Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)

  

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan

Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959) SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

  Program Studi Sejarah

  Disusun Oleh : CHANDRA HALIM 024314004 JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

MOTTO MOTTO MOTTO MOTTO

  

Keinginan tanpa disertai dengan tindakan adalah sia-sia. Sebaliknya

ketekunan dan kerja keras akan mendatangkan keberhasilan yang

melimpah.

  (Amsal 13:4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

  

Tiada kebahagiaan yang terindah selain mempersembahkan

skripsi ini kepada : Thian Yang Maha Kuasa serta Para Buddha Boddhisattva dan dewa dewi semuanya yang berkenan membukakan jalan bagi kelancaran studiku.

  Papa dan Mama tercinta, serta adik-adikku tersayang yang selalu mendoakan aku untuk keberhasilanku.

  Om Frananto Hidayat dan keluarga yang berkenan memberikan doa restunya demi keberhasilan studi dan skripsiku.

  

ABSTRAK

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui

hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta

(1932-1959)

  Chandra Halim 024314004

  Skripsi ini berjudul “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan yang diungkapkan, yaitu sejarah masuknya Etnik Tionghoa di Solo, kehidupan berorganisasi Etnik Tionghoa di Solo dan pembentukan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) hingga berubah menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

  Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Selain itu juga menggunakan metode wawancara sebagai sumber utama, dan studi pustaka sebagai sumber sekunder dengan mencari sumber yang berasal dari buku-buku, koran, dan majalah.

  Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan Tionghoa di Solo sudah ada sejak 1740, tepatnya ketika Solo dalam kekuasaan Mataram Islam. Keberadaan mereka membuat terbentuknya organisasi Tionghoa yang bermanfaat bagi kalangan intern Tionghoa dan juga masyarakat umum. Salah satu contoh adalah Organisasi CMKH yang merupakan sebuah wadah bagi Tionghoa di Solo untuk menyelesaikan permasalahan intern mereka. Latar belakang perbedaan yang ada dalam tubuh masyarakat Tionghoa, ternyata tidak mempengaruhi kehidupan berorganisasi mereka. Penelitian ini tentunya menjelaskan terlebih dahulu bagaimana keberadaan Tionghoa di Indonesia, termasuk didalamnya hasil kebudayaan Tionghoa yang mampu membentuk karakter berorganisasi mereka. Setelah mendapatkan gambaran mengenai hasil kebudayaan Tionghoa, penelitian ini mencoba menguraikan bagaimana kehidupan berorganisasi mereka. Pembentukan CMKH merupakan sebuah bukti bagaimana kehidupan berorganisasi orang Tionghoa di Solo. Meskipun harus merubah nama organisasi tersebut menjadi PMS, namun eksistensi organisasi tersebut masih terasa hingga saat ini dan sudah mengalami beberapa rejim pemerintahan. Perubahan dalam AD / ART organisasi CMKH, termasuk di dalamnya terdapat orang-orang dari Etnik Jawa, membawa suatu perubahan bagi CMKH. Untuk lebih menunjukkan rasa nasionalismenya, dan untuk tetap menjaga hubungan dengan etnik lain, orang- orang Tionghoa di Solo mengadakan rapat untuk merubah nama organisasi dan mengubah AD / ART mereka.

  Kata Kunci : Organisasi Sosial, Tionghoa.

  

ABSTRACT

Chinese Community in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui

until Organization of Surakarta Society

(1932-1959)

  Chandra Halim 024314004

  The title of this thesis is “Komunitas Tionghoa di Solo: Dari Terbentuknya

  

Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)”

  (Chinese Comunity in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui until Organization of Surakarta Society 1932-1959). This research purposed to describe and analyze three revealed problems; these are a history of Tionghoa in Solo; how about the system organisation of Tionghoa in Solo; and the establishment of Chuan Min Kung Hui (CMKH) until to reform into Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

  Method was used in this thesis writing was historical method of which included heuristic, critics, interpretation, and historiography. Beside it also used interview method as the main source and the literature study as the secondary source by finding any sources which produced from literary books, daily news, and magazine.

  This research revealed that the existence of the Tionghoa in Solo is since 1740, exactly when The Mataram Islam has the authority in Solo. With their existence make a forming of Tionghoa organization that useful not for intern of Tionghoa but also the other community. For example is CMKH that using as a coordinating institution for Tionghoa in Solo to finishing their intern problem.

  The difference back ground that show on their, isn’t influence their system organisation. CMKH is an instrument for overseas Chinese in Solo to solve their problem. For The First, this research is certainly to explain how about existence of Tionghoa in Indonesia, include them is a result of their culture that makes their organization Character. After get an illustration about their culture, these researches try to analyze how about their system organisation. Establishment CMKH is an evidence of their system organisastion. Although the name of their organisation change into PMS, but the existence of that organisation can be feeling as yet and experienced some government. The change of AD/ ART CMKH, included of inside them is contains the people from Javanese ethnic, that make a change for CMKH. To show their nationalism, and to keep in touch with the other ethnic, the Tionghoa in Solo make a board meeting to change the name of organisation and change their AD / ART too.

  Keyword: Social Organization, Tionghoa.

KATA PENGANTAR

  Puji Syukur kehadirat Thian Yang Maha Pemurah karena atas segala kebaikan-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Komunitas

  

Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga

Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“.

  Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia dan Komunitas Tionghoa yang ada di Solo. Selain itu, diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat umum dapat mengenal Kehidupan masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa di Solo dan kehidupan berorganisasi mereka. Skripsi ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Sejauh ini, penulis mengakui bahwa tanpa adanya bantuan dari pihak lain maka penulisan skripsi ini tidak akan selesai. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih tak lupa juga saya tujukan kepada Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Univeritas Sanata Dharma dan selaku dosen akademik yang telah memberikan nasehat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada para dosen pembimbing akademik, antara lain : Rm. Dr. F.X. Baskara T Wardoyo SJ., Rm. Dr. G. Budi Subanar SJ., Dr. ST. Sunardi, Prof. Dr. PJ. Suwarno S.H., Drs. H Purwanta, M.A., Drs. Ign. Sandiwan Suharso; Drs. Anton Haryono, M.Hum., Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, yang berkenan menjadi pengajar bagi kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di kampus ini.

  Sebagai hasil penelitian pemula, dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari Bapak Drs.

  Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum. yang telah berkenan dengan sabar meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini dari awal hingga akhir sekaligus menjadi teman diskusi dengan pemikiran-pemikirannya yang aktual. Pada masa-masa penelitian saya mendapat bantuan dari staf sekretariat Fakultas Sastra, Perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta seperti : Bu Wiwiek, Mas Drajat dan Mbak Tina yang dengan sabar berkenan memberikan pelayanan terbaiknya selama pencarian bahan sebagai sumber dari skripsi ini.

  Oleh sebab itu, sudah selayaknyalah penulis mengucapkan terimakasih. Dikota Solo, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik itu berupa bahan-bahan tertulis, maupun bahan dari diskusi.

  Dukungan muncul dari berbagai pihak antara lain Keluarga besar Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) yang di wakili oleh Bapak Martono, Kelurga besar Khong Kauw Hwee yang didalamnya ada Haksu Tjhie Tjay Ing, Bapak Adjie Candra, Bapak Tan Gik Hin, serta Bapak Joko Prananto dari Hoo Hap Hwee Solo dan Bapak Iswahyudia; kepada mereka penulis mengucapkan terimakasih buat segala masukan dan dukungannya. Kepada teman-teman di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma angkatan 2002, antara lain Feni, Nana Bul-bul, Ida, Gusti, Yosi, Daniel, Markus, Hananto, Devi, dan Eva, dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih karena telah berkenan memberikan dorongan semangat untuk didalam menyelesaikan skripsi ini.

  Ucapan terimakasih yang tulus juga penulis berikan kepada Sahabat-sahabat tersayang, antara lain : Koh Han, Koh Jiang, Koh Tiong Ping, Koh San-san, Koh Candra, Koh Willy, Koh Agus Swijono, Koh Roby, Erwin, Richie, Henry Kupang, Andre Kis, Andre Agung, Yesaya, Teguh, Kevin, Grace, Wulan, Dini, Lusi, Nurrita Ling-ling, Nana, Agustina, Hana, Linda pesek dan sahabat yang lain, yang berkenan memberikan masukan, nasehat, dan dorongan semangat didalam menyelesaikan skripsi ini.

  Penulis sangat bersyukur memiliki keluarga yang hangat dan akrab, baik Papa, Mama, Adik-adik maupun keluarga Om Frananto Hidayat di Yogyakarta.

  Dari mereka penulis mendapat dorongan moral yang kuat hingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada mereka, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih.

  Seperti pepatah yang berbunyi : “ Tiada Gading yang tak retak “, demikian halnya dengan tulisan ini yang tentunya tak luput dari kekurangan dan kelemahan meskipun penulis telah berusaha menyusunnya dengan sebaik mungkin. Oleh sebab itu, penulis menerima sumbangan pemikiran, saran atau kritik. Semoga penulisan skripsi ini berguna bagi siapa saja.

  Yogyakarta, 5 Juni 2008 Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................... iv HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT..................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix DAFTAR ISI.................................................................................................... xii DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv BAB I : PENDAHULUAN...........................................................................

  1 A.

  1 Latar Belakang .........................................................................

  B.

  6 Identifikasi dan Batasan Masalah ............................................

  C.

  9 Rumusan Masalah ....................................................................

  D.

  9 Tujuan Penelitian .....................................................................

  E.

  Manfaat Penelitian ................................................................... 11 F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 12 G.

  Metodologi ............................................................................... 16

  a) Lokasi penelitian ................................................................ 16

  b) Landasan Teori................................................................... 16

  c) Metode Penelitian .............................................................. 21 H.

  Sistematika Penulisan .............................................................. 22 BAB II : LATAR BELAKANG TIONGHOA DI INDONESIA ..................

  25 A. Dari kedatangannya sampai munculnya istilah Tionghoa Peranakan.................................................................

  25

  B.

  Sekilas budaya dan Peradaban Tionghoa di Indonesia ............ 48 a.

  Hari-hari Raya Tionghoa.................................................... 50 b.

  Kepercayaan dan Kuil pemujaan masyarakat Tionghoa............................................................................. 62 BAB III : MASYARAKAT TIONGHOA DI SOLO .....................................

  71 A. Keberadaan Orang Tionghoa di Solo....................................... 73 B. Keragaman Suku – Antara Tionghoa Totok dan Peranakan.... 75 C. Agama dan Budaya .................................................................. 82 D. Organisasi Tionghoa di Solo.................................................... 85 BAB IV : TERBENTUKNYA CHUAN MIN KUNG HUI ...........................

  89 A. Sejarah Berdirinya Chuan Min Kung Hui (CMKH)................ 89 B. Kepengurusan CMKH.............................................................. 91 C. Peran CMKH dan PMS dalam Masyarakat.............................. 103 a.

  Peran CMKH ..................................................................... 104 b.

  Peran PMS ......................................................................... 107

  BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 113 A. Kesimpulan... ........................................................................... 113 B. Saran......................................................................................... 116 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 118

  

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Lokasi Pemukiman terbesar Etnik Tionghoa tahun 1906-1910.........

  37 Tabel 2: Penyebaran Penduduk Tionghoa tahun 1961.....................................

  38 Tabel 3: Penduduk Tionghoa di Indonesia menurut generasi dan daerah .......

  38 Tabel 4: Perkembangan Penduduk Tionghoa ..................................................

  46 Tabel 5: Komunitas Tionghoa Peranakan dan Totok di Indonesia 1920 .........

  47 Tabel 6: Suku Bangsa Tionghoa di Solo Tahun 1930......................................

  77

  

DAFTAR GAMBAR

Gb. 1: Model Kapal Jung yang dipakai oleh Laksamana Cheng Ho ...............

  29 Gb. 2: Foto Sebagian Sekolah-sekolah THHK di Indonesia ...........................

  42 Gb. 3: Para Boddhisattva dalam Agama Buddha.............................................

  49 Gb. 4: Upacara Ceng Beng...............................................................................

  56 Gb. 5: Meja Abu Leluhur .................................................................................

  56 Gb. 6: Perayaan Peh Cun .................................................................................

  57 Gb. 7: Upacara Ulambana atau Sembahyang Cioko ........................................

  59 Gb. 8: Model Kue Tiong Ciu Phia ...................................................................

  60

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunitas Tionghoa merupakan gambaran sebuah etnik yang unik di Indonesia. Bermacam-macam suku terdapat dalam etnik ini yang datang ke

1 Indonesia . Khususnya di wilayah Surakarta sendiri, Etnik Tionghoa terdiri dari

  beberapa suku meskipun mereka mengakui berasal dari keturunan yang sama,

  2

  yakni keturunan bangsa Han . Gambaran mengenai Etnik Tionghoa di Surakarta (selanjutnya disebut Solo), memang terasa lain dari pada di daerah lain; seperti di Surabaya, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya di Indonesia meskipun sifat atau

  3 karakteristik Etnik Tionghoa Solo mirip dengan Tionghoa di Yogyakarta .

  1 Terdapat paling tidak 5 etnik yang datang ke Indonesia, yakni : Hokkian, Hakka (Khek), Teo Ciu, Hokjia dan Kwang Fu (Cantonis).

  2 Wawancara dengan Bp. Iswayudya (Chou Hong Yen) yang berusia 56

  tahun. Beliau merupakan tokoh pemerhati komunitas Tionghoa di Solo dan aktif di organisasi seperti PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta) dan Perhimpunan

  INTI cabang Solo.

  3 Seperti yang telah diketahui bahwa Surakarta (Solo) dan Yogyakarta pada

  awalnya merupakan satu kesatuan yang dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam, hingga dipisahkan oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Meskipun demikian, budaya jawa yang ada (ada perbedaan antara keduanya, meskipun batas pemisah Budaya Jawa diantara dua daerah ini sangatlah tipis) mempengaruhi karakteristik masyarakat Tionghoa di Solo maupun di Yogyakarta.

  Pada masa Kolonial Belanda, Solo merupakan sebuah kota karesidenan dan

  4

  masih berada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat , namun setelah Indonesia merdeka, Solo menjadi sebuah Kotamadya yang memiliki lima kecamatan dan 51 kelurahan, dan dikelilingi oleh 6 wilayah kabupaten di sekitarnya, yaitu : di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo; di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten; di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Karanganyar; di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri. Dari setiap wilayah kabupaten tersebut setidaknya dihuni oleh keluarga yang berasal dari golongan atau Etnik Tionghoa, namun penelitian ini lebih memfokuskan pada wilayah kota Solo sebagai pusat kota kabupaten yang dihuni oleh banyak keluarga Tionghoa. Di Solo terdapat berbagai macam etnik, yang paling terlihat oleh masyarakat adalah Etnik Jawa, India, Arab, dan Tionghoa; Etnik yang terakhir ini yang akan dikaji sebagai bahan penelitian untuk skripsi. Masyarakat Tionghoa sendiri di Solo ada berbagai macam suku yang datang dari negaranya (RRT), ada Hokkian, Hokjia, Tio Ciu, Gek (Hakka) dan masih banyak suku yang lain dalam masyarakat Tionghoa di Solo.

  Orang-orang Tionghoa datang ke Solo pada waktu wilayah ini masih menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Pada waktu itu kerajaan yang berkembang ini dipimpin oleh Pakubuwana II. Ketika terjadi pemberontakan oleh

4 Kerajaan Mataram Islam pasca Pemerintahan Pakubuwana II, dipecah

  menjadi dua oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Perjanjian Giyanti 1755 di Desa Giyanti, Karanganyar. Menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. orang-orang Tionghoa di Kartasura, keraton yang berada di Kartasura berhasil

  5

  dikuasai oleh orang-orang Tionghoa . Namun karena kala itu Pakubuwana II bekerjasama dengan Belanda, maka Keraton berhasil direbut kembali, dan orang- orang Tionghoa yang menjadi pelaku pemberontakan berhasil disingkirkan. Akibat dari peristiwa tersebut, pamor keraton menjadi suram dan harus dipindahkan ketempat lain. Pusat kerajaan Mataram Islam yang semula berada di Kartasura, pindah ke Desa Solo yang letaknya di sebelah timur Kartasura. Kepindahan Keraton Mataram Islam pemerintahan Pakubuwana II ke Solo, diikuti pula dengan kepindahan Klenteng Tien Kok Sie ke wilayah baru tersebut, maka secara tidak langsung banyak Etnik Tionghoa yang juga hengkang ke wilayah ini. Dari tahun pembuatan Klenteng Tien Kok Sie (ketika itu masih di Kartasura) yang berangka 1745, diketahui bahwa Etnik Tionghoa sudah ada di Solo kurang lebih

  6 sekitar tahun 1740 .

  Sebelum melangkah lebih jauh perlu dijelaskan lebih lanjut tentang masyarakat Tionghoa sendiri, bahwa masyarakat Tionghoa dibagi ke dalam dua

  5 Moedjanto G., 2002, Suksesi dalam sejarah jawa, Yogyakarta : Kanisius.

  Hal 116.

  6 Di setiap daerah manapun di Indonesia, dimana ada Etnik Tionghoa di situ

  pasti ada tempat ibadat yang berupa Klenteng, Vihara atau Lithang. Ketika orang- orang Tionghoa datang ke Indonesia, mereka membawa serta budaya dan agama/ kepercayaan mereka (pada waktu itu, orang-orang Tionghoa masih beragama Buddha, Tao, Khonghucu atau disebut Tridharma/ Sam Kau Hwee). Setelah menetap hampir 4-5 tahun didaerah asing tersebut, mereka baru membangun kuil atau Klenteng sebagai tempat peribadatan mereka. Mereka biasanya sibuk mengurus keadaan perekonomian mereka terlebih dahulu, baru jikalau dirasa cukup mapan dan tercukupi, mereka akan membangun Klenteng sebagai ucapan terimakasih pada Ie Wang Shangdi/ Tuhan Yang Maha Esa.

  7

  macam, yaitu : Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok . Mereka yang menjadi Tionghoa peranakan biasanya memakai bahasa Tionghoa dialek Hokkian dengan dicampur bahasa setempat dan bagi mereka orang Tionghoa totok biasanya masih

  8

  memakai bahasa Kuo-yü atau dialek masing-masing suku (dialek Hokkian, Hakka, Tio ciu dan lain-lain), dan biasanya bersekolah pada sekolah-sekolah Tionghoa, namun pada prakteknya di Solo sekolah-sekolah Tionghoa seperti Khong kau, Wakung, Shin Min, dan lain lain; juga terdapat Tionghoa peranakan yang ikut serta belajar di dalamnya. Berdagang adalah keahlian yang sudah mendarah daging pada komunitas ini, semasa jaman kolonial pun, golongan minoritas Tionghoa menjadi suatu alat bagi Belanda untuk melakukan perdagangan perantara, walaupun pada prakteknya nanti, justru etnik ini akan disingkirkan oleh Belanda karena terlalu banyak memonopoli perdagangan kala itu. Selain halnya berdagang, orang – orang tionghoa juga memiliki keahlian lain, seperti memasak (dalam hal ini berbisnis rumah makan), menjadi tukang kayu (dalam hal ini sebagai pembuat mebel), juga menjadi seorang ahli politik.

  Era tahun 1740, para imigran Tionghoa masih terlalu sedikit di Indonesia. Baru pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, penyebaran orang-orang Tionghoa ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) semakin meningkat tajam. Emigrasi besar-besaran termasuk kaum perempuan Tiongkok ini terjadi akibat perkembangan teknologi perkapalan dan dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching. Namun dapat dibedakan bahwa ketika tahun

  7 Melly G Tan, 1981, GOLONGAN ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA –

Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa , Jakarta : LIPI , cetakan ke-2. hal : xi

  8 Kuo-yü : bahasa Nasional Cina (bahasa Mandarin).

  1800, kedatangan orang-orang Tionghoa secara berkelompok dan tujuan mereka kebanyakan ke daerah di luar jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan daerah

  9

  perkebunan lainnya . Sedangkan para periode pasca tahun 1900, kedatangan orang-orang Tionghoa sudah secara individu, kebanyakan dari mereka yang datang tersebut merupakan seorang pedagang atau pelajar yang memiliki

  10 kemampuan secara finansial .

  Orang-orang Tionghoa yang datang pada masa tersebut kebanyakan menetap di wilayah-wilayah di pulau Jawa; seperti halnya di Solo. Mereka

  11

  kemudian menikah dengan penduduk setempat atau pribumi dan menghasilkan Tionghoa peranakan. Hal pertama yang mereka lakukan ketika menetap di Solo selain berdagang adalah membentuk organisasi sosial untuk mengurusi masalah

  12 kematian, pernikahan, dan masalah intern mereka .

  Banyak organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Tionghoa ini namun salah satu organisasi sosial yang besar adalah Chuan Min Kung Hui, dan kebanyakan anggotanya adalah Tionghoa peranakan. Eksistensi organisasi

  9 Orang-orang Tionghoa yang datang kala ini, dapat dikatakan, kebanyakan merupakan seorang budak atau kuli di perkebunan-perkebunan milik asing.

  Mereka didatangkan dari Tiongkok hanya dengan bermodalkan pakaian seadanya bahkan hanya dengan kolor jelek, untuk bekerja sebagai buruh.

  10 Dikatakan demikian, karena kedatangan mereka dengan memakai kapal

  motor. Jika mereka tidak memiliki uang, mereka tidak akan mampu membayar tiket kapalnya. Ini berbeda jauh dengan kedatangan orang-orang Tionghoa periode tahun 1800an. Tujuan kedatangan mereka pun juga ke wilayah-wilayah di pulau jawa.

  11

  yang dimaksud dengan orang pribumi adalah orang yang masih asli dari daerah tersebut, bukan seorang pendatang.

  12 Berita mengenai pembentukan organisasi ini, didapatkan dari hasil

  pembicaraan dengan Bp. Iswayudia, pada hari minggu tanggal 23 Desember 2007 di kediaman beliau (Jl.Mahabharata, Palur, Surakarta) tersebut hingga saat ini masih terlihat, dan menariknya organisasi ini tidak bubar akibat tergerus oleh kerasnya politik di Negara Indonesia ini. Berawal masalah mengenai organisasi sosial orang-orang Tionghoa di Solo ini, maka penulis mencoba untuk meneliti dan mengetengahkan bagaimana sejarah keberadaan orang-orang Tionghoa di Solo dan bagaimana awal mula terbentuknya Chuan Min Kung Hui. Selain untuk menambah perbendaharaan Sejarah Tinghoa di Solo, tulisan yang berjudul : “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya

  

Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-

1959)“ juga diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat Tionghoa untuk lebih

  meningkatkan kehidupan berorganisasi mereka, dan mengubah pandangan mereka

  13

  bahwa berorganisasi itu berbeda dengan berpolitik . Selain sebagai bahan penelitian tentang Kecinaan di Solo, tulisan ini diharapkan mampu dipakai untuk pengajuan syarat kelulusan mencapai gelar S1.

  B.

IDENTIFIKASI DAN BATASAN MASALAH

  Pada latar belakang di atas telah dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat Etnik Tionghoa yang ada di kota solo, bahwasanya yang berhubungan dengan kehidupan berorganisasi mereka antara tahun 1932 hingga 1959, sehingga mampu membentuk sebuah organisasi sosial Tionghoa yang mampu bertahan hingga saat ini. Adapun penelitian tentang Tionghoa ini, di batasi hanya pada

13 Pandangan dari kebanyakan orang-orang Tionghoa di Solo adalah bahwa

  berorganisasi sama halnya dengan berpolitik, mereka beranggapan bahwa berkumpul dalam sebuah organisasi akan terseret oleh iklim politik di Indonesia (masih terdapat adanya truma politik, akibat tragedi tahun 1965). kaum Tionghoa Peranakan dan salah satu organisasinya. Dasar tersebut diambil karena terdapat perbedaan yang besar antara Tionghoa peranakan dengan

14 Tionghoa totok meskipun dari satu leluhur. Selain itu, beberapa pertimbangan

  telah diambil di dalam penelitian ini untuk memilih periodisasi antara tahun 1932 sampai 1959. Tahun 1932 ditandai dengan berdirinya organisasi Chuan Min Kung Hui meskipun sebelum dan hingga pada tahun tersebut sudah berdiri banyak organisasi Tionghoa. Sementara diakhiri dengan batasan tahun 1959, disebabkan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) yang berdiri berubah nama menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) agar lebih ke Indonesiaan.

  Dengan iklim yang kurang kondusif dan corak kota yang sejak jaman kemerdekaan sampai sekarang merupakan kota oposisi, membentuk karakteristik manusia Solo yang keras, arogan, egois atau individualis dan sedikit radikal. Namun demikian peradaban yang sudah terbentuk di Solo tersebut, tidak mempengaruhi ambisi yang demikian besar bagi golongan Etnik Tionghoa khususnya Tionghoa peranakan untuk membentuk sebuah organisasi sosial sebagai wadah pemersatu mereka. Solo memang kala itu dikenal sebagai pusat

  15 Budaya Jawa , tetapi jati diri yang melekat dalam kota ini adalah sebuah kota

  14 Dilihat dari aspek Sosial, terdapat sedikit perbedaan antara Tionghoa

  Totok dan Peranakan. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Tionghoa Totok cenderung memakai bahasa mandarin atau dialek suku masing-masing ketika mereka berbicara dengan sesama mereka, dan cenderungnya mereka lebih memilih untuk menutup diri. Sedangkan Tionghoa Peranakan sudah meninggalkan bahasa asli mereka dan cenderung memakai bahasa setempat, pergaulan mereka luas dan tidak terbatas pada komunitas mereka saja.

  15 Budaya Jawa identik dengan bahasa yang halus, perilaku sopan dan

  lembut, dan tingkah laku yang sesuai dengan patrapan/ norma yang ada. Apalagi perjuangan yang ditandai dengan banyaknya gerakan-gerakan oposisi yang sangat revolusioner.

  Peranan keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat yang diharapkan mampu menjadi panutan dan pusat dari segala bidang ternyata lambat laun semakin memudar. Dasar yang dibangun adalah yang berdasarkan campuran antara nilai- nilai budaya jawa dengan nilai pola pikir yang modern, sehingga campuran itu akan membentuk karakteristik masyarakat yang intelektual namun memiliki perilaku yang sopan dan temperamen yang halus. Meskipun Solo tidak memiliki sebuah fondasi yang kuat mengenai karakter masyarakat yang halus, orang-orang Tionghoa mampu beradaptasi dengan masyarakat asli. Hal tersebut terbukti dengan banyak berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa pada masa pra dan pasca kolonial Belanda.

  16 Pengaruh dari sebuah tradisi yang maju , membentuk Etnik Tionghoa yang demikian berkembang meskipun hanya golongan minoritas di kota tersebut.

  Tradisi atau budaya leluhur sangat dipegang kuat oleh Tionghoa generasi penerus, hal tersebut tidak lepas dari kata bijak orang-orang tua Tionghoa, yang mengatakan bahwasanya “Air harus ingat akan sumbernya” artinya: orang harus

  17

  ingat kepada leluhurnya . Selain itu, semakin banyak orang-orang Tionghoa yang ditunjang dengan keberadaan sebuah kerajaan besar seperti Kasunanan Surakarta Hadiningrat (pecahan dari Kerajaan Mataram Islam).

16 Tradisi yang maju identik dengan adanya struktur sosial masyarakat yang terorganisir dengan baik ditunjang dengan perangkat/sistem ekonomi yang maju.

  17

  ”Ingat” disini diartikan tidak hanya menghormati leluhurnya yang sudah meninggal, tetapi juga bagian-bagian dari mereka, seperti sistem Sosial, budaya, Ekonomi dan Politik yang sudah diajarkan oleh mereka. Orang-orang Tionghoa tinggal di Solo akan mempengaruhi kompleksitas permasalahan yang terjadi. Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi, penulis

  18

  memiliki sebuah pemikiran bahwasanya dibentuklah suatu organisasi sosial dikalangan mereka.

  C. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang diteliti, yakni :

  1. Bagaimana sejarah masuknya Etnik Tionghoa ke Solo ?

  2. Bagaimana sejarah terbentuknya Chuan Min Kung Hui ?

  3. Apakah yang melatarbelakangi terbentuknya organisasi tersebut hingga berubah menjadi PMS?

  D. Tujuan Penelitian a.

  Akademis Komunitas tionghoa jika dipahami secara mendalam memang merupakan gambaran sebuah komunitas yang unik, dan banyak hal-hal menarik yang ada di dalamnya. Dari aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik mampu dijadikan asli (Chungkuoren) memiliki suatu ikatan organisasi yang kuat, biasanya mereka membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti organisasi kematian dan lain-lain.

18 Dalam sekumpulan masyarakat yang semakin membesar jumlahnya, maka

  akan sangat diperlukan yang namanya organisasi/ lembaga sosial, karena ini merupakan bagian dari Pranata Sosial. sebagai bahan kajian untuk penelitian akademisi. Dalam dunia sejarah, penelitian dan penulisan mengenai sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia sudah terlalu banyak. Namun penulisan dan penelitian mengenai Etnik Tionghoa di Solo, masih sedikit dan dapat dikatakan belum begitu berkembang. Dalam penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, diharapkan menambah perbendaharaan penulisan mengenai mereka, sehingga nantinya dapat dijadikan referensi bagi penulisan Komunitas Tionghoa masa mendatang. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami kehidupan Etnik Tionghoa yang ada di kota Solo dan mendeskripsikan dinamika dan gejolak yang terjadi sebagai proses dari perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Solo; sehingga mampu membentuk sebuah organisasi yang bernafaskan sosial yang masih eksis hingga saat ini.

  b.

  Praktis Diharapkan dengan adanya tulisan mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, masyarakat umum di luar akademisi dan di luar komunitas ini, tahu dengan jelas bagaimana sejarah mereka, bagaimana kehidupan yang ada di dalam komunitas ini, sehingga mampu membentuk sebuah organisasi sosial yang kala itu dapat dikatakan sudah bercorak modern dan dapat bertahan hingga saat ini meskipun harus mengalami pergantian nama.

  Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat secara dekat bagaimana kehidupan Etnik Tionghoa di Solo dan apa saja bentuk-bentuk kegiatan yang ada di dalam organisasi sosial yang dibentuk oleh mereka.

E. Manfaat Penelitian a.

  Akademis Dalam dunia akademisi, penelitian mengenai Etnik Tionghoa Solo ini kurang mengalami perkembangan, apalagi yang menyangkut masalah organisasi tionghoa yang ada di Solo. Referensi yang memprioritaskan tentang Etnik Tionghoa Solo dan organisasi sosialnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah diharapkan mampu menjadi bahan bagi penelitian-penelitian tentang Etnik Tionghoa di Solo khususnya mengenai organisasi yang didirikan oleh mereka. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan sejarah etnisitas di Indonesia yang selama kurun waktu belakangan ini masih kurang produktif. Dengan adanya penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, akan menambah referensi yang menyoroti mengenai seluk beluk kehidupan yang ada di dalam Etnik Tionghoa, termasuk kehidupan berorganisasi mereka.

  b.

  Praktis Tulisan ini juga diharapkan mampu menjadi suatu pertimbangan sikap dan tindakan setiap orang-orang Tionghoa yang ada di Solo saat ini, untuk mengubah pandangan mereka bahwa berorganisasi identik dengan politik, yang diakibatkan

  19

  oleh trauma politik peninggalan era tahun 1965 . Selain itu, dengan adanya

19 Sebagian besar Etnik Tionghoa di Solo sangat takut apabila di ajak untuk

  menjadi anggota dari sebuah organisasi sosial yang didirikan oleh komunitas mereka sendiri. Hal ini diakibatkan oleh peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia tahun 1965 (Pembantai PKI oleh pemerintahan Orde Baru), dimana ketika itu BAPERKI yang notabene merupakan organisasi Tionghoa terbesar di penelitian mengenai kehidupan mereka ini, masyarakat umum boleh memahami lebih lanjut seperti apa kehidupan komunitas ini, sehingga sikap saling pengertian akan muncul dalam benak mereka dan menambah rasa kebersamaan. Sikap rasialis yang selama ini ada di solo boleh luntur seiring dengan pemahaman

  20 mereka mengenai komunitas Tionghoa ini .

F. Tinjauan Pustaka

  Buku-buku yang membahas mengenai Etnik Tionghoa di Solo sangat terbatas, kalaulah ada hanya berupa cuplikan-cuplikan dalam buku sejarah Tionghoa Indonesia atau majalah yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi Tionghoa yang ada di Solo.

  Penulisan tentang Komunitas Tionghoa, terdapat hanya beberapa buku yang boleh dikatakan fokus di dalam membahas mengenai permasalahan Tionghoa di Indonesia secara umum dan Tionghoa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan lain-lain. Buku-buku tersebut diantaranya :

  Tionghoa Dalam Pusaran Politik , ditulis oleh Benny G Setiono, diterbitkan

  oleh ELKASA, 2006. Isi yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan masalah Etnik Tionghoa di Indonesia dan kiprahnya di dalam dunia perpolitikan tanah air.

  Indonesia masa Orde Lama disangkutkan oleh Pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi yang berbau komunis, sehingga anggotanya sebagian besar di bunuh tanpa diadili terlebih dahulu. Etnik Tionghoa lebih suka menjadi anggota dari sebuah organisasi yang didirikan oleh lembaga keagamaan tertentu dari pada organisasi sosial swasta seperti PMS, Perhimpunan INTI dan lain-lain.

20 Dari hasil observasi dan diambil suatu perbandingan etnik yang dilakukan

  pada masyarakat di Solo dan di Yogyakarta (baik Orang Jawa atau Tionghoa); diambil suatu kesimpulan bahwa masyarakat/ penduduk di Solo cenderung lebih rasialis dibandingkan dengan di Yogyakarta.

  Benny memusatkan perhatiannya lebih pada masalah Tionghoa dibidang politik, peranan mereka dalam bidang lain seperti budaya dan sosial tidak dibahas secara signifikan olehnya. Dalam buku ini Benny mampu menerangkan secara terinci bagaimana sejarah keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia, meskipun buku ini lebih menitik beratkan pada permasalahan politik yang berkaitan dengan Etnik Tionghoa di Indonesia. Buku ini akan dipakai untuk menjelaskan sejarah keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia juga penjelasan mengenai Tionghoa pada masa kolonial khususnya mengenai hubungan keduanya yang akan diuraikan dalam bab II.

  Kemudian buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, ditulis oleh Nio

  

Joe Lan, diterbitkan oleh Keng Po, 1961. Dalam bukunya ini, Nio bermaksud

  menjelaskan mengenai Etnik Tionghoa secara keseluruhan dan budaya mereka di Indonesia. Buku ini cocok untuk dipakai sebagai acuan mengenai ketionghoaan Indonesia, tetapi apabila dipakai untuk penelitian mengenai kompleksitas masalah Tionghoa Indonesia dewasa ini, buku ini tidak up to date. Tetapi buku ini masih boleh dipakai untuk menjelaskan bagaimana sejarah asal usul Tionghoa dan

  21 budayanya di Indonesia .

  Hoa Kiau di Indonesia , ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, diterbitkan

  oleh Bintang Press, 1960. Pram bermaksud menjelaskan mengenai keadaan Etnik Tionghoa di Indonesia dan bagaimana interaksi mereka serta sikap masyarakat lokal di dalam menerima keberadaan etnik tersebut. Secara spesifik, Pram mencoba mengangkat masalah sosial dan ekonomi yang ada dikalangan Tionghoa

21 Dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan buku babon mengenai Tionghoa di Indonesia.

  dan pandangan masyarakat lokal di dalam menyikapi masalah ekonomi yang dikuasai oleh golongan Tionghoa. Pram juga membahas mengenai sikap diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal akibat peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun demikian, Pram kurang jeli di dalam memasukkan asal usul keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia. Buku ini dipakai untuk menjelaskan uraian dalam bab III.

  Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia – suatu masalah pembinaan

kesatuan Bangsa , ditulis oleh Melly G Tan, diterbitkan oleh Gramedia, 1981. isi

  yang terkandung di dalam buku ini merupakan sebuah karya banyak orang yang dijadikan satu dalam sebuah buku dan diedit oleh Melly. Dalam buku ini terlihat jelas bagaimana keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia dan pemisahan antara Tionghoa peranakan dan Totok. Melly bermaksud menguraikan panjang lebar mengenai suatu golongan yakni Tionghoa, namun uraian tersebut dirasa masih kurang jelas dan penggunaan Tionghoa Totok dan Peranakan sekarang sudah tidak up to date lagi. Meskipun demikian, buku ini tetap dipakai sebagai penjelasan di dalam uraian pada bab II.

  Tan Djin Sing- dari Kapitein Cina sampai Bupati Yogyakarta , ditulis oleh

Werdoyo T, diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, 1990. Dalam buku ini

  tertulis dengan jelas bagaimana interaksi golongan Tionghoa dengan masyarakat lokal, khususnya interaksi mereka dengan pihak Keraton yang merupakan pusat dari budaya jawa/ lokal. Werdoyo menjelaskan bagaimana perjalanan hidup Tan Djin Sing atau Secodiningrat yang diawali menjadi seorang Kapitein Cina kemudian berlanjut menjadi seorang Bupati di Yogyakarta akibat jasa-jasanya kepada pihak keraton Yogyakarta. Namun demikian buku ini kurang di dalam penjelasan mengenai asal usul seorang Secodiningrat, karena Werdoyo kemungkinannya ragu untuk memastikan bahwasanya Secodiningrat adalah seorang jawa tulen atau Tionghoa tulen. Buku ini dipakai sebagai acuan mengenai keberadaan Tionghoa di Yogyakarta dan interaksinya dengan penduduk lokal, dan dipakai untuk menjelaskan uraian pada bab II.

  Orang jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825) , terjemahan, ditulis oleh Dr.

  

Peter Carey, diterbitkan oleh Pustaka Azet, 1985. Peter mengulas mengenai

  keberadaan Tionghoa di Solo dan interaksinya dengan penduduk lokal, disini diceritakan bagaimana konflik antara masyarakat jawa dengan Tionghoa yang disebabkan juga oleh masalah-masalah politik yang kemudian menjalar kearah diskriminasi ras. Kegagalan yang dilakukan oleh Peter dalam bukunya ini adalah terlalu banyak Peter menyudutkan golongan Tionghoa dan seakan-akan mereka menjadi tersangka di dalam konflik tersebut.

  70 tahun PMS 1932-2002 , diterbitkan oleh Perkumpulan Masyarakat

Surakarta (PMS), 2002. Ini hanya majalah yang menjelaskan mengenai

  eksistensi PMS yang merupakan organisasi sosial yang didirikan oleh Etnik Tionghoa di Solo. Majalah ini diterbitkan sekedar untuk mengisi Ulang Tahun PMS yang ke-70, namun di dalamnya berisi sejarah singkat Etnik Tionghoa dan peranannya di dalam masyarakat di Solo.

  Referensi di dalam buku-buku yang disebutkan di atas, menjelaskan mengenai keberadaan dan sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia, sedangkan mengenai etnik ini di Solo, masih jauh dari sempurna. Penjelasan mengenai komunitas Tionghoa di Solo, tidak disebutkan dalam tulisan-tulisan di buku-buku referensi tersebut di atas. Oleh sebab itu, skripsi ini mencoba untuk mengangkat masalah mengenai kehidupan (dari sisi berorganisasi) komunitas Tionghoa di Solo, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan menjelaskan mengenai sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia.

G. Metodologi a.

  Lokasi Penelitian Penelitian ini, mengambil batas spasial pada kota Solo, jangkauan yang mungkin akan masuk dalam penelitian ini adalah wilayah Karanganyar, Boyolali,

  Sragen, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri; karena tidak menutup kemungkinan bahwa di wilayah-wilayah itu dapat membantu menjelaskan keberadaan komunitas Tionghoa di Solo.