Pengaruh Konseling Terhadap Biaya, Outcomes, dan Tingkat Kepatuhan Pada Terapi Pasien Dislipidemia di Rumah Sakit An-Nisa Tangerang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konseling
Konseling adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
pengobatan dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya (klien),
secara lisan atau tertulis memberi arahan pengobatan yang tepat, informasi
terhadap efek samping obat, pengaturan diet, dan modifikasi gaya hidup.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dalam elemen kunci dari
pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan
kegiatan compounding dan dispensing aja, tetapi juga harus berinteraksi dengan
pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep
Pharmaceutical Care (Rantucci, 2007).
Pasien yang perlu untuk diberi konseling adalah pasien-pasien yang
berkemungkinan untuk tidak patuh terhadap pengobatan seperti pasien dengan
penyakit kronik tertentu seperti hipertensi, gagal jantung, pasien yang menerima
terapi golongan obat tertentu, pasien geriatrik, pediatrik, pasien yang keluar dari
rumah sakit, dan lain-lain (Hussar, 1995).
2.1.1 Tujuan konseling
Tujuan dilakukannya konseling terdiri dari dua kelompok, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus (Anonim, 2007) :
a. tujuan umum
i. meningkatkan keberhasilan terapi
ii. memaksimalkan efek terapi
iii. meminimalkan resiko efek samping
Universitas Sumatera Utara
iv. meningkatkan cost effectiveness
v. menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi
b. tujuan khusus
i. meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien
ii. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
iii. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
iv. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
v. mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
vi. meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri
dalam hal terapi
vii. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
viii. membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien
2.1.2 Manfaat konseling
a. manfaat konseling bagi pasien (Anonim, 2007):
i. menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
ii. mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
iii. membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
iv. meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan
v. menurunkan kesalahan penggunaan obat
vi. meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
vii. menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
Universitas Sumatera Utara
b. manfaat konseling bagi Apoteker (Anonim, 2007):
i. menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan
ii. mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung
jawab profesi apoteker
iii. menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat
(medication error)
iv. suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi
upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
2.2 Farmakoekonomi
2.2.1 Definisi farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang
diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan
(Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefinisikan sebagai analisis dari biaya
terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, tentang proses identifikasi,
mengukur, membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program
pelayanan terapi (Vogenberg, 2001).
2.2.2 Manfaat farmakoekonomi
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas,
misalnya pada rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki
dana terbatas untuk suatu program pelayanan kesehatan. Maka hal yang terpenting
adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia,
pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana
dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg,
2001).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Metode farmakoekonomi
Metode-metode yang digunakan dalam evaluasi farmakoekonomi, yaitu:
a. cost-effectiveness analysis (CEA)
Cost effectiveness analysis merupakan salah satu cara untuk menilai dan
memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan tujuan
yang sama untuk dipilih. Program yang paling cost-effective yang akan dipilih
oleh para analis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesatyo, 2008).
Perbedaan CEA dengan analisis farmakoekonomi yang lain adalah
pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non moneter yaitu dalam unit alamiah,
baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya,
penurunan kadar low density lipoprotein (LDL) mg/dL, penurunan tekanan darah
diastolik dalam mmHg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut
(misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang
tukak lambung yang tersembuhkan) (Andayani, 2013).
Alat bantu yang dapat digunakan dalam CEA adalah diagram efektivitasbiaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan
dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini, jika suatu intervensi
kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih
tinggi dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran I
(Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan pertimbangan
sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika
sumberdaya yang tersedia mencukupi (Kemenkes RI,2013).
Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori
Universitas Sumatera Utara
Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di
Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang
tersedia lebih terbatas (Kemenkes RI,2013).
Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan
biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini
masuk ke Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu
intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya
lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak untuk
dipilih (Kemenkes RI,2013).
Gambar 2.1 Diagram efektivitas biaya
b. cost-utility analysis (CUA)
Cost utility analysis adalah suatu metode analisis untuk menilai efisiensi
dari intervensi pelayanan kesehatan. Pada metode ini dilakukan perhitungan rasio
antara biaya dan output. Outcome yang diharapkan adalah peningkatan kualitas
hidup. Pengukuran CUA adalah cost per QALYs (Quality Adjusted Life Years).
Universitas Sumatera Utara
Contohnya jika seorang pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs adalah
1 (satu) (Drummond, et al., 1997).
Langlah-langkah yang perlu dilakukan dalam menghitung QALYs
(Andayani, 2013), yaitu:
i.
deskripsi
penyakit
atau
status
kesehatan,
deskripsi
penyakit
harus
menggambarkan pengaruh kesehatan yang diharapkan dari suatu penyakit
atau keadaan kesehatan dengan singkat.
ii. metode penentuan utility, terdapat tiga metode yang sering digunakan untuk
menentukan pilihan, atau mengukur skor utility, yaitu rating scale (RS),
standard gamble (SG), dan time tradeoff (TTO). Setiap metode, keadaan atau
kondisi beberapa penyakit diuraikan kepada subyek untuk membantu
menentukan dimana keadaan penyakit atau kondisi kesehatan berada antara
0,0 (meninggal) dan 1,0 (kesehatan sempurna).
iii. pemilihan subjek , subjek merupakan seseorang yang dijadikan sampel dalam
penelitian yang akan ditentukan niali utility.
Keunggulan assesment utility langsung dari pasien yang bersangkutan
yaitu pasien lebih memahami apa yang dirasakan dibandingkan orang lain.
iv. penentuan nilai QALYs, nilai QALYs diperoleh dengan mengalikan utility
dengan lama hidup. Contoh perhitungan QALYs yaitu, secara random pasien
dibagi menjadi 2 kelompok dan diberikan terapi awal pada tingkat status
kesehatan yang sama.
Luas daerah antara dua kurva yang menggambarkan awal terapi sampai
pemberian terapi selama 12 bulan menunjukkan tambahan QALYs dari obat baru
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
1
status kesehatan
0,8
0,6
kontrol
0,4
terapi
0,2
0
0 bulan
6 bulan
12 bulan
waktu (bulan)
Gambar 2.2 QALYs dari hipotesis intervensi terapi (Andayani, 2013)
Luas daerah antara dua kurva pada akhir intervensi dapat dihitung sebagai
berikut:
QALYsc
= [0,5(0,4+0,5)6 + 0,5(0,5+0,6)6)] /12 = 0,5
QALYst
= [0,5(0,4+0,5)6 + 0,5(0,5+0,65)6)] /12 = 0,5125
Peningkatan QALYs = 0,5125 – 0,5 = 0,0125
c. cost-benefits analysis (CBA)
Cost benefits analysis adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan
manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi
antara manfaat dan biaya karena mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah. Dapat
digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang
berbeda dan merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif
(Andayani, 2013).
Universitas Sumatera Utara
d. cost-minimization analysis (CMA)
Cost minimization analysis adalah tipe analisis yang digunakan untuk
membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek
yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara
secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi.
Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai
terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus
dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan (Newby dan Hill, 2003).
Contoh dari AMiB adalah terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan
paten yang hasil terapinya sama, maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang
biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
e. tipe analisis yang lain
Tipe analisis lain untuk mengukur biaya adalah jika hanya disajikan daftar
biaya dan daftar beberapa outcome, tanpa dilakukan perhitungan dan
perbandingan, disebut sebagai cost-consequence analysis (CCA) (Andayani,
2013).
Tipe analisis ekonomi lain adalah analisis cost-of-illness (COI), digunakan
untuk membandingkan pengaruh ekonomi dari suatu penyakit dibandingkan
dengan penyakit lain. Dalam studi COI, peneliti menentukan total beban ekonomi
dari suatu penyakit tertentu dalam masyarakat. Biaya yang dihitung dalam metode
ini dibagi menjadi dua kategori, biaya langsung atau biaya yang terkait dengan
terapi atau pencegahan dan biaya tidak langsung atau biaya hilangnya
produktivitas karena penyakit pasien. Contoh COI misalnya membandingkan
biaya untuk hipertensi dan biaya untuk asma (Andayani, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Biaya Pelayanan Kesehatan
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori
(Vogenberg, 2001), yaitu :
a. biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang digunakan untuk jasa pelayanan
medis, termasuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan
pasien, obat-obat yang diresepkan, dan biaya rawat inap.
b. biaya langsung non-medis (direct non-medical cost)
Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak
terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah
sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.
c. biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang. Sebagai contoh
pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak
dapat memberikan nafkah pada keluarganya, pendapatan berkurang karena
kematian yang cepat.
d. biaya tidak teraba (intangible cost)
Biaya tidak teraba merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil
tindakan medis dan tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur
seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan,efek samping. Sifatnya psikologis
sehingga sukar dikonversikan dalam nilai mata uang.
Universitas Sumatera Utara
e. opportunity cost
Opportunity cost adalah biaya yang mewakili manfaat ekonomi bila
menggunakan suatu terapi pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik
berikutnya. Oleh karena itu, jika sumber daya telah digunakan untuk membeli
program atau alternatif pengobatan, maka opportunity cost menunjukkan
hilangnya kesempatan untuk menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan
kata lain, opportunity cost adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya
kesempatan ataupun dikorbankannya penghasilan/pendapatan.
f. incremental cost
Incremental cost disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan
atas alternatif atau perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan
manfaat, efek ataupun hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental cost adalah
biaya tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu
alternatif dan menyediakan cara lain untuk menilai dampak farmakoekonomi dari
layanan kesehatan ataupun pilihan pengobatan dalam suatu populasi.
2.4 Dislipidemia
2.4.1 Definisi dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida
serta penurunan kadar kolesterol HDL (Gordon, 2003).
Profil lipid saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP ATP
Universitas Sumatera Utara
III) pada tahun 2001 telah membuat suatu batasan profil lipid seseorang secara
umum . Klasifikasi rentang profil lipid dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi rentang profil lipid menurut National Choleteroslemia
Education Programme Adult Therapy Programme (NCEP ATP III)
Kadar Kolesterol Total
Kategori Kolesterol Total
(mg/ dL)
< 200
Yang diinginkan
200-239
Batas tinggi
≥ 240
Tinggi
Kadar LDL (mg/ dL)
Kategori LDL
< 100
100 – 129
130 – 159
160 – 189
≥ 190
Kadar HDL (mg/ dL)
Optimal
Mendekati optimal
Batas tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Kategori HDL
< 40
≥ 60
Rendah
Tinggi
Kadar Trigliserida (mg/ dL)
< 150
150 – 199
200-499
≥500
Kategori Trigliserida
Normal
Batas tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
2.4.2 Epidemiologi
Kenaikan kadar kolesterol total atau hiperkolesterolemia merupakan salah
satu bentuk dari dislipidemia. Berdasarkan catatan WHO, pada tahun 2008 sekitar
39% dari populasi dunia menderita hiperkolesterolemia. Prevalensi tertinggi ada
di regional Eropa, sedangkan di regional Asia Tenggara sendiri angkanya
mencapai 29% dari populasi. Prevalensi di Indonesia dari tahun ke tahun
diketahui meningkat. Pada tahun 2008 tercatat prevalensinya sebesar 35,1%.
Kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 35,9% (Depkes RI, 2013).
Dislipidemia merupakan faktor risiko beberapa penyakit kardiovaskuler
seperti aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Rendahnya kadar HDL dan
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya kadar LDL pada kondisi dislipidemia akan meningkatkan risiko
timbulnya timbunan lemak pada pembuluh darah. Bila kondisi berlanjut pembuluh
darah akan mengalami aterosklerosis. Timbunan lemak juga dapat menyumbat
aliran darah koroner ke jantung, sehingga menyebabkan penyakit jantung koroner
(Murray, et al., 2003).
2.4.3 Kolesterol
Kolesterol merupakan senyawa yang mempunyai fungsi penting dalam
tubuh kita. Kolesterol ditemukan di seluruh sel tubuh kita, dimana berfungsi
sebagai komonen penyusun membran sel. Kolesterol juga digunakan oleh tubuh
untuk pembuatan berbagai hormon, terutama hormon estrogen dan testosteron,
namun juga digunakan untuk hormon adrenal sepertil kortisol dan aldosteron.
Tubuh juga menggunakan kolesterol untuk membuat vitamin D. Kadar kolesterol
dalam darah yang direkomendasikan adalah dibawah 200 mg/dl. Berbeda dengan
fungsinya pada saat kadar kolesterol normal, semakin tinggi kadar kolesterol
dalam darah, semakin besar pula resiko terjadinya aterosklerosis (Murray, et al.,
2003).
2.4.3.1 Sintesis kolesterol
Kolesterol dapat disintesis oleh semua jaringan yang mengandung sel – sel
berinti. Prekursor untuk sintesis kolesterol adalah asetil-KoA sitosol. Asetil-KoA
ini dihasilkan dari prekursor utamanya, yaitu glukosa dan asam lemak serta dapat
juga dibentuk dari katabolisme asam amino. Pertama, 2 molekul asetil-KoA
berkondensasi
membentuk
asetoasetil-KoA.
Kemudian
asetoasetil-KoA
berkondensasi dengan asetil-KoA lainnya yang dikatalisis oleh enzim HMG-KoA
sintetase untuk membentuk HMG-KoA. HMG KoA akan diubah oleh enzim
Universitas Sumatera Utara
HMG-KoA reduktase menjadi mevalonat. Mevalonat yang terbentuk akan
difosforilasi oleh ATP menjadi isoprenoid. Selanjutnya, dari enam unit isoprenoid
akan dibentuk skualen. Skualen akan mengalami siklisasi membentuk lanosterol.
Lanosterol ini yang selanjutnya akan dikonversi menjadi kolesterol (Murray, et
al., 2003).
Proses sintesis ini dikendalikan oleh enzim HMG-KoA reduktase.
Terdapat mekanisme umpan-balik, yaitu HMG-KoA reduktase di hati dihambat
oleh mevalonat yang merupakan intermediate, dan oleh kolesterol yang
merupakan produk utama lintasan tersebut. Aktivitas HMG-KoA reduktase dapat
ditingkatkan dengan pemberian hormon insulin atau hormon tiroid, sedangkan
hormon glukagon atau glukokortikoid akan menurunkannya (Murray, et al.,
2003).
2.4.3.2 Absorpsi kolesterol
Absorpsi kolesterol terjadi terutama pada duodenum dan jejunum bagian
proksimal dengan tingkat yang bervariasi pada tiap individunya. Proses absorpsi
ini sebagian besar spesifik untuk kolesterol saja, karena senyawa sterol yang
berasal tumbuhan meskipun memliki struktur yang mirip dengan kolesterol tapi
sangat jarang atau tidak diabsorpsi sama sekali.
Terdapat dua fase utama dalam absorpsi kolesterol. Fase pertama
bertempat di lumen usus halus dan melibatkan penghancuran dan hidrolisis lipid
makanan. Kolesterol ester diubah oleh enzim kolesterol ester hidrolase menjadi
kolesterol dan asam lemaknya. Kemudian terjadi emulsifikasi oleh asam empedu
membentuk misel. Pada fase kedua, terjadi perpindahan kolesterol melintasi
mukosa membran sel usus halus dengan cara difusi sederhana. Di dalam sel usus
Universitas Sumatera Utara
halus, kolesterol mengalami esterifikasi kembali menjadi kolesterol ester dan akan
berikatan dengan protein membentuk lipoprotein. Lipoprotein pada proses ini
adalah kilomikron, kilomikron kemudian akan disekresi melalui pembuluh limfe
(Murray, et al., 2003).
2.4.3.3 Transport dan ekskresi kolesterol
Kolesterol tidak larut air, maka untuk dapat beredar di dalam darah
kolesterol berikatan dengan partikel-partikel lipoprotein. Lipoprotein adalah
senyawa kompleks antara lemak dan protein. Empat kelompok utama lipoprotein
yang penting secara fisiologis dan penting dalam diagnosis klinis (Murray, et al.,
2003), yaitu:
a. kilomikron, berasal dari penyerapan trigliserida dan lipid lain di usus halus.
Mengandung 86,2% trigliserida, 2% protein, 4% kolesterol, dan 7,8%
fosfolipida. Kilomikron berperan dalam pengangkutan lemak dari usus halus ke
bagian tubuh yang membutuhkan.
b. lipoprotein berdensitas sangat rendah (Very Low Density Lipoprotein, VLDL),
berasal dari hati dan berfungsi sebagai pengangkut trigliserida endogen dari
tempat pembentukannya ke tempat yang membutuhkan VLDL memiliki
komposisi lipid paling banyak dan sedikit protein, tetapi lipid yang tersebut
adalah lemak netral, bukan kolesterol. Trigliserida adalah lipid utama pada
kilomikron dan VLDL. VLDL mengandung 10% protein, 50,4% trigliserida,
20,7% kolesterol, dan 18% fosfolipida, dan 0,9% asam lemak bebas.
c. lipoprotein berdensitas rendah (Low Density Lipoprotein, LDL), merupakan
tahap akhir metabolisme VLDL. LDL memiliki komposisi protein lebih sedikit
dan kolesterol lebih banyak. LDL mengangkut kolesterol dari hati ke sel,
Universitas Sumatera Utara
termasuk sel – sel endotel pembuluh darah. LDL mengandung 21% protein,
10,3% trigliserida, 45,8% kolesterol, 22% fosfolipida, dan 0,9% asam lemak
bebas.
d. lipoprotein berdensitas tinggi (High Density Lipoprotein, HDL), merupakan
lipoprotein yang berperan dalam transpor kolesterol serta pada metabolisme
VLDL dan kilomikron. HDL memiliki komposisi sedikit kolesterol dan banyak
sekali protein. HDL berperan dalam mengangkut kolesterol dari sel dan
membawanya ke hati untuk dieliminasi secara parsial dari tubuh. HDL
mengandung 57% protein, 5,6% trigliserida, 15% kolesterol, 19,8% fosfolipid,
dan 2,6% asam lemak bebas
2.4.4 Terapi dislipidemia
Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya non farmakologi
perubahan gaya hidup yang meliputi modifikasi diet, pengurangan berat badan
serta aktivitas fisik. Tujuan utama terapi diet disini adalah menurunkan resiko
CVD
dengan
mengurangi
asupan
lemak
jenuh
dan
kolesterol
serta
mengembalikan keseimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi. Perbaikan
keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi
melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori.
2.4.4.1 Terapi non farmakologi
a. terapi diet
Terapi diet bertujuan untuk mengoptimalkan kadar lipid dengan cara
menjaga keseimbangan diet. Terapi diet dapat menurunkan kolesterol total sebesar
10-15%. Asupan makanan yang tinggi kandungan kolesterol harus diturunkan.
Asupan lemak jenuh dan asam lemak trans mening katkan kadar LDL, sementara
Universitas Sumatera Utara
asam lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak tidak jenuh ganda mempunyai
LDL rendah.
b. pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan dikhususkan pada pasien kelebihan berat badan
dan obesitas dengan sindrom metabolik. Penurunan berat badanmembantu
menurunkan trigliserida dan meningkat HDL.
c. aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya serta merupakan bagian dari usaha menjaga kebugaran, termasuk
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Mereka yang aktif kemungkinan memiliki
resiko yang rendah untuk terkena penyakit kardiovaskuler termasuk diantaranya
dislipidemia (Lim, 2014).
2.4.4.2 Terapi farmakologi
Pada saat ini dikenal sedikitnya 5 jenis obat yang dapat memperbaiki
profil lipid serum, yaitu statin ( HMG - CoA reductase inhibitor), resin, derivat
asam fibrat, asam nikotinat (Niasin) dan ezetimib (Mahley dan Bersot, 2012).
a. statin (HMG - CoA Reductase Inhibitor)
Statin merupakan senyawa yang paling efektif dan paling baik
toleransinya untuk mengobati dislipidemia. Ada enam jenis statin dipasarkan,
yaitu lovastatin, simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atrovastatindan rosuvastatin.
Obat ini bekerja menghambat enzim HMG-CoA reductase,yaitu suatu enzim di
hati yang berperan dalam sintesis kolesterol.
Sintesis kolesterol di hati akan menurun, sehingga Sterol Regulatory
Element Binding Protein (SREBP) yang terdapat pada membran terurai oleh
Universitas Sumatera Utara
protease, lalu diangkut ke nukleus. Faktor-faktor transkripsi kemudian akan
berikatan dengan gen reseptor LDL, sehingga terjadi peningkatan sintesis reseptor
LDL pada membran sel hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol darah lebih
besar lagi. Selain VLDL, IDL dan LDL menurun serta HDL meningkat.
b. resin
Terdapat tiga golongan resin, yaitu cholestyramin, colestipol dan
colesevelam. Resin merupakan obat hipolipidemia yang paling aman karena tidak
diabsorpsi saluran cerna. Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara
mengikat asam empedu dalam saluran cerna di usus halus dan akan dieksresi
melalui feses, asam empedu yang kembali ke hati akan menurun, hal ini akan
memacu hati memecahkan kolesterol lebih banyak untuk menghasilkan asam
empedu yang dikeluarkan ke usus. Akibatnya kolesterol darah akan lebih banyak
ditarik ke hati, sehingga kolesterol serum menurun.
c. derivat asam fibrat
Terdapat empat jenis, yaitu gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat dan
fenofibrat. Obat ini bekerja dengan cara berinteraksi dengan reseptor peroxysome
proliferator- activated receptors (PPARs). Fibrat menurunkan trigliserida melalui
stimulasi oksidasi asam lemak yang diperantarai oleh PPARα, meningkatkan
sintesis LPL dan menurunkan apoC-III di hati yang berfungsi sebagai inhibitor
proses lipolisis sehingga dapat meningkatkan bersihan VLDL. Peningkatan HDL
oleh fibrat terjadi karena stimulasi peningkatan apoA-1 dan apoA-II oleh PPARα.
d. asam nikotinat (Niasin)
Asam nikotinat merupakan obat penurun lipid yang pertama kali
diperkenalkan, untuk mengobati dislipidemia. Obat ini bekerja menghambat
Universitas Sumatera Utara
hidrolisis trigliserida oleh enzim hormon sensitive lipase di jaringan adiposa,
dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas ke hati. A sam
lemak bebas dalam darah sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi
sumber pembentukan VLDL, dengan menurunnya sintesis VLDL di hati, akan
mengakibatkan penurunan kadar trigliseridadan juga kolesterol -LDL di plasma.
Pemberian asam nikotinat ternyata juga meningkatkan kolesterol-HDL.
e. ezetimib
Ezetimib tergolong obat penurun lipid yang terbaru dan bekerja sebagai
penghambat selektif penyerapan kolesterol baik yang berasal dari makanan
maupun dari asam empedu di usus halus. Obat ini efektif menurunkan LDL dan
kolesterol total. Obat ini pada umumnya tidak digunakan secara tunggal, tetapi
dikombinasikan dengan obat penurun lipid lain, misalnya HMG-CoA reductase
Inhibitor.
2.5 Kepatuhan
2.5.1 Definisi
Kepatuhan pasien didefinisikan secara luas sebagai tindakan pasien untuk
mengikuti instruksi yang diberikann untuk perawatan yang ditentukan.
Pengukuran kepatuhan pada dasarnya merepresentasikan perbandingan antara dua
rangkaian kejadian, yaitu bagaimana nyatanya obat diminum dengan bagaimana
obat seharusnya diminum sesuai resep (Osterberg dan Terrence, 2005; Sabate,
2001; Rainer, et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Faktor-faktor yang berkaitan dengan kepatuhan
Kepatuhan pasien terhadap pengobatannya dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor (Osterberg dan Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009),
meliputi:
a. faktor demografi
Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan
tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap
regimen pengobatan.
b. faktor psikologi
Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen
pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan
sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makanan yang
dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan.
c. faktor sosial
Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting
dalam pengelolaan terapi suatu penyakit. Penelitian menunjukan bahwa pasien
dengan tingkat masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat
dukungan dan memiliki komunikasi yang baik antara anggota keluarga atau
masyarakatnya cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan
sosial juga dapat menurunan rasa depresi atau stres penderita terhadap
pengelolaan terapi suatu penyakit.
d. faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi
Penyakit kronik yang dideriita pasien, regimen obat yang kompleks, dan
efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan
Universitas Sumatera Utara
pada pasien. Penelitian menunjuan kepatuhan yang lebih tinggi pada pasien
dengan regimen obat yang sederhana dibandingkan dengan regimen pengobatan
yang kompleks.
e. faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan
Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga
kesehatan, seperti dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang
sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan.
Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti apoteker, waktu dan keahlian yang
dimiliki oleh apoteker berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai
penggunaan obat sehingga cenderung meningkatkan kepatuhan pasien.
2.5.3
Metode pengukuran tingkat kepatuhan
Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua metode
(Osterberg dan Terrence, 2005), yaitu:
a. metode langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam
darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini
umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap penolakan
pasien.
b. metode tidak langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuisioner,
menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat
pengambilan kembali resep obat.
Universitas Sumatera Utara
2.5.4
Metode meningkatkan kepatuhan
Metode meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan dapat dilakukan
dengan cara (Osterberg dan Terrence, 2005), yaitu:
a. pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya mengenai
penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara individu maupun
kelompo, dan dapat diberian melalui tulisan, telepon, email atau datang ke
rumah.
b. mengefektifkan jadwal pendosisan melalui penyederhanaan regimen dosis
harian.
c. meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan.
2.6 Short Form-36 Health Survey (SF-36)
SF-36 adalah sebuah kuesioner survei kesehatan untuk menilai kualitas
hidup, yang terdiri dari 36 butir pertanyaan. Kuesioner ini menghasilkan 8 skala
fungsional profil kesehatan dan skor kesejahteraan berbasis psikometri kesehatan
fisik dan psikis, serta merupakan kumpulan dari langkah-langkah dan preferensi
kesehatan berbasis indeks.Oleh karena itu, SF-36 telah terbukti berguna dalam
survei umum dan populasi khusus, membandingkan relatif beban penyakit serta
dalam membedakan manfaat kesehatan yang dihasilkan oleh berbagai intervensi
yang berbeda (Ware, 2000).
SF-36 adalah sebuah kuesioner survei yang mengukur 8 kriteria kesehatan
yaitu fungsi fisik, keterbatasan peran karena kesehatan fisik, tubuh sakit, persepsi
kesehatan secara umum, vitalitas, fungsi sosial, peran keterbatasan karena
masalah emosional, dan kesehatan psikis. Pengukuran ini menghasilkan nilai
skala untuk masing-masing delapan kriteria kesehatan dan dua ukuran ringkasan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan fisik dan psikis. Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah 60, dibawah
skor tersebut kualitas hidup dinilai kurang baik. Nilai skor 100 merupakan tingkat
kualitas hidup yang sangat baik. Berdasarkan waktu penggunaannya, SF-36 dapat
digunakan pada 2 periode pengukuran (2-type recall), yaitu pengukuran standar (>
4 minggu) dan akut (< 1 minggu) (Ware, 2000).
2.6.1 Metode skoring SF-36
Metode untuk menentukan skoring dari setiap pertanyaan di dalam
kuesioner SF-36 adalah berdasarkan tabel referensi berikut ini (Ware, 2000):
a. menentukan skor dari jawaban setiap pertanyaan sesuai dengan nomor
ditunjukkan pada Tabel 2.2. Pengukuran ini menghasilkan nilai skala untuk
masing-masing delapan kriteria kesehatan dan dua ukuran ringkasan
kesehatan fisik dan mental.
Tabel 2.2 Penentuan skor jawaban setiap pertanyaan berdasarkan nomor
pertanyaan
Nomor Pertanyaan
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12
1, 2, 20, 22, 34, 36
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19
21, 23, 26, 27, 30
Kategori perubahan
respon
1
2
3
1
2
3
4
5
1
2
1
2
3
4
5
6
Skor yang diperoleh
0
50
100
100
75
50
25
0
0
100
100
80
60
40
20
0
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Lanjutan), Penentuan skor jawaban setiap pertanyaan berdasarkan
nomor pertanyaan
24, 25, 28, 29, 31
1
0
2
20
3
40
4
60
5
80
6
100
32, 33, 35
1
0
2
25
3
50
4
75
5
100
b. menentukan skor rata-rata dari jawaban setiap pertanyaan berdasarkan skala
yang telah ditentukan pada Tabel 2.3. Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah
60, dibawah skor tersebut maka kualitas hidup pasien dinilai kurang baik. Nilai
skor 100 merupakan tingkat kualitas hidup yang sangat baik.
Tabel 2.3 Penentuan skor rata-rata setiap pertanyaan berdasarkan skala
Skala
Fungsi fisik
Keterbatasan akibat
masalah fisik
Keterbatasan akibat
masalah emosional
Energi/Fatique
Kesejahteraan/kesehatan
mental
Fungsi sosial
Perasaan sakit/nyeri
Persepsi kesehatan umum
Peralihan kesehatan
Jumlah pertanyaan
berdasarkan skala
10
4
Penilaian rata-rata
kelompok pertanyaan
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
13, 14, 15, 16
3
17, 18, 19
4
5
23, 27, 29, 31
24, 25, 26, 28, 30
2
2
5
1
20, 32
21, 22
1, 33, 34, 35, 36
2
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konseling
Konseling adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
pengobatan dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya (klien),
secara lisan atau tertulis memberi arahan pengobatan yang tepat, informasi
terhadap efek samping obat, pengaturan diet, dan modifikasi gaya hidup.
Konseling pasien merupakan bagian tidak terpisahkan dalam elemen kunci dari
pelayanan kefarmasian, karena Apoteker sekarang ini tidak hanya melakukan
kegiatan compounding dan dispensing aja, tetapi juga harus berinteraksi dengan
pasien dan tenaga kesehatan lainnya dimana dijelaskan dalam konsep
Pharmaceutical Care (Rantucci, 2007).
Pasien yang perlu untuk diberi konseling adalah pasien-pasien yang
berkemungkinan untuk tidak patuh terhadap pengobatan seperti pasien dengan
penyakit kronik tertentu seperti hipertensi, gagal jantung, pasien yang menerima
terapi golongan obat tertentu, pasien geriatrik, pediatrik, pasien yang keluar dari
rumah sakit, dan lain-lain (Hussar, 1995).
2.1.1 Tujuan konseling
Tujuan dilakukannya konseling terdiri dari dua kelompok, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus (Anonim, 2007) :
a. tujuan umum
i. meningkatkan keberhasilan terapi
ii. memaksimalkan efek terapi
iii. meminimalkan resiko efek samping
Universitas Sumatera Utara
iv. meningkatkan cost effectiveness
v. menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi
b. tujuan khusus
i. meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien
ii. menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
iii. membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya
iv. meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
v. mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
vi. meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan masalahnya sendiri
dalam hal terapi
vii. mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan
viii. membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga
dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan
pasien
2.1.2 Manfaat konseling
a. manfaat konseling bagi pasien (Anonim, 2007):
i. menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
ii. mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
iii. membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
iv. meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan
v. menurunkan kesalahan penggunaan obat
vi. meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
vii. menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
Universitas Sumatera Utara
b. manfaat konseling bagi Apoteker (Anonim, 2007):
i. menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan
ii. mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai tanggung
jawab profesi apoteker
iii. menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan obat
(medication error)
iv. suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga menjadi
upaya dalam memasarkan jasa pelayanan
2.2 Farmakoekonomi
2.2.1 Definisi farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang
diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan
(Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefinisikan sebagai analisis dari biaya
terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, tentang proses identifikasi,
mengukur, membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program
pelayanan terapi (Vogenberg, 2001).
2.2.2 Manfaat farmakoekonomi
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang terbatas,
misalnya pada rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki
dana terbatas untuk suatu program pelayanan kesehatan. Maka hal yang terpenting
adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia,
pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana
dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg,
2001).
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Metode farmakoekonomi
Metode-metode yang digunakan dalam evaluasi farmakoekonomi, yaitu:
a. cost-effectiveness analysis (CEA)
Cost effectiveness analysis merupakan salah satu cara untuk menilai dan
memilih program terbaik bila terdapat beberapa program berbeda dengan tujuan
yang sama untuk dipilih. Program yang paling cost-effective yang akan dipilih
oleh para analis/pengambil keputusan (Tjiptoherijanto dan Soesatyo, 2008).
Perbedaan CEA dengan analisis farmakoekonomi yang lain adalah
pengukuran outcome dinilai dalam bentuk non moneter yaitu dalam unit alamiah,
baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya,
penurunan kadar low density lipoprotein (LDL) mg/dL, penurunan tekanan darah
diastolik dalam mmHg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut
(misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang
tukak lambung yang tersembuhkan) (Andayani, 2013).
Alat bantu yang dapat digunakan dalam CEA adalah diagram efektivitasbiaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan
dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini, jika suatu intervensi
kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih
tinggi dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran I
(Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan pertimbangan
sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika
sumberdaya yang tersedia mencukupi (Kemenkes RI,2013).
Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori
Universitas Sumatera Utara
Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di
Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang
tersedia lebih terbatas (Kemenkes RI,2013).
Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan
biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini
masuk ke Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu
intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya
lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak untuk
dipilih (Kemenkes RI,2013).
Gambar 2.1 Diagram efektivitas biaya
b. cost-utility analysis (CUA)
Cost utility analysis adalah suatu metode analisis untuk menilai efisiensi
dari intervensi pelayanan kesehatan. Pada metode ini dilakukan perhitungan rasio
antara biaya dan output. Outcome yang diharapkan adalah peningkatan kualitas
hidup. Pengukuran CUA adalah cost per QALYs (Quality Adjusted Life Years).
Universitas Sumatera Utara
Contohnya jika seorang pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs adalah
1 (satu) (Drummond, et al., 1997).
Langlah-langkah yang perlu dilakukan dalam menghitung QALYs
(Andayani, 2013), yaitu:
i.
deskripsi
penyakit
atau
status
kesehatan,
deskripsi
penyakit
harus
menggambarkan pengaruh kesehatan yang diharapkan dari suatu penyakit
atau keadaan kesehatan dengan singkat.
ii. metode penentuan utility, terdapat tiga metode yang sering digunakan untuk
menentukan pilihan, atau mengukur skor utility, yaitu rating scale (RS),
standard gamble (SG), dan time tradeoff (TTO). Setiap metode, keadaan atau
kondisi beberapa penyakit diuraikan kepada subyek untuk membantu
menentukan dimana keadaan penyakit atau kondisi kesehatan berada antara
0,0 (meninggal) dan 1,0 (kesehatan sempurna).
iii. pemilihan subjek , subjek merupakan seseorang yang dijadikan sampel dalam
penelitian yang akan ditentukan niali utility.
Keunggulan assesment utility langsung dari pasien yang bersangkutan
yaitu pasien lebih memahami apa yang dirasakan dibandingkan orang lain.
iv. penentuan nilai QALYs, nilai QALYs diperoleh dengan mengalikan utility
dengan lama hidup. Contoh perhitungan QALYs yaitu, secara random pasien
dibagi menjadi 2 kelompok dan diberikan terapi awal pada tingkat status
kesehatan yang sama.
Luas daerah antara dua kurva yang menggambarkan awal terapi sampai
pemberian terapi selama 12 bulan menunjukkan tambahan QALYs dari obat baru
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Universitas Sumatera Utara
1
status kesehatan
0,8
0,6
kontrol
0,4
terapi
0,2
0
0 bulan
6 bulan
12 bulan
waktu (bulan)
Gambar 2.2 QALYs dari hipotesis intervensi terapi (Andayani, 2013)
Luas daerah antara dua kurva pada akhir intervensi dapat dihitung sebagai
berikut:
QALYsc
= [0,5(0,4+0,5)6 + 0,5(0,5+0,6)6)] /12 = 0,5
QALYst
= [0,5(0,4+0,5)6 + 0,5(0,5+0,65)6)] /12 = 0,5125
Peningkatan QALYs = 0,5125 – 0,5 = 0,0125
c. cost-benefits analysis (CBA)
Cost benefits analysis adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan
manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya
terhadap hasil perawatan kesehatan. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi
antara manfaat dan biaya karena mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah. Dapat
digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang
berbeda dan merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif
(Andayani, 2013).
Universitas Sumatera Utara
d. cost-minimization analysis (CMA)
Cost minimization analysis adalah tipe analisis yang digunakan untuk
membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek
yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara
secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi.
Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai
terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus
dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan (Newby dan Hill, 2003).
Contoh dari AMiB adalah terapi dengan menggunakan antibiotika generik dan
paten yang hasil terapinya sama, maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang
biaya per harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).
e. tipe analisis yang lain
Tipe analisis lain untuk mengukur biaya adalah jika hanya disajikan daftar
biaya dan daftar beberapa outcome, tanpa dilakukan perhitungan dan
perbandingan, disebut sebagai cost-consequence analysis (CCA) (Andayani,
2013).
Tipe analisis ekonomi lain adalah analisis cost-of-illness (COI), digunakan
untuk membandingkan pengaruh ekonomi dari suatu penyakit dibandingkan
dengan penyakit lain. Dalam studi COI, peneliti menentukan total beban ekonomi
dari suatu penyakit tertentu dalam masyarakat. Biaya yang dihitung dalam metode
ini dibagi menjadi dua kategori, biaya langsung atau biaya yang terkait dengan
terapi atau pencegahan dan biaya tidak langsung atau biaya hilangnya
produktivitas karena penyakit pasien. Contoh COI misalnya membandingkan
biaya untuk hipertensi dan biaya untuk asma (Andayani, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Biaya Pelayanan Kesehatan
Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori
(Vogenberg, 2001), yaitu :
a. biaya langsung medis (direct medical cost)
Biaya langsung medis adalah biaya yang digunakan untuk jasa pelayanan
medis, termasuk mencegah atau mendeteksi suatu penyakit seperti kunjungan
pasien, obat-obat yang diresepkan, dan biaya rawat inap.
b. biaya langsung non-medis (direct non-medical cost)
Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak
terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah
sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.
c. biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas
pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang. Sebagai contoh
pasien kehilangan pendapatan karena sakit yang berkepanjangan sehingga tidak
dapat memberikan nafkah pada keluarganya, pendapatan berkurang karena
kematian yang cepat.
d. biaya tidak teraba (intangible cost)
Biaya tidak teraba merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil
tindakan medis dan tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur
seperti rasa nyeri/cacat, kehilangan kebebasan,efek samping. Sifatnya psikologis
sehingga sukar dikonversikan dalam nilai mata uang.
Universitas Sumatera Utara
e. opportunity cost
Opportunity cost adalah biaya yang mewakili manfaat ekonomi bila
menggunakan suatu terapi pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik
berikutnya. Oleh karena itu, jika sumber daya telah digunakan untuk membeli
program atau alternatif pengobatan, maka opportunity cost menunjukkan
hilangnya kesempatan untuk menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan
kata lain, opportunity cost adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya
kesempatan ataupun dikorbankannya penghasilan/pendapatan.
f. incremental cost
Incremental cost disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan
atas alternatif atau perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan
manfaat, efek ataupun hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental cost adalah
biaya tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu
alternatif dan menyediakan cara lain untuk menilai dampak farmakoekonomi dari
layanan kesehatan ataupun pilihan pengobatan dalam suatu populasi.
2.4 Dislipidemia
2.4.1 Definisi dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida
serta penurunan kadar kolesterol HDL (Gordon, 2003).
Profil lipid saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. National Cholesterol Education Program Adult Panel III (NCEP ATP
Universitas Sumatera Utara
III) pada tahun 2001 telah membuat suatu batasan profil lipid seseorang secara
umum . Klasifikasi rentang profil lipid dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi rentang profil lipid menurut National Choleteroslemia
Education Programme Adult Therapy Programme (NCEP ATP III)
Kadar Kolesterol Total
Kategori Kolesterol Total
(mg/ dL)
< 200
Yang diinginkan
200-239
Batas tinggi
≥ 240
Tinggi
Kadar LDL (mg/ dL)
Kategori LDL
< 100
100 – 129
130 – 159
160 – 189
≥ 190
Kadar HDL (mg/ dL)
Optimal
Mendekati optimal
Batas tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
Kategori HDL
< 40
≥ 60
Rendah
Tinggi
Kadar Trigliserida (mg/ dL)
< 150
150 – 199
200-499
≥500
Kategori Trigliserida
Normal
Batas tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
2.4.2 Epidemiologi
Kenaikan kadar kolesterol total atau hiperkolesterolemia merupakan salah
satu bentuk dari dislipidemia. Berdasarkan catatan WHO, pada tahun 2008 sekitar
39% dari populasi dunia menderita hiperkolesterolemia. Prevalensi tertinggi ada
di regional Eropa, sedangkan di regional Asia Tenggara sendiri angkanya
mencapai 29% dari populasi. Prevalensi di Indonesia dari tahun ke tahun
diketahui meningkat. Pada tahun 2008 tercatat prevalensinya sebesar 35,1%.
Kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi 35,9% (Depkes RI, 2013).
Dislipidemia merupakan faktor risiko beberapa penyakit kardiovaskuler
seperti aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Rendahnya kadar HDL dan
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya kadar LDL pada kondisi dislipidemia akan meningkatkan risiko
timbulnya timbunan lemak pada pembuluh darah. Bila kondisi berlanjut pembuluh
darah akan mengalami aterosklerosis. Timbunan lemak juga dapat menyumbat
aliran darah koroner ke jantung, sehingga menyebabkan penyakit jantung koroner
(Murray, et al., 2003).
2.4.3 Kolesterol
Kolesterol merupakan senyawa yang mempunyai fungsi penting dalam
tubuh kita. Kolesterol ditemukan di seluruh sel tubuh kita, dimana berfungsi
sebagai komonen penyusun membran sel. Kolesterol juga digunakan oleh tubuh
untuk pembuatan berbagai hormon, terutama hormon estrogen dan testosteron,
namun juga digunakan untuk hormon adrenal sepertil kortisol dan aldosteron.
Tubuh juga menggunakan kolesterol untuk membuat vitamin D. Kadar kolesterol
dalam darah yang direkomendasikan adalah dibawah 200 mg/dl. Berbeda dengan
fungsinya pada saat kadar kolesterol normal, semakin tinggi kadar kolesterol
dalam darah, semakin besar pula resiko terjadinya aterosklerosis (Murray, et al.,
2003).
2.4.3.1 Sintesis kolesterol
Kolesterol dapat disintesis oleh semua jaringan yang mengandung sel – sel
berinti. Prekursor untuk sintesis kolesterol adalah asetil-KoA sitosol. Asetil-KoA
ini dihasilkan dari prekursor utamanya, yaitu glukosa dan asam lemak serta dapat
juga dibentuk dari katabolisme asam amino. Pertama, 2 molekul asetil-KoA
berkondensasi
membentuk
asetoasetil-KoA.
Kemudian
asetoasetil-KoA
berkondensasi dengan asetil-KoA lainnya yang dikatalisis oleh enzim HMG-KoA
sintetase untuk membentuk HMG-KoA. HMG KoA akan diubah oleh enzim
Universitas Sumatera Utara
HMG-KoA reduktase menjadi mevalonat. Mevalonat yang terbentuk akan
difosforilasi oleh ATP menjadi isoprenoid. Selanjutnya, dari enam unit isoprenoid
akan dibentuk skualen. Skualen akan mengalami siklisasi membentuk lanosterol.
Lanosterol ini yang selanjutnya akan dikonversi menjadi kolesterol (Murray, et
al., 2003).
Proses sintesis ini dikendalikan oleh enzim HMG-KoA reduktase.
Terdapat mekanisme umpan-balik, yaitu HMG-KoA reduktase di hati dihambat
oleh mevalonat yang merupakan intermediate, dan oleh kolesterol yang
merupakan produk utama lintasan tersebut. Aktivitas HMG-KoA reduktase dapat
ditingkatkan dengan pemberian hormon insulin atau hormon tiroid, sedangkan
hormon glukagon atau glukokortikoid akan menurunkannya (Murray, et al.,
2003).
2.4.3.2 Absorpsi kolesterol
Absorpsi kolesterol terjadi terutama pada duodenum dan jejunum bagian
proksimal dengan tingkat yang bervariasi pada tiap individunya. Proses absorpsi
ini sebagian besar spesifik untuk kolesterol saja, karena senyawa sterol yang
berasal tumbuhan meskipun memliki struktur yang mirip dengan kolesterol tapi
sangat jarang atau tidak diabsorpsi sama sekali.
Terdapat dua fase utama dalam absorpsi kolesterol. Fase pertama
bertempat di lumen usus halus dan melibatkan penghancuran dan hidrolisis lipid
makanan. Kolesterol ester diubah oleh enzim kolesterol ester hidrolase menjadi
kolesterol dan asam lemaknya. Kemudian terjadi emulsifikasi oleh asam empedu
membentuk misel. Pada fase kedua, terjadi perpindahan kolesterol melintasi
mukosa membran sel usus halus dengan cara difusi sederhana. Di dalam sel usus
Universitas Sumatera Utara
halus, kolesterol mengalami esterifikasi kembali menjadi kolesterol ester dan akan
berikatan dengan protein membentuk lipoprotein. Lipoprotein pada proses ini
adalah kilomikron, kilomikron kemudian akan disekresi melalui pembuluh limfe
(Murray, et al., 2003).
2.4.3.3 Transport dan ekskresi kolesterol
Kolesterol tidak larut air, maka untuk dapat beredar di dalam darah
kolesterol berikatan dengan partikel-partikel lipoprotein. Lipoprotein adalah
senyawa kompleks antara lemak dan protein. Empat kelompok utama lipoprotein
yang penting secara fisiologis dan penting dalam diagnosis klinis (Murray, et al.,
2003), yaitu:
a. kilomikron, berasal dari penyerapan trigliserida dan lipid lain di usus halus.
Mengandung 86,2% trigliserida, 2% protein, 4% kolesterol, dan 7,8%
fosfolipida. Kilomikron berperan dalam pengangkutan lemak dari usus halus ke
bagian tubuh yang membutuhkan.
b. lipoprotein berdensitas sangat rendah (Very Low Density Lipoprotein, VLDL),
berasal dari hati dan berfungsi sebagai pengangkut trigliserida endogen dari
tempat pembentukannya ke tempat yang membutuhkan VLDL memiliki
komposisi lipid paling banyak dan sedikit protein, tetapi lipid yang tersebut
adalah lemak netral, bukan kolesterol. Trigliserida adalah lipid utama pada
kilomikron dan VLDL. VLDL mengandung 10% protein, 50,4% trigliserida,
20,7% kolesterol, dan 18% fosfolipida, dan 0,9% asam lemak bebas.
c. lipoprotein berdensitas rendah (Low Density Lipoprotein, LDL), merupakan
tahap akhir metabolisme VLDL. LDL memiliki komposisi protein lebih sedikit
dan kolesterol lebih banyak. LDL mengangkut kolesterol dari hati ke sel,
Universitas Sumatera Utara
termasuk sel – sel endotel pembuluh darah. LDL mengandung 21% protein,
10,3% trigliserida, 45,8% kolesterol, 22% fosfolipida, dan 0,9% asam lemak
bebas.
d. lipoprotein berdensitas tinggi (High Density Lipoprotein, HDL), merupakan
lipoprotein yang berperan dalam transpor kolesterol serta pada metabolisme
VLDL dan kilomikron. HDL memiliki komposisi sedikit kolesterol dan banyak
sekali protein. HDL berperan dalam mengangkut kolesterol dari sel dan
membawanya ke hati untuk dieliminasi secara parsial dari tubuh. HDL
mengandung 57% protein, 5,6% trigliserida, 15% kolesterol, 19,8% fosfolipid,
dan 2,6% asam lemak bebas
2.4.4 Terapi dislipidemia
Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya non farmakologi
perubahan gaya hidup yang meliputi modifikasi diet, pengurangan berat badan
serta aktivitas fisik. Tujuan utama terapi diet disini adalah menurunkan resiko
CVD
dengan
mengurangi
asupan
lemak
jenuh
dan
kolesterol
serta
mengembalikan keseimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi. Perbaikan
keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi
melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori.
2.4.4.1 Terapi non farmakologi
a. terapi diet
Terapi diet bertujuan untuk mengoptimalkan kadar lipid dengan cara
menjaga keseimbangan diet. Terapi diet dapat menurunkan kolesterol total sebesar
10-15%. Asupan makanan yang tinggi kandungan kolesterol harus diturunkan.
Asupan lemak jenuh dan asam lemak trans mening katkan kadar LDL, sementara
Universitas Sumatera Utara
asam lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak tidak jenuh ganda mempunyai
LDL rendah.
b. pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan dikhususkan pada pasien kelebihan berat badan
dan obesitas dengan sindrom metabolik. Penurunan berat badanmembantu
menurunkan trigliserida dan meningkat HDL.
c. aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya serta merupakan bagian dari usaha menjaga kebugaran, termasuk
kesehatan jantung dan pembuluh darah. Mereka yang aktif kemungkinan memiliki
resiko yang rendah untuk terkena penyakit kardiovaskuler termasuk diantaranya
dislipidemia (Lim, 2014).
2.4.4.2 Terapi farmakologi
Pada saat ini dikenal sedikitnya 5 jenis obat yang dapat memperbaiki
profil lipid serum, yaitu statin ( HMG - CoA reductase inhibitor), resin, derivat
asam fibrat, asam nikotinat (Niasin) dan ezetimib (Mahley dan Bersot, 2012).
a. statin (HMG - CoA Reductase Inhibitor)
Statin merupakan senyawa yang paling efektif dan paling baik
toleransinya untuk mengobati dislipidemia. Ada enam jenis statin dipasarkan,
yaitu lovastatin, simvastatin, pravastatin, fluvastatin, atrovastatindan rosuvastatin.
Obat ini bekerja menghambat enzim HMG-CoA reductase,yaitu suatu enzim di
hati yang berperan dalam sintesis kolesterol.
Sintesis kolesterol di hati akan menurun, sehingga Sterol Regulatory
Element Binding Protein (SREBP) yang terdapat pada membran terurai oleh
Universitas Sumatera Utara
protease, lalu diangkut ke nukleus. Faktor-faktor transkripsi kemudian akan
berikatan dengan gen reseptor LDL, sehingga terjadi peningkatan sintesis reseptor
LDL pada membran sel hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol darah lebih
besar lagi. Selain VLDL, IDL dan LDL menurun serta HDL meningkat.
b. resin
Terdapat tiga golongan resin, yaitu cholestyramin, colestipol dan
colesevelam. Resin merupakan obat hipolipidemia yang paling aman karena tidak
diabsorpsi saluran cerna. Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara
mengikat asam empedu dalam saluran cerna di usus halus dan akan dieksresi
melalui feses, asam empedu yang kembali ke hati akan menurun, hal ini akan
memacu hati memecahkan kolesterol lebih banyak untuk menghasilkan asam
empedu yang dikeluarkan ke usus. Akibatnya kolesterol darah akan lebih banyak
ditarik ke hati, sehingga kolesterol serum menurun.
c. derivat asam fibrat
Terdapat empat jenis, yaitu gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat dan
fenofibrat. Obat ini bekerja dengan cara berinteraksi dengan reseptor peroxysome
proliferator- activated receptors (PPARs). Fibrat menurunkan trigliserida melalui
stimulasi oksidasi asam lemak yang diperantarai oleh PPARα, meningkatkan
sintesis LPL dan menurunkan apoC-III di hati yang berfungsi sebagai inhibitor
proses lipolisis sehingga dapat meningkatkan bersihan VLDL. Peningkatan HDL
oleh fibrat terjadi karena stimulasi peningkatan apoA-1 dan apoA-II oleh PPARα.
d. asam nikotinat (Niasin)
Asam nikotinat merupakan obat penurun lipid yang pertama kali
diperkenalkan, untuk mengobati dislipidemia. Obat ini bekerja menghambat
Universitas Sumatera Utara
hidrolisis trigliserida oleh enzim hormon sensitive lipase di jaringan adiposa,
dengan demikian akan mengurangi jumlah asam lemak bebas ke hati. A sam
lemak bebas dalam darah sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi
sumber pembentukan VLDL, dengan menurunnya sintesis VLDL di hati, akan
mengakibatkan penurunan kadar trigliseridadan juga kolesterol -LDL di plasma.
Pemberian asam nikotinat ternyata juga meningkatkan kolesterol-HDL.
e. ezetimib
Ezetimib tergolong obat penurun lipid yang terbaru dan bekerja sebagai
penghambat selektif penyerapan kolesterol baik yang berasal dari makanan
maupun dari asam empedu di usus halus. Obat ini efektif menurunkan LDL dan
kolesterol total. Obat ini pada umumnya tidak digunakan secara tunggal, tetapi
dikombinasikan dengan obat penurun lipid lain, misalnya HMG-CoA reductase
Inhibitor.
2.5 Kepatuhan
2.5.1 Definisi
Kepatuhan pasien didefinisikan secara luas sebagai tindakan pasien untuk
mengikuti instruksi yang diberikann untuk perawatan yang ditentukan.
Pengukuran kepatuhan pada dasarnya merepresentasikan perbandingan antara dua
rangkaian kejadian, yaitu bagaimana nyatanya obat diminum dengan bagaimana
obat seharusnya diminum sesuai resep (Osterberg dan Terrence, 2005; Sabate,
2001; Rainer, et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2 Faktor-faktor yang berkaitan dengan kepatuhan
Kepatuhan pasien terhadap pengobatannya dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor (Osterberg dan Terrence, 2005; Delamater, 2006; Kocurek, 2009),
meliputi:
a. faktor demografi
Faktor demografi, seperti suku, status sosio-ekonomi yang rendah, dan
tingkat pendidikan yang rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap
regimen pengobatan.
b. faktor psikologi
Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen
pengobatan. Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan
sedangkan faktor psikologi, seperti depresi, cemas, dan gangguan makanan yang
dialami pasien dikaitkan dengan ketidakpatuhan.
c. faktor sosial
Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting
dalam pengelolaan terapi suatu penyakit. Penelitian menunjukan bahwa pasien
dengan tingkat masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat
dukungan dan memiliki komunikasi yang baik antara anggota keluarga atau
masyarakatnya cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan
sosial juga dapat menurunan rasa depresi atau stres penderita terhadap
pengelolaan terapi suatu penyakit.
d. faktor yang berhubungan dengan penyakit dan medikasi
Penyakit kronik yang dideriita pasien, regimen obat yang kompleks, dan
efek samping obat yang terjadi pada pasien dapat meningkatkan ketidakpatuhan
Universitas Sumatera Utara
pada pasien. Penelitian menunjuan kepatuhan yang lebih tinggi pada pasien
dengan regimen obat yang sederhana dibandingkan dengan regimen pengobatan
yang kompleks.
e. faktor yang berhubungan dengan tenaga kesehatan
Komunikasi yang rendah dan kurangnya waktu yang dimiliki tenaga
kesehatan, seperti dokter menyebabkan penyampaian informasi menjadi kurang
sehingga pasien tidak cukup mengerti dan paham akan pentingnya pengobatan.
Keterbatasan tenaga kesehatan lain, seperti apoteker, waktu dan keahlian yang
dimiliki oleh apoteker berpengaruh terhadap pemahaman pasien mengenai
penggunaan obat sehingga cenderung meningkatkan kepatuhan pasien.
2.5.3
Metode pengukuran tingkat kepatuhan
Tingkat kepatuhan terhadap pengobatan dapat diukur melalui dua metode
(Osterberg dan Terrence, 2005), yaitu:
a. metode langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan
beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat atau metabolit obat di dalam
darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini
umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap penolakan
pasien.
b. metode tidak langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuisioner,
menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat
pengambilan kembali resep obat.
Universitas Sumatera Utara
2.5.4
Metode meningkatkan kepatuhan
Metode meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan dapat dilakukan
dengan cara (Osterberg dan Terrence, 2005), yaitu:
a. pemberian edukasi kepada pasien, anggota keluarga atau keduanya mengenai
penyakit dan pengobatannya. Edukasi dapat diberikan secara individu maupun
kelompo, dan dapat diberian melalui tulisan, telepon, email atau datang ke
rumah.
b. mengefektifkan jadwal pendosisan melalui penyederhanaan regimen dosis
harian.
c. meningkatkan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan.
2.6 Short Form-36 Health Survey (SF-36)
SF-36 adalah sebuah kuesioner survei kesehatan untuk menilai kualitas
hidup, yang terdiri dari 36 butir pertanyaan. Kuesioner ini menghasilkan 8 skala
fungsional profil kesehatan dan skor kesejahteraan berbasis psikometri kesehatan
fisik dan psikis, serta merupakan kumpulan dari langkah-langkah dan preferensi
kesehatan berbasis indeks.Oleh karena itu, SF-36 telah terbukti berguna dalam
survei umum dan populasi khusus, membandingkan relatif beban penyakit serta
dalam membedakan manfaat kesehatan yang dihasilkan oleh berbagai intervensi
yang berbeda (Ware, 2000).
SF-36 adalah sebuah kuesioner survei yang mengukur 8 kriteria kesehatan
yaitu fungsi fisik, keterbatasan peran karena kesehatan fisik, tubuh sakit, persepsi
kesehatan secara umum, vitalitas, fungsi sosial, peran keterbatasan karena
masalah emosional, dan kesehatan psikis. Pengukuran ini menghasilkan nilai
skala untuk masing-masing delapan kriteria kesehatan dan dua ukuran ringkasan
Universitas Sumatera Utara
kesehatan fisik dan psikis. Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah 60, dibawah
skor tersebut kualitas hidup dinilai kurang baik. Nilai skor 100 merupakan tingkat
kualitas hidup yang sangat baik. Berdasarkan waktu penggunaannya, SF-36 dapat
digunakan pada 2 periode pengukuran (2-type recall), yaitu pengukuran standar (>
4 minggu) dan akut (< 1 minggu) (Ware, 2000).
2.6.1 Metode skoring SF-36
Metode untuk menentukan skoring dari setiap pertanyaan di dalam
kuesioner SF-36 adalah berdasarkan tabel referensi berikut ini (Ware, 2000):
a. menentukan skor dari jawaban setiap pertanyaan sesuai dengan nomor
ditunjukkan pada Tabel 2.2. Pengukuran ini menghasilkan nilai skala untuk
masing-masing delapan kriteria kesehatan dan dua ukuran ringkasan
kesehatan fisik dan mental.
Tabel 2.2 Penentuan skor jawaban setiap pertanyaan berdasarkan nomor
pertanyaan
Nomor Pertanyaan
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12
1, 2, 20, 22, 34, 36
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19
21, 23, 26, 27, 30
Kategori perubahan
respon
1
2
3
1
2
3
4
5
1
2
1
2
3
4
5
6
Skor yang diperoleh
0
50
100
100
75
50
25
0
0
100
100
80
60
40
20
0
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 (Lanjutan), Penentuan skor jawaban setiap pertanyaan berdasarkan
nomor pertanyaan
24, 25, 28, 29, 31
1
0
2
20
3
40
4
60
5
80
6
100
32, 33, 35
1
0
2
25
3
50
4
75
5
100
b. menentukan skor rata-rata dari jawaban setiap pertanyaan berdasarkan skala
yang telah ditentukan pada Tabel 2.3. Nilai skor kualitas hidup rata-rata adalah
60, dibawah skor tersebut maka kualitas hidup pasien dinilai kurang baik. Nilai
skor 100 merupakan tingkat kualitas hidup yang sangat baik.
Tabel 2.3 Penentuan skor rata-rata setiap pertanyaan berdasarkan skala
Skala
Fungsi fisik
Keterbatasan akibat
masalah fisik
Keterbatasan akibat
masalah emosional
Energi/Fatique
Kesejahteraan/kesehatan
mental
Fungsi sosial
Perasaan sakit/nyeri
Persepsi kesehatan umum
Peralihan kesehatan
Jumlah pertanyaan
berdasarkan skala
10
4
Penilaian rata-rata
kelompok pertanyaan
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12
13, 14, 15, 16
3
17, 18, 19
4
5
23, 27, 29, 31
24, 25, 26, 28, 30
2
2
5
1
20, 32
21, 22
1, 33, 34, 35, 36
2
Universitas Sumatera Utara