ACONG DI RUMAH JOKO Dinamika Kehidupan Masyarakat Tionghoa di Surakarta
commit to user
i
ACONG DI RUMAH JOKO
Dinamika Kehidupan Masyarakat Tionghoa di Surakarta
Tugas Akhir Video Dokumenter
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh : Ade Rizal Aviyanto
D 0204018
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
(2)
commit to user
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Tugas Akhir ini telah disetujui untuk dipertahankan Dihadapan Panitia Ujian Tugas Akhir Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing Tugas Akhir
Drs. Aryanto Budhi Sulihyantoro, M.Si NIP. 19581123 198603 1 002
(3)
commit to user
iii
PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Tugas Akhir Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari :
Tanggal :
Tim Penguji
1. Drs. Surisno Satrijo U., M.Si :... NIP. 19500926 198503 1 001
2. Catharina Heny Dwi S.,S.Sos, M.Si. :... NIP. 19761222 200212 2 002
3. Drs. Aryanto Budhi Sulihyantoro, M.Si :... NIP. 19581123 198603 1 002
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP 19530128 198103 1 001
(4)
commit to user
iv MOTTO
“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka mau berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...”
(Al-Qur’an, Surat Ar-Ra’d :11)
“...Jangan pernah takut!! Jangan pernah lemah!!!...” (Ernesto “Che” Guevara Lynch De La Serna)
“...Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan...” (Soe Hok Gie)
“Dream it, Plan it, Do it” (National Geogaphic Magazine)
“If your picture aren’t good enough you’re not close enough” (Robert Capa)
The moment, once you miss it, it is gone forefer (Henri Cartier Bresson)
(5)
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Karya Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk bapak Wurjanto dan ibu Syukriyah.
Untuk Hanif Aviyanto, adikku Rifky Faris Aviyanto, dan Zaini Abdul Hakim Aviyanto.
(6)
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Kebanggaan, inilah perasaan yang paling dirasakan penulis di saat terselesaikannya Karya Tugas Akhir ini, setelah selama hampir 9 bulan selalu berkutat dalam satu kesibukan saja. Sebuah kebanggaan karena merupakan usaha yang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis telah merasakan sebuah proses pengembangan diri di sebuah lingkungan masyarakat yang sebenarnya. Sebuah bekal pengalaman yang sangat besar manfaatnya bagi penulis sendiri.
Selama proses, banyak perasaan dan pengorbanan yang harus dilakukan demi tercapainya Karya Tugas Akhir ini. Rasa senang, sedih, bingung, stress, bangga hingga pengorbanan waktu, tenaga, materi bercampur menjadi satu. Namun semuanya tidak ada artinya dengan pencapaian yang didapatkan penulis kemudian.
Hanya Tuhan Sang Pencipta dan Sang Penguasa yang sempurna. Begitupun dengan Karya Tugas Akhir ini tidak akan pernah dikatakan sempurna. Dengan segala daya dan usaha yang dilakukan penulis selama ini, pastilah ada hal-hal kurang dalam Karya Tugas Akhir ini. Layaknya karya manusia yang lain, penulis terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca dan penonton Karya Tugas Akhir ini.
Tugas akhir ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan dari orang-orang yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil bagi penulis selama
(7)
commit to user
vii
ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang mendukung penulis selama ini:
1. Allah SWT, terima kasih atas anugerah kesempatan yang tak terkira ini. 2. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS
3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D selaku Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS
4. Drs. Aryanto Budhi S., M.Si., selaku pembimbing Tugas Akhir ini. 5. Sumartono Hadinoto selaku Humas PMS.
6. Aji Chandra selaku Ketua MAKIN Surakarta. 7. Sudarmono selaku Sejarawan Kota Surakarta. 8. Pengurus PMS dan MAKIN Surakarta. 9. Anggota PMS dan MAKIN Surakarta.
10. Kartika Rachma dan Fatimah SW yang telah meluangkan tenaga dan waktunya untuk mengisi VO.
11. Teman-teman Psikopat Documentary Forum terima kasih telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan-masukan yang sangat membantu dalam terselesaikannya film dokumenter ini.
12. Teman-teman Psikopat (Persatuan Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2004). 13. Teman – teman Kine Klub Fisip UNS, Fisip Fotografi Club UNS. 14. Kartika Rachma untuk dukungannya.
Serta semua pihak yang belum sempat kami sebutkan satu persatu dalam tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih.
(8)
commit to user
viii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PERSERTUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
SINOPSIS ... ix
SINOPSIS (ENGLISH) ... x
BAB I : LATAR BELAKANG ... 1
BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN ... 6
BAB III : VISI, MISI dan TUJUAN PENGGARAPAN ... 16
BAB IV : TAHAPAN PEMBUATAN FILM DOKUMENTER ... 17
BAB V : CATATAN PRODUKSI ... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 81
LAMPIRAN
(9)
commit to user
ix SINOPSIS Tugas Akhir
ACONG DI RUMAH JOKO
Sejarah mencatat Etnis Tionghoa di Indonesia pernah mengalami sejarah kelabu, mendapat perlakuan diskriminatif dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia. Dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Orde Baru, gerak – gerik etnis keturunan Cina ini sangat dibatasi. Aktivitas kebudayaan yang berbau China (Tionghoa) termasuk hari raya keagamaan, aktivitas keagamaan Kong Hu Chu tidak boleh dilakukan. Dalam bidang politik dan militer pun setali tiga uang, tidak ada satupun politikus dan militer dari kalangan Tionghoa.
Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya konflik pribumi dan non pribumi di Indonesia dan berawal dari Kota Solo. Konflik muncul karena adanya prasangka buruk antara golongan yang merasa sebagai kelompok pribumi dengan golongan Tionghoa yang dianggap pendatang. Fenomena ini berulang kali terjadi di Kota Surakarta dan ditangkap oleh seorang sejarawan Drs. Sudarmono, SU dan merumuskan teori adanya siklus radikalisme masyarakat Solo tiap 15 tahun dan selalu merembet ke masalah etnis dan mengorbankan masyarakat Tionghoa.
Bagaimana masyarakat Kota Solo menyikapi fenomena tersebut? Apakah Siklus tersebut akan terulang kembali?
(10)
commit to user
BAB ILATAR BELAKANG
Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu, semboyan negara yang harus selalu kita junjung tinggi. Pluralitas atau perbedaan adalah suatu hal yang pasti ada dan menjadi keniscayaan dimanapun manusia berpijak di dunia ini. Bahkan ketika teknologi telah berkembang begitu pesatnya, peradaban manusia telah begitu majunya, pluralitas telah menjadi takdir yang tidak bisa dihindarkan (inevitable desteny) di berbagai komunitas. Namun, ada catatan penting yang diungkapkan oleh Martin Luther King Jr., bahwa meskipun secara fisik kita tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, tetapi secara sosial-spiritual kita belum memahami makna sesunguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan agama dan etnisitas.
Begitu pula di Indonesia, dengan keadaan geografis Indonesia yang berpulau-pulau menjadikan kebudayaan di Indonesia sangat beragam. Satu pulau dengan pulau yang lain berbeda adat istiadat dan budayanya. Bahkan dalam satu pulau pun terdapat banyak perbedaan adat istiadat dan budaya antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk, ditandai dengan beragamnya penduduk Indonesia. Disamping penduduk asli Indonesia terdapat juga golongan keturunan asing seperti golongan etnis Tionghoa
(11)
commit to user
(Cina), Arab, Pakistan, India dan lain-lain. Masing-masing golongan etnis memiliki kebudayaan tersendiri baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama, maupun latar belakang kehidupan sosial budaya. culture is a way of being, thinking and feeling. As a driving force in society it unites individuals by language, custom, habit and experience...for our purpose, cultural activities are the creative elements of our existence - expressions of who we are, where we come from, and where we wish to go.1
Keberagaman ini bisa menjadi kekuatan dan nilai lebih bagi bangsa kita sekaligus menjadi tantangan untuk menjaga agar tetap bisa hidup selaras, seimbang dan damai dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya berbagai macam golongan etnis yang berdiam di Indonesia seringkali memicu munculnya masalah rawan yang merupakan konsekuensi dari kebhinekaan masyarakat kita, seperti masalah primordial terhadap suku, agama, dan ras.
Satu sisi, pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan tidak dimaksudkan dan tidak mungkin menghilangkan kebhinekaan di republik ini tetapi agar pembangunan nasional dapat berjalan lancar, segala potensi timbulnya masalah atau konflik yang dapat timbul dari kebhinekaan tersebut perlu diantisipasi agar tidak mengganggu jalannya pembangunan. Selain itu juga berpotensi memunculkan masalah yang lebih besar yaitu terjadinya krisis persatuan dan kesatuan bangsa.
1
M. Sharon Jeannotte & Dick Stanley, Journal: How Will We Live Together, Department of Canadian Heritage, Canada, 2002.
(12)
commit to user
Merupakan kewajiban setiap Warga Negara Republik Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Untuk menjaga agar kebhinekaan ini dapat terjaga hingga terwujud ke-tunggal ika-an maka harus diwujudkan suatu toleransi antar golongan etnis yang ada (termasuk pribumi). Salah satu wujud toleransi tersebut dengan adanya asimilasi budaya.
Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Proses asimilasi terjadi jika ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok tadi saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.2
Jadi masalah asimilasi yang terpenting adalah penggabungan golongan-golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1990.
(13)
commit to user
sosiologis dan budaya. Hal ini berarti pula ingin diambil secara fleksibel unsur kebudayaan mana yang dibuang dan yang diambil dapat berpadu dengan harmonis dengan unsur kebudayaan lain yang kemudian pantas disebut kebudayaan bangsa Indonesia. Social cohesion is the ongoing process of developing a community to shared value, shared chalanges and equal opportunity within, based on a sense of trust, hope and reciprocity among all.3
Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat alun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.4
Dilihat dari realitas kehidupan sosial, proses asimilasi itu sendiri tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari dimana golongan-golongan etnis (terutama di Surakarta) telah bergaul secara luas dan intensif dengan penduduk sekitarnya yang mayoritas suku Jawa, namun belum menjadikan mereka terintegrasi sepenuhnya ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
3
Jane Jenson, Journal : Identifying the Links : Social Cohesion and Culture, Universite de montreal, Canada, 2002
4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000. hal. 255
(14)
commit to user
Dari berbagai etnis yang ada, etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis terbesar di Indonesia. Disamping sebagai etnis terbesar, etnis Tionghoa memiliki mobilitas yang tinggi. Tingginya mobilitas etnis inilah yang menyebabkan terjadinya interaksi antar etnis ini dengan etnis-etnis yang ada, khususnya dengan etnis pribumi. Hal ini terjadi merata hampir di seluruh wilayah Nusantara.
Semakin sering terjadi interaksi maka kemungkinan yang bisa terjadi adalah terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya antara masyarakat pribumi di suatu daerah tertentu dengan masyarakat Tionghoa, selain itu juga muncul suatu kemungkinan atau potensi terjadinya konflik antar golongan jika komunikasi antar budaya tidak terjalin dengan baik.
Menilik sejarah Tionghoa di Indonesia, WNI keturunan Cina ini telah mengalami tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintahan Republik Indonesia pra Reformasi 1998. Setelah sekian lama hidup di bawah tekanan dan pembatasan-pembatasan ruang gerak, Tionghoa kembali mendapatkan hak-haknya sebagai WNI setelah era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut undang-undang dan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Setelah mendapatkan ruang gerak dan hak-hak yang sama sebagai WNI, bagaimana WNI keturunan Tionghoa (di Solo pada khususnya) menjalin kembali hubungan yang merenggang dengan masyarakat Jawa. Melupakan trauma masa lalu, menjalani masa ke depan yang lebih baik tanpa dendam.
(15)
commit to user
BAB IIKERANGKA PEMIKIRAN
Permasalahan diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia merupakan warisan sejarah masa lampau, terjadi saat Belanda datang dan merusak hubungan yang telah berjalan dengan baik antara masyarakat Tionghoa dengan Jawa. Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik devide et impera (politik pecah belah), yang membagi masyarakat di indonesia menjadi 3 golongan bertingkat dengan tujuan memecah belah Bangsa Indonesia. Golongan orang Eropa (barat) menduduki tingkap paling tinggi dalam strata sosial, tingkat ke dua menjadi milik golongan timur asing (vremde oosterlingen) termasuk di dalamnya Tionghoa (Cina), Arab, India dan sebagainya, sedangkan penduduk pribumi Indonesia (inlanders) diletakkan pada tingkat paling bawah sebagaimana diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling.
Diantara ketiga golongan tersebut, golongan pribumilah yang sangat jauh ketinggalan, baik secara ekonomi mapun sosial, dibandingkan kedua kelompok lainnya. Perbedaan tersebut dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengadu domba antara golongan pribumi dengan etnis Tionghoa, dimana seolah-olah golongan pribumi itu inferior, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis Tionghoa. Sebaliknya etnis Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, eksklusif, kikir dan srigala ekonomi, sehingga secara di bawah sadar timbul kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa.
(16)
commit to user
Pandangan negatif tersebut muncul kembali saat pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno menyatakan perang melawan kolonialisme dan imperialisme. Tentu saja pernyataan itu ditujukan kepada hegemoni Amerika Serikat dengan sekutunya NATO. Untuk mewujudkan impiannya melawan hegemoni negara adi kuasa tersebut, Soekarno melakukan lobi dengan China dan Korea Utara. Terbentuklah poros Jakarta-Peking dan Hanoi.
Dengan terjalinnya hubungan erat antara Indonesia dengan China membuat etnik Tionghoa yang berada di Indonesia kal itu merasa di atas angin. Kondisi tersebut semakin melebar ketika Partai Komunis Indonesia mewarnai kehidupan politik dan pemerintahan. Hal ini dimanfaatkan oleh etnik China bergabung dan menjadi onderbouw PKI dalam wadah Baperki (Badan Pembendaharaan Komunis Indonesia). Harmonisnya hubungan PKI dengan etnik Tionghoa tercermin dari duduknya beberapa etnik China seperti Oei Tje Tat, SH menjadi menteri dalam kabinet. Sebagai onderbouw PKI Baperki berfungsi sebagai donasi bagi PKI melakukan berbagai aktivitasnya termasuk melakukan makar dengan Gerakan 30 September. Seiring dengan penumpasan G.30.S di bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto, PKI dan seluruh onder-bouwnya termasuk Baperki dibubarkan dan dilarang di seluruh antero tanah air, membuat kiprah etnik Tionghoa semakin redup.
Mengingat citra negatif komunitas Tionghoa pada masa Orde Lama, maka pemerintah Orde Baru melakukan pengawasan ketat, dengan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengekang kebebasan mereka, terutama
(17)
commit to user
masalah kewarganegaraan. Sebagai negara hukum (rechtsstaat), dan bukan negara kekuasaan (machtstaat), semua tindakan dalam koridor kebangsaan Indonesia seharusnya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Namun kenyataannya, rezim Orde Baru telah menggunakan hukum sebagai alat untuk mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia.
Secara sistematis dan konsisten, rezim Orde Baru telah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis Tionghoa di Indonesia menjadi apolitis sehingga tidak ada lagi representasi efektif etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif.
Tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dilegitimasikan oleh Orde Baru yang jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di Indonesia, seperti pelarangan terhadap huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa, pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, penggantian nama Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya (Cap Gome), upacara di Klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina serta perkawinan antara pemeluk Kong Hu Cu yang tidak diakui sah oleh negara. Hal ini menimbulkan kesan segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari.
Politik devide et impera kembali dipraktekkan dengan menciptakan pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan antara Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas
(18)
commit to user
dan minoritas, pribumi dan non pribumi. Pada masa ini juga berkembang situasi dimana peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada sekelompok kecil (± 200-300 orang) etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis, hanya memperkaya dirinya sendiri tanpa memperdulikan nasib masyarakat di sekitarnya, sehingga timbul anggapan stereotip sebagaimana dideskripsikan kaum kolonial bahwa etnis Tionghoa telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereotip yang diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep persatuan dan kesatuan. A strategy of social cohesion refers to any kind of action which ensures that every citizen, every individuas can have within their community the opportunity of access to meeting their basic needs, to progress, to rights and protection, and to dignity and self confidence.5
Tindakan-tindakan Orde Baru tersebut jelas sengaja dilakukan untuk membatasi hak-hak asasi golongan Tionghoa, khususnya hak budaya (cultural right), serta mendiskriminasikan etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri. Tindakan tersebut dapat diartikan pula sebagai cultural genocide terhadap orang dan kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa di satu pihak negara menginginkan pembauran dan integritas bangsa Indonesia, namun di lain pihak perlakuan diskirminasi masih berlangsung secara formal dan informal yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity).
5
(19)
commit to user
Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama kali di Surakarta, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-eksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik ethiknya yang dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan politik masa mengambang Orba. Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya. Pada pihak Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulangpunggung kekuasaan, kekuasaan kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu.6
Sejarah mencatat, beberapakali terjadi di Kota Surakarta, kerusuhan besar dengan latar belakang masalah etnis dan golongan. Dua kerusuhan terakhir adalah kerusuhan besar yang terjadi di era 1980-an dengan latar belakang masalah pribadi yang merembet hingga masalah rasial. Kemudian terulang kembali Tahun
6
Pramoedya Ananta Toer, Rasialisme Anti-Tionghoa dan Percobaan Menjawabnya; Jaringan Kerja Budaya, 22 Oktober 1999 Artikel
(20)
commit to user
1998, kerusuhan berlatar belakang politik yang merembet menjadi kerusuhan rasial dengan sasaran masyarakat Tionghoa masih membayang di benak masyarakat Surakarta.
Dengan terjadinya kerusuhan yang menimpa kolektivitas Tionghoa di Surakarta pada pertengahan Mei 1998 dan peristiwa serupa di daerah – daerah lain karena menajamnya “konfigurasi pemilahan sosial pri-nonpri” maka hal ini telah menjadi salah satu indikator yang kuat tentang rendahnya tingkat efektifitas pelaksanaan kebijaksanaan asimilasi, selain rapuhnya sistem yang ada.7
Konfigurasi pemilahan sosial “pri-nonpri”, yaitu polarisasi sosial dengan parameter kesenjangan sosial – ekonomi, ras atau etnik, keterdekatan dengan kekuasaan, tingkat pendidikan, agama dan budaya, antara kolektivitas pribumi dengan kolektivitas Tionghoa di Surakarta, merupakan faktor kondisi yang menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik sosial antara kedua kolektivitas tersebut. Dalam polarisasi sosial itu, unsur kesenjangan sosial-ekonomi merupakan faktor dominan dan kesenjangan sosial – ekonomi yang paralel dengan perbedaan ras atau etnik, merupakan kondisi sosial yang rawan dengan konflik. Kondisi sosial yang demikian merupakan lahan subur bagi terjadinya konflik – konflik laten dengan intensitas yang tinggi antara kedua kolektivitas tersebut. Dengan faktor pemicu yang relatif kecil saja akan dapat memunculkan konflik-konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi pula.8
7
Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 05
8
(21)
commit to user
Hadirnya Reformasi dan lepasnya “belenggu” yang selama ini mengekang aktivitas Masyarakat Tionghoa tentu memberi angin segar dan jalan yang terang bagi kehidupan kemasyarakatan golongan Tionghoa. Termasuk aktivitas keagamaan, seni budaya, ekonomi, hingga politik. Setelah Reformasi secara otomatis keberadaan masyarakat Tionghoa semakin diakui, namun keadaan di masyarakat masih menyimpan potensi laten konflik berlatar belakang etnis dan antar golongan tersebut terulang kembali. Surakarta, dikenal dengan kondisi masyarakatnya yang beragam. Selain itu Surakarta dikenal sebagai kota dengan “sumbu pendek”, mudah tersulut dan sangat berpotensi muncul konflik antar golongan dan berlatarbelakang rasial.
Masyarakat Surakarta dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus memulai kembali dari awal, merajut hubungan harmonis antar etnis dengan latar belakang sejarah yang kusut. Konsep pembauran yang diusung orde baru ternyata menjadi usaha untuk menyeragamkan budaya. Sangat jauh dari nilai-nilai Bhinekka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu juga.
Pembauran bangsa merupakan masalah penting untuk dipecahkan bersama oleh semua warga negara bangsa Indonesia. Pembauran bangsa pada hakikatnya merupakan satu proses transkultural antar golongan atau kelompok masyarakat yang menjadi warga suatu negara dengan maksud memperkokoh persatuan dan kesatuan hidup bersama sebagai warga dari satu negara. Oleh karena itu masyarakat Indonesia yang majemuk ini harus menjalankan proses saling membaur baik secara horisontal maupun vertikal sehingga kesetiakawanan atau
(22)
commit to user
kebersamaan sebagai warga negara Indonesia dapat terbina, dalam hal ini asimilasi merupakan manifestasi dari konsep pembauran bangsa tersebut.
The link between culture and social cohesion may be amongest the most challenging issues we will face in the twenty-first century. One of the greatest demands to be placed upon us will be the challange of finding ways for people to live together on a planet growing more and more crowded ... The intermingling of diverse cultures will be the norm, while culture itself may hold the key to finding an accomodation within all this diversity.9
Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.
Proses asimilasi terjadi jika ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya; orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok tadi saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.10
9
M. Sharon Jeannotte & Dick Stanley, Journal: How Will We Live Together, Department of Canadian Heritage, Canada, 2002.
10
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1990.
(23)
commit to user
Jadi masalah asimilasi yang terpenting adalah penggabungan golongan-golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan sosiologis dan budaya. Hal ini berarti pula ingin diambil secara fleksibel unsur kebudayaan mana yang dibuang dan yang diambil dapat berpadu dengan harmonis dengan unsur kebudayaan lain yang kemudian pantas disebut kebudayaan bangsa Indonesia.
Ditegaskan pula oleh Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain :
1. Toleransi
2. Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang 3. Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaanya 4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa 5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan 6. Perkawinan campuran (amalgamation) 7. Adanya musuh bersama dari luar11
Konflik – konflik etnis tersebut ditangkap dan diamati oleh seorang sejarawan di Kota Solo, Drs. Sudarmono S.U dan menemukan adanya siklus dalam setiap 15 – 18 tahun sekali selalu terjadi kerusuhan di kota Solo dan seringkali atau hampir selalu mengorbankan masyarakat Tionghoa. Jika ditarik sejarahnya hitungan trsebut dimulai dari terjadinya “geger pacina” di Solo, yaitu
11
(24)
commit to user
runtuhnya Keraton Kartasura oleh serangan laskar Cina yang dipimpin oleh Mas Gerendi atau Sunan Kuning.
Lahirnya Kota Surakarta sendiri itu tidak lepas dari peristiwa pertama konflik “pri – nonpri”, ketika tanggal 30 Juni 1742 laskar Cina dibantu oleh sejumlah massa rakyat berhasil mebobol benteng istana Kartasura, memporak – porandakan bangunan istana, menjarah apa saja yang bisa dijarah dan menduduki istana selama beberapa bulan. Peristiwa ini dalam sejarah Jawa disebut Geger Pacina atau Bedah Kartasura.12
Rentetan kejadian tersebut berulang kembali dan selalu dalam hitungan setiap 15 – 18 tahun sekali sampai dalam hitungan terakhir pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di kota Solo. Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi interaksi sosial di Kota Solo. Tidak ada upaya yang nyata, sistematis dan berkelanjutan dari pemerintah kota untuk mengantisipasi fenomena sosial tersebut.
Pertanyaannya adalah, setelah adanya penelitian tentang siklus radikalisme masyarakat Solo dalam siklus 15 tahun tersebut apakah akan terulang kembali? Ataukah kerusuhan Mei 1998 menjadi akhir dari siklus tersebut?
12
Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 149
(25)
commit to user
BAB IIIVISI, MISI, DAN TUJUAN PENGGARAPAN
A. VISI
Visi pada film dokumenter ini berusaha mewujudkan keharmonisan sosial di masyarakat, menjamin kelangsungan hidup solidaritas sosial yang telah terbangun serta memperkokoh integrasi sosial dengan lebih menghargai dan menjadikan warga negara Indonesia keturunan sebagai bagian utuh dari masyarakat yang tidak termarjinalkan
B. MISI
Misi film dokumenter ini memaparkan sejarah potret kehidupan Suku Tionghoa di Solo secara garis besar mulai dari masa sebelum reformasi dan memaparkan adanya siklus kerusuhan di kota Solo yang selalu menyentuh masalah etnis dan mengorbankan masyarakat minoritas Tionghoa.
C. TUJUAN PENGGARAPAN
Memberikan paradigma baru dalam memandang Suku Tionghoa sebagai bagian dari kemajemukan yang ada di Indonesia, serta untuk mengingatkan masyarakat akan adanya bahaya laten kerusuhan di Solo seperti yang diungkapkan dalam Siklus 15 tahun sikap radikalisme masyarakat Solo, dengan harapan siklus tersebut dapat terputus.
(26)
commit to user
BAB IVTAHAPAN PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
A. SEKILAS TENTANG FILM DOKUMENTER
Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata ‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal Inggris John Grierson untuk Film Moana (1962) karya Robert Flaherty. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan realitas.13
Film dokumenter termasuk dalam kategori film non cerita, Pada mulanya ada dua tipe film non cerita yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film faktual. Film faktual, umumnya menampilkan fakta. Kamera sekedar merekam peristiwa. Film ini hadir dalam bentuk film berita (newsreel) dan film dokumentasi. Film berita, titik beratnya pada segi pemberitaan atau suatu kejadian aktual, sedangkan film dokumentasi hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi peristiwa perang atau upacara kemerdekaan.14
John Ivens, pembuat film dokumenter terkenal dari Belanda, menyebutkan bahwa kekuatan utama yang dimiliki film dokumenter terletak pada rasa keontentikan, bahwa tidak ada definisi film dokumenter yang
13
Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan, Yogyakarta, 2002, hal. 11 14
Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 13
(27)
commit to user
lengkap tanpa mengaitkan faktor-faktor subyektif pembuatnya. Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter.
Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan kan sangat tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.15
Seorang pembuat film dokumenter lain yaitu DA. Peransi mengatakan bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas, menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu.16
Layaknya sebuah gambar atau foto, kontras adalah salah satu hal menarik perhatian. Demikian pula dalam film dokumenter, “kontras” diwujudkan dengan adanya pertentangan di dalam konteks film itu. Apakah pertentangan dalam hal idealisme pendapat, dikotomi, ataupun pertentangan dalam satu konteks film itu sendiri.
Kini, dokumenter menjadi tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para pembuat film dapat bereksperimen dan belajar banyak hal ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, dokumenter juga membawa banyak
15 Ibid 16
(28)
commit to user
keuntungan dalam jumlah yang memuaskan. Ini bisa dilihat dari film dokumenter yang ada di televisi seperti National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel telah mentahbiskan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk dikonsumsi, dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam beragam festival baik berskala nasional maupun internasional.
B. TAHAP PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Dalam pembuatan film dokumenter, kejelian adalah hal yang pokok. Sehingga diperlukan suatu pemikiran dan proses teknis yang matang. Suatu produksi program film memerlukan tahapan proses perencanaan, proses produksi, hingga hasil akhir produksi. Tahapan tersebut sering dikenal dengan Standard Operation Procedure (SOP), yang terdiri dari:
1. Pra Produksi (ide, perencanaan, persiapan) 2. Produksi (pelaksanaan)
3. Pasca Produksi (Penyelesaian dan Penayangan)
I. Pra Produksi
Merupakan tahap awal dari proses produksi, termasuk didalamnya adalah penemuan ide, pengumpulan bahan berupa data-data untuk mendukung fakta atau subyek yang dipilih. Tahap pra produksi ini sangat penting karena merupakan landasan untuk melaksanakan produksi dan harus dilakukan dengan dengan rinci dan telliti sehingga akan membantu kelancaran proses produksi. Jika tahap ini telah dilaksanakan secara rinci
(29)
commit to user
dan baik, sebagian dari produksi yang direncanakan sudah beres.17 Kegiatan ini meliputi :
1. Memilih Subyek Film Dokumenter (choosing a subject)
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk memilih subyek. Subyek film dokumenter bisa berhubungan dengan sejarah, mitos atau legenda, sosial budaya, sosial ekonomi, atau yang lainnya. Pertimbangan dipilihnya suatu subyek bukan hanya karena kebetulan semata tetapi melalui proses panjang, melalui penelitian dan memiliki dasar pemikiran yang kuat. Dalam sebuah film dokumenter, apa yang disajikan mengandung subyektivitas pembuatnya, dalam arti sikap atau opini pembuat film terhadap realita yang didokumentasikannya. Tugas Akhir ini memilih masyarakat tionghoa dengan dasar pemikiran seperti yang telah disebutkan dalam uraian sebelumnya.
2. Riset (Research)
Riset (penelitian) adalah salah satu bagian terpenting sebelum pembuatan film dokumenter. Riset digunakan untuk mendukung fakta-fakta tentang subyek yang telah dipilih. Riset dilakukan untuk mendapatkan data-data yang bisa diperoleh melalui wawancara dengan tokoh ahli, kepustakaan, media massa, internet, dokumen maupun sumber lain.
Menurut Garin Nugroho, riset juga berhubungan dengan tema film. Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana
17
(30)
commit to user
yang menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus dilakukan.
Penelitian untuk Tugas Akhir ini diawali pada bulan Desember 2008 dengan mencari data maupun informasi di Sekretariat PMS. Kemudian dilakukan survey awal dengan wawancara mendalam dengan berbagai narasumber. Penelitian ini dilanjutkan lagi dengan melakukan survey ulang, mencari data-data lewat buku-buku tentang Masyarakat Tionghoa Surakarta, Sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia, dan Sejarah masyarakat Tionghoa di Solo.
3. Mempersiapkan Detail Produksi
Mempersiapkan detail berarti menyiapkan segala hal yang diperlukan agar proses produksi dapat berjalan lancar. Persiapan-persiapan tersebut antara lain:
a. Data Teknis
b. Sinopsis atau tulisan ringkas mengenai garis besar cerita, meliputi adegan adegan pokok dan garis besar pengembangan cerita.18
c. Treatment, dapat dijabarkan sebagai perlakuan tentang hal-hal yang dijabarkan dalam sinopsis. Sebuah uraian mengenai segala
18
(31)
commit to user
urutan kejadian yang akan tampak di layar TV atau Video. Uraian itu bersifat naratif, tanpa menggunakan istilah teknis.19 d. Naskah atau skenario, yaitu cerita dalam bentuk rangkaian
sekuen dan adegan-adegan yang siap digunakan untuk titik tolak produksi film, tetapi belum terperinci.
e. Shooting Script adalah naskah versi siap produksi yang berisi sudut pengambilan gambar atau angle dan bagian-bagian kegiatan secara rinci dan spesifik.
f. Timetable Shooting atau penjadwalan Shooting yang berbentuk
Shooting Breakdown dan Shooting Schedule. II. Produksi
Tahap ini merupakan kegiatan pengambilan gambar atau shooting. Pengambilan gambar dilakukan berdasarkan shooting script dan shooting breakdown dengan pengaturan jadwal seperti yang tercantum dalam
shooting schedule.
Beberapa istilah yang digunakan dalam pengambilan gambar atau
shooting antara lain :
1. Shot, adalah sebuah unit visual terkecil berupa potongan film yang merupakan hasil satu perekaman.20
2. Camera Angle, atau biasa disebut sudut pengambilan gambar, adalah posisi kamera secara relatif terhadap subyek dan obyek.
19 PCS. Sutisno, Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video,
Grasindo, Jakarta, 1993. hal. 46
20
(32)
commit to user
3. Sequence, atau serangkaian shot-shot yang merupakan satu kesatuan yang utuh.
4. Scene, atau adegan adalah salah satu shot atau lebih dari suatu lokasi atau action yang sama.
5. Close Up (CU), atau pengambilan terdekat. Tembakan kamera pada jarak yang sangat dekat dan memeperlihatkan hanya bagian kecil subyek, misalnya wajah seseorang.21
6. Long Shot (LS), shot jarak jauh yang kepentingannya untuk memeperlihatkan hubungan antara subyek-subyek dan lingkungan maupun latar belakangnya.
7. Medium Shot (MS), shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya dibandingkan long shot. Bila obyeknya manusia, medium shot menampilkan bagian tubuh dari pinggang ke atas.22
8. Medium Long Shot (MLS), atau disebut juga knee shot. Bila obyeknya manusia, maka yang tampak adalah dari kepala sampai lutut, bagian latar belakang tampak rinci. 23
9. Composition, merupakan teknik menempatkan gambar pada layar dengan proporsional.
10. Pan, menggerakkan kamera ke kanan dan ke kiri pada poros (as) horisontalnya.24
21
Ibid, hal. 112 22
Ibid, hal. 115 23
Ibid 24
(33)
commit to user
11. Tilt, gerakan kamera menunduk dan mendongak pada poros vertikalnya.25
12. Tracking Shot, shot yang diambil dengan memindahkan kamera mendekat ke subyek (track in) maupun menjauh dari subyek (track out). Kamera bisa diletakkan diatas peralatan beroda karet yang disebut dolly.26
13. Follow, adalah gerakan kamera yang mengikuti kemana obyek bergerak.
III.Pasca Produksi
Pasca produksi bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari keseluruhan proses produksi. Tahap ini dilaksanakan setelah semua pengambilan gambar selesai. Tahap pasca produksi ini meliputi logging, editing, dan
mixing.
Logging merupakan kegiatan pencatatan timecode hasil shooting, setelah logging, dilakukan penyusunan gambar sesuai skenario atau shooting script melalui editing. Setelah editing selesai dilakukan mixing
gambar dengan suara. Suara dapat berupa atmosfir, suara asli, background musik, atau narasi.
Akhirnya setelah melalui semua tahapan tersebut, film dapat dilepas ke publik. Media agar film itu dapat sampai kepada ke publik pun bisa di pilih, mulai dari forum diskusi kampus, festival, televisi, sampai bioskop sesuai keinginan Sang film maker maupun tujuan dari pembuatan film dokumenter tersebut.
25
Ibid, hal. 117 26
(34)
commit to user
BAB VCATATAN PRODUKSI
A. TREATMENT
Tema
Dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa di Solo yang telah melalu berbagai masa yang cukup sulit mulai dari politik diskriminatif, menjadi korban kemarahan masyarakat pribumi yang terjadi berulang dalam siklus 15 tahun.
Permasalahan
Masyarakat Tionghoa, telah melewati berbagai macam perlakuan negatif di Negara ini, Mulai dari politi diskriminatif yang diusung pemerintah pada masa lalu hingga menjadi korban dan dikambing hitamkan atas segala permasalahan yang dihadapi negeri ini. Dijadikan sasaran kemarahan masyarakat yang merasa sebagai golongan pribumi.
Kejadian kerusuhan yang menyentuh masalah etnis tidak hanya sekali terjadi di Kota Solo. Bahkan seorang sejarawan menangkap adanya siklus radikalisme masyarakat Solo yang selalu berulang tiap 15 Tahun. Bagaimana siklus ini disikapi oleh masyarakat Tionghoa? Apakah masih ada potensi siklus tersebut berlanjut?
(35)
commit to user
Bahan Dasar
Mencari data-data tertulis lewat buku, artikel, maupun internet. Wawancara dengan sejarawan dan masyarakat Tionghoa serta melakukan riset lapangan dan visual.
Judul
Acong di Rumah Joko
Durasi
22 menit
Audiens
Generasi muda range umur 17 tahun hingga 24 tahun, masyarakat umum.
Lokasi
Surakarta
Ringkasan Sajian
Sejarah mencatat Etnis Tionghoa di Indonesia pernah mengalami sejarah kelabu, mendapat perlakuan diskriminatif dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia. Dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Orde Baru, gerak – gerik etnis keturunan Cina ini sangat dibatasi. Aktivitas kebudayaan yang berbau China (Tionghoa) termasuk hari raya keagamaan, aktivitas keagamaan Kong Hu Chu tidak boleh dilakukan. Dalam bidang politik dan militer pun setali tiga uang, tidak ada satupun politikus dan militer dari kalangan Tionghoa.
(36)
commit to user
Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya konflik pribumi dan non pribumi di Indonesia dan berawal dari Kota Solo. Konflik muncul karena adanya prasangka buruk antara golongan yang merasa sebagai kelompok pribumi dengan golongan Tionghoa yang dianggap pendatang. Fenomena ini berulang kali terjadi di Kota Surakarta dan ditangkap oleh seorang sejarawan Drs. Sudarmono, SU dan merumuskan teori adanya siklus radikalisme masyarakat Solo tiap 15 tahun dan selalu merembet ke masalah etnis dan mengorbankan masyarakat Tionghoa.
Bagaimana masyarakat Kota Solo menyikapi fenomena tersebut? Apakah Siklus tersebut akan terulang kembali?
Story Line
Sekuen 1
Bagian pertama menceritakan tentang keadaan pada saat kerusuhan Mei 1998 terjadi di Surakarta beserta hal- hal yang melatar belakanginya. Kerusuhan tersebut bukan yang pertama terjadi di Surakarta, dan fenomena tersebut telah dirumuskan oleh seorang sejarawan sebagai sebuah siklus 15 tahunan.
Shot – shot penting:
1. Dokumen foto kerusuhan. 2. Kebakaran.
(37)
commit to user
4. Aktivitas narasumber.5. Aktivitas masyarakat kota.
Sekuen 2
Pada bagian kedua cerita ditarik ke belakang menceritakan tentang keadaan masyarakat Tionghoa pada masa sebelum revormasi digulirkan, menghadapi kebijakan politik diskriminatif pada masa itu dan bagaiman perasaan dan sikap masyarakat Tionghoa saat itu.
Shot – shot penting:
1. Dokumen foto kerusuhan. 2. Ornamen – ornamen kelenteng. 3. Aktivitas di klenteng.
4. Aktivitas narasumber. 5. Aktivitas masyarakat kota. 6. Landscape Perkotaan. 7. Aktivitas perekonomian. Sekuen 3
Pada bagian ketiga cerita kembali ditarik kebelakang, memaparkan bahwa politik diskriminatif tersebut adalah warisan zaman penjajahan Belanda dan bagaimana kedepannya masyarakat harus menyikapi fenomena tersebut.
Shot – shot penting:
1. Dokumen foto sejarah. 2. Aktivitas narasumber.
(38)
commit to user
3. Aktivitas masyarakat kota.4. Landscape Perkotaan. 5. Aktivitas perekonomian.
6. Kirab Keraton Kasunanan Surakarta. 7. Kirab Barongsay.
B. PROSES PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Pengerjaan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko” memakan waktu kurang lebih 10 bulan mulai bulan Maret 2009 dan karya ini dapat terselesaikan pada bulan Januari 2010 dengan perincian sebagai berikut :
a. Proses Pra Produksi
Proses pra produksi dimulai bulan Januari 2009. Diawali dari riset data literature dari buku dan Internet. Setelah mendapat gambaran umum tentang permasalahan yang akan diangkat, penulis memperdalam hasil riset data literatur dengan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu Sumartono Hadinoto, seorang pengusaha tionghoa di Surakarta dan Humas Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Dari Sumartono, penulis mendapat masukan untuk menemui Aji Chandra, Ketua Majelis Kong Hu Cu Indonesia (MAKIN) Solo dan Usman Arif, sejarawan dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS Surakarta. Karena film ini akan menggunakan pendekatan sejarah maka penulis
(39)
commit to user
menemui seorang sejarawan Kota Solo, Drs. Sudarmono, S.U. sebagai nara sumber.
Selanjutnya penulis melakukan riset secara visual untuk mendapatkan data visual. Riset visual dilakukan di Klenteng Pasar Gedhe, Kampung Sudiroprajan, Kampung Balong, Keraton Surakarta dan Kampung Baluwarti serta beberapa tempat umum di Surakarta. Setelah itu, penulis menentukan sudut pandang cerita dan membuat story line.
b. Proses Produksi
Pengambilan gambar telah dilakukan selama kurang lebih dua bulan di beberapa lokasi, dengan jadwal sebagai berikut :
1. 9 Mei 2009
Lokasi : Rumah Sumartono Hadinoto Personil : 3 orang
2. 25 Mei 2009
Lokasi : Kantor MAKIN Surakarta Personil : 3 orang
3. 25 Juni 2009
Lokasi : Rumah Drs. Sudarmono, S.U. Personil : 2 orang
4. 6 Juli 2009
Lokasi : Jalan Slamet riyadi dan kompleks Manahan Personil : 2 orang
(40)
commit to user
5. 19 Juli 2009Lokasi : Keraton Solo Personil : 2 orang 6. 23 Juli 2009
Lokasi : Pasar gedhe dan Klenteng Pasar Gedhe Personil : 1 orang
7. 16 Agustus 2009
Lokasi : Jalan Slamet Riyadi Personil : 2 orang
c. Proses Pasca Produksi
Pengerjaan naskah “Acong di Rumah Joko” dimulai bulan April hingga bulan Mei 2009. Sementara proses editing dimulai bulan November dan karya selesai total pada bulan Januari 2010.
Selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di rumah Joko”, terdapat beberapa catatan penting, antara lain :
1. Kurangnya narasumber yang khusus meneliti tentang suku tionghoa di Surakarta. Sehingga penulis harus merangkum dari berbagai sumber untuk memperoleh data.
2. Mendapat penolakan dari beberapa tempat atau dari personal subyek yang akan direkam aktivitasnya.
(41)
commit to user
3. Proses produksi sempat terhenti selama beberapa bulan dikarenakan salah seorang narasumber meminta untuk membaca beberapa literature terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara.
4. Narasumber sulit ditemui karena kesibukan dan kadang melupakan jadwal yang telah ditentukan dengan penulis.
Secara keseluruhan, Penulis tidak menemukan kendala yang cukup berarti selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko”. Penulis berharap, video dokumenter ini dapat memberikan paradigma baru dalam memandang Suku Tionghoa sebagai bagian dari kemajemukan yang ada di Indonesia, serta untuk mengingatkan masyarakat akan adanya bahaya laten kerusuhan di Solo seperti yang diungkapkan dalam Siklus 15 tahun sikap radikalisme masyarakat Solo, dengan harapan siklus tersebut dapat terputus.
(1)
Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya konflik pribumi dan non pribumi di Indonesia dan berawal dari Kota Solo. Konflik muncul karena adanya prasangka buruk antara golongan yang merasa sebagai kelompok pribumi dengan golongan Tionghoa yang dianggap pendatang. Fenomena ini berulang kali terjadi di Kota Surakarta dan ditangkap oleh seorang sejarawan Drs. Sudarmono, SU dan merumuskan teori adanya siklus radikalisme masyarakat Solo tiap 15 tahun dan selalu merembet ke masalah etnis dan mengorbankan masyarakat Tionghoa.
Bagaimana masyarakat Kota Solo menyikapi fenomena tersebut? Apakah Siklus tersebut akan terulang kembali?
Story Line Sekuen 1
Bagian pertama menceritakan tentang keadaan pada saat kerusuhan Mei 1998 terjadi di Surakarta beserta hal- hal yang melatar belakanginya. Kerusuhan tersebut bukan yang pertama terjadi di Surakarta, dan fenomena tersebut telah dirumuskan oleh seorang sejarawan sebagai sebuah siklus 15 tahunan.
Shot – shot penting:
1. Dokumen foto kerusuhan. 2. Kebakaran.
(2)
4. Aktivitas narasumber. 5. Aktivitas masyarakat kota.
Sekuen 2
Pada bagian kedua cerita ditarik ke belakang menceritakan tentang keadaan masyarakat Tionghoa pada masa sebelum revormasi digulirkan, menghadapi kebijakan politik diskriminatif pada masa itu dan bagaiman perasaan dan sikap masyarakat Tionghoa saat itu.
Shot – shot penting:
1. Dokumen foto kerusuhan. 2. Ornamen – ornamen kelenteng. 3. Aktivitas di klenteng.
4. Aktivitas narasumber. 5. Aktivitas masyarakat kota. 6. Landscape Perkotaan. 7. Aktivitas perekonomian. Sekuen 3
Pada bagian ketiga cerita kembali ditarik kebelakang, memaparkan bahwa politik diskriminatif tersebut adalah warisan zaman penjajahan Belanda dan bagaimana kedepannya masyarakat harus menyikapi fenomena tersebut.
Shot – shot penting:
(3)
3. Aktivitas masyarakat kota. 4. Landscape Perkotaan. 5. Aktivitas perekonomian.
6. Kirab Keraton Kasunanan Surakarta. 7. Kirab Barongsay.
B. PROSES PEMBUATAN FILM DOKUMENTER
Pengerjaan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko” memakan waktu kurang lebih 10 bulan mulai bulan Maret 2009 dan karya ini dapat terselesaikan pada bulan Januari 2010 dengan perincian sebagai berikut :
a. Proses Pra Produksi
Proses pra produksi dimulai bulan Januari 2009. Diawali dari riset data literature dari buku dan Internet. Setelah mendapat gambaran umum tentang permasalahan yang akan diangkat, penulis memperdalam hasil riset data literatur dengan melakukan wawancara dengan beberapa narasumber, yaitu Sumartono Hadinoto, seorang pengusaha tionghoa di Surakarta dan Humas Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Dari Sumartono, penulis mendapat masukan untuk menemui Aji Chandra, Ketua Majelis Kong Hu Cu Indonesia (MAKIN) Solo dan Usman Arif, sejarawan dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS Surakarta. Karena film ini akan menggunakan pendekatan sejarah maka penulis
(4)
menemui seorang sejarawan Kota Solo, Drs. Sudarmono, S.U. sebagai nara sumber.
Selanjutnya penulis melakukan riset secara visual untuk
mendapatkan data visual. Riset visual dilakukan di Klenteng Pasar Gedhe, Kampung Sudiroprajan, Kampung Balong, Keraton Surakarta dan Kampung Baluwarti serta beberapa tempat umum di Surakarta. Setelah itu, penulis menentukan sudut pandang cerita dan membuat story
line.
b. Proses Produksi
Pengambilan gambar telah dilakukan selama kurang lebih dua bulan di beberapa lokasi, dengan jadwal sebagai berikut :
1.9 Mei 2009
Lokasi : Rumah Sumartono Hadinoto
Personil : 3 orang 2. 25 Mei 2009
Lokasi : Kantor MAKIN Surakarta
Personil : 3 orang
3. 25 Juni 2009
Lokasi : Rumah Drs. Sudarmono, S.U.
Personil : 2 orang
4. 6 Juli 2009
(5)
5.19 Juli 2009
Lokasi : Keraton Solo
Personil : 2 orang
6. 23 Juli 2009
Lokasi : Pasar gedhe dan Klenteng Pasar Gedhe
Personil : 1 orang
7. 16 Agustus 2009
Lokasi : Jalan Slamet Riyadi
Personil : 2 orang
c. Proses Pasca Produksi
Pengerjaan naskah “Acong di Rumah Joko” dimulai bulan April hingga bulan Mei 2009. Sementara proses editing dimulai bulan November dan karya selesai total pada bulan Januari 2010.
Selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di rumah Joko”, terdapat beberapa catatan penting, antara lain :
1. Kurangnya narasumber yang khusus meneliti tentang suku tionghoa di Surakarta. Sehingga penulis harus merangkum dari berbagai sumber untuk memperoleh data.
2. Mendapat penolakan dari beberapa tempat atau dari personal subyek yang akan direkam aktivitasnya.
(6)
3. Proses produksi sempat terhenti selama beberapa bulan dikarenakan salah seorang narasumber meminta untuk membaca beberapa literature terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara.
4. Narasumber sulit ditemui karena kesibukan dan kadang melupakan jadwal yang telah ditentukan dengan penulis.
Secara keseluruhan, Penulis tidak menemukan kendala yang cukup berarti selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko”. Penulis berharap, video dokumenter ini dapat memberikan paradigma baru dalam memandang Suku Tionghoa sebagai bagian dari kemajemukan yang ada di Indonesia, serta untuk mengingatkan masyarakat akan adanya bahaya laten kerusuhan di Solo seperti yang diungkapkan dalam Siklus 15 tahun sikap radikalisme masyarakat Solo, dengan harapan siklus tersebut dapat terputus.