Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)

(1)

MASYARAKAT TIONGHOA BENTENG DI

TANGERANG

(1978-1998)

Skripsi

Disusun Oleh : Gian E Silitonga NIM : 090706033

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)

Skripsi Sarjana

Yang dikerjakan oleh:

Nama : Gian E Silitonga

Nim : 090706033

Pembimbing

Dra. Farida Hanum Ritonga, M. Sp. NIP. 195401111981032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi syarat ujian memperoleh gelar Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998) Yang diajukan oleh:

Nama : Gian E Silitonga

Nim : 090706033

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing

Dra. Farida Hanum Ritonga, M.SP. Tanggal,... Nip 195401111981032001

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal,...

Nip 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M,Hum. NIP 196409221989031001


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP: 195116131976031001 Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M,Hum. (………..……….)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si. (……….….………….) 3. Dra. Farida Hanum Ritonga, M.SP. (………..……….)

4. Dra. Ratna, M.S. (………..….)


(6)

ABSTRAK

Secara umum skripsi bertujuan untuk mengungkap dan mengetahui dampak dari Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) terhadap masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang. Mulai dari awal mula munculnya masyarakat Tionghoa Benteng, dan mengapa disebut Tionghoa Benteng sampai masa kerusuhan 98. Tionghoa Benteng sendiri merupakan masyarakat Tionghoa yang mempunyai kultur campuran dengan pribumi, dan walau sudah berasimilasi mereka tetap memegang kultur Tionghoa. Selain kultur, masyarakat Tionghoa Benteng juga memiliki keunikan yang lain, yaitu mempunyai kulit coklat seperti pribumi pada umumnya.

Dari hasil penelitian akhir diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat Tionghoa Benteng mengalami keterbatasan dalam bernegara. Masyarakat Tionghoa Benteng yang lebih memilih untuk tinggal di Indonesia, dan menjadi warga Negara Indonesia mengalami keterbatasan dalam mendapatkan haknya setelah SBKRI diberlakukan. Susah masuk ke dalam perusahaan atau lembaga pemerintah dan sulit mendapatkan pendidikan, menjadi kemerosotan pada masyarakat Tionghoa Benteng.

Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah metode Sejarah yaitu Heuristik (pengumpulan data), Verifikasi (Kritik), Interpretasi dan Historiografi (penulisan). Pada tahap Heuristik menggunakan dua metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research). Selain itu, penulis juga melakukan pengumpulan sumber melalui wawancara terhadap informan – informan yang berkaitan dengan penelitian ini


(7)

Ucapan Terima Kasih

Penulis telah menyelesaikan Penelitian ilmiah, dan telah berhasil menemukan hasil penelitian dan dituangkan oleh Penulis dalam bentuk skripsi. Penulis menghaturkan segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia yang telah dilimpahkan olehNya. Penulis juga memberikan ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya terhadap kedua orang tua yaitu Ayahanda tercinta Oktavianus Begman H. P Silitonga dan Ibunda terkasih Noven R Panggabean S.pd, yang telah mengabdikan hidupnya untuk membesarkan penulis dan mengayominya sehingga penulis mampu dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu penulis juga memberikan ucapan terima kasih kepada:

- Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc.(C.T.M), Sp.A.(K) yang telah memimpin USU selama penulis kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini.

- Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, yang telah memimpin Fakultas Ilmu Budaya USU.

- Ketua Departemen Sejarah Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, yang telah memimpin Departemen Ilmu Sejarah dan mengayomi mahasiswa – mahasiswi di prodi Ilmu Sejarah.

- Sekretaris Departemen Sejarah Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si. yang telah membantu dan memberikan dukungan terhadap penulis.


(8)

- Dosen Pembimbing penulis Ibu Dra. Farida Hanum Ritonga, M.Sp, yang telah membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan penulisan sampai skripsi ini selesai.

- Dosen Pembimbing Akademik penulis Drs. Samsul Tarigan, yang telah memberikan bimbingan akademik bagi penulis dalam menjalani perkuliahan di Departemen Sejarah USU

- Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Sejarah, yang telah mengajar dan berbagi ilmu kepada penulis selama masa kuliah.

- Kepada Bapak Drs. Timbun Ritonga, yang telah memberikan nasihat, ilmu dan dukungan terhadap penulis dalam masa – masa perkuliahan. Menjadi sosok yang mendorong penulis untuk berani bertanggung jawab dan fokus dalam menghadapi masalah.

- Kepada Adik penulis Gilbert Loui Silitonga, yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi dan terus memberikan dukungan pada penulis

- Kepada seluruh abang/ kakak alumni Ilmu Sejarah USU yang telah memberikan support dan bimbingan dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa.

- Kepada seluruh segenap insan mahasiswa Ilmu Sejarah USU, yang telah memberikan dukungan terhadap penulis selama masa berkuliah - Kepada kawan – kawan angkatan 2009 Ilmu Sejarah USU (Rizal, Nia,

Ratna, Lisa, Elisa, Poly, Dedi, Phillip, Rona, Doli, Wifky, Swandi, Saddam AT, Saddam Pulungan, Tata, Toti, Rudi, Jupriandi, Andri,


(9)

Mustika, Roni, Hendra, Mukhlis, Sigmer, Roventina, Fani, Ita, Shinta, Nuel, Hanter, Saud dan Adinova) yang telah menjadi kawan seperjuangan dalam kuliah.

- Kepada sahabat terbaik penulis dari Ilmu Sejarah angkatan 2009 Humala Parlaungan Harahap (Lalak), yang telah menjadi sahabat terbaik penulis dalam sehari – hari masa perkuliahan. Telah menjadi kawan yang saling mendukung dalam masa jatuh bangun penulis dalam masa perkuliahan sampai penyelesaian skripsi dan berbagi ilmu. - Kepada Amelia Rahman yang telah menjadi Sahabat membantu dan memberikan dukungan moral kepada penulis dalam masa – masa penulisan skripsi ini. Menjadi seseorang yang selalu mendorong penulis untuk mampu meraih mimpi.

- Kepada Kawan – kawan Imajaksek (Ikatan mahasiswa Jakarta dan Sekitarnya) terutama Ben, Angga, Lalak, Gaby, Aubertus, Fredi, Hotman, Desmon, Temi, Lamtiur, Renova, dan Megi yang telah membantu penulis dalam berorganisasi dan menjadi kawan – kawan pendukung dalam masa perkuliahan dan sehari – hari penulis juga menjadi salah satu pemberi informasi akan sumber skripsi penulis. - Kepada kawan – kawan di Kostan Perumahan Dosen Nazir Alwi no 6,

yang telah mendukung penulis dalam pembuatan skripsi ini.

- Kepada Bapak Tjin Eng yang telah banyak memberikan bantuan, baik berupa buku mau pun informasi yang dibutuhkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(10)

Kata Pengantar

Kewarganegaraan merupakan suatu hal mutlak yang dibutuhkan untuk identitas seorang warga Negara. Tanpa pengesahan sebagai warga Negara, maka seseorang tidak akan mempunyai identitasnya yang bisa menjamin kesejahterannya. Seperti contoh apabila seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan, maka dia tidak berhak untuk ikut memberikan suara pada Pemilu di tempatnya. Dia tidak bisa mendapatkan pekerjaan dalam lembaga Pemerintah atau BUMN. Bahkan yang lebih penting lagi adalah, dia sangat susah untuk mendapatkan perlindungan hukum di Negara tersebut.

Salah satu suku di Indonesia pernah mengalami susahnya mendapatkan kewarganegaraan, yaitu suku Tionghoa. Akibat pergolakan politik dan terjadinya kudeta yang gagal pada G30S, menyebabkan rentetan kejadian kontroversial. Salah satunya pemberian status baru bagi masyarakat etnis Tionghoa, untuk membuktikan kewarganegaranya. SBKRI adalah produk Pemerintah pada masa itu, yang dikhususkan bagi masyarakat etnis Tionghoa. Di Tangerang, etnis Tionghoa Benteng yang paling besar mendapatkan dampak dari SBKRI. Dalam sejarahnya masyarakat etnis Tionghoa Benteng, mempunyai jalan cerita yang cukup panjang.

Skripsi ini banyak menceritakan tentang masyarakat Tionghoa Benteng dalam menghadapi SBKRI. Penulis merasa tertarik dengan masyarakat Tionghoa Benteng, karena masyarakat ini mempunyai keunikan tersendiri. Salah satunya adalah sifat perbauran kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan pribumi yang


(11)

sudah ada sejak lama, dan tetap bertahan walau dilanda dilema SBKRI. Maka penulis sangat tertarik untuk menulis tentang masyarakat Tionghoa Benteng, yang mengalami pasang surut dalam meraih kewarganegaranya.

Yang terakhir penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Temi Sutedja yang telah memberi inspirasi buat penulis untuk membuat skripsi yang berjudul Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang 1978 – 1998.


(12)

Daftar Isi :

Ucapan Terima Kasih………...

vi

Kata Pengantar

………...…..x

Daftar Isi………..

xii

Daftar Lampiran………...

xiv

Bab 1. Pendahuluan

1.1Latar Belakang Masalah……….1

1.2Rumusan Masalah………..5

1.3Ruang Lingkup Masalah………...5

1.4Tujuan dan Manfaat………....………...6

1.5Tinjauan Pustaka………...6

1.6Metode Sejarah………...8

Bab 2. Asal Mula Datangnya Masyarakat Tionghoa ke Indonesia

2.1 Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Pulau Jawa………...10

2.2 Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat Pribumi di Jawa…….15

2.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng………...23

Bab 3. Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Sebelum SBKRI

3.1 Keadaan Ekonomi Masyarakat Tionghoa Benteng………...29

3.2 Kesejahteraan Sosial Masyarakat Tionghoa Benteng………..32

3.3 Kegiatan Politik Masyarakat Tionghoa Benteng……….38

Bab 4. Masyarakat Tionghoa Benteng dan SBKRI

4.1 Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Selama SBKRI………....…44


(13)

Bab 5. Masyarakat Tionghoa Benteng dan Tragedi Kerusuhan

1998

5.1 Asal Usul Tindakan Agresif Terhadap Masyarakat Tionghoa Benteng…..…62

5.2 Tindakan Pengamanan Polisi Terhadap Masyarakat Tionghoa…………..….67

5.3 Kerugian Yang Di Alami Oleh Masyarakat Tionghoa Benteng………..……71

Bab 6. Kesimpulan….

………73

Daftar Pustaka……….

76

Data Informan………..

78

Lampiran………...

79


(14)

Daftar Lampiran :

1. Peta Kota Tangerang

2. Salah satu peninggalan tempat tinggal Masyarakat Tionghoa Benteng. 3. Area depan rumah seorang saudagar Tionghoa Benteng pada masa

Kolonial.

4. Rumah Tionghoa Benteng yang memakai sistem Knock Down.

5. Area Depan tempat pengungsian masyarakat Tionghoa Benteng pada masa kerusuhan etnis 1946.

6. Area Samping sebuah rumah pengungsian masyarakat Tionghoa Benteng pada masa kerusuhan etnis 1946.

7. Area Depan Klenteng Boen Tek Bio. 8. Penulis bersama Narasumber Pak Tjin Eng. 9. Area Samping Klenteng Boen Tek Bio.

10.Tempat membakar Dupa di Klenteng Boen Tek Bio. 11.Tempat membakar Dupa di Klenteng Boen Tek Bio.

12.Sebuah bangunan bekas peninggalan masyarakat Tionghoa Benteng di Pasar Lama Tangerang.

13.Sebuah Keterangan Tanda Penduduk (KTP) yang sudah mencantumkan agama si pemilik KTP yaitu Kong Hu Chu, menandakan bahwa agama Kong Hu Chu sudah diperbolehkan di Indonesia.


(15)

ABSTRAK

Secara umum skripsi bertujuan untuk mengungkap dan mengetahui dampak dari Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) terhadap masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang. Mulai dari awal mula munculnya masyarakat Tionghoa Benteng, dan mengapa disebut Tionghoa Benteng sampai masa kerusuhan 98. Tionghoa Benteng sendiri merupakan masyarakat Tionghoa yang mempunyai kultur campuran dengan pribumi, dan walau sudah berasimilasi mereka tetap memegang kultur Tionghoa. Selain kultur, masyarakat Tionghoa Benteng juga memiliki keunikan yang lain, yaitu mempunyai kulit coklat seperti pribumi pada umumnya.

Dari hasil penelitian akhir diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat Tionghoa Benteng mengalami keterbatasan dalam bernegara. Masyarakat Tionghoa Benteng yang lebih memilih untuk tinggal di Indonesia, dan menjadi warga Negara Indonesia mengalami keterbatasan dalam mendapatkan haknya setelah SBKRI diberlakukan. Susah masuk ke dalam perusahaan atau lembaga pemerintah dan sulit mendapatkan pendidikan, menjadi kemerosotan pada masyarakat Tionghoa Benteng.

Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah metode Sejarah yaitu Heuristik (pengumpulan data), Verifikasi (Kritik), Interpretasi dan Historiografi (penulisan). Pada tahap Heuristik menggunakan dua metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research). Selain itu, penulis juga melakukan pengumpulan sumber melalui wawancara terhadap informan – informan yang berkaitan dengan penelitian ini


(16)

BAB I

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia kaya akan multi etnik, budaya, bahasa dan agama, hal ini disebabkan akan luasnya wilayah (5.180.053 Km2 ) dari Indonesia itu sendiri. Kebudayaan tradisional banyak mengangkat daya tarik wisatawan bahkan tidak jarang masyarakat itu sendiri yang menjadi sorotan. 1

Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia; tetapi sebagian besar, belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah di Tiongkok, tetapi dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa kebudayaan mereka masing-masing bersama dengan perbedaan bahasa. Masyarakat keturunan Tionghoa yang datang ke Indonesia khususnya ke Tangerang ada 4 yaitu, Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Masyarakat

Menurut Koentjaraningrat hampir semua kebudayaan di Indonesia mempunyai nilai historiografi tradisional yang cukup tinggi. Kebudayaan Hindu beserta kesustraan Hindu masuk ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi hanya dalam lapisan-lapisan dan lingkungan masyarakat teratas. Jika banyak masyarakat kebudayaan asli Indonesia, maka jangan heran apa bila ada juga masyarakat budaya Indonesia dari luar, seperti orang Tionghoa.

1 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet.ke-20, Jakarta: Djambatan, 2004, hal. 21.


(17)

keturunan ini banyak berdatangan pada kira-kira abad ke-16 sampai abad ke-19. Setelah perpindahan ini maka mulai terjadi percampuran budaya Tionghoa dengan Betawi atau Sunda di daerah tersebut. Percampuran perkawinan antara pemuda Tionghoa dengan wanita pribumi inilah maka muncul masyarakat Tionghoa Benteng. Kata “Benteng” sendiri diambil pada masa setelah pemberontakan masyarakat Tionghoa terhadap penguasa VOC di Batavia pada tahun 1740 (peristiwa kali Angke), yang dimana sebagian besar masyarakat Tionghoa yang ada di Tangerang tinggal di sekitar benteng Belanda di luar kota Batavia, dan mereka selalu disebut dengan istilah Tionghoa Benteng.

Selama berlangsungnya gelombang-gelombang imigrasi dari 1850 sampai 1930, suku Hakka adalah yang paling miskin dari antara para perantau Tionghoa. Mereka bersama-sama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral sehingga sampai sekarang orang Hakka masih banyak yang terpuruk dalam kemiskinan. Sejak akhir abad ke-19, orang Hakka mulai bermigrasi ke Jawa Barat, karena tertarik oleh perkembangan Kota Jakarta dan karena dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Tionghoa.

Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri bukan langsung dari Tiongkok itu sendiri, melainkan berasal dari perpaduan antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi atau bahkan Sunda. Mereka ini pada awalnya banyak mendiami daerah Jakarta Utara. Akan tetapi banyak dari mereka tergusur dan pindah ke daerah selatan Jakarta, seperti di pinggiran sungai Cisadane. Kerumitan yang selalu menghantui masyarakat Tionghoa Benteng ini adalah masalah kewarganegaraan. Dalam zaman Kolonial semua orang Tionghoa secara yuridis


(18)

diakui sebagai suatu golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi, ialah hukum Timur Asing. Pada tahun 1955, waktu Konferensi Asia-Afrika ke-1 di Bandung. Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga orang Tionghoa di Indonesia dapat memilih menjadi salah satu, ialah warga negara RRT atau warga negara Indonesia (WNI), mereka juga harus bisa membuktikan di muka pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia (hal ini agar mencegah pelarian masyarakat Tionghoa akibat perang saudara komunis dengan nasionalis Tiongkok), dan kemudian menyatakan di depan pengadilan melepaskan kewarganegaraan Tiongkok. Ratifikasi perjanjian tersebut, baru selesai tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya ditentukan waktu dua tahun. Setelah tragedi Gerakan 30 September (G30S), pada tahun 1969 perjanjian Dwi kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI. Pada tahun 1978 peraturan menteri kehakiman mewajibkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga Tionghoa. Pada tahun 1983 keputusan menteri kehakiman, menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi kewarganegaraan lalu menyatakan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI. Pada tahun 1992, keputusan menteri kehakiman, menegaskan bahwa anak-anak keturunan dari Tionghoa pemegang


(19)

SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI. Pada tahun 1996, keluar keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi. Namun keputusan ini tidak banyak yang mengetahui karena kurangnya sosialisasi, hal ini banyak berdampak pada masyarakat Tionghoa Benteng. Mereka yang tidak tahu akan adanya peraturan tersebut mengalami pergusuran tempat tinggal, sepanjang sungai Cisadane di Tangerang dikarenakan masyarakat Tionghoa Benteng tidak mampu menunjukkan bahwa mereka sah sebagai WNI. Rumah-rumah mereka dihancurkan, dan dijadikan sebagai pabrik-pabrik di sepanjang Sungai Cisadane tersebut.

Pada kerusuhan 1998, banyak masyarakat Tionghoa yang menjadi korban pembantaian masyarakat pribumi karena dianggap masyarakat Tionghoalah yang telah menghancurkan perekonomian Indonesia melalui perdagangannya. Hal ini ditandai dengan adanya pelecehan terhadap wanita-wanita Tionghoa, pembantaian besar-besaran dan pengerusakan ruko-ruko atau rumah orang dari suku Tionghoa. Masyarakat Tionghoa yang mempunyai perekonomian tinggi bisa melarikan diri ke luar negeri, tapi yang menengah kebawah akan menjadi korban pembantaian masyarakat. Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri banyak yang menjadi korban dalam kerusuhan itu, dikarenakan menjadi pelampiasan amukan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia yang ambruk.

I.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah skripsi ada sebagai berikut :


(20)

SBKRI ?

- Apa usaha Masyrakat Tionghoa Benteng dalam menghadapi SBKRI ? - Bagaimana dampak kerusuhan 1998 terhadap masyarakat Tionghoa

Benteng?

I.3 Ruang Lingkup Masalah

Batasan waktu dari penulisan ini adalah dari tahun 1978 hingga tahun 1998. Tahun 1978 dipilih sebagai batasan awal, karena pada tahun tersebut merupakan tahun diberlakukannya SBKRI.Sedangkan tahun 1998 dipilih menjadi batasan akhir karena pada masa ini terjadi kerusuhan besar-besaran yang mengakibatkan pembantaian etnis terhadap masyarakat Tionghoa terutama masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang.

Tangerang menjadi titik perhatian utama karena disinilah secara spasial merupakan tempat Masyarakat Tionghoa Benteng itu sendiri tinggal, dan mereka masih menganggap bahwa Tangerang merupakan kota leluhur mereka setelah datang dari Tiongkok.

I.4 Tujuan dan Manfaat

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini sendiri antara lain; 1. Untuk menjelaskan gambaran umum tentang dampak SBKRI.

2. Untuk menjelaskan latar belakang Masyarakat Tionghoa Benteng itu sendiri dan gejolak didalamnya.

3. Untuk mengetahui aktifitas latar belakang dari permasalahan kewarganegaraan yang sah bagi masyarakat keturunan.


(21)

Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penulisan ini, diantaranya adalah:

1. Menambah wawasan masyarakat tentang kewarganegaraan dan akibat jika terjadi diskriminasi rasial.

2. Menjadi penjelasan bagi kalangan umum tentang masyarakat Tionghoa Benteng.

3. Memberikan pemahaman seputar permasalahan dalam kewarganegaraan di Indonesia.

I.

5

Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang menjadi pedoman bagi penulis dalam penulisan ini ada 4 buku. Buku yang pertama adalah, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Koentjaraningrat. Buku ini mempunyai bab-bab keragaman kebudayaan masyarakat Indonesia yang salah satunya juga termasuk masyarakat Tionghoa. Di buku tersebut juga dijelaskan tentang bagaimana masyarakat dari Tiongkok mulai bermigrasi ke Indonesia dan mulai bergabung dengan masyarakat pribumi.

Penulis juga memakai buku kedua yang ditulis oleh Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Indonesia . Buku ini juga banyak bercerita tentang masyarakat Tionghoa, dan cenderung tentang masyarakat Tionghoa Benteng. Di buku ini diceritakan bagaimana kisah hidup masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa Benteng, yang menjadi suatu komunitas eksklusif di Tangerang walaupun bisa dikatakan masyarakat ini masih termarjinalkan.

Etnis Cina : Dalam Potret Pembauran di Indonesia, menjadi buku penulis ketiga yang ditulis oleh Abdul Baqir Zein. Di buku ini, penulis mendapatkan suatu


(22)

pandangan khusus terhadap masyarakat Tionghoa akan proses diterimanya mereka di masyarakat Indonesia. Di buku ini juga diceritakan perjuangan mereka dari tanah kelahiran hingga sampai proses mendetail akan eksistensi mereka di dalam masyarakat.

Karangan Susan Blackburn, yang berjudul Jakarta : Sejarah 400 Tahun, juga menjadi buku panduan keempat penulis. Memang jika ditilik dari judul dan sebagian besar isi merupakan sejarah Kota Jakarta, tetapi hal yang penulis dapat adalah adanya informasi tentang pemukiman Tionghoa di Jakarta dulunya. Bahkan Batavia jaman dulu mempunyai pemukiman masyarakat Tionghoa yang paling besar pada saat itu. Buku ini menjadi sumber informasi penulis akan pentingnya kota besar Jakarta yang menjadi pijakan pertama masyarakat Tionghoa di Jawa.

I.6 Metode Sejarah

Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif. Perlu dilakukannya metode-metode penelitian yang diperlukan, sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Seperti yang telah diketahui, penulisan penelitian sejarah 2

2 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999, hal. 44.

menurut Louis Gottschalk ada 4 langkah, langkah pertama adalah Heuristik. Yaitu proses pengumpulan dan menemukan sumber-sumber sejarah yang terkait. Bahan-bahan sumber sejarah yang diambil penulis berupa buku-buku yang berkaitan dengan masyarakat etnis Tionghoa terutama masyarakat Tionghoa Benteng, penulis melakukan pencarian pustaka di perpustakaan Kota Tangerang dan di Klenteng


(23)

Boen Tek Bio. Selain itu penulis juga melakukan penelitian yang dilakukan langsung ke lapangan, untuk mengumpulkan sumber-sumber melalui wawancara yang dilakukan kepada Tjin Eng sebagai narasumber utama. Narasumber dipilih karena mempunyai akses yang cukup luas dalam membantu penulis mencari sumber-sumber penelitian. Langkah kedua adalah Kritik, yaitu proses dalam pemeriksaan keotentikan sumber-sumber yang telah didapat, agar dapat diketahui sumber-sumber ini merupakan sejatinya kebenaran. Pada proses dalam penulisan skripsi, penulis telah melakukan 2 jenis kritik, yaitu : kritik ekstern dan kritik intern. Langlah ketiga yaitu Interpretasi, yaitu proses untuk menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali. Tahap-tahap yang dilakukan penulis pada penelitian ini adalah, seleksi untuk memilih mana yang relevan dan mana yang penting. Serialisasi, yaitu mengurutkan dan merangkai fakta-fakta. Kronologi, yaitu menyusun fakta berdasarkan urutan waktu. Imajinasi, yaitu mencari jalinan dari berbagai pengalaman yang didapat dari fakta tersebut. Langkah keempat adalah Historiografi. Merupakan proses menceritakan rangkaian fakta dalam bentuk suatu tulisan yang bersifat ilmiah. Dalam penelitian ini, objek yang menjadi bahan penulis adalah masyarakat Tionghoa Benteng. Dimana yang dibahas adalah kehidupan masyarakat Tionghoa Benteng dalam kehidupan dan usaha-usahanya agar mendapatkan kewarganegaraan secara sah pada tahun berlakunya SBKRI yaitu 1978 sampai dicabutnya SBKRI 1998. Maka penulis memberikan judul penulisan penelitian ini adalah “Masyarakat Tionghoa


(24)

BAB II

Asal Mula Datangnya Masyarakat Tionghoa ke

Indonesia

.

II.1 Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Pulau Jawa

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia sudah lama diketahui, sebelum bangsa Eropa masuk pun sudah banyak pedagang Tionghoa yang datang untuk berdagang di Nusantara. Para pedagang ini, berdagang ke Indonesia dan menetap, yang tentunya bisa berbulan-bulan lamanya di Nusantara menunggu perubahan angin musim. 3

Lama sebelum VOC muncul, orang Tionghoa sudah berdagang di Jayakarta, beberapa bahkan sudah menetap di wilayah tersebut cukup lama untuk menanam tebu dan menyuling arak yang terkenal di kalangan pelaut yang datang. Ketika VOC mulai menjejakan kakinya di wilayah ini, perusahaan tersebut

Pada abad ke-14 ditemukan sumber yang menyatakan adanya perkampungan orang-orang Tionghoa Islam di Muara Sungai Brantas Kiri atau yang sekarang sering disebut Kali Porong. Pada awal abad ke-18, ketika Surabaya berada dibawah kekuasaan Mataram, di antara keraton dan benteng Kompeni terdapat sebuah pasar yang luas yang sekarang disebut daerah Pasar Beras. Di tempat inilah orang Tionghoa menjual hasil bumi terutama beras, dengan harga yang murah. Mereka bertempat tinggal di sebuah perkampungan di sebelah utara keraton dan di luar benteng Kompeni. Perkampungan ini diperkirakan menjadi awal dari perkampungan Tionghoa di Surabaya.

3Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946), Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, 2004, hal. 1.


(25)

menjalin hubungan baik dengan orang Tionghoa. 4Pada sensus penduduk Batavia tahun 1673 yang dilakukan oleh VOC, orang Tionghoa justru lebih banyak dari pada orang Belanda dengan kisaran 2.747 jiwa. Sedangkan orang Belanda hanya berkisar 2.024 jiwa. Orang Belanda di Batavia sangat bergantung pada tenaga kerja Tionghoa dan barang-barang yang dibawa dari Asia Timur, barang-barang ini dibawa oleh kapal-kapal Jung Tiongkok. 5

Pada awal kedatangan ke Semarang, masyarakat Tionghoa banyak tinggal di daerah Gedung Batu, Simongan. Tempat yang terletak di tepi sungai Semarang itu merupakan lokasi strategis karena berada di teluk yang menjadi bandar besar dengan nama Pragota. Pemberontakan Tionghoa terhadap pendudukan Belanda pada 1740, rupanya menjalar hingga ke Semarang. Orang Tionghoa yang selamat melarikan diri ke arah Timur, hingga tiba di Semarang dan kembali melakukan perlawanan namun berhasil ditumpas oleh Belanda. Sejak saat itu, semua warga Tionghoa yang berada di Semarang dipindahkan ke tempat yang dikenal dengan nama Pecinan. Hal tersebut bertujuan agar Belanda dapat lebih mudah mengawasi agar tidak terjadi lagi pemberontakan. Di Semarang ada sebuah kelenteng yang bernama Sam Po Kong, yang merupakan bukti peninggalan dari laksamana Besar Tiongkok Cheng Ho yang beragama Islam pada pada masa Dinasti Ming.

Pada tahun 1625, armada Tiongkok yang berdagang di Batavia memiliki minimal tonase yang sama besar dengan seluruh armada VOC yang kembali ke Eropa.

Masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa adalah para pedagang dan secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai Utara Jawa. Mereka

4 Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun, Jakarta: Masup Jakarta, 2011, hal. 28. 5 Ibid., hal. 33.


(26)

menjadikan Jawa sebagai batu lompatan menuju Timur Tengah. Ketika Belanda datang ke Pulau Jawa, interaksi masyarakat Tionghoa dan pribumi telah berjalan baik. Masyarakat Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan, tapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.

Berpindahnya kekuatan Dinasti Ming ke selatan pada abad ke-17 karena dipaksa mundur oleh orang Manchu itulah menjadi salah satu faktor penyebab banyak masyarakat Tionghoa yang berpindah, antara lain ke Jawa melalui Taiwan, sehingga penduduk Tionghoa di Jawa pun meningkat.Selain itu ada 6

6 Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis, Jakarta: Republika, 2012, hal. 61.

empat pola migrasi masyarakat Tiongkok, yang pertama pola Huashang atau perdagangan. Hal ini sudah terjadi sejak lama tentunya, karena pada masa abad ke-14 pun masyarakat Tionghoa sudah banyak melakukan perdagangan di Nusantara khususnya Pulau Jawa. Para saudagar dan pedagang ini, selalu membuat basis-basis sistem ekonomi di tempat mereka tinggal. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi tuan tanah, dan membuka banyak lahan swasta atau pertambangan di luar dari naungan Pemerintah Kolonial Belanda. Kebanyakan para pedagang tersebut memperkerjakan sanak saudara mereka, agar lebih mudah dalam memantau kondisi pekerjaan dan ongkos yang lebih murah. Kebanyakan yang menjadi pedagang dan saudagar ini adalah orang-orang Tionghoa Hokkian, mereka merupakan pedagang terdidik dari Tiongkok. Sektor perdagangan yang mereka kuasai adalah, hasil bumi, pertanian, kelontong, menjadi tukang kredit, dan rentenir. Selain itu mereka juga menjadi perantara,


(27)

antara kelompok pribumi yang menjadi produsen hasil perkebunan dengan para eksportir Belanda atau India.

Yang kedua adalah pola Huagong atau kuli/ buruh. Pola ini mulai berlangsung di Indonesia pada akhir abad ke-19, dan orang-orang Tionghoa ini dibawa oleh bangsa Eropa khususnya Belanda. Sebab Belanda sangat membutuhkan tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan melalui sistem kontrak. Setelah kontrak selesai, masyarakat Tionghoa yang menjadi tenaga kerja tersebut kembali ke Tiongkok dan menceritakan tentang Indonesia dan hal itu menyebabkan bertambahnya migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia. Selain itu pembangunan dan impian akan hidup lebih layak di Indonesia, menyebabkan banyak dari masyarakat Tiongkok yang miskin bermigrasi ke Indonesia. Kebanyakan yang menjadi buruh Tionghoa di Indonesia adalah orang Hakka dan Teo Chiu, mereka adalah petani tanpa tanah, pekerja miskin di perkotaan, dan para pengangguran yang tidak mempunyai harapan hidup di negara asal. Para kuli Tionghoa ini tersebar ke beberapa tempat di Indonesia seperti, Kalimantan khususnya Singkawang, Sumatera Timur dan, Jawa.

Yang ketiga adalah pola Huaqiao, merupakan pola perantau yang hampir sama dengan pola Huagong, hanya saja jenis individu perantau yang berbeda. Pada pola Huagong para perantau adalah yang tidak mampu dan bekerja kasar seperti buruh dan kuli, maka dalam pola Huaqiao para perantau cenderung lebih profesional. Para perantau ini kebanyakan bekerja sebagai guru, jurnalis, koki, akuntan dan jenis profesi lainnya. Para perantau ini selain mencari kehidupan yang lebih baik di luar Tiongkok, mereka juga mempunyai ambisi yang harus


(28)

dijalankan keluar dari wilayah Tiongkok. Ambisi ini untuk meningkatkan kesadaran akan kebesaran budaya Tionghoa dan berfungsi untuk menunjukan tujuan nasionalisme itu sendiri. Mereka datang dengan kesadaran dan tekad untuk hidup jauh di luar tanah kelahiran, tapi tidak ingin melepaskan keterkaitan dengan tanah leluhur. Mereka berusaha memelihara bahasa, adat-istiadat, dan mengaktifkan pengajaran tentang Tionghoa kepada anak-anak mereka. Mereka mendorong emansipasi dan kemajuan kepada warganya, mendukung pemerintahan negeri yang pernah mereka tinggali. Dengan kehadiran migrasi Tionghoa yang lebih profesional, maka kedudukan orang Tionghoa pada masa pemerintahan kolonial Belanda sangatlah penting di sektor administrasi. Tidak heran dalam strata sosial pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa menempati urutan kedua setelah orang Belanda atau orang kulit putih.

Pola yang keempat adalah Huayi, yang bisa diartikan terlahir untuk menjadi warga negara setempat. Huayi merupakan pola migrasi yang mempunyai visi yang sama, yaitu mencari kehidupan baru yang lebih baik di luar wilayah Tiongkok tetapi misi mereka berbeda yaitu tidak mengikuti ajaran atau kebudayaan asli bangsa Tiongkok. Bisa dikatakan para perantau Tionghoa tersebut, akan berbaur menjadi satu dengan negara yang ditempati. Pola Huayi, disebabkan diskrimasi etnis atau atau peperangan dalam negeri, sehingga pola huayi dekat dengan alasan politis. Di Indonesia, mereka adalah generasi yang kesekian peranakan Tionghoa. Mereka relatif tidak bisa berbahasa Tionghoa dan telah sepenuhnya menjadi modern dan menyatu dengan masyarakat di negara yang mereka tinggali. Di Indonesia pola ini tidak banyak terjadi, karena sampai


(29)

sekarang masih banyak masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang mempertahankan kebudayaan dan keyakinan para leluhur. Pola ini bahkan lebih banyak terjadi di Amerika Serikat, Australia dan Inggris, yang masyarakat keturunan Tionghoanya lebih mempunyai sisi pemikiran barat yang modern dan telah meninggalkan adat-istiadat leluhur.

II.2 Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat

Pribumi di Jawa.

Setiap imigran yang datang ke suatu negara, pastinya harus menghadapi persoalan klasik, yaitu adaptasi dan bisa berbaur dengan masyarakat lokal atau pribumi. Hal ini tak terlepas dari masyarakat keturunan Tionghoa. Dalam prosesnya, integrasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat peribumi banyak mengalami hambatan. Baik dari segi bahasa, kebudayaan, bahkan pandangan sosial terhadap kedua belah pihak.

Dalam kegiatannya di kota Batavia menurut 7

7 Susan Blackburn, op cit., hal. 34.

Valentijn pada abad ke-18, orang-orang Tionghoa sangat pintar, sopan, giat dan penurut, serta sangat berjasa bagi Batavia. Mereka tidak hanya berdagang dalam segala macam hal barang kebutuhan tapi juga barang-barang yang membutuhkan ilmu teknik seperti pandai besi, tukang kayu, pembuat kursi. Banyak hal yang mereka lakukan di Batavia baik dari segi jasa bahkan perkebunan, mereka membangun kota tersebut menjadi kota yang sangat pesat perkembangannya. Bahkan Valentijn menyimpulkan “jika tidak ada orang Tionghoa, Batavia akan sangat sepi dan kehilangan banyak kebutuhannya”. VOC pada masa abad ke-18 mulai merangkul masyarakat


(30)

Tionghoa, dengan memberikan gelar Kapiten dan Letnan kepada para pemimpin masyarakat Tionghoa tersebut. Pemimpin-pemimpin masyarakat Tionghoa yang mendapatkan gelar tersebut, akan membuat perayaan yang sangat meriah. Bagi orang Tionghoa pengangkatan ini berarti menandakan hubungan yang setara dengan orang Belanda, selain itu mereka juga menganggap gelar ini setara dengan mereka jika diangkat sebagai pejabat kekaisaran Tiongkok. Pada tragedi pembantaian masyarakat Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740 yang disebabkan represi VOC terhadap harga gula dan mengakibatkan bangkrutnya pabrik gula yang mempunyai banyak buruh orang Tionghoa. Selain itu penetapan harga arak yang ditetapkan dengan sewenang-wenang oleh VOC, mengakibatkan banyak pedagang Tionghoa mendapat kerugian dan mengakibatkan pemberontakan oleh masyarakat Tionghoa. Setelah kejadian tersebut banyak orang Tionghoa mulai beragama Islam untuk meleburkan dirinya dengan masyarakat pribumi. Dikarenakan setelah tragedi tersebut, masyarakat Tionghoa tidak lagi menjadi anak emas bagi VOC, sehingga banyak masyarakat Tionghoa berusaha mencari perlindungan kepada masyarakat pribumi.

Salah satu cara perbaurannya dengan pekawinan campuran dan masuk agama Islam, hal ini diyakini dapat membantu mereka untuk mendapatkan perlindungan dari pihak pribumi. Selain itu banyak masyarakat Tionghoa telah Muslim, mengganti namanya dengan nama yang bersifat Indonesia, agar menjadi suatu penanda peleburan mereka terhadap masyarakat pribumi. 8

8 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hal. 7.

Orang Belanda banyak menjuluki orang Tionghoa Muslim ini dengan istilah Geschoren Chinees


(31)

atau yang berarti orang Tionghoa yang dicukur, karena salah satu penanda orang Tionghoa itu telah menjadi Muslim adalah dengan mencukur kuncirnya yang menjadi salah satu ciri khas laki-laki Tionghoa pada masa itu. Pada 1766, Jumlah masyarakat Tionghoa yang beragama Islam semakin lebih banyak, sehingga kepemimpinan pribumi terhadap kaum ini mulai susah dipantau. Maka diangkatlah seorang kapitein Tionghoa Muslim, yang bertugas memimpin masyarakat ini. 9Kapitein Tionghoa Muslim yang terakhir adalah Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada tahun 1827. Selain itu hal ini juga untuk memudahkan mereka mendekati para bangsawan pribumi. Dengan masuk Islam dan membuat jasa-jasa bagi kaum bangsawan, yang pada akhirnya mereka akan diangkat kedalam golongan ningrat. 10

Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan masyarakat homogen. Dilihat dari segi kebudayaan, orang-orang Tionghoa terbagi atas

peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan sudah berbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka mampu secara fasih berbahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan totok adalah pendatang atau imigran baru yang datang dari Tiongkok, umumnya masih sangat fasih berbahasa Tiongkok. Akan tetapi seiring waktu, imigran yang datang mulai menurun bahkan sudah berhenti. Tionghoa peranakan sudah banyak Seperti contoh Kapitein Tionghoa beragama Islam di Yogyakarta, Kapitein Tan Djien Sing yang diangkat sebagai Raden Toemenggoeng Setjodiningrat dan diangkat menjadi bangsawan keraton Yogyakarta.

9 Ibid., hal. 7. 10 Ibid., hal. 8.


(32)

mengalami perbauran dengan masyarakat pribumi dan keturunan totok pun sudah menjadi peranakan. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan. Dalam hal adat-istiadat, Masyarakat Tionghoa totok lebih kuat memegang tradisi nenek moyangnya dari pada masyarakat Tionghoa peranakan. Sedangkan masyarakat Tionghoa peranakan, nilai tradisi dari nenek moyangnya telah meluntur akibat dari proses asimilasi kepada masyarakat pribumi Indonesia. Namun disaat tertentu kekhasannya sebagai orang Tionghoa akan muncul juga. Biasanya terjadi pada acara-acara yang memang mengikuti pola kebudayaan atau penanggalan Tiongkok seperti kelahiran, pernikahan, kematian. Sedangkan pada masa penanggalan Tiongkok seperti Tahun baru Tiongkok atau Imlek.

Proses asimilasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat pribumi, sering menemui penghalang-penghalang yang telah diciptakan orang Tionghoa secara sadar atau tidak sadar. Keunggulan masyarakat Tionghoa pada selama masa penjajahan, baik dari segi hukum maupun pangsa ekonomi telah membuat kenyataan yang menyakitkan bagi sebagian masyarakat pribumi di Indonesia. Selain itu masyarakat pribumi juga sering menganggap masyarakat Tionghoa itu sebagai bangsa lain, bukan merupakan suku. Masyarakat Tionghoa cenderung hidup berkelompok dan tetap berpegang teguh terhadap kebudayaan negeri leluhur mereka. Sisi eksklusif diri inilah yang membuat adanya kesenjangan sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa. Setelah diberi kedudukan oleh Belanda, masyarakat Tionghoa mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Tidak jarang pejabat-pejabat dari kalangan


(33)

masyarakat Tionghoa melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi dan menghalang-halangi golongan pengusaha nasional atau pribumi. Pada awal abad ke-20, terjadilah perpecahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Sebagian orang Tionghoa peranakan merasa nyaman dengan konsesi yang mereka dapatkan dari Pemerintahan Kolonial Belanda, kebanyakan dari mereka tidak menyukai gerakan nasionalis Indonesia. Mereka takut derajat kewarganegaraan mereka akan turun, jika Pemerintahan Republik Indonesia terbentuk menggantikan Pemerintahan Kolonial Belanda. Salah satu orang Tionghoa yang sangat mendukung kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda adalah 11

11 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2005, hal. 5.

H.H. Kan, seorang tuan tanah yang sangat kaya. Ia belajar di sekolah Belanda di Batavia. Selain itu dia H.H. Kan juga merupakan pendiri dan ketua Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai Tionghoa yang mendukung gerakan barat dalam dewan perwakilan atau sering disebut

Volksraad. Kan dan partai Chung Hwa Hui cukup berpengaruh di dalam

Volksraad. Lobi yang dilakukannya cukup kuat untuk mendirikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa. Dimana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dan banyak anak-anak Tionghoa yang dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah anak Eropa. Selain itu, penghapusan hukum-hukum diskriminatif dan memperluas hak-hak politik bagi orang Tionghoa, juga merupakan hasil kerja lobi partai Chung Hwa Hui terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada tahun 1918, Kan memasukkan laporan yang mendukung status quo. Sampai tahun 1941, Kan masih mendukung pemerintahan Belanda, Kan menyatakan dengan jelas untuk menentang setiap perubahan kebijakan yang menentang Belanda. Kan juga


(34)

banyak mengkritik partai-partai yang menentang Belanda dan yang mendukung kemerdekaan Indonesia. 12Bahkan kan mengatakan dengan sangat jelas “Ini adalah perkara hidup mati rakyat di sini. Kita harus berjuang bersama Belanda dan pemerintahan Belanda harus ditegakkan di negara ini”.Di samping ada orang Tionghoa yang berpihak pada Belanda, ada juga yang berlandaskan nasionalisme Tiongkok. Gerakan aliran ini terlihat jelas pada surat kabar 13

12 Leo Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES Indonesia. 2002, hal. 34.

Sin Po yang

didirikan pada tahun 1910. Aliran orientasi nasionalisme Tiongkok ini menyerukan anti kolonialisme, hampir sama seperti gerakan nasionalisme Indonesia. Walau pun bisa dikatakan antikolonialisme di Indonesia, namun mereka tidak memiliki kesamaan dengan nasionalisme Indonesia karena menganggap bahwa Tiongkok adalah tanah air mereka. Bagi para pendukung aliran Sin Po, negara Tiongkok adalah pelindung mereka dan semua masyarakat Tionghoa perantauan. Bagi mereka, masyarakat Tionghoa peranakan akan selalu dapat hidup kalau mereka mempunyai ikatan dengan Negeri Tiongkok. Kaum ini menganjurkan persatuan antara kaum peranakan Tionghoa dengan kaum Tionghoa totok, selain itu menuntut status hukum sama dengan orang Eropa bagi kaum masyarakat Tionghoa lokal serta pendidikan adat dan tradisional Tionghoa terhadap anak-anak kaum peranakan Tionghoa. Padahal tidak semua masyarakat Tionghoa yang seperti itu, bahkan ada yang sangat mendukung nasionalisme bangsa seperti Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Sekelompok orang Tionghoa yang pro-Indonesia juga ada, mereka merupakan kalangan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia harus menjadi


(35)

Indonesia. Pada tahun 1932, seorang jurnalis Tionghoa peranakan Liem Koen Hian dan pengacara yang juga Tionghoa peranakan Ko Kwat Tiong, mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Aliran partai ini menganut nasionalisme kebangsaan Indonesia, Indonesia bagi Liem Koen Hian yang menjadi presiden pertama partai, merupakan Tanah Air dan negeri bagi setiap insan yang telah lama tinggal di Indonesia dari generasi ke generasi. PTI giat menganjurkan akan identitas politik Indonesia, kepada setiap masyarakat Tionghoa di Jawa. Akan tetapi kegiatan ini hanya dijalani oleh sebagian kecil dari masyarakat Tionghoa itu sendiri, Sebagian besar masih memperkuat identitas Tiongkoknya. Orang Tionghoa banyak memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap kehidupan di Jawa pada masa awal abad ke-20. Keuntungan yang diberikan Belanda terhadap Masyarakat Tionghoa telah banyak disalah gunakan. Oportunisme semacam ini adalah ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan, dan bisnis. Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa yang pro Tiongkok atau pun pro Belanda, gerakan nasionalis Indonesia seakan-akan tidak pernah ada. Mereka juga berpikir tidak ada alasan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kemerdekaan Indonesia.

Penjajahan Belanda di Indonesia telah banyak menimbulkan perbedaan ras. Akibat perbedaan dan sisi eksklusif yang didapatkan masyarakat Tionghoa pada masa Belanda, maka tidak heran banyak warga Tionghoa hidup menyendiri, terpisah dari pribumi lainnya. Adat-istiadat, rumah sekolah Tionghoa sendiri dan perkumpulan sosial dan olah raga sendiri atas pengaruh ekonomi yang lebih baik.


(36)

Banyak rakyat Indonesia asli berpendapat, bahwa merekalah yang berjuang dan berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka. Masyarakat Indonesia asli umumnya tidak dapat membedakan Masyarakat Tionghoa totok dengan masyarakat Tionghoa peranakan yang telah menjadi warga negara Indonesia. Bagi kebanyakan rakyat asli Indonesia, masyarakat Tionghoa baik totok maupun yang peranakan adalah sama saja, karena bagi masyarakat Indonesia, masyarakat Tionghoa merupakan sosok penguasa lapangan ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itu banyak individu-individu di Indonesia meminta kepada pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan bagi pengusaha nasional memperoleh kedudukan yang layak dalam perekonomian masyarakat.

Akan tetapi tidak selamanya perbauran masyarakat Tionghoa di Jawa mengalami hambatan. Nilai-nilai kebudayaan antara masyarakat Indonesia di Jawa dengan masyarakat Tionghoa peranakan di Jawa, bukan yang dari luar Jawa, karena pada batas-batas tertentu ada perbedaan situasi dan kondisi di tiap daerah. Banyak nilai-nilai sosial budaya yang sama di kalangan masyarakat Jawa dan masyarakat Tionghoa, seperti misalnya pandangan tentang hakekat hidup.

Tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Jawa kebanyakan mempunyai wilayah tempat tinggal bersama, atau bisa dikatakan masyarakat Tionghoa lebih banyak memilih hidup berkelompok dengan etnisnya. Bagi Masyarakat keturunan Tionghoa hal ini sudah biasa, karena etnis asing yang lain pun seperti itu seperti contoh etnis India dan Arab. Setelah tahun 1930, pola hidup berkelompok ini bukan lagi menjadi suatu hal yang asing, tapi sudah menjadi hal yang lumrah.


(37)

Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok pada masa itu, telah memberikan cikal bakal adanya Chinatown di Indonesia, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Pada perbaurannya, mulai terbentuk komunitas-komunitas masyarakat Tionghoa itu sendiri. Setiap komunitas masyarakat Tionghoa, mulai terbentuk. Seperti contoh dengan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang, yang sudah menjadi suatu ikon hasil proses asimiliasi yang cukup lama.

II.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng.

Masyarakat Tionghoa pada awalnya tinggal di pesisir pantai Batavia, atau

lebih tepatnya Jakarta Utara pada masa kini. Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi salah satu pelabuhan ternama di kawasan Batavia, dan menjadi salah satu saingan pelabuhan Banten, menjadikan kawasan utara Batavia ini cukup ramai untuk ditinggali oleh masyarakat pada umumnya, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa. Pada awal pembangunan Batavia. Banyak sekali masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah ini. Kedatangan orang Tionghoa untuk pertama kali ke Tangerang terjadi pada tahun 1407, tepatnya berada di muara sungai Cisadane yang sekarang bernama Teluk Naga. Kejadian ini telah tercatat dalam kitab sejarah Sunda yaitu Tina layang Parahyangan. Pemimpin daerah tersebut pada waktu itu adalah Sanghyang Anggalarang dari Kerajaan Parahyangan yang pusat pemerintahannya berada disekitar Kota Tangerang. Tangerang sendiri berasal dari kata Tangren dalam bahasa mandarin yang berarti orang dari dinasti Tang. Inilah yang merupakan gelombang pertama kedatangan masyarakat Tionghoa ke Tangerang.


(38)

Gelombang kedua diperkirakan berawal dari pemberontakan Tionghoa pada VOC tahun 1740 di Batavia. Pemberontakan yang dipimpin Kapitein Nie Hoe Kong, direspon dengan sangat keji oleh Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier. Kurang lebih 10 ribu orang tewas, sementara ratusan lainnya terluka. Nie Ho Kong yang merupakan kapitein Tionghoa memimpin pelarian ke Jawa Tengah dan sampai Solo. Kapitein Tionghoa yang lain yaitu Ma Uk memimpin rombongan pelarian menyusuri pantai utara Tangerang dan berhenti di wilayah yang sekarang dinamai seperti nama sang kapitein, yaitu Mauk. Sedangkan rombongan yang lainnya menyusuri sungai Cisadane, sebagian berhenti di Sewan, Neglasari, dan wilayah-wilayah sekitar. Mereka yang belum aman di Sewan dan Neglasari, melanjutkan perjalanan lebih ke pedalaman Tangerang, hingga mencapai tanah yang tidak ditinggali yaitu Karawaci. Nama Benteng pada Tionghoa Benteng sendiri berasal dari benteng Belanda yang berada di Tangerang, dibuat untuk mengantisipasi pemberontakan Masyarakat Tionghoa dan serangan Kesultanan Banten.

Perjanjian Damai 10 Juli 1659 antara Kesultanan Banten dan VOC, menyebutkan bahwa tapal batas Kesultanan Banten dan VOC adalah sungai Cisadane. Sebelah timur sungai Cisadane masuk wilayah VOC dan sisi barat sungai merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Hal ini jugalah membuat para pelarian Tionghoa yang telah sampai di Karawaci, untuk menyeberangi sungai Cisadane dan menetap di sisi barat sungai yang menjadi kekuasaan Kesultanan Banten. Itulah yang dilakukan oleh leluhur dari masyarakat Tionghoa Benteng yang ada di daerah Tangerang seperti, Panongan, Tigaraksa,


(39)

Curug, Legok, Balaraja, dan lainnya. Para pelarian Tionghoa yang telah menyeberang ke daerah kekuasaan Kesultanan Banten, dilindungi oleh Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin.

Bermukim di wilayah tanpa penduduk dan diberi kebebasan membangun pemukiman, mengolah lahan, dan membangun persawahan. Hampir tidak ada gangguan atau intervensi dari anggota keamanan Kesultanan. Mereka yang telah tiba di sisi barat sungai, mendapat perlindungan penuh dari prajurit Kesultanan Banten yang Memang biasa berpatroli ke wilayah itu untuk melakukan pengintaian. Dari sisi barat sungai Cisadane terutama di daerah Panongan, prajurit Banten bisa mengontrol garis dan zona demarkasi, juga untuk melihat pergerakan tentara VOC yang di sisi timur sungai Cisadane. Pemukiman awal di daerah sisi barat sungai Cisadane, banyak melakukan kegiatan bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hampir seluruh hasil panen, padi dan sayuran juga ternak dikonsumsi oleh mereka. Ada juga yang disisihkan untuk dibawa keluar daerah, bisa ditukar dengan garam atau gula. Selain itu, dengan dibangunnya benteng Belanda disebelah timur Cisadane, mulai banyak penyebutan terhadap masyarakat Tionghoa yang mayoritas bermukim disekitar Cisadane dengan sebutan Tionghoa Benteng. Sebutan ini akibat dari banyaknya masyarakat Tionghoa yang bermukim dekat dengan Benteng Belanda tersebut.

Kesultanan Banten pada akhirnya terus melemah, dan akhirnya berhasil dikalahkan oleh VOC dengan di tandai dihancurkannya Istana Surosan. Sultan Banten yang memerintah pada saat itu, Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainul Mutaqin diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808,


(40)

Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

Jatuhnya Kesultanan Banten membuat Masyarakat Tionghoa Benteng merasa terancam dan hidup tanpa perlindungan. Ancaman pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghantui mayoritas masyarakat Tionghoa Benteng. Apalagi kalau mereka membawa hasil bumi ke luar kampung. VOC yang telah memberlakukan sistem mata uang, untuk menarik semua elemen masyarakat ke dalam ekonomi pasar. Dalam perjalanan ke luar kampung pun bukan tanpa bahaya, ancaman perampokan di tengah jalan juga menghantui mereka. Maka ditemukan solusi untuk menjamin keamanan mereka, dengan menyewa jawara sebagai pengaman. Yang dimaksud jawara adalah individu yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengamanan. Jawara menjamin keselamatan pemukiman mereka dan mengawal mereka apa bila akan melakukan perjalanan ke luar kampung untuk menjual hasil bumi. Daerah yang menjadi perhatian penjualan mereka adalah pasar Curug dan Cikupa.

Adanya jawara ini bukan tidak serta merta munculnya perdamaian di Pemukiman masyarakat Tionghoa Benteng.Terkadang para jawara ini pun melakukan intimidasi terhadap masyarakat Tionghoa Benteng dengan memerintahkan anak buahnya untuk meneror mereka. Masyarakat Tionghoa Benteng pun melakukan banyak upaya untuk mengamankan diri sendiri, karena merasa dirugikan oleh para jawara tersebut. Tapi usaha itu selalu digagalkan oleh para jawara tersebut, karena takut tidak akan mendapatkan uang keamanan dari


(41)

pemukiman masyarakat ini. Banyak daerah di Tangerang yang masyarakat Tionghoa Benteng mengalami hal ini, seperti Panongan, Cengklong dan Kosambi. Lambat laun para jawara ini juga bukan merupakan solusi yang tepat bagi keamanan masyarakat Tionghoa. Di saat penjagaan longgar, orang dari luar kampung akan masuk, dan kemudian mereka akan mencuri atau merampok, bahkan hanya sekadar buat mencari masalah. Cerita perampokan dan diselingi pemerkosaan, juga kerap menghantui masyarakat ini.

Setelah kejatuhan Kesultanan Banten, Belanda mendirikan pemukiman Tionghoa di Tegal Pasir atau yang sekarang bernama Kali Pasir. Pemukiman ini cukup dekat dengan pusat Kota Tangerang, Belanda menamakan perkampungan Tionghoa itu dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini dengan seiring waktu cukup berkembang dan menjadi pusat perdagangan di Kota Tangerang. Masyarakat Tionghoa Benteng, merupakan hasil bentukan perpaduan kebudayaan Tiongkok dengan pribumi. Ciri-ciri fisik masyarakat Tionghoa Benteng sendiri, tidak seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya. Suku Tionghoa di Indonesia pada umumnya berkulit putih, tapi masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai kulit yang hitam gelap, mereka pun tidak memiliki mata yang sipit. Maka hal ini sangat sulit membedakan dengan pribumi apa bila dilihat secara sepintas saja.


(42)

BAB III

Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Sebelum SBKRI

III.1 Keadaan Ekonomi Masyarakat Tionghoa Benteng.

Keadaan ekonomi masyarakat Tionghoa di Indonesia pada umumnya bisa dikatakan menengah ke atas. Hal ini banyak kita lihat dari banyaknya usaha dagang atau perusahaan yang telah dikelola oleh masyarakat Tionghoa. Selain memang ekonominya yang maju, masyarakat Tionghoa juga mempunyai ikatan persaudaraan yang kuat, sehingga saling membantu dalam bisnis dengan sesama mereka bukanlah suatu masalah. Akibat kuatnya relasi bisnis dan keahlian mereka dalam berdagang, sebagian besar pangsa ekonomi Indonesia hampir mereka yang memegang. Hal seperti ini sudah bisa terlihat sejak masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah tragedi pemberontakan masyarakat Tionghoa pada VOC pada tahun 1740, masyarakat Tionghoa tetap masih mampu bertahan dalam perekonomiannya. Bidang perdagangan sudah menjadi sebuah usaha yang mendarah daging bagi mereka, ini dapat terlihat dari catatan-catatan sejarah masa lalu. Masyarakat Tionghoa, yang meliputi kurang lebih 3% dari keseluruhan penduduk Indonesia, memang merupakan salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia yang kuat. Selain perdagangan, banyak orang Tionghoa yang mempunyai keahlian dalam bidang keuangan dan industri, sehingga inilah yang menyebabkan mengapa banyak orang Tionghoa yang memegang kendali ekonomi Indonesia.


(43)

Perekonomian masyarakat Tionghoa Benteng cukup sederhana, ini terlihat dari materi dan pekerjaan yang mereka geluti. Masyarakat Tionghoa Benteng banyak melakukan pekerjaan seperti bertani, menjadi nelayan, beternak atau pedagang makanan. Disamping itu ada juga yang bekerja sebagai tukang becak dan buruh. Hidup dengan penuh kekurangan memang menjadi hal yang biasa dalam masyarakat Tionghoa Benteng, walau kekurangan tapi itu tidak terlalu terlihat.

Masyarakat Tionghoa Benteng masih memegang teguh adat istiadat Tionghoa, salah satu sifatnya adalah gotong royong dengan sesama. Bidang ekonomi merupakan bidang yang mereka yakini, untuk dapat saling bergotong royong. Pasar Lama Tangerang merupakan Pasar yang banyak memasarkan hasil bumi atau produksi dari masyarakat Tionghoa Benteng, bahkan sampai sekarang pasar ini masih tetap ramai dikunjungi oleh warga Tangerang.

Pada era setelah kemerdekaan, 14

Sebagai petani mereka mengerjakan ladang mau pun persawahan, dengan banyak menanam sayuran untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk dijual di pasar. Masyarakat Tionghoa Benteng yang bekerja sebagai petani, rata-rata memiliki lahan yang lebih dua hektar. Tidak ada penguasaan lahan skala besar di satu tangan seperti lazim ditemui di wilayah pesisir Tangerang. Mereka juga tidak mengenal pembagian harta peninggalan. Seperti contoh masyarakat Tionghoa Benteng di kecamatan Panongan di Tangerang, dimana tanah-tanah yang mereka miliki telah terbagi sejak dari nenek moyang mereka.


(44)

Selain itu mereka menanam pada dalam kondisi curah hujan normal, padi sudah bisa dipanen dua kali dalam setahun. 15

Sulitnya ekonomi ini semakin diperparah dengan diberlakukannya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi masyarakat Tionghoa pada tahun 1978. Sulitnya mendapatkan legalitas sebagai warga negara, membuat masyarakat Tionghoa Benteng cukup sulit untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Negara, sedangkan untuk masuk sekolah swasta biaya yang dibutuhkan cukup besar dan banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng tidak sanggup untuk membayar uang sekolah di sana. Minimnya pendidikan membuat banyak dari keturunan masyarakat Tionghoa Benteng sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Kesulitan ini terus berlangsung sampai sekarang.

Jenis padi yang ditanam rata-rata varietas IR 22 sampai 64 yang tahan hama wereng, dengan produksi gabah antara empat sampai 5 ton per hektar. Hampir 60% mata pencaharian masyarakat Tionghoa Benteng merupakan petani, ada juga yang bekerja sebagai buruh serabutan atau kuli. Para buruh Tionghoa Benteng ini banyak tersebar pada pabrik-pabrik di Kota Tangerang, dan paling banyak berada di daerah Industri Tangerang daerah Jatake.Selain buruh pabrik, banyak juga masyarakat Tionghoa Benteng yang menjadi buruh tani dan menerima upah harian dari tuan tanah, upah yang di dapat pun masih dikategorikan kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup.

Sulitnya untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara, tidak sedikit pula masyarakat Tionghoa Benteng yang tidak mempunyai surat tanah dari Negara, sehingga banyak dari mereka yang mengalami ancaman penggusuran atau


(45)

pengambil alihan lahan oleh Negara. Hal ini pun bisa banyak berdampak fatal terhadap sektor perekonomian Tionghoa Benteng yang semakin merosot.

III.2 Kesejahteraan Sosial Masyarakat Tionghoa Benteng.

Di Tangerang pada 3 Juni tahun 1946, terjadi kerusuhan anti Tionghoa. Banyak sumber yang mengatakan peristiwa tersebut, menggambarkan seolah Tangerang sudah merupakan bukan tempat yang aman lagi bagi masyarakat Tionghoa pada waktu itu. Ini disebabkan adanya dugaan pemberontakan masyarakat Tionghoa terhadap Pemerintah Republik Indonesia, juga mendukung sekutu dan Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA). 16

Diwaktoe pergolakan politiek di Indonesia sedang hebatnja sekarang, kita pendoedoek Tionghoa haroes berlakoe hati-hati Terdapat sebuah isu yang cukup mengejutkan pada masa itu, yaitu seorang keturunan Tionghoa yang merupakan anggota dari NICA, menurunkan bendera merah putih dan mengibarkan bendera Belanda di kantor Kabupaten. Menurut beberapa saksi pada saat itu, termasuk Kepala Staf Umum Tentara Belanda Buurman van Vreeden, mengatakan bahwa yang melakukan aksi tersebut adalah seorang Tentara Belanda pribumi yang mirip dengan orang Tionghoa. Hal ini menimbulkan kemarahan pemuda-pemuda di Tangerang dan pecah kerusuhan. Bahkan ada beberapa orang keturunan Tionghoa yang dibunuh, hanya karena dugaan merupakan mata-mata Belanda. Keadaan yang cukup mencekam ini, makin panas setelah terbitnya surat terbuka dari Chung Hwa Hui yang pro Belanda di harian-harian Jakarta. Isi dari surat terbuka tersebut adalah:

16 Shinta Agustin, “Kerusuhan Anti Cina Di Tangerang Tahun 1946” dalam Skripsi, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2011, hal. 55.


(46)

dalam segala tindakan, pertboetan dan omongan, djangan sampe menimboelkan perasaan antipathie dari lain-lain fihak yang bisa berakibat membahajakan djiwa dan harta bendanja orang-orang Tionghoa di segala tempat. Kita orang djangan tjoema tahoe akan keselamatan kita jang berdiam di Djakarta, tapi kita haroes pikir djoega akan keselamatannja orang-orang Tionghoa jang tinggal ditempat-tempat ketjil sebelah dalam negeri!.

17

17 Ibid., hal. 61.

Sejak awal Maret 1946, penguasa Belanda telah merekrut orang-orang Tionghoa untuk dijadikan polisi militer dan tentara cadangan. Pada 3 Juni 1946, terjadi pembantaian terhadap orang-orang dari etnis Tionghoa di Tangerang. Pembantaian ini terjadi di sebelah barat sungai Cisadane, banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang dibantai ditempat tersebut. Mayat-mayat mereka ditumpuk begitu saja, harta benda mereka dijarah. Daerah-daerah yang banyak mengalami pembantaian tersebut adalah Desa Panggang (Cilogok), Mauk, Serpong, Krawang, Rawa Cina, Bayur, Sepatan, Karawaci, Kampung Karet, dan Cihuni. Menurut laporan yang beredar, ada 28 kali pembakaran rumah-rumah orang Tionghoa termasuk penghuninya di daerah Tangerang. Menurut laporan yang diterima oleh Palang Merah Jang Seng Ie (Palang Merah bentukan etnis Tionghoa Indonesia), 653 masyarakat Tionghoa Benteng di daerah Tangerang telah dibunuh, laporan ini sudah termasuk 136 perempuan dan 36 anak-anak. Sebanyak 1.268 rumah etnis Tionghoa dibakar habis dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan 25.000 orang mengungsi. Pada tanggal 11 Juni 1946, banyak etnis Tionghoa mengumumkan sebagai hari Duka Cita. Dikemudian hari, muncul dugaan ini semua sudah direncanakan Belanda, untuk mengadu domba masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi Indonesia. Tragedi ini


(47)

menyebabkan banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang lari dan mengungsi ke Jakarta. 18

Keempat wilayah tersebut mempunyai alasan tersendiri, terhindar dari kerusuhan sosial. Panongan, Cengkong, dan Kosambi telah menyewa para jawara untuk membarikade diri dari serangan luar. Hal ini sudah lama berlangsung lama dari nenek moyang mereka. Sedangkan daerah Neglasari rasa aman didapatkan dari masyarakat pribumi yang berada di wilayah tersebut. Perbauran antara masyarakat pribumi dan masyarakat keturunan Tionghoa di wilayah ini cukup baik. Sehingga daerah Neglasari menjadi simbol kerukunan etnis Tionghoa dan pribumi dari masa pemerintahan kolonial Belanda.

Menurut Arie Novrie Purnama, seorang pengamat Tionghoa Benteng dan mantan camat di Panongan mengungkapkan masih banyak desa yang di huni masyarakat Tionghoa Benteng yang terlindung saat itu dari pengaruh buruk kerusuhan yang termasuk kerusuhan sosial itu. Walau pun sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng pasca kerusuhan mengalami kemerosotan dalam pemenuhan kesejahteraan sosialnya akibat trauma. Ada sekitar 4 kecamatan berisi sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng yang tidak mendapat pengaruh buruk sosial dalam kerusuhan yaitu Panongan, Cengkong, Kosambi, dan Neglasari. Masyarakat Tionghoa Benteng yang berasal dari Mauk atau pantai utara Tangerang, banyak yang melarikan diri ke 4 kecamatan tersebut.

Masyarakat Tionghoa Benteng pada masa pasca kerusuhan, banyak mendirikan rumah di tanah pengungsiannya. Rumah yang dibangun kebanyakan


(48)

bersifat 19

PAT merupakan sayap militer bentukan CHH , yang juga merupakan bentukan tuan tanah Tionghoa yang membentuk tentara sendiri. Baik PAT dan para tuan tanah tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu, membentuk negara

Knock Down. Mereka yang mengungsi masih merasa khawatir, dan

juga belum merasa aman membangun rumah di tanah pengungsian. Pembangunan rumah yang dilakukan knock down ini, dengan harapan bisa dipindahkan ke tanah asal mereka jika keadaan telah aman. Jika kondisi sudah dirasa aman bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang mengungsi, maka mereka akan membongkar rumahnya dan memindahkannya ke daerah mereka tinggal. Semua sampai sekarang ini, rumah kebaya sistem knock down bisa disaksikan hampir di setiap kampung di Panongan, Cikupa, Rajeg, dan desa-desa yang berisi masyarakat Tionghoa Benteng yang lainnya. Setelah kerusuhan tersebut pada 28 Agustus 1947, Chung Hua Hwi (CHH) membentuk Pao An Tui (PAT) dibantu oleh Belanda.

20

19 Knock Down merupakan sistem pembangunan rumah bongkar pasang. Bisa di analogikan seperti lego yang bisa disusun berdasarkan bentuk sketsa rumah, dan juga bisa dibongkar sekaligus dipindahkan.

Capitanate of Tangerang yang didukung oleh pihak Belanda. Sumber ini pun sampai sekarang masih menjadi sebuah misteri. Informasi yang beredar lagi mengatakan bahwa Laskar Hitam, milisi Islam keturunan Arab yang berusaha melawan Belanda, mengobarkan perang suci terhadap Belanda dan pendukungnya. Jika PAT Tangerang bertujuan membentuk Capitanate of Tangerang, maka Laskar Hitam bertujuan membentuk negara Islam Indonesia. Laskar Hitam inilah yang akan menjadi cikal bakal dari DI/TII. Sekitar 600 orang


(49)

terbantai di Tangerang, sedangkan lainnya mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl. Gajah Mada, Tangerang. Selain di Tangerang, banyak juga terjadi pembantaian etnis Tionghoa karena pemberontakan PAT di seluruh Indonesia. Bagi kejadian pembantaian di Tangerang, salah satu tokoh Tionghoa sekaligus pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI), Liem Koen Hian menolak untuk menyalahkan Republik.

Pada dasarnya PAT dibentuk untuk melindungi masyarakat etnis Tionghoa , pasca kerusuhan yang terjadi pada tahun 1946. Tapi bantuan Belanda pada sayap militer ini membuat PAT tidak mampu lagi bersifat netral, bahkan cenderung memihak Belanda. Selain itu PAT banyak juga beranggotakan orang-orang etnis Tionghoa yang sanak saudaranya terbantai dalam pembantaian etnis Tionghoa tahun 1946. Ini menyebabkan banyak dari anggota PAT yang dendam terhadap orang-orang pribumi Indonesia.

Masyarakat Tionghoa Benteng pada pasca kemerdekaan mempunyai tingkat kelayakan hidup yang sederhana pada masa itu. Terutama di daerah Tangerang, yang notabene merupakan daerah pinggiran Ibu Kota dan merupakan salah satu penopang perekonomian Ibu Kota. Pada masa itu, masyarakat Tionghoa Benteng masih leluasa dalam kegiatannya. Belum ada aturan yang membatasi mereka dalam pergerakan kesejahteraan sosialnya. Status Dwi kewarganegaraan yang disandang juga banyak menjamin kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia atau di Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Hal ini mulai berdampak dan membangun sistem sosial yang mulai majemuk dalam kehidupan masyarakat Tangerang. Hak pendidikan yang didapat cukup mampu untuk masyarakat


(50)

Tionghoa Benteng menyekolahkan anak-anaknya walau pun hanya sekadar sekolah rakyat.

Tragedi percobaan pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1965, membawa perubahan yang cukup berarti bagi masyarakat Tionghoa, terutama masyarakat Tionghoa Benteng. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan yang dilakukan oleh Indonesia dengan Tiongkok dibatalkan pada tahun 1969, karena pemberontakan komunis telah membuat hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok menjadi dingin. Hal ini berdampak pada seluruh masyarakat Tionghoa di Indonesia tak terkecuali masyarakat Tionghoa Benteng. Masyarakat Tionghoa yang memegang surat Dwi Kewarganegaraan menjadi tidak mempunyai kewarganegaraan, sehingga berdampak pada tingkat sosial mereka dalam lingkungan masyarakat. Hal ini berdampak pada susahnya mendapatkan pendidikan dan beratnya masyarakat Tionghoa dalam hal mengurus administrasi pada bagian birokrasi. Selain itu diskriminasi rasial juga membuat masyarakat Tionghoa merasa terancam. Masyarakat Tionghoa Benteng juga tidak terkecuali mendapatkan hal yang sama.

Kegiatan ekonomi yang bisa dikatakan kurang dan susahnya dalam urusan administrasi di berbagai aspek pasca pemberontakan PKI, membuat masyarakat Tionghoa Benteng semakin terpuruk. Pada rentang waktu 1965 sampai 1966 terjadi banyak perburuan terhadap para anggota PKI dan simpatisannya, semua golongan dan elemen masyarakat dicurigai bahkan tidak terkecuali etnis Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa banyak dicurigai karena ada dugaan kuat mereka telah mengikuti ideologi yang dianut oleh tanah leluhur mereka di Tiongkok, yaitu


(51)

komunis. Masyarakat Tionghoa Benteng juga merupakan komunitas masyarakat Tionghoa yang dicurigai, banyak dugaan bahwa masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai banyak anggota yang masuk ke dalam PKI. Dampaknya banyak dari masyarakat Tionghoa Benteng itu yang ditangkap karena dugaan sebagai anggota atau pun simpatisan PKI. Bahkan para anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), yang berasal dari masyarakat Tionghoa Benteng juga ditangkap karena diduga sebagai anggota PNI aliran kiri.

Ketakutan dan rasa terancam masyarakat Tionghoa Benteng tidak hanya disitu, dicabutnya kewarganegaraan semakin menyulitkan mereka dalam menjalankan pemenuhan kebutuhan hidup. Sulitnya mendapatkan pendidikan bahkan untuk akta kelahiran, menjadi beban yang harus dipikul masyarakat Tionghoa Benteng. Bahkan dalam hal pengurusan hak milik tanah, tidak sedikit dari mereka yang merasa pengurusan tanahnya diperlambat. Hal ini membuat banyak tanah punya masyarakat Tionghoa Benteng menjadi tanah sengketa. Kesejahteraan yang tadinya dimiliki oleh komunitas ini, secara perlahan mulai menghilang.

III.3 Kegiatan Politik Masyarakat Tionghoa Benteng.

Kegiatan perpolitikan modern di Indonesia mendapatkan titik kebangkitan pada tahun 1908. Tepatnya setelah muncul organisasi nasional pertama, yaitu Budi Utomo yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Bagi Masyarakat Tionghoa, sifat politis sudah mereka lakukan pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Ini dapat terlihat dari pemberontakan masyarakat Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, dan pembentukan negara kecil di


(52)

Kalimantan Barat pada tahun 1777 yang bernama Republik Lanfang (Lanfang

Gongheguo).

Pemikiran politik modern masyarakat Tionghoa di Indonesia, muncul ketika sebuah organisasi politik bernama Tiong Hoa Hew Koan (THHK) didirikan pada tahun 1900. Organisasi politik ini banyak menjadi panutan masyarakat Tionghoa kebanyakan, bahkan menjadi salah satu induk organisasi dari Sin Po. Sin Po sendiri merupakan organisasi bentukan THHK, yang mencanangkan kehidupan dalam nilai dan budaya asli Tiongkok. Sin Po sendiri merupakan koran surat kabar berbahasa Tionghoa, dan pertama kali terbit pada tahun 1910. Gerakan Nasionalis Tiongkok yang dikobarkan oleh Sin Po, sejalan dengan apa yang terjadi di Tiongkok. Pembentukan Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1912, membawa angin nasionalisme Tiongkok ke seluruh elemen masyarakat Tionghoa di Dunia. Pada tahun 1917, para tokoh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda melakukan konferensi di Semarang. Hasil dari konferensi tersebut, seluruh tokoh masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda tidak ingin terlibat dengan politik lokal, karena mereka mengklaim diri mereka tetap menjadi warga negara Tiongkok. Kelompok Sin Po, yang dipimpin oleh Kwee Kek Beng, Kwee Hing Tjiat, dan Tjoe Bou San mendukung nasionalisme Tiongkok. Mereka mendesak setiap elemen masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, untuk menjaga kelestarian kebudayaan Tionghoa dan meninggalkan peradaban barat. Desakan ini juga membuat banyak berdirinya sekolah-sekolah Tionghoa di Hindia Belanda.


(53)

Politik dalam masyarakat Tionghoa Benteng bisa dikatakan tidak terlalu menunjukan kegiatan politik pada umumnya. Kecenderungan akan hidup berdampingan tanpa ada konflik, merupakan jalan utama yang diharapkan oleh masyarakat Tionghoa Benteng. Tantangan akan kehidupan yang dialami mereka, menjadi suatu motivasi untuk dapat hidup rukun bersama dan saling bergotong royong. Tidak hanya terhadap sesama masyarakat Tionghoa Benteng tetapi juga terhadap pribumi. Dengan kehidupan ekonomi yang cukup sederhana dan pendidikan yang di dapat sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng terbatas, maka tidak heran kurangnya pendidikan politik di dalam masyarakat Tionghoa Benteng menjadi salah satu penyebab tidak adanya ketertarikan masyarakat Tionghoa Benteng pada masalah politik di Indonesia.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Sukarno menerapkan politik Benteng. Politik Benteng ini bertujuan untuk melakukan perluasan dan pengembangan usaha kaum pribumi. Politik Benteng ini banyak dinilai sebagai suatu politik diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa, dalam menjalankan atau mengembangkan usaha perekonomiannya. Larangan-larangan berjualan tingkat eceran dan grosir mulai diberlakukan. Banyak usaha dagang yang dimiliki masyarakat Tionghoa Benteng, sempat mengalami kemunduran akibat dari politik benteng ini. Akibatnya, banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang beralih kembali menjadi petani atau peternak.

Pada periode orde lama, PNI dan PKI merupakan dua partai yang sangat banyak menyedot pengkaderan. Pada masa tersebut, PNI dan PKI merupakan dua partai non-agama terbesar di Indonesia. Banyak elemen


(54)

masyarakat yang menjadi anggota dari dua partai tersebut, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa. Tetapi pada proses yang berjalan, lebih banyak masyarakat Tionghoa ikut dan berpartisipasi dalam kegiatan PKI, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa Benteng. Selain itu banyak juga dari masyarakat Tionghoa Benteng itu yang menjadi anggota dalam PNI, bahkan lebih banyak lagi Tionghoa Benteng yang tidak terlalu mengikuti kegiatan politik di Indonesia. Akibat kurangnya pendidikan maka mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi salah satu penyebab kurang aktifnya masyarakat Tionghoa Benteng di dalam perpolitikan Indonesia.

Pihak militer juga mulai melakukan pemisahan dan menjaga jarak antara pihak etnis Tionghoa dengan kaum pribumi. Hal ini sering terjadi pada awal tahun 1960 sampai 1963. 21

21 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM: Studi Tentang Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hal. 131.

Praktik pemisahan inilah yang melahirkan istilah kabir (Kapitalis-Birokrasi), istilah yang merujuk pada penyelewengan kekuasaan oleh pejabat sipil atau militer untuk memperoleh akses ke dunia usaha. Hanya masyarakat Tionghoa Benteng yang ada di daerah kisamaun dan pasar lama yang masih bisa bertahan dalam menjalankan usaha dagangnya. Keinginan untuk bisa berdagang secara wajar dan sejajar sama seperti pribumi, membuat banyak masyarakat Tionghoa beralih kepada aliran kiri. Banyak dari mereka juga mengikuti kegiatan PKI, bahkan banyak dari mereka yang menjadi anggota tinggi PKI seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Yan Goan. Bahkan organisasi massa seperti Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), menjadi salah satu organisasi yang banyak melakukan aliansi dengan


(55)

PKI. Baperki merupakan organisasi massa bentukan dari tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Tujuan didirikannya Baperki adalah, menggalang persatuan kekuatan etnis Tionghoa di seluruh Indonesia. 22

Sebagian pemuda Tionghoa Benteng pada masa itu, mengikuti kegiatan Baperki. Kegiatan yang dilakukan banyak yang bersifat sosial. Usaha pemberontakan yang dilakukan PKI pada tahun 1965, makin menambah runyam kondisi konflik etnis Tionghoa dengan etnis pribumi. Tuduhan akan adanya campur tangan RRT dan Komintern (Komunis Internasional), dan dekatnya Baperki dengan PKI membuat kebencian yang mendalam terhadap kaum etnis Tionghoa di Indonesia. Selain itu, kesenjangan sosial yang dirasakan dalam sulitnya ekonomi pada masa itu, menjadi salah satu sumbu meledaknya amarah pribumi terhadap etnis Tionghoa. Banyak pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh rakyat atau militer terhadap etnis Tionghoa yang ikut dalam Baperki atau aliran kiri. Banyak masyarakat Tionghoa Benteng yang mengalami hal serupa. Pembantaian, penculikan dan salah tuduh merupakan ancaman-ancaman yang bisa menghancurkan mereka kapan saja. Para jawara yang disewa masyarakat Tionghoa benteng tersebut, bahkan balik ikut membantu militer untuk menangkapi masyarakat Tionghoa Benteng yang melakukan kegiatan bersama

Baperki berpendapat bahwa orang Tionghoa merupakan satu bagian dari suku bangsa Indonesia. Dengan kata lain, orang Tionghoa kedudukannya sama dengan suku bangsa yang lain, dan orang Tionghoa tidak perlu meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi.


(56)

PKI. Bahkan tidak hanya yang berkegiatan dengan PKI, masyarakat Tionghoa Benteng yang merupakan anggota PNI tapi beraliran kiri juga ditangkap. Jadi yang dipandang bukan lagi dari mana partai asal, tapi apa ideologi seseorang. Siapa pun yang dicurigai sebagai aliran kiri, akan ditangkap dan sedikit yang hidup.


(57)

BAB IV

Masyarakat Tionghoa Benteng dan SBKRI

IV.1 Keadaan Masyarakat Tionghoa Benteng Selama SBKRI.

Pada era orde baru, di masa kepemimpinan Presiden Suharto, banyak perubahan yang dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Tidak terkecuali masyarakat etnis Tionghoa, SBKRI yang diberlakukan cukup membuat etnis ini mengalami diskriminasi. Kehidupan yang jauh dikatakan layak, membuat banyak pemikiran akan komunitas ini yang terbelakang. Bukan dalam hal masyarakat yang ketat dalam menjaga adat istiadatnya, seperti suku Baduy atau suku Anak Dalam, tapi keterbelakangan ekonomi, yang memaksa komunitas ini untuk hidup sederhana. Pada awal diberlakukannya SBKRI, masyarakat Tionghoa Benteng banyak yang masih terganjal akan ketiadaan warga negara. Hal ini banyak memicu perdebatan dalam kalangan pemerintah, apakah etnis Tionghoa ini akan dikembalikan ke Tiongkok atau tetap di Indonesia.

Kontroversi tentang warga negara ini banyak disambut dengan negatif oleh banyak etnis Tionghoa. Belum selesai penderitaan mereka dengan adanya pembantaian melawan kaum komunis, ditambah dengan masalah kewarganegaraan cukup memprihatinkan mereka. Karena ketiadaan kewarganegaraan, maka banyak sekali timbul perebutan lahan tanah yang dimiliki oleh etnis Tionghoa Benteng. Banyak pengusaha pribumi maupun penduduk yang mengklaim tanah mereka di atas tanah masyarakat Tionghoa Benteng. Belum lagi dalam permasalahan birokrasi kependudukan, yang banyak menghambat mereka dalam kehidupan bernegara.


(58)

SBKRI mulai diberlakukan pada masa pemerintahan Suharto. 23Ketika dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehakiman No. JB 3/ 4/ 12 Tahun 1978 Jo SK bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. M. 01-UM. 09. 03. 80 dan nomor 42 Tahun 1980 yang merupakan peraturan pelaksana dari Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Penduduk. Dalam perkembangannya, biaya yang diperlukan untuk membuat SBKRI seharga 2 juta rupiah sampai 8 juta rupiah. Bagi masyarakat Tionghoa yang mampu membayar, bukan suatu masalah dengan harga yang begitu mahalnya pada saat itu. Tapi banyak masyarakat Tionghoa yang tidak mampu membuat surat tersebut, salah satunya masyarakat Tionghoa Benteng. Jika tidak sanggup membayar dengan biaya yang disebutkan tersebut, maka individu-individu etnis Tionghoa tersebut tidak memilik kewarganegaraannya (Stateless). 24

23 Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, Menggugat SBKRI, Jakarta: Suara Harapan Bangsa. 2010, hal. 82.

Padahal berdasarkan peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/4/12 Tahun 1978, biaya administrasi permohonan SBKRI hanya sebesar Rp 3.000 (Pasal 6 ayat 1). Dalam pembuatan SBKRI ini, banyak sekali terjadi pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrasi pemerintahan. Memang banyak percaloan yang dilakukan untuk mempermudah masyarakat Tionghoa dalam mendapatkan SBKRI. Seharusnya oknum-oknum inilah yang menjadi tersangka dan disalahkan dalam pemerasan terhadap masyarakat Tionghoa yang hendak membuat SBKRI. Selain mahal, kerumitan dalam proses pembuatan SBKRI juga menyulitkan pemohon untuk mendapatkan surat tersebut.

24 Effendi, Wahyu dan Prasetyadji, Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI, Jakarta: Visimedia, 2008, hal. 64.


(59)

SBKRI, pada akhirnya banyak membatasi kegiatan masyarakat Tionghoa Benteng pada umumnya. Pada bidang pendidikan pun susah untuk didapatkan bagi anak-anak masyarakat Tionghoa Benteng. Selain bidang pendidikan, masyarakat Tionghoa Benteng juga mengalami hambatan dalam kebudayaannya. Pada masa orde baru tepatnya setelah 1978, kebudayaan masyarakat Tionghoa mulai diboikot oleh negara. Perayaan Imlek, kesenian tari Barongsai, dan pemakaian bahasa Tionghoa dilarang. Hal ini berdampak sangat besar bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang sangat memegang teguh adat istiadat kebudayaan leluhur. Bahkan dalam pelaksanaan Imlek pun, terpaksa mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut akan penangkapan tanpa alasan yang pasti oleh pihak polisi. Pasar lama yang tadinya menjadi sebuah tempat untuk perayaan Imlek yang cukup sederhana, menjadi sepi bahkan tidak ada terasa suasana Imlek. Walau pun klenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama kerap banyak dikunjungi masyarakat Tionghoa Benteng pada perayaan Imlek, tapi tetap dalam keadaan yang biasa saja. Selain itu, acara lomba perahu naga yang menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Tionghoa benteng di Tangerang, terpaksa ditiadakan, karena perihal larangan kebudayaan Tionghoa yang diterapkan. Padahal lomba perahu naga sudah menjadi suatu ikon bagi kota Tangerang.

Tidak hanya dalam kebudayaan, tapi dalam kegiatan agama tradisional Tionghoa juga dianggap terlarang. Padahal pada tahun 1965, telah dikeluarkan sebuah Penetapan Presiden (Penpres No. 1/ 1965) yang mengakui enam agama di Indonesia yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Pada tahun 1979, agama Konghucu dianggap bukan lagi merupakan agama resmi.


(60)

Pada akibatnya agama Konghucu tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Walau pun pada prosesnya, klenteng Boen Tek Bio dan Boen San Bio masih tetap berdiri dan umat Konghucu yang mayoritas masyarakat Tionghoa Benteng masih tetap boleh beribadah di sana. Tapi dalam pelaksanaan ibadah maupun apa yang terjadi di dalamnya, selalu diawasi oleh militer yang secara khusus ABRI. Ketiadaan pengakuan dari pemerintah, terhadap agama Konghucu menjadi momok tersendiri bagi masyarakat Tionghoa Benteng yang banyak menganut agama ini. Dalam pengaturan SBKRI, tidak bisa dicantumkan agama Konghucu karena tidak diakui negara. Hal ini mengakibatkan, sebagian besar masyarakat Tionghoa Benteng yang terpaksa menuliskan agama Buddha yang diakui oleh negara demi mendapatkan SBKRI. Memang pada masa orde baru berjalan, ada ide untuk mengubah klenteng Boen Tek Bio menjadi sebuah Vihara Buddha dengan patung-patung Buddha didalamnya. Akan tetapi, masyarakat Tionghoa Benteng, sebagai wujud bakti kepada leluhur, menolak bahkan tidak bisa menerima berubahnya klenteng menjadi Vihara. Dengan alasan, kebudayaan leluhur terletak pada agama tradisional yang dianut, yaitu Konghucu.

Pada bidang pendidikan masyarakat Tionghoa, banyak sekali mengalami hambatan setelah diberlakukannya SBKRI. Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri banyak yang tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Indonesia. Terkendalanya karena pembuatan akta lahir bagi pemegang SBKRI dipersulit, apa lagi yang tidak memegang SBKRI atau dianggap Stateless. Kehidupan ekonomi yang rendah, membuat masyarakat Tionghoa Benteng hanya mampu menyekolahkan anaknya di Sekolah Negeri. Banyak dari mereka yang tidak


(61)

mampu dalam menjalankan pendidikan di sekolah swasta karena mahalnya biaya yang diperlukan jika bersekolah di tingkat swasta. Hal ini berdampak pada kebingungan masyarakat Tionghoa Benteng untuk meraih pendidikan bagi anak-anaknya. Jika ada yang sanggup menyekolahkan di swasta, maka rata-rata masyarakat Tionghoa Benteng hanya mampu mensekolahkan anak-anaknya sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dalam pembuatan SBKRI, setiap masyarakat etnis Tionghoa yang menginginkan pembuatan SBKRI, harus mengganti nama Tionghoanya dengan nama Indonesia. Peraturan pergantian nama ini sudah lama diterapkan sejak tahun 1966, tapi mulai dipertegas sejak 1978. Tapi masyarakat Tionghoa Benteng, merupakan masyarakat Tionghoa yang kebanyakan menolak mengganti nama mereka menjadi nama Indonesia. Mereka menganggap kebudayaan leluhur harus dijunjung tinggi, dan keterikatan dalam budaya Tionghoa yang diserap mereka cukup dalam. Sehingga mempunyai nama Tionghoa menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Banyak Masyarakat Tionghoa mengganti nama mereka agar memperoleh kemudahan dalam birokrasi. 25

Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri, juga ikut mengapresiasikan diri mereka terhadap Republik Indonesia. Tapi dengan tidak meninggalkan kebudayaan mereka, ini merupakan suatu nilai positif dimana Bhinneka Tunggal

Karena ganti nama merupakan sebuah simbolik. Semacam deklarasi masyarakat etnis Tionghoa bahwa mereka setia kepada pemerintah Indonesia, atau mengidentitaskan diri dengan bangsa Indonesia dan kebudayaan bangsa Indonesia.


(62)

Ika mampu mereka jalankan. Memang tidak semua masyarakat Tionghoa Benteng, ada juga yang ikut mengganti namanya. Tapi biasanya pada masa itu, penggantian nama bagi masyarakat Tionghoa akan selalu ada kaitan yang mencerminkan Tionghoa di nama barunya. 26

Dalam keadaan ekonomi yang sederhana dan terkesan kurang, masyarakat Tionghoa Benteng tetap menunjukkan semangat hidup. Kebudayaan leluhur yang mengikrarkan untuk bergotong royong dan punya kemauan keas untuk berusaha, membangkitkan semangat mereka dari keterpurukan. Akan tetapi usaha itu dihalangi oleh sebuah perencanaan legalitas terhadap diri mereka. Sejak munculnya penerapan SBKRI, banyak kesusahan yang didapat masyarakat Tionghoa Benteng. Selain pendidikan, kebudayaan, agama dan jaminan kewarganegaraan mereka tercoreng. Dalam tingkat sosial pun, mereka menjadi sebuah masyarakat yang terbelakang. Dalam pembentukan karakter masyarakat Tionghoa Benteng yang tradisional, menjadi kendala hanya karena sebuah kesulitan untuk mendapatkan legalitas.

Seperti contoh Halim dari mengambil kata Lim, Wijaya atau Wibisono mengambil dari kata Oey, Tano atau Tanzil mengambil dari Tan, Chandra dari kata Chan, Kusuma mengambil kata dari Khoe, dan Surya mengambil kata dari Yao. Memang selain Tionghoa Benteng, ada juga masyarakat Tionghoa lainnya yang tidak mengganti nama Tionghoanya seperti Liem Swie King (pemain bulu tangkis nasional) dan Soe Hok Gie (aktivis sosial).


(1)

Area Samping Klenteng Boen Tek Bio.


(2)

Tempat membakar Dupa di Klenteng Boen Tek Bio.


(3)

Tempat membakar Dupa di Klenteng Boen Tek Bio.


(4)

Sebuah bangunan bekas peninggalan masyarakat Tionghoa Benteng di Pasar Lama Tangerang.


(5)

Sebuah Keterangan Tanda Penduduk (KTP) yang sudah mencantumkan agama si pemilik KTP yaitu Kong Hu Chu, menandakan bahwa agama Kong Hu Chu sudah

diperbolehkan di Indonesia.


(6)

Bentuk Dokumen SBKRI