asing yang selama ini kurendam...” (hal. 102)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 36. Data sebelas4

“Andai haru dapat dilihat seperti asap, maka ruangan itu sudah sesak oleh kabut yang membuat orang-orang menangis seperti disembur gas air mata...” (hal. 103).

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seperti. Kata seperti merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.


(58)

Contoh 37. Data sebelas5

“Nadanya berangsur tegas. Seolah menantang monster yang kusekap agar memberontak lepas. Namun kuringkus makhluk itu kuat-kuat…” (hal. 103)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seolah. Kata seolah merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 38. Data sebelas6

“Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi tidur siang ini rasanya berlangsung berhari-hari. Seolah dunia beracara sendiri tanpa menghendaki keterlibatanku...” (hal. 104)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata seolah. Kata seolah merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

Contoh 39. Data 161

“Akhirnya bagai sungai yang mendamba samudra, Kutahu pasti ke mana kan ku bermuara


(59)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa persamaan atau simile. Kalimat ini ditandai dengan adanya penggunaan kata bagai. Kata bagai merupakan pemarkah dari gaya bahasa persamaan atau simile. Kata ini digunakan untuk membandingkan dua pernyataan atau hal, tetapi agar lebih indah digunakan kata bantu. Jadi dengan menggunakan kata bantu dan secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain, identitas simile tergambar dengan jelas.

2. Metafora Contoh 40. Data 25

“Sungguh kamu sudah sehebat janjimu itu. Janjimu adalah matahariku yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru...” (hal. 26)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa metafora. Kalimat ini ditandai dengan adanya pemarkah adalah. Kata adalah merupakan kias perwujudan terhadap janji yang digambarkan sebagai matahari yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru. Jadi dengan adanya pemarkah adalah, kalimat tersebut membentuk gaya bahasa metafora.

Contoh 41. Data 45

“Terjadi gemuruh di lautan hatimu. Tiba-tiba kau melorot dari karang itu, tersungkur menghujam pasir. Punggungmu berguncang…” (hal. 34)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa metafora. Kalimat ini ditandai dengan adanya frase lautan hatimu. Frase tersebut digunakan penulis untuk menambah kekuatan pada suatu kalimat dengan menggambarkan kias perwujudan terhadap sesuatu atau benda yang ingin digambarkan penulis. Jadi dengan menggunakan frase tersebut, kalimat di atas membentuk gaya bahasa metafora.


(60)

Contoh 42. Data 57

“Matamu berkaca-kaca, bibirmu tersenyum, lalu kamu mulai menangis sambil tertawa…” (hal. 36)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa metafora. Kalimat ini ditandai dengan adanya frase matamu berkaca-kaca. Frase tersebut digunakan penulis untuk menambah kekuatan pada suatu kalimat dengan menggambarkan kias perwujudan terhadap sesuatu atau benda yang ingin digambarkan penulis. Jadi dengan menggunakan frase tersebut, kalimat di atas membentuk gaya bahasa metafora.

Contoh 43. Data 82

“Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku suda h merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah berkali-kali...” (hal. 56)

Kalimat di atas mengandung gaya bahasa metafora. Kalimat ini ditandai dengan adanya frase jatuh hati. Frase tersebut digunakan penulis untuk menambah kekuatan pada suatu kalimat dengan menggambarkan kias perwujudan terhadap sesuatu atau benda yang ingin digambarkan penulis. Jadi dengan menggunakan frase tersebut, kalimat di atas membentuk gaya bahasa metafora.

(3) Alegori, Parabel, dan Fabel Contoh 44. Data 66

“Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk. Ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang ibunya mampu beli. Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.


(61)

Mereka semua lenyap, lurus memandangiku. Mereka tidak menduga kata-kata sebanyak muncul keluar dari orang yang selama ini mereka kira arca. Dan betapa gemas mereka menanti lanjutan cerita tentang punggung ayam di negeri orang.

Aku menghela nafas. Kisah ini semakin berat membebani lidah. Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya sanggup kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selama ini harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa.

“Sahabat saya itu adalah orang yang sangat berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki”. Kusudahi kisahku seraya menyambar botol bir yang tidaklagi jadi piala dan mendadak terlihat sangat menarik”. (hal. 47)

Cerita singkat di atas merupakan kisahan yang termasuk ke dalam gaya bahasa alegori. Kisahan tersebut ditandai dengan adanya nama pelaku yang bersifat abstrak, serta memiliki tujuan yang jelas.

Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Dalam Rectoverso karya Dewi Lestari, penulis tidak menemukan adanya penggunaan gaya bahasa parabel dan fabel tersebut.

(4) Personifikasi Contoh 45. Data 29


(1)

“Firasat ini…

Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli

Dan terus berlari…” (Firasat)

Contoh 20. Data 128

“Bosku tiba-tiba muncul dibelakang, menepuk bahuku pelan. Mantan bos, tepatnya”. (hal. 123)

Contoh 21. Data 12

“Sesuatu dalam ruangan ini terlalu menyakitkan bagiku. Entah semburan angin dari mesin pendingin atau suara piano yang mengiris-iris kuping..”. (hal. 8)

Contoh 22. Data 69

“Aku menghela nafas. Kisah ini semakin berat membebani lidah. Aku sampai pada bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja…” (hal. 47)

Contoh 23. Data 71

“Seseorang yang Cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir bagai sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan atau hujan. Seseorang yang selamanya harus kubiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai ia berbalik niscaya hatiku hangus oleh cinta dan siksa…” (hal. 47)

Contoh 24. Data 90

“Aku jatuh cinta pada pandangan pertama,kedua, dan seterusnya sampai mati”. (hal. 86)


(2)

Contoh 25. Data 132

“Lewat dari lima jam, udara di pesawat berubah menjadi pisau-pisau halus yang mencacah hidung setiap kali bernapas. Kunikmati setiap sayatan pisau yang kutarik sampai ke paru-paru…” (hal. 125)

Contoh 26. Data 5

“Dan kamu akan memandang kosong ke satu titik, seolah di titik itulah halte tempat berbagai kenangan tentangnya berkumpul dan siap diangkut ke seluruh tubuhmu…” (hal. 6)

Contoh 27. Data 9

“Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam…” (hal 7)

Contoh 28. Data 26

“Kamu membuatku percaya ada poin tambahan jika memperlakukan hidup seperti arena balap lari. Namun imanku pada arena itu luruh dalam satu malam karena kegagalanmu mencapai garis finis...” (hal. 26)

Contoh 29. Data 56

“Setengah mati telah kaulawan lautan untuk mencari jawab atas amarahmu pada kematian, dan dengan sabar bagai ibunda menimang anaknya yang meraung murka agar tenang kembali, lautan mengembalikanmu kembali ke tepiannya…” (hal. 35)

Contoh 30. Data 86

“Bentakanmu seperti aba-aba perwira yang menggerakkan kedua tanganku untuk tahu-tahu merengkuhmu...” (hal. 57)

Contoh 31. Data 88

“Pernyataan temannya menghantam bagai empasan benda raksasa di tangah aula besar kesendiriannya...” (hal. 84)


(3)

“Pengumuman itu seperti tombol set ulang yang menggagalkan seluruh rangkaian kejadian sebelumnya…” (hal. 86)

Contoh 33. Data 92

“Mengendap-endap, perempuan itu membuka pintu studionya sendiri seperti seorang pencuri yang takut tertangkap...” (hal. 87)

Contoh 34. Data 96

“Tangan yang sama terasa halus saat menyapu pipinya, gemetar saat menyibak anak rambutnya seperti pencuri yang takut tertangkap…” (hal. 88)

Contoh 35. Data 111

“Sesuatu dalam matanya seperti memancing keluar monster asing yang selama ini kurendam...” (hal. 102)

Contoh 36. Data 114

“Andai haru dapat dilihat seperti asap, maka ruangan itu sudah sesak oleh kabut yang membuat orang-orang menangis seperti disembur gas air mata...” (hal. 103).

Contoh 37. Data 115

“Nadanya berangsur tegas. Seolah menantang monster yang kusekap agar memberontak lepas. Namun kuringkus makhluk itu kuat-kuat…” (hal. 103)

Contoh 38. Data 116

“Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, tapi tidur siang ini rasanya berlangsung berhari-hari. Seolah dunia beracara sendiri tanpa menghendaki keterlibatanku...” (hal. 104)


(4)

Contoh 39. Data 161

“Akhirnya bagai sungai yang mendamba samudra, Kutahu pasti ke mana kan ku bermuara

Smoga da waktu…” (Firasat)

Contoh 40. Data 25

“Sungguh kamu sudah sehebat janjimu itu. Janjimu adalah matahariku yang terbit dan terbenam tanpa pernah keliru...” (hal. 26)

Contoh 41. Data 45

“Terjadi gemuruh di lautan hatimu. Tiba-tiba kau melorot dari karang itu, tersungkur menghujam pasir. Punggungmu berguncang…” (hal. 34)

Contoh 42. Data 57

“Matamu berkaca-kaca, bibirmu tersenyum, lalu kamu mulai menangis sambil tertawa…” (hal. 36)

Contoh 43. Data 82

“Dan jika peristiwa jatuh hati diumpamakan air terjun, maka bersamamu aku sudah merasakan terjun, jumpalitan, lompat indah berkali-kali...” (hal. 56)

Contoh 44. Data 66

“Aku mulai berkisah, tentang satu sahabatku yang lahir di negeri orang lalu menjalani kehidupan keluarga imigran yang sederhana. Setiap kali ibunya hendak menghidangkan daging ayam sebagai lauk. Ibunya pergi ke pasar untuk membeli bagian punggungnya saja. Hanya itu yang ibunya mampu beli. Sahabatku pun beranjak besar tanpa tahu bahwa ayam memiliki bagian lain selain punggung. Ia tidak tahu ada paha, dada, atau sayap. Punggung menjadi satu-satunya definisi yang ia punya tentang ayam.

Mereka semua lenyap, lurus memandangiku. Mereka tidak menduga kata-kata sebanyak muncul keluar dari orang yang selama ini mereka kira arca. Dan betapa gemas mereka menanti lanjutan cerita tentang punggung ayam di negeri orang.


(5)

sebatas punggungnya saja. Seseorang yangcuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan pernah kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya sanggup kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan. Seseorang yang selama ini harus dibiarkan berupa sebentuk punggung karena kalau sampai berbalik niscayahatiku hangus oleh cinta dan siksa.

“Sahabat saya itu adalah orang yang sangat berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki”. Kusudahi kisahku seraya menyambar botol bir yang tidaklagi jadi piala dan mendadak terlihat sangat menarik”. (hal. 47)

Contoh 45. Data 29

“Mungkin matahari lupa ingatan lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit?” (hal. 27)

Contoh 46. Data 61

“Engkau hanya perlu merasa dan biarkan alam berbicara…” (hal. 36)

Contoh 47. Data 158

“Kemarin, kulihat awan membentuk wajahmu Desau angin meniupkan namamu…” (Firasat)

Contoh 48. Data 159

“Semalam, bulan sabit melengkungkan senyuman Tabur bintang serupa kilau auramu

Akupun sadari

Kusegera berlari…” (Firasat)

Contoh 49. Data 161


(6)

Smoga ada waktu…” (Firasat)

Contoh 50. Data 162

“Sayangku, kupercaya alam pun berbahasa Ada makna di balik semua pertanda

Firasat ini…

Rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli

Kuterus berlari…” (Firasat)

Contoh 51. Data 17

“Pertama kali bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata… (hal. 17)

Contoh 52. Data 41

“Kau menunggu punggungnya kabur dari pandangan sebelum kembali melanjutkan langkah-langkahmu di atas pasir…” (hal. 34)

Contoh 53. Data 128

“Aku menggeleng sambil tersenyum. Sekalipun berkendara dengan mobil dinas berarti henat sekian puluh dolar, tapi aku ingin meninggalkan kedinasanku secepat mungkin. Sesempurna mungkin. Termasuk meninggalkanmu dan fasilitas yang kau tawarkan, wahai mantan bosku”. (hal. 124)